ISSN Pengantar DAFTAR ISI. Volume 10 Nomor

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ISSN Pengantar DAFTAR ISI. Volume 10 Nomor"

Transkripsi

1

2 Pengantar Pada terbitan nomor 1 tahun ke-10, Buletin Iptek Tanaman Pangan menyajikan lima tulisan review hasil penelitian. Tulisan pertama dan kedua membahas aspek pemupukan pada tanaman padi yang dikaitkan dengan upaya peningkatan produktivitas, pendapatan, dan pelestarian lingkungan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras dan menekan dampak emisi gas rumah kaca dari lahan sawah dengan mitigasi perubahan iklim global. Tulisan ketiga membahas upaya perbaikan ketahanan varietas kedelai terhadap ulat grayak. Dewasa ini ulat grayak telah berubah status menjadi hama utama kedelai yang tentu saja perlu dikendalikan agar tidak menurunkan produksi. Aflatoxin pada kacang tanah membahayakan kesehatan konsumen. Penyakit ini juga merusak biji jagung dan beberapa komoditas lainnya. Oleh karena itu, aflatoxin mendapat prioritas untuk diteliti. Tulisan kontaminasi aflatoxin pada kacang tanah juga mengisi Buletin Iptek Tanaman Pangan kali ini. Tulisan berikutnya membahas determinan agronomis produktivitas jagung. Redaksi ISSN Volume 10 Nomor DAFTAR ISI Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan... 1 (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) Erythrina dan Zulkifli Zaini Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah... 9 (Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric Greenhouse Gases in Lowland) A. Wihardjaka dan Poniman Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak (Improvement of Soybean Resistance to Armyworm) Titik Sundari dan Kurnia Paramita Sari Kontaminasi Aflatoxin dalam Rantai Distribusi Kacang Tanah di Indonesia (Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain in Indonesia) Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo Determinan Agronomis Produktivitas Jagung (The Agronomic Factors Determining Maize Productivity) Sutoro Buletin Iptek Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah review hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija). Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI, dan BATAN. Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di buletin ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Indonesia

3 PETUNJUK BAGI PENULIS KETENTUAN UMUM Buletin Iptek Tanaman Pangan memuat tinjauan (review) atau analisis dari sejumlah referensi hasil penelitian menjadi gagasan baru untuk dapat memberikan pemecahan masalah pertanian tanaman pangan. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah yang dikirim ke redaksi belum pernah diterbitkan di media publikasi lain. Naskah lengkap dikirim rangkap tiga dalam bentuk print out atau melalui ke alamat Bagi naskah yang sudah terbit, penulis berhak menerima satu buletin asli dan cetak lepas 10 eksemplar. STANDAR PENULISAN Naskah diketik dengan jarak 1½ spasi, dan satu spasi untuk Judul, Abstrak, Tabel, Gambar, dan Lampiran. Bidang ketik berjarak 4 cm dari tepi kiri dan masing-masing 3 cm dari tepi kanan, atas, dan bawah. Huruf standar yang digunakan adalah tipe Arial dengan ukuran font 12 untuk teks dan untuk Tabel dan Lampiran. Naskah diketik dalam program Microsoft Word. Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan instansi, abstrak, pendahuluan, isi/pokok bahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih (kalau ada), dan daftar pustaka. SISTEMATIKA PENULISAN Judul: singkat, jelas, spesifik, dan informatif yang mencerminkan isi naskah. Nama penulis: sesuai dengan pencantuman untuk pustaka. Nama lembaga/instansi: disertai dengan alamat lengkap. Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, merupakan intisari naskah, tidak lebih dari 250 kata, dan dituangkan dalam satu paragraf. Kata kunci (key word): maksimum 5 kata. Pendahuluan: menggambarkan latar belakang, tujuan, sasaran dan pustaka yang mendukung. Isi/Pokok Bahasan: menyajikan dan membahas secara jelas pokok bahasan dengan mengacu kepada tujuan penulisan. Kesimpulan: merupakan ringkasan dari substansi pokok bahasan. Ucapan terima kasih (kalau ada). Daftar Pustaka: a. Menggunakan minimal 25 referensi dalam 10 tahun terakhir dengan proporsi minimal 50% dari jurnal ilmiah. b. Pengutipan pustaka dari internet hanya diperbolehkan dari sumber yang dapat dipercaya seperti jurnal ilmiah dari instansi pemerintah atau swasta. c. Memuat nama penulis yang dirujuk dalam naskah, disusun alfabetis dan tahun terbit. Di belakang tahun, baik dalam teks maupun di daftar pustaka dapat dibubuhi huruf kecil (a, b, c) jika penulis yang sama menulis lebih dari satu artikel dalam tahun yang sama. Nama penulis yang lebih dari dua orang, di dalam kutipan teks menggunakan et al. setelah penulis pertama. Di daftar pustaka, semua penulis harus ditulis sesuai dengan kaidah penulisan pustaka. Beberapa contoh penulisan sumber rujukan: Buku Syam, M. dan A. Musaddad Pengembangan kedelai. Puslitbangtan. Bogor. 317 p. Jurnal Wahid, A.S Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): Artikel dalam buku Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi Areal pertanaman dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p Internet Mutert, E. W Plant nutrient balances in Asian and Pasific regions. The consequences for agricultural production. / org/library/eb/415. Prosiding Sembiring, H. dan Wasito Peluang pengembangan sistem integrasi padi-ternak dalam pemberdayaan kelompok tani untuk meningkatkan kualitas lahan dan pendapatan petani di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, Juli Kerja sama Puslitbang Peternakan - BPTP Bali- CASREN. Bogor. p Tesis/disertasi Koesrini Studi metode skrining ketahanan kedelai terhadap aluminium. Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 127 p. CARA PENULISAN Tabel a. Huruf standar yang digunakan adalah Arial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font b. Judul singkat, jelas, dan hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital, diletakkan di atas Tabel, dan diberi nomor urut dengan angka Arab. c. Keterangan Tabel ditulis dengan jarak 1 spasi dan ukuran font Gambar atau Grafik: Judul menggunakan huruf tipe Arial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11, diletakkan di bawah Gambar atau Grafik berupa kalimat singkat dan jelas. Hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital dan diberi nomor urut sesuai dengan letaknya. Satuan ukuran: memakai sistem internasional. Penulisan angka desimal: dalam bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan dalam bahasa Inggris dengan titik (.).

4 ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) Erythrina 1 dan Zulkifli Zaini 2 1 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10 Bogor erythrina_58@yahoo.co.id 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111, Jawa Barat z.zaini@irri.org Naskah diterima 11 November 2014 dan disetujui diterbitkan 4 Mei 2015 ABSTRACT IAARD in the Ministry of Agriculture has produced a wide range of technology for site specific nutrient management (SSNM), in form of soil-test kit equipment and software. This paper presents the concept of revitalization the system and direction for an efficient fertilization usage. A more rational use of fertilizers based on a specific locational need is expected in the long term to reduce the amount of fertilizer subsidies, without reducing the rice production. The effect of SSNM had been shown to give opportunities for yield increases per unit of fertilizer, to reduce loss of fertilizer, to improve agronomic efficiency and at the same time had positive influence on the environment. SSNM could be used to develop plan for fertilizer requirement per farmers group (RDKK) which in reality was often not compiled by field extension in accordance with the area of land and fertilizer needs. Inaccurate RDKK preparation had been causing problem on the distribution of subsidized fertilizer, because it was often showing an overestimate of the amount of fertilizer needed, as compared with the availability of fertilizer. Funds allocated for the preparation of RDKK could be routed to the procurement of hardware such as computers and to train the agricultural extension workers in each Agricultural Extension Center in Indonesia, to be able to access the website-specific nutrient fertilization through the internet. Assessment Institute of Agricultural Technology located in every province could facilitate this technology transfer process. Keywords: Fertilizer, SSNM technology, RDKK, rice paddy. ABSTRAK Badan Litbang Kementerian Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL), baik berupa peralatan maupun perangkat lunak. Tulisan ini menyajikan pemikiran tentang upaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Pemupukan hara spesifik lokasi terbukti meningkatkan hasil per unit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk, meningkatkan efisiensi agronomi dari pupuk sekaligus berpengaruh positif terhadap lingkungan. Teknologi PHSL dapat digunakan untuk menyusun RDKK yang dalam kenyataannya seringkali tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuknya. Penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer dan melatih para penyuluh pertanian di setiap Balai Penyuluhan Pertanian di Indonesia untuk dapat mengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat proses alih teknologi ini. Kata kunci: Pupuk, teknologi PHSL, RDKK, padi sawah. 1

5 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO PENDAHULUAN Terminologi revolusi hijau digunakan untuk menjelaskan peningkatan aktivitas fotosintesis dari pigmen hijau daun atau klorofil, untuk dapat menghasilkan lebih banyak karbohidrat. Proses ini tidak hanya melibatkan penggunaan energi matahari dan karbon dioksida secara efektif dari atmosfer, tetapi juga air dan unsur hara, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium dari tanah (Horie et al. 2004). Melalui proses penyilangan dan seleksi, arsitektur tanaman dimodifikasi dari varietas lokal, dengan postur tanaman tinggi menjadi varietas unggul dengan anakan lebih banyak, daun tegak, berbatang pendek dan kokoh untuk dapat menahan gabah yang lebih banyak pada malai yang terbentuk, jika lahan diberi pupuk dan air yang cukup. Arsitektur tanaman yang lebih pendek dan kokoh mampu menggunakan eksternal input secara efisien yang berasal dari pupuk kimia dan air irigasi untuk menghasilkan gabah dalam jumlah yang lebih banyak dengan umur tanaman yang lebih pendek (Zaini 2012). Revolusi hijau yang memperkenalkan varietas unggul berdaya hasil tinggi merupakan faktor utama yang memungkinkan sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan produksi padi dan jagung pada tahun 1970 sampai 1980-an. Dampak positif dari peningkatan produksi adalah menurunnya angka kemiskinan melalui peningkatan pendapatan petani dan tersedianya beras dengan harga yang terjangkau bagi konsumen berpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupun perkotaan. Bagaimanapun, revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi maupun sosial. Terjadinya degradasi lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampai memperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagi wanita tani (Kesavan and Swaminathan 2006). Di sisi lain, produksi padi cenderung melandai sejak dua dasawarsa yang lalu akibat menurunnya laju peningkatan produktivitas. Dalam periode laju peningkatan produktivitas padi sawah irigasi hanya 33 kg/tahun (R 2 =0,674) (BPS 2014). Pemerintah harus memastikan ketersediaan beras pada tingkat harga yang tidak memberatkan konsumen dan sekaligus memberikan keuntungan yang memadai kepada petani (Menko Perekonomian 2011). Situasi ini hanya mungkin dicapai bila usahatani padi sawah dapat mengoptimalkan setiap penggunaan input. Pupuk merupakan salah satu input utama untuk memproduksi padi. Pemerintah telah mengurangi subsidi pupuk kimia sejak 1 April 2010, yang menyebabkan harga pupuk meningkat 25-40% di atas harga eceran tertinggi (HET) yang berlaku (Rachman 2011). Pupuk urea dipatok dengan harga Rp1.800/kg, pupuk majemuk NPK Rp2.300/kg, SP- 36 Rp2.000/kg, ZA Rp1.400/kg, dan pupuk organik Rp500/ kg. Harga itu berlaku sejak Dengan naiknya harga pupuk di pasaran, petani harus lebih efisien dalam mengelola pemupukan padi sawah. Pupuk berperan penting dalam peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan. Walaupun penyaluran pupuk bersubsidi terus meningkat (Tabel 1), tetapi ketersediaannya masih terbatas sehingga sering tidak tersedia pada saat petani membutuhkan. Subsidi pupuk di negara-negara berkembang cenderung meningkat, dengan pola dan ketentuan yang berbeda. Dibandingkan dengan China dan India, subsidi pupuk di Indonesia terbilang kecil, sekitar Rp 21 triliun pada tahun 2015 atau hanya sekitar 5% dari total subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi paling besar dikeluarkan pemerintah untuk energi (61%) dan listrik (26%). Besaran pupuk bersubsidi diperkirakan akan terus meningkat karena kenaikan harga bahan baku dan depresiasi rupiah yang menyebabkan harga pokok produksi (HPP) pupuk terus meningkat. Tulisan ini menyajikan suatu pemikiran tentang upaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Tingginya subsidi pupuk yang dialokasikan pemerintah membebani anggaran Kementerian Pertanian. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi diharapkan dalam jangka panjang dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Penyuluh dan petani harus memahami bahwa penggunaan pupuk sesuai kebutuhan tanaman tidak hanya meningkatkan efisiensi pemupukan dan penghematan pupuk tetapi juga berpengaruh positif terhadap lingkungan. Tabel 1. Penyaluran pupuk bersubsidi, (ton). Tahun Urea SP36 Z A NPK Organik Laju/tahun 2,88% 6,12% 8,89% 36,55% 24,73% Sumber: Kementerian Pertanian

6 ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH DINAMIKA REKOMENDASI TEKNOLOGI PEMUPUKAN Pada zaman penjajahan Belanda hanya pupuk nitrogen yang dianjurkan, dengan takaran kg N/ha. Air irigasi diperkirakan dapat menyediakan unsur hara lainnya, terutama kalium (Giessen 1942, Dijk 1951). Balai Penyelidikan Teknik Pertanian (sekarang Puslitbang Tanaman Pangan) dengan berbagai keterbatasannya, mampu melaksanakan penelitian efektivitas kombinasi pemupukan N, P, dan K pada varietas lokal Bengawan (dilepas tahun 1943) dan Sigadis (dilepas tahun 1953) di Jawa pada tahun (Nataatmadja et al. 1988). Rekomendasi Pemupukan Bersifat Umum Pada tahun 1980, Program Intensifikasi Khusus (Insus) menerapkan teknologi Sapta Usahatani sebagai penyempurnaan Panca-Usahatani dengan pilar utama penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan responsif terhadap pemupukan hara N, P, dan K sebagai andalan utama revolusi hijau. Implementasi program Insus yang didukung oleh penyuluhan dan perbaikan infrastruktur pertanian mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan dan menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi et al. 2009). Rekomendasi pemupukan padi sawah yang berlaku saat itu masih bersifat umum untuk semua wilayah Indonesia tanpa mempertimbangkan status hara tanah dan kemampuan tanaman menyerap hara (Sofyan et al. 2004). Sementara diketahui bahwa status hara P dan K lahan sawah bervariasi dari rendah sampai tinggi (Adiningsih et al. 1989). Pemupukan P dan K secara terus-menerus sejak dikembangkan program Insus dan Supra Insus dengan 10 jurus paket D menyebabkan sebagian besar lahan sawah di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Lombok, dan Bali berstatus hara P dan K relatif tinggi (Sofyan et al. 2004). Selain itu penggunaan pupuk P dan K secara terusmenerus menyebabkan ketidakseimbangan hara di tanah. Ketidak seimbangan hara diduga sebagai penyebab terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah. Kadar hara P dan K yang tinggi menyebabkan ketersediaan hara mikro seperti Zn dan Cu tertekan (Dobermann and Fairhurst 2000). Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi Konsep Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 1990-an, yang kemudian diteliti pada sekitar 200 lokasi lahan sawah irigasi di enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada tahun (Dobermann et al. 2002, Buresh et al. 2010). Penelitian manajemen pemupukan nitrogen (N) telah berubah: (1) dari pendekatan menekan kehilangan hara menjadi pemberian pupuk sesuai kebutuhan tanaman; (2) dari indikator utama recovery efficiency menjadi agronomic efficiency, yaitu setiap kg kenaikan hasil gabah per kg pupuk yang diberikan, dan partial factor productivity yaitu jumlah gabah yang dihasilkan untuk setiap kg pemberian pupuk; (3) dari rekomendasi yang bersifat umum menjadi rekomendasi berdasarkan respon tanaman dan efisiensi agronomi; dan (4) dari pemberian N yang berlebihan pada tahap awal pertanaman menjadi pemberian N sesuai stadia dan kebutuhan tanaman (Buresh 2007). Perubahan ini mengharuskan pemberian pupuk berbeda dosis antar lokasi, musim tanam, dan varietas yang digunakan. Pemupukan spesifik lokasi memberi peluang untuk meningkatkan hasil per unit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk, dan meningkatkan efisiensi agronomi pupuk (Zaini 2012). Teknologi Pemetaan Status Hara P dan K Tanah Peta status hara menggambarkan dan memberikan informasi tentang sebaran dan luasan status hara dalam suatu wilayah. Dari peta tersebut dapat diketahui berapa luas tanah yang mempunyai status hara rendah, sedang, tinggi, dan lokasinya. Peta status hara tanah skala 1: dapat digunakan sebagai dasar alokasi pupuk di tingkat provinsi, sedangkan peta status hara tanah skala 1: dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan tingkat kecamatan (Sofyan et al. 2004). Sebagian besar lahan sawah di Indonesia berstatus P sedang dan tinggi, sedangkan yang berstatus P rendah hanya 17% (Tabel 2). Tabel 2. Status hara P tanah sawah skala 1: di beberapa pulau di Indonesia. Pulau Status hara P ( 000 ha) Rendah Sedang Tinggi Total Jawa Sumatera Kalimantan Selatan Bali Lombok Sulawesi Total Sumber: Sofyan et al

7 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO Kalium merupakan hara mikro ketiga yang dapat menjadi kendala bila hasil panen diangkut terus-menerus dan jerami tidak dikembalikan ke tanah. Pada lahan sawah yang digenangi selama pertumbuhan tanaman, ketersediaan K relatif tinggi karena perubahan dan pergerakan K terjadi secara cepat. Air irigasi yang mengandung K dan pengembalian jerami yang mengandung K cukup tinggi dapat memperkecil kemungkinan lahan sawah kahat K. Luas lahan sawah yang berstatus K rendah hanya 12% (Tabel 3). Teknologi Petak Omisi Petak Omisi atau minus satu unsur hara terdiri atas empat petak yaitu: (1) petak 0 N, yaitu petakan yang diberi pupuk Tabel 3. Status hara K tanah sawah skala 1: di beberapa pulau di Indonesia. Pulau Status hara K ( 000 ha) Rendah Sedang Tinggi Total Jawa Sumatera Kalimantan Selatan Bali Lombok Sulawesi Total P dan K tanpa N, (2) petak 0 P, yaitu petakan yang diberi pupuk N dan K tanpa P, (3) petak 0 K, yaitu petakan yang diberi pupuk N dan P tanpa K, dan (4) petak NPK yaitu petakan yang diberi pupuk NPK (Abdulrachman et al. 2003). Pasokan hara asli tanah adalah jumlah hara tertentu yang tersedia dalam tanah yang berasal dari segala sumber (misalnya tanah, sisa tanaman, air irigasi), kecuali pupuk anorganik yang diberikan ke tanah, yang tersedia bagi tanaman selama musim tanam (Dobermann and Fairhurst 2000). Indikator pasokan hara dalam tanah yang praktis adalah hasil tanaman pada kondisi hara terbatas, yang dapat diukur dari hasil gabah pada petak omisi (misalnya hasil dengan keterbatasan N pada petak omisi yang dipupuk P dan K, tetapi tidak dipupuk N) (Abdulrachman et al. 2003). Teknologi PHSL Hasil penelitian PHSL telah dipublikasikan oleh Buresh et al. (2006) dan Buresh et al. (2012) yang mengemukakan bahwa penggunaan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi berpotensi meningkatkan hasil gabah sekitar 400 kg/ha/musim tanam. Hasil uji lapangan di delapan provinsi menunjukkan, dibandingkan pemupukan cara petani (FFP), penggunaan rekomendasi PHSL meningkatkan hasil gabah dari 200 kg/ha di Jawa sampai 600 kg/ha di luar Jawa serta meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 1,1 juta di Jawa sampai Rp 2 juta di luar Jawa (Gambar 1). Sumber: Sofyan et al Hasil gabah (kg/ha) Keuntungan usahatani (Rp/ha) 6,9 PHSL 6,7 Cara petani Jumlah petani: Jawa = 75 Luar Jawa = ,0 4, Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa Gambar 1. Rata-rata hasil gabah dan keuntungan usahatani padi dari penggunaan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012). 4

8 ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH Pupuk N Pupuk P Pupuk K PHSL Cara petani PHSL Cara petani PHSL Cara petani Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa Gambar 2. Penghematan penggunaan pupuk N, P 2 O 5, dan K 2 O dengan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012). Peningkatan hasil gabah diperoleh dengan penggunaan takaran pupuk yang lebih rendah. Dengan penggunaan PHSL rataan penggunaan pupuk N menurun dari 194 menjadi 94 kg/ha di Jawa dan dari 112 menjadi 85 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk P menurun dari 34 menjadi 20 kg/ha di Jawa dan dari 33 menjadi 26 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk K menurun dari 25 menjadi 18 kg/ha di Jawa tetapi tidak menurun di luar Jawa (Gambar 2). Temuan ini menunjukkan peningkatan produktivitas padi sawah dapat dicapai dengan pemberian pupuk yang lebih rendah yang mengindikasikan dengan teknologi PHSL mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dimana kenaikan hasil gabah per satuan pupuk makin meningkat. PENGARUH PHSL TERHADAP LINGKUNGAN Pemakaian pupuk urea di tingkat petani seringkali melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah kg/ ha, tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk urea kg/ha (Buresh et al. 2012). Penggunaan pupuk secara berlebihan karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea sebagai sumber hara N mutlak diperlukan, sementara sumber hara lainnya seperti P dan K merupakan pupuk pelengkap. Dari total pupuk urea yang diberikan hanya 50% yang dapat diserap oleh tanaman, sedangkan sisanya hilang karena tercuci maupun menguap ke udara. Emisi gas N 2 O di lahan sawah meningkat nyata dengan semakin tingginya takaran pupuk N (Engel et al. 2010; Weller et al. 2015). Terbentuknya N 2 O dipicu oleh kondisi hara N yang berlebihan di tanah pada kondisi tidak jenuh air (Sander et al. 2014). Keuntungan penerapan PHSL di antaranya menekan secara langsung emisi gas N 2 O karena pemberian pupuk N sesuai waktu dan jumlahnya. Pemberian N yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mengurangi kelebihan sisa N dalam tanah (Gaihre et al. 2014). DISEMINASI REKOMENDASI PEMUPUKAN SPESIFIK LOKASI Untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat desa, skala usaha petani yang tidak memadai menjadi faktor pembatas. Pendataan usahatani oleh Badan Pusat Statistik (BPS 2010) pada tahun 2009 menunjukkan kondisi pemupukan padi saat ini, di mana 53,6% kepemilikan lahan sawah tergolong kecil dari 0,5 ha dan 8,2% dari 15 juta rumah tangga petani tidak menggunakan pupuk. Kondisi kepemilikan lahan sawah yang kecil, menyebabkan manajemen pengelolaan lahan beragam antarpetani maupun antarhamparan sawah. Kondisi ini memerlukan teknologi yang tepat guna dan spesifik lokasi untuk usahatani lahan sawah. Faktor kunci dalam peningkatan produksi padi nasional adalah air irigasi, varietas unggul, dan pupuk. Tidak seperti penyebaran varietas unggul baru, adopsi 5

9 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO teknologi pemupukan spesifik lokasi berjalan sangat lambat (Erythrina dan Zaini 2013, Erythrina et al. 2013). Di lain pihak, pupuk merupakan biaya produksi kedua terbesar dalam usahatani padi. Bila pupuk diberikan terlalu sedikit, terlalu banyak, atau pada waktu yang tidak tepat, maka tanaman tidak memberikan hasil yang tinggi sehingga tidak meningkatkan pendapatan petani. Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan beberapa alat atau piranti untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk pada padi sawah. Pemupukan P dan K berdasar hasil Perangkat Uji Tanah Sawah (soil test kit) (Setyorini dan Abdulrachman 2008) atau Petak Omisi (Abdulrachman et al. 2003), peta status hara P dan K (Sofyan et al. 2004) dan Kalender Tanam (Badan Litbang Pertanian 2014). Rekomendasi pemupukan PHSL padi sawah yang dapat diakses melalui situs web nm/id diresmikan penggunaannya oleh Menteri Pertanian pada Januari 2011 di Jakarta. Teknologi PHSL dapat didiseminasikan melalui dua cara yaitu: (1) Berbasis Web. Teknologi ini ditujukan untuk teknisi BPTP dan para penyuluh pertanian yang kantor BPPnya dilengkapi dengan fasilitas komputer dan internet. Dalam hal ini, penyuluh dapat mengakses untuk menginput data dan outputnya adalah rekomendasi pupuk dalam bentuk tercetak, dapat diberikan kembali ke masingmasing petani. (2) Berbasis Android. Teknologi ini juga ditujukan untuk penyuluh pertanian maupun petani yang mempunyai telepon pintar (smart phone) dengan fitur Android. Menggunakan telepon pintar, penyuluh pertanian mendatangi dan mewawancarai para petani secara offline. Setelah semua pertanyaan terjawab, informasinya dapat disimpan dalam telepon pintar tersebut. Bila telah terdapat signal ke internet, rekomendasi pemupukan dapat dikirimkan ke masingmasing telepon seluler petani melalui pesan sms. PHSL SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RDKK Menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI, No. 15/M- DAG/PER/4/ 2013, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok tani (RDKK) adalah perhitungan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi yang disusun kelompok tani berdasarkan luasan area yang diusahakan petani anggota kelompok tani dengan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk penyelenggaraan pertanian. RDKK disusun oleh PPL, kemudian digabung pada tingkat kecamatan oleh GAPOKTAN. Dokumen RDKK digunakan sebagai penyusun kebutuhan pupuk bersubsidi mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsi kemudian diteruskan ke Kementerian Pertanian. Penelitian lapangan menunjukkan RDKK tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuk (Zaini 2012). Penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk yang meliputi tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Teknologi pemupukan spesifik lokasi,baik yang menggunakan peralatan seperti Perangkat Uji Tanah Sawah atau Peta status hara P dan K maupun piranti lunak seperti Kalender Tanam dan PHSL, dapat digunakan sebagai alat bantu penyusunan RDKK. Dengan cara ini dapat diperhitungkan kebutuhan pupuk, baik berdasarkan individu petani maupun kelompok tani. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer, printer, dan modem serta melatih para penyuluh pertanian di setiap Balai Penyuluhan Pertanian untuk bisa mengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat proses alih teknologi ini. KESIMPULAN 1. Dengan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi, penggunaan pupuk oleh petani dapat lebih rasional sesuai kebutuhan tanaman sekaligus meningkatkan produksi dan pendapatan petani. 2. Teknologi pemupukan spesifik lokasi, baik berupa peralatan maupun piranti lunak, dapat digunakan sebagai alat bantu penyusunan RDKK. 3. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman, S., C. Witt, dan T. Fairhurst Petunjuk teknis pemupukan spesifik: implementasi petak omisi. Kerjasama IRRI, Balai Penelitian Tanaman Padi dan PPI/PPIC. Singapore. 33 hlm. Adiningsih, J.S., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A.M. Fagi Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Hlm Prosiding Lokakarya 6

10 ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 25 November Badan Litbang Pertanian Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 18 hal. Badan Pusat Statistik (BPS) Produktivitas padi kat=3&id_subyek=53&notab=0. 09 Oktober Badan Pusat Statistik (BPS) Pendataan usaha tani padi, jagung, dan kedelai, Badan Pusat Statistik. Jakarta. Buresh, R. J Fertile progress. Rice today. July- Sept p Buresh R.J, D. Setyorini, S. Abdulrachman, F. Agus, C. Witt, I. Las, S. Hardjosuwirjo Improving nutrient management for irrigated rice with particular consideration to Indonesia. pp In Sumarno, Suparyono, Fagi AM, Adnyana MO (eds.) Rice Industry, Culture and Environment: Book 1. Proceedings of the International Rice Conference, September 2005, Bali. Buresh R.J., M.F. Pampolino, and C. Witt Fieldspecific potassium and phosphorus balances and fertilizer requirements for irrigated rice-based cropping systems. Plant Soil. 335: Buresh, R.J., Z. Zaini, M. Syam, S. Kartaatmadja, Suyamto, R. Castillo, J. dela Torre, P.J. Sinohin, S. S. Girsang, A. Thalib, Z. Abidin, B. Susanto, M. Hatta, D. Haskarini, R.Budiono, Nurhayati, M. Zairin, D. W. Soegondo, M. van den Berg, H. Sembiring, M. J. Mejaya, and V. B. Tolentino Nutrient manager for rice: a mobile phone and internet application increases rice yield and profit in rice farming. Paper presented at International Rice Seminar, ICRR, Sukamandi. Dijk, J.W. van Plant, bodem en bemesting. J. B. Wolters, Groningen, the Netherlands. Dobermann, A., and T. Fairhurst Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute and Potash & Phosphate Institute/ Potash & Phosphate Institute of Canada. Dobermann, A., C. Witt, S. Abdulrachman, H.C. Gines, R. Nagarajan, T.T. Son, P.S. Tan, G.H. Wang, N.V. Chien, V.T.K.Thoa, C.V. Phung, P. Stalin, P. Muthukrishnan, V. Ravi, M. Babu, S. Chatuporn, M. Kongchum, Q. Sun, R. Fu, G.C. Simbahan, and M.A.A. Adviento Site-spesific nutrient management for intensive rice cropping systems in Asia. Field Crops Res. 74: Engel, R.D.C. Liang, and R. Wallander Influence of urea fertilizer placement on nitrous oxide production from a silt loam soil. J. Environment Qual 39: Erythrina dan Z. Zaini Indonesia Ricecheck procedure: An approach for accelerating the adoption of ICM. Palawija 30(1):6-8. Erythrina, A R. Indrasti, dan A. Muharam Kajian sifat inovasi komponen teknologi untuk menentukan pola diseminasi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. JPPTP. 17(1): Fagi, A.M., C.P. Mamaril, dan M. Syam Revolusi hijau. Peran dan Dinamika Lembaga Riset. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. International Rice Research Institute. 34 hlm. Gaihre, Y.K., R. Wassmann, A. Tirol-Padre, G. Villegas- Pangga, E. Aquino, and B.A. Kimball Seasonal assessment of greenhouse gas emissions from irrigated lowland rice fields under infrared warming. Agriculture, Ecosystems & Environment 184: Giessen, C. van der Rice culture in Java and Madura. Central Research Institute for Agriculture, Bogor. Contribution No. 11. Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980s?. Paper on International Crop Science Congress. p Kementerian Pertanian Penyaluran pupuk bersubsidi, Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana, Kementerian Pertanian. Kesavan, P.C. and M.S. Swaminathan From green revolution to evergreen revolution: pathways and terminologies. Current Sci. 91(2): Menko Perekonomian Road map peningkatan produksi beras nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Nataatmadja, H., D. Kertosastro, dan A. Suryana Perkembangan produksi dan kebijaksanaan pemerintah dalam produksi beras. Dalam Padi, Buku 1 (Ismunadji et al. eds). Puslitbang Tanaman Pangan, hlm Rachman, B Kajian harga pupuk di lima provinsi sentra padi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sander, B.O., M. Samson, and R.J. Buresh Methane and nitrous oxide emissions from flooded rice fields as affected by water and straw management between rice crops Geoderma 235:

11 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO Setyorini, D. dan S. Abdulrachman Pengelolaan hara mineral teknologi tanaman padi. Padi: inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku 1, hlm Sofyan, A., Nurjaya, dan A. Kasno Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan. Dalam: Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Hlm Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Weller, S., D. Kraus, K.R.P. Ayag, R. Wassmann, M.C.R. Alberto, K. Butterbach-Bhal and R. Kiese Methane and nitrous oxide emissions from rice and maize production in diversified rice cropping systems. Nutr. Cycl. Agroecosyst 101: Zaini, Z Pupuk majemuk dan pemupukan hara spesifik lokasi pada padi sawah. Iptek Tanaman Pangan 7(1):1-7. 8

12 WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah (Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric Greenhouse Gases in Lowland) A. Wihardjaka dan Poniman Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Kotak Pos 5 Jakenan Pati Jawa Tengah awihardjaka@yahoo.co.id Naskah diterima 20 Januari 2015 dan disetujui diterbitkan 22 Mei 2015 ABSTRACT National food demand, especially rice increases in accordance with the rate of population growth. The availability of rice mostly is still relying on the intensification of irrigated and rainfed lowlands, through applying balance nutrients fertilization, including the management of sulfur (S). Sulfur as one of the essential nutrients, is required for protein and enzyme syntheses, amino acids formation and metabolic acticities in plants. However, the program of rice production increases is also impacting on the increase of atmospheric greenhouse gases. The objective of this paper was to discuss sulfur management on rice production system and its impact on greenhouse gas emissions in lowland rice areas in Indonesia. Sulfur fertilization of 20 kg S/ha along with the application of N, P, K fertilizers was considered adequate to provide better plant growth and to yield of 5 t grains/ha. Sulfur fertilization should be applied before active tillering phase by broadcasting on the surface of flooded lowland rice field to obtain higher efficiency of S fertilizer. Besides increasing crop yield, sulfuric fertilization on rice crop played a role in mitigating greenhouse gases emission. The sulfuric fertilizer application reduced atmospheric greenhouse gases (GHGs) release, especially CH 4 and N 2 O from lowland rice. Balance sulfur fertilization could improve yield and grain quality of rice as well as mitigated greenhouse gas emissions from the lowland rice areas. Keywords: Sulfur, paddy soil, grain yield, emission, greenhouse gas. ABSTRAK Kebutuhan pangan nasional terutama beras, terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Penyediaan beras masih mengandalkan intensifikasi lahan sawah beririgasi maupun tadah hujan melalui pemupukan berimbang, termasuk pengelolaan hara sulfur (S). Sulfur dibutuhkan untuk sintesis protein dan enzim, penyusun asam-asam amino, dan terlibat dalam aktivitas metabolisme tanaman. Di sisi lain, budidaya padi sawah dapat menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Tulisan ini membahas kontribusi pengelolaan hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya terhadap emisi gas rumah kaca pada lahan sawah di Indonesia. Pemupukan 20 kg S/ha cukup memberikan pertumbuhan dan hasil gabah 5 t/ha, bersamaan dengan pemberian pupuk N, P, K. Pupuk S yang diberikan sebelum fase anakan aktif tanaman padi dengan cara disebar pada permukaa lahan sawah tergenang meningkatkan efisiensi pemupukan. Selain meningkatkan produktivitas tanaman, pemupukan S pada tanaman padi sawah berperan dalam mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK). Pupuk yang mengandung S dapat menekan pelepasan gas rumah kaca, terutama CH 4, dan N 2 O dari lahan sawah ke atmosfer. Pemupukan S secara berimbang memperbaiki hasil dan kualitas gabah yang sekaligus sebagai upaya mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan sawah. Kata kunci: Sulfur, tanah sawah, hasil gabah, emisi, gas rumah kaca. 9

13 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO PENDAHULUAN Kebutuhan pangan nasional terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk. Padi menjadi pangan utama bagi lebih dari 90% populasi Indonesia meskipun Pemerintah telah menggalakan diversifikasi pangan. Stabilitas produksi pangan nasional didukung oleh intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, antara lain pencetakan sawah baru di luar Jawa, penggunaan masukan sarana produksi tinggi seperti benih, bahan agrokimia (pupuk dan pestisida). Namun penggunaan masukan tinggi dan intensif dapat berdampak terhadap ketidakseimbangan ekologi, terjadinya ledakan hama dan penyakit di beberapa daerah, kekahatan hara, keracunan unsur kimia, pencemaran terhadap air dan tanah, dan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (Kurnia 2008). Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu sumber emisi GRK di sektor pertanian adalah budidaya padi sawah sebagai sumber metana (CH 4 ) dan dinitrogen oksida (N 2 O) (Johnson et al. 2007). Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara mandiri pada tahun 2020, dengan target penurunan emisi GRK dari sektor pertanian sebesar 0,008 Giga ton setara CO 2 (Balitbangtan 2011). Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi GRK. Salah satu kegiatan yang mampu menurunkan emisi GRK di sektor pertanian adalah penerapan teknologi budidaya tanaman, antara lain penggunaan pupuk yang mengandung sulfur (S) (Sasa et al. 2000). Intensifikasi dan peningkatan produksi tanaman padi nyata meningkatkan penyerapan hara dari dalam tanah, serta diprediksi meningkatkan laju emisi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (van Groenigen et al. 2013). Di beberapa daerah di Indonesia, petani padi umumnya menggunakan pupuk NPK dengan takaran relatif tinggi, misalnya petani padi di Jawa yang umum menggunakan pupuk urea lebih dari 300 kg/ha (Chaerun dan Anwar 2008). Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara unsur hara yang diambil tanaman dan hara yang diberikan, sehingga memacu penurunan kesuburan tanah dan kekahatan hara tanaman tertentu, termasuk sulfur dan seng (Mamaril et al. 1991, Zuzhang et al. 2010). Dalam upaya peningkatan produksi padi, perhatian lebih besar seyogianya diberikan kepada pengelolaan hara berimbang, termasuk sulfur dan hara-hara esensial selain NPK. Dalam beberapa dekade terakhir jarang diteliti penggunaan hara sulfur bagi tanaman padi. Referensi yang berkaitan dengan pemupukan hara S umumnya terbit pada tahun an. Tulisan ini membahas kontribusi hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya terhadap mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawah di Indonesia. PERAN SULFUR DALAM BUDIDAYA TANAMAN Sulfur dalam Tanaman Sulfur merupakan penyusun asam-asam amino esensial (sistin, sistein, methionin) yang terlibat dalam pembentukan klorofil, dan dibutuhkan dalam sintesis protein dan struktur tanaman (Mengel and Kirby 1987). Sulfur juga sebagai penyusun koenzim A dan hormon biotin dan thiamin yang dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat (Dobermann and Fairhurst 2000). Kahat S menghambat sintesis protein dan menurunkan kualitas produk tanaman. Lebih lanjut, asam-asam amino yang tidak mengandung S seperti asparagin, gluitamin, dan arginin terakumulasi pada tanaman kahat S yang berakibat pada buruknya aktivitas fotosintesis dan gula yang dihasilkan (Mamaril 1994). Kahat S pada tanah sawah tergenang terjadi akibat konversi sulfat menjadi fero sulfida tidak larut. Ini menjelaskan mengapa banyak petani mendrainase lahannya dengan maksud untuk mengatasi masalah tersebut dan merangsang pertumbuhan tanaman. Melalui drainase, sulfida (bentuk S tereduksi) dioksidasi menjadi sulfat (bentuk S teroksidasi) yang tersedia bagi tanaman (Mamaril et al.1976). Tanaman padi yang tumbuh pada tanah kahat S dalam percobaan rumah kaca mempunyai kandungan methionin yang lebih rendah dalam gabah daripada yang tumbuh pada tanah cukup S (Ismunadji and Miyake 1978). Hasil penelitian Juliano et al. dalam Mamaril (1995) menunjukkan kandungan sistein dan methionin dalam protein beras merah meningkat dengan pemberian S pada tanah kahat S di Bangladesh dan Indonesia. Kandungan sistein dan methionin rendah dalam protein teramati pada percobaan pot pada beras cokelat dengan nisbah N:S sebesar 16:25. Ini menjelaskan kandungan S dalam asam amino pada protein beras hanya terdeteksi bilamana ada kelebihan serapan N (Mamaril et al. 1991). Pada percobaan pot dengan menggunakan contoh tanah Grumusol dari Ngale Jawa Timur dengan kandungan sulfur rendah, efektivitas pupuk ZA sama dengan K 2 SO 4 dalam meningkatkan kandungan S tanaman padi pada batas normal. Tanaman tanpa pupuk S hanya mengandung 0,10-0,13% S, yang merupakan nilai batas kritis (Ismunadji et al. 1975). Hara S kurang mobil dalam tanaman dibanding nitrogen, sehingga kahat S cenderung terlihat pertama 10

14 WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI kali pada daun yang muda. Kahat S menyebabkan reduksi kandungan sistein dan methionin pada tanaman padi (Dobermann and Fairhurst 2000). Gejala kahat S pada tanaman padi umumnya terlihat dari menguningnya daun, tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, pembungaan tertunda, jumlah gabah hampa tinggi, dan perpanjangan akar terhambat (Yoshida and Chaudhry 1979). Menurut Jones et al. (1982), gejala kekuningan tanaman tidak seragam dan biasanya terjadi selama tahap pertumbuhan awal (dua minggu setelah tanam hingga fase anakan maksimum) pada kondisi tanaman kahat S sedang. Pada fase anakan maksimum, gejala kuning mungkin hilang, tanaman cenderung pulih, menjadi lebih hijau, namun jumlah anakan berkurang. Kahat S pada tanaman padi sering dilaporkan pada awal abad ke-21. Pada tahun 1970-an, penyakit padi yang disebut mentek disebabkan oleh kahat S seperti yang terjadi di Ngale dan Magelang (Ismunadji et al. 1975). Mengapa kahat S pada tanaman padi tidak teramati hingga kini. Hal ini disebabkan karena pupuk yang mengandung S umumnya diberikan lebih awal. Pupuk beranalisis tinggi dan bebas S seperti urea dan TSP telah digunakan secara meluas. Penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi, peningkatan intensitas tanam, penurunan penggunaan pestisida dan fungisida mengandung S, pengendalian emisi SO 2 lebih besar pada area industri, penurunan pendaurulangan biomassa dan penurunan pelepasan S tanah juga mendukung terjadinya peningkatan kahat S (Jones et al. 1982, Morris 1988). Serapan Sulfur oleh Tanaman Padi 2- Tanaman umumnya menyerap S dalam bentuk SO 4 dari tanah. Namun, ada sejumlah bukti yang (menunjukkan tanaman juga dapat menggunakan SO 2 dari atmosfer (Mengel and Kirby 1987). Komponen-komponen pool S 2- dalam tanah yang memasok tanaman padi adalah S-SO 4 dari larutan tanah dan yang dijerap partikel tanah, sedangkan bentuk ester-sulfat tersedia dalam jumlah yang kecil. Banyaknya hara S yang diserap tanaman padi bergantung pada banyak faktor, di antaranya varietas, jumlah hara S dan N yang diberikan dan ketersediaan S di tanah, pengelolaan air, dan status hara lainnya di tanah. Sulfur total yang terangkut oleh tanaman padi berkisar antara 7,8-16,8 kg S/ha. Pada ekosistem sawah tadah hujan, serapan S total tanaman padi antarmusim tanam sangat beragam, di mana serapannya pada sistem gogorancah (padi musim hujan) lebih tinggi daripada pada sistem walik jerami (padi musim kering) seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil gabah yang tinggi tidak selalu diikuti oleh jumlah S total yang diangkut tanaman. Bagian hara S yang diambil tanaman lebih banyak terdapat jerami. Tabel 1. Serapan S total padi sawah tadah hujan di Jakenan, Jawa Tengah. Hasil Total Unsur S yang Pertanaman* gabah serapan S terangkut per (t/ha) (kg/ha) ton gabah (kg) Gogorancah 4,9 11,5 2,34 (Musim Hujan) Walik Jerami 3,1 7,8 2,52 (Musim Kemarau) * Rata-rata dari tiga musim tanam Sumber: Mamaril (1994) Percobaan rumah kaca yang dilaksanakan di Filipina menunjukkan jumlah hara S yang diambil tanaman padi berasal dari pupuk S yang diberikan berkisar dari 7,2-27,7%, bergantung pada tipe tanah dan takaran S yang diberikan (Cacnio and Mamaril 1990). Respon Tanaman Padi terhadap Sulfur Masukan S kebanyakan berasal dari penggunaan ammonium sulfat (24% S) atau superfosfat tunggal (12% S). Sulfur yang diberikan dengan takaran kg S/ha relatif cukup untuk memperoleh hasil yang tinggi, namun keragaman tanggap tanaman bergantung pada tingkat kekahatan S, potensi hasil varietas, interaksi hara, takaran yang diberikan, dan efisiensi penggunaan S (Dobermann and Fairhurst 2000). Peningkatan hasil ratarata dari 28 lokasi di Sulawesi Selatan akibat pemberian hara S adalah 19% (Blair et al. 1979). Pada percobaan multilokasi di Sulawesi Selatan, efisiensi penggunaan S berkisar antara kg gabah/kg S, berbeda dengan efisiensi penggunaan S di tanah sawah tadah hujan di Jakenan, Jawa Tengah yang hanya kg gabah/kg S (Mamaril dalam Dobermann et al. 1998). Di beberapa daerah, tanggap S tidak konsisten. Di Jakenan, Jawa Tengah, tanggap terhadap S konsisten selama musim kering, tetapi tidak pada tanaman musim hujan yang menghasilkan gabah lebih tinggi di lokasi yang sama (Mamaril dalam Dobermann et al. 1998). Besarnya tanggap padi terhadap pemberian S bergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) ketersediaan S dalam tanah, air irigasi dan hujan, (2) budi daya tanaman, (3) sumber S, (4) takaran, waktu dan metode pemberian, (5) pengelolaan air, dan (6) musim (Mamaril 1994). Tanggap tanaman padi terhadap hara S yang tidak konsisten dapat disebabkan oleh sumber S alami lain seperti air hujan, air irigasi, dan SO 2 di atmosfer. Konsentrasi S dalam air hujan sangat beragam dan umumnya makin turun dengan meningkatnya jarak lokasi budi daya dari pantai atau kawasan industri (Lefroy et al. 1992). Yoshida (1981) melaporkan bahwa kandungan S 11

15 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO dalam air sungai dan irigasi di beberapa negara berkisar antara 0,2-4,7 ppm dengan rata-rata 4,1 ppm. Menurut Ismunadji (1982), 44% air irigasi yang diambil di Jawa mengandung kurang dari 2 ppm S. Yoshida dan Chaudhry (1979) menegaskan bahwa 2,7 ppm S dalam air irigasi cukup untuk memasok kebutuhan tanaman padi dengan asumsi tanaman membutuhkan 100 cm air hingga masak. Lebih lanjut, Lefroy et al. (1992) melaporkan takaran deposisi S dalam air hujan di negara penghasil padi berkisar antara 0,4-2,9 ppm S/m 2. Daerah yang memiliki curah hujan relatif tinggi mempunyai kandungan S tinggi, sehingga mengurangi kahat S. Pada kondisi sawah tadah hujan dengan tekstur lempung pasir di Jawa Tengah, pemberian 20 kg S/ha ammonium sulfat meningkatkan hasil rata-rata 0,55 t/ha selama tiga musim tanam (Gambar 1). Peningkatan hasil diperoleh dari penggunaan ammonium sulfat selama fase awal pertumbuhan tanaman. Namun tanggap S di tempat yang sama hanya teramati selama musim tanam kedua di bawah kondisi tergenang. Tanaman padi gogorancah tidak tanggap terhadap pemberian pupuk S. Pupuk ZA yang diberikan 20 hari setelah padi gogorancah tumbuh tidak efektif meningkatkan hasil gabah. Padi gogorancah ditanam saat tanah tidak tergenang sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara S bagi tanaman. Menurut Nearpass dan Clark dalam Mamaril (1995), penggenangan tanah sawah menurunkan ketersediaan hara S bagi tanaman, sehingga tanggap terhadap pemupukan yang mengandung S. Rendahnya ketersediaan hara S di tanah tergenang disebabkan oleh reduksi ion sulfat menjadi sulfida. Pengelolaan Pupuk Sulfur di Lahan Sawah Besarnya tanggap S juga dipengaruhi oleh pengelolaan pupuk S, seperti sumber, takaran, waktu dan metode pemberian. Oleh karena tanaman umumnya menyerap 2- S-SO 4, bahan yang mengandung bentuk S tersebut seharusnya memilikiki efektivitas yang sama. Bahan yang mengandung S lain seharusnya juga efektif sepanjang dapat membuat kondisi tanah menguntungkan bagi 2- transformasi sulfur menjadi bentuk S-SO 4, terutama selama pada tahap awal pertumbuhan tanaman padi. Beberapa kajian lapangan menunjukkan bahwa ammonium sulfat (ZA) dan gipsum sama-sama efektif sebagai sumber S (Mamaril and Gonzales 1989, FAO 1989). Efektivitas S-elemen (S o ) dan bahan lain yang mengandung S o kurang konsisten dibandingkan dengan 2- bahan yang mengandung S-SO 4. Blair (1987) serta Mamaril dan Gonzales (1988) melaporkan bahwa S o sama-sama efektif seperti ZA, tetapi S-bentonit yang mengandung S o dilaporkan tidak efektif. Lebih lanjut, bahan S o yang diberikan 20 hari sebelum tanam, menurun efektivitasnya (Blair et al. 1993). Sulfur tunggal seperti ZA juga tidak efektif pada percobaan lapang di Jawa Tengah (Wihardjaka et al. 1999). Pemberian ammonium sulfat meningkatkan hasil gabah 5,4% dibanding S o. Sebaliknya, bahan lain yang mengandung S o dalam urea S (US) efektif meskipun efektivitasnya lebih rendah daripada ZA, baik pada kondisi rumah kaca maupun di lapangan (Mamaril and Gonzales 1988). Dalam beberapa laporan disebutkan bahwa pemupukan S dengan takaran kg S/ha memberikan hasil gabah terbaik (FAO 1989), di mana setiap ton hasil gabah, tanaman menyerap rata-rata 2,3 kg S/ha. Menurut Cacnio dan Mamaril (1990), pemberian pupuk S dengan takaran 20 kg S/ha cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi menghasilkan gabah 5 t/ha. Semua sumber pupuk S sama efektifnya sepanjang tersedia bagi tanaman (Blair et al. 1979). Hasil penelitian 6 Padi gogorancah 6 Padi walik jerami Hasil gabah (t/ha) Hasil gabah (t/ha) Kontrol ZA S-elemen Kontrol ZA S-elemen 5 HST 20 HST 35 HST 5 HST 20 HST 35 HST Gambar 1. Pengaruh sumber dan waktu pemberian pupuk S terhadap hasil padi IR64 pada lahan sawah tadah hujan, Jakenan, Jawa Tengah. Rata-rata dari 3 musim tanam (Wihardjaka dan Suprapto 1997, Wihardjaka et al.1999). 12

16 WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI di Sulawesi Selatan menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh sumber pupuk S terhadap hasil gabah (Tabel 2). Pada satu lokasi, pemberian S-elemen 20 hari setelah tanam kurang menguntungkan dibanding diberikan pada saat tanam. Oksidasi awal S-elemen dan reduksi menjadi H 2 S pada 20 hari sebelum tanam menyebabkan penurunan hasil gabah (Blair et al. 1979). Pemberian hara S mempengaruhi anakan tanaman padi. Dengan demikian pupuk S seharusnya diberikan antara awal fase pertumbuhan dan sebelum fase anakan maksimum (Dobermann and Fairhurst 2000, Singh et al. 2012). Pada fase anakan aktif, tanaman padi lebih aktif menyerap S. Jika S kurang tersedia pada awal pertumbuhan tanaman maka jumlah anakan berkurang dan hasil padi akan turun (Singh et al. 2012). Bilamana hara S terbatas, penambahan pupuk nitrogen tidak mengubah hasil dan kandungan protein dalam tanaman (Zuzhang et al. 2010). Kajian di Filipina dengan tiga waktu pemberian S berbeda memberikan keragaman dalam kemasakan tanaman padi (Mamaril et al. 1991). Pemberian S o (Selemen) saat 30 HST pada tanaman padi varietas IR66 berumur pendek tidak memberikan banyak manfaat, namun tanggap S nyata tercapai bilamana gipsum diberikan 30 HST. Padi berumur genjah seperti IR64 memberikan tanggap yang nyata terhadap S, baik dalam bentuk S o maupun gipsum setelah 30 HST. Pada varietas berumur dalam seperti IR72, tanaman berumur 30 HST masih termasuk periode antara anakan aktif dan anakan maksimum, dimana tanaman masih tanggap terhadap pemberian S. Pada percobaan selama tiga tahun (enam musim tanam) di Jawa Tengah menggunakan varietas IR64 umur genjah (110 hari), pemberian ZA pada 35 HST menghasilkan gabah yang sama antara sistem walik jerami dengan perlakuan kontrol (0S). Pemberian ZA pada 20 HST masih menghasilkan gabah padi walik jerami lebih tinggi daripada kontrol (Gambar 1). Tabel 2. Hasil padi pada lahan sawah dengan sumber S yang berbeda di Sulawesi Selatan. Perlakuan Hasil gabah (t/ha) Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Kontrol 0,96 a 3,88 a 3,33 a Ammonium sulfat 2,72 b 5,21 b 4,72 c Gipsum 2,62 b 4,85 b 4,61 c S-elemen, saat tanam 2,68 b 5,25 b 4,55 c S-elemen, 20 HST - - 4,11 b Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT. HST = hari setelah tanam Sumber: Blair et al. (1979) Tidak seperti N, pupuk S seharusnya diberikan pada permukaan tanah untuk memperoleh efisiensi pemupukan 2- lebih tinggi. Pemberian hara S-SO 4 pada lapisan reduktif tanah sawah tergenang dimungkinkan terjadi reduksi menjadi sulfida dan dipresipitasikan oleh logam berat seperti Fe, sehingga kurang tersedia bagi tanaman padi. Sulfur yang diberikan pada lapisan tanah reduksi juga dapat divolatilisasi sebagai H 2 S. Demikian pula jika S o dibenamkan atau diberikan pada zona reduktif tidak akan dioksidasi dengan cepat dan menjadi tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap S lebih efisien jika S o diberikan pada zona reduktif karena sulfur dapat dioksidasi menjadi sulfat pada perakaran tanaman padi dan sulfat yang terbentuk kemungkinan tercuci relatif rendah (He et al. 1994). Menurut Blair (1987), pembenaman S o bubuk halus ke dalam tanah tergenang tidak efektif seperti pemberian pada permukaan dalam meningkatkan hasil biomassa kering dan serapan S pada lima varietas padi yang diuji (IR20, IR2755, B4-62, IR26, Mudgo). Disimpulkan bahwa hara S dan N seharusnya tidak dikombinasikan dan diterapkan dengan cara yang sama di tanah sawah tergenang untuk memperoleh efisiensi yang tinggi dari penggunaan kedua hara tersebut, terutama bilamana tanah terlalu reduktif. Di beberapa lokasi pengujian, pemberian S dalam bentuk amonium sulfat selain mengatasi kekahatan S juga sekaligus dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan hasil padi sawah dan padi gogorancah masing-masing 10,8% dan 52,9% dibanding tanpa S (Bastari 1996). Pemberian hara S dalam ramuan pupuk NPK dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Untuk memperoleh 1 kg gabah kering giling, takaran pupuk NPKS lebih rendah dibandingkan dengan pupuk NPK saja (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata jumlah pupuk yang digunakan untuk memperoleh 1 ton gabah kering giling pada beberapa lokasi di Indonesia. Jumlah pupuk yang Lokasi Tanaman digunakan (kg) N P K S N P K Jember Padi sawah Bulukumba Padi sawah Sidrap Padi sawah Polmas Padi sawah Sampang Padi gora Bangkalan Padi gora Limapuluh Koto Padi gora Lampung Selatan Padi gora Gowa Padi gora Takalar Padi gora Kampar Padi gora Gora = gogorancah Sumber: Bastari (1996) 13

17 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO Peran Sulfur dalam Mitigasi Perubahan Iklim Pada dekade terakhir, isu lingkungan yang menjadi perhatian dunia adalah pemanasan global dan perubahan iklim akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Budi daya padi sawah merupakan salah satu sumber pembentukan gas metana (CH 4 ) dan dinitrogen oksida (N 2 O). Kedua gas tersebut bersifat radiaktif di atmosfer bersama-sama CO 2 (Partohardjono 2002). Gas metana menyokong 18-25% fenomena pemanasan global, di mana 25-50% dari total emisi metana global berasal dari lahan sawah (Bouman dalam Setyanto et al. 1997). Organisme pengoksidasi metana dapat menyebabkan tanah-tanah tertentu sebagai rosot (sink) metana (IPCC 1992). Gas dinitrogen oksida yang mempunyai waktu tinggal 150 tahun selain menyebabkan pemanasan global, juga dapat merusak lapisan ozon di stratosfer (Sasa et al. 2000, Johnson et al. 2007). Emisi metana dari lahan sawah tergenang adalah Tg CH 4 /tahun atau mendekati 10% dari total emisi metana global (Dubey 2005). Pasokan air terkontrol dan persiapan lahan intensif di lahan sawah tergenang memberikan kontribusi terhadap perbaikan pertumbuhan padi yang menghasilkan dan emisi CH 4 lebih besar. Teknik perbaikan pengelolaan air dapat mengurangi emisi dari lahan sawah, tetapi pengelolaan praktis yang dapat dikerjakan untuk mengurangi emisi CH 4 tanpa meningkatkan kehilangan N dan mengurangi hasil belum dikembangkan. Pemupukan nitrogen yang mengandung S seperti ammonium sulfat yang diberikan tiga tahap (1/3 porsi sebelum tanam, 1/3 porsi pada fase anakan aktif, dan 1/ 3 porsi pada fase primordia bunga) dapat mengurangi emisi metana berkisar antara 43-61%, sedangkan urea tablet yang dibenamkan ke dalam lapisan reduksi tanah sawah menurunkan emisi metana sebesar 22-61% (Setyanto et al. 1999) (Tabel 4). Pemupukan ZA dapat menggantikan pupuk urea pril pada padi sawah karena mampu mengurangi metana sebesar 28 kg CH 4 /ha dan meningkatkan hasil gabah 7,5%. Menurut Schultz et al. dalam Setyanto et al. (1999), pupuk N yang mengandung S menyebabkan terjadinya persaingan antara bakteri penghasil metana (metanogen) dan bakteri pereduksi sulfat dalam memperoleh hidrogen, sehingga menghambat pembentukan metana. Terbentuknya ion sulfit sebagai hasil samping dari hidrolisis ZA memperlambat penurunan potensial redoks tanah akibat terjadinya proses oksidasi sulfit menjadi sulfat, sehingga Eh tanah cenderung lebih tinggi. Bagi bakteri penghasil metana, sulfit dan sulfat bersifat toksik (Jacobsen dalam Setyanto et al. 1999). Pemupukan ZA di lahan sawah mereduksi emisi metana 25-36% (Jain et al. 2004). Sebanyak 60-70% dari pupuk N yang diberikan hilang sebagai N dalam bentuk gas, terutama melalui proses volatilisasi NH 3 dan denitrifikasi. Menurut Byrnes (1990), hampir 90% emisi gas N 2 O berasal dari tanah melalui reaksi biologi nitrifikasi-denitrifikasi selama periode tanah basah-kering secara bergantian. Pada sistem sawah irigasi dengan kontrol air yang tepat, emisi N 2 O biasanya kecil, kecuali jika pupuk N diberikan dalam jumlah yang berlebihan pada tanah sawah yang subur. Pada tanah berdrainase buruk, pelumpuran tanah sawah, nitrifikasi rendah berlangsung dan kehilangan NO 3 tercuci biasanya < 10% dari pupuk N yang diberikan (Dobermann and Fairhurts 2000). Peningkatan takaran pupuk N berpotensi mengakibatkan terjadinya kehilangan N lebih besar tanpa pengelolaan yang tepat. Rendahnya efisiensi pemupukan nitrogen menyebabkan pelepasan N dalam bentuk gas, terutama N 2 O menjadi tinggi. Namun pemberian pupuk N yang mengandung sulfur dalam bentuk ZA atau S-elemen dapat menekan pelepasan gas dinitrogen oksida ke atmosfer. Pemberian S-elemen (S o ) bersamaan dengan 115 kg N/ha pada lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah menurunkan emisi gas dinitrogen oksida 45-52%, meskipun tidak nyata mempengaruhi hasil gabah (Tabel 5). Penelitian Suharsih et al. (2001) juga menunjukkan penambahan hara S pada urea pril dapat menurunkan emisi gas dinitrogen oksida (Tabel 6). Penggunaan pupuk urea yang dilapisi sulfur selain meningkatkan efisiensi Tabel 4. Emisi gas metana dan hasil gabah IR64 pada perlakuan pemberian pupuk N pada lahan sawah irigasi. Pati, Emisi gas metana (kg CH 4 /ha) Hasil gabah (t/ha) kg CH 4 /t gabah MH MK MH MK MH MK Tanpa pupuk ,15 3, Urea pril diberikan 3 tahap ,81 4, ZA diberikan 3 tahap ,68 5, Urea tablet ,62 4, ) Pupuk N diberikan dengan takaran 120 kg N/ha, MH = musim hujan, MK = musim kemarau Sumber: Setyanto et al. (1999) 14

18 WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI Tabel 5. Emisi gas dinitrogen oksida pada beberapa takaran S-elemen pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, Emisi gas N 2 O Pemupukan (kg/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) kg N 2 O/t gabah (kg S/ha) MH MK MH MK MH MK 12 0,071 0,111 3,4 3,1 0,02 0, ,056 0,100 3,2 3,2 0,02 0, ,034 0,061 3,4 3,2 0,01 0,02 MH = musim hujan, MK = musim kemarau Sumber: Sasa et al. (2000) Tabel 6. Emisi gas dinitrogen oksida pada pemberian urea dan belerang pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, Pemupukan Emisi gas N 2 O (kg/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) kg N 2 O/t gabah MH MK MH MK MH MK Urea pril 0,225 0,073 3,95 4,01 0,06 0,02 Urea pril + S 0,182 0,047 3,90 4,12 0,05 0,01 Tanpa pupuk 0,203 0,069 2,59 3,43 0,08 0,02 Takaran pupuk N dan S masing-masing 90 kg N dan 20 kg S/ha, MH = musim hujan, MK= musim kemarau Sumber: Suharsih et al. (2001) pemupukan N juga mengurangi pelepasan gas dinitrogen oksida ke udara (Sasa et al. 2000). Tantangan Penelitian Sulfur pada Padi Sawah Selain kajian transformasi dan perilaku sulfur pada lahan sawah tergenang, juga perlu dilakukan penelitian dampak kahat S terhadap sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, daerah dan gejala kekahatan S, dan diperkuat oleh pengujian tanah atau analisis jaringan tanaman. Perbaikan penggunaan metode uji tanah untuk mengungkap status S perlu diusahakan pada berbagai agroekologi tanaman padi. Terkait dengan tekanan populasi penduduk dan penurunan luas lahan untuk produksi pertanian, banyak negara menerapkan pertanian intensif dan diversifikasi untuk meningkatkan produksi pangan. Alternatif pola tanam melalui rotasi tanaman padi dengan tanaman palawija pada lahan sawah diharapkan dapat meningkatkan dinamika ketersediaan hara-hara esensial dalam tanah, termasuk S, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan sebagai pertimbangan dalam strategi pengelolaan pupuk pada tanaman berbeda yang dirotasi. Interaksi S dan hara-hara lain seperti NPK perlu mendapat perhatian lebih besar karena ketersediaan harahara tersebut dalam tanah menurun cepat, terutama pada pertanaman intensif. Kontribusi S dari sumber-sumber alami seperti hujan dan irigasi pada lingkungan tertentu juga perlu mendapat perhatian. Hara S dari sumber-sumber alami telah dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga dapat digunakan dalam menetapkan imbangan S yang sesuai untuk memperoleh produktivitas yang optimal. KESIMPULAN DAN SARAN 2-1) Efektivitas pupuk yang mengandung S-SO 4 sama dengan bahan yang mengandung S o. Pada kondisi yang menguntungkan, S o segera dapat dimanfaatkan tanaman melalui transformasi S o menjadi bentuk S- 2- SO 4 pada perakaran tanaman padi. Pemberian hara S dengan takaran 20 kg/ha bersamaan dengan pemberian pupuk lainnya (N, P, K) cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi dengan hasil gabah 5 t/ha di lokasi yang tanggap terhadap pemberian S. 2) Pupuk S disarankan untuk diberikan pada saat pertumbuhan tanaman padi antara fase anakan aktif hingga fase anakan maksimum. Pemberian S pada fase pertumbuhan anakan aktif lebih efektif diserap tanaman padi. Pemberian pupuk S disebar di permukaan tanah sawah tergenang memberikan efisiensi yang lebih tinggi daripada cara pemberian lainnya. 15

19 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO ) Penggunaan hara S sulfur seharusnya mulai dimasukkan dalam paket pemupukan tanaman produksi padi di tingkat petani. Sulfur yang diberikan dalam bentuk ZA atau S o dalam budidaya tanaman padi sawah dapat mengurangi pelepasan gas metana dan dinitrogen oksida ke atmosfer. Sulfur berperan penting dalam mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawah. Informasi emisi gas rumah kaca dari tanah sawah melalui penggunaan sulfur di Indonesia masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. 4) Uji tanah atau analisis jaringan tanaman dapat digunakan untuk diagnosis kahat S. Gejala kahat S yang terdeteksi cukup awal relatif mudah diatasi dengan menggunakan pupuk yang mengandung S, seperti urea yang diselimuti S (SCU), ZA, superfosfat tunggal, sebagai bagian dari paket pengelolaan hara terpadu dengan mempertimbangkan masukan S dari air hujan dan irigasi. DAFTAR PUSTAKA Balitbangtan Road Map Strategi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 89 p. Bastari, T Penerapan anjuran teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. pp dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Blair, G.J Nitrogen-sulfur interaction in rice. pp in Efficiency of Nitrogen Fertilizer for Rice. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Blair, G.J., E.O. Momuat, and C.P. Mamaril Sulfur nutrition of wetland rice. IRRI Res. Pap. Ser. No pp. Blair, G.J., R.D.B. Lefroy, N. Chinoim, and G.C. Anderson Sulfur soil testing. Plant Soil 156: Byrnes, B.H Environmental effects of N fertilizer use an overview. Fertilizer Res. 26: Cacnio, V.N. and C.P. Mamaril Influence of preplanting moisture regime and two sulfur sources on growth, yield and sulfur uptake of rice. The Nucleus 28: 1-2. Chaerun, S.K. and C. Anwar Dampak lingkungan penggunaan pupuk urea pada pembebanan n dan hilangnya kandungan n di sawah. Jurnal Pendidikan IPA 6(7): 1-8. Dobermann, A. and T. Fairhurst Rice: Nutrient disorders & nutrient management. PPI PPIC IRRI. Dobermann, A., K.G. Cassman, C.P. Mamaril, and J.E. Sheehy Management of phosphorus, potassium, and sulfur in intensive, irrigated lowland rice. Field Crops Res. 56: Dubey, S.K microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem: A review. Appl. Eco. Environ. Res. 3(2):1-27. FAO The sulphur newsletter No. 4. Fertilizer and plant nutrition service, FAO, Rome. He, Z.L., A.G. Odonnell, J.S. Wu, and J.K. Syers Oxidation and transformation of elemental sulphur in soils. J. Sci. Food. Agric. 65: IPCC Methane emission and oppurtunities for control: Workshop Results of Intergovermental Panel on Climate Change. JAE & EPA. September Ismunadji, M Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah. Tesis Doktor Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Ismunadji, M. and M. Miyake Sulphur application and amino acid content of brown rice. JARQ 12(3): Ismunadji, M., I. Zulkarnaini, and M. Miyake Sulphur deficiency in lowland rice in Java. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 14. Jain, N., H. Pathak, S. Mitra, and A. Bhatia Emission of methane from rice fields: A review. J. Sci. Indust. Res. 63: Johnson, J.M.F., A.J. Franzluebbers, S.L. Weyers, and D.C. Reicosky Agricultural opportunities to mitigate greenhouse gas emissions. Environmental Pollution 150: Jones, U.S., J.C. Katyal, C.P. Mamaril, and C.S. Park Wetland rice-nutrient deficiencies other than nitrogen. pp in Rice Research Strategies for the Future. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Mamaril, C.P Contribution of sulphur research on rice production in Southeast Asia. Cooperative Depagri-IRRI Program. Bogor. Mamaril, C.P Zinc and sulphur nutrition for rice. Rice Management Biotechnology. Associated Publishing Co. New Delhi. pp Mamaril, C.P., A.P. Umar, I. Manwan, and C.J.S. Momuat Sulphur response of lowland rice in South Sulawesi, Indonesia. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 22: 12p. Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales Response of lowland rice to S in the Philippines. pp in the Proceedings of the International Symposium on 16

20 WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI Sulphur for Korean Agriculture. Korean Society of Soil Science and Fertilizer, Seoul-The Sulphur Institute, Washington, D.C. Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales Agronomic effectiveness of S sources for lowland rice. pp in Proceedings of a Seminar on Sulphur Fertilizer Policy for Lowland and Upland Rice Cropping Systems in Indonesia. ACIAR Proceding No. 29. Australia. Mamaril, C.P., P.B. Gonzales, and V.N. Cacnio Sulfur management in lowland rice. Paper presented during the International Symposium on the Role of Sulphur, Magnesium and Micronutrients in Balanced Plant Nutrition held at Chengdu, Sichuan, Proc. on April 3-10, Mengel, K. and E.A. Kirby Principles of plant nutrition. 4 th Edition. International Potash Institute, Bern, Switzerland. Morris, R.J Sulphur the fourth major plant nutrient. pp in the Proceedings of the International Symposium on Sulphur for Korean Agriculture. Korean Society of Soil Science, Seoul- The Sulphur Institute, Washington, D.C. Kurnia, U Strategi pengelolaan lingkungan pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(1): Lefroy, R.D.B., C.P. Mamaril, G.J. Blair, and P.B. Gonzales Sulphur cycling in rice wetlands. pp in Howard, R.W., J.W.B. Steward, M.V. Ivanov (Eds.). Sulphur Cycling on the Continents. Wiley. New York. Partohardjono, S Pengelolaan lahan sawah irigasi dalam menekan emisi gas metan. pp dalam Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Sasa, I.J., Mulyadi, and S. Partohardjono Kombinasi urea tablet dan belerang pada padi tanam benih langsung: Upaya mereduksi gas N 2 O di lahan sawah. Penelitian Pertanian 19(3): Setyanto, P., A.K. Makarim, and A.M. Fagi Methane emission from rainfed rice field at Jakenan, Central Java as affected by organic matter and water condition. Penelitian Pertanian 16(1): Setyanto, P., Suharsih, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim Pengaruh pemberian pupuk anorganik terhadap emisi gas metan pada lahan sawah. pp dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Puslitbangtan. Bogor. Singh, A.K., Manibhushan, M.K. Meena, and A. Upadhyaya Effect of Sulphur and Zinc on Rice Performance and Nutrient Dynamics in Plants and Soil of Indo Gangetic Plains. Journal of Agricultural Science 4(11): Suharsih, P. Setyanto, dan T. Sopiawati Pengaruh penggunaan pupuk N lambat urai terhadap emisi gas N 2 O pada lahan sawah tadah hujan. pp dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. van Groenigen, K.J., C. van Kessel, and B.A. Hungate Increased greenhouse-gas intensity of rice production under future atmospheric conditions. Nature Climate Change 3: Wihardjaka, A. dan Soeprapto Tanggap tanaman padi sawah tadah hujan terhadap sulfur di Jawa Tengah. J. Agroland 4(4): 1-8. Wihardjaka, A., Soeprapto, and C.P. Mamaril Response of rainfed lowland rice and soybean to sulphur in light textured soils in Central Java. Indonesian J. Crop Sci. 14(2): Yoshida, S Fundamentals of rice crop science. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Yoshida, S. and M.R. Chaudhry Sulfur nutrition of rice. Soil Sci. Plant Nutr. 25(1): Zuzhang, L., L. Guangrong, Y. Fusheng, T. Xiangan, and G. Blair Effect of sources of sulphur on yield and disease incidence in crops in Jiangxi Province, hina. Pp in Proceeding of World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World 1-6 August 2010 at Brisbane, Australia. 17

21 SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak (Improvement of Soybean Resistant to Armyworm) Titik Sundari 1 dan Kurnia Paramita Sari 2 1 Staf Peneliti Pemuliaan di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2 Staf Peneliti Hama di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak Km 8 Malang, Kotak Pos 66 Malang titik_iletri@yahoo.co.id, adnina0312@gmail.com Naskah diterima 20 Maret 2015 dan disetujui diterbitkan 18 Mei 2015 ABSTRACT Armyworm (Spodoptera litura) is a major pest on soybean. Severe attack of this pest could cause 100% leaf defoliation and harvest failure. Soybean resistant to armyworm follows antibiosis and antixenosis mechanism. Antibiosis resistance was induced by certain chemical substances in the parts of plant that disturbed the physiological and biological processes of pest. Antixenosis resistance was a mechanism by plant morphological barrier that could affect the behavior of pests, such as leaf morphology, especially related to the pubescense density. The availability of soybean variety resistant to armyworm was expected to reduce the use of insecticides and to minimize the harvest failure. Soybean variety resistant to armyworm would be possible to be developed considering the source of genes for resistance had been identified, such as variety Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC , Bay, and W / An effective and efficient breeding method had also been available, through repeated backcrosses assisted by DNA markers as selection indicator. IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba- G-47, and IAC-100/Burangrang-G-119 were reported as promising lines, having moderately resistance to resistance to the pest, each line derived from the progenies of crossbreeding using IAC 100 as parent. Keywords: Soybean, armyworm, resistance, antibiosis, antixenosis. ABSTRAK Ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu hama utama pada tanaman kedelai. Serangan parah oleh hama ini dapat menyebabkan defoliasi hingga 100% dan gagal panen. Mekanisme ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak mengikuti model ketahanan antibiosis dan antixenosis. Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama. Dalam hal ini adalah morfologi daun, terutama kepadatan bulu. Ketersediaan varietas kedelai tahan ulat grayak berperan penting untuk mengurangi penggunaan insektisida dan meminimalisasi gagal panen. Perakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak memiliki peluang besar untuk berhasil, mengingat sumber ketahanan terhadap ulat grayak sudah teridentifikasi, diantaranya Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC , Bay, dan W/ Selain itu, metode pemuliaan yang efektif dan efisien juga telah tersedia, yaitu melalui silang balik berulang dengan menggunakan penanda DNA sebagai indikator seleksi. Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC- 100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119, hasil persilangan dengan menggunakan IAC 100 sebagai tetua, merupakan galur harapan kedelai, yang tergolong agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak. Kata kunci: Kedelai, ulat grayak, ketahanan, antibiosis, antixenosis. 19

22 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO PENDAHULUAN Ulat grayak merupakan salah satu hama penting yang tersebar luas di daerah tropis hingga subtropis, di antaranya Asia, Australia dan Kepulauan Pasifik, dengan kisaran inang yang luas. Hama ini tidak hanya merusak tanaman pangan, tetapi juga tanaman perkebunan, sayuran, dan buah-buahan, antara lain kacang tanah, jagung, padi, kedelai, talas, kapas, rami, teh, tembakau, terong, labu, kentang, ubi jalar, termasuk tanaman hias, tanaman liar, dan gulma (Dhaliwal et al. 2010, CABI 2015). Ulat grayak bersifat polifag, dapat menyerang berbagai jenis tanaman dan termasuk hama pemakan daun kedelai (Endo et al. 2007, Adie et al. 2012). Selain merusak daun, larva ulat grayak juga dapat merusak polong muda. Pada kondisi endemis, ulat grayak dapat menyebabkan defoliasi/kerusakan daun hingga 100% dan merupakan kendala utama dalam mewujudkan potensi hasil kedelai (Tengkano dan Suharsono 2005, Bhatia et al. 2008). Di Indonesia, serangan ulat grayak banyak terjadi pada pertanaman kedelai musim kering (Marwoto dan Suharsono 2008). Di beberapa sentra kedelai di Jawa Timur seperti di Kabupaten Jombang, Ponorogo, Pasuruan, dan Banyuwangi, ulat grayak telah berkembang menjadi hama yang tahan terhadap insektisida golongan monokrotofos, endosulfan, dan dekametrin yang digunakan petani secara terus-menerus (Marwoto dan Bedjo 1996). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi perkembangan biotipe ulat grayak yang tahan insektisida kimia adalah menggunakan varietas tahan. Penanaman varietas tahan juga diperlukan untuk mengurangi aplikasi insektisida kimia dalam pengendalian ulat grayak (Komatsu et al. 2010). Varietas unggul tahan atau toleran hama merupakan komponen penting dalam pengelolaan hama terpadu (PHT). Penggunaan varietas tahan dapat menekan tingkat kerusakan tanaman, mengurangi atau menghilangkan input pestisida dan tidak merusak lingkungan (Endo et al. 2002, Wada et al. 2006). Penggunaan varietas tahan juga dapat menekan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak. Hasil penelitian Sari (2013) menunjukkan bahwa investasi ulat grayak pada galur tahan (G 100 H) tidak menurunkan hasil biji, sedangkan pada varietas Ijen yang toleran ulat grayak dibandingkan dengan kontrol yang hasil bijinya 15% lebih rendah. Tingkat kehilangan hasil tergantung pada varietas yang digunakan, fase pertumbuhan, dan waktu serangan (Adie et al. 2012). Ketahanan tanaman kedelai terhadap hama ulat grayak dapat ditingkatkan melalui program pemuliaan tanaman. Untuk mendukung program tersebut perlu diidentifikasi plasma nutfah yang tahan terhadap hama ulat grayak. Penelitian di Jepang berhasil mengidentifikasi sumber genetik yang tahan ulat grayak dan telah digunakan sebagai tetua donor ketahanan. Mekanisme ketahanannya juga telah dipelajari berdasarkan karakter morfologi dan fisiologi (Hara and Ohba 1981). Ketahanan sumber daya genetik terhadap ulat grayak dan serangga hama pemakan daun lainnya telah teridentifikasi melalui pendekatan biomolekuler. Dengan menggunakan penanda DNA, seleksi ketahanan dapat dilakukan lebih efisien. Studi genetika ketahanan terhadap ulat grayak telah berkembang dengan baik, dan galur harapan tahan ulat grayak telah dikembangkan melalui seleksi dengan bantuan penanda molekuler yang dikombinasikan dengan silang balik (Komatsu et al. 2004, 2008). Komatsu et al. (2010) telah mengidentifikasi dua lokus sifat kuantitatif (QTL) untuk ketahanan terhadap ulat grayak dan 23 QTL untuk ketahanan terhadap hama pemakan daun lainnya. Kemajuan dalam studi genetika ketahanan ini memberikan peluang yang besar terhadap perakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak. Makalah ini membahas peluang perbaikan ketahanan tanaman kedelai terhadap hama ulat grayak. GEJALA SERANGAN ULAT GRAYAK Serangan ulat grayak pada tanaman kedelai ditandai oleh gejala kerusakan daun, daun berlubang dan hanya tersisa tulang daun (Gambar 1). Kerusakan daun tersebut disebabkan oleh larva, dimana setelah telur menetas menghasilkan larva instar 1 yang kemudian menyebar ke seluruh permukaan daun (Gambar 2). Larva-larva tersebut memakan permukaan daun bagian bawah dan hanya meninggalkan tulang daun (Sullivan 2007). Larva pertama kali memangsa daun, namun apabila terjadi ledakan populasi (outbreak) larva juga dapat memakan polong (Waterhouse and Norris 1987), bunga, dan tunas (Dunkle 2005, Vennila et al. 2007). Menurut penelitian Punithavalli et al. (2014), ledakan populasi hama ulat grayak terjadi pada pertengahan September, bertepatan dengan fase reproduksi tanaman kedelai. Gejala serangan ulat grayak pada daun kedelai, mulai dari ringan hingga berat, dapat dilihat pada Gambar 3. Pada kebanyakan tanaman, kerusakan serius disebabkan oleh larva. Serangan berat pada tanaman muda menyebabkan perkembangan tanaman terhambat, dan polong menjadi kecil (Dunkle 2005, USDA 2005). 20

23 SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK Gambar 1. Gejala kerusakan daun kedelai akibat serangan ulat grayak. a b Gambar 2. Telur yang baru menetas (a), larva instar 1 (b), dan serangan parah pada daun (c). c Gambar 3. Peringkat kerusakan daun. Angka-angka di bawah gambar menunjukkan tingkat kerusakan daun (skala 0 sampai 10) untuk setiap potongan daun (Sumber: Oki et al. 2012). DAMPAK SERANGAN HAMA ULAT GRAYAK TERHADAP HASIL KEDELAI Salah satu ancaman dalam peningkatan produksi kedelai adalah serangan hama, baik hama pemakan daun maupun perusak polong. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap sembilan jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayak merupakan hama pemakan daun yang sangat penting. Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat mencapai 80%, bahkan dapat menyebabkan puso apabila tidak dikendalikan (Marwoto dan Suharsono 2008, Dhaliwal and Koul 2010). Hasil penelitian Gregorutti et al. (2012) menunjukkan bahwa kerusakan daun pada fase pembentukan polong (R3) dapat menurunkan hasil biji hingga 90%. Penelitian lain mengemukakan bahwa penurunan hasil biji terjadi apabila serangan ulat grayak 21

24 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO menyebabkan kerusakan daun sebesar % (Pickle and Cavinnes 1984). Hasil biji menurun 40-80% apabila kerusakan daun terjadi pada fase pembentukan biji (R5) (Board and Harville 1998). Borras et al. (2004) mengemukakan bahwa penurunan hasil biji disebabkan oleh berkurangnya aktivitas fotosintesis akibat kerusakan daun. Selain mengakibatkan penurunan hasil biji, kerusakan daun kedelai pada fase R3 juga mengakibatkan penurunan ukuran biji hingga 32% (Gregorutti et al. 2012). Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman (2008), luas serangan ulat grayak pada tahun 2002 mencapai ha, dan 80 ha diantaranya mengalami puso. Pada tahun 2006, luas serangan ulat grayak mencapai ha, dan 140 ha di antaranya gagal panen. SUMBER KETAHANAN HAMA ULAT GRAYAK Pengembangan varietas tahan hama, termasuk ulat grayak, memerlukan pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme ketahanannya. Secara umum, ada tiga model ketahanan tanaman terhadap serangga, yaitu antibiosis, antixenosis (non-preferensi untuk tanaman tahan), dan toleran (van Emden 2002). Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama, sehingga kelimpahan hama dan kerusakan berkurang dibandingkan dengan yang akan terjadi apabila hama berada pada tanaman rentan (Heng-Moss et al. 2006). Ketahanan antibiosis sering mengakibatkan peningkatan mortalitas atau memperpendek umur dan mengurangi reproduksi serangga. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama, sehingga menghambat terjadinya interaksi antara tanaman inang dengan hama. Toleransi adalah ketahanan dimana tanaman mampu bertahan atau pulih kembali dari kerusakan yang disebabkan oleh kelimpahan hama. Mekanisme toleransi berbeda dengan antibiosis dan antixenosis (Teetes, 2013). Toleransi mengacu pada kemampuan tanaman untuk mampu memberikan hasil yang lebih besar dari varietas rentan pada tingkat serangan hama yang sama. Ketahanan terhadap ulat grayak telah diskrining secara luas dari plasma nutfah kedelai, baik di luar maupun dalam negeri. Di Jepang telah teridentifikasi sumber gen ketahanan terhadap ulat grayak. Hasil penelitian Komatsu et al. (2004, 2010) menunjukkan bahwa galur PI (Sodendaizu), PI227687, PI171451, dan Himeshirazu memiliki ketahanan terhadap ulat grayak. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa varietas Bay memiliki tingkat antibiosis yang tinggi terhadap ulat grayak (Endo et al. 2005). Galur IAC-100 juga tahan terhadap ulat grayak (Kraemer et al. 1997). Di Indonesia, identifikasi sumber ketahanan terhadap hama ulat grayak dilakukan pada plasma nutfah kedelai di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Beberapa galur kedelai yang tahan terhadap ulat grayak di antaranya adalah galur introduksi dari Brazilia, yaitu IAC-100, IAC , W/ (Suharsono dan Adie 2010). Ketahanan galur IAC-100 dan IAC terhadap ulat grayak adalah antixenosis, karena kurang disukai oleh ulat grayak sebagai inang (Igita et al. 1998). Adie et al. (2000) menyatakan terdapat indikasi ketahanan antibiosis sebagai faktor ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. Ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak ditentukan oleh faktor morfologi daun, terutama kepadatan bulu dibandingkan dengan panjang bulu pada daun. Kepadatan bulu berkorelasi negatif nyata dengan intensitas kerusakan daun pada berbagai stadia tanaman (Adie 2008). Hal yang sama juga disampaikan oleh Hulburt et al. (2004), bahwa keberadaan bulu pada permukaan tanaman kedelai menjadi faktor yang menentukan ketahanan terhadap hama, baik pada tingkat antixenosis maupun antibiosis. Laporan lain menunjukkan bahwa bulu pada daun menjadi penghalang bagi hama. Menurut Boerma dan Specht (2004), terdapat sembilan gen kedelai yang berhubungan dengan keberadaan bulu daun. Empat gen (Pd1, P1, Ps dan Pb) diantaranya telah dipetakan pada Chr 1, 9, 12 dan 15 (Cregan et al. 1999, Song et al. 2004). Gen Pd1, Ps, dan P1 masing-masing mengekspresikan keberadaan bulu, yaitu padat, jarang dan tidak berbulu (gundul). Pb menunjukkan bulu tajam (PbPb atau Pbpb) dan pb tumpul (pbpb). Hulbert et al. (2004) melaporkan bahwa memasukkan gen Pb ke varietas kedelai bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap hama Lepidoptera. Dua QTL, Pd1 dan Ps yang mengekspresikan kepadatan bulu terdeteksi pada posisi yang sama dengan gen yang mengekspresikan keberadaan bulu dari populasi yang sama untuk identifikasi ketahanan terhadap ulat grayak. Namun QTL tersebut tidak terletak pada posisi yang tumpang tindih dengan QTL pengendali ketahanan antibiosis (Komatsu et al. 2005, 2007). Mekanisme antixenosis dapat berfungsi untuk meningkatkan ketahanan Himeshirazu terhadap ulat grayak, disamping mekanisme antibiosis. Rector et al. (1998, 1999, 2000) mengungkapkan bahwa QTL ketahanan antixenosis terhadap ulat grayak terdapat pada lima kromosom (Chr 2, 6, 7, 12 dan 13), 22

25 SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK dan ketahanan antibiosis terdeteksi pada lima kromosom (Chr 7, 13, 14, 16 dan 18). Di antara QTL tersebut, terdapat satu QTL ketahanan antibiosis dan satu QTL ketahanan antixenosis yang berada pada posisi yang hampir sama pada Chr 7. Hal ini menunjukkan dua mekanisme ketahanan tersebut dikendalikan oleh gen yang berbeda. Struktur genetik antibiosis dan antixenosis hampir sama, sekitar 51,1-75,7% variasi fenotipe dijelaskan oleh 42,2-60,3% variasi genetik, dan 0-6 QTL aditif masingmasing menjelaskan 0,0-11,8% dari total variasi fenotipe 0,0-27,4%, dan 0-3 pasang QTL epistatik masing-masing menjelaskan 0,0-7,6% dari total variasi fenotipe 0,0-14,0%. Di antara QTL yang terdeteksi, qccw6_1, qccw10_1, dan qccw12_2 merupakan kontributor utama antibiosis, dan qccw10_1, qccw10_2 dan qccw12_1 kontributor utama antixenosis (Kim et al. 2014). PEWARISAN KETAHANAN VARIETAS Hingga saat ini, varietas tahan ulat grayak belum tersedia di Indonesia. Namun upaya perakitan varietas tahan terus dilakukan. Perakitan diawali dengan proses pencarian dan identifikasi plasma nutfah untuk mendapatkan genotipe yang memiliki ketahanan terhadap hama ulat grayak. Dari beberapa genotipe kedelai yang diidentifikasi oleh Igita et al. (1996), tidak satu pun genotipe asal Indonesia yang bereaksi tahan terhadap ulat grayak, namun genotipe introduksi asal Jepang (Himeshirazu and Sodendaizu) dan Brasilia (IAC 80 dan IAC 100) dilaporkan tahan. Hasil penelitian Prayogo dan Suharsono (2005); Sulistyowati dan Suharsono (2011), serta Suharsono dan Suntono (2008) menunjukkan terdapat peluang untuk mendapatkan varietas tahan hama perusak daun, khususnya ulat grayak dengan memanfaatkan galur IAC-100 dan IAC sebagai sumber gen ketahanan. Galur IAC-100 yang disilangkan dengan Himeshirazu (tahan) menghasilkan galur G 100 H, yang mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap ulat grayak dibandingkan dengan kedua tetuanya (IAC-100 dan Himeshirasu). Genotipe G 100 H memiliki bentuk ketahanan antibiosis dan antixenosis (trikoma daun padat) dan berpeluang digunakan sebagai sumber tetua tahan dalam perbaikan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak (Adie et al. 2003). Perakitan varietas tahan ulat grayak dengan karakter agronomis yang baik membutuhkan waktu cukup panjang, karena karakter agronomis dari tetua tahan yang kurang baik, seperti tanaman pendek, potensi hasil rendah, ukuran biji kecil. Keturunan persilangan antara tetua donor tahan dan galur kedelai lainnya menyebabkan terjadinya pewarisan beberapa sifat yang tidak diinginkan, seperti tanaman pendek, jumlah cabang sedikit, dan ukuran buku pendek. Pada tahun 2003, telah dilepas varietas Ijen sebagai satu-satunya varietas kedelai di Indonesia yang dinyatakan agak tahan ulat grayak, merupakan hasil silang balik antara Himeshirazu (tahan) dengan varietas Wilis (Suhartina 2005). Tingkat kerusakan daun varietas Ijen pada 12 hari setelah infestasi (HIS) relatif sama dengan varietas Wilis, meskipun pada awalnya tingkat kerusakan daun varietas Ijen hampir dua kali lipat dari varietas Wilis (Tabel 1). Berdasarkan deskripsi varietas, Ijen mempunyai ukuran biji 11,23 g/100 biji dan umur polong masak 83 hari, apabila dibandingkan dengan Wilis ukuran biji tersebut sedikit lebih besar dan umur lebih genjah, Wilis mempunyai ukuran 10 g/100 biji dan umur polong masak hari. Perbaikan ketahanan varietas unggul kedelai terhadap ulat grayak di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) dimulai tahun 2007, melalui persilangan antara IAC-100 sebagai sumber gen ketahanan terhadap ulat grayak dengan varietas Kaba (tanaman tinggi, tidak mudah rebah, dan polong tidak mudah pecah) dan Burangrang (tanaman tinggi, tidak mudah rebah, dan ukuran biji besar). Dari persilangan tersebut diperoleh beberapa galur yang konsisten agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak, baik berdasarkan metode uji dengan pilihan maupun tanpa pilihan. Galur-galur tersebut adalah IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/ Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119 (Tabel 2) (Sari, 2013). Menurut hasil penelitian Suharsono et al. (2010), galur-galur kedelai hasil kombinasi persilangan menggunakan tetua IAC-100 atau IAC sebagian besar mengandung sifat tahan terhadap ulat grayak. Pada tahun 2013, galur-galur hasil persilangan IAC- 100 x Kaba dan IAC-100 x Burangrang (Tabel 2) diuji di Pasuruan. Pada saat pengujian terjadi serangan ulat grayak dengan intensitas tinggi, sehingga dapat dilihat respon dari masing-masing galur terhadap serangan ulat Tabel 1. Intensitas kerusakan daun beberapa galur kedelai. Intensitas kerusakan daun (%) Galur pada umur (HSI) Bobot biji (g/tanaman) Cikuray 7,13 8,63 24,91 22,79 6,96 Detam-1 7,12 14,15 20,00 21,14 5,10 G 100 H 5,36 8,38 7,57 10,47 5,89 Ijen 9,16 16,80 21,67 20,30 8,10 Wilis 4,67 10,72 18,33 21,10 7,53 HIS (hari setelah infestasi), Sumber: Sari (2013) 23

26 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO Tabel 2. Rata-rata intensitas kerusakan dan kriteria ketahanan genotipe kedelai terhadap ulat grayak pada metode dengan pilihan dan tanpa pilihan pakan. Galur Dengan pilihan Tanpa pilihan Intensitas Kriteria Intensitas Kriteria kerusakan keta- kerusakan keta- (%) hanan (%) hanan IAC-100/Kaba-G-80 8,5 AT 39,9 AT IAC-100/Kaba-G-67 5,2 T 33,7 T IAC-100/Burangrang-P-94 11,1 R 46,4 R IAC-100/Burangrang-P-95 11,3 AT 40,0 AT IAC-100/Kaba-G-47 7,2 AT 38,8 AT IAC-100/Burangrang-G ,8 T 27,0 ST IAC-100/Burangrang-G-121 9,3 R 42,0 R Kaba/IAC/Burangrang-P-91 11,6 R 50,5 R IAC-100/Burangrang-P-97 6,3 T 41,4 R IAC-100/Burangrang-P-96 11,1 R 43,0 R IAC-100/Burangrang-G-625 9,1 R 46,1 R IAC-100/Burangrang-G-645 8,6 R 43,9 R Kaba 15,2 R 55,2 SR Ijen 20,6 SR 42,6 R Argomulyo 14,0 R 47,3 R G 100 H 11,8 AT 40,3 R IAC 100 4,6 T 34,7 T Anjasmoro IAC-100/Kaba-G-80 Gambar 4. Tingkat serangan ulat grayak pada daun varietas Anjasmoro dan galur harapan kedelai toleran ulat grayak (IAC 100/Kaba-G-80) di Pasuruan(Sumber: Koleksi pribadi). T = tahan, AT = agak tahan, AR = agak rentan, R = rentan, SR = sangat rentan (Sumber: Sari 2013). grayak (Gambar 4 dan 5). Tingkat serangan ulat grayak pada galur harapan kedelai tahan lebih rendah dibandingkan dengan galur rentan yang mengelilinginya (investasi hama terjadi secara alami). Tingkat serangan ulat grayak pada galur harapan hasil persilangan IAC- 100 x Kaba jauh lebih rendah dibandingkan dengan varietas Anjasmoro yang ditanam petani (Gambar 4 dan 5). Hasil dan komponen hasil kedelai dari pengujian di Pasuruan disajikan pada Tabel 3. Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, dan IAC-100/Kaba-G-47 yang tegolong agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding varietas Kaba (tetua jantan), demikian juga ukuran bijinya yang lebih besar (Tabel 3). Pemuliaan ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak telah dilakukan di Jepang melalui persilangan (silang balik berulang) antara Himeshirazu (tahan) dan Fukuyutaka (rentan), dengan tujuan menggabungkan ketahanan terhadap ulat grayak dan karakter agronomi yang baik. Kegiatan tersebut menghasilkan galur Kyushuu 155 yang mewarisi dua gen ketahanan dari Himeshirazu, sedangkan karakter agronomis (umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, hasil, dan kualitas benih) mirip dengan Fukuyutaka (Komatsu et al. 2008). Ketahanan kedelai terhadap ulat grayak mengikuti ketahanan antibiosis dan antixenosis. Ketahanan Gambar 5. Tingkat serangan ulat grayak pada daun galur harapan kedelai hasil persilangan IAC 100 dengan Kaba dan pada varietas Anjasmoro di Pasuruan (Sumber: Koleksi pribadi). antixenosis kedelai terhadap hama ulat grayak mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tinggi (73,2%) (Komatsu et al. 2004). Artinya, karakter ketahanan antixenosis tersebut mempunyai peluang yang cukup tinggi untuk diwariskan. Uji bioassay antixenosis terhadap populasi inbrida rekombinan yang berasal dari persilangan antara varietas Fukuyutaka (rentan) dengan Himeshirazu (tahan) telah dilakukan oleh Oki et al. (2012). Hasil pengujian menunjukkan adanya dua QTL ketahanan antixenosis, yaitu qrslx1 dan qrslx2, yang teridentifikasi pada Chr 7 dan 12, dan alel tahan dari qrslx1 dan qrslx2, masingmasing berasal dari Himeshirazu dan Fukuyutaka. Pada pengujian ini juga dilakukan analisis karakteristik keberadaan bulu daun untuk mengetahui hubungannya dengan ketahanan terhadap hama kedelai. Hasil analisis mengidentifikasi adanya dua QTL untuk panjang bulu 24

27 SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK Tabel 3. Komponen hasil dan hasil galur-harapan kedelai toleran ulat grayak pada uji adaptasi di Pasuruan, Tinggi Jumlah Jumlah Jumlah Umur Umur Hasil Bobot Nomor galur tanaman cabang buku polong berbunga masak biji biji (cm) subur isi (hari) (hari) (kg/12 m 2 ) (g/100 biji) IAC-100/Kaba-G-80 44, ,77 12,95 IAC-100/Kaba-G-67 42, ,59 12,68 IAC-100/Burangrang-P-94 33, ,26 13,91 IAC-100/Burangrang-P-95 33, ,11 14,75 IAC-100/Kaba-G-47 43, ,48 12,40 IAC-100/Burangrang-G , ,50 14,85 IAC-100/Burangrang-G , ,30 14,82 Kaba/IAC/Burangrang-P-91 32, ,18 13,43 IAC-100/Burangrang-P-97 32, ,24 14,15 IAC-100/Burangrang-P-96 31, ,29 14,25 IAC-100/Burangrang-G , ,72 14,16 IAC-100/Burangrang-G , ,35 14,18 Kaba 68, ,13 11,81 Ijen 63, ,94 14,30 Burangrang 73, ,72 15,60 Uji F ** * ** ** ** ** ** ** * dan **: menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji α 5% dan 1%. Sumber: Balitkabi (pada Chr 7 dan 12) dan dua QTL untuk kepadatan bulu (pada Chr 1 dan 12). QTL keberadaan bulu pada Chr 7 dan 12 masing-masing terletak berdekatan dengan qrslx1 dan qrslx2. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan antixenosis dikendalikan secara genetik oleh dua QTL, dan karakteristik keberadaan bulu diduga mempunyai kontribusi terhadap ketahanan antixenosis kedelai terhadap ulat grayak (Oki et al. 2012). Pada varietas tahan, Himeshirazu terdapat dua QTL ketahanan antibiosis terhadap ulat grayak, dan ketahanan antibiosis dikendalikan oleh gen resesif yang terdapat pada LG-M (linkage group M) (Komatsu et al. 2004, 2005). Efek dari QTL tersebut telah diverifikasi melalui uji bioassay antibiosis menggunakan galur isogenik. Melalui silang balik berulang, gen ketahanan pada Himeshirazu berhasil disisipkan ke dalam Fukuyutaka (rentan) dengan menghasilkan varietas baru Fukuminori. Namun, tingkat ketahanan Fukuminori masih lebih rendah dibanding Himeshirazu (Komatsu et al. 2008). Hasil penelitian Adie (2008) menunjukkan bahwa kepadatan bulu pada kedelai hasil persilangan ICH x Wilis, G100H x ICH dan G100H x Wilis dikendalikan secara poligenik. Pada persilangan antara kedelai berbulu dengan kedelai tanpa bulu terdapat pengaruh gen dominan dan pengaruh tipe interaksi gen dominan x dominan. Pada persilangan kedelai berbulu padat dengan moderat terdapat pengaruh rata-rata, pengaruh gen aditif dan pengaruh gen dominan. Kepadatan bulu dapat digunakan sebagai kriteria seleksi tak langsung ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. KESIMPULAN DAN SARAN Ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak bersifat antibiosis dan antixenosis. Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama. Pada tanaman kedelai, ketahanan antixenosis ditentukan oleh morfologi daun, terutama kepadatan bulu. Ketersediaan varietas kedelai tahan ulat grayak berperan penting untuk mengurangi penggunaan insektisida dan meminimalisasi gagal panen. Peluang perakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak cukup tinggi karena terdapat sumber genetik tahan, di antaranya Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC , Bay, dan W/ Selain itu, metode pemuliaan yang efektif dan efisien juga telah tersedia, yaitu melalui silang balik berulang dengan menggunakan penanda DNA sebagai indikator seleksi. Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC- 100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/ Burangrang-G-119, hasil persilangan menggunakan IAC 100 sebagai tetua, adalah galur harapan kedelai yang bersifat agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak. 25

28 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M., Tridjaka, dan K. Igita Pewarisan trikoma, penentu sifat ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 19: Adie, M.M., G.W.A. Susanto, dan R. Kusumawaty Ketahanan beberapa genotipe kedelai terhadap ulat grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(1):1-5. Adie, M.M Perbaikan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. M-Muchlish-Adie-Perbaikan-Ketahanan-Kedelai id.html Diakses tanggal 16 Maret Adie, M.M., A. Krisnawati, dan A.Z. Mufidah Derajat ketahanan genotipe kedelai terhadap hama ulat grayak. p Dalam: A.A. Rahmianna et al. (Eds.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian. Malang, 5 Juli Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Bhatia, V.S., Piara Singh, S.P. Wani, G.S. Chauhan, A.V.R. Kesava Rao, A.K. Mishra, and K. Srinivas Analysis of potential yields and yield gaps of rainfed soybean in India using CROPGRO-Soybean model. Agricultural and Forest Meteorology 148: Board, J.E. and B.G. Harville Late-planted soybean yield response to reproductive source/sink stress. Crop Sci. 38: Boerma, H.R. and J.E. Specht Soybeans: Improvement, production, and uses. 3rd edn. American Society of Agoronomy. Madison. p.170. Borras, L.G.A. Slafer and M.E. Otegui Seed dry weight respone to source-sink manipulations in wheat, maize and soybean: a quantitative reappraisal. Field Crops Res. 86: CABI Spodoptera litura (taro caterpillar). Diakses tanggal 2 Mei Cregan, P.B., T. Jarvik, A.L. Bush, R.C. Shoemaker, K.G. Lark, A.L.Kahler, N. Kaya, T.T. VanToai, D.G. Lohnes, and J. Chung An integrated genetic linkage map of the soybean genome. Crop Sci. 39: Dhaliwal, G.S. and O. Koul Quest for Pest Management: From Green Revolution to Gene Revolution. Kalyani Publishers, New Delhi. 386p. Dhaliwal GS, V. Jindal, and A.K. Dhawan Insect pest problems and crop losses: changing trends. Indian Journal of Ecology, 37: 1-7. Direktorat Perlindungan Tanaman Laporan luas dan serangan hama dan penyakit tanaman pangan di Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman. Jakarta. Dunkle, R.L New pest response guidelines Spodoptera. Diakses tanggal 3 Februari Emden, van Helmut Mechanism of resistance: antibiosis, antixenosis, tolerance, nutrition. In: D. Pimentel (Ed.) Encyclopedia of pest manajemen. Diakses tanggal 2 Mei Endo, N., T. Wada, N. Mizutani, and M. Takahashi Possible resistance and tolerance of a soybean breeding line, Kyukei 279 to the common cutworm, Spodoptera litura and soybean stink bugs. Kyushu Plant Prot. Res. 48:68-71 (in English summary) agris.fao.org/agris-search/ search.do?recordid=jp [3 Februari 2015]. Endo, N., T. Wada, and S. Tojo Resistance of soybean cultivar Bay to the common cutworm, Spodoptera litura (Fabricius) (Lepidoptera: Noetuidae). Kyushu Plant Prot. Res. 51: /agris.fao.org/aos/records/ Diakses tanggal 29 Januari Endo, N., I. Hirakawa, T. Wada, and S. Tojo Induced resistance to the common cutworm, Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) in three soybean cultivars. Appl. Entomol. Zool. 42(2): Diakses tanggal 30 Januari Gregorutti, V.C., O.P. Caviglia, and A. Saluso Defoliation affects soybean yield depending on time and level of light interception reduction. Australian Journal of Crop Science 6(7): Hara, M., and T. Ohba On the phytophagous insect resistance in soybean. Rep. Kyushu Br. Crop Sci. Soc. Japan 48: Heng-Moss, T.M., T. Macedo, L. Franzen, F.P. Baxendale, L. Higley, and G. Sarath Physiological responsesof resistant and susceptible buffalograsses to Blissus occiduus (Hempitera: Blissidae) feeding. J. Econ. Entomol. 99: Hulburt, D.J., H.R.Boerma, and J.N. All Effect of pubescence tip on soybean resistance to lepidopteran insect. J. Econ. Entomol. 97:

29 SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK Igita, K., M.M. Adie, Suharsono, and Tridjaka Second brief report: Method of cultivation of soybean in cropping systems with low input (pesticide) in Indonesia. RILET-JIRCAS. Malang. Igita, K., Adie, M.M. Suharsono, and Tridjaka Low input cultivation method or soybean in Indonesia cropping system. Proc. Of RILET-JIRCAS Workshop on soybean Res. Malang, Indonesia. Kim, H.G. Xing, Y. Wang, T. Zhao, D. Yu, S. Yang, Y. Li, S. Chen, R.G. Palmer, and J. Gai Constitution of resistance to common cutworm in terms of antibiosis and antixenosis in soybean RIL populations. Euphytica. 196(1): springer.libdl.ir/article/ /s (5 Februari 2015). Komatsu, K.S. Okuda, M. Takahasi, and R. Matsunaga Antibiotic effect of insect-resistant soybean on common cutworm (Spodoptera litura) and its inheritance. Breed. Sci. 54: Komatsu, K., S. Okuda, M. Takahashi, R. Matsunaga, and Y. Nakazawa QTL mapping of antibiosis resistance to common cutworm (Spodoptera litura Fabricius) in soybean. Crop Sci. 45: Komatsu, K., S. Okuda, M. Takahashi, R. Matsunaga, and Y. Nakazawa Quantitative trait loci mapping of pubescence density and flowering time of insect-resistant soybean (Glycine max L. Merr.). Genet. Mol. Biol. 30: Komatsu, K., M. Takahashi, and Y. Nakazawa Antibiosis resistance of QTL introgressive soybean lines to common cutworm (Spodoptera litura Fabricius). Crop Sci. 48, Komatsu, K. M. Takahasi, and Y. Nakazawa Genetic study on resistance to the common cutworm and other leaf-eating insects in soybean. JARQ 44 (2), (2010) Diakses tanggal 29 Januari Kraemer, M.E., M.Rangappa, and A.I. Mohamed Evaluation of vegetable soybean genotypes for resistance to corn earworm (Lepidoptera: Noctuidae). J. Entomol. Sci. 32: Marwoto dan Suharsono Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4): Marwoto dan Bedjo. l996. Resistensi hama ulat grayak terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian tahun Oki, N., K. Komatsu, T. Sayama, M. Ishimoto, and M. Takahashi Genetic analysis of antixenosis resistance to the common cutworm (Spodoptera litura Fabricius) and its relationship with pubescence characteristics in soybean (Glycine max (L.) Merr.). Breeding Science 61: Pickle, C.S and C.E Cavinnes Yield reduction from defoliation and plant cut off of determinate and semideterminate soybean. Agron J 76: Prayogo, Y. and Suharsono Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) dengan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii pada media minyak nabati. Prosiding Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. p Punithavalli, M., A.N. Sharma, and M. Balaji Rajkumar Seasonally of the common cutworm Spodoptera litura in a soybean ecosystem. Phytoparasitica. 42: Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma Identification of molecular markers associated with quantitative trait loci for soybean resistance to corn earworm. Theor. Appl. Genet. 96: Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma Quantitative trait loci for antixenosis resistance to corn earworm in soybean. Crop Sci. 39: Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma Quantitative trait loci for antibiosis resistance to corn earworm in soybean. Crop Sci. 40: Sari, K.P Evaluasi galur-galur kedelai hitam terhadap ulat grayak Spodoptera litura F. Laporan Hasil Penelitian Tahun Song, Q.J., L.F. Marek, R.C. Shoemaker, K.G. Lark, V.C. Concibido, X. Delannay, J.E. Specht, and P.B. Cregan A new integrated genetic linkage map of the soybean. Theor. Appl. Genet. 109: viewcontent.cgi?... [3 Februari 2015] Suharsono dan M. M. Adie Identifikasi sumber ketahanan aksesi plasma nutfah kedelai untuk ulat grayak Spodoptera litura F. Buletin Plasma Nutfah.16(1): Suharsono, Y. Prayogo, Bedjo, S. Hardaningsih, Sumartini, dan S.W. Indiati Formulasi pestisida nabati dan agens hayati untuk pengendalian OPT kedelai ramah lingkungan, hemat pestisida kimia 50%. Laporan Akhir Penelitian Balai penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. p. 27

30 IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO Suharsono dan Suntono Preferensi peneluran hama penggerek polong pada beberapa galur varietas kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 23 (01): Suhartina Deskripsi varietas unggul kacangkacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. 154p. Sulistyowati dan Suharsono Hama dan penyakit tumbuhan di era globalisasi dan cara pengendaliannya. Prospek dan tantangan pertanian Indonesia di era globalisasi. p: Dalam: W.A. Setiawan dan S. Wardoyo (Eds.). 35 Tahun PT Agricon. Sullivan, M CPHST pest datasheet for Spodoptera litura. USDA-APHIS-PPQ-CPHST. Balitkabi Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 147p. Teetes, G.L Plant resistance to insects: A fundamental component of IPM. Dept. of Entomology. Texas A&M University. chapters/teetes.ht Diakses tanggal 3 Februari Tengkano, W. dan Suharsono Ulat grayak Spodoptera litura F. pada kedelai dan pengendaliannya. Buletin Palawija 10: USDA New pest response guidelines, Spodoptera. United States Department of Agriculture, Animal and Plant Health Inspection Service. 82pp. Wada, T., N. Endo, and M.Takahashi Reducing seed damage by soybean bugs by growing smallseeded soy-beans and delaying the sowing time. Crop Prot.25: Waterhouse, D.F. and K.R. Norris Biological control, pacific prospects. Australian Centre for International Agricultural Research. gov.au/files/node/326/biological_control_pacific_ prospects_supplement_17154.pdf Diakses tanggal 16 Naret Venilla, S., V.K. Biradar, M. Sabesh, and O.M. Bambawale Know your cotton insect pests defoliators (semi-looper, leaf roller and leaf worm). Central Institute for Cotton Research. 2p. 28

31 (Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain in Indonesia) Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl Raya Kendalpayak Km 8 Malang aa.rahmianna@litbang.pertanian.go.id Naskah diterima 9 November 2014 dan disetujui diterbitkan 7 Mei 2015 ABSTRACT Aflatoxin is a secondary metabolite substance produced by Aspergillus flavus fungus living on the grain. The substance is very toxic, which may cause health problem when consumed by human or by animal. Of the twelve aflatoxin members, the B 1 -aflatoxin was reported as the most prevalence in Indonesia, and it was also the most toxic. Therefore, B 1 -aflatoxin was used as a criterion for the maximum tolerable limit of aflatoxin content in food and feed stuff. Aflatoxin B 1 contamination was reported on groundnut grains sold in the retail traditional markets throughout Indonesia. The contaminated grains were noted derived from the nationally produced as well as from the imported ones. The aflatoxin contamination increased as the grain of groundnut reached the final retail markets destination. Contaminated grain processed into various food retained the aflatoxin in a toxic form. The negative effect on health from consuming food contaminated by aflatoxin must be minimized. The government of Indonesia had established food safety regulation regarding aflatoxin contamination, but prevention through the proper cultural practices and post harvest handling of groundnut, were equally important measure. Keywods: Groundnut, Aspergillus flavus, contamination, aflatoxin-b 1. ABSTRAK Aflatoxin adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus. Senyawa ini bersifat toksik yang mengganggu kesehatan manusia dan ternak, antara lain melalui gangguan fungsi hati. Di antara dua belas macam aflatoxin, aflatoxin B 1 paling banyak dijumpai di Indonesia dan merupakan senyawa yang paling berbahaya sehingga digunakan sebagai kriteria ambang batas maksimum aflatoxin dalam bahan pangan dan pakan. Kontaminasi aflatoxin B 1 yang tinggi dilaporkan pada biji kacang tanah yang berada pada pedagang pengecer di pasar tradisional di banyak tempat di Indonesia. Biji kacang tanah terkontaminasi aflatoxin B 1 berasal dari hasil panenan pertanaman di Indonesia dan juga berasal dari impor dan penggunaannya untuk keperluan konsumsi. Kontaminasi aflatoxin pada biji kacang tanah asal dari dalam negeri dan impor meningkat menjadi tinggi setelah sampai pada pedagang pengecer. Makanan berbahan baku kacang tanah yang terkontaminasi aflatoxin dilaporkan juga mengandung aflatoxin B1 dengan beragam level. Bahaya gangguan kesehatan oleh dikonsumsinya kacang tanah terkontaminasi aflatoxin perlu diminimalisasi dengan cara menetapkan kebijakan tentang penanganan produk terkontaminasi aflatoxin dan teknologi anjuran proses produksi kacang tanah bebas aflatoxin. Kata kunci: Kacang tanah, Aspergillus flavus, kontaminasi, aflatoxin B 1.

32 toxin. Afla mengacu pada nama jamur Aspergillus flavus dan toxin berarti racun. Oleh karena itu aflatoxin berarti racun yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus (Guo et al. 2009). Lebih detail, aflatoxin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh Aspergillus flavus, parasiticus, dan numius (Klich 2007). Penemuan aflatoxin bermula dari munculnya penyakit Turkey X di Inggris pada tahun 1962 dimana kalkun mati setelah makan kacang tanah terkontaminasi aflatoxin (Forgacs and Carll 1962 dalam Amaike and Keller 2011). Selain pada ternak, aflatoxin juga berbahaya bagi kesehatan manusia, misal kasus ratusan orang meninggal dunia di Kenya (Lewis et al. 2005). Senyawa aflatoxin mengakibatkan aflatoksikosis pada manusia atau ternak karena menghirup atau mengkonsumsi makanan atau pakan terkontaminasi aflatoxin dalam kadar yang tinggi. Akibat buruk yang ditimbulkan oleh senyawa aflatoxin telah menjadi isu dunia. Aflatoksikosis menjadi masalah serius di negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, di mana sistem keamanan pangan belum berkembang secara baik untuk melindungi konsumen dari produk makanan yang tidak sehat. Di negara-negara yang sudah berkembang, pemerintah menaruh perhatian yang serius pada isu keamanan pangan, termasuk aflatoxin, dan permintaan yang terus meningkat kepada industri untuk memenuhi regulasi standard keamanan pangan yang ketat. Meskipun demikian, di negara maju seperti Amerika Serikat, kehilangan hasil akibat kontaminasi aflatoxin dilaporkan mencapai jutaan dolar (Amaike and Keller 2011). Di Indonesia, meski kesadaran masyarakat akan bahaya aflatoxin masih rendah, namun penelitian tentang bahaya aflatoxin bagi kesehatan sudah dilakukan. Pang et al. (1974) dan Muhilal dan Nurjadi (1977) dalam Machmud (1989) melaporkan bahwa kontaminasi aflatoxin B 1 dan G 1 kebanyakan pada biji kacang tanah dan produk berbahan baku kacang tanah. Kedua jenis aflatoxin ini merupakan senyawa karsinogen yang berpotensi menyebabkan kanker hati di mana saat itu insiden kanker hati pada manusia dan hewan sangat tinggi. Pernyataan ini diperkuat oleh studi yang dilakukan kemudian, bahwa aflatoxin terdeteksi pada jaringan hati 58% pasien yang menderita kanker hati primer. Tipe dan jumlah aflatoxin terdeteksi pada spisemen hati adalah aflatoxin B 1, G 1 dan M 1 hingga >400 µg/kg (ppb). Makanan yang dikonsumsi oleh pasien yang terdeteksi tersebut termasuk oncom (tempe kacang difermentasi dengan jamur Rhizopus oligosporus), kacang tanah goreng, bumbu kacang, bungkil kacang, kecap, ikan asin, dan beragam obat berhubungan dengan aflatoxin dan virus hepatitis B (Tjindarbumi dan Mangunkusumo 2002). Rasyid (2006) melaporkan bahwa aflatoxin B 1 diduga berperan dalam memicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati. Tulisan ini memaparkan status kontaminasi aflatoxin dan infeksi jamur Aspergillus flavus pada beragam mata rantai perdagangan, faktor-faktor yang mempengaruhi atau memicu produksi racun, dan strategi menekan kontaminasi aflatoxin, baik dari segi kebijakan maupun teknisnya, untuk menghasilkan produk yang aman bagi kesehatan. SIFAT DAN MACAM AFLATOXIN Aflatoxin bersifat karsinogenik, mutagenik, dan immuno suppressive (IARC 1987 dalam Mobeen et al. 2011). Oleh karena itu, aflatoxin termasuk golongan karsinogen kelas 1 terhadap manusia (IARC 1993 dalam Bankole et al. 2005, Mutegi et al. 2013), serta mempunyai predikat sebagai hepatotoxic, carcinotoxic dan teratogenic (Klich et al. 2009; Jha et al. 2013; Abdalla et al. 2014). Aflatoxin berpotensi menyebabkan kerusakan hati, pengerasan hati (cirrhosis) dan kanker hati (Hongkong Food dan Environmental Hygiene 2001 dalam Paramawati et al 2006). Sifat karsinogenik yang dipunyai aflatoxin memungkinkan hubungan sebab akibat antara mengkonsumsi kacang tanah atau produk olahannya yang mengandung aflatoxin dengan kanker hati. Selain kacang tanah, beragam komoditas pertanian berpeluang terkontaminasi aflatoxin, antara lain jagung, biji kapas, beras dan produk dari ternak yang mengkonsumsi bahan tersebut, seperti susu dan telur. Jamur A. flavus dan A. parasiticus mampu menghasilkan empat senyawa utama aflatoxin (AfB 1, AfB 2, AfG 1, dan AfG 2 ) dan aflatoxin M 1 dan M 2 (M: Milk yang berarti susu) yang merupakan turunan aflatoxin B 1 dan B 2 pada lingkungan yang mendukung (Guo et al 2009). Aspergillus flavus secara umum memproduksi golongan toksin B, dengan demikian jagung, biji kapas, dan kacang tanah yang telah terkolonisasi A. flavus umumnya terkontaminasi oleh aflatoxin B 1 (Abbas et al. 2009). Senyawa-senyawa toksin tersebut diberi nama sesuai dengan karakteristik warna fluoresen pada saat pendeteksian menggunakan gelombang ultraviolet (λ = 365 nm). AfB 1 dan AfB 2 menghasilkan warna fluoresen biru, sedangkan AfG 1 dan AfG 2 memproduksi warna fluoresen hijau (Klich 2007). Aflatoxin B 1, B 2, G 1, G 2 umum

33 terhadap hewan dan manusia (Bhatnagar et al. 2006), dan karena paling berbahaya, AfB 1 dipakai sebagai ambang batas maksimum aflatoxin dalam bahan pangan dan pakan. CEMARAN AFLATOXIN PADA RANTAI PERDAGANGAN KACANG TANAH Biji kacang tanah yang sampai ke konsumen akhir telah melewati banyak mata rantai perdagangan atau jalur distribusi (Gambar 1), di mana pada setiap mata rantai mengalami perubahan bentuk dan proses, misal dari bentuk polong basah di tingkat petani menjadi polong kering di tingkat pedagang pengumpul, biji ose di tingkat pedagang pengecer, dan aneka produk di tingkat prosesor. berakibat buruk dari sisi keamanan pangan karena berpotensi terjadi dan meningkatnya cemaran aflatoxin. Kontaminasi aflatoxin dapat terjadi pada saat polong belum dipanen (Guo et al. 2009), setelah panen dan sebelum polong dikeringkan, selama proses pengeringan dan selama disimpan (Mutegi et al. 2013; Waliyar et al. 2015), karena spora A. flavus secara alami terdapat di tanah dan udara. Kontaminasi aflatoxin yang terjadi pada biji, bungkil, tepung, dan produk makanan berbahan baku kacang tanah menunjukkan produksi racun ini dapat terjadi di setiap mata rantai perdagangan. Kacang tanah ditanam, dipelihara, dan dipanen oleh petani, sedangkan di beberapa sentra produksi panen dilaksanakan oleh penebas. Tingkat kontaminasi aflatoxin B 1 pada biji kacang tanah di tingkat petani umumnya rendah, yaitu <15 ppb (Tabel 2) baik berasal dari Pengolah pabrik Pengecer Petani Penebas Pengumpul Pengusaha besar (grosir) Pedagang pengecer Konsumen Pengusaha besar (grosir) Ekspor Gambar 1. Jalur perdagangan komoditas kacang tanah di Indonesia. (Sumber: Damardjati et al. 1979, dengan perubahan). Tabel 1. Cemaran aflatoxin B 1 pada kacang tanah sejak di lapangan hingga masa perdagangan. Prosesor Prosesor Uraian Petani Penebas Pengumpul Pedagang Pedagang kacang kulit aneka olahan besar pengecer oven kc tanah Bentuk Tanaman Polong Polong Polong kering Biji ose Polong Biji ose segar kering atau biji ose segar Lama waktu Sd 10 bulan 7-90 < (hari) (polong kering), 4 bulan (ose) Kadar air biji pada MK (%) Kadar air biji pada MH (%) Kisaran cemaran <6 < <3, <3, aflatoxin pada MK (ppb) Kisaran cemaran <3,6-94 <3, <3, aflatoxin pada MH (ppb) Rata-rata cemaran <15 <15 <15 <15->15 >15 <15 <15->15 aflatoxin (ppb)

34 tingkat kontaminasi kemungkinan disebabkan tinggi atau rendahnya kandungan air di dalam biji atau kandungan lengas di sekitar polong (Rahmianna et al. 2007a,c; Sumiyati 2009). Namun ada pula kacang tanah yang mempunyai tingkat kontaminasi tinggi, lebih dari ambang batas aman untuk konsumsi. Pengamatan menunjukkan kacang tanah di pedagang pengecer, satu mata rantai yang sudah mendekati konsumen akhir, terkontaminasi aflatoxin dalam kadar yang tinggi. Fakta ini menunjukkan besarnya peluang kontaminasi aflatoxin pada proses penyimpanan dan selama dalam jalur pemasaran dari pedagang pengumpul sampai ke pedagang pengecer. Kontaminasi aflatoxin B 1 <15 ppb dari semua mata rantai perdagangan menginformasikan bahwa semakin jauh kacang tanah bergerak dari produsen semakin rendah jumlah sampel yang rendah tingkat cemaran aflatoxinnya. Dengan kata lain, semakin mendekati konsumen akhir, tingkat cemaran aflatoxin semakin tinggi (Gambar 2). INFEKSI JAMUR ASPERGILLUS FLAVUS PADA RANTAI PERDAGANGAN KACANG TANAH Produksi aflatoxin diawali ketika jamur A. flavus atau A. paraciticus berhasil masuk ke dalam polong melalui luka makro maupun mikro pada kulit polong, dan menginfeksi biji. Pada periode itu jamur sebagai makhluk hidup melaksanakan metabolisme. Jamur memproduksi aflatoxin di dalam biji dipengaruhi oleh komposisi genetik individu isolat jamur, komposisi substrat, organisme kompetitor, kadar air biji maupun kelembaban relatif dan suhu lingkungan sekitar biji (Pettit 1984). Aspergillus flavus optimum menghasilkan aflatoxin pada kadar air substrat 15-30%, suhu o C dan kelembaban nisbi 85% (Wright dan Cruickshank 1999). Infeksi prapanen Jamur A. flavus adalah jamur tular tanah, sehingga infeksinya pada polong kacang tanah sangat mungkin terjadi ketika polong masih berada di lapang (infeksi prapanen). Selain menginfeksi polong, jamur juga menginfeksi tanaman dengan gejala umum daun menguning dan mengalami klorosis, kemudian layu, mengering dan tanaman ditumbuhi miselia berwarna coklat atau hitam dengan spora-spora kuning kehijauan (Mohammed dan Chala 2014). Faktor-faktor pemicu Gambar 2. Tingkat keamanan kacang tanah ditinjau dari cemaran aflatoxin B 1 15 ppb pada mata rantai utama perdagangan kacang tanah (Sumber: Dharmaputra et al. 2005a, Dharmaputra et al. 2007, Rahmianna et al. 2007c). Lingkungan. Parameter lingkungan prapanen yang paling penting dalam produksi aflatoxin adalah lengas dan suhu tanah di sekitar polong. Deraan kekeringan yang tinggi selama 4-6 minggu hingga kacang tanah dipanen sangat berpeluang terbentuknya aflatoxin di dalam biji yang sudah terinfeksi jamur A. flavus. Suhu tanah yang optimum untuk produksi aflatoxin berkisar antara 26,3-30,5 o C (Schearer et al dalam Wright and Cruickshank 1999). Kekeringan menginduksi peningkatan proline dan senyawa ini dilaporkan memicu pembentukan aflatoxin (Payne and Hagler 1983). Selain itu, pembentukan phytoalexin (senyawa antimikrobia) terhambat oleh deraan kekeringan. Kemungkinan lain adalah jamur kompetitor A. flavus tidak berkembang secara optimal pada kondisi kekeringan dan suhu tinggi, sedangkan A. flavus yang termasuk xerotolerant atau toleran terhadap suhu tinggi (25-42 o C) sehingga masih mampu bertahan (Klich 2007). Oleh karena itu, salah satu tindakan yang dianjurkan untuk mencegah infeksi jamur A. flavus dan kontaminasi aflatoxin adalah pengairan (Rahmianna et al. 2007c). Pengairan yang cukup, terutama pada fase generatif akhir sangat dianjurkan untuk menjaga kadar air biji lebih tinggi dari 30%, kulit polong tetap utuh sehingga mampu menekan kontaminasi aflatoxin meskipun suhu tanah berada pada kisaran optimal untuk produksi aflatoxin. Keadaan fisik polong dan biji. Biji rusak atau yang masih muda (keriput) mempunyai kandungan aflatoxin lebih tinggi daripada biji utuh maupun sudah matang panen (Rahmianna et al. 2015). Sanders et al. (1993) melaporkan bahwa pada kondisi terdera kekeringan dan suhu lingkungan yang tinggi maka kontaminasi aflatoxin terjadi lebih awal dan pada tingkat yang lebih parah terjadi pada biji muda. Hal ini karena pada kondisi kekeringan dan

Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach)

Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) Erythrina 1 dan Zulkifli

Lebih terperinci

TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI

TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 01/Kpts/SR.130/1/2006 TANGGAL 3 JANUARI 2006 TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN RAKITAN TEKNOLOGI SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN Bogor,

Lebih terperinci

I. Pendahuluan. II. Permasalahan

I. Pendahuluan. II. Permasalahan A. PENJELASAN UMUM I. Pendahuluan (1) Padi sawah merupakan konsumen pupuk terbesar di Indonesia. Efisiensi pemupukan tidak hanya berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga terkait

Lebih terperinci

Untuk menunjang pertumbuhannya, tananam memerlukan pasokan hara

Untuk menunjang pertumbuhannya, tananam memerlukan pasokan hara Penentuan Takaran Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi Sawah Sarlan Abdulrachman dan Hasil Sembiring 1 Ringkasan Pemanfaatan kandungan fosfat tanah secara optimal merupakan strategi terbaik untuk mempertahankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan 6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan sebagai

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR Oleh : Ir. Indra Gunawan Sabaruddin Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK NPK 20:10:10 DAN ASAM HUMAT TERHADAP TANAMAN JAGUNG DI LAHAN SAWAH ALUVIAL, GOWA

PENGARUH PUPUK NPK 20:10:10 DAN ASAM HUMAT TERHADAP TANAMAN JAGUNG DI LAHAN SAWAH ALUVIAL, GOWA PENGARUH PUPUK NPK 20:10:10 DAN ASAM HUMAT TERHADAP TANAMAN JAGUNG DI LAHAN SAWAH ALUVIAL, GOWA Syafruddin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

Lebih terperinci

PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI. Oleh :

PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI. Oleh : PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI Oleh : BP3K KECAMATAN SELOPURO 2016 I. Latar Belakang PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI

PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI Endjang Sujitno, Kurnia, dan Taemi Fahmi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang,

Lebih terperinci

Naskah diterima 20 Januari 2015 dan disetujui diterbitkan 22 Mei 2015 ABSTRACT

Naskah diterima 20 Januari 2015 dan disetujui diterbitkan 22 Mei 2015 ABSTRACT Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah (Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric Greenhouse Gases in Lowland) A. Wihardjaka dan Poniman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut (Ladha et al., 1997). Indonesia merupakan negara agraris, dengan sektor

I. PENDAHULUAN. tersebut (Ladha et al., 1997). Indonesia merupakan negara agraris, dengan sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan makanan pokok lebih dari 2 milyar penduduk di Asia dan ratusan juta di Afrika dan Amerika Latin. Kebutuhan beras tersebut akan semakin bertambah

Lebih terperinci

Apa yang dimaksud dengan PHSL?

Apa yang dimaksud dengan PHSL? Usahatani padi sawah di Indonesia dicirikan oleh kepemilikan lahan yang kecil (< 0.5 ha) Teknik budidaya petani bervariasi antar petani dan antar petakan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Konversi Kurnia, F. Lahan Agus, dan D. Produksi Setyorini, Pangan dan A. Setiyanto Nasional KONVERSI LAHAN DAN PRODUKSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

Pupuk Majemuk dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi pada Padi Sawah

Pupuk Majemuk dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi pada Padi Sawah Pupuk Majemuk dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi pada Padi Sawah Zulkifli Zaini Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jl. Merdeka 147 Bogor, Jawa Barat Email: z.zaini@irri.org Naskah diterima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMUPUKAN PADI SAWAH LAHAN IRIGASI DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

TEKNOLOGI PEMUPUKAN PADI SAWAH LAHAN IRIGASI DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH TEKNOLOGI PEMUPUKAN PADI SAWAH LAHAN IRIGASI DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH Oleh : Chairunas, Basri AB, Tamrin, M.. Nasir Ali dan T.M. Fakhrizal PENDAHULUAN Kelebihan pemakaian dan atau tidak tepatnya

Lebih terperinci

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI Prof. Dr. Marwoto dan Prof. Dr. Subandi Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul B Tujuan Ikhtisar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai ekonomis, serta harus terus dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Lahan Sawah Tadah Hujan Sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang sangat tergantung pada curah hujan sebagai sumber air untuk berproduksi. Jenis sawah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando,

I PENDAHULUAN. besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando, I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini beras masih merupakan pangan utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando, 2007) kebutuhan beras dari tahun-ketahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap gizi ini dapat

I. PENDAHULUAN. dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap gizi ini dapat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang berperan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap gizi ini dapat diperoleh dari

Lebih terperinci

PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA PADI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PEMUPUKAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN

PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA PADI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PEMUPUKAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA PADI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PEMUPUKAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 Sesi : PEMUPUKAN Tujuan Berlatih : Setelah selesai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

KESEIMBANGAN DAN KETERSEDIAAN KALIUM DALAM TANAH DENGAN BERBAGAI INPUT PUPUK PADA SISTEM SAWAH TADAH HUJAN Sukarjo 1, Anik Hidayah 1 dan Ina Zulaehah 1 1 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia dewasa ini memerlukan kerja keras dengan melibatkan puluhan juta orang yang berhadapan dengan berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang The Earth Summit (KTT Bumi) 1992 di Rio de Janeiro adalah indikator utama semakin besarnya perhatian dan kepedulian dunia internasional pada masalah lingkungan serta

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim global merupakan salah satu issu lingkungan penting dunia dewasa ini, artinya tidak hanya dibicarakan di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian dari keluarga rumput-rumputan. Jagung merupakan tanaman serealia yang menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung 18 TINJAUAN PUSTAKA Jagung Kebutuhan jagung di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Upaya peningkatan produksi jagung terus dilakukan melalui usaha secara ekstensifikasi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Menurut Irwan (2006), kandungan gizi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau jamu. Selain itu cabai juga memiliki kandungan gizi yang cukup

I. PENDAHULUAN. atau jamu. Selain itu cabai juga memiliki kandungan gizi yang cukup I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting yang bernilai ekonomis tinggi dan cocok untuk dikembangkan di daerah tropika seperti di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan dimana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berkualitas. Salah satu kendala peningkatan kualitas sumberdaya manusia adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berkualitas. Salah satu kendala peningkatan kualitas sumberdaya manusia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di berbagai bidang memerlukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Salah satu kendala peningkatan kualitas sumberdaya manusia adalah defisiensi nutrisi Zn.

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas padi memiliki arti strategis yang mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanaman padi salah satunya yaitu pemupukan. Pupuk merupakan salah satu faktor

I. PENDAHULUAN. tanaman padi salah satunya yaitu pemupukan. Pupuk merupakan salah satu faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama yang selalu dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Tetapi ada banyak hal yang menjadi kendala dalam produktivitas budidaya tanaman padi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PUPUK HAYATI ECOFERT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG. Syafruddin Balai Penelitian Tanaman Serealia

EFEKTIFITAS PUPUK HAYATI ECOFERT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG. Syafruddin Balai Penelitian Tanaman Serealia EFEKTIFITAS PUPUK HAYATI ECOFERT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG Syafruddin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah di Bontonompo Gowa-Sulsel yang

Lebih terperinci

PENGARUH HUMIC ACID TERHADAP EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PUPUK NPK SUPER PADA TANAMAN JAGUNG. Zubachtirodin Balai Penelitian Tanaman Serealia

PENGARUH HUMIC ACID TERHADAP EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PUPUK NPK SUPER PADA TANAMAN JAGUNG. Zubachtirodin Balai Penelitian Tanaman Serealia PENGARUH HUMIC ACID TERHADAP EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PUPUK NPK SUPER PADA TANAMAN JAGUNG Zubachtirodin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pranan terhadap

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

RESPONS TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN PUPUK FOSFOR DAN PUPUK HIJAU PAITAN

RESPONS TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN PUPUK FOSFOR DAN PUPUK HIJAU PAITAN RESPONS TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN PUPUK FOSFOR DAN PUPUK HIJAU PAITAN Sumarni T., S. Fajriani, dan O. W. Effendi Fakultas Pertanian Universitas BrawijayaJalan Veteran Malang Email: sifa_03@yahoo.com

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air 4 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh

Lebih terperinci

Hanafi Ansari*, Jamilah, Mukhlis

Hanafi Ansari*, Jamilah, Mukhlis PENGARUH DOSIS PUPUK DAN JERAMI PADI TERHADAP KANDUNGAN UNSUR HARA TANAH SERTA PRODUKSI PADI SAWAH PADA SISTEM TANAM SRI (System of Rice Intensification) Effect of Fertilizer Dosage and Rice Straw to the

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun belum dibarengi dengan program operasional yang memadai. Melalui program revitalisasi

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Populasi Bakteri dan Produksi Tanaman Padi Gogorancah

Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Populasi Bakteri dan Produksi Tanaman Padi Gogorancah Kode: SP-014-006 diisi panitia Proceeding Biology Education Conference (ISSN: 2528-5742), Vol 13(1) 2016: 752-756 Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Populasi Bakteri dan Produksi Tanaman Padi

Lebih terperinci

EVALUASI KESUBURAN TANAH

EVALUASI KESUBURAN TANAH EVALUASI KESUBURAN ANAH Referensi Dierolf,.,. Fairhurst, and E. Mutert. 2000. Soil Fertility Kit: A toolkit for acid upland soil fertility management in Southeast Asia. PPI. Singapore. NW. Yuwono. Kesuburan

Lebih terperinci

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sub pertanian tanaman pangan merupakan salah satu faktor pertanian yang sangat penting di Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan gizi masyarakat

Lebih terperinci

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN TAKALAR

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN TAKALAR Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN TAKALAR Amir dan M. Basir Nappu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya Padi merupakan komoditas strategis yang mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian

Lebih terperinci

KADAR HARAMAKRO BERBAGAI JENIS LIMBAH TANAMAN SELAPADAPOLATANAM KELAPA RINGKASAN

KADAR HARAMAKRO BERBAGAI JENIS LIMBAH TANAMAN SELAPADAPOLATANAM KELAPA RINGKASAN KADAR HARAMAKRO BERBAGAI JENIS LIMBAH TANAMAN SELAPADAPOLATANAM KELAPA Ruskandi dan Odih Setiawan Loka Penelitian Tanaman Sela Perkebunan Jl. Raya Pakuwon km.2 Parungkuda, Sukabumi 43357 Peningkatan produktivitas

Lebih terperinci

Keragaan Beberapa VUB Padi Sawah di Lahan Pasang Surut Mendukung Swasembada Pangan

Keragaan Beberapa VUB Padi Sawah di Lahan Pasang Surut Mendukung Swasembada Pangan Keragaan Beberapa VUB Padi Sawah di Lahan Pasang Surut Mendukung Swasembada Pangan Suparman dan Vidya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jl. G. Obos Km. 5 Palangka Raya E-mail : arman.litbang@gmail.com

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Water Resource Management to Increase Sustainably of Rice Production in Tidal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN OMISSION PLOT Kajian Efektifitas Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Pada Kawasan Penambangan Nikel Di Wasile - Maluku Utara

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN OMISSION PLOT Kajian Efektifitas Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Pada Kawasan Penambangan Nikel Di Wasile - Maluku Utara PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN OMISSION PLOT Kajian Efektifitas Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Pada Kawasan Penambangan Nikel Di Wasile - Maluku Utara I. PENDEKATAN PETAK OMISI Kemampuan tanah menyediakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Tanah Analisis tanah merupakan salah satu pengamatan selintas untuk mengetahui karakteristik tanah sebelum maupun setelah dilakukan penelitian. Analisis tanah

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA HUSIN KADERI Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru RINGKASAN Percobaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang baik serta kegunaan yang cukup beragam. Nilai gizi jagung

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

Teknologi Peningkatan Produksi dan Kualitas Hasil Panen Padi

Teknologi Peningkatan Produksi dan Kualitas Hasil Panen Padi Teknologi Peningkatan Produksi dan Kualitas Hasil Panen Padi Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia PT Maxima Agro Internasional H A S I L K A R Y A A N A K B A N G S A Pendahuluan Penyediaan

Lebih terperinci

PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN SELUMA Studi Kasus: Lahan Sawah Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan ABSTRAK PENDAHULUAN

PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN SELUMA Studi Kasus: Lahan Sawah Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan ABSTRAK PENDAHULUAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN SELUMA Studi Kasus: Lahan Sawah Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Ahmad Damiri dan Yartiwi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Lebih terperinci

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PADA LAHAN MARJINAL. M. Akil Balitsereal Maros ABSTRAK

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PADA LAHAN MARJINAL. M. Akil Balitsereal Maros ABSTRAK TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PADA LAHAN MARJINAL M. Akil Balitsereal Maros ABSTRAK Pengembangan pertanaman jagung akan lebih produktif dan berorientasi pendapatan/agribisnis, selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEUNTUNGAN USAHA TANI KACANG TANAH MELALUI INTRODUKSI TEKNOLOGI VARIETAS UNGGUL DI DESA SIGEDONG KECAMATAN MANCAK KABUPATEN SERANG

PENINGKATAN KEUNTUNGAN USAHA TANI KACANG TANAH MELALUI INTRODUKSI TEKNOLOGI VARIETAS UNGGUL DI DESA SIGEDONG KECAMATAN MANCAK KABUPATEN SERANG PENINGKATAN KEUNTUNGAN USAHA TANI KACANG TANAH MELALUI INTRODUKSI TEKNOLOGI VARIETAS UNGGUL DI DESA SIGEDONG KECAMATAN MANCAK KABUPATEN SERANG Resmayeti Purba dan Zuraida Yursak Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

Efisiensi Penggunaan Pupuk dan Lahan dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Padi Sawah

Efisiensi Penggunaan Pupuk dan Lahan dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Padi Sawah Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bengkulu 7 Juli 2011 ISBN 978-602-19247-0-9 180 Efisiensi Penggunaan Pupuk dan Lahan dalam Upaya

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi p-issn: Volume 1 Nomor 2 Tahun 2017 e-issn:

Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi p-issn: Volume 1 Nomor 2 Tahun 2017 e-issn: STATUS HARA LAHAN SAWAH DAN REKOMENDASI PEMUPUKAN PADI SAWAH PASANG SURUT DI KECAMATAN RANTAU RASAU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI Busyra Buyung Saidi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci