PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL"

Transkripsi

1 PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL IMPLEMENTATION OF CRIMINAL CUSTOMARY LAW IN PAPUA ENGGROS TOBATI NATIONAL CRIMINAL LAW DEVELOPMENTS Hamid Muhammad Amin 1, Aminuddin M. Salle 2, M. Syukri AKub 2 1 Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2 Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi: Hamid Muhammad Amin Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, aminuniyap11@gmail.com HP :

2 ABSTRAK Pengembangan hukum nasional mestinya bersumber dan digali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sehingga hukum nasional mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural masyarakat Indonesia. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui kaidah hukum pidana adat suku Enggros Tobati di Papua dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukum pidana adat tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yang dipusatkan pada sistem hukum adat Papua. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data skunder dan primer melalui studi teknik dokumentasi. Dan wawancara narasumber dalam hal ini tokoh/pemuka adat Papua. Data yang dikumpulkan berupa informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Bentuk hukum adat sebagian besar adalah tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Masyarakat Enggros Tobati mengenal asas yang identik dengan asas ultimum remedium. Konsep musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan model restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana. Setiap warga Enggros Tobati dilekati hukum pidana adat Enggros Tobati ke mana pun ia pergi, sekalipun seorang Enggros Tobati yang berada di luar wilayah Enggros Tobati. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa, hukum pidana adat Enggros Tobati memiliki kaidah hukum pidana yang meliputi hukum matriil dan hukum formiil yang hingga saat ini masih digunakan dalam menyelesaikan sengketa adat yang terjadi melalui Dewan Adat Enggros Tobati. Kata kunci: Hukum Adat, Masyarakat Papua. ABSTRACT Development of national laws should be sourced and extracted from the legal values that live in the community so that national laws reflect social, cultural, and structural Indonesian society. This study was aimed to determine the rules of criminal law Enggros tribal Tobati in Papua and the factors that affect the application of the customary criminal law. This research is a field (field research), which focused on the existing legal system in Papua. In this study, data analysis was done by collecting secondary data and primary research through engineering documentation. And interview informants in this figure / Papuan traditional leaders. Data collected in the form of information berakaitan with problems that are then analyzed by descriptive qualitative. Most forms of customary law was not written and is not codified, but still adhered to in the community because they have a certain sanctions if not complied with. Enggros community know Tobati principle identical with the principle ultimum. The concept of deliberations in the completion of the criminal case basically have in common with restorative justice models in solving criminal cases. Every citizen Enggros Tobati glued Enggros Tobati customary criminal law wherever he goes, even a Enggros Tobati outside the region Enggros Tobati. Furthermore, the results showed that, the criminal law has Tobati Enggros customary rules of law which include criminal law and laws matriil formiil which is still used in traditional dispute resolution that occurs through the Tribal Council Enggros Tobati. Keywords: Indigenous Peoples of Papua.

3 PENDAHULUAN Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota dan di desa. Keragaman itu menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibi ius ibi societas, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat (Soepomo, 2007). Antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat, hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang maka peran hukum dapat dilihat secara lebih konkrit. Di dalam lapangan hukum pidana, ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat yaitu hukum pidana yang bersumber pada peraturan tidak tertulis lainya dan hukum yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta peraturan yang tertulis ataupun kebiasaan yaitu hukum pidana adat (Santoso, 1990). Pada dasarnya perkembangan hukum pidana mencakup persoalan-persoalan utama yang berkaitan dengan ketiga permasalahan pokok tersebut meliputi tindak pidana (criminal act), kesalahan atau pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan sanksi (sanction) yang dapat berupa pidana dan tindakan (punishment and treatment). Dalam ketiga permasalahan pokok tersebut tentunya hukum pidana adat akan mendapatkan tempat tersendiri dalam sistem hukum pidana nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Ketentuan mengenai pengakuan hukum adat terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Darurat tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja (zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan

4 tersebut berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan desa. Pengakuan terhadap hukum adat atau hukum pidana adat tercantum pula pada Pasal 1 ayat (3) dan (4) Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut RUU-KUHP) tahun 2008, menyebutkan bahwa "... hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa" (Pratama, 2010). Pengembangan hukum nasional mestinya bersumber dan digali dari nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sehingga hukum nasional mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural masyarakat Indonesia. Dalam rangka menata sistem hukum nasional, maka hukum adat mendapat tempat sebagai bahan penyusun dan pembuat peraturan perundang-undangan. Ini berarti hukum pidana adat perlu dikaji secara mendalam agar materi atau bahan-bahan yang ada dan masih hidup dalam hukum pidana adat dapat dijadikan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup, selama ada manusia budaya, jadi untuk mengetahui pidana adat, sanksi adat, dan peradilan adat untuk masing-masing wilayah atau daerah yang masih memperhatikan hukum pidana adat, maka sangat diperlukan untuk mengadakan pengkajian secara mendalam tentang hukum pidana adat beserta sanksi adatnya dan cara penyelesaiannya dalam peradilan adat yang tersebar diseluruh Indonesia termasuk hukum pidana adat di Papua. Diantara beragam masyarakat hukum adat yang tersebar di Papua, hukum adat suku Enggros Tobati adalah salah satu hukum adat yang hingga kini masih ada dan berlaku mengatur masyarakat adat Enggros Tobati dari generasi ke generasi. Sebagaimana masyarakat adat di Papua pada umumnya, merekapun memiliki hukum adat sendiri yang berlaku mengikat pada masing-masing anggota masyarakatnya, termasuk hukum pidana adat yang merupakan subsistem dari hukum adat Enggros Tobati. Fenomena sebagaimana dijabarkan di atas menunjukkan bahwa hukum pidana adat merupakan hukum yang nyata ada dimasyarakat dan berlaku serta ditaati walaupun ketentuannya tidak tertulis dan bersifat terbuka. Mengingat kenyataan bahwa hukum pidana adat Enggros Tobati masih ada dan berlaku mengikat bagi masyarakat Enggros Tobati dan juga masyarakat luar Enggros Tobati yang berada di kawasan Enggros Tobati, sementara

5 pengetahuan mengenai hal tersebut masih sangat minim. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kaidah hukum pidana adat suku enggros tobati di papua dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukum pidana adat tersebut. BAHAN DAN METODE Lokasi dan rancangan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian dengan mengambil data secara langsung dari tempat penelitian penerapan hukum adat papua, yakni pada suku Enggros Tobati di kota Jayapura. Jenis dan sumber data Jenis dan sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini bahan hukum primer, terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, serta yang terkait dengan pokok masalah dalam penelitian ini dan juga data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama (responden) dengan cara wawancara. Selain itu digunakan juga bahan hukum sekunder, berupa bahan atau materi yang menjelaskan tentang penerapan hukum adat yang meliputi literatur, karya-karya ilmiah yang ditulis oleh pakar hukum, serta tulisan-tulisan lepas yang dimuat dalam situs-situs internet yang mengkaji dan membahas materi yang terkait dengan objek dan masalah dalam penelitian ini. Metode pengumpulan data Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode yakni penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam penelitian ini dan selanjutnya menganalisa masalah-masalah yang dihadapi untuk menghimpun data sekunder. Juga dilakukan penelitian lapangan (field research), yang dilakukan untuk mendapatkan data primer sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. Analisis data Keseluruhan data yang diperoleh baik data primer maupun sekunder diolah, kemudian dianlisis secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis, sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat. Selanjutnya, dikelompokkan dan diinterpretasi dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan

6 konstruksi hukum serta dianalisis secara yuridis kualitatif. Cara dalam analisis ini, akan berpedoman pada pendekatan keobjektivisan, sistematis, dan generalisasi guna menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan penelitian ini. HASIL Tobati dan Enggros adalah nama dua kampung yang terletak diteluk Youtefa. Kampung Tobati dan Enggros terbagi dalam dua kecamatan dan kelurahan yang berbeda. Letak geografis Kampung Tobati berada di Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura, dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Hamadi, sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Enggros, sebelah timur berbatasan dengan Laut Pasifik dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Waichorock. Sedangkan Kampung Enggros merupakan salah satu kampung yang termasuk dalam wilayah Administratif Distrik Abepura Kota Jayapura, dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Asano, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Holtekamp, sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Tobati, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Vim. Walaupun secara administrasi kedua kampung ini terpisah dalam kelurahan yang berbeda, namun mempunyai satu sistem kekerabatan yang sama dan berada dibawah pemimpin adat yang sama. Dalam sistem kekerabatan dikenal istilah Matarumah untuk menyebutkan beberapa keret yang merupakan satu sub-klen, disebut Matarumah karena pada mulanya mereka bersama-sama menghuni satu rumah besar yang dibagi menjadi beberapa kekerabatan. Bilikbilik keluarga inilah yang kemudian terpecah dan disebut Matarumah yang kemudian berkembang meliputi beberapa keret. Kelas sosial dalam masyarakat terjadi seiring mengikuti peran setiap orang dalam komunitasnya. Hal ini terjadi pada masyarakat adat Enggros Tobati yaitu terdapat kelas atau struktur sosial beserta nama-nama sebutannya. Istilah-istilah tersebut sekaligus menunjukkan hubungan kekerabatan dikalangan suku Enggros Tobati. Masyarakat adat Enggros Tobati terdiri atas beberapa keret dan mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kepemimpinan adat yang terdapat pada Kampung Enggros Tobati, terdiri dari pimpinan adat (charsori), dan pimpinan klan (har-hbur). Pemerintahan adat di Kampung Enggros Tobati berpusat pada pimpinan adat (charsori), yang kedudukan pemimpinnya diperoleh karena pewarisan (ascribed status) yang bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran (hak kesulungan) maupun klan berdasarkan garis patrilineal dan diwariskan secara

7 turun-temurun. Segala hal yang menyangkut aktivitas kehidupan masyarakat adat mengenai aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi dan dilarang, serta masalahmasalah yang menyangkut penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam masyarakat adat. Masalah-masalah yang menyangkut penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam masyarakat adat, diselesaikan dan diputuskan oleh Charsori dan Har-hbur. Peranan yang dimiliki oleh seorang Charsori dan Har-hbur sangat penting di dalam menentukan, memutuskan, dan memberi sanksi, setiap aktivitas maupun program pembangunan yang dijalankan masyarakat adatnya (lihat gambar 1). Berbagai ketentuan umum mengenai hukum pidana adat Enggros Tobati dikenal asas legalitas, asas ultimum remedium, musyawarah, personalitas, territorial, pengulangan, penyertaan, pembarengan, dan belum cukup umur. Bentuk hukum adat sebagian besar adalah tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Sistem pelanggaran yang dianut hukum pidana adat Enggros Tobati adalah terbuka tidak seperti KUHP yang bersifat tertutup yang terikat pada suatu ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 KUHP karena apa yang dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur dengan mata rantai lapangan hidup seluruhnya. Apabila terjadi peristiwa yang mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat adat maka itu dikategorikan sebagai pelanggaran. Masyarakat Enggros Tobati mengenal asas yang identik dengan asas ultimum remedium dan diterapkan integral dalam penyelesaian tindak pidana. Artinya jika ada suatu tindak pidana, maka penyelesaian dalam tahap keluarga sedapat mungkin dilakukan. Jika para pihak tidak puas barulah kemudian diserahkan pada sistem peradilan adat Enggros Tobati. Konsep musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan model restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana. Sama halnya dengan hukum pidana nasional, hukum pidana adat Enggros Tobati mengenal ketentuan semacam asas personalitas. Dalam asas personalitas yang terpokok adalah orang, person. Berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan di mana orang itu berada, hukum pidana nasional selalu melekatinya. Pada prinsipnya hukum pidana adat Enggros Tobati menganut pula asas teritorial. Keberlakuan asas teritorial bagi masyarakat di luar Enggros Tobati pada delik-delik yang bersifat umum seperti penganiayaan, mencuri, penipuan, dan sebagainya. Dalam hukum pidana adat Enggros Tobati, dibedakan bobot hukuman peran dalam suatu tindak pidana. Maka pelaku

8 (dader), penyuruh (doenpleger), turut serta melakukan (mededader/ medepleger), pembujuk (uitlokker), dan pembantu (medeplichtige) dibedakan dalam hal bobot hukumannya. Berbagai peran sebagaimana di atas juga dikenal dalam hukum pidana adat Enggros Tobati hanya sekadar membedakan peran yang dilakukan dalam suatu tindak pidana tetapi hukumannya berbeda. Pelaku tindak pidana yang belum cukup umur dalam hukum pidana adat Enggros Tobati dipertimbangkan untuk tidak dipidana. Umumnya terhadap pelaku tersebut dikembalikan pada orang tuanya kecuali jika orang tuanya menyerah, tidak sanggup untuk mendidik anak tersebut dan diserahkan ke hukum pidana adat Enggros Tobati. Sama halnya dengan pelaku yang gila, akibat yang timbul dari tindak pidana dialihkan kepada orang tua untuk diselesaikan. Hal yang perlu diperhatikan dari tindak pidana yang dilakukan kedua jenis pelaku diatas (gila dan belum cukup umur) adalah bahwa perbuatannya tetap merupakan tindak pidana tetapi karena terdapat semacam alasan pemaaf maka pelaku tindak pidana tidak dipidana. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, sistem hukum adat masyarakat Enggros Tobati memiliki sistem hukum yang sama dengan sistem hukum pidana Indonesia, yang meliputi prinsip dasar (asas), jenis tindak pidana beserta sanksinya, maupun yang berkaitan dengan hukum acara peradilannya. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan adat masyarakat Enggros Tobati mencakup aspek perundang-undangan dan kelembagaan masyarakat adatnya. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Sistem pelanggaran yang dianut hukum pidana adat Enggros Tobati adalah terbuka tidak seperti KUHP yang bersifat tertutup yang terikat pada suatu ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 KUHP karena apa yang dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur dengan mata rantai lapangan hidup seluruhnya (Mursalim, 2010). Apabila terjadi peristiwa yang mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat adat maka itu dikategorikan sebagai pelanggaran. Sama halnya dengan hukum

9 pidana nasional, hukum pidana adat Enggros Tobati mengenal ketentuan semacam asas personalitas. Dalam asas personalitas yang terpokok adalah orang, person. Berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan di mana orang itu berada, hukum pidana nasional selalu melekatinya (Sianturi, 2002). Demikian halnya dengan Enggros Tobati, setiap warga Enggros Tobati dilekati hukum pidana adat Enggros Tobati ke mana pun ia pergi, sekalipun seorang Enggros Tobati yang berada di luar wilayah Enggros Tobati.Dalam hukum pidana adat Enggros Tobati, dibedakan bobot hukuman peran dalam suatu tindak pidana. Maka pelaku (dader), penyuruh (doenpleger), turut serta melakukan (mededader/ medepleger), pembujuk (uitlokker), dan pembantu (medeplichtige) dibedakan dalam hal bobot hukumannya. Berbagai peran sebagaimana di atas juga dikenal dalam hukum pidana adat Enggros Tobati hanya sekadar membedakan peran yang dilakukan dalam suatu tindak pidana tetapi hukumannya berbeda. Menurut Daniel Hamadi pelaku utamanya itu lebih berat yang ikut itu agak ringan. Dalam Hukum pidana adat Enggros Tobati niat merupakan cerminan perilaku hati, maka semua yang terkait dengan suatu tindak pidana harus bertanggungjawab dan dikenakan denda adat sesuai permintaan korban dan keluarga korban. hukum pidana adat Enggros Tobati tidak dibedakan dan dipisahkan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tetapi perbedaan didasarkan pada kriteria berat dan ringannya delik, maka hukum pidana adat Enggros Tobatipun mengenal tindak pidana berdasarkan berat dan ringannya perbuatan. Kendati demikian tidak ada pemisahan tegas mana yang merupakan tindak pidana ringan dan tindak pidana berat, ukuran berat ringannya perbuatan nampaknya didasarkan pada seberapa besar tindak pidana tersebut mengguncangkan perasan kemanusiaan dan masyarakat Enggros Tobati. Dalam penyelesaian perkara-perkara pidana seperti yang telah disebutkan diatas oleh Dewan adat Enggros Tobati adalah dengan mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Kedua belah pihak diundang untuk diselesaikan di depan forum yang terbuka untuk umum, setelah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak lalu diambil keputusan sesuai tingkat kesalahannya/pelanggarannya dan diberi sanksi adat dengan membayar sejumlah uang atau denda adat. Selanjutnya proses penyelesaian dapat berlanjut kalau penyelesaian perkara pidana adat tidak mencapai perdamaian di tingkat keret maka perkara tersebut dilanjutkan ke Para-Para Adat dengan Ondoafi sebagai Hakim Adat. Secara

10 skematik prosedur penyelesaian tindak pidana dalam hukum pidana adat Enggros Tobati (Lihat Gambar II). Dalam penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa proses yang tidak boleh di pisahkan antara lain : penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim, dan pembuatan peraturan perudangundangan (Negarawan,2010). Namun pada kenyataanya penegakan hukum mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Kemudian Faktor-faktor tersebut dijabarkan menurut Soerjono Soekanto, antara lain, faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan (Ali, 2006). Istilah peradilan adat dan pengadilan adat digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun Walaupun kedua istilah tersebut sesungguhnya dapat dibedakan pengertiannya, yaitu peradilan adat menyangkut proses atau sistem, sedangkan pengadilan adat menyangkut lembaga peradilannya; tetapi Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tampaknya tidak membedakan pengertian keduanya, karena kedua istilah tersebut digunakan secara bersamaan dalam tanpa membedakan pengertiannya. Dalam pasal-pasal undang-undang tersebut, istilah yang digunakan adalah pengadilan adat, sedangkan dalam penjelasannya di samping istilah pengadilan adat juga digunakan istilah peradilan adat (Rosslina, 2009). Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu dinamika tersendiri dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia khususnya masyarakat Enggros Tobati yang memiliki aturan adat dan peradilan adat tersendiri dalam menyelesaikan suatu pelanggaran adat. Ini membuktikan bahwa faktor hukum (UUD 1945, UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU Otsus dan PERDASUS) sangat mendukung dalam penerapan hukum pidana Enggros Tobati di Papua. KESIMPULAN DAN SARAN Hukum pidana adat Enggros Tobati memiliki kaidah hukum pidana yang meliputi hukum matriil dan hukum formiil. Perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan sanksi dalam hukum pidana adat Enggros Tobati dirumuskan secara tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab. Pengetahuan dan pemahaman hukum pidana adat Enggros Tobati dilestarikan melalui budaya lisan tutur secara turun temurun maupun melalui

11 upacara adat. Ketentuan peraturan Perundang-undangan, sangat mendukung diterapkannya hukum pidana Enggros Tobati di Papua. Keberadaan kelembagaan seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terbentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2004, MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang terbagi atas tujuh daerah wilayah adat di Papua juga mendorong diberlakukannya penyelesaian sengketa adat melalui hukum adat. Adanya kelembagaan ini merupakan faktor pendukung penerapan hukum pidana Enggros Tobati Papua. Faktor yang juga tatkalah penting yang mempengaruhi penerapan hukum pidana adat Enggros Tobati di Papua yakni budaya hukum masyarakat yang sampai saat ini masih menggunakan hukum adatnya dalam menyelesaikan sengketa adat yang terjadi melalui Dewan Adat Enggros Tobati. Penulis menyarankan agar konsep ganti rugi/denda adat dan pertanggungjawaban pelaku yang menderita kelainan jiwa dalam hukum pidana adatnya Enggros Tobati hendaknya diadopsi para penegak hukum di Papua khususnya di Jayapura dalam penyelesaian perkara pidana sehingga dapat mengakomodir kepentingan korban, pelaku dan masyarakat. Selain itu Perlu di bentuknya Peraturan Daerah (PERDA) di Kota Jayapura (Port Numbay) tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di Kota Jayapura yang sampai saat ini masih mempertahankan dan menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan pelanggaran adat yang terjadi termasuk didalamnya adalah masyarakat adat Enggros Tobati. DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. (2011). Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua). Bogor: Ghalia Indonesia. Ilyas, Amir. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Publishing. Mursalim. (2010). Tindak Pidana Khusus dalam Hukum Pidana Nasional. Palu: Jurnal Ilmu Hukum RECHSTAAT Vol.3. Negarawan, Bhakti Purnama. (2010). Analisis Hukum Terhadap Penerapan Hukum Pidana Nasional yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Khusus. Samarinda: Jurnal Hukum Mulawarman Pers Vol. 1. Pratama, Ikhsan. (2010). Hukum Adat dalam Hukum Nasional Indonesia. Palu: Jurnal Ilmu Hukum RECHSTAAT Vol.3. Rosslina, Andi. (2009). Bingkai Hukum Nasional dalam Prespektif Keberagaman Masyarakat Adat. Makassar: Jurnal Ilmiah MEJA-HIJAU Vol.1. Santoso, Topo. (1990). Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: P.T. Eresco. Soepomo, R. (2007). Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

12 LAMPIRAN Gambar 1: Struktur Masyarakat Adat Enggros Tobati ONDOAFI BESAR SUKU HAMADI KEPALA KAMPUNG ENGGROS DEWAN KEPALA KAMPUNG TOBATI KLEN ENGGROS KLEN TOBATI KERET ATAS KERET BAWAH KERET ATAS KERET BAWAH MARGA MARGA MARGA MARGA 1. SANYI 2. DRUNYI 1. MERAUJE 2. SEMRA 1. HANASBEI 2. IWO 3. HAAI 4. SAMAI 5. HAMADI 6. HABABUK 7. ITAR 1. HAMADI 2. IREEUW 1. INJAMA 2. AFAAR 3. DAWIR 4. HASSOR 5. MANO 6. HAAI 7. HABABUK 8. ITAR 9. SREM SREM 10. MERAUJE 11. IWO MASYARAKAT ADAT

13 Gambar 2: Alur Penyelesaian Perkara Dalam Hukum Adat Enggros Tobati PELANGGARAN ADAT PENYELESAIAN ANTARA KELUARGA KORBAN DAN PELAKU SELESAI TIDAK SELESAI DENDA TIDAK BERSALAH PROSES PEMBUKTIAN KEPALA KERET DENDA BERSALAH (DEWAN ADAT) (Har-Hbur) KEBERATAN PROSES HUKUM NASIONAL (POLISI)

Analisis, Desember 2013, Vol.2 No.2 : ISSN PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Analisis, Desember 2013, Vol.2 No.2 : ISSN PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL Analisis, Desember 2013, Vol.2 No.2 : 172 180 ISSN 2252-7230 PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL Implementation of Criminal Customary Law in Papua

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi

Lebih terperinci

TENTIR UJIAN TENGAH SEMESTER PENGANTAR HUKUM INDONESIA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS HUKUM 2012

TENTIR UJIAN TENGAH SEMESTER PENGANTAR HUKUM INDONESIA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS HUKUM 2012 TENTIR UJIAN TENGAH SEMESTER PENGANTAR HUKUM INDONESIA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS HUKUM 2012 1. Pada saat ini terdapat beberapa aturan Hindia Belanda yang masih berlaku di Indonesia. Mengapa peraturan

Lebih terperinci

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Faiq Tobroni, SHI., MH. Perkembangan Asas Asas Legalitas 1. Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang

III. METODE PENELITIAN. Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang III. METODE PENELITIAN Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang akan dibahas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka dalam penelitian ini diperlukan metode tertentu.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP O L E H PUTERI HIKMAWATI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya,

Lebih terperinci

Abdul Rahman Upara, SH.,MH 1. Kata Kunci : Sanksi, Pidana Adat, Tindak Pidana, Zina, Adat Tobati

Abdul Rahman Upara, SH.,MH 1. Kata Kunci : Sanksi, Pidana Adat, Tindak Pidana, Zina, Adat Tobati PENERAPAN SANKSI PIDANA ADAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ZINA DI TINJAU DARI HUKUM PIDANA ADAT DAN HUKUM PIDANA NASIONAL PADA MASYARAKAT ADAT TOBATI DI JAYAPURA Abdul Rahman Upara, SH.,MH 1 Abstrak :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada zaman modern sekarang ini, pertumbuhan dan perkembangan manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu karena didukung oleh derasnya arus informasi

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT To determine fault someone

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

JURNAL HUKUM SAHNYA PEMBUKAAN TANAH ATAS TANAH ULAYAT UNTUK DIJADIKAN TANAH HAK MILIK PERSEORANGAN DI KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA.

JURNAL HUKUM SAHNYA PEMBUKAAN TANAH ATAS TANAH ULAYAT UNTUK DIJADIKAN TANAH HAK MILIK PERSEORANGAN DI KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA. JURNAL HUKUM SAHNYA PEMBUKAAN TANAH ATAS TANAH ULAYAT UNTUK DIJADIKAN TANAH HAK MILIK PERSEORANGAN DI KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA Diajukan oleh : Catur Yanuar Pamungkas NPM : 130511198 Program Studi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strafbeerfeit dapat diartikan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR Oleh: I Gusti Bagus Eka Pramana Putra I Ketut Mertha I Wayan Suardana Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH Oleh : Made Aprina Wulantika Dewi Nyoman A. Martana Program Kekhususan : Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract : The problem raised is about

Lebih terperinci

Riva Lovianita Lumbantoruan ABSTRAK

Riva Lovianita Lumbantoruan ABSTRAK v TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Lebih terperinci

RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN

RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN Prof. DR. HIKMAHANTO JUWANA, SH., DR. ANGGI AULINA, DAN WAHYUDI DJAFAR (ELSAM) -------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai suatu Negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan larangan atau keharusan keharusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini ada 2 (dua) aturan yang mengatur kepentingan masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah hukum yang mengatur hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen yaitu Struktur, substansi dan kultur hukum. 2 Ketiga komponen tersebut

BAB I PENDAHULUAN. komponen yaitu Struktur, substansi dan kultur hukum. 2 Ketiga komponen tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT Oleh Ida Bagus Gede Angga Juniarta Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The pratima thievery

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena kejahatan merupakan produk dari masyarakat dan ini perlu ditanggulangi

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK Kepastian Hukum menurut Sistem Hukum Nasional (Siskumnas), seperti apa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

Peran dan Tanggungjawab Notaris dalam Keputusan Pemegang Saham diluar Rapat Umum...

Peran dan Tanggungjawab Notaris dalam Keputusan Pemegang Saham diluar Rapat Umum... Peran dan Tanggungjawab Notaris dalam Keputusan Pemegang Saham diluar Rapat Umum... PERAN DAN TANGGUNGJAWAB NOTARIS DALAM KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) BERDASAR UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO Oleh: I Gst Ngr Dwi Wiranata Ibrahim R. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Perbuatan kumpul kebo merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan selalu terjadi pada masyarakat pelakunya dapat orang dewasa, maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan Perlindungan hukum

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN Oleh : Tim Pusat Kajian Hukum Dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Unsoed

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN Oleh : Tim Pusat Kajian Hukum Dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Unsoed TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 2004 Oleh : Tim Pusat Kajian Hukum Dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Unsoed Kerangka Peraturan Perundang-undangan terdiri dari : A. Judul;

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya kejahatan dilakukan oleh orang yang telah dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya kejahatan dilakukan oleh orang yang telah dewasa, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya kejahatan dilakukan oleh orang yang telah dewasa, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga anak-anak yang melakukan kejahatan. Hal ini menunjukkan

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat

III. METODE PENELITIAN. penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat 26 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Metode merupakan suatu bentuk cara yang digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat memecahkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengadilan, serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat subsistem tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengadilan, serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat subsistem tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan tentang apa tugas hukum pidana dimasyarakat dan bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

Kapita Selekta Ilmu Sosial

Kapita Selekta Ilmu Sosial Modul ke: Kapita Selekta Ilmu Sosial Hukum Pidana Fakultas ILMU KOMUNIKASI Finy F. Basarah, M.Si Program Studi Penyiaran Hukum Pidana Kapita Selekta Ilmu Sosial Ruang lingkup: Mengenai Hukum Pidana secara

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

DAKWAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

DAKWAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAKWAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TESIS Oleh : ANDHY YANTO HERLAN 027005028/ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2004 DAKWAAN TERHADAP

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Dalam melakukan penelitian untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, maka penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha diharapkan mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang pada akhirnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN:

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN: HUKUM YANG DICIPTAKAN MELALUI PUTUSAN PENGADILAN PERADILAN dan PENGADILAN PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN PENGADILAN: LEMBAGA ATAU BADAN YANG BERTUGAS MENERIMA,

Lebih terperinci

PHI 6 ASAS HUKUM PIDANA

PHI 6 ASAS HUKUM PIDANA PHI 6 ASAS HUKUM PIDANA OLEH HERLINDAH, SH, M.KN 1 Sub Pokok Bahasan: 1. Istlah dan Pengertan Hukum Pidana 2. Sumber Hukum Pidana 3. Ruang Lingkup Hukum Pidana 4. Asas-Asas Hukum Pidana 2 1. Pengertan

Lebih terperinci

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana Abstract Titles in this writing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu hangat untuk diperbincangkan dari masa ke masa, hal ini disebabkan karakteristik dan formulasinya terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 41 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Yuridis Normatif Pendekatan yuridis normatif adalah

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan digilib.uns.ac.id 488 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada beberapa uraian bab bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Mediasi penal terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk sosial yang artinya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dalam memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA PERUNDANG-UNDANGAN DI LUAR KODIFIKASI HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA PERUNDANG-UNDANGAN DI LUAR KODIFIKASI HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA PERUNDANG-UNDANGAN DI LUAR KODIFIKASI HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN Oleh : I.A. Ratna Apsari Dewi Pembimbing : I Kt. Sandhi Sudarsana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, yang bukan negara

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

Reni Jayanti B ABSTRAK

Reni Jayanti B ABSTRAK Analisis Yuridis Tentang Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri (Studi Kasus Putusan: No.147/Pid.SUS/2011/PN.MAROS) Reni Jayanti B111 09282 ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci