BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pidana Militer 1. Definisi Hukum Pidana Militer Sebelum masuk dalam inti permasalahan, maka perlu kiranya diketahui apa itu hukum Hukum Militer. Hanya sedikit saja orang yang menaruh perhatian pada Hukum Militer, mungkin orang beranggapan bahwa Hukum Militer itu cukup untuk diketahui oleh kalangan militer saja. Hal ini tentu tidak salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar, Hukum Militer dari suatu Negara merupakan sub-sistem Hukum dari Hukum Negara tersebut, oleh karena Militer itu adalah bagian dari suatu masyarakat atau bangsa. Pengertian militer berasal dari bahasa yunani milies yang berarti seseorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan pertempuran terutama dalam rangka pertahanan negara. Sedangkan pengertian secara formil menurut undang-undang dapat ditemukan dalam pasal 46, 47 dan 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara. 1 Pasal 46 (1) Yang dimaksud dengan tentara adalah : Ke 1 : mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu dinas tersebut. Ke 2 : semua sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para militer wajib dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139 KUHPT. 1 Fasal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2006, hal 13 15

2 (2) Kepada setiap militer harus diberitahukan bahwa mereka tunduk pada tata tertib militer. Pasal 47 Barang siapa yang menurut kenyataanya bekerja pada Angkatan Perang, menurut hukum dianggap sebagai militer, apabila dapat diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam ketentuan dalam pasal diatas. Pasal 49 (1) Termasuk pula sebagai anggota angkatan perang : Ke 1 : Para bekas tentara yang dipekerjakan untuk suatu dinas ketentaraan. Ke 2 : Komisaris-komisaris yang berkewajiban ketentaraan yang berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu melakukan jabatan demikian itu. Ke 2 : Para pewira pensiunan, para anggota suatu pengadilan tentara (luar biasa) yang berpakaian dinas demikian itu. (2) Anggota- anggota tentara yang dimaksud dalam ayat 1 dianggap memakai pangkat yang dijabatnya paling akhir atau pangkat yang lebih tinggi yang diberikan kepadanya pada waktu atau sesudahnya mereka meninggalkan dinas tentara 2. Hukum Pidana Militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum pidana militer dalam arti materiil dan hukum pidana militer dalam arti formil. Hukum Pidana Materiil merupakan kumpulan peraturan tindak pidana yang berisi perintah dan larangan untuk menegakkan ketertiban hukum dan apabila perintah dan larangan itu tidak ditaati maka diancam hukuman pidana. Hukum Pidana Formil yang lebih dikenal disebut Acara Pidana merupakan kumpulan peraturan hukum yang memuat ketentuan tentang kekuasaan peradilan dan cara pemeriksaan, pengusutan, penuntutan dan penjatuhan hukuman bagi militer yang melanggar hukum pidana materiil. 2 Dikutip dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. 16

3 Salah satu cara pembagian dari Hukum Pidana dalam arti materiil pada umumnya ialah Hukum Pidana umum dan khusus. Kekhususan tersebut ada yang didasarkan pada suatu materi tertentu seperti misalnya : tentang korupsi, narkotika, perdagangan wanita; yang didasarkan pada golongan justisiabel tertentu seperti misalnya yang berlaku bagi golongan militer dan yang dipersamakan. Hukm Pidana dalam arti formil dapat ditemukan dalam undangundang hukum acara pidana militer beserta berbagai peraturan-peraturan tentang ke-papera-an, penyelesaian suatu perkara dan lain sebagainya. 3 Hukum Pidana materiil dinamakan hukum pidana umum, yang berlaku untuk umum. Dalam Undang-undang tahun 1950 no.1 pasal 34 dipakai istilah perkara hukuman perdata. Undang-undang darurat tahun 51 no. 1 Pasal 5b menggunakan istilah Hukum Pidana sipil. Ini lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah tersebut dinyatakan perbedaannya dengan hukum pidana militer. Karena itu juga berlaku bagi para militer, meskipun bagi mereka itu khusus berlaku hukum pidana militer. Bahwa hukum pidana sipil ini juga berlaku anggota-anggota tentara, antara lain ternyata dalam pasal 1 dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga IX KUHP pada umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer. Dalam pasal 2 : jika perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada KUHP militer tidak ada disebut di situ, maka dipakai perbuatan pidana yang tersebut dalam KUHP. 4 3 E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 1981.Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta : Alumni. Hal Moeljanto, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hal

4 2. Tindak Pidana Militer Tindak pidana militer yang pada umumnya terdapat dalam KUHPM dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1) Tindak pidana militer murni : Tindak pidana militer murni adalah tindakan-tindakan terlarang / diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaannya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. 2) Tindak pidana militer campuran Tindak pidana militer campuran adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan tersebut dalam Pasal 52 KUHP 5. Berdasarkan KUHPM, tindak pidana militer terdiri dari tujuh golongan. 1. Kejahatan yang dapat membahayakan keselamatan negara (Pasal 64 72), berlaku khusus dalam situasi perang. 5 Said Sissa Hadi, dan Teguh Prasetyo. HUKUM PIDANA MILITER DI INDONESIA. Yogyakarta : Mitra Prasaja Offset hal 7 18

5 2. Kejahatan yang secara tidak langsung dapat membahayakan keselamatan negara (pasal 73-84), berlaku khusus dalam situasi perang. 3. Kejahatan melanggar atau tidak memenuhi kewajiban dinas (disersi) (Pasal 85-96). 4. Kejahatan terhadap ketaatan (97-117). 5. Pelanggaran terhadap kewajiban dinas yang dapat membahayakan kepentingan ketentaraan atau menggangu ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat ketentaraan (Pasal ). 6. Kejahatan pencurian dan pertolongan jahat (Pasal ). merupakan tambahan bagi pasal-pasal pencurian di KUHP, karena situasi khusus yaitu: pelakunya tentara, dalam situasi/persiapan perang, barang yang dia ambil adalah barang yang sedang dia jaga, menjarah barang milik korban perang. 7. Kejahatan yang ditunjukan terhadap barang-barang keperluan angkatan perang/sabotase (Pasal ), hukuman diperberat dalam situasi perang. a. Militer sebagai subjek tindak pidana Seorang militer termasuk dalam subjek tindak pidana umum dan juga subjek dari tindak pidana militer. Dalam hal terjadi suatu tindak pidana militer campuran, militer tersebut secara berbarengan adalah subjek dari tindak pidana umum dan 19

6 tindak pidana militer yang berbarengan 6. Ketentuan pidana dalam KUHPM diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 31 Bab II Buku I KUHPM, sedangkan ketentuan tentang pidana dalam KUHP diatur didalam Pasal 10 Bab II Buku I dengan judul Hukuman-hukuman Tindak Pidana Militer Menurut KUHPM (Buku 1 dan Buku 2) 8 1. Buku Pertama Penerapan Hukum Pidana Umum Pasal 1 (Diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab Undang-Undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Pasal 2 (Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab Undang-Undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badanbadan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Pasal 3 (Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Ketentuanketentuan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip) indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuanketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat. 2. Batas-Batas Berlakunya Ketentuan Pidana Dalam Perundangundangan. Pasal 4 (Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1957) Ketentuanketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain daripada 6 Ibid hal 8 7 Moch.Faisal Salam. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Bandung : Mandar Maju hal 58 8 Dikutip dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. 20

7 yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diterapkan kepada militer : Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan suatu tindak pidana di tempat itu; Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitab Undangundang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan dengan pekerjaannya untuk angkatan perang, suatu pelanggaran jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalam keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 5 (Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiapa orang, yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia melakukan suatu tindak pidana, yang dalam keadaan-kedaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan militer. 3. Pidana Utama dan Pidana Tambahan Pasal 6 Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab Undang-Undang ini adalah : a. Pidana-pidana utama : Ke-1, Pidana mati; Ke-2, Pidana penjara; Ke-3, Pidana kurungan; Ke-4, Pidana tutupan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946). b. Pidana-pidana tambahan : Ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata; Ke-2, Penurunan Pangkat; Ke-3, pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 7 (1) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang disebutkan pada nomor 3 dalam Pasal tersebut diatas, berlaku ketentuan-ketentuan pidana yang senama yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sejauh mengenai pidana utama itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam Kitab Undang-Undang ini. (2) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-pidana utama yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum 21

8 Pidana, yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana yang tidak diatur dalam kitab Undang-Undang ini. Pasal 9 Penguburan jenasah terpidana diselenggarakan dengan sederhana tanpa upacara militer, atau jika menjalankan pidana mati itu dilaksanakan di perahu laut dan jauh dari pantai, jenasah terdakwa diterjunkan ke laut. Pasal 10 Pidana penjara sementara atau kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yag dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer. 4. Peniadaan, Pengurangan dan Penambahan Pidana Pasal 32 (Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Tidak dipidana, barang siapa dalam waktu perang, melakukan suatu tindakan, dalam batasbatas kewenangannya dan diperbolehkan oleh peraturan-peraturan dalam hukum perang, atau yang pemidanaannya akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku antara Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan suatu peraturan yang ditetapkan sebagai kelanjutan dan perjanjian tersebut. 5. Pembarengan Tindak Pidana Pasal 39 Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak boleh dijatuhkan pidana lainnya selain daripada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan bersenjata, 6. Tindak Pidana Yang Hanya Dapat Dituntut Karena Pengaduan Pasal 40 Apabila salah satu kajahatan yang dirumuskan dalam Pasal-pasal 287, 293 dan 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dilakukan dalam waktu perang oleh orang yag tunduk pada peradilan militer, maka penuntutannya dapat dilakukan karena jabatan. 7. Kejahatan Dalam Melaksanakan Kewajiban Perang, Tanpa Bermaksud Untuk Memberi Bantuan kepada Musuh atau Merugikan Negara Untuk Kepentingan Musuh Pasal 81 Militer dengan sengaja mengambil suatu barang yang ditentukan tidak termasuk rampasan perang, tanpa maksud untuk dengan melawan hukum 22

9 memiliki barang itu, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun. 8. Kejahatan Yang Merupakan Suatu Cara Bagi Seseorang Militer Untuk Menarik Diri Dari Pelaksnaan Kewajiban Dinas Pasal 85 Militer karena salahnya menyebabkan ketidakhadirannya tanpa izin diancam : Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tiga puluh hari; Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai, disebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari suatu perjalanan ke suatu tempat yang terletak di luar pulau di mana dia sedang berada yang diketahuinya atau patut harus menduganya ada peintah untuk itu; Ke-3, dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan apabila ketidakhadiran itu, dalam waktu perang tidak lebih lama dari empat hari; Ke-4, dengan pidana penjara maksimum dua tahun, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang, disebabkan terabaikan olehnya seluruhnya atau sebagian dari usaha perjalanan yang diperintahkan kepadanya sebagaimana diuraikan pada nomor ke-2, atau tergagalkannya suatu perjumpaan dengan musuh. Pasal 86 Militer yang sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin diancam : Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan, apabila ketidakhadirannya yaitu dalam waktu damai minimal 1 hari dan tidak lebih lama dari 30 hari; Ke-2, Dengan pidana penjara maksimum dua tahun 8 bulan, apabila ketidakhadirannya itu dalam waktu perang tidak lebih lama dari 4 hari. Pasal 87 (1) Diancam karena desersi, militer : Ke-1, Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu; Ke-2, Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari; Ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu 23

10 perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2; (2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjar maksimum dua tahun delapan bulan. (3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. 9. Kejahatan Terhadap Pengabdian Pasal 97 (1) Militer, yang dengan sengaja, menghina atau mengancam dengan suatu perbuatan jahat kepada seorang atasan, baik di tempat umum secara lisan atau dengan tulisan atau lukisan, atau dihadapannya secara lisan atau dengan isyarat atau perbuatan, atau dengan surat atau lukisan yang dikirimkan atau diterimakan, maupun memaki-maki dia atau menistanya atau dihadapannya mengejeknya, diancam dengan pidana penjara maksimum satu tahun. (2) Apabila tindakan itu dalam dinas, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun. 10. Pencurian dan Penadahan Pasal 140 Diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun, barang siapa yang melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan (kesempatan) tempat kediamannya atau perumahannya yang diperolehnya berdasarkan kekuasaan umum. 11. Perusakan, Pembinasaan atau Penghilangan Barang-barang Keperluan Perang Pasal 147 Barang siapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja membunuh, membinasakan, membuat tidak terpakai untuk dinas atau menghilangkan binatang keperluan Angkatan Perang, diancam : Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sepuluh tahun, apabila tindakan itu dilaksanakannya, sementara ia termasuk suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan untuk perang; Ke-2, dengan pidana penjara maksimum lima tahun dalam hal lainlainnya. Pasal 148 Barang siapa, yang dengan melawan hukum dan dengan sengaja merusak, membinasakan, membuat tidak terpakai atau menghilangkan suatu barang keperluan perang, ataupun yang dengan sengaja dan semaunya 24

11 menanggalkan dari diri sendiri suatu senjata, munisi, perlengkapan perang atau bahan makanan yang diberikan oleh negara kepadanya, diancam : Ke-1, Dengan pidana penjara maksimum sepuluh tahun, apabila tindakan itu dilakukannya sementara ia termasuk pada suatu Angkatan Perang yang disiapkan untuk perang; Ke-2, Dengan pidana penjara maksimm lima tahun, diluar hal-hal yang disebutkan pada sub ke-1 pasal ono dan ayat pertama dari Pasal 72. B. Peradilan Militer di Indonesia 1. Sejarah Peradilan Militer di Indonesia Di dalam UUD 1945 sebelum amandemen terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang kehidupan Peradilan di Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 24 ayat (1) yang berbunyi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang, sedangkan ayat (2) nya menetapkan bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang. Berdasarkan ketentuan Peralihan pasal II UUD 1945 pada masa itu, seyogyanya Peradilan militer mengambil alih peradilan militer yang ada pada masa pemerintahan Jepang, akan tetapi hal itu tidak dilakukan, Peradilan baru dibentuk setelah dikeluarkannya undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang adanya Pengadilan Ketentaraan disamping Pengadilan Biasa. Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan 25

12 pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari : 1. Pengadilan Militer; 2. Pengadilan Militer Tinggi; 3. Pengadilan Militer Utama; 4. Pengadilan Militer Pertempuran. Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan atau kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 22 PNPS Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UUndangundang Nomor 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi. 2. Sistematika Peradilan Militer peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan Angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggara pertahanan dan keamanan Negara. peradilan militer berlaku bagi anggota militer terdapat tingkatannya yaitu : 1. Tingkat pertama yaitu Pengadilan Militer. Pengadilan Militer ini mempunyai kewenangan memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama yang terdakwanya prajurit berpangkat kapten kebawah; 2. Tingkat kedua yaitu Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama yang terdakwanya prajurut berpangkat Mayor keatas serta memeriksa dan 26

13 memutuskan pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer; 3. Tingkat ketiga yaitu Pengadilan Militer Utama yaitu Pengadilan Militer yang berwenang memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputuskan pada tingkat pertama oleh pengadilan militer utama yang diminta banding tingkat keempat yaitu Pegadilan Militer Pertempuran yaitu Pengadilan Militer yang berwenang memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya prajurit. Pengadilan Militer di Indonesia dibawahi oleh Pengadilan Militer Tinggi. Di Indonesia memiliki 3 Pengadilan Militer Tinggi yang membawahi Pengadilanpengadilan Militer di Indonesia. Berikut adalah daftar wilayah hukum Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan-pengadilan Militer yang dibawahinya 10 : 1. Pengadilan Militer Tinggi I Medan membawahi : a. Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh. b. Pengadilan Militer I-02 Medan. c. Pengadilan Militer I-03 Padang. d. Pengadilan Militer I-04 Palembang. e. Pengadilan Militer I-05 Pontianak. f. Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin. g. Pengadilan Militer I-07 Balikpapan. 2. Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta membawahi : a. Pengadilan Militer II-08 Jakarta. b. Pengadilan Militer II-09 Bandung. c. Pengadilan Militer II-10 Semarang. 9 Eny Purwanti, Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Militer yang tidak Menaati Perintah Dinas, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Hal Icke Dina Putri.K Sitepu, Proses Penyelesaian Perkara Pidana Dilingkungan TNI, Skripsi Universitas Sumatera Utara, Medan Hal

14 d. Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. 3. Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya Membawahi : a. Pengadilan Militer III-12 Surabaya. b. Pengadilan Militer III-13 Madiun. c. Pengadilan Militer III-14 Denpasar. d. Pengadilan Militer III-15 Kupang. e. Pengadilan Militer III-16 Makasar. f. Pengadilan Militer III-17 Manado. g. Pengadilan Militer III-18 Ambon. h. Pengadilan Militer III-19 Jayapura. C. Proses penyelesaian perkara di lingkungan peradilan militer 1. Macam-macam surat Dakwaan Jika berbicara mengenai penerapan pasal pada tindak pidana, maka hal ini berkaitan erat dengan tahap penuntutan. Pasal 143 KUHAP menyatakan secara jelas bahwa untuk mengadili suatu perkara, Penuntut Umum wajib mengajukan permintaan disertai dengan suatu surat dakwaan. tentang bentuk-bentuk surat dakwaan antara lain 11 : 1. Dakwaan Tunggal Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. 11 Marry Margareta, Bentuk-bentuk Surat Dakwaan, Hukum Online, kamis 29 Maret

15 2. Dakwaan Alternatif Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk Surat Dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau. 3. Dakwaan Subsidair Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. 29

16 4. Dakwaan Kumulatif Dalam Surat Dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. 5. Dakwaan Kombinasi Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair. 2. Penyelesaian perkara prapersidangan Sebelum perkara pidana tersangka disidangkan, diperlukan proses dalam hal administrasi, antara lain penerimaan berkas perkara, pengolahan perkara, dan pengolahan perkara dalam peradilan Penerimaan Berkas perkara 13 Polisi militer angkatan pada saat menyerahkan berkas perkara disertai dengan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Kaotmil/Kaotmiliti. Apabila Tersangka dalam status ditahan, Kaotmil/Kaotmiliti menitipkan kembali penahanan tersangka kepada Polisi Militer Angkatan yang menyerahkan berkas perkara. Berkas perkara yang diterima tersebut harus di 12 Icke Dina Putri.K Sitepu Ibid hal Peraturan Panglima TNI tentang petunjuk teknis penyelesaian perkara pidana dilingkunan Oditurat, hal

17 register, kemudian Kaotmiliti menunjuk Oditur pengolah berkas, dan sedapat mungkin Oditur pengolah berkas ini kelak adalah oditur yang bertindak sebagai penuntut umum. Apabila dalam penelitian suatu berkas perkara ditemukan adanya beberapa tindak pidana yang dilakukan tersangka hingga masing-masing merupakan suatu tindak pidana. 2. Pengolahan Perkara Oditur yang ditunjuk oleh Kaotmil/Kaotmiliti akan melakukan kegiatan pengolahan perkara dan dibuat dalam Berita Acara Pendapat. Berita acara pendapat tersebut dibuat atas pendapat rumusan fakta yang dianggap cukup terbukti serta memenuhi unsur-unsur delik yang didakwakan serta masalah yang meliputinya berdasarkan keterangan para saksi, keterangan Tersangka, petunjukpetunjuk dalam hubungannya satu dengan yang lain sebagai suatu rangkaian. Setelah surat keputusan Penyelesaian perkara ditandatangani oleh Papera, Oditur Militer membuat surat dakwaan dengan mencantumkan nomor Skepera. Oditur militer selaku penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dalam surat-surat dakwaan dan beberapa berkas perkara, contohnya : a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang berhubungan satu dengan yang lain yang dilakukan lebih dari seorang Tersangka yang bekerjasama dan dilakukan pada waktu dan tempat yang bersamaan; 31

18 c. Beberapa tindak pidana yang berhubungan satu dengan yang lain, yang dilakukan lebih dari seorang tersangka pada waktu dan tempat yang berbeda, tetapi merupakan dari pemufakatan jahat sesuai dengan tindak pidana apa yang dilakukan oleh terdakwa, maka dakwaan disusun sebagai berikut : 1) Tunggal, dalam hal Terdakwa didakwa melakukan satu tindak pidana dan hanya dapat ditetapkan satu Pasal ketentuan pidana. pada cara ini maka tiap tindak pidana dirumuskan sendiri sesuai dengan urutan yang dikehendaki, misalnya ke I, ke II ke III, dan sebagainya dan kesemuanya sudah barang tentu harus dibuktikan dalam sidang pengadilan dan bila salah satu tidak dapat dibuktikan maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan yang tidak terbukti itu 14. 2) Kumulatif, dalam hal Terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang berbeda dapat diterapkan beberapa pasal ketentuan pidana; 3) Subidair, dalam hal Terdakwa melakukan suatu tindak pidana tetapi kemungkinan dapat diterapkan beberapa ketentuan pidana yang sejenis dengan pilihan, yang didakwakan pertama kali adalah ketentuan yang terberat ancaman pidananya kemudian yang lebih ringan dan seterusnya sampai yang teringan. Bila dalam pemeriksaan di dalam persidangan yang primair yang terbukti maka dakwaan subsidairnya tidaklah perlu dibuktikan. Juga selanjutnya apabila dakwaan subsidair telah dapat dibuktikan, maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Bandung : Mandar Maju hal Ibid hal

19 3. Penyerahan perkara ke pengadilan Setelah Kataud meneliti kembali kelengkapan berkas perkara, dan dianggap telah cukup maka berkas perkara asli dilimpahkan Pengadilan yang berwenang dengan surat pelimpahan perkara yang ditanda tangani oleh Kaotmil / Kaotmiliti. Bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara kepada pengadilan yang berwenang, Surat Dakwaan dikitimkan kepada Terdakwa melalui Ankum disertai berkas penerimaan. Apabila Otmil / Otmiliti menerima pelimpahan berkas perkara dari instansi lain, Oditur Penuntut umum yang baru membuat surat dakwaan baru berdasarkan penetapan pengadilan yang melimpahkan perkara tersebut. Setelah seluruh kelengkapan administrasi dari berkas perkara telah terpenuhi maka berkas tersebut dikirim pada Pengadilan yang berwenang, dan salinan berkas perkara serta kelengkapannya tetap disimpan oleh Kabag / Kasi / Kaursitut untuk diserahkan kepada Oditur militer dalam rangka sidang, kemudian Kaurminra membuat Rensid (Rencana sidang). Dalam hal upaya Oditur mencari Terdakwa dialamat terakhir tidak diketemukan, karena Terdakwa sudah pidah tempat tinggal, pensiun, dipecat, atau melarikan diri, maka Kaotmil/Kaotmiliti melakukan pencarian dengan meminta bantuan instansi terkait diduga dimana Terdakwa bertempat tinggal. Upaya pencarian tersebut dilakukan secara periodik dan berlanjut. Namun apabila sudah dipanggil secara resmi tiga kali berturut-turut, Terdakwa tidak hadir tanpa keterangan yang sah, atau upaya pencarian yang dilakukan untuk pencarian Terdakwa tidak memperoleh hasil, dan instansi yang 33

20 terkait disertai surat juga telah menyatakan bahwa Terdakwa tidak diketemukan, maka dalam persidangan Oditur melaporkan kepada Hakim Ketua dan Hakim ketua dapat melakukan Putusan tanpa kehadiran Terdakwa dan Putusan tersebut disebut In Absentia. Apabila perkara yang oleh Pengadilan telah diputus In Absentia tersebut ternyata dikemudian hari Terdakwa diketemukan, maka Oditur atas pemberitahuan dari POM/Kesatuan Terdakwa memberitahukan kepada Pengadilan dan Terdakwa harus menjalani hasil Putusan/Eksekusi tersebut. 3. Tahap Pemeriksaan di Persidangan Ada beberapa persiapan sebelum persidangan dibuka, antara lain 16. a. Kaotmil berdasarkan penetapan sidang mengeluarkan surat panggilan kepada Terdakwa dan para Saksi dengan mencantumkan waktu dan tempat sidang, pemanggilan tersebut disampaikan kepada Ankum dengan tembusan kepada Perwira pernyerah perkara (apabila Terdakwa dan Saksi adalah merupakan anggota TNI) atau disampaikan melalui Lurah, Kades, RT/RW setempat disertai dengan relaas. b. Kaotmil/ Kaotmiliti membuat suratperintah kepada masing-masing Oditur selaku penuntut umum yang akan beridang, selanjutnya Kabag/Kasi/Kaurtut menyerahkan berkas perkara beserta barang bukti kepada Oditur yang akan bertindak sebagai penuntut umum. 16 Dakwaan Prinst, Peradilan Militer, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal

21 c. Apabila Oditur Penuntut Umum akan mengubah Surat dakwaan dengan maksud untuk disempurnakan, maka perubahan tersebut diserahkan ke pengadilan dalam Lingkungan peradilan militer selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai dan perubahan Surat Dakwaan dilakukan hanya 1 (satu) kali, perubahan tersebut disampaikan kepada Terdakwa dan Papera. Mengenai Penahanan, sajak perkara disampaikan kepada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, maka kewenangan penahanan beralih kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang menangani perkara tersebut. Setelah semua kelengkapan sebelum sidang dimulai telah lengkap, maka sidang dapat dimulai. Tahapan pelaksanaan persidangan. a. Penghadapan Terdakwa Oditur sebelum Majelis Hakim memasuki ruangan sidang harus sudah siap di ruangan, setelah Hakim Ketua membuka sidang, Hakim Ketua memerintahkan Oditur untuk meghadapkan Terdakwa ke depan Majelis Hakim, lalu Oditur memerintahkan petugas untuk menghadapkan Terdakwa ke Persidangan. b. Pembacaan surat Dakwaan Oditur membaca Surat Dakwaan dengan sikap berdiri, setelah selesai Oditur duduk kembali. c. Eksepsi Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa apabila mempunyai keberatan maka atas seijin HakimKetua, Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa 35

22 berhak mengajukan Eksepsi atas dakwaan Oditur. Oditur menanggapi eksepsi dan menyatakan pendapat atas eksepsi tersebut. d. Pemeriksaan Saksi Oditur menghadapkan Saksi ke depan Majelis Hakim atas perintah dari Hakim Ketua, lalu Oditur memerintahkan kepada petugas untuk menghadapkan Saksi ke persidangan kemudian Oditur mengajukan pertanyaan kepada Saksi secara langsung Dalam memberikan keterangan Saksi tidak boleh diganggu, setelah saksi selesai memberikan keterangan, Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada Terdakwa dengan menanyakan pendapat Terdakwa mengenai keterangan Saksi yang telah didengarnya, setelah Terdakwa memberikan tanggapannya, Hakim Ketua dapat menyatakan kepada Saksi tentang tanggapan Terdakwa tersebut. Terdakwa melalui Hakim Ketua dapat diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi. Selama persidangan Oditur berhak mengajukan permintaan saksi tambahan kepada Hakim Ketua disertai alasan atau keterangan yang diperlukan dari Saksi tersebut 17. Saksi yang tidak dapat hadir di sidang, dengan alasan yang sah, maka keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan dapat dibacakan didepan sidang, ketidak hadiran saksi tersebut adalah karena meninggal dunia, ada halangan yang sah/karena kepentingan Negara, atau tempat tinggal saksi yang jauh. e. Pemeriksaan Terdakwa 17 Icke Dina Putri.K Sitepu, Proses Penyelesaian Perkara Pidana Dilingkungan TNI, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan Hal

23 Pemeriksaan Terdakwa dimulai setelah semua Saksi selesai didengar keterangannya. Untuk itu Terdakwa diperintahkan duduk di kursi pemeriksaan. Namun demikian pemeriksaan Terdakwa sesungguhnya sudah dimulai sebagian pada waktu diminta pendapatnya mengenai keterangan saksi. Apabila dalam satu perkara terdapat lebih dari seorang Terdakwa, maka Hakim Ketua yang akan mengatur dengan cara yang dipandangnya baik, yaitu dengan memeriksa Terdakwa seorang demi seorang dan dengan dihadiri oleh seluruh Terdakwa, atau memeriksa seorang Terdakwa saja tanpa dihadiri oleh Terdakwa lainnya 18. Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia. Musyawarah sebagaimana dimaksud harus berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan. Menurut Undang-Undang No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyatakan : a. Apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan. 18 Ibid, hal

24 b. Apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu perbuatan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. c. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada butir a dan butir b, terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika, kecuali karena alasan yang lain yang sah, terdakwa perlu ditahan. d. Dalam hal terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang dimaksud butir a, dan butir b, apabila perbuatan yang dilakukan itu terdakwa menurut penilaian hakim tidak layak terjadi, di dalam ketertiban atau disiplin prajurit, hakim memutus perkara dikembalikan kepada Papera (Perwira Penyerah Perkara) untuk diselesaikan menurut saluran hukum disiplin prajurut. Dalam hal putusan penidanaan atau bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum, apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. f. Pemeriksaan Barang Bukti Setelah pemeriksaan semua Saksi dan Terdakwa selesai, Hakim Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa semua barang bukti dan menanyakan kepada Terdakwa apakah Terdakwa mengenal benda itu dan 38

25 menanyakan sangkut paut benda itu dengan perkaranya untuk mengetahui kejelasan tentang peristiwanya. g. Musyawarah Majelis Hakim Setelah semua acara pemerisaan selesai, maka Hakim Ketua menyatakan pemeriksaan ditutup. Kemudian menunda sidang untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah guna mengambil keputusan. h. Pengucapan Putusan Pengadilan Apabila majelis hakim berpendapat bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka Pengadilan menjatuhkan hukuman pidana, namun apabila Terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana didakwakan kepadanya, maka Pengadilan memutus bebas dari segala dakwaan. Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau di tempat lan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal terpidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalankan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum, dalam hal Pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan perundang-undangan. 39

26 Pidana denda, maka Pengadilan terpidana diberi tenggang waktu satu bulan untuk membayar denda, kecuali dalam hal putusan pemeriksaan acara cepat yang pembayaran dendanya harus dilunasi seketika, apabila terdapat alasan yang kuat, tenggang waktu dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Dalam hal Pengadilan menjatuhkan putusan ganti rugi, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata, apabila dalam satu perkara terdapat lebih dari sati yang terpidana, pembayaran ganti rugi dibebankan kepada para terpidana bersama-sama secara berimbang. 40

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM Pasal 1 (Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuanketentuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 16 - K / PMI-07 / AD / IV / 2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 16 - K / PMI-07 / AD / IV / 2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 16 - K / PMI-07 / AD / IV / 2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN 1. Hakikat Tindak Pidana Desersi Oleh: Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan SH. MH. Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana yang secara khusus

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA I. Penelitian berkas perkara oleh Panitera. 1. Bentuk Dakwaan: a. Tunggal : Adalah tehadap terdakwa hanya didakwakan satu perbuatan yang memenuhi Uraian dalam satu

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 53-K / PM I-07 / AD / VII / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 53-K / PM I-07 / AD / VII / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 53-K / PM I-07 / AD / VII / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan, yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dan berjuang bersama rakyat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT PANITIA PUSAT SELEKSI CASIS DIKTUKPA/BA TNI AD TA 2015 UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 10-K/PM.I-07/AD/ I /2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 10-K/PM.I-07/AD/ I /2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I 07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 10-K/PM.I-07/AD/ I /2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 33 - K/PM I-07/AD/ VI / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 33 - K/PM I-07/AD/ VI / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 B A L I K P A P A N P U T U S A N Nomor : 33 - K/PM I-07/AD/ VI / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 07-K / PM I-07 / AD / I / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 07-K / PM I-07 / AD / I / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 07-K / PM I-07 / AD / I / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN, yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PEMECATAN PRAJURIT TNI PEMECATAN PRAJURIT TNI Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan hakim juga bukan Putusan Tuhan, namun Hakim yang manusia tersebut adalah wakil Tuhan di dunia dalam memberikan Putusan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 60 -K/PM I-07/AD/ IX / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 60 -K/PM I-07/AD/ IX / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 60 -K/PM I-07/AD/ IX / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PENGADILAN MILITER II-08 J A K A R T A P U T U S A N NOMOR : 257/K/PM II-08/AD/X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer II-08 Jakarta yang bersidang di Jakarta dalam

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 30 - K/PM I-07/AL/ V / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 30 - K/PM I-07/AL/ V / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 30 - K/PM I-07/AL/ V / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial di mana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Di dalam suatu

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA 1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA A. Latar Belakang Masalah Bahwa negara Indonesia adalah negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana. BAB II TINDAK PIDANA MILITER 1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya Ada baiknya dikemukakan terlebih dahuku apa yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaar feit, delict, criminal act). Ada beberapa pandangan

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI 1 PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil II-09 Bandung Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan Hakim juga bukan Putusan Tuhan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM. Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH

TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM. Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH I. PENDAHULUAN 1. Pengertian Desersi a. Menurut Kamus Hukum Belanda Indonesia halaman 69 karangan Mr. H. Van Der Tas : Desersi

Lebih terperinci

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf No.1393, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Hukuman Disiplin. Penjatuhan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENJATUHAN HUKUMAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING I. Mempelajari Berkas Perkara 1. Bentuk Dakwaan: a. Tunggal : Adalah tehadap Terdakwa hanya didakwakan satu perbuatan yang memenuhi Uraian dalam satu Pasal tertentu

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 43 -K/PM I-07/AD/ V / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 43 -K/PM I-07/AD/ V / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 43 -K/PM I-07/AD/ V / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 55-K/PM I-07/AD/ X /2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 55-K/PM I-07/AD/ X /2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I - 07 B A L I K P A P A N P U T U S A N Nomor : 55-K/PM I-07/AD/ X /2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 35 - K/ PM.I-07 / AD / V / 2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 35 - K/ PM.I-07 / AD / V / 2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 35 - K/ PM.I-07 / AD / V / 2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 15-K/PM I-07/AD/ I / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 15-K/PM I-07/AD/ I / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 15-K/PM I-07/AD/ I / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER)

BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER) BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER) A. Pengertian Sanksi Pidana Militer Menurut G.P Hoefnagles memberikan makna sanksi secara luas. Dikatakannya

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENGADILAN MILITER II-08 J A K A R T A P U T U S A N Nomor : 26-K/PM II-08/AD/II/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer II-08 Jakarta yang bersidang di Jakarta dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Tempat tinggal : Jl. Gajah Mada Kab. Kutai Barat Kalimantan Timur

Tempat tinggal : Jl. Gajah Mada Kab. Kutai Barat Kalimantan Timur PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 06-K/PM.I-07/AD/I/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam memeriksa

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Militer Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 28-K / PM I-07 / AD / IV / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 28-K / PM I-07 / AD / IV / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 28-K / PM I-07 / AD / IV / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan, yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI. Robi Amu

KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI. Robi Amu KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI Robi Amu Abstrak Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 17-K/PM.I-07/AD/I/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 17-K/PM.I-07/AD/I/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I 07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 17-K/PM.I-07/AD/I/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam memeriksa

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 71 - K/PM I-07/AD/ XI / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 71 - K/PM I-07/AD/ XI / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 B A L I K P A P A N P U T U S A N Nomor : 71 - K/PM I-07/AD/ XI / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 01-K/PM.I-07/AD/ I / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 01-K/PM.I-07/AD/ I / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN P U T U S A N Nomor : 01-K/PM.I-07/AD/ I / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer I-07 Balikpapan yang bersidang di Balikpapan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT KUHPM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 1 Oleh: Hendra Brian Rodaya 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tindak pidana

Lebih terperinci

PENGADILAN MILITER II-08 J A K A R T A P U T U S A N NOMOR : 304-K/PM II-08/AD/XII/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer II-08 Jakarta yang bersidang di Jakarta dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 202 K / PM.III-12 / AD / X/ 2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 202 K / PM.III-12 / AD / X/ 2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN MILITER III-12 S U R A B A Y A P U T U S A N Nomor : 202 K / PM.III-12 / AD / X/ 2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Militer III-12 Surabaya yang bersidang secara

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA Disusun oleh: ADAM PRASTISTO JATI NPM : 07 05 09661

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dari kancah perjuangan kemerdekaan bangsa, dibesarkan,

Lebih terperinci