BAB IV PEMBAHASAN. diberikanwewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut. penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a junto Pasal 13 KUHAP).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PEMBAHASAN. diberikanwewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut. penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a junto Pasal 13 KUHAP)."

Transkripsi

1 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pembahasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum, pada Pasal 1 butir 6 a dan b KUHAP serta Pasal 13 KUHAP, ditegaskan bahwa, Jaksa adalah pejabat yang diberikanwewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a junto Pasal 13 KUHAP). Lembaga Kejaksaan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan tergantung sepenuhnya pada Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar ini harusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari Kejaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan. Praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas/merdeka artinya hakim tidak terikat dalam mengambil keputusan akan tetapi tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang 27

2 tidak didakwakan oleh Penuntut Umum. 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan Kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Upaya Yang Dilakukan Jaksa Penuntut Umum Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Yang Berita Acara Pemeriksaannya Belum Lengkap Proses penyelesaian perkara pidana yang diajukan oleh kepolisian, jaksa selaku penuntut umum selalu berupaya menyelesaikan berkas perkara yang terkadang berlarut-larut dikarenakan berkas tersebut tidak lengkap-lengkap. Upaya tersebut antara lain : Pra-Penuntutan Prapenuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan dan menentukan keberhasilan penuntutan, artinya tindakan prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan namun, penyelesaian perkara pidana pada tahap Prapenuntutan sering kali terjadi adanya bolak-balik berkas antara penyidik ke jaksa penuntut umum, seperti halnya dalam perkara pemalusan tanda tangan yang dituduhkan kepada tersangka fatmawati Ahmad alias FA, c. Tersangka dituduh menyuruh lakukan kepada laki-laki Arfan alias AA untuk 1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Hlm

3 memalsukan tanda tangan korban pada sertifikat tanah yang korban klaim bahwa sertifikat tanah tersebut adalah tanah milik orang tua korban. Pada BAP tersangka, telah dijelaskan bahwa tanah milik orang tua korban telah dilakukan tukar guling kepada tanah milik orang tua tersangka. Bahwa antara orang tua korban dan tersangka adalah kakak beradik yang jauh sebelum adanya perkara tersebut telah sepakat bertukar kepemilikan tanah yang bersebelahan. Ketika telah dibuatkan sertifikat balik nama antara para ahli waris korban keberatan karena korban merasa belum pernah menanda tangani para ahli waris dan menuduh tersangka memalsukan tanda tangannya. Untuk itu pihak aparat penegak hukum mengambil langkah-langkah untuk dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan cara apabila berkas perkara telah masuk, maka Jaksa yang ditunjuk sebagai jaksa penuntut umum melakukan penelitian terhadap berkas perkara. Bila berkas perkara telah memenuhi syarat formil maupun materil, Jaksa akan menyatakan berkas perkara telah lengkap (P-21), akan tetapi bila ada yang belum lengkap, Jaksa akan memberitahukan kepada penyidik dengan surat (P-18) dan selanjutnya petunjuk dengan surat (P-19). Hubungan antara Jaksa dan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan secara formalitas terkait dengan berkas perkara saja sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, akan tetapi secara materil kadang juga bisa melakukan pertemuan dalam konteks koordinasi demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara, terutama dalam pembuktian. Jadi hubungan itu harus tetap terpelihara dengan baik, apabila relasi sudah tidak baik hal ini 29

4 tentu juga akan menghambat proses kelancaran penyelesaian perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan. Pembuat undang-undang (DPR) terlihat hendak menghindari kesan seakan-akan jaksa atau penuntut umum itu mempunyai wewenang penyidikan lanjutan, sehingga hal itu disebut sebagai prapenuntutan. Andi Hamzah sependapat dengan ketentuan di dalam HIR, dimana petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan pada hakekatnya merupakan bagian dari penyidikan lanjutan. Oleh sebab itu, antara penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara tajam 2. Penyidikan dinyatakan selesai maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Berkas perkara diterima oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk dipelajari dan diteliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut. Bila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materil maka Jaksa atau Penuntut Umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi. Pada kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tanah atas nama fatmawati Ahmad alias FA penyidik telah menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum selaku peneliti. Dari hasil penelitian jaksa peneliti ditemukan beberapa kekurangan yang harus dipenuhi oleh penyidik (p-18, p-19). Berkas perkara (BAP) tersangka FA telah berulang-ulang kali berkasnya dikembalikan oleh JPU selaku peneliti kepada penyidik, sampai 2 Ibid. 30

5 dengan saat ini berkas perkara tersebut belum diterbitkan P-21 dikarenakan penyidik belum dapat memenuhi petunjuk jaksa. Apabila penyidik berhasil melengkapi berkas pemeriksaan Jaksa atau Penuntut Umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses Penuntutan. 3 Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. 4 Menurut penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan disebutkan defenisi mengenai prapenuntutan dimana bahwa, Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 5 Sesuai dalam pengertian lain, bahwa wewenang penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal Abd.Hakim Nusantara,dkk, Penjelasan KUHAP dan Peraturan Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta, 1986, Hlm Diakses terakhir tanggal 15 Maret Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). 31

6 ayat (3) dan ayat (4), KUHAP dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. 6 Rangkaian prapenuntutan itu dapat dipahami dari ketentuan beberapa pasal di dalam KUHAP misalnya menurut ketentuan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Kemudian ditentukan pula kepada penyidik agar memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan Pasal 109 ayat (9) KUHAP. Pada Pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Menurut Pasal 14 KUHAP bahwa Jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana umum. Penyidikan yang hasilnya kurang lengkap, jaksa diberi wewenang untuk mengadakan prapenuntutan dengan cara mengembalikan berkas perkara disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan. Pada kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tanah atas nama fatmawati Ahmad alias FA Dari hasil penelitian jaksa peneliti ditemukan beberapa kekurangan yang harus dipenuhi oleh penyidik (p-18, p-19). Berkas perkara (BAP) tersangka FA telah berulang-ulang kali berkasnya dikembalikan oleh JPU selaku peneliti kepada penyidik, untuk dilengkapi 6 Pasal 14 huruf b, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 32

7 dengan melakukan tambahan penyidikan sampai dengan saat ini berkas perkara tersebut belum diterbitkan P-21 dikarenakan penyidik belum dapat memenuhi petunjuk jaksa. Dalam doktrin belum diperoleh kesepakatan tentang pengertian tugas prapenuntutan, hal ini disebabkan karena KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang arti dan makna istilah tersebut. Pada umumnya para pakar mengartikan tugas prapenuntutan sebagai pelaksanaan penelitian berkas perkara yang diterima dari Penyidik dan pemberian petunjuk oleh Penuntut Umum kepada Penyidik guna melengkapi berkas perkara hasil penyidikan. Dikaitkan dengan perkembangan hukum acara pidana dewasa ini, pengertian tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan realitas pelaksanaan tugas prapenuntutan. Tugas Prapenuntutan mengandung arti, tidak saja mencakup tugas penelitian berkas perkara dan pemberian petunjuk guna melengkapi berkas perkara, tetapi meliputi pula semua pelaksanaan tugas yang berkenaan dengan persiapan pelaksanaan tugas penuntutan. Dengan demikian dalam pengertian luas, prapenuntutan meliputi pelaksanaan tugas-tugas : Pemantauan perkembangan penyidikan, penelitian berkas perkara tahap pertama, Pemberian petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, Penelitian ulang berkas perkara, Penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti serta pemeriksaan tambahan. 33

8 Kelemahan Dalam Pelaksanaan tugas Pra-Penuntutan Berdasarkan hasil eksaminasi dan pemantauan yang telah Kejaksaan Agung Republik Indonesia lakukan, ternyata masih ditemukan berbagai kelemahan dalam pelaksanaan tugas prapenuntutan. Seperti halnya pada kasus dugaan pemalsuan tanda tangan yang dituduhkan kepada tersangka FA, cs. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) penyidik pada tahun 2011sampai dengan tahun 2013 berkas perkaranya masih pada tahap prapenuntutan karena penyidik belum mengembalikan berkas perkara kepada jaksa. Bolak baliknya berkas perkara yang memakan waktu cukup lama menunjukan kurang efektifnya hubungan koordinasi antara penyidik dengan jaksa sehingga perkara tersebut menjadi berlarut-larut hingga saat ini tidak ada kepastian bagi tersangka maupun korban. Ada beberapa petunjuk Teknis yang di sampaikan sebagai berikut : 7 a) Penerimaan surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan Penerimaan SPDP dicatat dalam Register Penerimaan Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/ Penghentian Penyidikan (RP-9), Setelah penerimaan SPDP, diterbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penelitian dan Penyelesaian Perkara (P- 16), Jaksa yang ditunjuk bertugas untuk memantau perkembangan penyidikan. Pada contoh kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tersebut seharusnya tidak berlarut-larut apabila antara penyidik dan jaksa penuntut umum berkoordinasi dengan baik dan optimal. Perkara yang masih dalam tahap prapenuntutan hingga tahun 2013 ini harusnya tidak terjadi apabila 7 Surat Edaran jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-401/E/9/93 tanggal 8 September

9 antara kedua penegak hukum tersebut berkoordinasi dan bekerja sama secara baik duduk bersama mencari berbagai kekurangan yang ada sehingga perkara segera dapat dilimpahkan kepengadilan. b) Penerimaan Berkas Perkara Tahap Pertama. a. Penerimaan berkas perkara tersebut dicatat dalam Register penerimaan Berkas Perkara Tahap Pertama (RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. Penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada : 1) Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas/ persyaratan, tata cam penyidikan yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, lzin/persetujuan Ketua Pengadilan. Di samping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut yakni keabsahannya sesuai ketentuan Undang-Undang; 2) Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan materlil antara lain : a) Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kwalifikasi dan pasal yang dilanggar); b) Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka, saks-saksi/ahli); c) Begaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi); d) Dimana perbuatan dilakukan (locus delicti); e) Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti); f) Akibat apa yang ditimbulkannya (ditinjau secara viktimologis); 35

10 g) Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang mendorong pelaku). Kelengkapan material terpenuhi bila segala sesuatu yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian telah tersedia sebagai hasil penyidikan b. Pelaksanaan penelitian dimaksud butir 3, dilakukan oleh Jaksa, Peneliti yang tercantum dalam P-16 dan hasil penelitiannya dituangkan dalam check list sebagaimana terlampir. c. Apabila menurut hasil penelitian ternyata hasil penyidikan telah lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-21). dan bila sebaliknya, dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan belum Lengkap (P-18) dan berkas perkara dikembalikan disertai dengan petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (P-19). d. Dalam P-19 agar diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang hal apa yang harus dilengkapi oleh penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat 2 jo pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP Petunjuk disusun dalam bahasa sederhana dengan penggunaan kalimat-kalimat efektif. Untuk akuratnya aplikasi petunjuk tersebut oleh Penyidik, sebaiknya Penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti guna membahas petunjuk-petunjuk dimaksud; e. Pengembalian berkas perkara kepada penyidik dilakukan lewat kurir, atau dalam hal terlaksana pertemuan dimaksud huruf d, berkas perkara dapat diserahkan langsung kepada Penyidik. Kedua bentuk penyerahan kembali berkas perkara tersebut dilengkapi dengan P-19 dan Tanda Terima Pengembalian Berkas Perkara; 36

11 f. Dalam hal SPDP tidak ditindak-lanjuti dengan penyerahan berkas perkara dalam batas waktu 30 hari, Jaksa Peneliti yang bersangkutan meminta laporan, perkembangan hasil penyidikan (p-17); Dari contoh kasus yang telah dipaparkan diatas yakni perkara pemalsuan tanda tangan jelas terlihat kurangnya koordinasi yang baik antara penyidik dengan jaksa penuntut umum sehingga perkara tersebut menjadi sulit pembuktiannya apabila tetap diteruskan ke tahap persidangan. Apabila dari hasil penelitian jaksa, ternyata hasil penyidikan dinyatakan belum lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan belum Lengkap (P-18) dan berkas perkara dikembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (P-19). Dalam P-19 agar diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang hal apa yang harus dilengkapi oleh penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat 2 jo pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP. Petunjuk disusun dalam bahasa sederhana dengan penggunaan kalimatkalimat efektif. Untuk akuratnya aplikasi petunjuk tersebut oleh Penyidik, sebaiknya Penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti guna membahas petunjuk-petunjuk dimaksud, sehingga perkara tidak menjadi berlarut-laut dan adanya kepastian hukum bagi tersangka. 37

12 I. PERSYARATAN FORM PELAKSANAAN TUGAS PRAPENUNTUTAN HASIL PENELITIAN BERKAS PERKARA No YANG DITELITI CORET YANG TIDAK PERLU KETERANGAN Sampul Berkas Perkara - NamaTersangka - Tempat Lahir - Umur / Tanggal Lahir - Jenis Kelamin - Kebangsaan - Tempat Tinggal - Agama ADA / TIDAK - Pekerjaan Identitas lain kalau ada ADA / TIDAK (1) Pendidikan (2) Nomor KTP (3) Nomor SIM (4) Paport (5) Lain-lain 2. Daftar Isi Berkas Perkara ADA / TIDAK 3. Resume ADA / TIDAK 4. Surat Pengaduan ADA / TIDAK 5. Laporan Polisi ADA / TIDAK 6. Surat Perintah Penyidikan ADA / TIDAK 7. Berita Acara Pemeriksaan tempat Kejadian Perkara 8. Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan 9. Surat Panggilan Tersangka/Saksi ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK 38

13 10. Surat Perintah membawa ADA / TIDAK Tersangka/ Saksi 11. Berita Acara Pemeriksaan ADA / TIDAK Saksi/Ahli 12. Berita Acara Penyumpahan ADA / TIDAK Saksi 13. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka ADA / TIDAK 14. Surat Kuasa Tersangka ADA / TIDAK kepada Penasehat Hukum 15. Berita Acara Konf rontasi ADA / TIDAK 16. Berita Acara Rekonstruksi ADA / TIDAK 17. Surat Permintaan Visum et Repertum ADA / TIDAK 18. Surat Keterangan ADA / TIDAK Dokter/Visum et Repertum 19. Berita Acara Hasil ADA / TIDAK Pemeriksaan oleh Ahli (a.l. hasil pemeriksaan forensic laboratories) 20. Surat Perintah Penangkapan ADA / TIDAK II. PERSYARATAN MATERIEL No YANG DITELITI CORET YANG TIDAK PERLU KETERANGAN Tindak Pidana Yang Disangkakan SESUAI / TIDAK 2. Unsur Delik apakah sudah diuraikan secara : - Cermat - Jelas - Lengkap? YA / TIDAK 3. Tempus Delicti YA / TIDAK 4. Locus Delicti YA / TIDAK 5. Peran kedudukan masing-masing tersangka terhadap perbuatan yang disangkakan **) SESUAI / TIDAK 39

14 6. Alat Bukti - Keterangan Saksi - Keterangan Ahli - Surat - Petunjuk - Keterangan Tersangka 7. Pertanggung Jawaban Pidana dari Tersangka 8. Kaitan Kejahatan dengan Kekayaan Negara 9. Lian-lain - Kompetensi Absolut - Kompetensi Relatif MENDUKUNG/ TIDAK MENDUKUNG/ TIDAK MENDUKUNG/ TIDAK MENDUKUNG/ TIDAK MENDUKUNG/ TIDAK MENDUKUNG/ TIDAK ADA /TIDAK ADA / TIDAK SESUAI/TIDAK SESUAI/TIDAK PENDAPAT JAKSA PENELITI NO. CORET NOMOR/BUTIR YANG TIDAK KETERANGAN PERLU Hasil Penyidikan sudah lengkap perlu dilanjutkan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan Barang Bukti, untuk segera menentukan apakah perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan (Psi. 139 KUHAP). 2. Hasil Penyidikan belum lengkap, perlu memberi petunjuk antara lain : - Perkara perlu di Split - Perlu Saksi Ahli - Perlu Saksi A. Charge - Perlu Alat Bukti Lain 40

15 3. Hasil Penyidikan sudah optimal tetapi secara materiel belum terpenuhi,diberikan petunjuk barang bukti dan tersangka agar diserahkan untuk diadakan Pemeriksaan tambahan, berdasarkan pasal 27 ayat (1) huruf d UU Nomor 5 Tahun Lain-lain seperti : - Perkara Koneksitas - Termasuk Wewenang Pengadilan Negeri Lain Pemeriksaan Tambahan. Apabila dari hasil penelitian lebih lanjut ternyata bahwa berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap belum memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan, maka dalam rangka melengkapi berkas Perkara, dapat dilakukan Pemeriksaan tambahan sesuai ketentuan pasal 27 ayat 1 d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 beserta penjelasannya dan petunjuk tehnis yang telah diberikan. Jika perkara pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh tersangka fatmawati Ahmad tersebut dipaksakan untuk dilimpahkan ke pengadilan akan tetapi ternyata masih juga ada berbagai macam kekurangan yang akhirnya dapat melemahkan dakwan jaksa penuntut umum yang berakibat terdakwa bebas dari tuntutan sebelum sidang digelar jaksa berupaya melakukan pemeriksaan tambahan dalam rangka melengkapi berkas tambahan (wawancara dengan Bapak Mulyadi Abdullah, SH. Kepala Seeksi penerangan Hukum). 41

16 4.1.2 Hambatan apa yang dialami jaksa penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan Jaksa penuntut Umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap Pra-penuntutan sering kali mendapatkan hambatan-hambatan yang antara lain sebagai berikut : Hambatan dari Undang-Undang Tingkat prapenuntutan, yaitu bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Prapenuntutan adalah, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 8 Berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut : 9 8 Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua,Sinar, 1991, Grafika,Hlm Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan 42

17 1. Tidak dilakukan terhadap tersangka 2. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP 3. Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik. Republik Indonesia sebagai Negara hukum. yang dimaksudkan bukanlah sekedar Negara hukum dalam artian formal. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum dalam artian lebih luas, yaitu negara hukum dalam arti materil yang berarti hukum ditinjau dari segi isinya, yang dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan dua kepentingan yaitu manfaat hukum (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechmatigheid). Sehubungan dengan itu, maka dapat dipastikan bahwa pada hakikat terhadap eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara pidana di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. 10 Kejaksaan dimana disebutkan bahwa, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan terdapat istilah prapenuntutan, 10 Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm 5. 43

18 selengkapnya berbunyi, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan Hambatan dari Aparat Penegak Hukum. Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono, adalah system peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Dalam prakteknya ditemukan bahwa kurangnya penyidik Polri yang berpendidikan sarjana hukum, sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam menterjemahkan petunjuk-petunjuk dari jaksa penuntut umum yang berlatar belakang pendidikan hukum. Sehingga berbagai macam hambatan dan kendala ditemukan oleh penyidik dan jaksa dalam berkoordinasi terhadap berbagai macam perkara di tahap prapenuntutan. Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usahausaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam 11 Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan. 44

19 masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan atau crimes without victims dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan bahwa, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 (1) menyenbutkan bahwa, Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 12 Penegak hukum dapat dibedakan dalam pengertian luas dan pengertian yang sempit. Arti luas, penegak hukum adalah setiap orang yang mentaati hukum. Sedangkan dalam arti sempit, terbatas pada orang yang diberi wewenang memaksa oleh undang-undang untuk menegakkan hukum. Menurut Marjono Reksodiputro, istilah penegak hukum dalam arti sempit hanya berarti Polisi, tetapi dapat juga mencakup Jaksa. Sedangkan di Indonesia, pengertian tersebut biasanya 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan. 45

20 diperluas lagi dan meliputi juga para Hakim, dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian penegak hukum ini adalah para Advokat. 13 Hambatan yang terjadi pada aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan terkait dengan sumber daya manusia yang rendah seperti dapat terlihat kurang mengertinya penyidik atas petunjuk yang diberikan jaksa yang Menyulitkan penyidik untuk memenuhinya. Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan penyidik yang boleh diblang masig dibawah jaksa. Belum lagi bila Jaksa punya kepentingan terhadap berkas perkara sering memberikan petunjuk yang menyimpang dari substansi perkara sehingga menyebabkan para aparat penegak hukum sangat merasa kesulitan dalam hal penyelesaian dan pemecahan suatu perkara Hambatan Dari Budaya Masyarakat Faktor penghambat dari budaya hukum itu sendiri yang menghambat terwujudnya penyelesaian perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dari segi aspek legal kultur adalah budaya masyarakat. Misalnya masyarakat yang menjadi korban kejahatan (Victim), terkadang sering membuat laporan tindak pidana tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup. Laporan-laporan yang demikian akan menyulitkan penegak hukum seperti penyidik maupun Jaksa untuk menyelesaikannya, dan terkadang sering mendesak perkara untuk cepat diselesaikan padahal bukti tidak cukup HMA. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2007, hlm Wawancara dengan Bapak Andi Nirwansyah, SH, Staf Seksi Penerangan Hukum Kejati Gorontalo pada tanggal 18 Juli Wawancara dengan Bapak Mulyadi Abdullah, SH., Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Gorontalo pada tanggal 18 Juli

21 Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam tahap prapenuntutan adalah dengan cara, Sejak dikeluarkannya P-16, Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan secara aktif membina koordinasi dan kerjasama positif dengan Penyidik melalui Forum Konsultasi Penyidik Penuntut Umum. Forum tersebut digunakan secara optimal untuk memberikan bimbingan/arahan kepada Penyidik, dengan maksud agar kegiatan penyidikan mampu menyajikan segala data dan fakta yang diperlukan bagi kepentingan penuntutan dan bolak-baliknya berkas perkara dapat dihindarkan. 47

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B- 401 /E/9/93 Sifat : Konfidensial Lampiran : 1 (satu) eksemplar Perihal : Pelaksanaan tugas Prapenuntutan Jakarta, 8 September 1993 KEPADA : SDR. KEPALA

Lebih terperinci

KONSISTENSI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENUNTUT PERKARA PIDANA YANG BERITA ACARA PEMERIKSAANNYA BELUM LENGKAP

KONSISTENSI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENUNTUT PERKARA PIDANA YANG BERITA ACARA PEMERIKSAANNYA BELUM LENGKAP KONSISTENSI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENUNTUT PERKARA PIDANA YANG BERITA ACARA PEMERIKSAANNYA BELUM LENGKAP NURLAILA WAHAB FENCE M. WANTU LISNAWATY BADU JURUSAN ILMU HUKUM ABSTRAK Penulisan hukum ini

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B- 401 /E/9/93 Sifat : Konfidensial Lampiran : 1 (satu) eksemplar Perihal : Pelaksanaan tugas Prapenuntutan Jakarta, 8 September 1993 KEPADA : SDR. KEPALA

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukan bagaimana proses penyelesaian pengembalian berkas perkara pidana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 PROSES PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT KUHAP 1 Oleh: Rajiv Budianto Achmad 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-255/E/6/1995 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Kejahatan Dengan Kekerasan Jakarta, 7 Juni 1995 KEPADA YTH.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polisi dan Jaksa dalam sistem peradilan pidana merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi tersebut seharusnya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki peranan yang sangat vital, terutama dalam hal penuntutan perkara pidana. Selain berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik 1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 52/2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

Hubungan Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Proses Peperiksaan Perkara Pidana. Oleh : Bambang Slamet Eko S

Hubungan Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Proses Peperiksaan Perkara Pidana. Oleh : Bambang Slamet Eko S Hubungan Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Proses Peperiksaan Perkara Pidana Abstraksi Oleh : Bambang Slamet Eko S Begitu penyidik mulai menyidik seseorang, maka pada saat itu juga harus memberitahukannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Fungsi Lembaga Fungsi berasal dan kata dalam Bahasa Inggris function, yang berarti sesuatu yang mengandung kegunaan atau manfaat. Fungsi suatu lembaga atau institusi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hampir setiap hari surat kabar maupun media lainnya memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas selalu menjadi bahan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017 WEWENANG PRA PENUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PASAL 14 HURUF B KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KAJIAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 130/PUU-XIII/2015) 1 Oleh: Kalvin Kawengian 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA Nomor Sifat Lampiran Perihal B-58/E/Ejp/01/2004 Biasa Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Narkotika Jakarta, 19 Januari 2004 Kepada Yth : SDR. KEPALA KEJAKSAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan suatu perkara pidana dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan mempertimbangkan dan menilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-189/E/5/95 Sifat : - Lampiran : - Perihal : Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Kehutanan Jakarta, 3 Mei 1995 KEPADA YTH. Para Kepala Kejaksaan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci