PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA"

Transkripsi

1 PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI OLEH : AGUNG HENDRA SAPUTRO PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014

2 PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI OLEH : AGUNG HENDRA SAPUTRO NPM : PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014

3 PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : AGUNG HENDRA SAPUTRO NPM : PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014

4 PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI NAMA : AGUNG HENDRA SAPUTRO FAKULTAS : HUKUM JURUSAN : ILMU HUKUM NPM : DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : PEMBIMBING ANDY USMINA WIJAYA, S.H.,M.H.

5 Telah diterima bdan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS.Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat Mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya, Maret 2014 Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani, SH., CN., MH ( ) (Dekan Fakultas Hukum) 2. Sekretaris : Andy Usmina Wijaya, SH., MH. ( ) (Dosen Pembimbing) 3. Anggota : 1. Dr. Taufiqurrahman.SH.,Mhum ( ) (Dosen Penguji I) 2. H. Arief Syahrul Alam.SH.,Mhum ( ) (Dosen Penguji II)

6 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur kehadirat tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunianya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat syarat untuk mencapai gelar Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. Keterbatasan yang ada pada diri saya merupakan salah satu hambatan, namun dengan niat yang besar ternyata hambatan itu dapat teratasi. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dapat dikatakan sempurna, tetapi saya telah berusaha mengemukakan suatu harapan baru dengan maksud sebagai sumbangan pemikiran bagi alma mater saya. Tanpa bimbingan dan bantuan serta tersedianya fasilitas dan juga wakttu yang diberikan saya yakin skripsi ini tidak akan tersusun sebagaimana yang saya harapkan. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan rasa hormat saya kepada Bpk Andy Usmina Wijaya, SH.,MH selaku dosen pembimbing dan kepada Para Dosen penguci tidak terkecuali kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Ibu Tri Wahyu Andayani, SH,. CN., MH. Terimakasih kepada Bapak dan Ibu saya tercinta yang selama ini banyak memberikan dorongan dan biaya kepada saya. Terimakasih kepada segenap segala dosen yang telah memberikan bekal ilmu Pengetahuan kepada saya selama studi di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. i

7 Akhirnya semoga segala kelemahan dan kekurangan saya dalam menyusun skripsi ini dapat dimaklumi dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi diri saya maupun bagi para mahasiswa lain. Surabaya Agung Hendra Saputro

8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Penjelasan Judul Alasan Pemilian Judul Tujuan Penelitian Manfaat Penulisan Metodelogi Penelitian Sistematika Penulisan BAB II PENGATURAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DI INDONESIA 2.1 Pengaturan Titip Sidang Di Indonesia Acara pemeriksaan tindak pidana ringan Acara pemeriksaan pelanggaran lalulintas Prosedur titip sidang tilang di Indonesia Prosedur acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas ii

9 Pemidanaan dalam sidang acara tilang Teknik pemeriksaan tilang di Persidangan Proses persidangan Pengaturan tindak pidana korupsi Asas pembuktian Prinsip-prinsip pembuktian Teori-teori atau sistem pembuktian Tinjauan umum tentang alat bukti keterangan Terdakwa BAB III PEMBUKTIAN 3.1 Asas pembuktian Prinsip-prinsip pembuktian Teori-teori atau sistem pembuktian Tinjauan umum tentang alat bukti keterangan Terdakwa Beban pembuktian... 96

10 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Aktivitas hukum sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tindakan disebut perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau diakui oleh negara. Hukum atau ilmu hukum sendiri adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat. 1 Pelanggaran ringan yang kerap terjadi salah satunya adalah tentang pelanggaran lalu lintas dan bukti pelanggaran atau disebut dengan tilang berasal dari pelanggar lalu lintas dapat berupa SIM (Surat ijin mengemudi), STNK (Surat tanda nomor kendaraan), atau kendaraan. Permasalahan ini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Pelanggaran lalu lintas dan tilang sudah membudaya di kalangan masyarakat, sehingga setiap kali dilakukan operasi tertib lalu lintas di jalan raya yang dilakukan oleh Polantas, pasti banyak terjaring kasus pelanggaran lalu lintas dan tilang. Menurut pihak kepolisian, tidak sedikit pengendara yang mengabaikan keselamatan dan kenyamanan saat di jalan raya serta tidak menyadari bahwa kecelakaan bermula dari pelanggaran lalu lintas. 2 Pelanggaran lalu lintas dan tilang merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun Hukum pidana mengatur perbuatan 1 Ruli, Macam-macam perbuatan hukum dan pelanggaran, Sudiastoro, kasus pelanggaran lalulintas dan tilang, detik.com

12 perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Tujuan hukum pidana adalah untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak baik dan mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima. 3 Pelanggaran lalu lintas dan tilang merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun Hukum pidana mengatur perbuatan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Tujuan hukum pidana adalah untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak baik dan mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima Hukum pidana juga dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak memakai helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendara. Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa ada pengaduan atau laporan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga dan pencurian oleh keluarga. Sedangkan hukuman terdakwa yang terbukti kesalahannya dapat dipidana mati/ dipenjara/ kurungan atau denda bisa juga dengan pidana tambahan seperti dicabut hak-hak tertentu. Pelanggaran lalu lintas 3 Irawan, Tujuan hukum pidana,transparasi.or.id,

13 atau tilang yang sering biasanya adalah pelanggaran terhadap Pasal 57 ayat 3 mengenai kelengkapan surat kendaraan SIM dan STNK. 4 Namun seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara pelanggaran tersebut tidak sampai diproses menurut hukum (Anonymous, 2009). Pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak pidana terhadap penguasa umum dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan (Pasal 209 KUHP). Bahkan usaha atau percobaan untuk melakukan kegiatan tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo Pasal 209 KHUP). Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP). 5 Dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana yang dapat dikenakan adalah penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Untuk Pelanggar yang karena kesibukannya tidak mungkin bisa hadir di Pengadilan untuk sidang dimaksud diberikan Surat TILANG (bukti tilang) warna Biru, kemudian datang ke BRI membayar Denda Tilang seperti yg tercantum di Surat TILANG, lalu kembali pada Petugas yang Menindak tadi dengan membawa resi Pembayaran Denda TILANG dari BRI, kemudian Barang Bukti yang disita bisa diambil lagi, dan berkas Tilang yang tadi diserahkan ke Bagian TILANG di Kantor Satlantas untuk dicatat di buku Besar Pelanggaran dan Ibid., 3

14 didistribusikan, berawal dari 3 opsi titip sidang ini banyak oknum petugas polisi lalulintas memanfaatkan kesempatan untuk menerima suap dan korupsi terhadap uang hasil tilang yang seharusnya masuk kas Negara karena lemahnya system controlling (pengawasan) terhadap pelaksanaan SK Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April Berdasar pada Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998 tentang buku petunjuk teknis tentang penggunaan blanko tilang. Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, atau langsung bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi. Pilihan-pilihan ini sudah berlangsung lama. Apabila Pelanggar menghendaki untuk Datang sendiri ke Pengadilan untuk sidang maka kepadanya diberikan Surat TILANG (bukti tilang) warna Merah untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri. Untuk Pelanggar yang karena kesibukannya tidak mungkin bisa hadir di Pengadilan untuk sidang dimaksud diberikan Surat TILANG (bukti tilang) warna Biru, kemudian datang ke BRI membayar Denda Tilang seperti yg tercantum di Surat TILANG, lalu kembali pada Petugas yang Menindak tadi dengan membawa resi Pembayaran Denda TILANG dari BRI, kemudian Barang Bukti yang disita bisa diambil lagi, dan berkas Tilang yang tadi diserahkan ke Bagian TILANG di Kantor Satlantas untuk dicatat di buku Besar Pelanggaran dan didistribusikan, berawal dari 3 opsi titip sidang ini banyak oknum petugas polisi lalulintas memanfaatkan kesempatan untuk menerima suap dan korupsi terhadap uang hasil tilang yang seharusnya masuk kas Negara karena lemahnya system controlling (pengawasan) terhadap pelaksanaan SK Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April

15 Termasuk pada saat pemberian surat tilang (bukti pelanggaran) para oknum polisi lalulintas terkesan langsung memberi surat merah yang hanya diberikan pada pelanggar lalulintas yang berprilaku kurang baik pada petugas kepolisian serta memberikan sanksi denda yang maksimal dengan Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( UULLAJ ). 6 Dan ketika pelanggar menitipkan denda maksimal kepada petugas yang kemudian akan disetorkan ke pengadilan negeri yang ternyata pengadilan negeri memberlakukan denda minimal bagi pelanggar berdasar Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( UULLAJ ). 7 Dalam hal ini juga diperlukan sistem controlling (pengawasan) agar tidak terjadi tindak pidana korupsi oleh oknum anggota kepolisian. Dalam hal pembuktian di persidangan pengadilan Negeri mengenai tilang (bukti pelanggaran) dirasa kurang karena bukti pelanggaran sudah di kembalikan kepada pelanggar lalulintas serta petugas kepolisian hanya menyetor buku besar catatan bukti pelanggaran dan surat tilang warna biru sehingga sulit membuktikan bahwa oknum petugas kepolisian melakukan korupsi atas manipulasi data penerimaan denda dari pelanggar lalulintas yang dititipkan kepada petugas kepolisian terhadap selisih antara denda maksimal yang dilakukan pihak kepolisian dengan denda minimal yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri. Berdasarkan uaraian diatas, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji problematika yang ada melalui sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALU LINTAS DI PENGADILAN NEGERI DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI Ibid.., 5

16 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan selanjutnya akan dikaji dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di Indonesia? 2. Bagaimana pembuktian titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di tinjau dari undang undang tindak pidana korupsi? 1.3 Penjelasan Judul Penulisan skripsi ini berjudul Pembuktian Titip sidang Dalam Perkara Tilang Lalulintas Di Pengadilan Negeri Dikaitkan Dengan Tindak Pidana Korupsi.Keterkaitan antara pembuktian Titip sidang dalam perkara tilang lalulintas erat hubungannya dengan tindak pidana korupsi mengandung konsekuensi logis yuridis untuk menjadi alasan mengkaji aturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas serta ditinjau dari tindak pidana korupsi (uu no 20 tahun 2001 pasal 5 dan pasal 11). berdasar pada Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998 (SK 1998). Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, atau langsung bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi. Pilihan-pilihan ini memunculkan celah hukum bagi oknum anggota polisi untuk melakukan tindak pidana korupsi terhadap uang hasil tilang yang seharusnya masuk ke dalam kas Negara. Termasuk pada saat pemberian surat tilang (bukti pelanggaran) para oknum polisi lalulintas terkesan langsung memberi surat merah yang 6

17 hanya diberikan pada pelanggar lalulintas yang berprilaku kurang baik pada petugas kepolisian serta memberikan sanksi denda yang maksimal dengan Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( UULLAJ ). 8 Dan ketika pelanggar menitipkan denda maksimal kepada petugas yang kemudian akan disetorkan ke pengadilan negeri yang ternyata pengadilan negeri memberlakukan denda minimal bagi pelanggar berdasar Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( UULLAJ ). 9 Dalam hal ini juga diperlukan sistem controlling (pengawasan) agar tidak terjadi tindak pidana korupsi oleh oknum anggota kepolisian. Dalam hal pembuktian di persidangan pengadilan Negeri mengenai tilang (bukti pelanggaran) dirasa kurang karena bukti pelanggaran sudah di kembalikan kepada pelanggar lalulintas serta petugas kepolisian hanya menyetor buku besar catatan bukti pelanggaran dan surat tilang warna biru sehingga sulit membuktikan bahwa oknum petugas kepolisian melakukan korupsi atas manipulasi data penerimaan denda dari pelanggar lalulintas yang dititipkan kepada petugas kepolisian terhadap selisih antara denda maksimal yang dilakukan pihak kepolisian dengan denda minimal yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri Ibid.., 7

18 1.4 Alasan Pemilihan Judul seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara pelanggaran tersebut tidak sampai diproses menurut hukum (Anonymous, 2009). Pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak pidana terhadap penguasa umum dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan (Pasal 209 KUHP). Bahkan usaha atau percobaan untuk melakukan kegiatan tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo Pasal 209 KHUP). Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP). Dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana yang dapat dikenakan adalah penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Termasuk pada saat pemberian surat tilang (bukti pelanggaran) para oknum polisi lalulintas terkesan langsung memberi surat merah yang hanya diberikan pada pelanggar lalulintas yang berprilaku kurang baik pada petugas kepolisian serta memberikan sanksi denda yang maksimal dengan Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ( UULLAJ ). 10 Dan ketika pelanggar menitipkan denda maksimal kepada petugas yang kemudian akan disetorkan ke pengadilan negeri yang ternyata pengadilan negeri memberlakukan denda minimal bagi pelanggar berdasar Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

19 Angkutan Jalan ( UULLAJ ). 11 Dalam hal ini juga diperlukan sistem controlling (pengawasan) agar tidak terjadi tindak pidana korupsi oleh oknum anggota kepolisian. Dalam hal pembuktian di persidangan pengadilan Negeri mengenai tilang (bukti pelanggaran) dirasa kurang karena bukti pelanggaran sudah di kembalikan kepada pelanggar lalulintas serta petugas kepolisian hanya menyetor buku besar catatan bukti pelanggaran dan surat tilang warna biru sehingga sulit membuktikan bahwa oknum petugas kepolisian melakukan korupsi atas manipulasi data penerimaan denda dari pelanggar lalulintas yang dititipkan kepada petugas kepolisian terhadap selisih antara denda maksimal yang dilakukan pihak kepolisian dengan denda minimal yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri. 11 Ibid.., 9

20 1.5 Manfaat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi manfaatnya menjadi tiga hal pokok, yaitu manfaat bagi : a. Mahasiswa Diharapkan dengan penelitian ini mahasiswa mampu lebih jauh memahami hukum yang mengatur tentang titip sidang dalam perkara tilang lalulintas dan tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia. b. Lembaga Bagi pihak lembaga dalam hal ini Universitas Wijaya Putra, Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan literature, yang nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya oleh pihak-pihak yang memang membutuhkannya. c. Masyarakat Masyarakat dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai informasi yang mungkin dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang berkenaan dengan peraturan titip sidang dalam perkara tilang lalulintas dan tindak pidana korupsi. 1.6 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 10

21 a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas wijaya Putra Surabaya. b. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai titip sidang dalam perkara tilang lalulintas dan tindak pidana korupsi. 1.7 Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah nyuridis normatif, yaitu penelitian terhadap bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. b. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan statue approach. statue approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan materi yang dibahas c. Bahan Hukum Bahan hukum apabila ditinjau dari segi yang mengikatnya, terdiri dari : - Bahan hukum premier, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini peraturan perundang-undangan yaitu KUHP dan Undang-undang no 31 tahun Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum formil dan dapat membantu menganalisis serta memahaminya yaitu literature maupun karya illmiah para sarjana. 11

22 d. Langkah Penelitian Bahan hukum berupa bahan pustaka tersebut diinventarisasi dengan menggunakan metode deduktif, dalam arti menginventarisasi, kemudian mengklasifikasi bahanbahan bacaan tersebut, akhirnya disusun secara sistematis dengan mengaitkan pengertian dari peraturan-peraturan yang ada hubungan dengan karya ilmiah para sarjana yang dapat diartikan melalui penafsiran sisitematis. 12

23 1.8 Sistematika Penulisan Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan dibagi dalam 4 (empat) Bab, sebagai tersebut di bawah ini. Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian hukum ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, serta tujuan dan manfaat penelitian. Muraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkahlangkah kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bab II Pengaturan Titip Sidang Dalam Perkara Tilang Pelanggaran Lalulintas Di Indonesia, yang berisikan mengenai pengaturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bab III Pembuktian titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di tinjau dari undang undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, penjelasan mengenai penegakan hukum jika terjadi titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di tinjau dari undang undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bab IV Penutup, merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah hukum. 13

24 BAB II PENGATURAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALU LINTAS DI INDONESIA 2.1. Pengaturan Titip Sidang Di Indonesia Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). 12 Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu, hal ini berdasarkan pasal 210 KUHAP yang menyatakan bahwa ketentuan dalam Bagian kesatu, Bagian kedua, dan Bagian ketiga ini ( bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini Pemeriksaan cepat terbagi dalam dua paragraf : 1. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan lima ratus dan penghinaan ringan. 2. Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, termasuk perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang undangan lalu lintas Acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Undang undang tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan secara ringan, melainkan hanya menentukan patokan dari segi ancamannya. Jadi, untuk menentukan suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan bertitik tolak dari ancaman tindak pidana yang didakwakan. Adapun 12 Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,

25 ancaman pidana yang menjadi ukuran acara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam pasal 205 ayat (1) yakni : a. Tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan, atau b. Denda sebanyak banyaknya Rp ,00, dan c. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam pasal 315 KUHP Ancaman hukuman penghinaan ringan yang dirumuskan dalam pasal 315 KUHP adalah paling lama 4 bulan, Namun, Penghinaan ringan tetap termasuk ke dalam kelompok perkara yang diperiksa dengan acara pidana ringan, hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan dalam pasal 205 ayat (1). Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan pasal 205 ayat (1) yang menyebutkan ; Tindak Pidana ringan ikut digolongkan perkara yang diperiksa dengan acara pidana ringan karena sifatnya ringan sekalipun ancaman pidana paling empat bulan. Dalam pemeriksaan perkara dengan acara ringan, Pengadilan Negeri menetukan hari hari tertentu yang khusus untuk melayani pemeriksaan tindak pidana ringan. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 206 KUHAP yakni hari tertentu dalam tujuh hari, hari hari tersebut diberitahukan pengadilan kepada penyidik supaya mengetahui dan dapat mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan. Penetapan hari ini dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian tidak mengalami hambatan. Tata Cara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Pada pemeriksaan tindak pidana ringan Penyidik langsung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke pengadilan atas 15

26 kuasa penuntut umum. Pelimpahan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang mengharuskan penyidik melimpahkan hasil pemeriksaan penyidikan kepada penuntut umum, dan untuk seterusnya penuntut umum yang berwenang melimpahkan ke pengadilan dalam kedudukannya sebagai aparat penuntut. Dengan adanya pasal 205 ayat (2) KUHAP, prosedur ketentuan umum ini dikesampingkan dalam perkara pemeriksaan tindak pidana ringan. Dengan kata lain, Penyidik mengambil alih wewenang penuntut umum, atau wewenang penuntut sebagai aparat penuntut umum dilimpahkan undang undang kepada penyidik. Pelimpahan ini adalah Demi Hukum, yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 205 ayat (2) alinea 1 ; yang dimaksud dengan atas kuasa dari penuntut umum kepada penyidik adalah demi hukum. Oleh karena itu pelimpahan ini berdasar ketentuan undang undang, dengan demikian penyidik dalam hal ini bertindak atas kuasa undang undang dan tidak memerlukan surat kuasa khusus lagi dari penuntut umum. Namun hal ini tidak mengurangi hak penuntut umum untuk menghadiri pemeriksaan sidang, berdasar penjelasan pasal 205 ayat (2) alinea 2 ; dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai atas kuasa tersebut. Dengan kata lain, tidak ada larangan oleh undang undang penuntut umum menghadiri proses pemeriksaan, namun kehadirannya tidak mempunyai arti apa apa, seperti pengunjung biasa tanpa wewenang apapun mencampuri jalannya pemeriksaan. 13 Pasal 205 ayat (2)4 menegaskan dalam waktu tiga hari, terhitung sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat oleh penyidik, maka terdakwa, barang bukti, saksi ahli, dan juru bahasa dihadapkan ke pengadilan. Apakah tenggang waktu 3 hari ini merupakan batas minimum?, undang undang tidak menegaskan hal ini. Namun, 13 Soerodibroto, Soenarto. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta,

27 berdasarkan pasal 146 ayat (2)5 dan penjelasan pasal 152 ayat (2)6; menegaskan bahwa panggilan terhadap terdakwa dan saksi harus diterima dalam jangka waktu sekurang kurangnya 3 hari sebelum sidang dimulai. Dengan demikian tenggang waktu menghadapkan terdakwa dan saksi yang disebut dalam pasal 205 ayat (2) adalah batas minimum. Penyidik tidak dibenarkan menghadapkan terdakwa dan saksi dalam pemeriksaan dengan acara tindak pidana ringan kurang dari 3 hari sebelum sidang dimulai. Menghadapkan terdakwa dan saksi dalam waktu 1 atau 2 hari sebelum sidang dimulai, adalah bertentangan dengan jiwa yang terkandung dalam ketiga pasal diatas { pasal 205 ayat (2), jo pasal 146 ayat (2), jo penjelasan pasal 152 ayat (2). Dalam pasal 207 ayat (1) huruf b, ditegaskan bahwa semua perkara tindak pidana ringan yang diterima pengadilan hari itu, segera disidangkan pada hari itu juga. Ketentuan ini bersifat imperatif, karena dalam ketentuan ini terdapat kalimat harus segera disidangkan pada hari itu. Akan tetapi, dalam pasal ini tidak menyebut sanksi dan tidak mengatur tata cara penyelesaian tindak pidana ringan yang tidak disidangkan atau yang kebetulan tidak dapat disidangkan pada hari itu juga. Dalam hal kemungkinan tindak pidana ringan tidak dapat disidangkan pada hari itu juga, terdapat dua alternatif yang dapat ditempuh, 14 yakni : 1. Perkara lengkap dan memenuhi syarat formal, maka hakim harus melaksanakan ketentuan pasal 207 ayat (1) huruf b, hakim harus menyidangkan pada hari itu juga, jika tidak maka kelalaian ini menjadi kesalahan dan tanggung jawab hakim. Dalam hal seperti ini hakim tidak dibenarkan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik. Meskipun dengan alasan ketidakcukupan waktu. Hal yang dapat 14 Ibid., 17

28 dilakukan oleh hakim adalah adalah mengundurkan atau menunda pemeriksaan secara resmi di sidang pengadilan, dan memerintahkan terdakwa dan saksi untuk menghadap pada hari sidang yang akan datang, walaupun cara ini sangat bertentangan dengan jiwa dan tujuan lembaga acara pemeriksaan tindak pidana ringan, yang harus diperiksa dan diputus dengan acara cepat. 2. Perkaranya tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat formal, misalnya terdakwa dan saksi saksi tidak lengkap atau panggilan tidak sah, maka ; (i) tanggungjawab berkas selama belum diregister masih tetap berada ditangan penyidik, (ii) untuk selanjutnya diajukan pada hari sidang yang akan datang. 3. Jika terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, putusan dijatuhkan secara verstek; berdasarkan pasal 214 ayat (2)7. Demikian penggarisan SEMA No. 9/ Jika saksi tidak hadir, tidak menghalangi pemeriksaan dan putusan dijatuhkan, keterangan saksi cukup dibacakan ( sejalan dengan jiwa pasal 2088 KUHAP ) Mengenai cara pemberitahuan sidang kepada terdakwa diatur dalam pasal 207 ayat (1) huruf a, yakni dilakukan : 1. Dengan pemberitahuan secara tertulis 2. Pemberitahuan tertulis itu memuat tentang: hari, tanggal, jam, dan tempat sidang pengadilan 3. Catatan pemberitahuan bersama berkas dikirim ke pengadilan. 18

29 Hal ini berarti catatan pemberitahuan sidang dan berita acara pemeriksaan penyidik disatukan sebagai berkas yang dikirimkan ke pengadilan. Pemberitahuan dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajiban untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam, dan tempat yang ditentukan. Sedangkan mengenai cara pemanggilan saksi atau ahli yang tidak disebutkan dalam pasal ini, menurut Prof. Yahya Harahap berpedoman pada pasal 145 ayat (1), jo pasal 146 ayat (2) yang berarti pemanggilan saksi atau ahli berlaku aturan umum tentang tata cara pemanggilan menghadap ke sidang pengadilan sebagaimana yang diatur dalam bagian kesatu Bab XVI. Setelah pengadilan menerima perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan, hakim yang bertugas memeriksa perkara memerintahkan panitera mencatat dalam buku register. Berdasarkan penjelasan pasal 207 ayat (2) huruf a KUHAP ; oleh karena penyelesaiannya yang cepat maka perkara yang diadili menurut acara pemeriksaan cepat sekaligus dimuat dalam buku register dengan masing masing diberi nomor untuk dapat diselesaikan secara berurutan, maka untuk perkara perkara yang tidak dapat disidangkan pada hari itu juga karena alasan perkaranya belum memenuhi syarat formal atau perkaranya tidak lengkap, sebaiknya jangan di register agar dapat dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi. Akan tetapi, jika menganut pandangan yang memperbolehkan pemeriksaan tindak pidana ringan dapat diputus dengan verstek ( pemeriksaan acara tindak pidana ringan dapat diputus di luar hadirnya terdakwa ), maka bisa langsung di register, karena hadir atau tidaknya terdakwa perkaranya dapat diputus. Sesuai dengan pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP, buku register perkara dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan memuat : nama lengkap, tempat lahir, umur ( tanggal lahir ), jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan 19

30 terdakwa, tindak pidana yang didakwakan. Karenanya pengajuan dan pemeriksaan perkara dengan cara tindak pidana ringan tanpa surat dakwaan, dalam hal ini surat dakwaan dianggap tercakup dalam catatan buku register. Alasan pembuat undang undang mencukupkan register sebagai pengganti surat dakwaan, dapat dibaca dalam penjelasan pasal 207 ayat (2) huruf b yang berbunyi ; ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlakukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut pada huruf a Untuk pemeriksaan dengan acara biasa Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding { pasal 205 ayat (3) KUHAP }. Hal ini berarti jika tidak dijatuhkan pidana penjara atau kurungan, maka terpidana tidak dapat melakukan upaya hukum berikutnya yakni banding. Selain itu, saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu ( pasal 208 KUHAP ) Pasal 209 ayat (2) KUHAP menyebutkan ; Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik. Dengan demikian panitera tidak diwajibkan membuat berita acara sidang. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan tanpa membuat berita acara sidang. Hal ini mungkin didasarkan pada tata cara pemeriksaan yang sifatnya adalah cepat atau expedited procedure, disamping perkaranya hanya tindak pidana ringan. Putusan dalam acara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tersendiri seperti putusan perkara dengan acara biasa. Putusan tersebut tidak dicatat 20

31 dan disatukan dalam berita acara sidang seperti yang berlaku dalam perkara pemeriksaan dengan acara singkat. Putusannya cukup berupa bentuk catatan, yang sekaligus berisi amar putusan berbentuk catatan dalam daftar catatan perkara. Adapun tata cara membuat putusan : 1. Hakim mencatat putusan dalam daftar catatan putusan, ini berarti dalam berkas perkara yang dikirimkan penyidik, telah tersedia daftar catatan perkara. Dalam daftar catatan itulah isi putusan dimuat, berupa catatan bunyi amar yang dijatuhkan 2. Panitera memuat catatan putusan dalam buku register, oleh panitera catatan putusan hakim yang dicatat dalam daftar catatan perkara, dicatat dalam buku register 3. Pencatatan putusan dalam buku register ditandatangani oleh hakim dan panitera, Menurut penjelasan pasal 209, pembuat undang undang sengaja mengatur pembuatan berita acara dan bentuk putusan sedemikian rupa dalam pemeriksaan perkara dengan acara tindak pidana ringan, dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian perkara. Penjelasan ini pula memperingatkan agar jangan sampai mengurangi ketelitian hakim memeriksa dan memutus perkara yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan. Sedangkan mengenai sifat putusan dalam acara ini, disebutkan dalam pasal 205 ayat (3), yang menegaskan antara lain: pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, yang berarti : 1. Putusan pengadilan negeri bersifat putusan tingkat terakhir 21

32 2. Karena itu putusan tersebut tidak dapat diajukan permintaan banding. Oleh karena sifat putusan merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir maka : 1. Upaya hukum banding dengan sendirinya tertutup 2. Upaya hukum yang dapat ditempuh terdakwamengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, sebagai instansi yang berwenang memeriksa perkara putusan pidana yang dijatuhkan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung Namun sifat diatas tidak mencakup semua putusan, sesuai dengan ketentuan pasal 205 ayat (3): dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat meminta banding, dengan demikian UU membedakan dua putusan dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan dalam dua kelompok ; 1. Putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat diajukan permintaan banding; putusan yang bukan perampasan kemerdekaan, misalnya hanya berupa denda, maka tidak diperkenankan mengajukan banding, Upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi 2. Putusan yang tidak bersifat tingkat pertama dan terakhir dan dapat diminta banding; putusan yang berupa perampasan kemerdekaan. 22

33 Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas. Acara pemeriksaan ini diatur dalam paragraf 2 bagian keenam Bab XVI, sehingga dapat dikatakan acara ini merupakan lanjutan dari acara tindak pidana ringan. Walaupun keduanya diatur dalam bagian yang sama, namun terdapat ciri dan perbedaan diantara keduanya, a.n pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan; 1. Jenis perkara yang diperiksa tertentu, yakni khusus pelanggaran lalu lintas jalan 2. Terdakwa dapat diwakili 3. Putusan dapat dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa, dan terhadap putusan itu terdakwa dapat melakukan perlawanan dalam tenggang waktu 7 hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa Berdasarkan pasal 211 KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan ini ialah perkara tertentu terhadap peraturan perundang undangan lalu lintas jalan. Maka, Perkara lalu lintas jalan adalah perkara tertentu terhadap pelanggaran peraturan perundang undangan lalu lintas jalan. Sedangkan perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang undangan lalu lintas jalan, diperjelas dengan penjelasan pasal 211 itu sendiri, sbb : a. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan 23

34 b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi ( SIM ), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah, atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kedaluarsa c. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi d. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendara lain e. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan f. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan, rambu rambu atau tanda yang ada dipermukaan jalan g. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang dizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan atau cara memuat dan membongkar barang h. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan 24

35 Jika dala pemeriksaan perkara dengan acara ringan, penyidik membuat berita acara sekalipun berupa berita acara ringkas dalam perkara pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik tidak perlu membuat berita acara pemeriksaan. Adapun proses pemeriksaan dan pemanggilan menghadap persidangan pengadilan : 1. Dibuat berupa catatan, bisa merupakan model formulir yang sudah disiapkan demikian oleh penyidik 2. Dalam formulir catatan itu penyidik memuat : a) pelanggaran lalu lintas yang didakwakan kepada terdakwa, b) sekaligus dalam catatan itu berisi pemberitahuan hari, tanggal, jam, tempat sidang pengadilan yang akan dihadiri terdakwa tanpa adanya hal hal diatas maka pemberitahuan itu tidak sah Berdasarkan pasal 213 KUHAP, terdakwa dapat menunjuk seseorang untuk mewakilinya menghadap pemeriksaan sidang pengadilan. Ketentuan ini seolah olah memperlihatkan corak pelanggaran lalu lintas jalan sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Terdapat suatu quasi yang bercorak perdata dalam pemeriksaan perkara pidana, karena menurut tata hukum dan ilmu hukum umum, perwakilan menghadapi pemeriksaan sidang pengadilan, hanya dijumpai dalam pemeriksaan yang bercorak keperdataan. Ada beberapa hal yang terkandung dalam pasal 213 yang memperbolehkan terdakwa diwakili menghadap dan menghadiri sidang : 1. Undang undang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person di sidang pengadilan ( selain sebagai Quasi perdata juga sebagai pengecualian terhadap asas in absentia ) 2. Terdakwa dapat menunjuk seseorang yang mewakilinya 25

36 3. Penunjukan wakil dengan surat. Ketentuan pasal 214 KUHAP, membenarkan pemeriksaan perkara dan putusan dapat diucapkan di luar hadirnya terdakwa, ketentuan ini menunjukkan quasi perdata dalam perkara pidana serta merupakan penyimpangan dari asas in absensia. Adapun Proses pemeriksaan dan putusan di luar hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan adalah sbb : apabila terdakwa atau wakilnya tidak datang, maka : 1. Pemeriksaan perkara dilanjutkan; tida perlu ditunda dan dimundurkan pada hari sidang yang akan datang. ketentuan ini bersifat imperatif dan bukan fakultatif. 2. Setelah pemeriksaan dilanjutkan putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa yang merupakan rangkaian yang tak terpisah dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terdakwa ( bunyi pasal 214 ayat 2 ). Hal ini berarti bahwa setelah putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa : 1. Panitera segera menyampaikan surat amar putusan kepada penyidik 2. Penyidik memberitahukan surat amar putusan kepada terpidana sesuai dengan tata cara pemberitahuan putusan yang diatur dan berpedoman pada pasal 227 ayat (2)9 3. Penyidik mengembalikan surat amar putusan yang telah diberitahukan itu kepada panitera 26

37 4. Kalau pemberitahuan amar surat putusan telah terbukti sah dan sempurna, panitera mencatat hal itu dalam buku register, jika belum sah panitera belum dapat mencatatnya dalam buku register, tetapi mengirimkan kembali surat amar putusan kepada penyidik, untuk diberitahukan kepada terpidana sebagaimana mestinya. Dalam proses perkara perdata, perlawanan terhadap putusan verstek disebut verzet, verzet dalam perdata hampir sama dengan proses perlawanan yang diatur dalam pasal 214 ayat (4); 1. Perlawanan diajukan ke pengadilan, tidak ditujukan kepada penyidik, melainkan langsung ke pengadilan yang menjatuhkan putusan verstek. 2. Verzet hanya dilakukan atas permapasan kemerdekaan, perlawanan tidak dapat diajukan untuk semua jenis putusan verstek, undang undang membedakan dua jenis putusan diluar hadirnya terdakwa ; a) jenis putusan yang dapat diajukan perlawanan terhadapnya; hanya terhadap putusan perampasan kemerdekaan, b) jenis putusan tak boleh diajukan perlawanan ; semua jenis putusan diluar putusan perampasan kemerdekaan Pasal 214 ayat (5) mengatur tentang waktu mengajukan perlawanan yakni 7 hari terhitung sejak putusan diberitahukan penyidik kepadanya. Apabila tenggang waktu tersebut lewat, maka dengan sendirinya gugur hak terpidana mengajukan perlawanan. Apabila terpidana mengajukan perlawanan dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal 214 ayat (5) maka menurut ketentuan pasal 214 ayat (6) 27

38 dengan sendirinya mengakibatkan putusan verstek menjadi gugur, dan perkara kembali kepada keadaan semula, seolah olah perkara tersebut belum pernah diperiksa di sidang pengadilan. Status tedakwa sebagai terpidana pulih kembali menjadi terdakwa. Pada prinsipnya terhadap putusan perkara lalu lintas tidak dapat diajukan upaya banding. Hal ini ditegaskan dalam pasal 67 bahwa terhadap putusan pengadilan dalam acara cepat tidak dapat dimintakan banding, inilah prinsip umum yang diatur dalam UU, namun terdapat pengecualian walaupun hanya terbatas untuk hal hal yang sangat tertentu saja. bertitik tolak dari pasal 214 ayat (8), putusan yang dapat dibanding dalam pelanggaran lalu lintas hanya terhadap putusan yang : 1. Semula putusan dijatuhkan diluar hadirnya terdakwa, dan putusan itu berupa perampasan kemerdekaan terdakwa 2. Lantas atas putusan tersebut terdakwa mengajukan perlawanan sesuai dengan tenggang dan tata cara yang diatur dalam pasal 214 ayat (5) dan (6), 3. Akan tetapi dalam pemeriksaan kembali perkara tersebut, pengadilan tetap menjatuhkan putusan pidana perampasan kemerdekaan, terhadap putusan yang melalui proses verstek dan verzet ini terdakwa dapat mengajukan permintaan banding Berdasarkan ketentuan pasal 38 ayat (1), penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri, jika tidak penyitaan tersebut merupakan tindakan penyitaan yang tidak sah. Masalahnya adalah ketentuan ini menghambat tugas penegakan hukum bagi aparat penyidik dilapangan, sebab mereka harus bolak balik ke pengadilan untuk meminta surat izin kepada ketua 28

39 PN. Namun berdasarka pedoman angka 10 lampiran keputusan Menteri Kehakiman No. 14-PW tahun 1983, dihubungkan dengan pasal 4010 dan pasal 4111 KUHAP, dapat dikonstruksi tindakan penyitaan yang sah; 1. Apabila penyidik menemukan peristiwa pelanggaran lalu lintas di lapangan berarti penyidik berhadapan dengan peristiwa dalam keadaan tertangkap tangan 2. Dalam keadaan tertangkap tangan, dikategorikan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, sehingga menurut rumusan pasal 38 ayat (2), sehingga memaksa penyidik harus segera bertindak sedemikian rupa mendesaknya sehingga penyidik tak mungkin lebih dahulu mendapat surat izin dari ketua PN. 3. Berpedoman pada ketentuan pasal 38 ayat (2), maka penyitaan wajib segera dilaporkan kepada ketua PN, jika tidak penyitaan tersebut tidak sah, Jika yang disita berupa SIM dan STNK maupun surat kendaraaan bermotor yang lain, pelaporan penyitaan cukup dilakukan pada surat pengantar pengiriman berkas berkas perkara pelanggaran lalu lintas, sedangkan laporannya dalam bentuk laporan penyitaan kolektif, jadi tidak perlu dibuat laporan satu per satu. Mengenai pengembalian benda sitaan dalam acara pelanggaran lalu lintas jalan, di atur dalam pasal 215 KUHAP, dengan ketentuan sbb : 1. Pengembalian barang bukti segera dilakukan setelah putusan dijatuhkan 29

40 2. Dengan ketentuan, pengembalian barang sitaan baru dilakukan setelah terpidana,memenuhi isi amar putusan, selama belum memenuhi amar putusan maka benda tersebut masih ditahan di pengadilan 3. Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat 4. Yang dianggap paling berhak menerima pengembalian benda sitaan ialah pemilik yang sebenarnya 5. Dapat juga ditafsirkan, yang paling berhak adalah orang dari siapa benda itu disita 6. Bisa juga, orang yang dianggap paling berhak ialah pemegang terakhir atau orang terakhir menguasai benda tersebut. Dengan SEMA No. 22 tahun 1983, 15 Mahkamah Agung memberi petunjuk tentang pengertian perkataan harus segera dilunasi : 1. Apabila terdakwa atas kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, pelunasan harus dilakukan pada saat putusan diucapkan 2. Apabila terdakwa atas kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan pelunasan dilakukan pada saat jaksa memberitahukan putusan kepada terpidana adapun bentuk putusan lalu lintas jalan adalah : 1. Berupa catatan yang dibuat hakim pada catatan atau formulir pemeriksaan yang disampaikan penyidik kepada pengadilan 15 Ibid.,h.43 30

41 2. Catatan putusan yang yang dijatuhkan itulah yang disebut surat amar putusan 3. Panitera mencatat isi amar putusan ke dalam register. 31

42 Prosedur Titip Sidang Tilang Di Indonesia Lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 (1) didefinisikan sebagai gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan, sedang yang dimaksud dengan Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. Tilang, singkatan dari Bukti Pelanggaran merupakan tindakan langsung terhadap pelanggaran lalu lintas yang menjadi salah satu bentuk penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan Polri. Penyelesaian atas pelanggaran itu berada dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang melibatkan kejaksaan dan pengadilan. Pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Mengacu pada Pasal 211 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993, terdapat 28 jenis pelanggaran yang dapat dikenakan tilang. 16 Termasuk wewenang peradilan dengan acara pemeriksaan lalu lintas adalah perkara-perkara lalu lintas yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1992 yang sesuai dengan Penjelasan Umum KUHAP Pasal 211 dari huruf a s/d h, yaitu: a. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan; b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Tanda 16 Ibid.,h

43 Uji Kendaraan yang sah atau tanda bukti yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkan tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa; c. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memilki SIM; d. Tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran,penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain; e. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan STNK ybs; f. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugab pengatur lalu lintas jalan dan/ atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan; g. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang izinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan atau cara memuat dan membongkar barang; h. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan; Setelah Pelanggar dinyatakan bersalah karena melanggar Peraturan Lalu Lintas, oleh Petugas ( POLISI/POLANTAS) pelanggaran tersebut dicatat dalam Berita Acara Singkat yang namanya TILANG (BUKTI PELANGGARAN). Dalam Surat Tilang No. Reg , pasal yang dilanggar oleh Togia. FSH. R adalah pasal 289 UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, yang berbunyi Setiap orang yang mengemudikan 33

No Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun secara berk

No Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun secara berk TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5346 TRANSPORTASI. Kendaraan Bermotor. Pelanggaran. Pemeriksaan. Tata Cara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 187) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.187, 2012 TRANSPORTASI. Kendaraan Bermotor. Pelanggaran. Pemeriksaan. Tata Cara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5346) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan lalu lintas merupakan suatu masalah yang sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan lalu lintas merupakan suatu masalah yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan lalu lintas merupakan suatu masalah yang sering mendapat sorotan masyarakat, karena lalu lintas mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mendukung

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SKRIPSI

PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SKRIPSI PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SKRIPSI Oleh : KARNO NPM : 28120079 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan alat transportasi mengalami perkembangan, terutama penggunaan kendaraan roda dua dan roda empat. Hal ini mengakibatkan kepadatan lalu lintas, kemacetan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA 1. PELAYANAN PERSIDANGAN NO. JENIS PELAYANAN DASAR HUKUM 1. Penerimaan Pelimpahan Berkas. Pasal 137 KUHAP PERSYARATAN - Yang melimpahkan harus Jaksa Penuntut Umum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D

TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D 101 07 509 ABSTRAK Lalu-lintas dan angkutan jalan mempunyai peran yang cukup penting dalam rangka pembangunan pada umumnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG, MENTERI KEHAKIMAN, JAKSA AGUNG DAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA'

KESEPAKATAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG, MENTERI KEHAKIMAN, JAKSA AGUNG DAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA' KESEPAKATAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG, MENTERI KEHAKIMAN, JAKSA AGUNG DAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA' TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS JALAN TERTENTU,: Sesuai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2003 T E N T A N G PEMINDAHAN KENDARAAN BERMOTOR, KERETA TEMPELAN DAN KERETA GANDENGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. PROSEDUR PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS DALAM KUHAP 1 Oleh : Herry Yanto Takaliuang 2

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. PROSEDUR PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS DALAM KUHAP 1 Oleh : Herry Yanto Takaliuang 2 PROSEDUR PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS DALAM KUHAP 1 Oleh : Herry Yanto Takaliuang 2 ABSTRAK Di negara berkembang sperti Indonesia, kesadaran tertib di jalan raya masih rendah mulai

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN L II.3 TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN I. PERKARA PERDATA Untuk memeriksa administrasi persidangan, minta beberapa berkas perkara secara sampling

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang hampir semua aspek di

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang hampir semua aspek di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara hukum yang hampir semua aspek di dalamnya diatur oleh hukum. Tujuan dibuatnya hukum ini adalah untuk menciptakan suatu masyarakat yang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 ABD. WAHID / D 101 10 633 ABSTRAK Perkembangan ilmu dan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK. Tahun. retribusi kewenangan. Daerah

TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK. Tahun. retribusi kewenangan. Daerah PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, Menimbang Mengingat : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS DAN PELANGGARAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS DAN PELANGGARAN LALU LINTAS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS DAN PELANGGARAN LALU LINTAS A. Lalu Lintas 1. Pengertian Lalu Lintas dan Kecelakaan Lalu Lintas Pengertian lalu lintas adalah gerak/pindah kendaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 19 TAHUN 2001 SERI B NOMOR 3 PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 19 TAHUN 2001 SERI B NOMOR 3 PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG No. 19, 2001 Seri B No. 3 LEMBARAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 19 TAHUN 2001 SERI B NOMOR 3 PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR

SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERAM BAGIAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa kendaraan bermotor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya menunjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ACARA PEMERIKSAAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS DITINJAU DARI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 DAN KUHAP JURNAL

ACARA PEMERIKSAAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS DITINJAU DARI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 DAN KUHAP JURNAL ACARA PEMERIKSAAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS DITINJAU DARI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 DAN KUHAP JURNAL Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum OLEH:

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci