3.4 Prioritas Ancaman

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3.4 Prioritas Ancaman"

Transkripsi

1 Gambar 3.6 Kerusakan terumbu karang menjadi serpihan kecil (rubble) sebagai akibat dari penggunaan alat tangkap bom ikan (photo: Misool Raja Ampat, oleh Purwanto) 3.4 Prioritas Ancaman Seperti telah dijelaskan di atas, sumber ancaman pada keanekaragaman hayati laut bisa dibedakan dalam dua kategori, ialah: ancaman global dan ancaman lokal ancaman global terjadi dalam bentuk perubahan iklim dengan contoh pemanasan global (global warming) dan hujan asam (acid rain). Ancaman lokal, pada dasarnya dibedakan dalam kategori: pembangunan wilayah pesisir, konversi lahan, sedimentasi, pencemaran di laut, penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. Pembahasan selanjutnya yang lebih penting ialah untuk menentukan sumber ancaman yang paling penting dan menyebabkan dampak kerusakan yang paling tinggi Prioritas Ancaman Terumbu Karang di Asia Tenggara Suatu komisi di Asia Tenggara, terdiri dari ilmuwan, praktisi, pemerintah dan masyarakat lokal bergabung untuk menentukan prioritas ancaman pada habitat terumbu karang di Asia Tenggara. Sumber ancaman dibedakan dalam lima kategori, ialah: pembangunan di wilayah pesisir, sedimentasi, pencemaran di laut, penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. Pada masing-masing sumber ancaman dibuat komponen atau indikator untuk menentukan indeks besarnya ancaman. Komponen ancaman untuk sumber ancaman pembangunan di wilayah pesisir ialah: letak kota di wilayah pesisir, jumlah dan kepadatan penduduk, kegiatan pertambangan dan jarak dari pesisir pantai. Komponen ancaman pada pencemaran laut ialah: keberadaan dan 45 Ancaman pada sumber daya hayati laut

2 ukuran pelabuhan, keberadaan dan ukuran tangki minyak dan jalur pelayaran. Tingkat sedimentasi ditentukan oleh komponen persentase pembukaan lahan (tata guna lahan) di darat, kemiringan lahan dan keberadaan tangkapan sedimen, catchment areas, di muara sungai. Penangkapan berlebih diukur dari komponen jumlah penduduk dalam jarak 10 km dari pantai, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan konsumsi protein hewani dari ikan. Sedangkan komponen penangkapan destruktif didapat dari konsultasi ahli terkait keberadaan alat tangkap bom dan racun. Semua faktor komponen yang bernilai negatif tersebut bisa dinetralkan jika terdapat usaha pengelolaan yang efektif (untuk mengurangi ancaman dari masing-masing komponen). Besarnya ancaman dibuat dalam skor dan disebut indeks ancaman, dengan kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Besar dan wilayah sebaran ancaman dari masing-masing komponen dan sumber ancaman dipetakan pada masing-masing wilayah pesisir dan laut di Asia Tenggara. Penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif ialah dua sumber ancaman yang paling penting dan menyebabkan resiko paling tinggi terhadap kerusakan terumbu karang di Asia Tenggara. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Indonesia di bagian timur (Gambar 3.6). Strategi paling tepat untuk mengurangi ancaman kerusakan terumbu karang di Indonesia ialah dengan menekan insiden penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif, tentu saja dengan tidak mengabaikan tiga faktor lainnya. Namun perlu diketahui bahwa usaha yang lebih prioritas harus dilakukan pada kegiatan atau rencana untuk mengurangi penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. 46 Ancaman pada sumber daya hayati laut

3 Gambar 3.7 Indeks ancaman terhadap terumbu karang di Asia Tenggara (A) dan Indonesia (B) (Sumber: dimodifikasi kembali dari Reef at Risk in Southeast Asia, ) Dampak Operasi Alat Tangkap pada Terumbu Karang: Studi Kasus Terumbu karang termasuk ekosistem yang paling produktif, sensitif, menyimpan keanekaragaman sumber daya hayati sangat beragam dan mempunyai nilai guna ekonomi sangat tinggi. Indonesia mempunyai peran sangat penting dalam perlindungan terumbu karang karena posisinya di dalam Coral Triangle. Pada saat yang sama, terumbu karang di Indonesia mengalami ancaman yang sangat serius, terutama dari kegiatan penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. Suatu penelusuran jenis kegiatan penangkapan yang memberikan prakiraaan dampak 47 Ancaman pada sumber daya hayati laut

4 penting pada ekosistem terumbu karang dilakukan di wilayah Jawa Timur, sebagai contoh studi kasus. A. Metode Perkiraan Dampak A.1 Kerangka Teoritis Alat tangkap di Jawa Timur sangat beragam, seperti umumnya karakteristik perikanan di Indonesia. Namun pada dasarnya alat tangkap bisa dibedakan ke dalam 10 kategori, yaitu: (1) bubu dan perangkap; (2) rawai dasar; (3) gillnet atau jaring insang; (4) pukat pantai; (5) bom dan compressor sianida; (6) pancing; (7) gillnet; (8) dogol; (9) rawai permukaan; dan (10) pukat cincin. Masing-masing kategori alat tangkap bisa menyebabkan penangkapan berlebih (over-fishing) atau penangkapan destruktif (penangkapan merusak) pada tingkatan yang berbeda. Penangkapan berlebih atau penangkapan destruktif terhadap ekosistem terumbu karang terjadi melalui salah satu atau kombinasi mekanisme berikut: (1) kerusakan kolateral; (2) hasil sampling (By-catch); (3) perubahan rakitan spesies; dan (4) alat non-selektif. Kerusakan kolateral didefinisikan sebagai kerusakan lingkungan habitat dan ikan yang terjadi sebagai akibat dari cara operasi suatu alat tertentu pada ekosistem terumbu karang. Setiap alat tangkap selalu ditujukan untuk menangkap ikan tertentu yang disebut target spesies. Dalam operasi penangkapan, alat tangkap sering menangkap ikan-ikan lain secara insidental, selain ikan target. Ikan-ikan non-target yang tertangkap secara insidental dari operasi alat tangkap tertentu disebut hasil samping atau by-catch. Hasil samping atau by-catch didefinisikan sebagai operasi alat tangkap tertentu yang mendapatkan hasil sampling (by-catch), walaupun tidak diinginkan, melebihi biomass dari ikan target spesies. didefinisikan sebagai operasi alat tangkap yang menyebabkan pengurangan suatu spesies tertentu secara berlebihan sehingga menyebabkan berubahnya struktur rantai makanan pada ekosistem terumbu karang. Hal ini sering terjadi jika alat tangkap mempunyai target spesies yang berada pada puncak rantai makanan. Alat tangkap nonselektif didefinisikan sebagai operasi satu jenis alat tangkap yang mengambil hampir semua jenis dan semua ukuran dari ikan yang berada di dalam lingkungan terumbu karang. Besarnya dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing alat tangkap pada ekosistem terumbu karang atau spesies dalam terumbu karang ditentukan berdasarkan ukuran scope (luasan dampak), severity (tingkat keparahan kerusakan yang ditimbulkan pada terumbu karang) dan irreversibility (ketidak berbalikan dari ekosistem terumbu karang). Scope cakupan atau luasan dampak, didefinisikan sebagai proporsi (spasial) kerusakan ekosistem terumbu karang (dalam skala luasan) yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif), selama 10 tahun mendatang (diukur dari kondisi saat ini). Kategori Scope dibedakan sebagai berikut: Sangat Tinggi: dampak kerusakan mencapai cakupan yang sangat luas (pervasive), memengaruhi sebagian besar atau seluruh (71-100%) ekosistem terumbu karang. Tinggi: dampak kerusakan mencapai cakupan yang luas (widespread) memengaruhi sebagian besar (31-70%) ekosistem terumbu karang. Sedang: dampak kerusakan mencapai beberapa bagian (11-30%) dari ekosistem terumbu karang 48 Ancaman pada sumber daya hayati laut

5 Rendah: dampak kerusakan mencapai cakupan yang terbatas, memengaruhi sebagian kecil (1-10%) dari ekosistem terumbu karang. Severity keparahan, didalam scope (spasial), didefinisikan sebagai besarnya (keparahan) dampak kerusakan pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif), jika penangkapan terus terjadi selama periode 10 tahun ke depan (dari kondisi saat ini). Tingkat keparahan kerusakanan pada ekosistem terumbu karang, didefinisikan sebagai tingkat kerusakan atau degradasi dari terumbu karang yang ada di dalam scope. Untuk spesies di dalam ekosistem terumbu karang, keparahan diukur sebagai tingkat penurunan populasi yang ada di dalam scope. Kategori Severity dibedakan sebagai berikut: Sangat Tinggi: didalam scope, dampak bisa merusak atau menghilangkan ekosistem terumbu karang, atau mengurangi jumlah populasi spesies sebesar % dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang. Tinggi: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistem terumbu karang secara nyata, atau mengurangi jumlah populasinya sebesar 31-70% dalam jangka waktu sepuluh tahun. Sedang: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistem terumbu karang dalam skala sedang, atau mengurangi jumlah populasinya sebesar 11-30% dalam jangka waktu sepuluh tahun. Rendah: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistem terumbu karang relatif rendah, atau mengurangi populasi sebesar 1-10% dalam kurun waktu sepuluh tahun. Irreversibility: ireversibilitas, ketidak berbalikan, didefinisikan sebagai tingkat yang menunjukkan besarnya pengaruh aktifitas penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif) yang menyebabkan ekosistem terumbu karang atau spesies penghuni terumbu karang tidak bisa dipulihkan kembali. Kategori irreversibility dibedakan sebagai berikut: Sangat Tinggi: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan tidak bisa dibalikkan dan hampir tidak mungkin bagi terumbu karang untuk dipulihkan, dan/atau akan memakan waktu lebih dari 100 tahun untuk mencapai hal ini (misalnya, seluruh area terumbu karang dibom yang menyebabkan permukaan substrat dasar tidak stabil) Tinggi: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan secara teknis dan ekosistem terumbu karang bisa dipulihkan, tetapi secara finansial tidak praktis untuk dilakukan dan/atau akan memakan waktu antara 12 sampai 100 tahun untuk mencapai hal ini (misalnya sebagian besar wilayah terumbu karang tertutup partikel sedimentasi) Sedang: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan dan ekosistem terumbu karang bisa dipulihkan dengan adanya komitmen sumber daya secara wajar dan/atau membutuhkan waktu antara 6 20 tahun untuk kembali (misalnya, penangkapan berlebih terhadap ikan karang pada tingkatan terbatas) Rendah: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan dengan mudah dan ekosistem terumbu karang bisa dengan mudah dipulihkan dengan biaya yang relatif rendah dan/atau dalam kurun waktu 0 5 tahun (misalnya, penangkapan berlebih terhadap ikan pelagis pada tingkatan yang terbatas contoh lain misalkan kerusakan terumbu karang akibat yang ditimbulkan oleh penyelam pemula) 49 Ancaman pada sumber daya hayati laut

6 A.2 Penentuan Besarnya Dampak (Impact Rating) Penentuan besarnya prakiraan dampak kegiatan penangkapan oleh masing-masing alat tangkap di Jawa Timur secara akumulatif, ditentukan dari pembobotan masing-masing mekanisme terjadinya kerusakan terumbu karang dan besaran kerusakan yang ditimbulkan (scope, severity dan irreversibility). Untuk memudahkan pembahasan, masing-masing komponen diberi bobot yang sama (kenyataan di lapang tidak selalu sama). Setiap dampak dibedakan menjadi empat kategori: Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, dan Rendah. Masing-masing kategori diberi nilai secara numerikal sangat tinggi setara dengan nilai = 4, tinggi = 3, sedang = 2, dan rendah = 1. Rata-rata besaran dampak dari suatu mekanisme kerusakan terumbu karang, dengan demikian akan bervariasi antara 1 4. Jika masing-masing besaran dampak (scope, severity dan irreversibility) masuk dalam kategori sangat tinggi, maka rata-rata besaran dampak = 4, yaitu 12/3. Impact Rating didefinisikan sebagai nilai rata-rata antara nilai besaran dalam scope, severity dan irreversibility. Kategori impact rating juga dibedakan menjadi empat, yaitu: sangat tinggi (> 3,25), tinggi (2,51 3,25), sedang (1,75 2,50) dan rendah (< 1,75). Besarnya dampak suatu kegiatan penangkapan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang ditentukan secara bersama melalui mekanisme kerusakan yang ditimbulkan, yaitu: kerusakan kolateral, hasil sampling (by-catch), perubahan rakitan spesies dan alat tangkap non-selektif. Besaran ini disebut Dampak Akumulatif (DA) suatu kegiatan penangkapan terhadap ekosistem terumbu karang. Nilai DA didefinisikan sebagai rata-rata antara mekanisme kerusakan kolateral, hasil sampling (by-catch), perubahan rakitan spesies dan alat non-destruktif. Dampak Akumulatif juga dibedakan ke dalam empat kategori, ialah: sangat tinggi (> 3,25), tinggi (2,51 3,25), sedang (1,75 2,50) dan rendah (< 1,75). Semua informasi di atas bisa dibuat dalam satu tabel pendugaan perkiraan dampak kerusakan terumbu karang oleh kegiatan penangkapan ikan seperti disajikan pada Tabel 3.1. Walaupun semua ketentuan besaran sudah didefinisikan secara tangible (terukur), pengisian nilai dalam tabel hanya bisa dilakukan oleh ahli (expert judgment) atau praktisi yang bekerja dalam bidang pengelolaan perikanan atau sumber daya alam. 50 Ancaman pada sumber daya hayati laut

7 Tabel 3.1 Format isian untuk mengukur perkiraan dampak kerusakan ekosistem terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan di Jawa Timur (kategori alat tangkap disintesis dari DJP, 1975 dan Yamamoto, 1980) No. Alat Tangkap Mekanisme Kerusakan Besaran Dampak: Karang Scope Severity Irreversibility 1 Bubu dan Perangkap Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat bubu & perangkap terhadap terumbu karang 2 Rawai dasar Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Rawai dasar terhadap terumbu karang 3 Gillnet dasar Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Gillnet dasar terhadap terumbu karang 4 Pukat pantai Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat pukat pantai terhadap terumbu karang 5 Bom & komp. sianida Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat bom & sianida terhadap terumbu karang 6 Pancing (hook & line) Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Pancing (hook & line) terhadap terumbu karang 7 Gillnet pertengahan Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Gillnet pertengahan terhadap terumbu karang 8 Dogol Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Dogol terhadap terumbu karang = Impact Rating 51 Ancaman pada sumber daya hayati laut

8 No. Alat Tangkap Mekanisme Kerusakan Besaran Dampak: Karang Scope Severity Irreversibility 9 Rawai permukaan Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Rawai Permukaan terhadap terumbu karang = 10 Pukat cincin Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Pukat Cincin terhadap terumbu karang = Impact Rating B. Pendugaan Kerusakan Terumbu Karang: Kasus Di Jawa Timur Untuk menguji kesesuaian metode prakiraan dampak kerusakan terumbu karang yang dikembangkan seperti tersebut di atas, form isian pada Tabel 3.1 dicobakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. B.1 Responden Pengisian form isian pada Tabel 3.1 memerlukan penjelasan yang cukup mendalam terhadap masing-masing istilah yang digunakan dalam tabel. Hal ini memerlukan diskusi yang cukup lama dengan responden. Untuk menghindari keragu-raguan dalam memilih nilai yang tepat, pengujian melibatkan responden yang terbatas. Staf pengajar Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, bersama mahasiswa senior pada program studi yang sama telah dipilih secara selektif untuk mengisi Tabel 3.1. Seleksi dilakukan berdasarkan kriteria: kemauan dan ketertarikan responden untuk meluangkan waktu dan terlibat dalam diskusi, semua responden mempunyai pengalaman yang cukup untuk mengetahui proses operasi masing-masing alat tangkap yang terdapat pada Tabel 3.1, responden memahami semua definisi istilah yang digunakan dalam penentuan ukuran perkiraan dampak, dan masing-masing responden mempunyai kedudukan yang sama dalam berbagi informasi maupun dalam memutuskan masing-masing nilai skor. Dari total responden, hanya satu orang yang berjenis kelamin wanita, dari mahasiswa. Staf Pengajar yang mempunyai kekhususan alat tangkap (fishing gear) semuanya berjenis kelamin pria, sehingga proporsi sex responden tidak seimbang. B.2 Pengisian Skor pada Tabel Responden mendapat penjelasan kriteria seleksi sehingga mereka terpilih sebagai responden. Semua responden diberi form isian seperti pada Tabel 3.1. Diskusi tahap pertama dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang sama (diantara responden) tentang 10 kategori alat tangkap yang terdapat pada Tabel. Selanjutnya, peneliti memberikan penjelasan terhadap masing-masing definisi istilah yang digunakan pada Tabel (kerusakan kolateral, hasil sampling atau by-cath, perubahan rakitan spesies, alat tangkap non-destruktif, scope, severity dan irreversibility). Peneliti juga 52 Ancaman pada sumber daya hayati laut

9 menjelaskan kisaran nilai pada Impact Rating dan Dampak Akumulatif (DA) dari masing-masing alat tangkap. Pada tahap selanjutnya, masing-masing responden diminta untuk mengisi Tabel sesuai dengan infromasi terbaik yang mereka miliki saat ini (best information available). Pengisian Tabel 3.1 dilakukan oleh masing-masing responden berdasarkan persepsi kepakaran mereka (expert judgment). Data isian oleh mahasiswa mendapat perlakukan yang sama (tidak dibedakan) dengan tabel isian yang dilakukan oleh staf pengajar (dosen). Semua form yang sudah diisikan dikumpulkan oleh enumerator. Selanjutnya, semua responden diminta untuk menyatukan persepsi untuk mengisi Tabel 3.1 secara bersama. Melalui diskusi dan argumentasi, masing-masing responden harus bisa menerima pilihan suatu nilai berdasarkan pilihan suara terbanyak dari responden, walaupun pilihan nilai tersebut berbeda dengan yang diisi oleh responden sebelumnya. C. Hasil Penilaian Persepsi Tabulasi hasil pengisian Tabel 3.1 oleh responden menunjukkan kecenderungan penilaian yang sama data mengumpul pada suatu tempat. Namun masih ada beberapa perbedaan dalam menilai beberapa alat. Perbandingan tersebut berkisar antara 1:5 dan 2:4. Hal ini diduga karena masih adanya perbedaan persepsi diantara responden karena perbedaan latar belakang pengetahuan mereka. Perbedaan penilaian terjadi pada alat tangkap bubu/perangkap dan pukat cincin. Setelah dilakukan diskusi lebih lanjut, semua responden sepakat untuk memberikan satu penilaian terhadap masing-masing alat, mekanisme kerusakan dan besaran dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem terumbu karang (scope, severity dan irreversibility). Tabulasi hasil kesepakatan responden disajikan pada Tabel 3.2. Hasil perhitungan Impact Rating (IR) dan Dampak Akumulatif (DA) mendapatkan bahwa alat tangkap pukat pantai dan bom & kompresor sianida menyebabkan dampak kerusakan sangat tinggi terhadap ekosistem terumbu karang. Nilai DA pada pukat pantai mencapai 3,33, sedangkan alat tangkap bom & kompresor sianida mencapai 4,00. Semua responden sepakat bahwa bom dan kompresor sianida menyebabkan dampak kerusakan paling tinggi terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan destruktif dengan menggunakan bom dan racun sianida merupakan masalah yang sangat kronis bagi perikanan tangkap di Indonesia. Walaupun sudah dilarang dan dinyatakan sebagai alat tangkap ilegal yang melanggar hukum, praktek penangkapan dengan menggunakan alat tangkap jenis ini masih banyak dilakukan nelayan. 53 Ancaman pada sumber daya hayati laut

10 Tabel 3.2 Tabulasi penilaian prakiraan dampak (kerusakan) dari 10 jenis alat tangkap yang umum di Jawa Timur terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang MEKANISME BESARAN DAMPAK IMPACT No. ALAT TANGKAP KERUSAKAN ALAT SCOPE SEVERITY IRREVERSIBILITY RATING 1 Bubu dan Perangkap Kerusakan Kolateral , , , ,33 Perkiraan DA alat bubu & perangkap terhadap terumbu karang 1,58 2 Rawai dasar Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Rawai dasar terhadap terumbu karang Gillnet dasar Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Gillnet dasar terhadap terumbu karang Pukat pantai Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat pukat pantai terhadap terumbu karang Bom & comp. sianida Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat bom & sianida terhadap terumbu karang Pancing (hook & line) Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Pancing (hook & line) terhadap terumbu karang Gillnet pertengahan Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Gillnet pertengahan terhadap terumbu karang Ancaman pada sumber daya hayati laut

11 MEKANISME BESARAN DAMPAK IMPACT No. ALAT TANGKAP KERUSAKAN ALAT SCOPE SEVERITY IRREVERSIBILITY RATING 8 Dogol Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Dogol terhadap terumbu karang = Rawai permukaan Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Rawai Permukaan terhadap terumbu karang = Pukat cincin Kerusakan Kolateral Perkiraan DA alat Pukat Cincin terhadap terumbu karang = 2.92 Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh alat tangkap terhadap ekosistem terumbu karang secara berurutan ialah sebagai berikut: No. ALAT TANGKAP NILAI DAMPAK AKUMULATIF (DA) BESARAN DAMPAK 1 Bom & kompresor sianida 4,00 Sangat Tinggi 2 Pukat pantai 3,33 Sangat Tinggi 3 Dogol 2,92 Tinggi 4 Pukat cincin 2,92 Tinggi 5 Gillnet dasar 1,83 Sedang 6 Bubu dan perangkap 1,58 Rendah 7 Rawai dasar 1,58 Rendah 8 Pancing (hook& line) 1,17 Rendah 9 Gillnet pertengahan 1,17 Rendah 10 Rawai permukaan 1,08 Rendah Semua responden menyatakan bahwa metode perkiraan dampak (kerusakan) ini merupakan pendekatan baru bagi mereka untuk menilai dampak kegiatan perikanan tangkap terhadap lingkungan. Hal ini sesuai dengan perubahan paradigma pengelolaan perikanan, dari berbasis spesies menuju pada basis ekosistem. Undang Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan juga menyatakan pergeseran kebijakan pengelolaan perikanan ke arah basis ekosistem melalui Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Semua responden menyatakan bahwa semua variabel sudah didefinisikan dengan jelas, termasuk: kerusakan kolateral, hasil sampling, perubahan rakitan spesies, alat non-selektif, scope, severity dan irreversibility. Namun responden masih mengalami kesulitan untuk menentukan nilai terhadap masing-masing alat tangkap (expert judgment). Hal ini disebabkan karena pengetahuan responden tentang alat tangkap dan kerusakan yang ditimbulkan akibat operasi alat masih beragam. 55 Ancaman pada sumber daya hayati laut

12 Untuk mengurangi bias, mereka menyarankan untuk menambah jumlah responden (sample), walaupun hal ini akan berdampak pada kesulitan dalam penyamaan persepsi, setelah pengisian form isian (Tabel 3.1). Sumber Bacaan Utama: Adhuri, D. S., Who can Challenge Them? Lessons Learned from Attempting to Curb Cyanide Fishing in Maluku, Indonesia. Live Reef Fish Information Bulletin 4: Burke, L., E. Selig, & M. Spalding, Reefs at Risk in Southeast Asia. Washington D.C., USA, World Resource Institute. IPCC, Climate Change 2007 The Physical Science Basis. New York, USA, Cambridge University Press. Kura, Y., C. Revenga, E. Hoshino, & G. Mock, Fishing for Answers: Making Sense of the Global Fish Crisis. Washongton, DC, World Resource Institute. Lowe, C., Who is to blame? Logics of responsibility in the live reef food fish trade in Sulawesi, Indonesia. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 10: Mous, P. J., L. Pet-Soede, M. Erdmann, H.S.J. Cesar, Y. Sadovy & J.S. Pet, "Cyanide fishing on Indonesian coral reefs for the live food fish market - what is the problem." SPC Live Reef Fish Information Bulletin 7: UNEP-WCMC, In the front line: shoreline protection and other ecosystem services from mangroves and coral reefs. Cambridge, UK, UNEP-WCMC: 33. Wilson, S. K., R. Fisher, M.S. Pratchett, N.A.J. Graham, N.K. Dulfy, R.A. Turner, A. Caka Caka, N.V.C. Polunin, & S.P. Rusthon, Exploitation and habitat degradation as agents of change within coral reef fish communities. Global Change Biology 14: Ringkasan: 1. Perubahan iklim global melalui global warming berdampak negatif pada struktur populasi penyu. Bagaimana proses yang menjelaskan hal ini? 2. Peneliti meramalkan bahwa terumbu karang ialah ekosistem di laut yang paling pertama akan terkenan dampak dari global warming, melalui bleaching. Jelaskan mekanisme terjadinya proses bleaching masal yang terkait dengan kemampuan terumbu karang untuk pulih (resilience) dari ancaman 3. Apa karakteristik yang membedakan antara ancaman global dan ancaman lokal pada sumber daya hayati laut? 4. Sumber daya hayati laut mengalami berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh manusia (ancaman lokal). Jika anda ialah seorang pengelola perikanan atau praktisi konservasi, jenis ancaman mana yang menjadi prioritas utama untuk diatasi pertama kali? Apa alasan anda untuk memilih ancaman prioritas tersebut? 56 Ancaman pada sumber daya hayati laut

13 5. Jelaskan proses terjadinya seagrass burning dan pengaruhnya pada populasi ikan beronang, Siganus spp. 6. Susunlah prioritas kerusakan yang ditimbulkan oleh beberapa aktifitas berikut pada habitat di pesisir pantai: pembangunan pemukiman di wilayah pesisir, pelabuhan pelayaran dan perikanan, pembukaan lahan hutan untuk pertanian dan pemukiman, penangkapan destruktif dan penangkapan berlebih. 7. Sebutkan salah satu contoh penangkapan berlebih yang menimbulkan dampak ecological overfishing; 8. Buat deskripsi tentang proses terjadinya recruitment over-fishing; 9. Alat tangkap om ikan dan pukat pantai ialah dua jenis alat tangkap yang menimbulkan dampak kerusakan besar pada terumbu karang. Jelaskan bagaimana proses ini bisa terjadi 10. Jelaskan yang dimaksud dengan double-blow effect pada alat tangkap destruktif 57 Ancaman pada sumber daya hayati laut

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap Gambar 4.11 Alat tangkap Pukat Harimau atau Trawl (kiri atas); alat Mini-Trawl yang masih beroperasi di Kalimantan Timur (kanan atas); hasil tangkap Mini-Trawl (kiri bawah) dan posisi kapal ketika menarik

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Menurut Riduwan (2004) penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

(Varanus kornodoens~ s) dan habitatnya Namun kemudian kawasan ini di ketahui

(Varanus kornodoens~ s) dan habitatnya Namun kemudian kawasan ini di ketahui 1.1. Latar belakang Taman Nasional Komodo (TNK) dibentuk pada tahun 1980 dan dinyatakan sebagai sebuah World Heritage Site dan Man nncl Rrosphe~e oleh UNESCO pada tahun 1986 (Pet dan Yeager, 2000a). TNK

Lebih terperinci

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia 5 Juni 2010 PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun hewan. Sampai dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

III ANCAMAN PADA SUMBER DAYA HAYATI LAUT

III ANCAMAN PADA SUMBER DAYA HAYATI LAUT III ANCAMAN PADA SUMBER DAYA HAYATI LAUT Tujuan pembelajaran: Memahami berbagai jenis sumber ancaman pada habitat dan keanekaragaman sumber daya hayati laut, terutama di wilayah Coral Triangle perubahan

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

Industri dan Rantai Perdagangan

Industri dan Rantai Perdagangan Sesi Ketiga Industri dan Rantai Perdagangan Handout PENTINGNYA TERUMBU KARANG BAGI KEHIDUPAN MANUSIA a. SUMBER KEANEKARAGAMAN HAYATI Terumbu karang Indonesia merupakan bagian dari ekosistem terkaya di

Lebih terperinci

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Kesejahteraan masyarakat pesisir secara langsung terkait dengan kondisi habitat alami seperti pantai, terumbu karang, muara, hutan mangrove

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya 5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal tropis yang paling kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

PERMASALAHAN GLOBAL perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut Dunia air laut : 13 cm per 10 tahun; suhu : 0,019 oc per tahun. Indonesia air laut

PERMASALAHAN GLOBAL perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut Dunia air laut : 13 cm per 10 tahun; suhu : 0,019 oc per tahun. Indonesia air laut Aditianata PERMASALAHAN GLOBAL perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut Dunia air laut : 13 cm per 10 tahun; suhu : 0,019 oc per tahun. Indonesia air laut : 1-3 cm per tahun; suhu : 0,03 oc per tahun.

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR

MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR University of Hawaii at Manoa Institut Teknologi Bandung DAERAH PESISIR Perubahan Iklim dan Sistem Pesisir Menunjukkan Faktor Utama Perubahan Iklim

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB III ANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANG YANG BERADA DI KAWASAN CORAL TRIANGLE

BAB III ANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANG YANG BERADA DI KAWASAN CORAL TRIANGLE BAB III ANCAMAN TERHADAP TERUMBU KARANG YANG BERADA DI KAWASAN CORAL TRIANGLE Pada bab ini akan dibahas tentang jenis-jenis ancaman yang muncul terhadap terumbu karang yang berada di wilayah segitiga karang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Coral Triangle Wilayah Sasaran = Pulau Wangiwangi,

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMAKASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMAKASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMAKASIH... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Indentifikasi Masalah...

Lebih terperinci

MENUMBUHKAN SEMANGAT KONSERVASI BAGI GENERASI MUDA

MENUMBUHKAN SEMANGAT KONSERVASI BAGI GENERASI MUDA MENUMBUHKAN SEMANGAT KONSERVASI BAGI GENERASI MUDA Mensyukuri Karunia Kekayaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Mengoptimalkan Pengelolaannya untuk Pembangunan Bangsa dan Kesejahteraan Masyarakat yang

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km 2 dan 75 persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI Muhammad Yunan Fahmi 1, Andik Dwi Muttaqin 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya

Lebih terperinci

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia Wawan Ridwan Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9 10 Mei 2017 (c) Nara

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BERONANG (Siganus vermiculatus) DI PERAIRAN ARAKAN KECAMATAN TATAPAAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN 1 Suleiman Tuegeh 2, Ferdinand F Tilaar 3, Gaspar D Manu 3 ABSTRACT One of the

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

USAHA PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF

USAHA PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF USAHA PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA SEBAGAI MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF OLEH: Nama : FEMBRI SATRIA P NIM : 11.02.740 KELAS : D3-MI-01 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMASI DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

Densitas zooxanthellae pada Karang Porites lutea sebelum dan sesudah terpapar sianida

Densitas zooxanthellae pada Karang Porites lutea sebelum dan sesudah terpapar sianida Densitas zooxanthellae pada Karang Porites lutea sebelum dan sesudah terpapar sianida Wahyu Andy Nugraha.Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Fak. Pertanian Unijoyo ABSTRACTS This research was focused on zooxanthellae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Kotamadya Medan merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan penghasil ikan yang produktif di daerah ini ialah Kecamatan Medan Belawan. Kecamatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut

Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Christian Novia N. Handayani, Estradivari, Dirga Daniel, Oki Hadian, Khairil Fahmi Faisal, Dicky Sucipto, Puteri

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN OLEH : Arif Satria Fakultas Ekologi Manusia IPB Disampaikan padalokakarya MENGARUSUTAMAKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DALAM AGENDA PEMBANGUNAN, 23 OKTOBER

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

A Correlation between Knowledge about Coral Reef Ecosystem and Marine Tourist Attitude toward Conservation at Pramuka Island, Kepulauan Seribu

A Correlation between Knowledge about Coral Reef Ecosystem and Marine Tourist Attitude toward Conservation at Pramuka Island, Kepulauan Seribu BIOSFER 8 (1), 2015 / ISSN : 0853 2451 Hubungan Pengetahuan tentang Ekosistem Terumbu Karang dengan Sikap Wisatawan Bahari terhadap Konservasi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu A Correlation between Knowledge

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG KOMITE NASIONAL PRAKARSA SEGITIGA KARANG UNTUK TERUMBU KARANG, PERIKANAN, DAN KETAHANAN PANGAN (CORAL TRIANGLE INITIATIVE ON CORAL REEFS,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar belakang

I. PENDAHULUAN Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pengalaman paradigma pembangunan bangsa Indonesia selama kurun waktu pembangunan jangka panjang I yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek penting

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG KOMITE NASIONAL PRAKARSA SEGITIGA KARANG UNTUK TERUMBU KARANG, PERIKANAN, DAN KETAHANAN PANGAN (CORAL TRIANGLE INITIATIVE ON CORAL REEFS,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

Peningkatan kapasitas Pertumbuhan ekonomi Kelestarian lingkungan Perubahan iklim

Peningkatan kapasitas Pertumbuhan ekonomi Kelestarian lingkungan Perubahan iklim PDS terjemahan ini didasarkan pada versi Inggrisnya yang bertanggal 10 April 2014. Lembar Data Proyek Lembar Data Proyek (Project Data Sheets/PDS) berisi informasi ringkas mengenai proyek atau program:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci