BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA"

Transkripsi

1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran. Zonasi kerawanan longsoran adalah sebuah sistem untuk mengidentifikasi besar kerawanan suatu daerah untuk longsor, dengan membagi/mengklasifikasi area - area tersebut berdasarkan faktor -faktor penyebab longsor. Metode yang dipilih untuk melakukan zonasi adalah Metode Anbalagan (1992) untuk pengkelasan faktor penyebab longsoran dan klasifikasi zona tingkat kerawanan longsor dan Metode Sistem Informasi Geografi sebagai metode pengolahan data Metode Anbalagan (1992) Metode Anbalagan (1992) adalah metode untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran dengan cara pembobotan (weighting) dan pengkelasan (rating). Faktor - faktor yang digunakan sebagai acuan pengkelasan kerawanan daerah tersebut untuk longsor adalah kemiringan lereng, litologi, kebasahan lahan, relief relatif, dan tutupan lahan. Metode ini cukup sistematis dan sederhana sehingga dapat digunakan dan dimengerti dengan efektif, dan efisien. Pendekatan yang dikembangkan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran pada Metode Anbalagan adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi bahaya longsoran atau landslide hazard evaluation factor (LHEF) Skema Pengkelasan Faktor Evaluasi Bahaya Longsoran (LHEF) LHEF adalah sistem pengkelasan numerikal pada faktor - faktor penyebab longsoran yang utama. Faktor - faktor tersebut meliputi geologi, kemiringan lereng, relief relatif, tutupan lahan, dan kondisi airtanah (Tabel 3.1). Nilai maksimum untuk masing - masing faktor berbeda, tergantung kepada seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi suatu lereng untuk longsor. Nilai maksimum untuk jumlah seluruh nilai faktor - faktor tersebut adalah 10. Nilai 10 menunjukkan kondisi yang memiliki kemungkinan paling besar untuk terjadinya longsor. 14

2 Berikut ini adalah uraian secara rinci faktor - faktor yang digunakan pada skema pengkelasan LHEF. a. Litologi Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap kemungkinan suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit, batugamping, dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan tahan terhadap erosi sehingga kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan sedimen campuran lunak dan sangat mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk longsor. b. Kemiringan Lereng Sudut kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk antara bidang permukaan tanah dengan bidang normal. Besar kecilnya kemiringan lereng di suatu area dipengaruhi oleh sejarah proses geomorfologi. Setiap unit kemiringan lereng menunjukkan proses dan kontrol yang terjadi di daerah tersebut. Peta kemiringan lereng dibuat dari peta topografi yang dibagi berdasarkan banyaknya garis kontur yang melewati satu lereng. Kemiringan lereng pada metode ini dikelaskan menjadi lima kelas yaitu sangat terjal (> 45 o ), terjal (35 o 45 o ), sedang (25 o 35 o ), landai (16 o 25 o ) dan sangat landai ( 15 o ). c. Tutupan Lahan Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng. lahan gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami banyak tumbuhan akan lebih resisten terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih stabil. Akar yang tertanam kuat dapat membuat permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian secara umum dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng yang rendah walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang sedikit terjal. Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang seperti irigasi yang diperkirakan stabil. 15

3 d. Kebasahan Lahan Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur diskontinuitas, sehingga airtanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran yang seragam. Analisis perilaku airtanah pada daerah yang sangat luas dan pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu untuk melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang lebih kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis kondisi keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi air tanahnya. Kondisi keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi lima yaitu kering, lembab, basah, merembes dan mengalir. e. Relief Relatif Relief Relatif adalah besaran yang menunjukkan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu individu faset. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), medium ( m) dan tinggi (> 300 m). Berikut ini adalah tabel skema pengkelasan LHEF pada Metode Anbalagan (1992). Tabel 3.1 Tabel skema pengkelasan faktor kerawanan terhadap longsoran (LHEF) pada Metode Anbalagan (1992). Deskripsi Faktor Kategori Nilai Kuarsit dan batugamping 0.2 Granit dan gabro 0.3 Gneiss 0.4 Litologi Batuan Sedimen dominan batupasir tersemen dengan baik Batuab Sedimen dominan batupasir tidak tersemen dengan baik

4 Sabak dan filit 1.2 Sekis 1.3 Serpih berselingan dengan batulempung 1.8 Serpih, filit dan sekis yang sudah lapuk 2.0 < 15 o o o Kemiringan Lereng 26 o o o o o > m 0.3 Relief Relatif m 0.6 >300 m 1.0 Tanah pertanian dan pemukiman datar 0.65 Area tertutup hutan lebat 0.8 Tutupan Lahan Area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat 1.2 Area jarang tertutup tumbuhan 1.5 Lahan gundul 2.0 Kering 0.0 Lembab 0.2 Kebasahan Lahan Basah 0.5 Merembes 0.8 Mengalir

5 Perhitungan Jumlah Estimasi Bahaya Longsoran (TEHD) dan Penentuan Zonasi Kerawanan Longsoran Jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) merupakan indeks kemungkinan suatu faset untuk longsor. Nilai TEHD masing masing faset diperoleh dari kelima faktor yang mengontrol bahaya longsoran yang telah dikelaskan menurut tabel pengkelasan LHEF. Nilai jumlah kerawanan bahaya longsoran (TEHD) adalah jumlah nilai kerawanan dari litologi, kemiringan lereng, relief relatif, tutupan lahan dan kondisi airtanah. Setelah nilai jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) diperoleh, dapat diidentifikasi tingkat kerawanan untuk mengalami longsor. Tingkat kerawanan tersebut dibedakan menjadi lima kelas (Tabel 3.2), yaitu kerawanan sangat rendah, kerawanan rendah, kerawanan sedang, kerawanan tinggi dan kerawanan sangat tinggi. Tabel 3.2 Tabel skema pengkelasan nilai jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) pada Metode Anbalagan (1992) Nilai TEHD Pembagian Zona <3.5 Kerawanan Sangat Rendah Kerawanan Rendah Kerawanan Sedang Kerawanan Tinggi >7.5 Kerawanan Sangat Tinggi Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System / GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga 18

6 memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini. Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi bencana alam (Gambar 3.1), atau SIG dapat digunakan untuk mencari lahan basah (wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi. Gambar 3.1 Peta Gempabumi sebagai contoh hasil pengolahan dengan SIG (ESRI, 2008) 19

7 Sejarah pengembangan tahun yang lalu, di dinding Gua Lascaux, Perancis, para pemburu Cro-Magnon menggambar hewan mangsa mereka, juga garis yang dipercaya sebagai rute migrasi hewanhewan tersebut. Catatan awal ini sejalan dengan dua elemen struktur pada sistem informasi gegrafis modern sekarang ini, arsip grafis yang terhubung ke database atribut. Pada tahun 1700-an teknik survey modern untuk pemetaan topografis diterapkan, termasuk juga versi awal pemetaan tematis, misalnya untuk keilmuan atau data sensus. Awal abad ke-20 memperlihatkan pengembangan "litografi foto" dimana peta dipisahkan menjadi beberapa lapisan (layer). Perkembangan perangkat keras komputer yang dipacu oleh penelitian senjata nuklir membawa aplikasi pemetaan menjadi multifungsi pada awal tahun 1960-an. Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG yang bisa diterapkan di Ottawa, Ontario oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS - SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (CLI Canadian Land Inventory) - sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1: Faktor pemeringkatan klasifikasi juga diterapkan untuk keperluan analisis GIS dengan CGIS CGIS merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan, pendijitalan/pemindaian (digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang membentang di atas Benua Amerika, memasukkan garis sebagai arc yang memiliki topologi dan menyimpan atribut dan informasi lokasional pada berkas terpisah. Pengembangya, seorang geografer bernama Roger Tomlinson kemudian disebut "Bapak SIG". 20

8 Gambar 3.2 GIS dengan gvsig ( CGIS bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk penyempurnaan setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing denga aplikasi pemetaan komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph. Perkembangan perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti ESRI, CARIS, MapInfo, gvsig dan berhasil membuat banyak fitur SIG (Gambar 3.2), menggabung pendekatan generasi pertama pada pemisahan informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi kedua pada organisasi data atribut menjadi struktur database. Perkembangan industri pada tahun 1980-an dan 1990-an memacu lagi pertumbuhan SIG pada workstation UNIX dan komputer pribadi. Pada akhir abad ke-20, pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan distandarisasikan menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai mengekspor menampilkan data SIG lewat internet, yang membutuhkan standar pada format data dan transfer. Indonesia sudah mengadopsi sistem ini sejak Pelita ke-2 ketika LIPI mengundang UNESCO dalam menyusun "Kebijakan dan Program Pembangunan Lima Tahun Tahap Kedua ( )" dalam pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi dan riset. 21

9 Sistem Informasi Geografi Modern Teknologi SIG modern bekerja dengan basis komputer, sehingga data - data spasial dalam bentuk fisik seperti lembaran kertas peta harus terlebih dahulu didigitasi menjadi data komputer (elektronik). Perkembangan Sistem Informasi Geografi sampai saat ini telah menghasilkan sebuah sistem terpadu yang dapat mengintegrasikan data - data dari berbagai sumber yang memiliki jenis yang berbeda - beda. Hal ini dapat dijelaskan dalam bentuk universal data spasial yang selalu memiliki atribut lokasi data yang diwakili oleh tiga variabel yaitu x, y, dan z yang menyatakan longitude, latitude, dan ketinggian. Sistem Informasi Geografi merepresentasikan keadaan model bumi yang sebenarnya yang disimpan dalam bentuk digital. Ada dua jenis yang digunakan untuk menyimpan data SIG tersebut yatu raster dan vektor. Tipe data raster disimpan dalam bentuk tabulasi data yang terdiri dari baris dan kolom, dimana satu buah data diwakilkan oleh satu baris. Data pada tipe raster menutup seluruh cakupan area data, sehingga jika diperluas atribut penyimpanan datanya, raster dapat digunakan sebagai tipe penyimpanan band - band citra yang berisi nilai warna RGB (Red, Green, Blue). Sedangkan pada tipe data vektor, data yang disimpan berupa informasi geometri seperti titik, garis, dan poligon untuk menyatakan bentuk data spasial. Karena bentuk datanya poligon maka harus dipastikan bahwa data yang digunakan tidak tumpang tindih satu sama lain (overlap). Banyak metode yang digunakan dalam merepresentasikan data - data spasial, seperti Triangulated Irregular Network (TIN), raster dan garis kontur. Raster dan vektor memiliki kelebihan dan kekurangannya masing - masing. Data raster memiliki keunggulan dalam hal overlay, karena bentuk data pada kedua peta yang akan ditumpangtindihkan telah sama yaitu pixel. Sedangkan pada data vektor, proses overlay cukup rumit karena harus dilakukan penyesuaian jenis atau bentuk data. Tetapi data vektor dengan bentuknya yang geometrikal membutuhkan kapasitas penyimpanan data yang lebih kecil dibandingkan data raster. Selain itu data vektor mempunyai keunggulan dalam tampilan. 22

10 Tampilan vektor lebih baik dibandingkan raster terutama daerah - daerah batas objek karena berbentuk garis, sedangkan data raster akan terlihat kotak - kotak karena bentuk datanya pixel Proyeksi dan Sistem Koordinat Banyaknya lembaga dan peneliti yang membuat peta - peta membuat ketidaksesuaian acuan alamat dan skala, sehingga data yang dibuat oleh peneliti atau lembaga yang berbeda tidak dapat digunakan bersama - sama. Untuk mengatasi hal tersebut, sebelum dianalisis, data - data tersebut harus disesuaikan satu sama lain pada sistem pengkoordinatan yang dapat dikenali oleh SIG. Penyesuaian tersebut mencakup beberapa hal, antara lain sistem koordinat dan proyeksi. Bumi dapat direpresentasikan ke dalam beberapa model yang ditunjang oleh beberapa sistem koordinat. Model yang paling sederhana adalah bola. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pemodelan bumi jadi lebih mendekati bentuk aslinya. Secara faktual, untuk meningkatkan akurasi pemodelan tersebut, digunakan model yang berbeda - beda untuk masing - masing wilayah (contoh : North American Datum, NAD83 - bekerja dengan baik di Amerika tetapi tidak di Eropa). Proyeksi adalah hal yang sangat penting dalam pembuatan peta. Proyeksi adalah sebuah kalkulasi matematika yang mempresentasikan bentuk permukaan bumi secara tiga dimensional menjadi bentuk datar dua dimensional. Seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan SIG dalam mengolah data spasial serta perkembangan kedetilan data, maka dibutuhkan perangkat keras komputer yang mumpuni untuk melakukan proses - proses SIG Pengolahan Data Data yang digunakan dan diolah dalam penelitian ini adalah data data spasial.data spasial tersebut berupa peta peta tematik dan citra satelit. Peta peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta kemiringan lereng, peta relief relatif, dan peta litologi. Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan. Peta peta tematik ini tidak didapatkan murni sebagai data 23

11 sekunder, tetapi sebagai data mentah yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta peta tematik data yang dibutuhkan dalam zonasi kerawanan longsoran dengan Metode Anbalagan (1992). Data data mentah ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan. Data yang didapatkan dari Pusat Survei Geologi adalah data geologi yang didapatkan dari Peta Geologi berskala 1 : Peta peta tematik tersebut disamakan terlebih dahulu menjadi skala 1 : 50000, dan juga dilakukan penyamaan sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat Universal Tranverse Mercator (UTM), Zona 48S, dan WGS 84. Data diolah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), sehingga data yang akan diolah sebelumnya harus dikalibrasi, disamakan, dan disesuaikan ke dalam format digital yang sama, yaitu ke dalam format ESRI Shape (.shp) pada perangkat lunak ArcMap. Pengolahan data yang dilakukan adalah pengolahan data menjadi faktor faktor yang mengontrol terjadinya longsoran dengan menggunakan klasifikasi pengkelasan LHEF (Landslide Hazard Evaluation Factor). Data data yang digunakan diekstrak nilai bobot penyebab longsornya. Sehingga memiliki satu nilai dari kelima faktornya (Gambar 3.3). Faktor faktor tersebut adalah : 1. Litologi, yang diolah dari peta geologi 2. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi 3. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit 4. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit 5. Relatif relatif, yang diolah dari peta topografi 24

12 Data Topografi BAKOSURTANAL Citra Satelit LANDSAT 7 ETM+ Peta Geologi Badan Survey Geologi SKEMA PENGKELASAN METODE ANBALAGAN (1992) LANDSLIDE HAZARD EVALUATION FACTOR Peta Kemiringan Lereng Peta Relief Relatif Peta Tutupan Lahan Peta Kebasahan Lahan Peta Litologi PERHITUNGAN NILAI FAKTOR PEMBOBOTAN (TEHD) PETA KERAWANAN LONGSORAN Gambar 3.3 Diagram alir pengolahan data Litologi Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerawanan longsoran. Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu. Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan massif seperti batuan beku akan memilki faktor kerawanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak, tidak solid dan mudah terkikis seperti batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor kerentanan yang tinggi. Data yang digunakan unuk peta faktor litologi adalah hasil gabungan peta geologi berskala 1: yang diterbitkan oleh Pusat Survey Geologi seperti yang terlihat pada gambar. Informasi yang didapatkan dari data ini berupa satuan litostratigrafi atau formasi. Oleh sebab itu penulis melakukan asumsi bahwa litologi yang ada dan diperhitungkan pada faktor litologi ini adalah yang paling dominan pada masing masing satuan litostratigrafi. Sebagai contoh, aluvium akan diperhitungkan sebagai batulempung pada sistem pengkelasannya, 25

13 meskipun kenyataannya terdapat beberapa litologi lain yang tidak dominan pada aluvium ini (Gambar 3.4). Dalam pengolahan data pada faktor litologi ini, digunakan data geologi daerah penelitian dalam bentuk digital, yang didalamnya terdiri dari batas area, koordinat dan informasi geologi pada daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan pengkelasan yang sesuai dengan tabel pengkelasan LHEF Metode Anbalagan (1992). Gambar 3.4 Peta faktor litologi bagian barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk (Alzwar, dkk., 1992), dan Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono, M.,dkk., 1996) ) Pada tabel pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti batulempung, batulanau, dan serpih diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan daerah tersebut memiliki kerawanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut pandang litologi. 26

14 Sebaliknya, batuan batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki nilai pengkelasan yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang litologinya memiliki kerawanan yang rendah terhadap longsoran Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng pada Metode Anbalagan (1992) didefinisikan dengan derajat lereng. Derajat lereng adalah rasio dengan sudut antara tinggi lereng (vertikal) dan panjang lereng (horizontal). Data yang digunakan dalam pembuatan peta kemiringan lereng ini adalah peta topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal tahun Perangkat lunak yang digunakan untuk menghasilkan peta kemiringan lereng adalah ArcMap. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Topo to Raster dan Slope. Topo to Raster adalah metode interpolasi secara presisi (tidak secara linear) dari data poin, garis atau poligon menjadi sebuah data raster. Dari data raster hasil interpolasi ini kemudian diubah menjadi peta dengan sudut kemiringan lereng dengan metode Slope. Slope ini mengidentifikasi setiap perubahan maksimum dari nilai ketinggian dari tiap sel yang terdapat pada peta digital topografi yang sudah memiliki nilai ketinggiannya masing masing. Hasil akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng daerah Cililin dengan skala 1 : Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai nilai kemiringan sesuai dengan skema pengkelasan LHEF pada Metode Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas kemiringan lereng yaitu di bawah 15 o, 16 o sampai 25 o, 26 o sampai 35 o, 36 sampai 45 o, dan lebih besar dari 45 o (Gambar 3.5). Terlihat bahwa pada daerah sebelah Timur dan Barat seperti Cikadu, Jatisari, Soreang, Kopo dan Padasuka memiliki kemiringan lereng 15 o, sama halnya seperti daerah Muara Payung. Untuk kemiringan yang lebih tajam lebih didominasi di daerah Utara dan Selatanseperti Karang Tanjung, Karyamukti, Burinagara dan sebagainya berkisar antara 16 sampai lebih besar dari 45 menerus hampir dari Utara ke Selatan. Untuk daerah pertengahan pada peta lebih bervariasi dari 15 sampai

15 Gambar 3.5 Peta faktor kemiringan lereng bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Tutupan Lahan Peta tutupan lahan ini menggunakan pengkelasan seberapa besar kerapatan tutupan tumbuhan pada suatu area. Data yang digunakan pada pengolahan faktor tutupan lahan ini adalah berupa data raster yaitu Citra Satelit Landsat ETM+ band 3 dan 4 (2002) sebagai data olahan. Perangkat lunak yang digunakan pada pengolahan citra satelit untuk memperoleh adalah ArcMap. Dengan perangkat lunak ini, citra yang sebelumnya beratribut delapan band panjang gelombang, diambil 2 band saja yaitu band 3 dan 4 kemudian diolah dengan 28

16 menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), sehingga citra satelit hanya memiliki satu atribut saja yaitu nilai NDVI. Setelah itu dilakukan klasifikasi citra. NDVI sendiri memiliki rumus : NDVI = NIR RED / NIR + RED dimana : NIR = nilai band infra merah (Band 4) RED = Nilai band merah (Band 3) (NDVI, Chesapeake Bay dan Mid-Atlantic from space,2008) Setelah dilakukan proses klasifikasi, diperoleh peta tutupan lahan (Gambar 3.6). Peta tutupan lahan hasil dari pengolahan citra tersebutlah yang selanjutnya dikelaskan menurut tabel pengkelasan LHEF dari Metode Anbalagan (1992). Gambar 3.6. Peta faktor tutupan lahan bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 29

17 Terdapat 5 kelas pada klasifikasi ini, yaitu tanah pertanian pemukiman datar, area tertutup hutan lebat, area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat, area jarang tertutup tumbuhan, dan lahan gundul Kebasahan Lahan Kebasahan lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan lahan. Untuk mendapatkan kebasahan, pendekatan dilakukan menggunakan citra satelit. Pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan Metode Tasseled Cap. Citra satelit yang sebelumnya memiliki delapan band panjang gelombang sebagai atributnya, diambil 6 band yaitu band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang kemudian diolah menggunakan Metode Tasseled Cap. Hasil akhir dari metode ini adalah wetness atau kebasahan yang kemudian diolah menjadi peta kebasahan lahan. Rumus Tasseled Cap untuk wetness atau kebasahan : (( x band 1) + ( x band 2) + ( x band 3) + ( x band 4) + ( x band 5) + ( x band 7)). (Watkins, 2008) Penulis menggunakan perangkat lunak ArcMap dalam mengolah citra satelit ini. Metode Tasseled Cap ini pada dasarnya adalah sebuah faktor pengali terhadap band band di atas, yang kemudian dijumlahkan seluruhnya (Band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) sehingga mendapatkan nilai wetness atau kebasahan. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap ini, atribut wetness dikelaskan menjadi 5 tingkat kebasahan lahan menurut metode Anbalagan (1992), yaitu kering, lembab, basah, merembes, dan mengalir. Setelah didapatkan atribut tingkat kebasahan hasil klasifikasi citra, dilakukan pengkelasan menurut tabel LHEF sesuai dengan tingkat kebasahan lahannya. Terlihat pada peta bahwa pada umumnya kondisi hampir di seluruh desa terlihat kering dan sebagian basah dan lembab di daerah tengah yaitu Desa Kidangpananjung, Desa Gajahmekar, Desa Sukamulya, Desa Batulayang, Desa Nanggerang dan Desa Buni Nagara Sebelah barat yang diwakili oleh desa Rancapanggung termasuk daerah yang didominasi merembes dan sebagian 30

18 kering, dan basah. Sedangkan Desa Cikadu termasuk sebagian basah dan sebagian merembes. Sebelah timur yaitu Desa Jatisari dan desa Soreang termasuk daerah sebagian merembes, sebagian basah dan sebagian lembab. Begitupun Desa Kopo dan Desa Padasuka. Terlihat bahwa daerah Cililin pada umumnya merupakan lahan gundul dan sebagian merupakan area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat (Gambar 3.7). Hal ini dapat dilihat di Desa Rancapanggung, Desa Bongas, Desa Batulayang, Desa Nanggerang, Desa Karyamukti, Desa Buninagara, Desa Sukamulya, Desa Kidangpananjung, Desa Karangtanjung, Desa Singajaya, Desa Tanjungwangi,Desa Situwangi dan Desa Gajah Mekar. Gambar 3.7 Peta faktor kebasahan lahan bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Sebelah timur dan barat peta menunjukkan dominasi area tertutup hutan lebat dan tanah pertanian dan sebagian gundul yaitu terlihat di Desa Jejegong, Desa Soreang, Desa Kopo, 31

19 Desa Cikadu, Desa Rancapanggung, dan Desa Padasuka. Untuk area jarang tertutup tumbuhan, tersebar hampir di seluruh area, hanya saja dalam jumlah yang kecil saja Relief Relatif Relief Relatif adalah besaran yang menunjukkan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu faset. Data yang digunakan untuk relief relatif ini adalah peta digital bakosurtanal tahun Dari data garis topografi tersebut diambil nilai titik tingginya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap. Metoda yang digunakan dari ArcMap tersebut adalah Feature To Point, yaitu mengubah jenis data vektor menjadi data poin. Dalam hal ini data vektor tersebut berupa garis atau polyline yang merepresentasikan topografi atau kontur. Data poin ini diekstrak sesuai dengan bentuk dan posisi kontur. Sehingga, setelah diekstrak menggunakan metoda Feature To Point, peneliti mendapatkan nilai titik tingginya (Gambar 3.8). Gambar 3. 8 Peta faktor relief relatif bagian barat Kecamatan CIilin,Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 32

20 Setelah mendapatkan nilai titik tingginya peneliti mengubah data vektor yaitu kontur menjadi data raster dengan menggunakan metode Topo To Raster dan Minus dimana nilai titik tertinggi diselisihkan dengan nilai titik terendah. Nilai selisih tersebut yang nantinya digunakan sebagai faktor relief relatif sesuai dengan tabel pengkelasan LHEF dari Metode Anbalagan (1992). Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), medium ( m) dan tinggi (> 300 m). Dapat dilihat pada peta bahwa nilai relief relatif dengan nilai rendah atau <100 m dan sebagian nilai medium mendominasi daerah timur dan barat, diantaranya Desa Rancapanggung, Desa Cikadu, Desa Jejegong, Desa Soreang, Desa Jatisari, Desa Kopo, Desa Rancapanggung. Untuk nilai medium ( m) dan sebagian nilai tinggi (>300 m) direpresentasikan oleh Desa Nanggerang, Desa Buninagara dan Singajaya. Sedangkan untuk nilai tinggi (>300 m) dan sebagian nilai medium direpresentasikan oleh Desa Kidang Pananjung, Desa Batulayang, Desa Karangtanjung, Desa Karyamukti dan Desa Mukapayung Peta Jumlah Estimasi Bahaya Longsoran (TEHD) Peta Jumlah estimasi bahaya longsoran (THED), merupakan hasil penjumlahan dari peta peta faktor (Lampiran 1). Kelima faktor sebelumnya diintegrasikan ke dalam satu peta dengan menggunakan metode overlay. Sehingga dalam peta tersebut terdapat lima atribut yang berisi data tingkat kerentanan terhadap longsoran ditinjau dari kelima faktor menurut LHEF pada Metode Anbalagan (1992) Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas Geoprocessing pada perangkat lunak ArcMap. Dengan fasilitas ini, dapat dibuat satu peta gabungan yang merupakan hasil kompilasi dari kelima peta faktor dan memiliki seluruh atribut yang dimiliki oleh kelima peta faktor tersebut. Kemudian, kelima nilai kerawanan masing masing faktor tersebut dijumlahkan menjadi nilai THED. Peta TEHD tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam zonasi kerawanan longsoran menjadi lima kelas kerawanan longsoran yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan 33

21 sangat tinggi. Hasil akhir dari pengolahan data ini adalah sebuah peta kerawanan longsoran berdasarkan Metode Anbalagan seperti yang terlihat pada (Gambar 3.9). Gambar 3. 9 Peta kerawanan longsoran bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 34

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN

BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN 4.1 Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu tempat tertentu untuk mengalami kejadian longsoran, dengan mengklasifikasikannya

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Session_01. - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding sistem perpetaan konvensional - Contoh pemanfaatan SIG

Session_01. - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding sistem perpetaan konvensional - Contoh pemanfaatan SIG Matakuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) Oleh: Ardiansyah, S.Si GIS & Remote Sensing Research Center Syiah Kuala University, Banda Aceh Session_01 - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG PETA KERAWANAN LONGSORAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANBALAGAN DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI : STUDI KASUS DI BAGIAN BARAT KECAMATAN CILILIN, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR Disusun sebagai

Lebih terperinci

Tujuan. Pengenalan SIG

Tujuan. Pengenalan SIG Pengenalan SIG Tujuan Mengerti konsep sistem informasi geografis Mengerti model data pada SIG Memahami proses membangun SIG Dapat merancang dan membangun sistem informasi geografis 1 Materi Pengenalan

Lebih terperinci

Pengenalan Sistem Informasi Geografis

Pengenalan Sistem Informasi Geografis Pengenalan Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pertemuan 1 Rakhmat Arianto, S.ST., M.Kom Tujuan Mengerti Konsep Sistem Informasi Geografis Mengerti model data pada SIG Memahami proses

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

PROFILE. Name Educational Background. . Website Phone

PROFILE. Name Educational Background.  . Website Phone PROFILE Name Educational Background Email Website Phone : Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc : KPJ, Geography GMU (bachelor) MPPDAS, Geography GMU (master) : halengkara@yahoo.com halengkara@gmail.com

Lebih terperinci

Suryanti Nur M. Farda

Suryanti Nur M. Farda APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KERAWANAN LONGSOR LAHAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG Suryanti suryanti93@mail.ugm.ac.id Nur M. Farda farda@geo.ugm.ac.id Abstract Many

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Berbagai potensi bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, gerakan tanah, banjir, dan

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN 4.1. ANALISIS GEOMORFOLOGI 4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai Interpretasi pola aliran dapat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang paling sering mengalami kejadian longsoran di Indonesia. Kondisi iklim tropis yang mempengaruhi tingginya curah

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH BAB II LATAR BELAKANG DAN SEJARAH SIG yang digunakan sebagai alat assembling dan analisa berbagai data spasial. Berbagai sistem telah dikembangkan, untuk perencanaan guna lahan dan manajemen sumberdaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG (Sistem Informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG (Sistem Informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG (Sistem Informasi Geografis) yang bisa diterapkan di Ottawa, Ontario oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

A. Pendahuluan Sistem Informasi Geografis/GIS (Geographic Information System) merupakan bentuk cara penyajian informasi terkait dengan objek berupa

A. Pendahuluan Sistem Informasi Geografis/GIS (Geographic Information System) merupakan bentuk cara penyajian informasi terkait dengan objek berupa A. Pendahuluan Sistem Informasi Geografis/GIS (Geographic Information System) merupakan bentuk cara penyajian informasi terkait dengan objek berupa wilayah dalam bentuk informasi spatial (keruangan). GIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geomorfologi adalah salah satu hal yang menjadi dasar dalam ilmu geologi, karena geomorfologi dapat dijadikan panduan dalam pemetaan geologi, selain itu pengamatan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undangundang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No.

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi PEMETAAN GEOLOGI A. Peta Geologi Peta geologi merupakan suatu sarana untuk menggambarkan tubuh batuan, penyebaran batuan, kedudukan unsur struktur geologi dan hubungan antar satuan batuan serta merangkum

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gununghalu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang terletak di bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur. Bentang alamnya

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA Oleh: Dr.Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Beberapa Subsistem dari SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1. Subsistem INPUT 2. Subsistem MANIPULASI

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1452 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH I. PENDAHULUAN Keperluan informasi

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Pengolahan data dan analisis

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA A. Tujuan Praktikum - Praktikan memahami dan mampu melakukan register peta raster pada MapInfo - Praktikan mampu melakukan digitasi peta dengan MapInfo B. Tools MapInfo

Lebih terperinci

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 Matakuliah Waktu : Sistem Informasi Geografis / 3 SKS : 100 menit 1. Jelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG). Jelaskan pula perbedaan antara SIG dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB 1 PENDAHULUAN I-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto Pengertian SIG Sistem informasi yang menggunakan komputer untuk mendapatkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data yang mengacu pada lokasi geografis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah wisatawan di Desa Parangtritis selama tahun 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan objek wisata Pantai

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

1.1. Definisi Ilmu Ukur Tanah (Surveying)

1.1. Definisi Ilmu Ukur Tanah (Surveying) PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL-FTSP I-1 Pendahuluan Definisi, Arti pentingnya pengkuran tanah, Pengukuran geodetik dan pengukuran bidang data, Sejarah pegukuran tanah, Jenis peta dan kegunaannya Sistem informasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor seluas 94,41 hektar, berada dalam dua wilayah yang berdekatan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 54 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Karakteristik Umum Wilayah 3.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Secara geografis wilayah studi terletak diantara 107 o 14 53 BT sampai dengan 107 o

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG OUTLINE

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG OUTLINE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG MINGGU KE 2 Materi 1 OUTLINE 2 1. SEKILAS TENTANG PETA Komponen Peta 2. SUMBER INFORMASI GEOGRAFIS 3. DEFINISI SIG 4. SEJARAH

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE)

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) Oleh: Tri Mulyadi 134130071 Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah pegunungan yang cukup luas. Tingginya tingkat curah hujan pada sebagian besar area pegunungan di Indonesia dapat menyebabkan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB 1 Sari Mulyaningsih, 2 Tedy Setiadi (0407016801) 1,2 Program Studi Teknik Informatika Universitas Ahmad

Lebih terperinci

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13 Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota Adipandang Yudono 13 Definisi Peta Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Pemetaan Daerah Rawan PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Moch. Fauzan Dwi Harto, Adhitama Rachman, Putri Rida L, Maulidah Aisyah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci