DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA KELIOPAS KREY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA KELIOPAS KREY"

Transkripsi

1 DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA KELIOPAS KREY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Daerah Penyebaran dan Variasi Morfologi Ular Putih (Micropechis ikaheka) di Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 16 Mei 2008 Keliopas Krey G

3 ABSTRACT KELIOPAS KREY. Area of Distribution and Morphological Variation of the White Snake (Micropechis ikaheka) in Papua. Under direction of BAMBANG SURYOBROTO and ACHMAD FARAJALLAH The objectives of the research were to identify the area of distribution and the specific habitat of the white snake (Micropechis ikaheka) in Papua (Western New Guinea), and also to explain the morphological variation among the populations of that snake. About eight months of field work were taken to conduct the survey (April 2002; June 2006; and March to Augusts 2007) in several areas in the mainland and off-shore islands of Papua. Observation were carried out in the field at night and during the day to collect the snake. Also, studies were done on a collection of specimens that were found in the Museum Zoologicum Bogoriense LIPI in Cibinong, Conservation International in Jayapura and the Biology Laboratory of the Papua State University in Manokwari. The results showed that the white snake Micropechis ikaheka can be divided into three separate groups based on the color of the scales, i.e. Black, Brown and Yellow. The black one is the new group found in this research, and also there was one individual snake with transitional coloration between the brown group and the yellow group. However, M. ikaheka is common and has a relatively wide distribution in New Guinea, but every group has a specific and limited area of distribution. The group with black color is distributed in the islands of Waigeo and Batanta and the group with yellow color is distributed starting from Manokwari, Sorong, upto the islands of Salawati, Batanta and Waigeo. Meanwhile, the brown colored sanke is distributed from the island of Yapen, mainland of waropen, Mamberamo, Jayawijaya, Mindiptana upto Papua New Guinea. Key words : the white snake, Micropechis ikaheka, area of distribution, morphological variation, Papua

4 RINGKASAN KELIOPAS KREY. Daerah Penyebaran dan Variasi Morfologi Ular Putih (Micropechis ikaheka) di Papua. Dibimbing oleh BAMBANG SURYOBROTO dan ACHMAD FARAJALLAH Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki daerah penyebaran dan habitat spesifik ular Micropechis ikaheka di Papua (bagian Barat New Guinea), dan juga untuk menjelaskan variasi morfologi antar populasi ular ini. Selama sekitar delapan bulan (April 2002; Juni 2006 dan Maret hingga Agustus 2008) survey lapangan dilakukan pada beberapa daerah di daratan utama Papua dan pulau-pulau satelit di sekitarnya. Observasi lapangan dilakukan pada siang dan malam hari untuk mencari dan menangkap ular M. ikaheka. Dilakukan juga kajian terhadap spesimen koleksi di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong, Conservation International Papua dan Laboratorium Biologi Universitas Papua. Hasil menunjukkan terdapat tiga kelompok ular M. ikaheka yang dikelompokkan berdasarkan warna sisik, yaitu hitam, coklat dan kuning. Warna hitam merupakan kelompok yang baru ditemukan pada penelitian ini. Terdapat satu individu dengan warna transisi antara kelompok coklat dan kuning. Walaupun M. ikaheka memiliki penyebaran yang luas di New Guinea, tetapi setiap kelompok warna ular ini memiliki daerah penyebaran yang spesifik dan terbatas. Kelompok warna hitam menyebar di Pulau Waigeo dan Batanta, kelompok warna kuning menyebar mulai dari Manokwari, Sorong hingga Pulau Salawati, Batanta dan Pulau Waigeo, sedangkan kelompok warna coklat menyebar mulai dari Pulau Yapen, daratan Waropen, Mamberamo, Jayawijaya, Mindiptana hingga Papua New Guinea. Kata kunci : ular putih, Micropechis ikaheka, daerah penyebaran, variasi morfologi, Papua

5 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjaun suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

6 DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA KELIOPAS KREY Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi S E K O L A H P A S C A S A R J A N A INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

7 Judul Tesis Nama NIM : Daerah Penyebaran dan Variasi Morfologi Ular Putih (Micropechis ikaheka) di Papua : Keliopas Krey : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Bambang Suryobroto Ketua Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 16 Mei 2008 Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas penyertaan dan perlindungannya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini terselesaikan karena bantuan dan masukkan saran dari berbagai pihak. Untuk itu ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Suryobroto dan Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si, selaku pembimbing yang telah membantu penulis dalam diskusi dan memberi saran guna perbaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mr. Stephen Richard (Vertebrate Department South Australian Museum zoology), Mr. David Prais (SIL Papua) dan Mr. Burhan Tjaturadi (Herpetologist Indonesia), yang telah membantu memberikan informasi dan juga koleksi spesimen. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, Conservation International Indonesia-Papua Program, Laboratorium Herpetologi-Puslit Biologi-LIPI Cibinong dan BP-LNG Tangguh, yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri serta seluruh keluarga dan teman, atas segala doa dan kasih sayangnya. Kekurangan dan kelemahan dari karya ilmiah ini diharapkan dapat dilengkapi dan disempurnakan oleh para pembaca. Akhirnya segala kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Bogor, 16 Mei 2008 Keliopas Krey

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 14 April 1979 dari ayah Rudolf Krey dan ibu Ledemina Padwa. Penulis merupakan putra ke delapan dari sembilan bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan strata satu ( ) pada Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan MIPA, FKIP Universitas Cenderawasih Jayapura. Selama mengikuti perkuliahan penulis giat dalam berbagai kegiatan pelatihan dan penelitian. Pada tahun penulis ditunjuk sebagai koordinator kelompok studi Herpetofauna pada organisasi Ikatan Mahasiswa Biologi Konservasi dan menyelenggarakan beberapa kegiatan pelatihan lapangan. Penulis adalah salah satu peserta Research Award for Student dalam kajian Herpetofauna yang diselenggarakan oleh Conservation International Papua pada tahun Pada tahun 2003 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Papua Manokwari. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikannya pada sekolah pascasarjana (S2) Program Studi Biologi IPB dengan sponsor BPPS.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... PENDAHULUAN Latar Belakang..... Perumusan Masalah. Tujuan... TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Ular berbisa Famili Elapidae... Deskripsi Morfologi Ular Micropechis ikaheka... Habitat, Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Ular M. ikaheka... Umur dan Jenis Kelamin Reptil... Kulit dan Sisik Ular... Manfaat Ular bagi Masyarakat Papua.... BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian... Waktu Penelitian Alat dan Bahan... Metode Penelitian... Variabel Pengamatan... Analisa Data.... HASIL Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka... Habitat, Iklim dan Kebiasaan Hidup... Sisik : Pola Warna dan Jumlah... Ukuran Tubuh... PEMBAHASAN Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka... Pola Warna... Sisik dan Ukuran Tubuh Ular M. ikaheka... SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN..... xi xi

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Lokasi penemuan ular M. ikaheka berdasarkan kelompok warna... 2 Data meristik dan ukuran tubuh dari tiga kelompok ular M. ikaheka dewasa... 3 Data meristik dan ukuran tubuh dari ular M. ikaheka juvenil... 4 Perbedaan ukuran tubuh pada jenis kelamin... 5 Perbandingan nilai rata-rata ukuran tubuh ketiga kelompok warna

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ular putih (Micropechis ikaheka) yang ditemukan di Pulau Waigeo dan Batanta Papua, memiliki dua variasi pola warna sisik... 2 Sketsa umum perbedaan jenis kelamin pada ular... 3 Peta lokasi penelitian... 4 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua berdasarkan kelompok warna sisik. 5 Penyebaran ular M. ikaheka di Pulau Waigeo (a), Batanta dan Pulau Salawati (b)... 6 Ular M. ikaheka yang tertangkap di serasah dan semak pada kebun campuran di Manokwari Kadal Sphenomorpus simus ditemukan dalam perut ular M. ikaheka.. 8 Individu dewasa M. ikaheka dengan variasi warna sisik... 9 Ular M. ikaheka asal Tanah Merah (Lokasi LNG-site)

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Papua merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia dengan luas wilayah km 2 ( 3,5 kali luas Pulau Jawa) atau 30% dari luas seluruh wilayah daratan Indonesia. Papua memiliki topografi dan ekosistem yang sangat bervariasi. Selain memiliki daratan yang luas, Papua juga memiliki sejumlah daerah kepulauan dengan topografi yang beragam. Keberadaan kepulauan ini dengan ukuran yang bervariasi merupakan salah satu faktor penunjang tingginya biodiversitas dan endemisitas tumbuhan maupun hewan (Primack et al. 1998). Sejarah geologi turut memberi kontribusi yang penting bagi penyebaran hewan dan tumbuhan di Papua. Pulau New Guinea (Papua dan Papua New Guinea) dapat dipandang dalam terminologi geologi yang sederhana sebagai wilayah pegunungan, perubahan tektonik garis utara Australia (Polhemus 2007). Garis pemisahan fauna oleh A.R. Walacea menginformasikan pola penyebaran hewan di Indonesia. Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera selama periode pleistosen dihubungkan oleh daratan sampai ke Asia, oleh karena itu daerahdaerah ini memiliki satwa-satwa yang sama. Pulau Papua dan Aru berhubungan dengan Australia, sehingga satwa di daerah ini berbeda dengan satwa di daerah tropik Asia (Primack et al. 1998). Ular merupakan salah satu satwa liar yang dapat dijumpai pada daerah perairan maupun daratan. Ular hidup di setiap benua kecuali Antartika (Taylor dan O Shea 2004). Ular terdapat di berbagai macam habitat mulai dari teresterial, arboreal hingga akuatik dan beberapa jenis dapat hidup bahkan di habitat yang telah terganggu. Walaupun ular dapat hidup pada berbagai macam habitat, penyebaran tiap jenis ular akan berbeda. Berbagai faktor dapat mempengaruhi penyebarannya seperti sejarah geografik, ketinggian tempat, iklim, dan kondisi habitat (mikro maupun makro). Jenis ular di New Guinea sangat beragam mulai dari jenis berbisa tinggi hingga yang tidak berbisa. Di Papua New Guinea (PNG) terdapat sebanyak 93 jenis fauna ular (O Shea 1996), sedangkan di Papua ada 82 jenis (Allison 2007). Jenis ular yang ada dikelompokkan dalam famili Elapidae (front-fanged venomous

14 2 terrestrial snakes), Boidae (boas and phyton), Typhlopidae (blindsnakes), Acrochordidae (filesnakes), Colubridae (treesnakes, watersnakes and ground snakes) dan famili Hydrophiidae (seasnakes). Famili elapidae tersebar luas di wilayah Asia-Australia dan merupakan kelompok ular paling dominan di Australia dan New Guinea (Muller 2005). Berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, distribusi dan ekologi ular di Papua sampai saat ini kurang diketahui. Beberapa hasil publikasi yang telah ada kebanyakan merupakan hasil penelitian yang berasal dari negara tetangga PNG. Misalnya beberapa jenis ular dari Kawasan Cagar Alam Gunung Arfak dan beberapa daerah disekitarnya antara lain Ramphotyphlops flaviventer, R. similis, Leiopython albertisi, Tropidonophis doriae dan Micropechis ikaheka (O Shea 1996). Informasi ini terbatas hanya pada penyebaran ular-ular sejenis yang ditemukan di dalam dan di luar PNG. Hal ini menyebabkan sangat terbatasnya informasi mengenai ekologi dan biologi ular di Papua. Kajian distribusi serta adanya variasi morfologi populasi jenis ular di kawasan inipun belum banyak dilakukan, seperti contoh variasi morfologi populasi jenis ular M. ikaheka. Keterbatasan informasi tentang fauna ini selain disebabkan belum banyak dilakukannya penelitian dan publikasi, terdapat kecenderungan ular tidak disukai oleh manusia walaupun ular mempunyai peranan juga di alam. Beberapa jenis ular mempunyai peranan penting di alam, misalnya dalam suatu rantai makanan. Di Pulau Jawa, misalnya jasa ular yang terbesar sebagai pengendali hama tikus-tikus yang sering menyerang tanaman padi. Walaupun demikian manusia cenderung tidak menyukai ular sehingga peranannya tersebut tidak sebesar yang dapat dilakukannya (Whitten et al. 1999). Karena tidak disukai oleh manusia, ular sering dibunuh bila ditemukan. Hal inipun berlaku pada masyarakat di Papua. Dari jenis ular berbisa hingga yang tidak berbisa, walaupun tidak menyerang (jika tidak diganggu) mereka tetap saja dibunuh. Terdapat kurang lebih jenis ular di dunia, tetapi hanya 300 jenis dari jumlah tersebut dapat membunuh manusia (Taylor dan O Shea 2004). Ular Micropechis ikaheka adalah salah satu jenis ular yang bisanya dapat membunuh manusia. Ular M. ikaheka dengan nama lokal ular putih (nama dalam bahasa Inggris New Guinea Small-Eyed atau Ikaheka Snake ) merupakan salah satu

15 3 jenis ular berbisa endemik New Guinea dan tersebar di daratan pulau New Guinea termasuk pulau-pulau kecil yang mengelilinginya (O Shea 1996). Perumusan Masalah Informasi mengenai penyebaran, habitat dan variasi morfologi ular M. ikaheka dan juga jenis ular lainnya di Papua sampai saat ini masih kurang. Informasi yang telah ada yaitu hasil publikasi Rooij (1917), O Shea (1996) dan Allison (2007). Penelitian lainnya yang pernah dilakukan di Pulau Waigeo Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Papua, berhasil menemukan sebanyak tujuh jenis ular yaitu Candoia aspera (Boidae), Boiga irregularis, Dendrelaphis punctulatus, Tropidonophis picturatus, Tropidonophis elongatus (Colubridae), serta dua jenis ular dari famili Elapidae yaitu Toxicocalamus sp. dan Micropechis ikaheka (Krey, 2003). Yang menarik dari tujuh jenis ular ini adalah jenis ular yang teridentifikasi sebagai jenis Toxicocalamus sp. (Gambar 1a) sebenarnya hanya merupakan variasi morfologi (warna) dari ular M. ikaheka (Gambar 1b). Walaupun perhitungan sisik dilakukan, pengelompokan sebagai jenis ular Toxicocalamus sp. lebih berdasarkan pada warna sisik yang mirip dengan ular dari genus ini, yaitu warna sisik dorsal hitam mulai dari anterior kepala hingga ujung ekor dan sisik bagian ventral berwarna putih dengan bercak coklat. Pengelompokan ulang ular Toxicocalamus sp. menjadi jenis Micropechis ikaheka merupakan hasil identifikasi yang dilakukan bersama ahli herpetofauna dari Vertebrate Department South Australian Museum zoology (Mr. Stephen Richards) dalam penelitian terpisah pada tahun 2005 di Pulau Batanta dan Pulau Salawati (Kabupaten Raja Ampat). Selanjutnya Farid dan Burhan (2005) melaporkan bahwa dari penelitian tersebut berhasil ditemukan ular yang sangat beracun bermata kecil atau ular putih (M. ikaheka) yang penampakannya berbeda dengan jenis yang sama di daratan utama Papua. Informasi ini sangat penting untuk pengkajian lebih detail terhadap variasi morfologi M. ikaheka yang ditemukan, sehingga data dasar dalam penelitian ini pada waktu mendatang dapat menunjang bila dilakukan kajian pada aspek-aspek yang lain.

16 4 (a) (b) Keterangan : (a) - M. ikaheka yang teridentifikasi sebagai jenis Toxicocalamus sp. (b) - M. ikaheka yang umum ditemukan di daratan utama Papua Gambar 1 Ular putih (Micropechis ikaheka) yang ditemukan di Pulau Waigeo dan Batanta Papua, memiliki dua variasi pola warna sisik Berangkat dari perumusan masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang daerah penyebaran dan variasi morfologi antar populasi ular M. ikaheka di wilayah Papua. Kajian ini diharapkan dapat menjelaskan daerah penyebaran serta variasi morfologi yang ada, baik karakter sisik, pola warna serta ukuran tubuh. Selain itu penelitian ini diharapkan menyediakan dan memberikan informasi dasar yang baru dan penting bagi ilmuwan dan masyarakat di Papua dalam upaya pelestarian ular. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menjajaki daerah penyebaran dan habitat spesifik jenis ular M. ikaheka di wilayah Papua. 2. Untuk menjelaskan variasi morfologi antar populasi jenis ular M. ikaheka.

17 TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Ular berbisa Famili Elapidae O'Shea (1996) menjelaskan bahwa di Papua terdapat enam famili ular yaitu Acrochordidae (filesnakes), Boidae (jenis ular sanca), Colubridae (ular pohon, ular air dan ular tanah), Elapidae (ular berbisa terestrial), Hydrophiidae (ular laut), dan Typhlopidae (ular buta). Micropechis ikaheka merupakan salah satu jenis ular dari famili Elapidae. Famili ini merupakan kelompok ular berbisa yang sangat mematikan disamping famili Viperidae dan Hydropidae. Ular dari famili Elapidae dan lainnya mempunyai bahan racun saraf atau neurotoksin dan bahan racun darah atau haematoksin (O Shea 1996). Neurotoksin merupakan suatu toksin yang berperan secara spesialisasi pada sel syaraf-neuron, sedangkan haematoksin bekerja pada sel darah. Pada umumnya (neurotoxin) saling berinteraksi dengan protein membran dan kanal ion. Banyak dari bisa (sengitan) dan toksin lain digunakan organisma dalam pertahanan melawan hewan lain. Suatu efek umum adalah kelumpuhan yang ekstrim dan sangat cepat. Contoh neurotoxin meliputi tetrodotoxin (pada ikan buntal), batrachotoxin (pada ikan lele) dan komponen dari venom (bisa atau sengitan) dalam lebah, laba-laba dan kalajengking (Schenk 1995). Kedudukan ular M. ikaheka dalam taksonomi menurut O Shea (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Squamata Subordo : Serpentes Famili : Elapidae Micropechis diwakili hanya oleh satu jenis. Selain M. ikaheka, ular lain yang termasuk famili Elapidae antara lain kobra, mamba, taipan, dan ular death adders. Famili elapidae dilengkapi dengan taring yang pendek dan kokoh pada

18 6 rahang atas bagian depan. Kajian taksonomi ular M. ikaheka dijelaskan dalam O Shea (1996). Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan sebelumnya menjadi dua subspesis yaitu M. ikaheka fasciatus dan M.i. ikaheka, tetapi cakupan distribusi dari kedua subspesies ini terus diperdebatkan. M. i. fasciatus direkam sebagai jenis endemik pulau Aru (Klemer, 1963 diacu dalam O Shea 1996), tetapi kemudian oleh Loveridge (1948) diacu dalam O Shea (1996) dikemukakan bahwa daerah asal M.i. fasciatus juga mencakup pulau Aru sampai Aitape (West Sepik) dan Gusiko (Morobe) PNG sedangkan M. i. ikaheka dibatasi pada daerah Irian Jaya (sekarang Papua) berdasarkan spesimen dari Fak Fak. Loveridge mempertimbangkan spesimen Aitape dan Gusiko berdasarkan banyak sedikitnya pita (band), jumlah sisik ventral dan sisik subcaudal 37-39, tetapi jumlah ini sangat tumpang tindih dengan jumlah sisik yang diperoleh dari spesimen Fakfak. Jumlah sisik diperoleh dari sampel yang sangat sedikit, sehingga ketika dibandingkan dengan jumlah sisik spesimen type dari Dore, dihubungkan dengan karakteristik dari spesimen yang tidak memiliki pita (band), mereka dilengkapi data yang tidak cukup untuk membedakan antara kedua subspesies di daratan utama New Guinea. Jadi ular putih (small-eyed) yang diacu hingga sekarang adalah M. ikaheka, tidak dengan petunjuk subspesies yang manapun. Selanjutnya, Loveridge juga menyebutkan jenis yang ketiga yaitu M.i. elapoides dari kepulauan Salomon yang saat ini diperkenalkan sebagai jenis yang terpisah yaitu Loveridgelaps elpoides. Deskripsi Morfologi Ular Micropechis ikaheka M. ikaheka memiliki bentuk badan bulat, gemuk dengan ekor yang relatif pendek. Batasan kepala dan leher hanya berbeda sedikit dan kepala lebih luas dari leher, mata sangat kecil dengan pupil yang bulat, O Shea (1996). Rooij (1917) menjelaskan bahwa M. ikaheka memiliki warna dorsal hitam dan kuning, kadang dengan pita-pita melintang yang tidak teratur. Dijelaskan pula bahwa sisik warna hitam dikelilingi warna kuning, kepala dan ekor berwarna hitam. Permukaan sisik ventral kuning, kadang beberapa sisik dilapisi warna hitam. Oleh masyarakat lokal Papua, M. ikaheka diberi nama lokal ular putih. Mereka menyebutnya ular putih oleh karena ular ini memiliki warna yang terang.

19 7 Warna sisik merupakan variabel lokal. Populasi dengan warna yang bervariasi menempati beberapa tempat yang terpisah. O Shea (1996) menyebutkan bahwa populasi bagian utara memiliki warna yang berbeda dengan populasi di selatan. Populasi utara umumnya memiliki warna kepala abu-abu agak terang hingga gelap (light to dark grey) dan berbeda dari leher yang kuning atau krem, yang tidak bernoktah. Spesimen bagian selatan memiliki tipe sisik dengan pigmen lebih gelap. Sisik gelap sepanjang badan lebih lanjut ke arah bawah tubuh sampai setengah tubuh (midbody) adalah pigmen warna merah atau coklat. Kadang-kadang dengan pita-pita hitam yang dikelilingi warna kuning. Jarak dan frekuensi pita (crossband) bertambah banyak ke arah posterior hingga ekor yang semuanya gelap. Pigmen sisik ventral adalah kuning krem dan dikelilingi warna hitam atau coklat. Maksimum panjang ular M. ikaheka adalah m atau 2.0 m (spesimen dari Kar Kar dan Sepik-PNG). Jumlah sisik dorsal hingga melingkar setengah tubuh (DMB : dorsal at midbody) 15, semua sisik halus (tidak berlunas); sisik ventral (VS : ventral scales) ; sisik sub ekor (SC : subcaudals) 37-55, semua berpasangan; sisik anal berpasangan (divided); sisik supralabial sebanyak 6 dengan sisik ke 3 dan 4 kontak dengan mata dan temporolabial antar 5 dan 6; sisik loreal dan subocular tidak ada (Rooij 1917; O Shea 1996). Habitat, Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Ular M. ikaheka Famili Elapidae tersebar luas di wilayah Asia-Australia dan merupakan kelompok ular paling dominan di Australia (Muller 2005). Ular famili Elapidae merupakan elemen fauna ular yang dominan di New Guinea. Sekitar 36% ular terestrial Papua New Guinea (PNG) adalah elapid, dan sekitar 59% terdapat di daerah New Guinea (O Shea 1996). Micropechis diwakili hanya oleh satu jenis seperti dijelaskan sebelumnya. Mereka tersebar luas mulai dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 1500 m dpl (Rooij 1917; O Shea 1996). Penyebaran M. ikaheka di Papua meliputi Pegunungan Arfak, wilayah kepala burung (vogelkop) dan termasuk sebagian dari pulau di bagian utara, tenggara dan barat. Beberapa

20 8 tempat hidup ular ini juga disebutkan dalam Rooij (1917), antara lain Pulau Batanta, Sorong, Fak Fak, Andai, Mansinam, Gunung Arfak, Mios Nom, Yapen, Mimika dan beberapa daerah lainnya. Berdasarkan Krey (2003), M. ikaheka juga ditemukan di Pulau Waigeo Kepulauan Raja Ampat. Pada penelitian lainnya di Pulau Salawati dan Batanta ditemukan juga ular M. ikaheka (Farid dan Burhan 2005). Ular M. ikaheka beraktifitas pada malam hari (spesies nokturnal) pada lantai hutan (Krey 2003). Ular ini menangkap mangsa dan melakukan aktifitas lainnya pada malam hari dan pada siang hari mereka beristirahat. Menurut O Shea (1996), ular M. ikaheka pada umumnya adalah nokturnal tetapi kadang juga aktif pada siang hari. Reptil tersebar pada daerah-daerah padang rumput, padang gurun, daerah basah/lembab, hutan beriklim sedang, hutan tropis, pulau, laut, gunung-gunung, daerah pemukiman dan daerah pinggiran pemukiman (O'Shea dan Holliday 2001). Setiap jenis reptil menggunakan secara spesifik setiap habitat yang ada, seperti habitat ular M. ikaheka yang terbatas pada area hutan hujan (rainforest), rawa dan habitat serupa mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 1500 meter (O Shea 1996). Ular ini juga tinggal atau menghuni gundukan atau tumpukan sekam kelapa (Cocos nucifera) yang dibuang dalam perkebunan. Kebiasaan hidup M. ikaheka adalah menghuni sampah dedaunan, bagian dalam tumbuhan-tumbuhan yang membusuk pada lahan lepas. Umur dan Jenis Kelamin Reptil Abouheif dan Fairbairn (1997) menjelaskan bahwa diferensiasi seksual dalam ukuran dan morfologi adalah luas pada Kingdom Animal. Pada hewanhewan seperti ikan, insekta, amphibi dan reptil yang berkelamin betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Umur reptil umumnya diketahui berdasarkan pada ukuran SVL (snout to vent length) tetapi ini umumnya berlaku bagi sejumlah reptil muda. Banyak reptil dapat diketahui jenis kelaminnya pada saat musim kawin dengan meningkatnya aktifitas jantan, dan juga dapat melalui determinasi warna atau perbedaan morfologi (Sutherland 2000). Kadal jantan sering lebih terang warnanya daripada betina. Banyak jenis dapat juga diketahui

21 9 kelaminnya melalui hemipenis jantan yang mungkin keluar dari bagian kloaka (vent) bila ditekan. Banyak kadal jantan juga memiliki tonjolan penial (sisik pada dasar ekor) dan juga femoral pores (pori-pori pada susunan sisik posterior vemur) (Sutherland 2000). Sama halnya dengan kadal, jenis kelamin ular dapat diketahui dengan mengamati beberapa ciri morfologi selain dengan cara menekan bagian sekitar kloaka (vent). Sutherland (2000) menjelaskan umur dan jenis kelamin ular pada umumnya dapat diketahui dengan mengamati beberapa karakter morfologinya. Ular betina cenderung memiliki batas tubuh yang jelas lebih luas hingga batas ekor yang meruncing, sedangkan jantan cenderung memiliki ekor yang panjang dan seperti terbagi dua dari total panjang ekor (Gambar 2). Sumber : Sutherland (2000) Gambar 2 Sketsa umum perbedaan jenis kelamin pada ular Karakteristik seperti pada Gambar 2 di atas tentunya tidak berlaku pada semua jenis ular. Banyak ular tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya baik dari bentuk dan ukuran tubuh maupun warna. Karateristik yang tidak umum ini juga dijelaskan oleh Shine (1981), yaitu pada umumnya ular betina memiliki ukuran panjang dari ujung mulut hingga kloaka (UMK) yang lebih panjang dari jantan, tetapi pada berapa jenis ular karakter ini tidak ditemukan. Shine (1981) juga menemukan tidak adanya dimorfisme seksual berdasarkan panjang SVL pada kelompok ular berbisa (Drysdalia spp) di Australia dan menurutnya kondisi ini merupakan karakteristik dari banyak jenis ular elapid.

22 10 Kulit dan Sisik Ular Sisik ular seperti reptil pada umumnya, bertumbuh dari lapisan atas (top layer) atau epidermis kulit (Hildebrand 1974; Hikman et al. 2001; Tylor dan O Shea 2004). Ular seperti binatang melata lainnya, tubuh mereka ditutupi dalam sisik yang melindungi mereka dari abrasi dan dehidrasi. Sisik bagian atas dan samping ular lebih kecil dan halus dibanding sisik pada sisi perut yang tebal dan besar. Sisik tebal dan besar pada perut ini disebut scutes, yang membantu melindungi dan mendukung jaringan yang kontak langsung dengan dasar seperti tanah, batu, batang pohon dan sebagainya (Tylor dan O Shea 2004). Terdapat beberapa jenis sisik yaitu sisik berlunas (keeled scales) dan sisik yang licin atau tidak berlunas (smooth scales), dimana sisik berlunas membantu ular untuk menahan permukaan, sedangkan sisik tak berlunas membuat kemudahan bagi ular untuk melewati tekanan ruang atau celah yang sempit (Tylor dan O Shea 2004). Sisik reptil umumnya sangat berwarna-warni dan terorganisir dalam pola yang menarik. Warna sisik muncul dari pigmen pada sisik dan juga dengan cara sisik memantulkan cahaya (Tylor dan O Shea 2004; Hildebrand 1974 ). Menurut Withers dan O Shea (1993), warna dari reptil teresterial beragam dan pigmentasinya sangat kompleks, tetapi lebih sedikit pada kelompok fusorial. Warna sering berhubungan dengan kamuflase, thermoregulasi, proteksi terhadap sinar ultraviolet, interaksi tingkah laku dan dimorfisme seksual. Dijelaskan pula bahwa warna berada dibawah kontrol fisiologi (neural atau endocrinal). Warna gelap membantu ular untuk menyerap panas selama cuaca lebih dingin. Tylor dan O Shea (2004) dan Mattison (2005) menjelaskan teori umum bahwa pada cuaca dingin (termasuk ketinggian tempat) menyebabkan warna menjadi gelap karena pigmen hitam menyerab panas lebih efisien. Ular muda kadang-kadang berbeda warna dari induknya, tetapi tidak diketahui mengapa. Meskipun ular sering diuraikan sebagai sesuatu yang licin, kulit mereka benar-benar sangat kering. Tidak seperti binatang lainnya, ular selalu kontinyu untuk bertumbuh sampai hari mereka mati. Sebagai konsekuensi, ular secara periodik pada waktu tertentu mengganti kulit (shedding scales) mereka, suatu proses yang disebut ecdysis. Sebelum pergantian kulit, ular nampak berwarna sedikit kebiru-biruan dan mata nampak keabuan seperti tertutup awan. Taylor dan

23 11 O Shea (2004), menjelaskan sekitar 6 kali setahun, seekor ular dewasa terlihat menggeliat karena menuanya kulit sampai memunculkan sebuah kulit baru di bawahnya yang berkilau. Ular hanya merontokan sisik dan kulitnya pada saat sebuah lapisan baru dari sisik dan kulit tumbuh di bawah kulit tua. Manfaat Ular bagi Masyarakat Papua Sejak dahulu ular telah dikaitkan dengan kejahatan dan dosa, maka oleh perasaan inilah kebanyakan orang akan merasa geli atau takut terhadap ular. Reaksi spontan biasanya terjadi dan orang tidak segan-segan membunuh ular tanpa memikirkan apakah itu ular dari jenis yang berbisa atau tidak. Walaupun demikian, ular juga memiliki manfaat yang cukup penting, seperti di Papua, beberapa suku memanfaatkan ular sebagai bahan makanan dan pengobatan. Suku Arfak di daerah Mokwam Kabupaten Manokwari selain memakan daging ular M. ikaheka, mereka juga memanfaatkan lemak ular ini sebagai bahan pengobatan tradisional. Lemak tubuh ular ini diekstrak menjadi minyak dan digunakan sebagai obat gosok untuk mengobati otot yang mengalami pembengkakan (Sutarno 2005).

24 BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat di Papua yaitu Manokwari, Waropen, Sorong, Tanah Merah, Pulau Numfor dan Kepulauan Raja Ampat (Pulau Waigeo, Salawati dan Pulau Batanta). Di daerah Manokwari terdapat beberapa lokasi pengamatan yaitu Gunung Meja, Prafi, Minyambouw, Oransbari, Nuni, Saukorem dan Kebar. Lokasi pengamatan di daerah Waropen dilakukan di Noau, Kwaneha, dan Pitohui, sedangkan daerah Sorong observasi dilakukan di hutan kampung Baengkete. Daerah lainnya seperti Jayawijaya, Jamursbamedi, Mindiptana, Lembah Baliem dan Pulau Yapen bukan daerah pengamatan dalam penelitian ini, tetapi merupakan daerah penyebaran ular M. ikaheka berdasarkan studi spesimen yang dilakukan di laboratorium Herpetofauna Pusat Penelitian Biologi - Bidang zoologi LIPI Cibinong dan Conservation International Papua Program. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Peta lokasi penelitian

25 13 Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 8 bulan secara terpisah yaitu pada bulan April 2002, Juni 2006 dan Maret hingga Agustus Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah mikroskop, headlamp, senter besar, kantung spesimen (kain), termometer, rol meter (ukuran 500 cm) termohygrometer, jangka sorong (kaliper), Global Position System (GPSmap 60cs), stik kayu, kamera, kertas tisu, kotak plastik, 1 set alat bedah, formalin 10 % dan alkohol 70 %. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif dengan teknik observasi lapang dan kajian koleksi spesimen. Observasi lapang yang dilakukan meliputi observasi nokturnal dan diurnal. Observasi dilakukan dengan membuat jalur yang ditelusuri secara acak untuk mencari dan menangkap ular. Pada setiap daerah observasi, dilakukan penangkapan ular dengan menggunakan tongkat kayu. Pencarian dan penangkapan ular Micropechis ikaheka yang dijumpai pada siang dan malam hari dilakukan pada beberapa habitat seperti di sekitar sungai, rawa, hutan, tepi hutan, areal perkebunan serta bekas kebun. Masing-masing ular yang tertangkap dimasukan ke dalam kantung kain. Selanjutnya semua keterangan dicatat, seperti dimana ular ditemukan, waktu, suhu, kelembaban udara, kondisi cuaca (hujan, mendung atau cerah), kemiringan tempat, kanopi dan lain-lain. Data lainnya dikumpulkan melalui kajian spesimen yang diperoleh dari literatur dan pengkajian ulang spesimen pada Laboratorium Herpetofauna Pusat Penelitian Biologi - Bidang Zoologi LIPI Cibinong, Conservation International Papua Program dan Laboratorium Zoologi Universitas Negeri Papua Manokwari.

26 14 Variabel Pengamatan Ciri morfologi Ciri morfologi yang diteliti meliputi karakter meristik dan morfometri (Lampiran 1, 2 dan 3), bentuk umum tubuh, pola warna sisik seperti dijelaskan dalam Rooij (1917) dan O Shea (1996). 1) Karakter morfometri Karakter morfometri ular yang diukur antara lain panjang dari ujung mulut hingga kloaka (UMK), panjang ekor (PE), panjang total tubuh (PTT), panjang kepala (PK), lebar kepala (LK), diameter tengah badan (DTB), diameter pangkal ekor (DPE), jarak mata - hidung (JMH), jarak mata - mata (JMM), jarak mata - ujung mulut (JMUM). Pengukuran karakter morfometri tubuh ular dilakukan menggunakan rol meter (ukuran 500 cm) dan jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm. 2) Karakter meristik Pola dan jumlah sisik meliputi : 1. Sisik pada tubuh - Jumlah sisik sisi punggung hingga melingkar setengah tubuh (Dorsal at midbody/dmb) dan pola permukaan sisiknya berlunas (keeled) atau halus (smooth) - Jumlah sisik sisi perut (SV) 2. Sisik pada ekor - Jumlah sisik dari pangkal kloaka hingga ujung ekor (Subcaudal/Sc) dengan pola single atau divided - Keping pada anal (anal plate) dengan pola single atau divided 3. Sisik pada kepala - Jumlah sisik bibir bagian atas (supralabial) dan bawah (infralabial), dihitung dari ujung mulut ke arah pangkal mulut. Pada bagian supralabial diperhatikan sisik keberapa yang bersentuhan dengan mata. - Jumlah sisik di depan mata (preocular) dan di belakang mata (postocular) dan sisik kepala lainnya.

27 15 - Ada tidaknya sisik loreal (tidak adanya sisik loreal pada ular merupakan ciri kelompok ular berbisa). Sisik loreal merupakan sisik yang terletak antara sisik nares (nares scales) dengan sisik di depan mata (pre ocular). 4. Warna sisik Warna sisik dideskripsikan secara visual mulai dari bagian kepala hingga ekor ular. Karakteristik habitat Variabel yang diamati dan dicatat baik makrohabitat maupun mikrohabitat, meliputi tipe habitat, suhu dan kelembaban udara (siang dan malam hari) menggunakan termohygrometer, ketinggian tempat menggunakan GPSmap 60 garmin, objek atau substrat yang digunakan ular untuk beraktifitas atau beristirahat dideskripsikan berdasarkan visualisasi. Data vegetasi dikumpulkan sebagai data penunjang untuk menggambarkan tipe hutan yang ada. Data vegetasi diperoleh dari hasil identifikasi oleh Herbarium Bogor dan Manokwari. Analisa Data Data yang diperoleh dijadikan sebagai data perbandingan variasi morfologi antara individu ular M. ikaheka. Seluruh karakter morfologi yang direkam dianalisa secara deskriptif, ditabulasikan, dan divisualisasikan melalui gambar dan foto. Selanjutnya untuk melengkapi informasi distribusi ular di Papua, maka hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diplotkan dalam peta penyebaran. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan ukuran tubuh antara jenis kelamin ular M. ikaheka, digunakan uji-t (Venables dan Ripley 1999).

28 HASIL Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka Ular M. ikaheka berhasil ditangkap pada beberapa lokasi pengamatan sebanyak 14 ekor. Selain itu, terdapat spesimen koleksi sebanyak 17 ekor yang dikoleksi pada Laboratorium Zoologi Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Laboratorium Herpetofauna Pusat Penelitian Biologi bidang Zoologi LIPI Cibinong dan Conservation International Indonesia (CII) Papua Jayapura. Analisis berikutnya berdasarkan total 31 ekor yang ada. Penyebaran ular M. ikaheka di Papua menurut Rooij (1917) adalah tersebar di Manokwari (Pulau Mansinan, Gunung Arfak, Andai), Pulau Yapen, Waropen, Sorong, Fak Fak, Mimika dan Sungai Lorentz, Pulau Numfor (Pulau Mios Noom) dan beberapa tempat lainnya (Lampiran 4). Selanjutnya O Shea (1996) menambahkan daerah penyebaran ular M. ikaheka meliputi beberapa wilayah di daratan utama (mainland) dan beberapa pulau di utara dan tenggara Papua sampai Papua New Guinea. Dalam penelitian ini, lokasi penemuan ular M. ikaheka meliputi daerah Manokwari, Tanah Merah, Waropen, Mindiptana, Mamberamo, Jayawijaya dan beberapa pulau yaitu Pulau Waigeo, Salawati, Batanta dan Pulau Yapen (Gambar 4 dan 5). Gambar 4 memperlihatkan bahwa kelompok ular M. ikaheka dengan warna yang bervariasi menempati beberapa tempat yang terpisah dan menunjukkan adanya daerah penyebaran yang spesifik. Ular M. ikaheka kelompok pertama (warna sisik hitam), hanya ditemukan di Pulau Waigeo dan Batanta Kepulauan Raja Ampat, sedangkan kelompok kedua (warna sisik kuning) ditemukan pada daerah yang lebih luas mulai dari Sorong, Manokwari hingga Pulau Waigeo, Batanta dan Pulau Salawati. Kelompok ketiga (warna pigmen sisik coklat) tersebar lebih luas dari kelompok pertama dan kedua yakni mulai dari Pulau Yapen, dataran rendah Waropen, Mamberamo, Mindiptana, dataran tinggi Lembah Baliem sampai daerah Negara tetangga Papua New Guinea. Distribusi ular M. ikaheka di PNG dapat dilihat pada lampiran 5.

29 17 Keterangan : = Daerah sebaran ular M. ikaheka hitam = Daerah sebaran ular M. ikaheka kuning = Daerah sebaran ular M. ikaheka coklat Perpaduan garis kuning dan coklat adalah transisi antara ular M. ikaheka kuning dan coklat Gambar 4 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua berdasarkan kelompok warna sisik Penelitian ini juga menemukan satu individu ular M. ikaheka yang menunjukkan warna transisi antara kelompok kuning dan coklat (deskripsi mengenai pola warna sisik ditelaah dalam sub bab selanjutnya). Daerah LNG site Tanah Merah merupakan lokasi penemuan individu dengan warna transisi ini. Gambar 4 menunjukkan juga beberapa lokasi yang tidak ditemukan ular M. ikaheka, tetapi masyarakat setempat (wawancara) sering menemukan ular ini ketika mereka sedang berburu atau membuka dan membersihkan lahan pertanian. Hasil wawancara ini juga diperkuat dengan nama bahasa daerah setempat yang diberikan bagi ular ini, misalnya di daerah Kebar (ketinggian 585 m dpl) disebut

30 18 Kubik dan di Pulau Numfor (ketinggian 20 m dpl) disebut Ikak epyoper. Nama lokal ini menunjukkan penyebaran ular M. ikaheka pada daerah-daerah tersebut. (a) (b) Gambar 5 Penyebaran ular M. ikaheka di Pulau Waigeo (a), Batanta dan Pulau Salawati (b) Di daerah Minyambow dan Pitohui tidak ditemukan ular M. ikaheka. Minyambow adalah dataran tinggi (ketinggian m dpl), sedangkan daerah Pitohui adalah areal hutan mangrove dengan hutan transisi yang selalu terendam air dan juga terdapat rawa yang ditumbuhi Nipa dan beberapa tumbuhan lainnya. Masyarakat Minyambouw mengenal ular M. ikaheka dengan nama lokal

31 19 Hinokofu. Mereka sering menggunakan minyak dari lemak ular ini sebagai obat tradisional, tetapi untuk mendapatkan ular tersebut mereka harus mencari ke tempat yang lebih rendah seperti di daerah Warmare (ketinggian 305 m dpl). Habitat, Iklim dan Kebiasaan Hidup Semua ular M. ikaheka dalam penelitian ini tersebar pada hutan dataran rendah mulai dari ketinggian meter di atas permukaan laut (Tabel 1). Tabel 1 Lokasi penemuan ular M. ikaheka berdasarkan kelompok warna Lokasi Pengamatan Kelompok Warna H K C Koordinat GPS Ketinggian (m dpl) Pulau Waigeo : - Waifoi (Sungai Kamtabai) - Lopintol (S. Bayon) - Urbinasopen ( S. Mamdifu) Keterangan : * : Transisi antara ular M. ikaheka Kuning dan Coklat H : Hitam K : Kuning C : Coklat S ,970 E ,642 S ,999 E ,542 S ,219 E ,544 Pulau Batanta : Wailebet (S. Yakut) - S ,744 E , Pulau Salawati (S. Webya) - - S ,383 E , Manokwari : Oransbari (S. Muari) Saukorem (S. Wepay) Nuni (S. Nuni) Gunung Meja Andai (Perkebunan Kakao) Prafi (Perkebunan Sawit) S E S E S E S ,5 E ,7 S E S E 134 o LNG site Tanah Merah - * * S ,4 E Waropen (S. Noau) - - S E Spesimen Koleksi Pulau Yapen : - Warironi - - S E Mindiptana (Ingembit) - - S E Mamberamo (Marina valen) Jayawijaya : - Kelila - Lembah Baliem Sorong (Jamursbamedi)

32 20 Pengamatan di hutan pegunungan menengah Minyambouw sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak Manokwari (ketinggian m dpl), tidak menemukan ular M. ikaheka. Suhu malam hari (sekitar 19 0 C) dan siang hari (24 0 C) yang dingin menjadi faktor pembatas bagi kehidupan ular M. ikaheka dan beberapa jenis reptil lainnya. Selama penelitian berlangsung, ular M. ikaheka teramati hidup dan menghuni lantai-lantai hutan. Mereka memanfaatkan berbagai mikrohabitat sebagai tempat beraktifitas. Pada saat penelitian, beberapa ular M. ikaheka teramati sedang berada di atas serasah dengan kepala yang dimasukkan ke bawah serasah. Kondisi ular seperti ini mungkin menunjukkan bahwa mereka sedang menangkap mangsa. Beberapa ekor juga teramati sedang berada di dalam gundukan tanah, dalam batang pohon palem yang tumbang, pada celah batu, di bawah banir dan di bawah batang pohon yang tumbang serta di antara semak. Ular M. ikaheka yang menghuni areal perkebunan kakao, sawit, dan kebun campuran, dijumpai pada semak dan di bawah tumpukan daun maupun ranting yang dibuang oleh para petani. Areal perkebunan umumnya memiliki lantai datar dan banyak semak yang sangat mendukung kehidupan ular M. ikaheka. Gambar 6 memperlihatkan ular M. ikaheka yang tertangkap pada serasah dan semak pada kebun campuran di Manokwari. Gambar 6 Ular M. ikaheka yang tertangkap di serasah dan semak pada kebun campuran di Manokwari

33 21 Pada areal ini hidup beberapa jenis kadal seperti Emoia caeruleucauda, Sphenomorpus simus dan jenis kadal lainnya yang menjadi salah satu sumber makanan ular M. ikaheka. Dalam perut salah satu individu ular M. ikaheka ditemukan seekor kadal S. simus (Gambar 7). Gambar 7 Kadal Sphenomorpus simus ditemukan dalam perut ular M. ikaheka Lokasi penelitian di Pulau Waigeo (ketinggian 5-50 m dpl), Batanta (13 m dpl) dan Salawati (25 m dpl) memiliki tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah dengan topografi yang datar hingga berbukit. Beberapa famili tumbuhan yang umum dan sering dijumpai adalah Combreataceae, Cycadaceae, Sapindaceae, Moracaeae, Dafisdaceae, Rutaceae dan Arecaceae (identifikasi vegetasi oleh Herbarium Bogoriense). Suhu pada siang hari berkisar antara C dan suhu pada malam hari berkisar antara C. Pada saat penelitian musim hujan sedang berlangsung sehingga keadaan iklim mikro mempunyai suhu yang cukup rendah. Suhu rata-rata/tahun menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sorong dalam lima tahun terakhir ( ) adalah 27,47-27,93 0 C. Daerah penelitian Manokwari, Tanah Merah dan Waropen juga memiliki tipe vegetasi hutan dataran rendah dengan ketinggian tempat lokasi penelitian m dpl. Suhu siang hari antara C sedangkan malam hari C. Suhu rata-rata/pertahun menurut BMG Manokwari dalam lima tahun terakhir ( ) adalah 26,88-27,56 0 C. Vegetasi pada daerah ini umumnya dari famili Fabaceae, Sapindaceae, Sapotaceae, Dipterocarpaceae, Dafisdaceae, Convaevulaceae, Hernandiaceae, Moraceae, Araucariaceae dan beberapa famili lainnya (identifikasi vegetasi oleh Herbarium Manokwarinse, Universitas Negeri Papua).

34 22 Sisik : Pola Warna dan Jumlah Pengamatan spesimen ular M. ikaheka menunjukkan adanya beberapa variasi warna sisik yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok warna (Gambar 8). Pola warna pertama adalah hitam keabuan, pola warna kedua kuning atau krem sedangkan pola warna ketiga adalah coklat kekuningan. (a) (b) Keterangan : a- Spesimen dari Pulau Waigeo dan Pulau Batanta b- Spesimen dari Manokwari, Sorong, Waigeo, Batanta, Salawati dan Tanah Merah c- Spesimen dari Jaya Wijaya Gambar 8 Individu dewasa M. ikaheka dengan variasi warna sisik (c) Kelompok pertama (Gambar 8a) meperlihatkan pigmen sisik yang hitam keabu-abuan pada bagian dorsal hingga lateral tubuh. Pigmen warna ini tersebar dari bagian kepala hingga ujung ekor. Pada bagian ekor, pigmentasi ini berlanjut hingga sisik subcaudal. Pigmen sisik ventral lebih terang, dengan noktah-noktah coklat keabuan yang tidak merata pada setiap sisik (kecuali pada sisik mulai dari

35 23 batas leher hingga ujung sisik mental, seluruhnya tertutup oleh pigmen coklat keabuan). Kelompok kedua (Gambar 8b) memiliki warna pigmen sisik bagian kepala dan ujung ekor sama dengan warna dorsal kelompok pertama. Namun, pada kelompok kedua hampir setengah bagian dari tubuh (mulai dari leher hingga pertengahan bagian tubuh) ditutupi pigmen kuning atau krem. Warna pigmen sisik subcaudal lebih terang dengan noktah coklat keabuan seperti pada warna pigmen sisik ventral kelompok pertama. Kelompok ketiga (Gambar 8c) memiliki pola warna pigmen sisik dorsal yang berwarna coklat kekuningan dengan pita-pita lebih gelap sepanjang tubuh. Jarak antar pita-pita ini ke arah posterior semakin dekat hingga ujung ekor yang lebih gelap. Penelitian pada daerah Tanah Merah berhasil menemukan ular M. ikaheka (Gambar 9) yang menunjukkan warna transisi antara kelompok kuning dan coklat. Ular M. ikaheka ini memiliki warna sisik yang sangat sama dengan kelompok kedua, tetapi terdapat pita yang lebih gelap pada pertengahan tubuh hingga ke arah ekor seperti yang dimiliki ular M. ikaheka kelompok ketiga. Semua kelompok ular M. ikaheka baik dewasa maupun juvenil memiliki sisik melingkar tubuh (dorsal at midbody) sebanyak 15 sisik dengan pola permukaan sisik halus atau tidak berlunas. Jumlah sisik ventral (SV) sebanyak dan sisik subcaudal sebanyak Semua individu memiliki sisik labial atas (supralabial) sebanyak 6/6 di mana sisik ke 3 dan 4 kontak dengan mata, sisik labial bawah (infralabial) sebanyak 6/6, sisik di belakang mata (post ocular) 2/2 dan sisik di depan mata (preokular) 1/1. Keping anal (anal plate) berpasangan. Sisik loreal (loreal scales) tidak ada (Lampiran 3).

36 24 Gambar 9 Ular M. ikaheka asal Tanah Merah (Lokasi LNG-site) Ukuran Tubuh Ular M. ikaheka memiliki bentuk tubuh yang gemuk dan juga memiliki ekor yang relatif pendek. Batasan kepala dan leher berbeda sedikit dengan kepala yang lebih luas dari leher. Mata ular ini sangat kecil dengan pupil yang bulat. Deskripsi ini sama seperti deskripsi dalam O Shea (1996) dan Rooij (1917). Data meristik dan beberapa ukuran bagian tubuh dari ketiga kelompok ular M. ikaheka dewasa berdasarkan spesimen yang ditemukan dan spesimen koleksi ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan ukuran tubuh (UMK dan PE) tidak berhubungan dengan jumlah sisik (SC maupun SV).

37 25 Tabel 2 Data meristik dan ukuran tubuh tiga kelompok ular M. ikaheka dewasa Kode Lokasi UMK PE PTT SC SV Spesimen [Sex] Pengamatan (cm) (cm) (cm) Hitam 3011 [E] Waifoi [E] Wailebet ,8 129, [E] Wailebet ,6 13,4 115 Mode - - Kuning TM* [E] Tanah Merah ,6 17,6 131, [E] Webya ,4 135, [E] Webya ,9 13, [C] Webya ,5 12,1 95, [C] Webya ,5 11,7 86, [C] Andai ,5 81, [C] Prafi ,7 13,2 91, [C] Nuni ,5 116, [C] Gunung Meja GM2 [C] Gunung Meja ,5 87,5 GM3 [C] Gunung Meja ,2 151,2 OB [C] Oransbari ,3 88, [C] Jamursbamedi ,7 128,7 453** Irian , ,5 351** Irian ,2 11,5 103,7 Mode Coklat 2197 [E] Kelila ,2 12, [C] Marina Valen ,7 153, [C] Noau ,5 151, [C] Lembah Baliem ,3 75,3 Mode 39 - Keterangan : * : Warna Transisi antara ular M. ikaheka Kuning dan Coklat ** : Tidak ada data jenis kelamin dan lokasi yang pasti SC : Sisik subcaudal; SV : Sisik ventral; UMK : Panjang ujung mulut-kloaka; PTT : Panjang total tubuh; PE : Panjang ekor Terdapat sedikit perbedaan antar setiap individu dalam hal ukuran panjang UMK dan PE terhadap jumlah sisik. Beberapa individu dengan ukuran tubuh yang lebih panjang memiliki jumlah sisik lebih sedikit dari pada individu dengan ukuran tubuh yang lebih pendek, dan juga sebaliknya bahkan terdapat individu dengan ukuran tubuh yang lebih besar memiliki jumlah sisik yang sama dengan

38 26 individu yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil. Misalnya individu (GM3) dengan PE terpanjang (20,2 cm) memiliki jumlah sisik subcaudal sama dengan individu (2039) dengan PE terpendek (10,3 cm) yakni sebanyak 47. Pada bagian ventral juga terlihat bahwa individu (6327) dengan panjang UMK 78,7 cm memiliki sisik ventral sebanyak 184 sama dengan individu (6343) dengan panjang UMK 101 cm. Data pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa jenis kelaminpun tidak berhubungan dengan jumlah sisik. Individu juvenil (Tabel 3) juga memiliki jumlah sisik ventral dan subcaudal yang bervariasi dan sisik-sisik tersebut jumlahnya sama dengan beberapa individu dewasa. Tabel 3 Data meristik dan ukuran tubuh dari ular M. ikaheka juvenil Kode Spesimen Kuning Asal Spesimen SC SV UMK PE PTT 3226 Manokwari ,8 8, Lopintol ,6 4 30, Wailebet ,2 5,7 34, Saukorem Saukorem Urbinasopen ,7 6, Urbinasopen ,8 4,9 36,7 Mode 45, 46 - Coklat 1453 Mindiptana ,3 4,2 25,5 JP Pulau Yapen ,1 3,8 30,9 Mode - - Keterangan : SC : Sisik subcaudal; SV : Sisik ventral; UMK : Panjang ujung mulut-kloaka; PTT : Panjang total tubuh; PE : Panjang ekor Hasil analisis ukuran tubuh pada jenis kelamin ular M. ikaheka (Tabel 4) menunjukkan bahwa ular jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata (P>5%). Ukuran tubuh semua kelompok warna (Tabel 5) juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>5%).

39 27 No. Tabel 4. Perbedaan ukuran tubuh pada jenis kelamin. Probabilitas (P>5 %) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata Ukuran Bagian Tubuh 1. PTT (mean + Stdev) E (n=7) Jenis Kelamin C (n=13) t Probabilitas (%) UMK PE PK LK DTB DPE JMH JMM JMUM Tabel 5 Perbandingan nilai rata-rata ukuran tubuh ketiga kelompok warna No. 1. Ukuran Bagian Tubuh PTT (mean + Stdev) Hitam (n=3) Warna Kuning (n=13) Coklat (n=4) UMK PE PK LK DTB DPE JMH JMM JMUM

40 PEMBAHASAN Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan menjadi dua subjenis yaitu M. ikaheka fasciatus dan M. ikaheka ikaheka oleh beberapa peneliti sebelumnya. Pembagian ini didasarkan pada variasi warna sisik dan zoogeografi. Subjenis M. ikaheka fasciatus diperkenalkan oleh Klemer (1963) diacu dalam O Shea (1996) sebagai jenis endemik pulau Aru. Kemudian Loveridge (1948) diacu dalam O Shea (1996) mengemukakan bahwa daerah asal M.i. fasciatus selain pulau Aru juga sampai Aitape (West Sepik) dan Gusiko (Morobe) PNG, sedangkan subjenis M. ikaheka ikaheka dibatasi pada daerah Irian Jaya (Papua) berdasarkan spesimen type dari Fak Fak. Karena dilengkapi data yang tidak cukup untuk membedakan antara kedua subjenis di daratan utama New Guinea, maka ular putih (small-eyed) yang diacu hingga sekarang adalah M. ikaheka, tidak dengan petunjuk dari salah satu subjenis (O Shea 1996). Selanjutnya, Loveridge juga menyebutkan subjenis yang ketiga yaitu M. ikaheka elapoides dari kepulauan Salomon yang saat ini diperkenalkan sebagai jenis yang terpisah Loveridgelaps elapoides. Penyebaran flora dan fauna pada suatu wilayah sangat berhubungan dengan sejarah geologi wilayah tersebut. Pulau Yapen adalah sebuah pecahan kecil dari Pegunungan Van Rees pada daratan utama New Guinea (Polhemus dan Allen 2007), yang menyebabkan fauna pada pulau ini bergabung dengan pantai utara Papua. Penyebaran ular M. ikaheka hingga Pulau Yapen diduga juga mengikuti pola biogeografi ini. Zoogeografi ular M. ikaheka juga mencakup Kepulauan Aru (O Shea 1996). Kepulauan Aru secara politik adalah bagian wilayah Maluku, tetapi termasuk biogeografi New Guinea yang pernah dihubungkan oleh daratan (Allison 2007). Kepulauan Aru merupakan satu-satunya kepulauan daratan yang sesungguhnya di kawasan ini, terletak kira-kira 125 km dari pesisir Papua (Monk et al. 2000). Ular M. ikaheka tersebar hingga pulau Waigeo, Batanta dan Salawati walaupun pada kenyataanya pantai utara Pulau Salawati terpisah dengan Batanta oleh selat Sagawin. Selat Sagawin dengan jarak kurang lebih lima km, membuat diskontinyu biogeografik lokal hingga menyebabkan suatu pecahan vicarian bagi

41 29 spesies burung cenderawasih (Paradisaea minor dan Cicinnurus magnivicus) dimana kedua spesies burung ini tidak ada di Waigeo dan Batanta. Namun demikian, Polhemus dan Allen (2007) menyatakan bahwa selat Sagawin yang memberikan batas biogeografik bagi burung, merupakan sebuah hipotesa sementara yang perlu diverifikasi melalui survey lapangan pada masa mendatang. Semua ular M. ikaheka tersebar pada hutan dataran rendah ( m dpl), menghuni bagian teresterial hutan serta aktif pada malam hari. Walaupun ular M. ikaheka juga dapat hidup di sekitar rawa (O Shea 1996), kondisi seperti di Pitohui tidak memungkinkan bagi kehidupan ular M. ikaheka. Ular M. ikaheka yang merupakan jenis ular semi-fossorial tersebar mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 m dpl (O Shea 1996). Pola penyebaran ular M. ikaheka di New Guinea adalah melewati garis pantai dan tidak melalui daerah pegunungan yang tinggi. Pada daerah Minyambouw ( m dpl) ular M. ikaheka tidak ditemukan. Hutan di daerah Minyambouw termasuk hutan pegunungan menengah Johns (1997), yang mana faktor ketinggian tempat menyebabkan suhu sangat rendah (19 0 C) dan diduga menyebabkan ular M. ikaheka tidak dapat hidup pada daerah ini. Sutarno (2005) menemukan masyarakat suku Hattam di daerah ini memanfaatkan daging dan lemak ular M. ikaheka untuk makanan tambahan dan obat tradisional, tetapi masyarakat harus mencari ke daerah yang lebih rendah. Informasi ini turut mendukung tidak tersebarnya ular M. ikaheka pada wilayah Minyambouw. Kadal Shpenomorpus simus merupakan salah satu jenis pakan ular M. ikaheka. Kadal jenis ini adalah teresterial dan sering dijumpai pada lokasi-lokasi dimana ular M. ikaheka berada. Makanan ular M. ikaheka kurang diketahui, tetapi katak, kadal dan beberapa mamalia kecil merupakan mangsa utama ular ini (O Shea 1996). Pola Warna Pola warna pada semua kelompok ular M. ikaheka yang ditelaah, sesuai dengan pendeskripsian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rooij (1917) dan O Shea (1996), kecuali ular kelompok pertama (warna sisik hitam). Kelompok pertama merupakan kelompok ular M. ikaheka yang baru ditemukan dalam penelitian ini, sedangkan M. ikaheka kelompok kedua (warna sisik kuning) adalah

42 30 kelompok yang pernah diperkenalkan sebagai subjenis M. ikaheka ikaheka dan kelompok ketiga (warna sisik coklat) diperkenalkan sebagai subjenis M. ikaheka fasciatus. Warna sisik pada kelompok ketiga sama dengan kelompok M. ikaheka (Lampiran 6) yang tersebar di daerah Papua New Guinea (O Shea 1996; Williams 2006). Pola warna sisik ini adalah ciri utama yang menggambarkan variasi dari setiap individu ular M. ikaheka. Perbedaan warna ini juga merupakan ciri utama pembeda antar individu pada setiap tempat. Populasi ular M. ikaheka di bagian utara PNG memiliki warna yang berbeda dengan populasi di selatan (O Shea 1996). Pada lampiran 6 dapat dilihat gambar ular M. ikaheka dari bagian utara dan selatan PNG. Ular M. ikaheka bagian utara memiliki warna yang lebih terang dengan pita yang lebih banyak dibanding bagian selatan. Spesimen utara memiliki warna sisik yang sama dengan spesimen dari daerah Mamberamo dan Pulau Yapen (pesisir utara Papua), sedangkan spesimen dari daerah Mindiptana dan Jayawijaya (Kelila dan lembah Baliem) memiliki warna sisik sama seperti M. ikaheka dari daerah selatan PNG. Pola warna ini berlanjut hingga ke arah barat Papua dan berangsur-angsur pitanya mulai memudar. Ular M. ikaheka asal Tanah Merah yang merupakan individu dengan warna transisi mengindikasikan fenomena tersebut. Selanjutnya semakin menjauh ke arah dataran Kepala Burung (vogelkop) hingga pulau-pulau di barat laut Papua, pola pita menjadi hilang total dan membentuk kelompok ular dengan pola warna yang berbeda. Proses evolusi sedang berlangsung dan diduga bahwa variasi warna yang ada muncul dari satu populasi menjadi populasi lainnya mulai dari arah timur ke barat New Guinea. Ketiga warna yang ada merupakan kelompok warna melanin yang pada dasarnya adalah warna coklat dan kuning, kemudian diikuti oleh warna hitam, yang oleh Vevers (1982) melanin sebagai respon terhadap warna gelap (dark colours) dari hewan yang pada prinsipnya adalah warna hitam dan coklat, tetapi kadang juga warna kuning. Pola warna sisik M. ikaheka kelompok pertama berbeda sangat ekstrim dari individu kelompok lainnya. Warna gelap pada kelompok ular ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lokal habitat, seperti dijelaskan oleh Rooij (1917) dan O Shea (1996) bahwa variasi pada M. ikaheka adalah variasi lokal. Gibson dan Fals (1979) diacu dalam Heatwole dan Taylor (1987) menemukan warna melanin

43 31 dari seekor ular pada wilayah beriklim sedang, dipelihara oleh suhu tubuh yang tinggi pada saat terkena radiasi matahari dibanding dengan ular yang lebih terang. Warna melanin ular M. ikaheka pada kelompok lainnya (warna sisik kuning dan warna sisik coklat) diduga selain disebabkan faktor genetik juga dipengaruhi oleh lingkungan. Karena semi fusorial, M. ikaheka ditemukan menghuni mikrohabitat seperti lubang atau celah tumpukkan batuan, celah banir pohon dan juga dibawah tumpukan kayu yang gelap. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap perubahan pigmen warna sisik ular M. ikaheka. Selain nokturnal dan juga merupakan kelompok hewan ektoterm, M. ikaheka membutuhkan energi panas yang cukup untuk beraktifitas. Heatwole dan Taylor (1987) menjelaskan sebuah habitat yang memanas dengan cepat pada siang hari juga cepat dingin pada malam hari dan kondisi ini juga berlaku pada tubuh reptil, dimana suatu jenis yang mengasorbsi radiasi energi dengan baik akan cepat hilang panas melalui radiasi balik nokturnal. Variasi warna sisik pada ular Milksnake (Lampropeltis triangulum) yang tersebar di utara hingga bagian tengah Amerika, selain memiliki pita-pita merah, hitam dan putih juga ukuran tubuhnya bervariasi sehingga dikelompokkan dalam beberapa subspesies (Mattison 2005). Salah satu milksnake mengalami perubahan warna secara kontinyu dari kecil hingga dewasa menjadi hitam total dan fenomena ini disebabkan pada daerah beriklim dingin sisik ular menjadi lebih gelap karena pigmen hitam menyerap panas lebih efisien. Pola pita merah, hitam dan putih merupakan suatu mimikri terhadap salah satu ular coral berbisa di daerah itu, dimana pada saat Milksnake kecil mimikri lebih penting dari pada kemampuan mengabsorbsi panas. Ketika mereka bertumbuh besar, mereka berukuran lebih besar dari pada ular coral, jadi merubah warna tidak menyebabkan kerugian. Dalam penelitian ini variasi warna sisik ular M. ikaheka tidak muncul dengan cara mimikri, sebab selain merupakan ular sangat berbisa, saat penelitian tidak dijumpai jenis ular berbisa teresterial lainnya yang serupa kecuali ular tidak berbisa Stegonotus sp. (Colubridae). Walaupun hanya satu ekor yang ditemukan, ular M. ikaheka asal LNG site Tanah Merah menunjukkan bahwa ada sebuah transisi warna yang menghubungkan ular M. ikaheka kelompok kuning dan coklat. Rooij (1917) menjelaskan bahwa M. ikaheka memiliki warna dorsal hitam dan kuning, kadang

44 32 dengan pita-pita melintang yang tidak teratur. Walaupun penelitian ini tidak dapat menjelaskan secara pasti bagaimana proses munculnya variasi pola warna sisik ini, tetapi Hildebrand (1974) menjelaskan bahwa warna pada epidermis muncul melalui pigmen melanin (melanophores) dimana warna tersebut dapat konstant atau dapat respon terhadap perubahan warna morfologi, sehubungan dengan umur, musim dan sebagainya. Variasi pola warna sisik ular M. ikaheka tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Dari 20 ekor ular M. ikaheka yang berhasil diidentifikasi jenis kelaminnya, sebanyak 7 ekor (35%) berjenis kelamin jantan sedangkan sisanya sebanyak 13 ekor (65%) berjenis kelamin betina. Pengamatan ada tidaknya hemipenis yang dilakukan pada semua spesimen dewasa M. ikaheka menunjukkan bahwa setiap kelompok warna memiliki keduanya jenis kelamin jantan dan betina. Kelompok pertama sebanyak tiga spesimen semuanya berjenis kelamin jantan. Setidaknya dalam penelitian ini tidak bisa menerangkan dimorfisme seksual karena semua spesimen pada kelompok pertama adalah jantan. Dalam deskripsi yang dibuat sebelumnya, juga tidak terdapat pertelaahan mengenai dimorfisme seksual dalam kaitannya dengan variasi warna sisik. Penentuan jenis kelamin ular M. ikaheka tidak dapat dilakukan seperti pada beberapa jenis ular dari kelompok Python, dengan mengacu pada karakteristik spur atau taji (struktur kecil seperti duri pada sisi kloaka). Barker dan Barker (1994) menjelaskan pada kelompok Python keduaduanya jantan dan betina memiliki taji pada daerah sisi sekitar kloaka dan karakteristik dari taji merupakan ciri pembeda dimorfisme seksual. Sisik dan Ukuran Tubuh Ular M. ikaheka Kisaran jumlah sisik ventral (SV) pada Tabel 2 adalah sebanyak , sedangkan kisaran jumlah sisik ventral berdasarkan O Shea (1996) dan Rooij (1917) adalah Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa individu memiliki jumlah sisik ventral minimal jauh lebih sedikit, bila dibandingkan dengan jumlah yang disebutkan oleh kedua peneliti sebelumnya. Individu ular M. ikaheka dengan kode spesimen 7802, OB dan 351 memiliki jumlah SV sebanyak 174, sedangkan 6326 dan 2039 masing-masing memiliki SV sebanyak 177 dan 176.

45 33 Jumlah sisik subcaudal pada spesimen dengan kode OB dan 453 adalah lebih rendah (34 dan 35) dari batasan yang diberikan oleh O Shea (1996) dan Rooij (1917) yakni 37 sisik. Lebih sedikitnya jumlah sisik ini akibat kondisi fisik ujung ekor yang putus tanpa diketahui penyebabnya. Data meristik pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa bertambahnya ukuran tubuh dan umur tidak mengakibatkan terjadinya penambahan jumlah sisik. Hal ini disebabkan ular secara kontinyu bertumbuh dan secara periodik pada waktu tertentu akan menggantikan kulitnya. Sisik ular bertumbuh dari lapisan atas (top layer) atau epidermis kulit dan ular hanya merontokkan sisik dan kulitnya (sekitar 6 kali setahun) pada saat sebuah lapisan baru dari sisik dan kulit tumbuh di bawah kulit tua (Hildebrand 1974; Taylor dan O Shea 2004). Semua kelompok warna ular M. ikaheka memiliki rata-rata ukuran tubuh yang relatif sama dan kisaran panjang total tubuh (PTT) berada pada kisaran panjang maksimum (1,0-1,5 meter) berdasarkan O Shea (1996). Analisis ukuran bagian tubuh semua kelompok warna menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>5%). Analisis ini juga menunjukkan bahwa ukuran bagian tubuh antara jenis kelamin tidak berbeda nyata (P>5%). Seperti dijelaskan oleh Shine (1981) bahwa pada umumnya ular betina memiliki ukuran UMK atau SVL (snout vent length) lebih panjang dari jantan, tetapi pada beberapa jenis ular karakter ini tidak ditemukan. Shine (1981) juga menemukan tidak adanya dimorfisme seksual berdasarkan panjang UMK pada kelompok ular berbisa (Drysdalia spp) di Australia dan kondisi ini merupakan karakteristik dari banyak jenis ular elapid. How et al. (1996), juga menemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada panjang UMK antara ular Lycodon aulicus jantan dan betina.

46 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ular putih (Micropechis ikaheka) tersebar luas di daratan utama Papua termasuk pulau-pulau sekitarnya hingga Papua New Guinea. Semua ular M. ikaheka dalam penelitian ini tersebar pada hutan dataran rendah mulai dari ketinggian meter di atas permukaan laut. Di hutan pegunungan menengah sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak Manokwari (ketinggian m dpl), tidak ditemukan ular M. ikaheka. Selama penelitian berlangsung ular M. ikaheka teramati hidup dan menghuni lantai-lantai hutan dengan memanfaatkan berbagai mikrohabitat sebagai tempat beraktifitas, seperti di dalam gundukan tanah, pada celah batu, dalam batang pohon palem yang tumbang, di bawah banir dan juga di antara semak. Ular M. ikaheka juga ditemukan menghuni areal perkebunan kakao, sawit dan kebun campuran. Terdapat tiga kelompok variasi warna sisik pada ular M. ikaheka yaitu hitam keabuan, kuning atau krem dan coklat kekuningan. Kelompok ular M. ikaheka dengan warna yang bervariasi menempati beberapa tempat yang terpisah dan menunjukkan adanya daerah penyebaran yang spesifik. Proses evolusi sedang berlangsung dan diduga bahwa variasi warna yang ada muncul dari satu populasi menjadi populasi lainnya mulai dari arah timur ke barat New Guinea. Pengamatan ada tidaknya hemipenis yang dilakukan pada semua spesimen dewasa M. ikaheka menunjukkan bahwa setiap kelompok warna memiliki kedua jenis kelamin jantan dan betina sehingga variasi warna tidak menunjukkan adanya dimorfisme seksual. Individu M. ikaheka dengan kode spesimen 7802, OB, 351, 6326 dan 209 memiliki jumlah sisik ventral jauh lebih sedikit dari jumlah minimal yang disebutkan oleh peneliti sebelumnya. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan pada hewan lainnya guna membuktikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya variasi warna. Selain itu,

47 35 disarankan pula penelitian lanjutan untuk menganalisa variasi genetik pada ular M. ikaheka.

48 DAFTAR PUSTAKA Abouheif E, Fairbairn DJ. (1997). A comparative analysis of allometry for sexual zise dimorphism: assessing rensch rule. The American Naturalist 149: Allison A Herpetofauna of Papua. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm Barker DG, Barker TT Phytons of the World. Volume ke-1, Australia. California: Advanced Vivarium Systems, Inc. Beehler BM Papuan Terrestrial Biogeography, with Special Reference to Birds. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm Farid M, Tjaturadi B Peneliti muda mengungkap kekayaan hayati [editorial]. Jurnal Tropika Indonesia 9 : Hikman CP, Roberts LS, Larson A Integrated Principles of Zoology. Volume ke-11. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Hildebrand M Analysis of Vertebrate Structure. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Heatwole HF, Taylor J Ecology of Reptiles. Australia: Surrey & Sons. Pty Limeted. Johns RJ Background Papers for the Study of the Flora and Vegetation of the N.E. Kepala Burung Irian Jaya, Indonesia. Kew: Royal Botanic Gardens. Klemer, K Liste der rezenten Giftschlangen. In. Die Giftschlangen der Erde. Marburg an der Lahn.N.G.Elwert Univ. und Verlag Buch. Krey K Laporan Penelitian Inventarisasi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi) di Pulau Waigeo Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Papua. Universitas Negeri Papua. Manokwari. Loveridge A New Guinean Reptiles and Amphibians in the Museum of Comparative Zoology and United State National Museum. Bull. Mus. Comp. Zool Harvard 101: Monk AK, De Fretes Y, Lilley GR. (2000). Seri Ekologi Indonesia, Buku V. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta: Prenhalindo.

49 37 Mattison C Encyclopedia of Reptiles and Amphibians, an Essential Guide to Reptiles and Amphibians of the World. Singapore: Grange Books Plc. Muller K Keragaman Hayati Tanah Papua. Tim, penerjemah; Wanggai F, Sumule A, editor. Manokwari: Universitas Negeri Papua. Terjemahan dari : The biodiversity of New Guinea. O Shea M A Guide to the Snakes of Papua New Guinea. Singapure: Beaumont Publishing Pte Ltd, 9 Joo Koon Circle. O Shea M, Halliday T Reptiles and Amphibians. London: Dorling Kindersley Limited. Polhemus DA Tectonic Geology of Papua. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm Polhemus DA, Allen GR Freshwater Biogeography of Papua. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rooij ND The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. Volume ke-2, Ophidia. Leiden: E. J. Brill Ltd. Sutarno S Laporan Penelitian Pemanfaatan Hewan sebagai Obat Tradisional dalam kehidupan Suku Hattam di Kampung Mokwam Manokwari. Manokwari: Universitas Negeri Papua. Shine R Venomous snakes in cold climates: ecology of the Australian genus Drysdalia (serpentes : Elapidae). American Society of Ichthyologists and Herpetologists How RA, Schmitt LH, Suyanto A Geographical variation in the morphology of four snake species from the Lesser Sunda Islands, eastern Indonesia. Biological Journal of the Linnean Society 59: Schenk G The Book of Poisons. New York: Rinehort & Company, Inc. Sutherland JW The Conservation Handbook Research, Management and Policy. USA: Blackwell Science Ltd. Taylor B, O Shea M The Great Big Book of Snakes & Reptiles. London: Anness Publishing Ltd Hermes House, Blackfriars Road.

50 38 Venables WN, Ripley BD Modern Applied Statistics with S-Plus. Volume ke-3. New York: Springer-Verlag New York, Inc. Vevers G The Colours of Animals. Studies in Biology no London: Edward Arnold (Publishers) Limited. Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afiff SA Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta: Prenhallindo. Whiters PC, O Shea JE Morphology and physiology of the squamata. Di dalam : Glasby CG, Ross GJB, Beesley PL, editor. Fauna of Australia Series. Australian Government Publishing Service. hlm Williams D Species Profile: New Guinean small-eyed snake (Micropechis ikaheka). Australian Venom Research Unit PNG Snakebite Project. [terhubung berkala]. Ikaheka. html. [9 Desember 2006]

51 LAMPIRAN

52 Lampiran 1 Karakterisik umum sisik ular (O Shea 1996) 40

53 41 Lampiran 2 Bagian tubuh ular M. ikaheka yang diukur UMK PE (a) Ukuran panjang: UMK= ujung mulut kloaka; PE = panjang ekor PK LK JMM JMUM JMH (b) Ukuran kepala : PK=panjang kepala; LK=lebar kepala; JMH=jarak mata mata; JMUM=jarak mata ujung mulut; JMH=jarak mata hidung

54 42 Lampiran 3 Pola dan jumlah sisik ular M. ikaheka Pre okular Post okular (a) Sisik kepala sisik ventral subcauda keping anal (b) Sisik ekor

55 43 Lampiran 4 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua berdasarkan data Rooij (1917) P. Waigeo P. Batanta Sorong P. Numfor Manokwari P. Biak P. Misol P. Yapen Seram Fak Fak Mimika S. Lorentz Kep. Kei Kep. Aru Asmat Kep. Tanimbar

56 44 Lampiran 5 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua New Guinea (O Shea 1996) Karkar Is

57 45 Lampiran 6 Spesimen ular M. ikaheka asal Papua New Guinea (O Shea1996; Williams 2006) a. Spesimen dari Pulau Karkar Provinsi Madang, bagian Utara PNG b. Spesimen dari Popondetta, Provinsi Oro, bagian Selatan PNG.

HASIL Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka

HASIL Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka HASIL Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka Ular M. ikaheka berhasil ditangkap pada beberapa lokasi pengamatan sebanyak 14 ekor. Selain itu, terdapat spesimen koleksi sebanyak 17 ekor yang dikoleksi pada Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subordo : Serpentes Famili : Elapidae

TINJAUAN PUSTAKA. Subordo : Serpentes Famili : Elapidae TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Ular berbisa Famili Elapidae O'Shea (1996) menjelaskan bahwa di Papua terdapat enam famili ular yaitu Acrochordidae (filesnakes), Boidae (jenis ular sanca), Colubridae (ular

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka

PEMBAHASAN Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka PEMBAHASAN Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan menjadi dua subjenis yaitu M. ikaheka fasciatus dan M. ikaheka ikaheka oleh beberapa peneliti sebelumnya.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Barker DG, Barker TT Phytons of the World. Volume ke-1, Australia. California: Advanced Vivarium Systems, Inc.

DAFTAR PUSTAKA. Barker DG, Barker TT Phytons of the World. Volume ke-1, Australia. California: Advanced Vivarium Systems, Inc. DAFTAR PUSTAKA Abouheif E, Fairbairn DJ. (1997). A comparative analysis of allometry for sexual zise dimorphism: assessing rensch rule. The American Naturalist 149: 540-562. Allison A. 2007. Herpetofauna

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu

Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu Oleh Lisa Abstract Pulau Biawak yang terletak di Kabupaten Indramyu, Jawa Barat memilki keunikan dengan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

USULAN SANCA BULAN Simalia boeleni (Brongersma, 1953) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

USULAN SANCA BULAN Simalia boeleni (Brongersma, 1953) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA USULAN SANCA BULAN Simalia boeleni (Brongersma, 1953) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGUSUL Nama : Mumpuni dan Amir Hamidy Pekerjaan : Staf peneliti

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014,

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, 19 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, di areal pertambakan intensif PT. CPB Provinsi Lampung dan PT. WM Provinsi

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Data yang di peroleh dalam membuat proyek Tugas akhir ini di peroleh dari

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Data yang di peroleh dalam membuat proyek Tugas akhir ini di peroleh dari BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1. Sumber Data Data yang di peroleh dalam membuat proyek Tugas akhir ini di peroleh dari berbagai sumber, antara lain : 1. internet, buku teori, dan literatur. 2. Pasar barito,

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam tangale yang terdapat di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam tangale yang terdapat di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam tangale yang terdapat di Kabupaten Gorontalo. Cagar Alam ini terbagi menjadi dua kawasan yaitu

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Bab GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Dephut, 1998): Kingdom : Plantae Divisio : Spematophyta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan Keempat tempat penelitian terletak di Kebun Raya Bogor. Posisi masingmasing lokasi tertera pada Gambar 1. a. Taman Lebak Sudjana Kassan Taman ini berada di pinggir

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

Indonesia: Mega Biodiversity Country

Indonesia: Mega Biodiversity Country ONRIZAL Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara Indonesia: Mega Biodiversity Country Diperkirakan 38.000 spesies tumbuhan (55% endemik) Memiliki 10% tumbuhan berbunga yang ada di dunia 12% binatang

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Ular Welang, Bungarus fasciatus (Schneider, 1801), di Lereng Selatan Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta

Ular Welang, Bungarus fasciatus (Schneider, 1801), di Lereng Selatan Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta Ular Welang, Bungarus fasciatus (Schneider, 1801), di Lereng Selatan Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta Abstract Donan Satria Yudha 1), Rury Eprilurahman 1) M. Fahrul Hilmi 2), Iman Akbar Muhtianda

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif ini, peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 1. Akar tumbuhan selalu tumbuh ke bawah. Hal ini dipengaruhi oleh... Cahaya matahari Tekanan udara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Lebih terperinci

E U C A L Y P T U S A.

E U C A L Y P T U S A. E U C A L Y P T U S A. Umum Sub jenis Eucalyptus spp, merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *) Swamp Eels (Synbranchus sp.) Jenis... di Danau Matano Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/KEPMEN-KP/2018 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE

HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE (Kasus pada Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas Kelautan dan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² ¹Mahasiswa Program S1 Biologi ²Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia,

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia, dengan 17.504 buah pulau dan garis pantai mencapai 104.000 km. Total luas laut Indonesia adalah

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER Disusun oleh : Nama NIM : Mohammad Farhan Arfiansyah : 13/346668/GE/07490 Hari, tanggal : Rabu, 4 November 2014

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Taksonomi kelapa sawit yang dikutip dari Pahan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermeae Ordo : Monocotyledonae

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

AssAlAmu AlAyku m wr.wb

AssAlAmu AlAyku m wr.wb AssAlAmu AlAyku m wr.wb BIOMA Bioma adalah wilayah yang memiliki kondisi iklim tertentu dan batas-batas yang sebagian besar dikendalikan di daratan oleh iklim dan yang dibedakan oleh dominasi tertentu,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo.

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo. 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Dulanpokpok Kecamatan Fakfak Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Desa Dulanpokpok merupakan daerah pantai, yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI Selamat Pagi, Semoga hari ini menjadi hari yang menyenangkan DTI_09 VEGETASI ASIA Iklim merupakan faktor utama yang

Lebih terperinci