Volume 2 Nomor 3 September 2013 ISSN : JURNAL KEDOKTERAN UNRAM I N M A T A R. Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Volume 2 Nomor 3 September 2013 ISSN : JURNAL KEDOKTERAN UNRAM I N M A T A R. Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak"

Transkripsi

1 Volume 2 Nomor 3 September 2013 ISSN : JURNAL KEDOKTERAN UNRAM V I N E R S I T A U S M A A T A R M Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health

2 Volume 2 Nomor 3 September 2013 ISSN : JURNAL KEDOKTERAN UNRAM V I N E R S I T A U S M A A T A R M Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health

3 Jurnal Kedokteran Unram Penasehat Prof. Mulyanto dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes. dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D. dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med. Editor dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K) dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis. dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes. dr. Nurhidayati, M.Kes. dr. Arif Zuhan, SpB dr. Fathul Djannah, SpPA Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc. dr. Akhada Maulana, SpU dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD Dewan Redaksi dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn. dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD dr. Bambang Priyanto, SpBS dr. Seto Priyambodo, M.Sc. dr. Pandu Ishak Nandana, SpU dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro) dr. Marie Yuni Andari, SpM dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK dr. Monalisa Nasrul, SpM Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt Mitra Bestari dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD) dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP) Sekretaris dr. Prima Belia Fathana Layout dan Percetakan Syarief Roesmayadi

4 ISSN : Jurnal Kedokteran Universitas Mataram Edisi 4, Volume 3, September 2013 DAFTAR ISI Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte... 3 Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Eustachius Hagni Wardoyo, Teguh Sarry Hartono Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Hamsu Kadriyan Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Rifana Cholidah Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Erwin Kresnoadi Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health Rifana Cholidah Pedoman Penulisan Naskah Artikel

5 KEJANG DEMAM PADA ANAK Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unram/RSUP NTB Abstract: Febrile convultion is a neurological disorder that is often found in children. Fever is usually caused by an infection outside of the central nervous system such as : Upper respiratory tract infection,gastroenteritis, urinary tract infection, etc.febrile siezures in general brief form : tonic, tonic-clonic,focal or partial. Febrile convultion should receive prompt and appropriate treatment because of delays and procedural errors would cause sequel and death. Appropriate education for parents about febrile convultion is unbelievably necessary to reduce anxiety. Keywords : seizure,fever,anticonvulsanst Pendahuluan Kejang merupakan suatu manifestasi klinik lepas muatan listrik berlebihan dari selsel neuron di otak yang terganggu fungsinya. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, fisiologis, dan biokimia, 1 Pada sebagian besar kasus, gangguan fungsi sel neuron otak hanya bersifat sementara. Kejang dapat merupakan petanda serius suatu penyakit yang mendasarinya. 2 Kejang pada anak lebih sering terjadi karena kenaikan suhu tubuh. Demam sering disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf pusat seperti : infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis dan infeksi saluran kemihdan lain-lain. Menurut Consensus Statement of Febrile Seizures(1980), Kejang demam biasanya dapat terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5 tahun dan tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. 3 Pendapat lain mengatakan bahwa kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Anak yang pernah mengalamin kejang tanpa demam dan bayi umur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. 3,4,8 Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari nilai ambang kejang masingmasing. 4,6 Setiap serangan kejang pada anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian.,3,5,6,8 Makalah ini bertujuan membahas beberapa aspek dan tatalaksana kejang demam pada anak. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh(suhu rectal) Lebih dari 38 o C, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. 3,5,6 Kejang Demam Sederhana adalah kejang demam yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 4 tahun, lama kejang kurang dari 15 menit, kejang bersifat umum, frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam setahun, kejang timbul dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu. 6 Patofisiologi Dasar patofisiologi terjadinya kejang 3

6 demam adalah belum berfungsinya dengan baik susunan saraf pusat(korteks serebri). 6 Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K + ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na + ) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl - ). Akibatnya konsentrasi ion K + di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na + rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron.untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh :1.Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 0 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter terjadilah kejang. Pada anak degan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38 C sudah terjadi kejang, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40 C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah. 4,6,8 Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama >15 menit Status epilepticus adalah suatu keadaan darurat dan perlu tindakan segera karena bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan neuron dengan akibat kematian. Bila kejang tidak teratasi (status epileptikus) akan timbul keadaan hipoksia jaringan otak dengan akibat permeabilitas kapiler meninggi, terjadi edema otak dengan tekanan intrakranial yang meninggi. Akibat edema otak terjadi kerusakan sel dan depressi pernapasan yang menambah hipoksia. Kematian timbul kemudian oleh kolaps sirkulasi. 7 Bila kejang dapat diatasi, anak bisa kembali normal atau sembuh dengan gejala sisa. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi. 4 Manifestasi Klinik Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf pusat, misalnya karena tonsillitis, bronchitis atau otitis media akut. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat 4

7 anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi. 3,5,8 Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam pertama. 3 Bila menghadapi penderita dengan kejang demam, pertanyaannya yang sering timbul apakah Kejang Demam Sederhana atau Kejang Demam Kompleks. Dahulu LivingStone membagi kriteria kejang menjadi dua golongan, yaitu: Kejang Demam Sederhana (simple febrile convulsion) dan Epilepsi yang diprovokasi oleh Demam (epilepsy triggered of by fever). Klasifikasi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa resiko berkembang epilepsi atau berulangnya kejang tidak sebanyak diperkirakan. 3 Gambar 1. Skematik patofisiologi pada Kejang Unit Kerja Koordinasi Nerologi (UKK) IDAI 2006 membuat Klasifikasi Kejang Demam pada anak menjadi : 4,8 1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) a. Kejang berlangsung singkat kurang dari 15 menit b. Kejang bersifat umum, tonik dan atau klonik c. Tidak berulang dalam 24 jam (frekuensi 1 kali dalam 24 jam) 2. Kejang Demam Kompleks Complex fibrile Seizure) a. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit b. Kejang fokal atau parsial, atau kejang umum didahului kejang parsial c. Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam (kejang multipel atau kejang serial) Deferensial Diagnosa Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipertimbangkan apakah penyebabnya dari luar atau dari dalam susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena 5

8 infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau abses otak dll. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks. 3 Penegakkan Diagnosis: 4,8 1. Anamnesis : Dari anamnesis ditanyakan : a. Tampilan kejang,umum atau fokal dan berapa lama durasi kejangnya b. Riwayat demam dan penyakit lain yang diderita oleh anak c. Riwayat penggunaan obat pada anak d. Riwayat kejang sebelumnnya, masalah nerologik, keterlambatan tumbuh kembang atau penyebab lain seperti trauma e. Riwayat keluarga yang pernah atau tidak mengalami kejang demam, epilepsy 2. Pemeriksaan fisik dan nerologi Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar Susunan Saraf Pusat (SSP). Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan nerologis termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis. 3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin, namun untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain. Pemeriksaan yang dapat dikerjakan : Pemeriksaan darah perifer, elektrolit dan gula darah b. Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakan diagnosis meningitis, dianjurkan pada: 1) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan 2) Bayi usia antara 12 bulan-18 bulan dianjurkan 3) Bayi usia> 18 bulan tidak rutin. Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian.frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25 50%. Resiko untuk mendapatkan epilepsy rendah ditemukan 2,9% dari semua penderita kejang demam. 3 Penanggulangan Anak yang mengalami Kejang Demam Sederhana atau Kejang Demam Kompleks sebaiknya dirawat dirumah sakit dan dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut. 4 Dalam penanggulangan kejang demam pada anak, ada 4 faktor yang harus dilakukan, yaitu: A. Memberantas kejang secepat mungkin 1,2,4,8 Apabila penderita datang dalam keadaan kejang, segera diberikan diazepam secara rektal dengan dosis : 6

9 Berat badan < 10 kg = 5 mg Berat badan > 10 kg = 10 mg (lihatgambar2). Bila kejang sudah teratasi dengan diazepam dapat diberikan antikonvulsan long acting seperti Phenobarbital, terutama bila ada faktor resiko: kejang lama, kejang fokal atau parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang multipel, dan riwayat epilepsi dalam keluarga. Dosis phenobarbital : loading dose secara intramuskuler : Neonatus : 30 mg Anak usia 1 bulan 1 tahun : 50 mg Anak usia > 1 tahun : 75 mg Dilanjutkan 4 jam kemudian dengan phenobarbital oral : 8 10 mg /kg bb/hari dibagi 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya 3 5 mg/kg bb/hari dibagi 2 dosis selama demam. Prehospital Diazepam 5-10mg/rec max 2x Jarak 5 menit 0-10 menit Hospital/ED Airway Breathing Circulation Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/ IV (rate 2mg/menit,max dose 20 mg) atau Midazolam 0,2 mg/kg/iv bolus mnt Monitoring Vital sign EKG gula Darah Serum Elektrolit Na, K, Ca, Mg, Cl analisa gas darah Koreksi Kelainan Pulse Oksimetri atau Lorazepam 0,005-0,1 mg/kg/iv (rate<2mg/menit ICU/ED Jika preparat (+) Phenobarbital 20mg/kg/IV (rate >5-10 menit, max 1gr) mnt Blood Drug Level Note: Aditional 5-10mg/kg/IV Phenitoin 20mg/ kg/iv 20 menit/ 50 ml NS Max 1000mg menit ICU Refrakter Midazolam 0,2mg/kg/IV bolus di lanjutkan drip per infus Pentotal- Tiopental 2-4mg/kg/IV Propofol 3-5mg/ kg/infusion Gambar 2 Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus. ( PKB Ilmu Kesehatan Anak FK. Unud, Sanur 5-8 Juli 2012) 7

10 B. Pengobatan penunjang. 5,6 Sebelum memberantas kejang jangan lupa dengan pengobatan penunjang yaitu : 1. Penderita sebaiknya dibebaskan dari semua pakaian, posisi kepala miring yaitu untuk menghindari aspirasi. 2. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamim, jika diperlukan dapat dipasang intubasi bahkan trakheotomi. Penghisapan lendir dilakukan secara teratur, juga diberikan oksigenasi yang memadai. 3. Mengawasi secara ketat fungsi vital seperti kesadaran, suhu tubuh, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung. 4. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitor kelainan metabolik dan elektrolit. Bila ada kenaikan tekanan intracranial jangan diberikan natrium dengan kadar tinggi 5. Bila suhu tubuh masih tinggi( hiperpireksi ) diberikan antipiretik intravena dan kompres es atau alkohol. C. Pengobatan profilaksis 4,6,8 Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam dapat dibagi dalam dua yaitu: 1. Profilaksis intermiten pada waktu demam. a. Antipiretik : parasetamol mg/kgbb tiap 4 6 jam Ibuprofen 5 10 mg/kgbb tiap 6 8 jam b. Obat antikonvulsan : Diazepam oral 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam saat demam atau Diazepam rectal setiap 8 jam (lihat dosis rektal sesuai berat badan) Berikan penjelasan pada orang tua tentang efek samping obat diazepam yaitu : mengantuk, letargi, iritabel dan ataksia. 2. Profilaksis jangka panjang. 4,6,8 Pemberian obat profilaksis terus menerus jangka panjang ditujukan untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik di dalam darah stabil dan cukup, guna mencegah berulangnya kejang di kemudian hari. Diberikan pada keadaan : a. Adanya kelainan nerologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang seperti : hemiparesis, paresis todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus/mikrosefali dll. b. Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, c. Kejang bersifat fokal, kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam d. Anak usia < 12 bulan. e. Kejang demam kompleks berulang lebih dari 4 kali dalam setahun. Obat yang diberikan berupa : 1. Fenobarbital Dosis 4-5 mg/kgbb/hari Efek samping pemakaian jangka panjang : hiperaktif, perubahan siklus tidur, gangguan kognitif, dan gangguan fungsi luhur. 2. Asam Valproat Dapat menurunkan resiko terulangnya kejang dengan memuaskan bahkan lebih baik dibanding dengan fenobarbital. Dosis : mg/kgbb/hari dalam 8

11 3 dosis. Efek samping : mual, hepatotoxis dan pancreatitis. Antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini diberikan sekurangkurangnya selama 1 tahun bebas kejang. Penghentian pengobatan harus dilakukan dengan cara tapering off,dalam waktu 3-6 bulan guna menghindari rebound fenomena. D. Mencari Dan Mengobati Faktor Penyebab/Kausatif Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana /kejang demam kompleks biasanya infeksi pada traktus respiratorius bagian atas, otitis media akut, gastrointestinal, saluran kemih dll. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat akan sangat berguna untuk menurunkan demam yang pada gilirannya akan menurunkan resiko terjadinya kejang. Secara akademis, anak yang datang dengan kejang demam pertama kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan punksi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi intrakranial (meningitis). Selanjutnya apabila menghadapi anak dengan kejang yang berlangsung lama diperlukan pemeriksaan : punksi lumbal, darah lengkap, glukosa, elektrolit, EEG, Brain Scan, MRI, Pneumo Ensefalografi dan arteriografi. 3,4,5 E. Edukasi Pada orang Tua. 4 Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, karena saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan edukasi yang tepat bagi orang tua seputarkejang demam, diantaranya : 1. meyakinkan bahwa kejang demam umumnya bukan merupakan penyakit yang serius tetapi tidak juga dianggap ringan (berprognosis baik ) 2. Memberikan cara penanganan kejang 3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali( kejang berulang) 4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping 5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsy Kesimpulan Walaupun sebagian besar kejang demam dapat berhenti sendiri, sebagian lain tetap memerlukan pengobatan profilaksis jangka panjang. Tatalaksana yang adekuat sangat penting untuk mencegah kejang lama(status epileptikus) dan kematian. Setelah kejang berhasil diatasi, dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis, dan pemeriksaan penunjang untuk mecari etiologi. Tentukan apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks. Daftar Pustaka 1. Suarba IG : Manajemen terkini kejang dan status epileptikus. Dalam : Penangan kegawat daruratan Neonatologi dan Anak pada fasilitas terbatas, PKB IKA Fk Unud/RSUP Sanglah, sanur Widodo DP : Penatalaksanaan Kejang dan Status Epileptikus pada Bayi dan Anak. Dalam : Paediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. PKB XLIX IKA Fk.UI, Jakarta Mansjoer, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwik S. Editor : Kejang Demam. Kapita 9

12 Selekta Kedokteran, ed 3;2. Penerbit Media Aesculapius Fk.UI, 2000; Prasasti AS. Kejang Demam pada Anak. Diakses 12 september Diunduh dari :http//asprasasti.blogspot.com/2011/05/ kejang demam pada anak.html. 5. Ismael S. Kejang Demam. Dalam : Sudaryat,Suwendra IP editor. Simposium Kedaruratan pada Anak. IKA Fk. Unud, Denpasar Anonim : Kejang Demam pada Anak. diakses 12 september Diunduh dari :http//medlinux.blogspot.com/2007/09/kej ang-demam-pada-anak.html. 7. Hendarto SK, Ismael S : Kejang Demam pada Anak. Dalam : Sulestea G,Steawati A, Mariana, Handoko T editor : Kumpulan Naskah KPPIK X. Fk.UI, Jakarta Anonim : Kejang Demam. Pedomam Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian/SMF IKA. Fk. Unud/RSUP Sanglah Denpasar,

13 HUBUNGAN ANTARA DURASI PEMBERIAN HAART (HIGHLY ACTIVE ANTI RETROVIRAL THERAPY) DENGAN PENINGKATAN LEVEL CD4 PADA PASIEN HIV DEWASA Eustachius Hagni Wardoyo 1 dan Teguh Sarry Hartono 2 Abstrak Latar Belakang: Dinamika CD4 dikaitkan dengan durasi pemberian HAART memiliki keberagaman antar individu, antar seting waktu dan tempat. Dinamika CD4 paska HAART merupakan faktor penting baik dalam evaluasi klinis pasien HIV dan kepentingan epidemiologis. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara durasi pemberian HAART dengan peningkatan level CD4. Metodologi: Merupakan penelitian potong lintang dengan kriteria inklusi: 1. Usia pasien 18 tahun, pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, 3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah HAART, 4. Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5. Memiliki kepatuhan berobat. Durasi pemberian HAART (bulan) dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) <12, 2) 12 23, 3) dan 4) 36. Hasil: Sejumlah 68 pasien dievaluasi. Dari 68 pasien terdapat 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Distribusi kelompok durasi dari 18 pasien: 1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) dan 4) 5 (27,8%). Dengan multivariate analysis terdapat perbedaan antar kelompok durasi terapi yang bermakna terhadap peningkatan CD4 (p=0,033; ANOVA). Secara spesifik perbandingan antar kelompok diuji menggunakan LSD post hoc test pada kelompok 1 dan 2 tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,801) demikian juga kelompok 2 dan 3 (p=0,553) namun pada kelompok 3 dan 4 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020). Kesimpulan: Hanya 26,5% pasien yang mengalami kenaikan level CD4. Kenaikan level CD4 dapat terlihat secara bermakna setelah 36 bulan terapi HAART. Kata kunci: HAART, CD4, antiretroviral therapy 1 Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram 2 Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Soelianti Saroso, Jl. Sunter Permai Raya Jakarta Koresponden: wardoyo_eh@yahoo.com Abstract Background: Dynamics of CD4 after commencing highly active antiretroviral therapy (HAART) for certain periods of time differ between patients, time and place. The present study aims to investigate the relationship between duration of commencing HAART and the increasing of CD4. Methods: Using cross-sectional study with inclusion criteria as follow: man and women age 18 y.o., having CD4 naïve and CD4 post HAART, having positive difference between last CD4 and CD4 naïve and good adherence. HAART s duration (months) was grouped into: 1) <12, 2) 12 23, 3) and 4) 36. Results: Sixty eight patients were evaluated, only 18 patients met inclusion criteria. The duration groups are: 1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) and 4) 5 (27,8%) patients. Using multivariate analysis found there was significant difference between duration groups to increasing CD4 (p=0,033; ANOVA). Followed by LSD post hoc tested to group 1 and 2 no significant difference (p=0,801) also group 2 and 3 (p=0,553) but between group 3 and 4 found significant difference (p=0.020). Conclusion: Only 26,5% (18/68) patients with increasing CD4. Increasing CD4 was observed significant after 36 months commencing HAART. Keywords: HAART, CD4, antiretroviral therapy 1 Faculty of Medicine Mataram University, Pendidikan Street, 37, Mataram, Indonesia 2 Infection Disease Hospital Soelianti Saroso, Baru Sunter Permai Raya street Jakarta, Indonesia. Level CD4 menjadi bagian penting dalam manajemen HIV, mulai dari menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat inisiasi highly active antiretroviral therapy (HAART), menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang telah atau sedang terjadi, dan menentukan paduan HAART yang sesuai 1,2,3. Setelah inisiasi HAART perlu dimonitor efek samping obat dan kepatuhan minum obat setidaknya dalam 2 minggu-2 bulan pertama, 6 bulan setelah inisiasi HAART perlu dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load 1,4. Studi dinamika level CD4 di Indonesia masih 12

14 terbatas dan respon imun pada seting lokal perlu diketahui, perbedaan tiap seting penelitian terutama terkait dengan variasi heterogeneity virus, latar belakang farmakogenetik, dan konstitusi tubuh. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang mencari korelasi antara durasi HAART dan efek peningkatan level CD4. METODOLOGI Penelitian ini mengambil tempat di klinik care, support and treatment (CST) di Tomang Jakarta Barat yang berlangsung bulan Juni Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan mengambil subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1. Usia pasien 18 tahun pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, 3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah HAART, 4.Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5.Memiliki kepatuhan berobat. Durasi pemberian HAART dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) <12 bulan, 2) 12 23, 3) dan 4) 36. Definisi operasional Durasi pemberian HAART: selisih waktu antara inisiasi HAART dengan pemeriksaan level CD4 yang terakhir. Peningkatan level CD4: selisih positif antara pemeriksaan level CD4 terakhir dengan CD4 naïve Analisis statistik Data yang diolah adalah data peningkatan CD4 (data numerik) dalam pengelompokan durasi pemberian HAART.Perbedaan antar kelompok durasi dilakukan analisis multivariate dan uji post hoc menggunakan software SPSS 16. HASIL Sampai dengan bulan Juni 2011 terdapat 68 pasien yang memiliki kepatuhan berobat diatas 95%.Dari 68 pasien terdapat 18 pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak 50 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi karena tidak memiliki data CD4 setelah HAART dan peningkatan level CD4 tidak dapat dievaluasi. Karakteristik subyek penelitian Menurut jenis kelamin terdapat 3 perempuan dan 15 laki-laki dengan median usia 28 tahun (23-37). Sebanyak 9 pasien memiliki resiko penularan dari riwayat hubungan seks beresiko dan 9 pasien lainnya memiliki resiko penularan baik dari riwayat hubungan seks beresiko maupun penasun. Delapan belas pasien dikelompokkan berdasarkan durasi HAART yang telah dijalani menjadi empat kelompok: 1) kurang dari 12 bulan sebanyak 4 (22,2%) orang, 2) antara bulan sebanyak 3 (16,7%) orang, 3) antara bulan sebanyak 6 (33,3%) orang dan 4) lebih atau sama dengan 36 bulan sebanyak 5 (27,8%) orang dengan peningkatan CD4 yang dapat dilihat pada tabel 1. 13

15 Tabel 1. Distribusi kelompok pasien berdasarkan durasi HAART Kelomp. Durasi HAART Jumlah pasien Median peningkatan CD4 (minmax) 1 <12 bulan 4 122,5 (46-240) (13-187) ,5 (1-418) ( ) DISKUSI Respon imun CD4 paska HAART pada beberapa studi menunjukkan hasil yang bervariasi mulai dari peningkatan sel/mmk dalam kurun waktu 4 tahun paska HAART 5, peningkatan 50 sel/mmk setelah 120 hari 6 namun tidak mengaitkan dengan durasi pemberian HAART. Dalam studi ini dibandingkan dengan studi Kaufmann dkk (2003) 5 dan Erb dkk (2000) 7 menunjukkan persentase pasien yang mengalami peningkatan level CD4 yang lebih rendah (26,5% vs 39% dan 37,9%). Diduga factor usia pasien, respon imun yang buruk dan adanya interupsi saat HAART menjadi penyebab kegagalan naiknya CD4 1,3,5,7,8 Monitoring laboratorium menggunakan CD4 lebih dipilih terkait dengan biaya dan ketersediaan tempat pemeriksaan di Indonesia. Kriteria laboratorium yang dipergunakan dalam monitoring antara lain darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin serum, profil lipid dan lain-lain sesuai kondisi klinis pasien dan kemampuan sumber daya local. Pemeriksaan total lymphocyte count tidak mampu menggantikan pemeriksaan CD4 1,3,4. Dalam kurun waktu diatas 36 bulan, terjadi median peningkatan level CD4 sebanyak 361 sel/mmk, sedikit melampaui perkiraan peningkatan level CD4 sebanyak sel/mmk pertahun. Level CD4 merupakan penanda yang dipergunakan dalam manajemen HIV. Tanpa adanya HAART level CD4 akan menurun antara sel/ μl, pertahun 1,2,4,9 (tabel1). 14

16 Gambar 1. Distribusi nilai peningkatan CD4 pada kelompok durasi pemberian HAART Pada gambar 1 dan tabel 1, terlihat median peningkatan CD4 yang telah terlihat pada kelompok durasi pertama (122,5 sel/mmk) kemudian mengalami sedikit penurunan (114). Pada kelompok tiga terjadi peningkatan CD4 kembali, lebih tinggi dibanding kelompok pertama dan kedua (246,5 sel/mmk). Peningkatan CD4 yang terjadi antar kelompok durasi berbeda bermakna (p=0,033; ANOVA). Menggunakan LSD post hoc test pada kelompok 1 dan 2 tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) demikian juga kelompok 2 dan 3 (p>0,05) namun pada kelompok 3 dan 4 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020). Sehingga durasi HAART selama lebih atau sama dengan 36 bulan baru terjadi peningkatan CD4 yang bermakna secara statistik. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam melakukan monitoring dan evaluasi HAART. Jika diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai pemberian HAART memberikan respon peningkatan level CD4 dibandingkan dengan CD4 pre-haart (CD4 naïve) pada seting local akan memberikan manfaat baik itu dalam manajemen pasien yang baru terdiagnosa HIV maupun yang telah mengkonsumsi HAART dalam jangka waktu tertentu. Manfaat bagi pasien dan keluarganya diharapkan akan mendapatkan pembekalan awal pre-haart (konseling) yang lebih baik sehingga meningkatkan kepatuhan minum obat. Manfaat bagi konselor, klinisi dan manajer kasus adalah mengetahui durasi HAART sampai memberikan peningkatan CD4 dipopulasi yang dijangkaunya sehingga mempengaruhi perencanaan program, menambahkan materi edukasi, monitoring dan evaluasi efikasi terapi dan lebih lanjut lagi dapat menjadikan pertimbangan kapan dilakukannya uji resistensi HAART. Keterbatasan penelitian ini harus ditindak lanjuti dengan penelitian selanjutnya dengan subyek penelitian yang lebih banyak, metodologi yang lebih baik dan memiliki 15

17 interpretative operasional dilapangan untuk membantu manajemen HIV yang lebih baik. KESIMPULAN Hanya 18/68 (26,5%) pasien yang mengalami kenaikan level CD4. Peningkatan level CD4 dapat terlihat secara bermakna setelah 36 bulan terapi HAART. Ucapan terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada AIDS Research Center (ARC) Unika Atma Jaya dan Kios Informasi Kesehatan PPH Unika Atma Jaya Jakarta. DAFTAR PUSTAKA 1. Kemenkes RI Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta 2. Sabin CA, AN Phillips. Should HIV therapy be started at a CD4 cell count above 350 cells/μl in asymptomatic HIV-1-infected patients? [Special commentary]. Curr Opinion in Infectious Diseases: (2): WHO Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and adolescents: recommendations for a public health approach rev. Austria 4. Depkes RI Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, Edisi kedua. Jakarta 5. Kaufmann GR, L Perrin, G Pantaleo, M Opravil, H Furrer, A Telenti et al for the Swiss HIV Cohort Study Group. CD4 T- Lymphocyte Recovery in Individuals with Advanced HIV-1 Infection Receiving Potent Antiretroviral Therapy for 4 Years. Arch Intern Med. 2003;163: Binquet C, G Chêne, H Jacqmin-Gadda, V Journot, M Savès, D Lacoste, et al. Modeling Changes in CD4-positive T- Lymphocyte Counts after the Start of Highly Active Antiretroviral Therapy and the Relation with Risk of Opportunistic Infections. Am J Epidemiol 2001;153: Erb P, M Battegay, W Zimmerli, M Rickenbach, M Egger, for the Swiss HIV Cohort Study. Effect of Antiretroviral Therapy on Viral Load, CD4 Cell Count, and Progression to Acquired Immunodeficiency Syndrome in a Community Human Immunodeficiency Virus Infected Cohort Arch Intern Med. 2000;160: Wardoyo EH, Hartono TS, Yunita R. Highly active antiretroviral therapy (HAART) initiation to HIV patients with various CD4 levels. Poster Presentation in 6 th National Symposium Indonesian Antimicrobial Resistance Watch, July, Jakarta 9. Kelly M HIV Immunopathology. In: Hoy J and S Lewin (Editor) HIV Management in Australasia: a guide for clinical care. Australasian Society for HIV Medicine Inc. ASHM. 15

18 EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah Fakultas Kedokteran Universitas Mataram ABSTRACT Background : Post anesthesia complication scan be caused by various factors, shivering is quite frequently encountered complications during recovering time. Risks that may happen is increasing of metabolism and make post operative pain worst. This study proves petidine can be used as an alternative to prevent shivering after general anesthesia. Methods : This research includes phase II clinical trials, the sample selection by Quota Sampling of patients are being prepared for elective surgery with general anesthesia, aged years, ASA I-II, all patients who meet the criteria for inclusion in the sample until the required number met, willing to volunteer. Randomization was done at the end of the operation. Patients were divided into two groups, Pand S.Severity of shivering were recorded and assessed. Results : Characteristics of patients five minutes before induction did not significant differences. Measurement of systolic blood pressure and heart rate immediately after extubation showed significant differences. Duration of shivering in saline group occurredin almost the same when compared with the treatment group, because after the shivering, the patient is given immediate intervention of meperidine of 25mg for the treatment of shivering occurred, especially given to people who experience shivering with2 nd, 3 rd, or 4 th degree. For patients shivered first degree was given meperidine administration intervention. Duration of shivering in the control group took place in almost the same time. Conclusion : Pethidine had a good effectiveness in preventing the occurrence of shivering after general anesthesia. Keywords: Pethidine, shivering after general anesthesia. LATAR BELAKANG MASALAH Penyulit yang terjadi pasca anestesi dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor yaitu tindakan pembedahan, tindakan anestesi atau faktor penderita itu sendiri. Salah satu penyulit yang cukup sering dijumpai selama pemulihan yaitu menggigil. Angka kejadian menggigil selama pemulihan anestesi ini antara 5% hingga 65%. Menggigil menimbulkan keadaan yang tidak nyaman bagi pasien, selain itu menggigil juga menimbulkan risiko. Risiko utama yang terjadi pada pasien menggigil ialah peningkatan proses metabolisme (dapat mencapai 400%) dan memperberat nyeri pasca operasi. Aktivitas otot yang meningkat akan meningkatkan konsumsi oksigen dan peningkatan produksi karbondioksida. Hal ini akan dapat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik yang tidak optimal, pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun yang berat, atau pasien dengan gangguan kerja pada jantung. Asidosis laktat dan asidosis respiratorik dapat terjadi bila ventilasi dan kerja dari jantung tidak meningkat secara proporsional,karena itu menggigil harus segera dicegah atau diatasi. Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi menggigil pasca operasi antara lain dengan menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan pembedahan, 10,11 atau memberikan obatobatan. Penggunaan obat-obatan merupakan cara yang sering dilakukan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca operasi. Penghangatan secara aktif terhadap pasien 16

19 yaitu suatu cara yang dapat digunakan, meskipun hasilnya tidak selalu efektif karena menggigil pasca anestesi tidak selalu terjadi pada pusat pengaturan suhu, oleh karena core temperature tidak selalu rendah pada pasien yang mulai mengalami menggigil selama masa pemulihan dari tindakan anestesi. Meperidin dianjurkan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anestesi. Efek anti menggigil dari meperidine pada reseptor- dari reseptor opioid. Meperidin dosis kecil (10-25 mg) sering digunakan sebagai terapi menggigil pasca anestesi pada orang dewasa dan 0,2mg/kgBB 0,5 mg/kgbb untuk pasien anak-anak. Dosis yang dibutuhkan untuk pencegahan terhadap menggigil 0,5 mg/kgbb dapat menurunkan angka kejadian menggigil 32 % - 80%. Meperidin mempunyai efek samping spesifik yaitu sedasi, euforia, pruritus dan bias menyebabkan rasa mual dan muntah pasca operasi. Selain itu juga kejadian depresi pernafasan cukup tinggi. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk eksperimental murni uji klinis tahap II yang dilakukan secara acak tersamar ganda, dengan tujuan mengetahuiefektivitas petidin 25 mg intra vena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum. Cara pemilihan sampel dilakukan dengan cara Quota Sampling terhadap semua penderita yang dipersiapkan untuk operasi elektif dengan General Anestesi, usia tahun, ASA I-II, dimana semua penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam sampel sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi, bersedia menjadi sukarelawan. Total sampel adalah 48 orang dibagi menjadi 2 kelompok: - Kelompok I (kontrol) = 24 orang - Kelompok II (perlakuan) =24 orang. Semua penderita dipuasakan 6 jam sebelum operasi, dan kebutuhan cairan selama puasa dipenuhi sebelum operasi dengan menggunakan Ringer Laktat. Pada saat masuk ke kamar operasi, tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR), laju jantung (LJ) dan saturasi oksigen (SaO 2 ) diukur 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi.dan semua penderita akan diberikan premedikasi fentanil 1 g/kgbb intra vena 2 menit sebelum induksi. Induksi dilakukan dengan menggunakan propofol 2 mg/kgbb. Setelah refleks bulu mata hilang, diberikan atrakurium besilat 0,5 mg/kgbb, kemudian dilakukan intubasi endotrakheal. Rumatan anestesi dengan menggunakan sevoflurane 1 vol%, N 2 O 50% dan O 2 50% serta ketolorak 30 mg. Atrakurium intermiten diberikan dengan dosis 0,2 mg/kgbb. Randomisasi dilakukan pada akhir operasi.obat anestesi inhalasi dihentikan pada akhir operasi. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok P dan S. Kelompok P mendapatkan Petidin 25 mg intra vena dan kelompok S mendapatkan NaCl 0,9% intra vena yang diberikan setelah nafas spontan adekuat dan refleks laringeal kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO 2 dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO 2 diukur terus menerus setiap lima menit selama 30 menit. Pasca ekstubasi, penderita diberikan oksigen 17

20 6L/menit dengan menggunakan sungkup muka. Data-data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk tersebut meliputi data demografi dasar, status fisik, tekanan darah, laju jantung, tekanan arteri rerata, saturasi oksigen, suhu tubuh, skor menggigil, dan durasi menggigil. Data yang diperoleh dicatat dalam suatu lembar penelitian khusus yang telah disediakan satu lembar untuk setiap penderita dan dipisahkan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Data diolah, dianalisis dan dinyatakan dalam nilai rerata simpang baku (mean SD). Uji statistik disini untuk membandingkan 2 kelompok. Untuk data nominal meliputi variabel tingkat pendidikan, status ASA, jenis kelamin menggunakan uji Mann Whitney. Untuk data numerik yang meliputi variabel umur, tinggi badan, berat badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju jantung, laju nafas dengan menggunakan independent t-test dengan derajat kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel dan grafik. 18

21 Kerangka Kerja Penelitian Kriteria Inklusi POPULASI SAMPEL PENELITIAN Kriteria Eksklusi TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2 diukur 5 menit sebelum induksi Premedikasi : Fentanyl 1 g/kgbb intra vena 2 menit pre induksi Induksi : Propofoll 2 mg/kgbb Refleks bulu mata hilang Atrakurium besilat 0,5 mg/kgbb INTUBASI ENDOTRAKEA Rumatan anestesi : Sevoflurane 1 vol%; O2 50% : N2O 50%, Atrakurium intermiten 0,2 mg/kgbb Akhir operasi, nafas spontan adekuat, refleks laringeal (+) R A N D O M I S A S I KELOMPOK ( P ) Petidin 25 Mg iv KELOMPOK ( S ) NaCl 0,9% iv Ekstubasi 5 menit kemudian Ukur TDD, TDS, TAR, LJ, SaO2 segera pasca ekstubasi dan tiap 5 menit selama 30 menit Menggigil : berat ringannya menggigil, durasi menggigil UJI STATISTIK 19

22 HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian pada 48 orang penderita laki-laki dan perempuan yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S (kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl 0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara intravena dan kelompok P (perlakuan) 24 penderita mendapatkan injeksi petidin 25 mg secara intra vena yang diberikan setelah nafas spontan adekuat dan refleks laringeal kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO 2 dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO 2 diukur terus menerus setiap lima menit selama 30 menit. Pasca ekstubasi, penderita diberikan oksigen 6L/menit dengan menggunakan sungkup muka.berat ringannya menggigil dicatat, dan dinilai pula lamanya menggigil. Variabel Tabel 1.Karakteristik kedua kelompok perlakuan. Kelompok P Kelompok S ( n = 24 ) ( n = 24 ) p Umur (tahun) 27,92 ± 9,03 28,83 ± 8,14 0,242* Jenis kelamin Perempuan ,295** Laki-laki Berat badan (kg) 58,08 ± 5,66 59,75 ± 4,63 0,473* Tinggi badan (cm) 152,13 ± 8,36 154,13 ± 6,76 0,782* Status fisik ASA I ,385** ASA II Sumber : data Primer * = uji statistik menggunakan t-test ** = uji statistik menggunakan Mann Whitney Untuk karakteristik penderita dan distribusi antara kedua kelompok tidak berbeda Tabel 2.Jenis operasi dan lama operasi. Sumber : data Primer * = uji statistik menggunakan t-test ** = uji statistik menggunakan Mann Whitney Untuk karakteristik penderita dan distribusi antara kedua kelompok tidak berbeda. 20

23 Tabel 3. Data karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi. Variabel Kelompok P ( n = 24 ) Kelompok S ( n = 24 ) p TD Diastolik 73,13 ± 9,42 74,73 ± 9,23 0,569 TD Sistolik 122,92 ± 11,12 122,03 ± 9,90 0,457 T A R 79,38 ± 11,55 78,64 ± 8,41 0,387 Laju jantung 73,92 ± 6,89 75,48 ± 1,53 0,129 Saturasi O 2 98,58 ± 1,21 98,09 ± 1,27 0,642 Keterangan : TAR = tekanan arteri rerata. Sumber : data Primer uji statistik menggunakan t-test Untuk karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi antara kedua kelompok tidak berbeda. Atas dasar hasil uji statistik yang dilakukan pada data dasar subyek penelitian dan karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi pada kedua kelompok perlakuan dengan hasil menunjukkan perbedaan tidak bermakna, maka kedua kelompok dapat dikatakan homogen dan semuanya layak untuk diperbandingkan. Tabel 4.Perbandingan TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO 2 kedua kelompok perlakuan. Variabel Waktu Kelompok P Kelompok S p* TD Diastolik 5 pra induksi 75,13 ± 9,42 73,33 ± 8,93 0,936 0 pasca ekstubasi 75,42 ± 4,64 76,88 ± 5,48 0,455 5 pasca ekstubasi 72,29 ± 6,42 71,88 ± 5,28 0, pasca ekstubasi 71,25 ± 4,48 70,83 ± 4,58 0, pasca ekstubasi 71,04 ± 4,66 72,50 ± 4,66 0, pasca ekstubasi 70,42 ± 4,40 72,71 ± 4,42 0, pasca ekstubasi 73,13 ± 8,18 75,21 ± 5,61 0, pasca ekstubasi 75,00 ± 8,08 73,13± 4,85 0,371 TD Sistolik 5 pra induksi 122,92±11,12 123,33±10,90 0,896 0 pasca ekstubasi 124,58±8,33 132,92 ± 6,06 0,001 5 pasca ekstubasi 127,71±11,03 126,25 ± 9,58 0, pasca ekstubasi 127,08±12,85 123,75 ± 8,50 0, pasca ekstubasi 125,21±11,56 123,75 ± 9,00 0, pasca ekstubasi 124,79±9,61 123,54 ± 9,03 0, pasca ekstubasi 123,54±9,15 124,79 ± 9,03 0, pasca ekstubasi 125,00±9,78 126,04 ± 8,60 0,710 21

24 Variabel Tabel 4. Perbandingan TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO 2 kedua kelompok perlakuan(lanjutan) Waktu Kelompok P Kelompok S p* T A R 5 pra induksi 79,38 ± 11,55 76,46 ± 9,15 0,303 0 pasca ekstubasi 83,96 ± 11,79 88,13 ± 4,62 0,109 5 pasca ekstubasi 83,96 ± 9,67 86,04 ± 11,89 0, pasca ekstubasi 85,21 ± 12,81 86,04 ± 11,70 0, pasca ekstubasi 84,79 ± 12,20 85,63 ± 10,14 0, pasca ekstubasi 80,42 ± 6,90 78,33 ± 6,37 0, pasca ekstubasi 79,38 ± 8,12 78,54 ± 6,51 0, pasca ekstubasi 84,17 ± 11,77 81,25 ± 5,76 0,253 Laju jantung 5 pra induksi 73,92 ± 6,89 76,58 ± 6,45 0,322 0 pasca ekstubasi 78,21 ± 5,39 88,25 ± 11,45 0,002 5 pasca ekstubasi 80,67 ± 7,19 78,42 ± 8,54 0, pasca ekstubasi 79,63 ± 7,28 81,71 ± 10,17 0, pasca ekstubasi 80,96 ± 7,99 81,38 ± 8,38 0, pasca ekstubasi 80,25 ± 7,74 77,63 ± 9,72 0, pasca ekstubasi 79,71 ± 7,11 80,04 ± 11,13 0, pasca ekstubasi 79,08 ± 8,02 79,33 ± 9,38 0,927 Saturasi O 2 5 pra induksi 98,58 ± 1,21 98,79 ± 1,02 0,513 0 pasca ekstubasi 98,46 ± 0,98 98,58 ± 1,06 0,678 5 pasca ekstubasi 98,33 ± 1,01 98,13 ± 0,95 0, pasca ekstubasi 98,58 ± 1,21 98,67 ± 1,05 0, pasca ekstubasi 98,58 ± 1,21 98,21 ± 0,83 0, pasca ekstubasi 98,21 ± 0,83 98,58 ± 1,21 0, pasca ekstubasi 98,67 ± 1,05 98,21 ± 0,83 0, pasca ekstubasi 98,58 ± 1,21 98,21 ± 0,83 0,217 Keterangan : TAR = tekanan arteri rerata. Sumber : data Primer uji statistik menggunakan t-test Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa pada terdapat perbedaan bermakna tekanan darah diastolik, tekanan darah sistolik, tekanan arteri rerata dan laju jantung pada saat setelah ekstubasi antara kelompok petidin dengan kelompok salin (p < 0,05). Tabel 5. Perbedaan suhu tubuh ketiga kelompok perlakuan Suhu tubuh Kelompok P ( n = 24 ) Kelompok S ( n = 24 ) p Segera setelah intubasi 36,88 ± 0,89 36,73 ± 0,84 0,471 Akhir operasi 35,56 ± 0,44 34,70 ± 0,80 0, menit pasca ekstubasi 36,17 ± 0,42 35,08 ± 0,41 0,408 22

25 Dari Tabel 5 diatas tidak didapatkan perbedaan suhu tubuh yang bermakna pada kelompok ketamin dibandingkan dengan kelompok salin pada akhir operasi dan 15 menit pasca ekstubasi (p > 0,05). Tabel 6.Kejadian, derajat dan durasi menggigil ketiga kelompok perlakuan. Variabel Kelompok P ( n = 24 ) Kelompok S ( n = 24 ) p Kejadian menggigil ,007 Derajat menggigil , Durasi menggigil 91,00 ± 10,15 95,00 ± 3,69 0,296 Dari Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa kejadian menggigil dan derajat menggigil pada kelompok petidinn dan kelompok salin menunjukkan hasil berbeda yang bermakna (p < 0,05). Untuk durasi menggigil menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna untuk kedua kelompok perlakuan (p > 0,05). Tabel 7.Efek samping pemberian obat pada ketiga kelompok perlakuan. Efek Samping Kelompok M (n = 24) Kelompok S (n =24) p Pruritus 0 0 Mual 5 0 0,006 Depresi nafas dan sedasi 2 0 0,002 Dari Tabel 7 diatas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada efek samping obat yang timbul pada kelompok Petidin dibandingkan pada kelompok salin (p < 0,05). PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 48 orang penderita laki-laki dan perempuan yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S (kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl 0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara intravena dan kelompok P (perlakuan) 24 penderita mendapatkan petidin 25 mg secara intra vena yang diberikan setelah nafas spontan adekuat dan refleks laringeal kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO 2 dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD, 23

26 TAR, LJ dan SaO 2 diukur terus menerus setiap lima menit selama 30 menit. Pasca ekstubasi, penderita diberikan oksigen 6L/menit dengan menggunakan sungkup muka.berat ringannya menggigil dicatat, dan dinilai pula lamanya menggigil. Dari data karakteristik penderita yang meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, jenis operasi, lama operasi dan status fisik penderita serta karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok perlakuan. Dengan demikian dapat dikatakan homogen dan layak untuk diperbandingkan. Hasil pengukuran tekanan darah sistolik dan laju jantung segera setelah ekstubasi menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok petidin dengan kelompok salin.pada penelitian ini, durasi menggigil pada kelompok salin terjadi dalam waktu hampir sama jika dibandingkan dengan kelompok petidin. Hal ini dikarenakan setelah terjadi menggigil, pada penderita langsung diberikan intervensi berupa pemberian meperidin dosis 25 mg untuk terapi menggigil yang terjadi, terutama diberikan pada penderita yang mengalami menggigil dengan derajat 2, 3 atau 4. Untuk penderita menggigil derajat 1 tidak diberikan intervensi pemberian meperidin. Oleh sebab itu durasi menggigil pada kelompok kontrol berlangsung dalam waktu hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian petidin cukup efektif dalam mengurangi kejadian menggigil pasca anestesi umum, selain untuk mengurangi terjadinya nyeri pasca pembedahan MEPERIDIN SALIN Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4 Grafik 1. Perbandingan kejadian dan derajat menggigil dari kedua kelompok perlakukan Pada penelitian ini menunjukkan efek samping obat yang timbul akibat pemberian meperidin lebih tinggi dibandingkan pemberian salin.tidak ditemukan efek 24

27 samping pruritus di kedua kelompok perlakuan.pada kelompok meperidin, terdapat 5 pasien mengalami kejadian mual dan 2 orang pasien yang mengalami kejadian depresi nafas.hal ini menunjukkan berbeda bermakna jika dibandingkan kelompok salin (Grafik 2) MEPERIDIN SALIN Pruritus Mual Depresi nafas Grafik 2. Efek samping obat pada kedua kelompok perlakuan KESIMPULAN 1. Petidin mempunyai efektifitas yang baik dalam mencegah terjadinya menggigil pasca anestesi umum. 2. Petidin mempunyai efek samping obat yaitu depresi nafas, mual yang lebih tinggi jika dibandingkan salin. DAFTAR PUSTAKA 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Post anesthesia care. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology. 4 th ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition, 2006 : Tsai YC, Chu KS. Anesthetic shivering in parturients. Anesth Analg 2001 ; 93: Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M, Fritz HG. Treatment of postanesthetic shivering. Anesth Analg 2001 ; 95: Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner SW, Schmidt CC, Reich DGP. Preventing postanesthetic shivering. Anesth Analg 2000 ; 90: Bigatella L. The post anesthesia care unit. In : Davidson JK, Eckhart WT, Perese DA, eds. Cinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital, 4 th ed. Boston : Little Broun and Co, 1993 : Horn EP. Physostigmin prevents post anesthetic shivering as does meperidine or clonidine. Anesthesiology, 1998 ; 88 : Wang JJ, Ho ST, Lu SC, Liu YC. Treating postanesthetic shivering. Anesth Analg 1999 ; 88: Behringer EC. Postanesthesia care. In : Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to anesthesia. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1997 : De Witte J., Sessler. D. Perioperative shivering: Physiology and Pharmacology. American Society of Anesthesiologists 2002; 96 : Rosa G, Pinto G, Orsi P. Control of post anesthetic shivering. Acta 25

28 Anaesthesiologica Scandinavia 1995 ; 39 (1): Chan AMH, Ng KFJ, Tong EWN, Jan GSK. Control of shivering under general anesthesia. Can J Anesth 1999; 46: Mathews S., Varghese PK,. Postanesthetic shivering. Anaesthesia 2000 ; 57 : Bhatnagar S., Kannan TR., Panigrahi M. Pethidine for Post operative shivering. Anaesthesia and Intensive Care 2002 ; 32 : Thaib MR, Harjanto E, George YWH. Comparative study of the effectiveness of pethidine for prevention of post anesthtetic shivering in general anesthesia. Asean Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3 : Mathews S., Al Mulia A., Varghese PK, Radim K, Mumtaz S. Pethidine for Postanesthetic shivering. Anaesthesia 2002;65 : Kramer TH. Opioids in anesthesia practice. In : Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to anesthesia. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1997 : Stoelting RK. Opioid agonist and antagonist. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3 rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : Kranke. P, Eberhart. H.L. Pharmacological treatment of perioperative shivering. Anesth. Analg. 2002; 94: Candido KD, Collins VJ. Antagonist to narcortics. In : Collins VJ (ed). Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore : William & Wilkins, 1996 : Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic receptor antagonists. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3 rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : Akinci. B, Basgul. E, Aypar. U. Pharmacological modulation of shivering.br. J. Anaesth. 1997: Miller.R.D. Anesthesia. 6 th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone, Harun SR, Putra ST, Wiharta AS, Chair I. Uji klinis. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : Madiyono B, Moeslicjan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : Sastroasmoro S. Pemilihan subyek penelitian. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung Seto, 2002 :

29 HEMATOLOGIC EXAMINATION IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENT ADDMITTED IN GENERAL HOSPITAL WEST NUSA TENGGARA BARAT PROVINCE IN Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri Faculty of Medicine, Mataram University ABSTRACT Backgrounds : Indonesia has position in the third rank over the world after India and Cina for Tb cases. Tuberculosis has many changes in hematological examination, which can affect both in plasma component and cell component. This hematological changes could be an valuable direction to diagnose, detection complication and giving specific therapy. Aim: to get description about result of hematological examination in pulmonary tuberculosis who admitted in General Hospital West Nusa Tenggara Barat Province in Methods : This study was descriptive retrospective study with cross sectional approach. This study conduct in January until march The data collected from hematological laboratory examination in patient s medical record Result : There were 61 sampel collected in this study. Anemia found in 78.2 % patient with micrositic hipocromi anemia as a dominant (81,48%). Leucosytosis found in 49,2 % patient with differentiation count monocytosis 54,1 % and limfopenia 13,1%. Normal platelet count found in 72,1 % and thrombocytosis found in 24,6 % patients. Conclusion : Microcytic anemia was the most anemia in this study (81,48%). Leukocytosis found in 49,2 % patient and thrombocytosis found in 24,6 %. Key words: Hematology examination, Pulmonary Tb, Micrositic hipocromic anemia ABSTRAK Latar Belakang: Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Tuberculosis dapat menyebabkan berbagai perubahan pada pemeriksaan hematologi, perubahan ini melibatkan komponen plasma dan komponen sel. Perubahan hematologi ini dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya komplikasi dan petunjuk untuk memberikan terapi spesifik Tujuan :untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan hematologi pada pasien tuberculosis paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun 2011 sampai dengan Metode :merupakan penellitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan selama periode januari sampai dengan maret 2013 dengan mengambil sampel hasil pemeriksaan hematologi pasien Tb paru yang diperoleh dari rekam medis. Hasil :Didapatkan 61 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan hasil 78.2 % penderita Tb paru mengalami anemia dan berdasarkan morfologinya anemia yang terbanyak diderita ialah Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil penelitian juga didapatkan leukositosis sebanyak 49,2 %, monositosis sebanyak 54,1 % dan pasien yang mengalami limfopenia sebanyak 13.1%. Pada penghitungan trombosit didapatkan kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan trombositosis pada 24.6 % pasien Kesimpulan :anemia mikrositik hipokrom merupakan jenis anemia yang terbanyak dijumpai (81,48%), leukositosis didapatkan pada49,2 % pasien serta trombositosis didapatkan pada 24,6 % pasien Kata Kunci :Pemeriksaan Hematologi, Tb Paru, Anemia Mikrositik Hipokromik LATAR BELAKANG Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih menyebabkan angka kesakitan serta kematian yang tinggi di dunia. Menurut data dari WHO tahun 2004 terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis pada tahun 002 dimna 2,9 juta ialah kasus Basil Tahan Asam (BTA) positif. Diperkirakan angka kematian akibat TB ialah 8000 setiap hari dan 2 sampai denga 3 juta kematian setiap tahunnya 1,2,3,4. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan jumlah terbesar TB terdapat di Asia Tenggara yaitu orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per penduduk. Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.Setiap tahun terdapat kasus baru TB dan sekitar kematian akibat TB. Di Indonesia Tuberculosis adalah pembunuh nomer satu 27

30 diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomer tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia 1,2,3,4. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex yang merupakan basil berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini memiliki struktur dinding sel yang kompleks sehingga bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alcohol 1,2,3,4. Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya.pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan pada pasien TB ialah pemeriksaan hematologi rutin. Tuberculosis dapat menyebabkan berbagai perubahan pada pemeriksaan hematologi,perubahan ini melibatkan komponen plasma dan komponen sel.perubahan hematologi ini dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya komplikasi dan petunjuk untuk memberikan terapi spesifik, serta dapat mengingatkkan klinisi terhadap toksisitas obat serta komplikasi dari pengobatan TB 5,6. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan hematologipada pasien Tb paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun 2011 sampai dengan tahun TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex.sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetpi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.mycobacterium tuberculosisbersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alcohol. Sifat ini terjadi karena Mycobacterium tuberculosismemiliki dinding sel yang kompleks yang terutama tersusun atas asam mikolat 1,2,5. EPIDEMIOLOGI Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98 % kematian akibat TB di dunia, terjadi pada Negara-negara berkembang,.sekitar 75 % pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomin ( tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai dengan 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar % 1,2,3,4. 28

31 Di Indonesia, TB merupakan masalah kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada kasus baru dan kematian orang.insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per penduduk 1,2,3,4. (Sumber : PDPI, 2002). MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis tuberculosis dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu gejala local dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala local ialah gejala respiratorik (gejala local sesuai dengan organ yang terlibat).gejala respiratorik ini sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak memiliki gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk mmbuang dahak.gejala local respiartorik berupa batuk lebih dari 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat serta badan menurun 1,2,3. DIAGNOSIS Diagnosis tuberculosis paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan pemeriksaan penunjang lain. a. Gejala klinis : Gejala klinis meliputi gejala local respiratorik dan gejala sistemik.gejala local terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu, berdahak, sesak nafas, nyeri dada serta batuk darah. Untuk gejala sistemik meliputi demam, keringat malam, malaise, penurunan berat badan 1,2,3. b. Pemeriksaan fisik : Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura 29

32 didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan dan suara nafas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya scofuloderma 1,2,3. c. Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan dalam meneggakkan diagnosis.specimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung, bronchovascular lavage, urin dan jaringan biopsy.pemeriksaan daha dilakukan sebanyak 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu).bahan pemeriksaan/specimen yang berbentuk cairan dikumpulkan atau ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 mm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah atau bocor.apabila tersedia fasilitas, specimen dapat dibuat sediaan pada apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan.pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Zielhl Nielhsen atau Kinyoun Gabbet, interprestasi pembacaan didasarkan atas skala IUALTD atau bronkhorst.diagnosis TB ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasl pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 specimen dahak ditemukan BTA (+) 1,2,3. d. Foto Thoraks : Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto thoraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakuakan foto thoraks bila : curiga adanya komplikasi, hemoptysis berulang dan didapatkan hanya satu specimen BTA. Pemeriksaan radiologi yang menjadi standar ialah foto thorax PA, pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan atas indikasi yaitu foto lateral, olik dan CT scan. Pada pemeriksaan foto thoraks, tuberculosis dapat memberikan gambaran bermacam-macam (multiform) 1,2,3. Gambaran Radiologis yang dicurigai sebagailesi TBAktif : 1. Bayangan berawan/ nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. 2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular 3. Bayangan bercak millier. 4. Effusi pleura 1,2,3. 5. Gambaran Radiologis yang dicurigai TB inaktif: 6. Fibrotik terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah. 7. Kalsifikasi 8. Penebalan pleura atau Schawrte 1,2,3. e. Pemeriksaan Khusus : Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberculosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberculosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa tekhnik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberculosis secara lebih cepat.pemeriksaan tersebut antara lain : 1. Pemeriksaan Bactec 2. Polymerase chain reaction (PCR) 3. Pemeriksaan serologi : 30

33 a. Enzym linked Immunosorbent assay (ELISA) b. Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT Tuberculosis) c. Mycodot d. Uji peroksidase anti peroksidase 4. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberculosis ialah : a. Analisis Cairan Pleura b. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan c. Pemeriksaan Laju endap darah d. Uji Tuberkulin 1,2,3. PERUBAHAN HEMATOLOGI PASIEN TB Darah adalah salah satu cairan tubuh yang beredar dalam system pembuluh darah yang tertutup yang tersusun atas plasma dan sel. Volume darah umumnya 6 8 % dari berat badan, dipengaruhioleh factor umur, status kesehatan, makanan, ukuran tubuh, laktasi, derajat aktivitas dan lingkungan 5,6,7,8. Tuberkulosis dapat menimbulkan kelainan hematologi, baik sel-sel hematopesis maupun komponen plasma.kelainankelainan tersebut sangat bervariasi dan kompleks.bermacam-macam kelainan hematologi yang dapat terjadi pada tuberculosis adalah : 1. Kelainan Eritrosit 1.1 Menurun (anemi), disebabkan karena: a. Anemi penyakit kronis b. Defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia atau peningkatan pemakaian folat c. Defisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum d. Anemia hemolysis autoimun e. Anemia sideroblastik sekunder karena gangguan metabolisme B6 f. Fibrosis sumsum tulang g. Aplasia sumsum tulang h. hipersplenisme 1.2 Meningkat (polisitemi), disebabkan karena : a. Tuberculosis ginjal menyebabkan peningkatan eritropoentin 2. Kelainan Granulosit 2.1 Menurun disebabkan karena : a. Defisiensi folat sekunder karena anoreksi atau peningkatan kebutuhan folat b. Fibrosis sumsum tulang c. Aplasia sumsum tulang d. Infiltrasi amyloid pada sumsum tulang e. Infeksi kronik f. hipersplenisme 2.2 Meningkat disebabkan karena : a. Respon inflamasi 3. Kelainan Trombosit 3.1 Menurun disebabkan karena : a. Mekanisme immunologis b. Koagulasi intravaskuler diseminata c. Fibrosis sumsum tulang d. Aplasia sumsum tulang e. hipersplenisme 3.2 Meningkat disebabkan karena : a. Reaksi fase akut 4. Kelainan Limfosit 4.1 Menurun disebabkan karena : a. Infeksi tuberkulosis 4.2 Meningkat disebabkan karena : a. Respon inflamasi. 5,6,7,8 31

34 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian : Penelitian ini merupakan suatu studi observasional dengan rancangan deskriptif retrospektif. Pengambilan data dilakukan hanya satu kali sehingga menggunakan pendekatan cross sectional. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di RSUP Mataram dengan rentang waktu penelitian 3 bulan yaitu antara periode bulan januari sampai dengan maret2013. Populasi : Populasi penelitian ini dibatasi oleh tempat dan waktu (populasi terjangkau) yaitu semua pasien tuberculosis paru yang menjalani rawat inap di RSUP mataram periode januari 2011 sampai dengan desember Sampel Penelitian : Sampel pada penelitian ini ialah hasil pemeriksaan hematologi rutin pasien tuberculosis paru yang menjalani rawat inap di RSUP Mataram periode januari 2011 sampai dengan desember 2012 yang diperoleh dari rekam medis pasien. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah : 1. Pasien TB Paru yang terdiagnosis menderita TB melalui pemeriksaan sputum BTA SPS dan bila hasil pemeriksaan sputum BTA SPS negative dapat ditegakkan melalui pemeriksaan Rontgen Thoraks positif menunjukkan gambaran TB aktif 2. Pasien TB paru yang menjalani rawat inap di RSUP Mataram selama bulan januari 2011 sampai dengan bulan desember Pasien TB paru yang memiliki hasil pemeriksaan hematologi rutin : a. Kadar Hemoglobin (HB) b. Jumlah Leukosit Total c. Jumlah Platelet d. Kadar Hematocrit e. Jumlah Eritrosit f. MCV g. MCH h. MCHC i. Jumlah Limfosit j. Jumlah Monosit k. Jumlah Granulosit Kriteria Eksklusi Kriteria Eksklusi pada penelitian ini ialah : 1. Pasien yang mengalami TB ekstrapulmoner 2. Pasien TB anak (Usia dibawah 13 Tahun) 3. TB pada wanita hamil 4. TB pada pasien HIV/AIDS 5. Tidak memiliki hasil pemeriksaan hematologi rutin Cara Pengumpulan sampel dan Pengolahan Data : Data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan hematologi rutin pasien TB yang diperoleh dari rekam medis pasien. Data yang dikumpulkan diolah secara deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi dan persentase. Definisi Operasional 1. Kadar Normal Hemoglobin ialah 13 sampai dengan 18 gr/dl bagi pria dan gr/dl bagi wanita. Untuk keperluan penelitian lapangan maka WHO menetapkan nilai batas atau cut off point anemia adalah kurang dari 13 g/dl untuk laki-laki dewasa, kurang dari 12 g/dl untuk 32

35 wanita dewasa tidak hamil dan kurang dari 11 g/dl untuk wanita hamil 5,9, Kadar normal MCV adalah 80 sampai dengan 100 fl, bila kurang dari 80 fl menunjukkan mikrositik dan bila lebih dari 100 fl menunjukkan makrositik 5,9. 3. Kadar normal MCH ialah 28 sampai 34 Pg, bila kurang dari 28 menunjukkan hipokromik dan bila lebih dari 34 pg menunjukkan hiperkromik 5,9. 4. Kadar normal MCHC adalah 32 sampai dengan 36 % 5,9. 5. Kadar normal leukosit adalah 3200 sampai dengan sel/mm 3. Bila kurang dari 3200 sel/mm 3 disebut dengan leukopenia dan bila lebih dari sel/mm 3 disebut dengan leukositosis 5,9. 6. Kadar normal limfosit ialah 800 sampai dengan 4000 sel/mm 3. Bila kurang dari 800 sel/mm 3 disebut dengan limfositopenia dan bila lebih dari 4000 sel/mm 3 disebut dengan limfositosis 5,9. 7. Kadar normal monosit ialah 100 sampai dengan 800 sel/mm 3. Bila kurang dari 100 sel/mm 3 disebut dengan monositopenia dan bila lebih dari 800 sel/mm 3 disebut dengan monositosis 5,9. 8. Kadar normal trombosit ialah sampai dengan sel/mm 3. Bila kurang dari sel/mm 3 disebut dengan trombositopenia dan bila lebih dari sel/mm 3 disebut dengan trombositosis 5,9. HASIL PENELITIAN Didapatkan 61 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dari 105 penderita TB paru yang menjalani rawat iniap di RSUP NTP Periode 2011 sampai dengan Dari sampel tersebut didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hemoglobin KETERANGAN RATA-RATA (MEAN) NILAI TERTINGGI NILAI TERENDAH Hemoglobin (Hb) gr/dl gr/dl 3.50 gr/dl MCV fl fl fl MCH pg pg pg MCHC % % % 33

36 KETERANGAN Tabel 2. Jenis Anemia JUMLAH SAMPEL (ORANG) STATUS ANEMIA : PERSENTASE (%) Tidak Anemia Anemia Total Sampel % JENIS ANEMIA : Normositik Normokromik Mikrositik Hipokromik Makrositik Hipokromik 0 0 Total Sampel Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Leukosit KETERANGAN JUMLAH SAMPEL PERSENTASE (%) HITUNG JUMLAH LEUKOSIT : Leukosit Normal 30 49,2 Leukopenia 1 0 Leukositosis Rerata (mean) sel/mm 3 Jumlah leukosit Tertinggi sel/mm 3 Jumlah Leukosit Terendah 1080 sel/mm 3 HITUNG JENIS LEUKOSIT Hitung Jenis Limfosit Limfosit Normal Limfositosis Limfopenia Rerata (Mean) 2489 sel/mm 3 Nilai Terendah 330 sel/mm 3 Nilai Tertinggi sel/mm 3 Hitung Jenis Monosit Monosit Normal Monositosis Monositopenia Rerata 1276 sel/mm 3 Nilai Terendah 38 sel/mm 3 Nilai Tertinggi 9400 sel/mm 3 34

37 TABEL. 4. Hasil Pemeriksaan Trombosit KETERANGAN JUMLAH SAMPEL (orang) PERSENTASE (%) HITUNG JUMLAH TROMBOSIT Trombosit Normal % Trombositopenia Trombositosis Total Sampel Rerata (mean) sel/mm 3 Kadar Trombosit Tertinggi sel/mm 3 Kadar Trombosit Terendah sel/mm 3 PEMBAHASAN Penyakit tuberculosis (TB) memiliki pengaruh yang besar pada hasil pemeriksaan hematologi. Pada penelitian ini perubahana aspek hematologi yang diteliti dibatasi pada kadar hemoglobin (Hb) dan jenis anemia yang ditimbulkan, leukosit termasuk didalamnya hitung jenis leukosit serta trombosit. Prevalensi anemia pada penelitian ini cukup yaitu 78,7 % hal serupa juga dijumpai pada penelitian-penelitian lainnya. Hal yang berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya ialah jenis anemia terbanyak yang dijumpai yaitu mikrositik hipokromik (81,48%) diikuti anemia normositik normokromik (19,52%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Oehadian (2003), Rahman (2010) dan Krishnamurti didapatkan bahwa jenis anemia terbanyak yang dijumpai pada pasien tuberculosis ialah anemia karena penyakit kronis dengan gambaran normositik normokromik hal ini disebabkan karena deprsei eritropoesis dan menurunnya sensitifitas terhadap eritropoetin, depresi produksi eritropetin, pemendekan masa hidup eritrosit serta gangguan metabolism besi. Gambaran mikrositik hipokromik merupakan gambaran yang dijumpai bagi anemia defisiensi besi, thalassemia mayor, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik.namun gambaran mikrositik hipokromik ini paling umum dijumpai pada anemia defisiensi besi.pada penderita Tb terjadi gangguan metabolisme besi yang disebabkan karena adanya pengikatan zat besi oleh laktoferin yang dihasilkan oleh granulosit akibat inflamasi sehingga kemudian terjadi sekuestrasi zat besi di Limpa. Hasil pemeriksaan leukosit yang didapatkan pada penelitian ini sama dengan yang didapatkan pada penelitian sebelumnya yaitu dapat terjadi leukositosis. Pada penelitian ini didapatkan penderita TB yang mengalami leukositosis ialah 49.2%. Terjadinya leuositosis terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah neutrofil (neutrofillia). Neutrofillia ini pada umumnya berhubungan dengan reeaksi immunologis dengan mediator sel limfosit T, dimana kejadian ini dapat terjadi akibat penyebaran local akut dari infeksi TB pada meningitis TB atau dapat terjadi karena pecahnya focus perkejuan pada bronkus atau rongga pleura. 35

38 Pada penelitian ini didapatkan monositosis sebanyak 54.1%.dari penelitian terdahulu telah diketahui bahwa Tb merupakan penyebab utama dari monositosis.monosit memiliki peranan dalam respon imun terhadap Mycobacterium tuberculosis.sebagian dari fosfolipid Mycobacterium tuberculosis mengalami degradasi dalam monosit dan makrofag yang menyebabkan transformasi sel-sel tersebut menjadi sel epiteloid.monosit merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel.aktivitas pembentukan tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis dalam darah. Trombositosis dijumpai sebanyak 25.6 % pada penelitian ini. Trombositosis merupakan respon terhadap inflamasidimana respon inflamasi ini menyebabkan produksi platelet stimulating factor yang berperan dalam menstimulasi pengeluaran tombosit dari sumsum tulang menuju peredaran darah. Selain itu trombositosis dapat merupakan respon dari terjadinya perdarahan akut, dimana pada pasien Tb perdarahan yang sering terjadi ialah Hemoptysis.Penambahan jumlah trombosit pada peredaran darah pada pasien hemoptysis merupakan suatu respon untuk menghentikan perdarahan. KESIMPULAN Pada penelitian didapatkan 78.2 % (48 sampel) penderita Tb paru mengalami anemia, dan berdasarkan morfologinya anemia yang terbanyak diderita ialah Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil penelitian juga didapatkan leukositosis sebanyak 49,2 % dengan hitung jenis leukosit didapatkan peningkatan monosit (monositosis) sebanyak 54,1 % dan jumlah limfosit normal sebanyak 78.7 % dan yang mengalami limfopenia sebanyak 13.1%. Pada penghitungan trombosit didapatkan kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan trombositosis pada 24.6 % pasien DAFTAR PUSTAKA 1. Hasan H. Tuberkulosis Paru. Dalam : Alsagaff H, Wibisono M. J, dan Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Gramik FK UNAIR; Anonim. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Dikutip tanggal 5 Januari Diunduh dari : df 3. Tuberkulosis dan Permasalahannya. Dalam : Aditama T. Y, Kamso S, Basri C, Surya A, editor. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Epidemiologi TB di Indonesia. Dalam : Dyah Erti Mustikawati, Asik Surya, editor. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Oehadian A. Aspek Hematologi Tuberkulosis Pustaka UNPAD. Dikutip tanggal 5 Januari Diunduh dari : 3/. 6. Sahju, P. Rahman. Hematology Profile in Pulmonary Tuberculosis Dikutip tanggal 5 Jaunari Diunduh dari : 7. Sinha, K.N.P, Krishnamurti, J.C. Chatterji. Disseminated Tuberculosis and Abnormal Haemopoeitic Responses. India Jurnal of Tuberculosis. Dikutip tanggal 5 Januari Diunduh dari : uly% pdf#page=7 8. Muhammad Obaid Al muhammadi, Hayder Gali Al-Shammery. Studying Some Haemotological Changes in Patients with Pulmonary Tuberculosis in 36

39 Babylon Governorate Dikutip tanggal 5 Januari Diunduh dari : 9. Anonim. Pedoman Interprestasi Data Klinik. Departemen Kesehatan Repubik Indonesia. Dikutip tanggal 5 januari Diunduh dari : Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata B. K, dan Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke- 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

40 Tinjauan Pustaka KAJIAN KOMPREHENSIP TENTANG BENDA ASING DALAM HIDUNG Hamsu Kadriyan Bagian THT FK Unram/RSUP NTB Abstrak Latar belakang.benda asing dalam hidung merupakan kasus yang dapat ditangani oleh dokter umum sampai tuntas berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia. Angka kejadiannya cukup sering dan terutama mengenai anak usia 2-5 tahun. Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran komprehensip tentang benda asing di dalam hidung sehingga dapat menjadi rujukan dalam penatalaksanaan kasus-kasus benda asing di dalam hidung. Benda asing dihidung dapat berupa benda eksogen maupun benda endogen.benda eksogen dapat berupa benda organik seperti kacang-kacangan, bunga, lintah dan lain-lain, sedangkan benda anorganik seperti batu, manik-manik, potongan mainan dan lain-lain. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, krusta, cairan amnion dan lain lain. Dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan jenis dan lokasi benda asing, kalau perlu dapat dilakukan pemeriksaan tambahan dengan endoskopi atau pemeriksaan radiologis untuk memastikannya.penatalaksanaan benda asing dalam hidung sangat tergantung pada jenis benda asingnya, ketersediaan peralatan dan keterampilan serta kenyamanan dokter untuk mengurangi resiko komplikasi. Simpulan.Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis.kasus benda asing merupakan kasus sederhana tetapi diperlukan keterampilan untuk mengeluarkannya dengan resiko komplikasi yang minimal. Kata kunci : Benda asing, kavum nasi, dokter Astract Background.Foriegn bodies in nasal cavity is a freuquent case, especially in children (2-5 years). According to standard competency of Indonesian docter s, a general practicioners should managing this cases completely. Aims of this review is to give comprehensive review about foreign bodies in nasal cavity, so it can be used as a refference. Foreign bodies in nasal cavity can be originated form endogen material as well as exogen material. Exogen material consist of organic material such as nuts, flower, leech, etc, on the other hand, anorganic material such as stone, pearl, part of toys, etc. Endogen material such as viscous mucous, crust, amnion liquid, etc. To diagnosed this case, it s necessary to take a history and perform the accurate phisical examination to determine the type and the location of foriegn bodies. In some cases, additional examination such as endoscopic and x-ray investigation are needed. In managing foriegn bodies in nasal cavities, it defend on type of foreign bodies, the equipment, skill and amenity of physician to minimized the complication. Conclusion.Foreigne bodies in nasal cavity is a simple but a skillfull cases, so physician should take care to this cases to minimized the complication. Key words : Foreign bodies, nasal cavity, physician Pendahuluan Benda asing jalan nafas merupakan masalah klinis yang memiliki tantangan tersendiri, meskipun beberapa tahun terakhir terjadi kemajuan dalam teknik anestesi dan instrumentasi.ekstraksi benda asing jalan nafas, khususnya dalam hidung bukanlah prosedur yang mudah sehingga tetap memerlukan keterampilan serta pengalaman dokter yang melakukan tindakan tersebut. Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia tahun 2006, kasus benda asing di hidung merupakan kompetensi dokter umum sampai level 4 (dokter mampu melakukan penegakan diagnosis dan mampu melakukan penatalaksanan sampai tuntas). 1 38

41 Angka kejadian benda asing dalam hidung cukup sering ditemukan di poliklinik atau praktek swasta. Endican S dkk (2006) 2 menemukan benda asing dalam hidung merupakan kasus terbanyak kedua dengan persentase 24,9% setelah benda asing di telinga sebesar 68,6% dari total 1037 kasus benda asing di saluran nafas. Das pada tahun 1984 menemukan 0,3 % kasus benda asing di hidung dibandingkan seluruh kunjungan di salah satu rumah sakit di India. Kasus paling banyak ditemukan pada usia 2-5 tahun. 3 Benda asing yang masuk ke dalam hidung cukup bervariasi, baik endogen maupun eksogen, dapat berupa benda hidup maupun benda mati.masing-masing memiliki ciri khas dan tindakan yang dilakukan juga sangat tergantung dari jenis benda asing tersebut. Setiap benda asing yang masuk ke dalam hidung tidak boleh dibiarkan menetap karena dapat menimbulkan nekrosis atau infeksi sekunder serta kemungkinan terjadinya aspirasi ke dalam saluran nafas bagian bawah. 4 Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pembahasan tentang hal tersebut secara lebih mendetail untuk mengurangi risiko buruk akibat bendas asing. Benda asing dalam hidung Keberadaan benda asing dalam hidung paling sering ditemukan pada anak-anak (usia 2-5 tahun). Benda asing umumnya ditemukan pada bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior di sepanjang dasar hidung (gambar 1). 4,5 Benda asing dalam suatu organ adalah benda yang berasalah dari luar tubuh atau dari dalam tubuh sendiri, yang dalam keadaan normal tidak ada dalam organ tersebut.benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing eksogen, sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing endogen. 4,6 Benda asing eksogen dapat berupa benda padat, cair atau gas.benda asing padat dapat dibagi lagi menjadi benda padat organik dan anorganik.benda padat organik yang sering ditemukan seperti kacangkacangan, bunga, lintah dan lain-lain.benda padat anorganik yang sering ditemukan anatara lain paku, jarum, peniti, batu, manikmanik, potongan busa, baterai dan lain-lain. Benda asing cair biasanya bersifat iritatif seperti zat kimia. 4,6 Benda asing endogen yang sering ditemukan antara lain sekret kental, darah atau bekuan darah, nanah, krusta, cairan amnion dan mekonium. Mekonium dan cairan amnion dapat masuk ke dalam saluran nafas bayi saat proses persalinan. 4,6 39

42 Gambar 1. Lokasi tersering benda asing dalam hidung (Sumber : Fischer, JI (2011). Dalam Medscape Reference) 5 Gambaran Klinis Benda asing terutama ditemukan pada anak-anak sehingga hal ini menyebabkan benda asing sulit terdiagnosis sejak awal, bahkan bisa menetap di dalam hidung sampai bertahun-tahun.orang tua biasanya membawa anaknya ke dokter dengan keluhan pilek berbau pada salah satu sisi hidung. Tanda ini merupakan gejala khas pada benda asing dalam hidung pada anak. 4,6 Pada tahap awal, benda asing dalam hidung tidak menunjukkan gejala yang spesifik.anak mungkin sering memasukkan jari ke dalam hidungnya tapi hal ini tidak disadari sebagai sebuah gejala oleh orang tua pasien.umumnya pasien datang ke dokter dengan keluhan rinorea unilateral dengan atau tanpa adanya obstruksi nasi unilateral.rinorea dapat bersifat mukoid, mukopurulen tergantung pada adanya infeksi sekunder atau tidak.kadang-kadang sekret bercampur darah bila terjadi luka akibat benda asing tersebut. Gejala lainnya dapat berupa epistaksi, sakit kepala dan epifora. 4 Pada kasus benda asing dengan bahan iritan seperti baterai, seringkali menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitar hidung. Loh dkk (2003) menemukan beberapa kasus baterai di dalam hidung, gejalanya dapat berupa krusta, nekrosis luas pada jaringan hidung dan perforasi septum nasi. 7 Untuk benda asing organik, keluahan pasien biasanya hidung tersumbat dan 40

43 rinorea bilateral. Benda asing organik lebih sering mengenai orang dewasa dan menimbulkan juga gejala sistemik seperti demam. 4 Diagnosis Diagnosis benda asing di dalam hidung dilakukan secara cermat melalui beberapa tahapan, antara lain anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status lokalis. Bila perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan dengan endoskopi dan radiologis. 6 Pada anamnesis akan ditemukan keluhan seperti pada gejala klinis di atas. Pada pemeriksaan fisik umumnya akan ditemukan normal kecuali pada benda asing hidup seperti lintah atau cacing yang dapat menimbulkan kondisi umum pasien yang agak menurun. 6 Pemeriksaan status lokalils sangat menentukan untuk memastikan benda asing di dalam hidung.untuk pasien anak-anak diperlukan fiksasi yang baik untuk memudahkan visualisasi kavum nasi.bila masih ragu-ragu dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk memvisualisasi dengan lebih baik. Kesulitan muncul bila ditemukan udem, jaringan granulasi, krusta atau sekret yang telah menyelimuti benda asing tersebut. 6,8 Pemeriksaan radiologis biasanya digunakan untuk benda asing yang bersifat logam. Rontgen juga dilakukan untuk menentukan kemungkinan adanya komplikasi ke sinus. 8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan benda asing dalam hidung adalah dengan mengeluarkannya. Terdapat berbagai teknik pengeluaran benda asing dalam hidung.metode yang dipilih tergantung pada jenis benda asingnya, alatalat yang tersedia serta kenyamanan dokter dengan metode yang digunakan. Beberapa langkah harus dilakukan agar benda asing dapat dikeluarkan dengan menimbulkan komplikasi yang minimal. 4,6 a. Perencanaan (pre treatment) Perencanaan yang baik dapat mengurangi tindakan yang dilakukan secara berulang, karena tindakan secara berulang lebih berisiko menimbulkan komplikasi dibandingkan tindakan yang dilakukan sekali saja.berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan perencanaan agar pengeluaran benda asing dapat dilakukan pada kesempatan pertama.alat-alat yang dibutuhkan perlu diletakkan di meja dokter yang mudah terjangkau, sebaiknya perlu juga menyiapkan alat pernafasan darurat untuk menjaga kemungkinan terjadinya aspirasi benda asing ke saluran nafas bawah. Obat-obat vasokonstriktor (dekongestan) topikal dapat memfasilitasi baik pemeriksaan maupun pengeluaran benda asing. Vasokonstriktor topikal dan anestesi topikal dapat diberikan secara bersamaan, misalnya lidokain 1% ditambah fenilefrin 0,5%. Pada pasien anak-anak, fiksasi pasien sangat penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk mengurangi gerakan yang tiba-tiba yang dapat menimbulkan risiko perdarahan.pasien diposisikan duduk tegak dengan kepala sedikit mendongak agar dasar rongga hidung bisa terlihat dengan jelas. Bila pada pasien yang gelisah dan sulit untuk difiksasi sebaiknya dilakukan bius total. b. Instrumentasi langsung 41

44 Pengeluaran secara mekanis dengan forsep (aligator atau bayonet) dapat dilakukan untuk mengeluarkan benda asing yang permukaannya dapat digenggam dan terletak di bagian anterior rongga hidung.untuk benda asing yang bulat dan licin dapat digunakan alat pengait bulat yang tidak tajam untuk mengurangi taruma pada jaringan hidung.alat pengait ini dapat dimodifikasi dari berbagai bahan bila tidak tersedia dalam bentuk jadi.alat pengait dimasukkan menelusuri permukaan atas benda asing sampai melewati bagian paling belakang benda asing, lalu alat pengait tersebut dibelokkan ke arah dasar hidung sambil menggerakkannnya secara perlahan ke bagian anterior sampai benda asingnya keluar. c. Tekanan udara positif Pada orang dewasa atau pasien yang lebih kooperatif, usaha awal pada pengeluaran benda asing dapat dilakukan dengan menutup rongga hidung yang tidak ada benda asingnya, lalu dengan mulut tertutup pasien menghembuskan nafas dengan kencang.hal ini dapat membantu pengeluaran benda asing. Pada pasien yang lebih muda atau anakanak yang tidak kooperatif, metode parent kiss dapat diterapkan. Anak di pegang pada posisi senyaman mungkin sehingga berhadapan dengan orang tua, lalu meletakkan mulut anak persis di depan mulut penolong. Penolong meniupkan udara dengan kencang sambil menutup hidung yang tidak berisi benda asing sehingga akan terjadi tekanan positif yang kembali ke daerah hidung. Hal ini juga dapat membantu pengeluaran benda asing terutama seperti sekret yang mengental. Purohit dkk (2008) dalam penelitiannya menemukan angka keberhasilan dengan teknik ini sebesar 64,3% dari 30 pasien yang ikut dalam penelitian tersebut. 9 d. Alat penghisap (suction pump) Benda asing yang lembut dan susah digenggam dengan forsep dapat diekstraksi dengan penggunaan kanula penghisap. Ujung kanul penghisap harus diletakkan dengan hati-hati pada permukaan benda asing lalu ditarik perlahan-lahan. Bila ditarik terlalu cepat biasanya benda asing akan mudah terlepas. Pada benda asing yang diameternya lebih besar dari nares anterior juga sering sulit keluar dengan alat penghisap. e. Kateter balon Kateter yang biasa digunakan di bidang urologi seperti foley kateter dapat digunakan untuk mengeluarkan benda asing.prosedur yang dilakukan diawali dengan melumasi kateter dengan jelly, lalu masukkan ke dalam hidung samapi melewati tepi posterior benda asing, pasien di posisikan tidur supinasi.setelah itu, balon dikembangkan dengan udara atau 3-5 ml air dan ditarik secara perlahan-lahan bersamaan dengan keluarnya benda asing dari dalam hidung. f. Lem perekat Metode ini ideal untuk benda asing yang bulat, lembut dan sulit dipegang dengan forsep.permukaan benda asing harus kering untuk memudahkan menempelnya lem perekat.tindakan ini lebih sering berhasil pada benda asing ditelinga dibandingkan benda asing di hidung.tekniknya adalah dengan menempelkan lem perekat cyanoacrilic pada sebuah aplikator kayu atau plastik kemudian ditekankan pada asing 42

45 selama 60 detik kemudian dikeluarkan secara perlahan-lahan. g. Magnet Tindakan ini dapat dilakukan untuk mengeluarkan benda asing berbentuk logam seperti baterai kecil atau mainan anak-anak yang berasal dari logam. Tindakan ini dilakukan dengan meletakkan magnet yang kuat di nares anterior sehingga benda asing akan bergerak ke luar dan menempel di magnet tersebut. h. Posterior displacment Pada kasus-kasus tertentu benda asing dapat terfiksasi di daerah posterior kavum nasi.pada keadaan demikian, pilihan untuk mengeluarkan benda asing ke arah orofaring dapat digunakan, tetapi teknik ini sebaiknya dilakukan dengan anestesia umum untuk mencegah terjadinya aspirasi. Komplikasi Komplikasi yang terjadi akibat adanya benda asing di kavum nasi dapat dibagi menjadi komplikasi akibat benda asing langsung dan dapat juga disebabkan oleh tindakan ekstraksinya.komplikasi langsung sangat tergantung dari jenis material yang Referensi 1. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Endican S, Garap JP, Dubey SP. Ear nose and throat foreigne bodies in Melanesian children: An analysis of 1037 cases. Internat J Ped Otorhinolaryngol 2006;70 (9): Das, SK. Aetiological study of foreigne bodies in ear and nose (a clinical studies). J Laryngol Otol 1984;98(10): Kalan A, Tariq M. Foreign bodies in the nasal cavities: a comprehensive review of aetiology, diagnotic pointers, and therapeutic measures. Postgrad Med J 2000;76: masuk ke dalam hidung.benda asing dengan kandungan zat kimia seperti baterai berisiko menimbulkan komplikasi lebih berat.loh dkk (2003) menemukan berbagai komplikasi akibat benda asing baterai di dalam hidung seperti perforasi septum, timbulnya jaringan granulasi pada hidung dan epistaksis. 7 Benda asing yang tertinggal dalam waktu lama berpotensi menimbulkan sinusitis pada penderitanya. Hal ini seperti dilaporkan oleh Kelesidis pada tahun Komplikasi akibat tindakan pengambilan benda asing di hidung yang sering dilaporkan antara lain perdarahan hidung, laserasi konka dan septum atau terjadi perforasi pada hidung. 6 Simpulan Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis.kasus benda asing merupakan kasus sederhana tetapi diperlukan keterampilan untuk mengeluarkannya dengan resiko komplikasi yang minimal. 5. Fischer JI, Dronen SC. Nasal foreign Bodies. Medscape Reference. Update Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: review of technique for removal in the emergency departemetn. J Accid Emerg Med 2000;17: Loh WS, Leong JL, Tan HK. Hazardous foreign bodies: complications and management of button batteries in nose. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003;112: Kelesidis T, Osman S, Dinerman H. An unusual foreign body as cause of chronic sinusitis; a case report. J Med Case Reports 2010, 4: Purohit N, Ray S, Wilson T, Chawla OP. The parent s kiss ; an effective way to 43

46 remove paediatric nasal foriegn bodies. Ann R Coll Surg Engl July; 90(5):

47 A REVIEW: THE RISK OF IRON DEFICIENCY WITHIN INFANTS WHO ARE EXCLUSIVELY BREAST FED FOR THE FIRST SIX MONTHS: CASES IN DEVELOPED COUNTRIES Rifana Cholidah Faculty of Medicine, Mataram University Abstract This review aims to discuss about the risk of iron deficiency within infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth, especially in developed countries. It is well documented that iron deficiency is one of the most common nutritional disease among babies and young children. This commonly occurs during an increased need of iron supply particularly in the first period of life. The WHO and many health authorities recommend to exclusively breast fed babies for the first six months of their life for the best achievement on growth, health and development, and no adverse outcome on growth have been reported for breastfeeding babies exclusively for six months. However, a lower level of iron has been identified in some developing country settings.there have been few studies specifically to examine the relationship between infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth and the prevalence of iron deficiency in developed countries. Based on the evidence, there are several factors may affect iron stores depletion of babies and toddlers such as dietary intake, socioeconomic, low iron concentration of weaning foods, cow s milk consumption and prolonged duration of breastfeeding. Most studies that have been carried out have concluded that there is little risk of iron deficiency and iron deficiency anaemia in infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth. It seems that only infants with unusual low iron stores at birth are at risk of deficiency if breast fed exclusively for six months. Introduction Iron deficiency (ID) is the most common nutritional disorder among infants and young children in both developed and developing country, particularly in the period of rapid growth during the first year of life, due to a high demand for iron supply for the synthesis of blood, muscle, and other tissues. In addition, Iron deficiency is a common contributor to many cases in anaemia, although some other factors may result in anaemia. Oti-Boateng et al (1998) shows that an estimated more than 25% infants and young children aged 6-24 months in developing countries and around 3% infants in industrialised countries have iron deficiency anaemia (IDA) 1,2,4,10,11. Recommendations about breast feeding The WHO has recommended for mothers to exclusively breastfeed infants for the first six months of their life for the best optimum growth, development and health. Further, the latest WHO systemic review s findings advise to breastfeed infants exclusively for six months with only breast milk, without other complementary foods or liquids. This has numerous benefits compared to the 3-4 months exclusive breastfeeding followed by mixed breast feeding. No detrimental outcomes on growth have been reported for breastfeeding babies exclusively for six month. However, a lower level of iron has been identified in some developing country settings 16. Many health authorities suggest to exclusively breastfeed infants for 4-6 months, 45

48 a consideration to prevent the progress of iron deficiency anaemia in healthy full-term infants 4. Prevalence of iron deficiency in breast fed babies In some western countries, researchers identified that prolonged breastfed infants and infants who have early introduction or high consumption of cow s milk have a higher risk of iron deficiency among babies and young children in countries such as Australia, Canada and the United Kingdom. Grant et al (2007) notes that iron deficiency have been identified to be prevalent in New Zealand young children and it varies with ethnicity, however, not with social deprivation 4. Vendt (2008) carried out a study to investigate the prevalence of iron deficiency and iron deficiency anaemia in infants aged 9-12 months in Estonia. In the first study of three series of research experiments, there were 171 babies involved in this epidemiological study, thirty six infants (21%) were exclusively breast-fed until six months. Researcher used the iron deficiency criteria with infants who had serum ferritin <12 µg/l and mean corpuscular volume (MCV) < 74fL, and iron deficiency anaemia criteria with serum ferritin <12 µg/l, MCV < 74fL and haemoglobin (Hb) <105 g/l. The author found that infants who were exclusively breast-fed up to six months had lower mean of haemoglobin (113 g/l) and serum ferritin (19 µg/l) compared to those exclusively breast-fed until three months who had Hb 117 g/l and serum ferritin 28 µg/l. In spite of having lower concentration of haemoglobin and serum ferritin, none of the infants exclusively breast-fed up to 6 months were identified as iron deficiency and iron deficiency anaemia 14. A similar finding was demonstrated by Duncan et al (1985) who conducted a study in Arizona, USA, examining iron status on infants who were exclusively breast-fed from birth up to the first six months of life. From this study, among thirty three healthy fullterm babies who were exclusively breast fed, without any supplemental formula, solid foods, vitamins, and minerals, none developed iron deficiency anaemia though two of 33 infants (7%) indicated iron stores depletion by the indicator of low serum ferritin levels. This data demonstrated that babies exclusively breast fed for the first six months of life are not at increased risk of the iron deficiency anaemia or iron depletion during that time 5. Another study about iron deficiency in exclusively breast-fed infants was carried out by Siimes et al (1984) in Helsinki, Finland. Thirty-six young children who were exclusively breast fed, were studied for nine months. The author used the control group of thirty-two babies who were fully weaned earlier to 3 ½ months. The exclusively breast fed babies received no iron supplementation, while the control group received iron supplementation in formula and wheat cereal 12. The data showed that most of infants breast fed exclusively were able to preserve their iron stores at similar levels to that of control infants receiving iron supplements. Also, breast fed infants had a higher mean concentration of haemoglobin compared to control babies at age four and six months. None of the exclusively breast fed infants 46

49 had anaemia or iron deficiency prior to age six months 12. In the study of iron status and iron intake in Adelaide, Australia by Oti-Boateng et al (1998) involving 234 babies and toddlers aged 6 to 24 months, thirty four per cent of babies were exclusively breast fed until six months. Some of the findings, iron sufficiency (IS) was more frequent in infants who were breast-fed for 4 months compared to babies breast-fed more than 4 months, also Asian infants had a higher iron sufficiency (72%) than Caucasian babies (69%), but this difference of iron sufficiency between these two different ethnic groups was not significant statistically 11. Factors associated with iron deficiency in breast fed babies Grant et al (2003) points out that several factors such as dietary intake, socioeconomic and demographic factor have been associated with iron deficiency in young urban children living in developed countries. Further, the relationship between these aspects and iron deficiency differs between countries and between several population groups in the same country. Some published studies from the United Kingdom and Australia highlight the relationship of iron deficiency and the consumption of cow s milk, lower intake of red meat and the use of weaning foods low in iron among infants in those countries 7,9,10. Several factors may affect the iron stores of newborn, including maternal iron status before and during pregnancy, the amount of blood transferred from placenta to foetus after giving birth before the umbilical cord is clamped, and gestational age as preterm babies have a lower iron stores 1,4. Bioavailable iron is present in breast milk, and the healthy, term infants with normal birth weight have sufficient iron stores to maintain their growth requirement during the first six months of life, and after this age the needs of total body iron is higher 1,2,4. The WHO (2001) identifies that based on the evidence from the study in Honduras which indicated the poorer iron status in infants exclusively breast fed for 6 months than 4 months followed by partial breastfeeding to 6 months, due to the evidence come from the populations in which maternal iron status and infant endogenous stores are not optimal 15. Oti-Boateng et al (1998) identified that cow s milk consumption, age and duration of breastfeeding showed a significant effect on iron stores depletion. This finding is in line with evidence in the United Kingdom which was demonstrated by Mills (1990). However, authors have not described in more detail whether babies who are breast fed exclusively up to six months were in the risk of iron deficiency or had significant iron depletion. Both studies indicated that several factors may affect iron deficiency and iron status among infants and toddlers including ethnic group, age of the infants, duration of breast feeding and the consumption of cow s milk 9,11. Iron status of babies and young children in developed countries remain a concern. However, iron deficiency anaemia, which has long-term impact on delayed psychomotor and cognitive function, was relatively rare 11. A study was carried out by Innis et al (1997) in Vancouver, Canada. The authors 47

50 examined the prevalence of iron deficiency anaemia and depleted iron stores among 434 of healthy babies aged 9 months in Vancouver in relation with their feeding practice and family background. Researcher collected the information of infant feeding practices using qualitatively dietary questionnaire which assessed by a nutritionist 8. The data shows that iron deficiency anaemia was more common among babies who were breast fed for more than 3 months than those breast fed < 3 months 8. The prevalence of iron deficiency anaemia among healthy, nine-month-old babies in this study was around 15 %. Interestingly, the prevalence of iron deficiency anaemia was higher in babies from middle class family as well as in Caucasian than Oriental or Asian babies. Also, the infants identified at a higher risk when those infants were breast fed at the time of study as it has been known that infants accept a sufficient iron from breast milk for the first four to six months after birth and this study was carried while the babies aged nine months old 8. Breastfed infants over 6 month are in higher risk of iron deficiency unless adequate additional sources of dietary iron are given 8. Soh et al (2004) carried out the study in South Island, New Zealand. The author found that the presence of suboptimal iron status was around 29% among young New Zealand children and babies. Infants and children with marginal iron status are at increased risk of developing severe iron deficiency if exposed to a physiological challenge. However, the case of severe iron deficiency is rare 13. In the study by Grant et al (2007) in Auckland, New Zealand, 324 infants aged 6 to 23 months were observed. Researchers examined the prevalence of iron deficiency in young children in Auckland, and also identified factors which associated with iron deficiency. Participants were mainly breastfed (87%). Around 78% babies started solid foods before age 6 months, with 68 babies (20%) began in the first 3 months. In other word, it was only around 20% infants in this study who were exclusively breast fed up to six months after birth 6. The prevalence of iron deficiency in this study was 14%. The author found that receiving breast milk after age 6 months was associated with a greater risk of iron deficiency than children who have stopped breastfeeding at a younger age. However, authors have not clearly assessed the prevalence of iron deficiency anaemia among exclusively breast fed babies for the first six months after birth. It was identified that he major risk factors for iron deficiency were nutritional. Milk feeding was the greatest determinant with all three main variations; breast, infant formula and cow s milk being related with the risk of iron deficiency 6. Conclusion In conclusion, there have been few studies specifically to investigate the relationship between infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth and the prevalence of iron deficiency in developed countries. Most studies that have been carried out have concluded that there is little risk of iron 48

51 deficiency and iron deficiency anaemia in infants who are exclusively breast fed for first six months of life. It seems that only infants with unusually low iron stores at birth are at risk of deficiency if breast fed exclusively for six months. There are some circumstances which increase the risk of low iron stores and these are: maternal iron status before and during pregnancy, prematurity and loss of excessive blood in cutting the cord at birth. For this reason some researchers have suggested that iron supplementation at birth may be of benefit to babies with low iron stores. For example, Dewey et al (2002) suggests that routine iron supplementation of breast fed babies may bring benefits to infants with low haemoglobin concentration, but may cause the risks for infants with normal haemoglobin 3. The finding that there is low risk of iron deficiency in this group of infants is in line with World Health Organisation recommendations to breast feed exclusively for the first six months of life. Reference List: 1. Aggett, P. J., Agostoni, C., Axelsson, I., Bresson, J. L., Goulet, O., Hernell, O., Micheli, J. L. Iron metabolism and requirements in early childhood: do we know enough?: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2002; 34(4), Beristain-Manterola, R., Pasquetti- Ceccatelli, A., Meléndez-Mier, G., Sánchez-Escobar, O. A., & Cuevas- Covarrubias, S. A. Evaluation of iron status in healthy six-month-old infants in Mexican population: Evidence of a high prevalence of iron deficiency. e-spen, the European e-journal of Clinical Nutrition and Metabolism. 2010; 5(1), e37- e Dewey, K. G., Domellöf, M., Cohen, R. J., Landa Rivera, L., Hernell, O., & Lönnerdal, B. Iron supplementation affects growth and morbidity of breast-fed infants: results of a randomized trial in Sweden and Honduras. The Journal of nutrition. 2002; 132(11), Domellöf, M., Lönnerdal, B., Abrams, S. A., & Hernell, O. Iron absorption in breastfed infants: effects of age, iron status, iron supplements, and complementary foods. The American journal of clinical nutrition. 2002; 76(1), Duncan, B., Schifman, R. B., Corrigan Jr, J. J., & Schaefer, C. Iron and the exclusively breast-fed infant from birth to six months. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1985; 4(3), Grant, C. C., Wall, C. R., Brunt, D., Crengle, S., & Scragg, R. Population prevalence and risk factors for iron deficiency in Auckland, New Zealand. Journal of paediatrics and child health. 2007; 43(7 8), Grant, C., Wall, C., Wilson, C., & Taua, N. Risk factors for iron deficiency in a hospitalized urban New Zealand population. Journal of paediatrics and child health. 2003; 39(2), Innis, S., Nelson, C., Wadsworth, L., MacLaren, I., & Lwanga, D. Incidence of iron-deficiency anaemia and depleted iron stores among nine-month-old infants in Vancouver, Canada. Canadian journal of public health. Revue canadienne de santé publique. 1997; 88(2), Mills, A. Surveillance for anaemia: risk factors in patterns of milk intake. Archives of disease in childhood; 1990; 65(4), Mira, M., Alperstein, G., Karr, M., Ranmuthugala, G., Causer, J., Niec, A., & Lilburne, A. M. Haem iron intake in month old children depleted in iron: case-control study. BMJ. 1996; 312(7035), Oti-Boateng, P., Seshadri, R., Petrick, S., Gibson, R., & Simmer, K. Iron status and dietary iron intake of 6 24 month old children in Adelaide. Journal of paediatrics and child health. 1998; 34(3), Siimes, M. A., Salmenpera, L., & Perheentupa, J. Exclusive breast-feeding for 9 months: risk of iron deficiency. The Journal of pediatric. 1984; 104(2),

52 13. Soh, P., Ferguson, E., McKenzie, J., Homs, M., & Gibson, R. Iron deficiency and risk factors for lower iron stores in 6 24-month-old New Zealanders. European journal of clinical nutrition. 2004; 58(1), Vendt, N. Iron Deficiency and Iron Deficiency Anaemia in Infants Aged 9 to 12 Months in Estonia. Tartu University Press; World Health Organisation. Report of the expert consultation on the optimal duration of exclusive breastfeeding: World Health Organization Geneva; World Health Organisation. Exclusive breastfeeding for six months best for babies everywhere; 2011 [Updated May 17, 2011]. Available from ements/2011/breastfeeding_ /e n/ 50

53 STRESS HIPERGLIKEMIA Erwin Kresnoadi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Abstract Stress hyperglycemia is hyperglycemia that a rise when a person suffering from illness in which the individual previously shown to be suffering from diabetes. There is a combination of several factors that affect the on set of stress hyperglycemia in critically ill patients. Keywords: stress shyperglycemia, critically ill patients. Abstrak Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia yang timbul pada saat seseorang menderita sakit dimana individu tersebut terbukti tidak menderita diabetes sebelumnya. Terdapat kombinasi beberapa faktor yang berdampak timbulnya stress hiperglikemia pada pasien kritis. Kata kunci : stress hiperglikemia, diabetes, pasien kritis. Pendahuluan Secara tradisional hiperglikemia didefinisikan jika kadar glukosa darah 200 mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes Association dalam Standards of Medical Care in Diabetes mendefinisikan hiperglikemia pada pasien yang dirawat adalah jika kadar glukosa darah >140 mg/dl Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia yang timbul pada saat seseorang menderita sakit dimana pada individu tersebut terbukti tidak menderita diabetes sebelumnya. 1 American Diabetes Association (ADA) dalam review teknisnyamembagi penderita dengan hiperglikemia menjadi tiga kelompok: 2 1. Penderita yang memiliki riwayat diabetes: Penderita sudah terdiagnosis menderita diabetes dan mendapat terapi dari dokter. 2. Penderita yang tidak diketahui menderita diabetes: Hiperglikemia yang terdeteksi pada saat penderita dirawat dan dikonfirmasi sebagai diabetes setelah dilakukan pemeriksaan tertentu. Atau dengan kata lain penderita yang baru terdiagnosis menderita diabetes. 3. Hospitalrelatedhiperglikemia:Hiperglikemia yang timbul selama penderita dirawat di rumah sakit dan kembali normal setelah pasien pulang. Inilah yang dikenal sebagai stress hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia yang terjadi pada pasien yang diketahui tidak menderita diabetes, harus dilengkapi dengan pemeriksaan A1c. Peningkatan kadar A1c >6,5 persen mengindikasikan bahwa pasien sudah menderita diabetes sebelumya. 3 Hipoglikemia didefinisikan jika kadar glukosa darah < 70mg/dl. Ini merupakan definisi standar pada pasien rawat jalan di mana nilai tersebut merupakan batas initial dilepaskannya hormon-hormon kontra regulator. Hipoglikemia berat pada pasien yang dirawat didefinisikan jika kadar glukosa darah < 40 mg/dl

54 Gambar 1.Penyebab multifaktor stress hiperglikemia Beberapa faktor penyebab hiperglikemia dapat berasal dari pasien, penyakit dan terapinya.hiperglikemia sebaliknya juga dapat memperberat penyakit sehingga membutuhkan penambahan terapi di mana terapi tertentu juga dapat menyebabkan hiperglikemia.hal ini menciptakan sebuah siklus di mana hiperglikemia menyebabkan hiperglikemia lebih lanjut. HPA =hipotalamuspituitary-adrena axis. Patofisiologi Stress Hiperglikemia Terdapat kombinasi beberapa faktor yang berdampak timbulnya stress hiperglikemia pada pasien kritis (gbr.1). Penyebab hiperglikemia pada diabetes tipe 2 adalah kombinasi dari resistensi insulin dan gangguan pada sekresi sel β pankreas. Sedangkan timbulnya stress hiperglikemia disebabkan oleh interaksi yang sangat kompleks dari beberapa hormon kontraregulasi seperti katekolamin, growth hormone, kortisol dan sitokin (gbr.2). Penyakit yang diderita pasien juga dapat mempengaruhi tingkat produksi sitokin dan gangguan hormonal. Munculnya mekanisme feedforward dan feedback yang kompleks antara beberapa hormon dan sitokin tersebut pada akhirnya akan menimbulkan produksi glukosa hati yang berlebihan dan resistensi insulin. Produksi glukosa di hati yang berlebihan terutama melalui proses glukoneogenesis, tampaknya memegang peranan terpenting dalam menimbulkan stress hiperglikemia. Sekresi glukagon yang berlebihan adalah mediator utama timbulnya glukoneogenesis,meskipun epinefrin dan kortisol juga ikut berperan. Tumor nekrosis faktor-α (TNF-α) juga dapat memicu glukoneogenesis dengan merangsang produksi glukagon. 1 52

55 Gambar 2. Metabolisme glukosa pada stress hiperglikemia Stress hiperglikemia ditandai dengan peningkatan ambilan glukosa di seluruh tubuh,terutama disebabkan transport glukosa yang tidak diperantarai insulin via GLUT-1 ke jaringan tubuh.turunnya ambilan glukosa yang diperantarai insulin (resistensi insulin),terutama akibat gangguan sinyal post reseptor insulin yang menghasilkan penurunan transport glukosa yang diperantarai GLUT-4 pada jaringan sensitif insulin seperti hati,otot dan lemak. Penyimpanan glikogen otot juga berkurang. Produksi glukosa secara umum meningkat,terutama akibat glukoneogenesis di hati. Akhirnya,glukosa dapat dioksidasi di dalam sel tetapi metabolisme glukosa nonoksidatif (terutama penyimpanan glikogen) terganggu. Timbulnya resistensi insulin pada saat sakit ditandai dengan kegagalan dalam menghambat produksi glukosa di hati secara sentral.sedangkan di perifer, resistensi 53 insulin terjadi melalui dua jalur utama.berkurangnya ambilan glukosa yang diperantarai oleh insulin sebagai akibat dari adanya gangguan sinyal pada post-receptor insulin dan menurunnya peran glukosa transporter (GLUT)-4.Sebagai tambahan, penyimpanan glukosa non-oksidatif juga terganggu kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan sintesis glikogen pada otot rangka. Sekresi hormon kortisol dan epinefrin yang berlebihan juga akan menurunkan ambilan glukosa yang diperantarai oleh insulin. Beberapa sitokin seperti TNFα dan interleukin 1 menghambat sinyal post-reseptor insulin. Keparahan dari penyakit berkaitan dengan peningkatan kadar sitokin dan resistensi Insulin secara proporsional. Lebih jauh lagi, kondisi hiperglikemia akan memperberat respons inflamasi, stress oksidatif dan sitokin yang secara potensial akan menciptakan suatu siklus yang mematikan di mana hiperglikemia akan menimbulkan

56 hiperglikemia lebih lanjut. Resolusi dari hiperglikemia berkaitan dengan kembali normalnya respons inflamasi. 1 Resistensi insulin lebih lanjut akan mendorong timbulnya kondisi katabolik di mana mulai berperannya proses lipolisis. Meningkatnya kadar asam lemak bebas dalam sirkulasi pada gilirannya akan memperberat resistensi insulin melalui gangguan sinyal insulin pada end-organ dan sintesis glikogen. Lipotoksisitas dapat meningkatkan kondisi inflamasi sama halnya dengan pengaruh glukotoksisitas. Glukotoksisitas, lipotoksisitas dan inflamasi dapat dianggap sebagai komponen kunci yang berperan dengan timbulnya syndrome resistensi insulin global pada penyakit akut. Ketiga komponen tersebut juga dapat menimbulkan disfungsi endotel melalui proses sebab akibat yang rumit terkait dengan resistensi insulin. Hiperinsulinemia memberikan konsekwensi tambahan terhadap hiperglikemia yang terjadi, meliputi peningkatan inflamasi dan respons hormon kontraregulator serta gangguan fibrinolisis. Meskipun terjadi penurunan ambilan glukosa yang diperantarai insulin, tetap terdapat peningkatan ambilan glukosa di seluruh tubuh,ini disebabkan oleh peran GLUT-1 yang diperantarai oleh sitokin. GLUT-1 adalah transporter glukosa yang terlibat dalam ambilan glukosa yang tidak diperantarai oleh insulin.jadi meskipun metabolisme glukosa non-oksidatif terganggu (sintesis glikogen), metabolisme glukosa oksidatif tetap berlangsung.intervensi terapeutik tertentu seperti pemberian infus katekolamin, kortikosteroid, dan nutrisi enteral maupun parenteral dapat menimbulkan hiperglikemia. Belum ada penelitian yang membandingkan antara pasien sakit kritis yang menderita diabetes dengan yang mengalami stress hiperglikemia. Oleh karena itu, masih belum jelas apakah perbedaan dalam patofisiologi dapat menjelaskan perbedaan pada hasil akhir. 1 54

57 Gambar 3. Mekanisme timbunya efek berbahaya dari hiperglikemia Mekanisme bahaya berkaitan dengan komplikasi akut atau kronis dari hiperglikemia.nfκβ= nuclear factor κβ, ERK= extracellular signal regulated kinase, MAPK= microtubule associated protein kinase. PKC= protein kinase C, AGE= advanced glycosylation endproducts. Hiperglikemia dan Dampaknya terhadap Fungsi Organ Timbulnya komplikasi kronis yang khas pada penderita diabetes memerlukan waktu beberapa tahun, akan tetapi penjelasan mengenai timbulnya komplikasi terkait stress hiperglikemia memerlukan pertimbangan tersendiri (gbr.3). Timbulnya stress hiperglikemia diperantarai oleh reaksi inflamasi dan gangguan hormonal yang lebih hebat daripada hiperglikemia kronis pada diabetes. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa kondisi hiperglikemia kronis telah membentuk kondisi seluler yang bersifat protektif terhadap kerusakan yang dipicu oleh hiperglikemia akut saat sakit kritis.mekanisme yang mungkin berpengaruh adalah kecenderungan penurunan peran transporter glukosa pada kondisi kronis daripada hiperglikemia akut.glut-1 dan GLUT- 3 adalah glukosa transporter yang memfasilitasi glukosa masuk ke dalam sel 55

EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM

EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah Fakultas Kedokteran Universitas Mataram ABSTRACT Background : Post

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38

Lebih terperinci

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI Curiculum vitae Nama : DR.Dr. Setyo Handryastuti, SpA(K) Tempat/tanggal lahir : Jakarta 27 Januari 1968 Pekerjaan : Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Pendidikan : Dokter umum 1991-FKUI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEKANAN DARAH DAN FREKUENSI JANTUNG PADA PENDERITA YANG MENDAPAT MEPERIDIN DAN KETAMIN PADA AKHIR ANESTESI UMUM

PERBANDINGAN TEKANAN DARAH DAN FREKUENSI JANTUNG PADA PENDERITA YANG MENDAPAT MEPERIDIN DAN KETAMIN PADA AKHIR ANESTESI UMUM PERBANDINGAN TEKANAN DARAH DAN FREKUENSI JANTUNG PADA PENDERITA YANG MENDAPAT MEPERIDIN DAN KETAMIN PADA AKHIR ANESTESI UMUM ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Persyaratan

Lebih terperinci

Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Tingkat kompetensi : 4 Kompetensi dasar : mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana secara paripurna Sub-kompetensi : Menggali anamnesa untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4 o C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit

Lebih terperinci

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Yazid Dimyati Divisi Saraf Anak Departemen IKA FKUSU / RSHAM Medan UKK Neurologi / IDAI 2006 Pendahuluan Kejang merupakan petunjuk adanya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas C) 38 tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu

Lebih terperinci

PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI

PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Melissa Donda

Lebih terperinci

Fellow Clinical Neurophysiology UMC Utrecht The Netherlands

Fellow Clinical Neurophysiology UMC Utrecht The Netherlands Curriculum Vitae Irawan Mangunatmadja, Tempat/tgl lahir: Martapura, 28 Februari Status: Menikah + 2 anak wanita Pendidikan: SMA 8 Jakarta - 1977 Dokter umum FKUI 1984 Dokter anak FKUI 1993 Spesialis Anak

Lebih terperinci

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS Ardo Sanjaya, 2013 Pembimbing 1 : Christine Sugiarto, dr., Sp.PK Pembimbing 2 : Ronald Jonathan, dr., MSc., DTM & H. Latar

Lebih terperinci

4.6 Instrumen Penelitian Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Etika Penelitian BAB V.

4.6 Instrumen Penelitian Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Etika Penelitian BAB V. DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... I LEMBAR PERSETUJUAN... II PENETAPAN PANITIA PENGUJI... III KATA PENGANTAR... IV PRASYARAT GELAR... V ABSTRAK... VI ABSTRACT... VII DAFTAR ISI... VIII DAFTAR TABEL... X Bab I.

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuwan : Anestesiologi 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang 3. Ruang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam adalah kenaikan

Lebih terperinci

KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING

KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING Pasaribu AS 1) 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ABSTRAK Latar Belakang. Kejang adalah peristiwa yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract. Vivit Erdina Yunita, 1 Afdal, 2 Iskandar Syarif 3

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract.  Vivit Erdina Yunita, 1 Afdal, 2 Iskandar Syarif 3 705 Artikel Penelitian Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan Timbulnya Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Anak RS. DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 Desember 2012 Vivit

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012 ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012 Dwi Nur Pratiwi Sunardi. 2013. Pembimbing I : Dedeh Supantini, dr.,

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013

KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013 i KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013 Oleh : YAATHAVI A/P PANDIARAJ 100100394 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Adanya hubungan yang kompleks antara HIV dan TB dapat meningkatkan mortalitas maupun morbiditas.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Sub Bagian Neurologi dan Sub Bagian Infeksi dan Penyakit Tropik. 3.2. Tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI BAB I PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kraniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, 2005). Pembedahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993)

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (Lumbantobing, 1995). Dari. tubuh yang disebabkan oleh karena proses ekstrakranial.

BAB I KONSEP DASAR. ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (Lumbantobing, 1995). Dari. tubuh yang disebabkan oleh karena proses ekstrakranial. BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Kejang demam adalah suatu kondisi saat tubuh anak sudah tidak dapat menahan serangan demam pada suhu tertentu (Widjaja, 200 1). Kejang demam adalah kejang yang terjadi

Lebih terperinci

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM PADA ANAK B. ETIOLOGI Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas C. PATOFISIOLOGI Peningkatan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK BALITA PENDERITA PNEUMONIA DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2013

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK BALITA PENDERITA PNEUMONIA DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2013 ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK BALITA PENDERITA PNEUMONIA DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2013 Melianti Mairi, 2014. Pembimbing 1 : dr. Dani, M.Kes Pembimbing 2 : dr. Budi Widyarto, M.H Pneumonia

Lebih terperinci

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS TRAMADOL SEBAGAI PENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA KARYA TULIS ILMIAH

EFEKTIVITAS TRAMADOL SEBAGAI PENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA KARYA TULIS ILMIAH EFEKTIVITAS TRAMADOL SEBAGAI PENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

PENGARUH DURASI TINDAKAN INTUBASI TERHADAP RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH DURASI TINDAKAN INTUBASI TERHADAP RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH i PENGARUH DURASI TINDAKAN INTUBASI TERHADAP RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 1 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Anak subbidang neurologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan merupakan penyumbang tertinggi angka kematian perinatal dan neonatal. Kematian neonatus

Lebih terperinci

PERBEDAA EFEKTIVITAS KOMPRES AIR HA GAT DA KOMPRES AIR BIASA TERHADAP PE URU A SUHU TUBUH PADA A AK DE GA DEMAM DI RSUD TUGUREJO SEMARA G

PERBEDAA EFEKTIVITAS KOMPRES AIR HA GAT DA KOMPRES AIR BIASA TERHADAP PE URU A SUHU TUBUH PADA A AK DE GA DEMAM DI RSUD TUGUREJO SEMARA G PERBEDAA EFEKTIVITAS KOMPRES AIR HA GAT DA KOMPRES AIR BIASA TERHADAP PE URU A SUHU TUBUH PADA A AK DE GA DEMAM DI RSUD TUGUREJO SEMARA G Karina Indah Permatasari *) Sri Hartini **), Muslim Argo Bayu ***)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang demam adalah kejang yang terjadi karena adanya suatu proses ekstrakranium tanpa adanya kecacatan neurologik dan biasanya dialami oleh anak- anak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

Maria Caroline Wojtyla P., Pembimbing : 1. Endang Evacuasiany, Dra., MS., AFK., Apt 2. Hartini Tiono, dr.

Maria Caroline Wojtyla P., Pembimbing : 1. Endang Evacuasiany, Dra., MS., AFK., Apt 2. Hartini Tiono, dr. ABSTRAK EFEK EKSTRAK RIMPANG KUNYIT (Curcuma domestica Val.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIK MUKOSA LAMBUNG MENCIT MODEL GASTRITIS YANG DI INDUKSI ASETOSAL Maria Caroline Wojtyla P., 0710110. Pembimbing

Lebih terperinci

KELOMPOK E DEPERTEMEN ANAK SRIYANTI B. MATHILDIS TAMONOB RANI LEKSI NDOLU HARRYMAN ABDULLAH

KELOMPOK E DEPERTEMEN ANAK SRIYANTI B. MATHILDIS TAMONOB RANI LEKSI NDOLU HARRYMAN ABDULLAH ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM SEDERHANA (KDS) KELOMPOK E DEPERTEMEN ANAK SRIYANTI B. MATHILDIS TAMONOB RANI LEKSI NDOLU HARRYMAN ABDULLAH PENGERTIAN KDS adalah demam bangkitan kejang yang

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medik RSUP dr. Kariadi Semarang,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medik RSUP dr. Kariadi Semarang, 31 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Anestesiologi dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di instalasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara-RSUP-HAM Medan

Universitas Sumatera Utara-RSUP-HAM Medan ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KOAGULOPATI DAN KADAR SERUM LAKTAT SEBAGAI INDIKATOR MORBIDITAS DAN MORTALITAS PADA KASUS MULTIPEL TRAUMA DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Eka Prasetia Wijaya 1, Chairiandi Siregar 2

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK DAN TINGKAT KESADARAN PASCA PEMAKAIAN ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN PADA OPERASI MAYOR DI DAERAH ABDOMEN SKRIPSI

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK DAN TINGKAT KESADARAN PASCA PEMAKAIAN ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN PADA OPERASI MAYOR DI DAERAH ABDOMEN SKRIPSI PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK DAN TINGKAT KESADARAN PASCA PEMAKAIAN ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN PADA OPERASI MAYOR DI DAERAH ABDOMEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

ABSTRAK STUDI KASUS PADA PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SINGGAH FEMALE PLUS BANDUNG TAHUN 2006

ABSTRAK STUDI KASUS PADA PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SINGGAH FEMALE PLUS BANDUNG TAHUN 2006 ABSTRAK STUDI KASUS PADA PENDERITA HIV/AIDS DI RUMAH SINGGAH FEMALE PLUS BANDUNG TAHUN 2006 Ariel Anugrahani,2006. Pembimbing I : Felix Kasim, dr, M.Kes Peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke

Lebih terperinci

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum FAKTOR DETERMINAN PENINGKATAN BERAT BADAN DAN JUMLAH CD4 ANAK HIV/AIDS SETELAH ENAM BULAN TERAPI ANTIRETROVIRAL Penelitian Cohort retrospective terhadap Usia, Jenis kelamin, Stadium klinis, Lama terapi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Anestesiologi. proposal disetujui.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Anestesiologi. proposal disetujui. 1 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Anestesiologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian - Tempat penelitian : Laboratorium Biologi Universitas Negeri

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH ELEVASI KAKI TERHADAP KESTABILAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DENGAN SPINAL ANESTESI

SKRIPSI PENGARUH ELEVASI KAKI TERHADAP KESTABILAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DENGAN SPINAL ANESTESI SKRIPSI PENGARUH ELEVASI KAKI TERHADAP KESTABILAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DENGAN SPINAL ANESTESI Studi Dilakukan di Kamar Operasi Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2015 Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) akibat suatu proses ekstrakranium tanpa adanya infeksi

Lebih terperinci

ABSTRAK KELAINAN SISTEM SARAF PUSAT PADA PASIEN HIV/AIDS YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2007 DESEMBER 2008

ABSTRAK KELAINAN SISTEM SARAF PUSAT PADA PASIEN HIV/AIDS YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2007 DESEMBER 2008 ABSTRAK KELAINAN SISTEM SARAF PUSAT PADA PASIEN HIV/AIDS YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2007 DESEMBER 2008 Fransiska, 2009 Pembimbing I : Hana Ratnawati, dr., M.Kes.

Lebih terperinci

INTERVENSI SLOW STROKE BACK MASSAGE

INTERVENSI SLOW STROKE BACK MASSAGE SKRIPSI INTERVENSI SLOW STROKE BACK MASSAGE LEBIH MENURUNKAN TEKANAN DARAH DARIPADA LATIHAN DEEP BREATHING PADA WANITA MIDDLE AGE DENGAN PRE-HYPERTENSION NI PUTU HARYSKA WULAN DEWI KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Bagian Anestesesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Bagian Anestesesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado PERBANDINGAN LAJU NADI PADA AKHIR INTUBASI YANG MENGGUNAKAN PREMEDIKASI FENTANIL ANTARA 1µg/kgBB DENGAN 2µg/kgBB PADA ANESTESIA UMUM 1 Kasman Ibrahim 2 Iddo Posangi 2 Harold F Tambajong 1 Kandidat Skripsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/ 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/ kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER : Triswaty Winata, dr., M.Kes.

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER : Triswaty Winata, dr., M.Kes. ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2015 Annisa Nurhidayati, 2016, Pembimbing 1 Pembimbing 2 : July Ivone, dr.,mkk.,m.pd.ked. : Triswaty

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status fisik (ASA) pasien pra operatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan virus dengue. Penyakit DBD tidak ditularkan secara langsung dari orang ke orang, tetapi ditularkan kepada manusia

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH DAN HUBUNGAN ANTARA BMI (BODY MASS INDEX) DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DAN KADAR GLUKOSA DARAH 2 JAM POST PRANDIAL

ABSTRAK PENGARUH DAN HUBUNGAN ANTARA BMI (BODY MASS INDEX) DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DAN KADAR GLUKOSA DARAH 2 JAM POST PRANDIAL ABSTRAK PENGARUH DAN HUBUNGAN ANTARA BMI (BODY MASS INDEX) DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DAN KADAR GLUKOSA DARAH 2 JAM POST PRANDIAL Levina Stephanie, 2007. Pembimbing I : dr. Hana Ratnawati, M.Kes.

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. dengan peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses. ekstrakranium (Staf Pengajar IKA FKUI, 1997: 847).

BAB I KONSEP DASAR. dengan peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses. ekstrakranium (Staf Pengajar IKA FKUI, 1997: 847). BAB I KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997: 229). Kejang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH LENDIR Abelmoschus esculentus (OKRA) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS WISTAR JANTAN MODEL TINGGI LEMAK

ABSTRAK. PENGARUH LENDIR Abelmoschus esculentus (OKRA) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS WISTAR JANTAN MODEL TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH LENDIR Abelmoschus esculentus (OKRA) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS WISTAR JANTAN MODEL TINGGI LEMAK Nathania Gracia H., 2016, Pembimbing 1 Pembimbing 2 : Hendra Subroto, dr., SpPK.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menimbulkan masalah besar di dunia.tb menjadi penyebab utama kematian

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DAN TEKANAN DARAH ANTARA PENGGUNAAN LAYANAN PESAN SINGKAT PENGINGAT DAN APLIKASI DIGITAL PILLBOX REMINDER

PERBANDINGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DAN TEKANAN DARAH ANTARA PENGGUNAAN LAYANAN PESAN SINGKAT PENGINGAT DAN APLIKASI DIGITAL PILLBOX REMINDER PERBANDINGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DAN TEKANAN DARAH ANTARA PENGGUNAAN LAYANAN PESAN SINGKAT PENGINGAT DAN APLIKASI DIGITAL PILLBOX REMINDER PADA PASIEN HIPERTENSI DI RSUD Dr. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

Lebih terperinci

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIRETROVIRAL PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) Edy Bachrun (Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun) ABSTRAK Kepatuhan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERBEDAAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN KESEMBUHAN PASIEN DI ICU DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK, MEDAN PERIODE BULAN JULI 2014 HINGGA OKTOBER

HUBUNGAN PERBEDAAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN KESEMBUHAN PASIEN DI ICU DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK, MEDAN PERIODE BULAN JULI 2014 HINGGA OKTOBER HUBUNGAN PERBEDAAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN KESEMBUHAN PASIEN DI ICU DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK, MEDAN PERIODE BULAN JULI 2014 HINGGA OKTOBER 2014 Oleh : Thanaletchumy A/P Veranan 110100318 FAKULTAS

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: Yuni Novianti Marin Marpaung NIM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN

SKRIPSI. Oleh: Yuni Novianti Marin Marpaung NIM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN SKRIPSI PERBEDAAN EFEKTIVITAS INTERVENSI SLOW DEEP BREATHING EXERCISE DENGAN DEEP BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PRE-HIPERTENSI PRIMER Oleh: Yuni Novianti Marin Marpaung NIM.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang bersamaan.

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR TRIGLISERIDA PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR TRIGLISERIDA PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR TRIGLISERIDA PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES Viola Stephanie, 2010. Pembimbing I : dr. Lisawati Sadeli, M.Kes. Pembimbing II : dr. Ellya Rosa Delima, M.Kes. Obesitas

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007

ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007 ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007 Yanuarita Dwi Puspasari, 2009. Pembimbing I : July Ivone, dr., MS Pembimbing II : Caroline Tan Sardjono,

Lebih terperinci

ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014

ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014 ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014 Hemoptisis atau batuk darah merupakan darah atau dahak yang bercampur darah dan di batukkan dari saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif

BAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif memiliki komplikasi dan risiko pasca operasi yang dapat dinilai secara objektif. Nyeri post

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Masalah Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basa.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Gambar 3. Rancang Bangun Penelitian N R2 K2. N : Penderita pasca stroke iskemik dengan hipertensi

BAB 3 METODE PENELITIAN. Gambar 3. Rancang Bangun Penelitian N R2 K2. N : Penderita pasca stroke iskemik dengan hipertensi 51 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancang Bangun Penelitian Jenis Penelitian Desain Penelitian : Observational : Cross sectional (belah lintang) Gambar 3. Rancang Bangun Penelitian R0 K1 R0 K2 R1 K1 R1 K2

Lebih terperinci

TERAPI CAIRAN MAINTENANCE. RSUD ABDUL AZIS 21 April Partner in Health and Hope

TERAPI CAIRAN MAINTENANCE. RSUD ABDUL AZIS 21 April Partner in Health and Hope TERAPI CAIRAN MAINTENANCE RSUD ABDUL AZIS 21 April 2015 TERAPI CAIRAN TERAPI CAIRAN RESUSITASI RUMATAN Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi Mengganti Kehilangan Akut Koreksi 1. Kebutuhan normal 2. Dukungan

Lebih terperinci

Tasnim 1) JIK Vol. I No.16 Mei 2014: e-issn:

Tasnim 1) JIK Vol. I No.16 Mei 2014: e-issn: Efektifitas Pemberian Kompres Hangat Daerah Temporalis dengan Kompres Hangat Daerah Vena Besar Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Demam di Ruang Perawatan Anak BPK RSUD Poso Tasnim 1) Abstrak: Kompres

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kejang demam atau febrile seizure (FS) merupakan kejang yang terjadi pada anak dengan rentang umur 6 sampai dengan 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan randomized. + asam askorbat 200 mg intravena/hari selama 7 hari.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan randomized. + asam askorbat 200 mg intravena/hari selama 7 hari. xlviii BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan randomized control trial (RCT), menggunakan pembutaan ganda. Dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PRIA DEWASA

ABSTRAK. EFEK DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PRIA DEWASA ABSTRAK EFEK DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PRIA DEWASA Reddy Nasa Halim, 2011, Pembimbing 1: Dr. Diana K Jasaputra, dr, M.Kes Pembimbing 2: Jo Suherman, dr, MS,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

NI MADE AYU SRI HARTATIK

NI MADE AYU SRI HARTATIK SKRIPSI PEMBERIAN CAIRAN ELEKTROLIT SEBELUM LATIHAN FISIK SELAMA 30 MENIT MENURUNKAN TEKANAN DARAH, FREKUENSI DENYUT NADI, DAN SUHU TUBUH LATIHAN PADA SISWA SMK PGRI-5 DENPASAR NI MADE AYU SRI HARTATIK

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TRAMADOL DENGAN KOMBINASI TRAMADOL + KETOLORAC PADA PENANGANAN NYERI PASCA SEKSIO SESAREA

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TRAMADOL DENGAN KOMBINASI TRAMADOL + KETOLORAC PADA PENANGANAN NYERI PASCA SEKSIO SESAREA PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TRAMADOL DENGAN KOMBINASI TRAMADOL + KETOLORAC PADA PENANGANAN NYERI PASCA SEKSIO SESAREA 1 Ayu Y.S Fajarini 2 Lucky Kumaat, 2 Mordekhai Laihad 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno Deficiency Syndrome(AIDS) saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Selama kurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada anak, dan biasanya kejang sudah dimulai sejak usia bayi dan anak-anak. Kejang pada

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

PROFIL PENDERITA INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM MALIK TAHUN 2012

PROFIL PENDERITA INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM MALIK TAHUN 2012 PROFIL PENDERITA INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM MALIK TAHUN 2012 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran Oleh: ANUOSHA

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK JUS BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP BERAT BADAN MENCIT Swiss Webster JANTAN

ABSTRAK. EFEK JUS BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP BERAT BADAN MENCIT Swiss Webster JANTAN ABSTRAK EFEK JUS BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP BERAT BADAN MENCIT Swiss Webster JANTAN Sylvia Sari Dewi, 2012. Pembimbing I : Rosnaeni, Dra., Apt. Pembimbing II: Sylvia Soeng, dr.,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT SPIRITUALITAS DENGAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA PASIEN HIV/AIDS DI YAYASAN SPIRIT PARAMACITTA DENPASAR

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT SPIRITUALITAS DENGAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA PASIEN HIV/AIDS DI YAYASAN SPIRIT PARAMACITTA DENPASAR SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT SPIRITUALITAS DENGAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA PASIEN HIV/AIDS DI YAYASAN SPIRIT PARAMACITTA DENPASAR Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan OLEH:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue yang tergolong dalam famili Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua paling sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010 ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010 Indra Pramana Widya., 2011 Pembimbing I : Freddy T. Andries, dr., M.S

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA LIDOKAIN 0,50 mg/kgbb DENGAN LIDOKAIN 0,70 mg/kgbb UNTUK MENGURANGI NYERI PENYUNTIKAN PROPOFOL SAAT INDUKSI ANESTESIA

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA LIDOKAIN 0,50 mg/kgbb DENGAN LIDOKAIN 0,70 mg/kgbb UNTUK MENGURANGI NYERI PENYUNTIKAN PROPOFOL SAAT INDUKSI ANESTESIA PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA LIDOKAIN 0,50 mg/kgbb DENGAN LIDOKAIN 0,70 mg/kgbb UNTUK MENGURANGI NYERI PENYUNTIKAN PROPOFOL SAAT INDUKSI ANESTESIA Stefhany Rama Mordekhai L. Laihad Iddo Posangi Fakultas

Lebih terperinci