BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Menurut Walgito (2005:11) dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Menurut Walgito (2005:11) dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis Pegertian Perilaku agresif Menurut Walgito (2005:11) dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat deferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama. Perilaku atau aktivitas itu merupakan jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenainya. Menurut Thoha (2005:2), perilaku pada hakikatnya merupakan tingkah laku manusia. Kerangka dasar pengetahuan bidang ini didukung oleh dua komponen, yaitu individu-individu yang berperilaku dan wadah dari perilaku itu. Ciri peradaban manusia yang bermasyarakat senantiasa ditandai dengan keterlibatannya dalam suatu organisasi tertentu atau kelompok tertentu. Aal ini berarti bahwa manusia tidak bisa melepaskan dirinya untuk terlibat pada kegiatankegiatan organisasi atau kegiatan sosial lainnya baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat luas. Selanjutnya Thoha (2005:5) berpendapat perilaku adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat. 7

2 8 Perilaku tersebut ditimbulkan dari pengaruh masyarakat terhadap manusia dan aspek yang ditimbulkan oleh manusia terhadap masyarakat. Cummings (dalam Thoha, 2005:6) menekankan bahwa perilaku adalah cara berpikir, suatu cara untuk memahami persoalan-persoalan dan mendefinisikan secara nyata hasil-hasil penemuan berupa tindakan-tndakan pemecahan. Selanjutnya Cummings menambahkan beberapa perilaku tersebut antara lain; a) masalah dan persoalan-persoalan dirumuskan secara tipikal dalam bentuk kerangka kerja yang bebas, b) mendorong adanya suatu perbuatan sebagai hasil yang diinginkan oleh organisasi dan orang-orang yang berbeda dalam organisasi, c) perilaku dapat mengembangkan pribadi manusia, d) perilaku dapat menjadi pengetahuan yang lebih berorentasi pada pelaksanaan kerja, e) pengetahan perilaku banyak dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku, kehatihatian, refleksi ilmu pengetahuan umum yang didasarkan pada kenyataan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku seorang individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang akan berperilaku baik apabila lingkungan tempat tinggal individu berperilaku baik, begitu pula sebaliknya. Lingkungan yang berperilaku baik adalah lingkungan di mana seseorang individu beradaptasi dan melakukan aktivitas. Terkait dengan perilaku agresif, Rosmala (2005:42) mengatakan bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan anak yang menyebabkan anak lain merasa terganggu atau merasa kurang enak. Di sisi lain perilaku agresif dapat mempengaruhi proses pembelajaran, dimana hal ini berdampak pada konsentrasi

3 9 belajar anak itu sendiri maupun anak lain. Perilaku agresif pada dasarnya mengganggu orang lain tanpa menghiraukan objek yang diganggu tersebut. Rosmala (2005:42) menambahkan, contoh perilaku agresif antara lain mengejek, menyebar rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), mengancam, menindas, memalak, atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul). Dengan demikian, membiarkan atau menerima anak berperilaku agresif, berarti sama halnya dengan menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan meningkatkan budaya kekerasan dan kebiadaban. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya pembentukan kerakter terpuji. Selanjutnya, perilaku agresif usia TK perlu mendapat perhatian penuh dari guru, mengingat anak usia TK merupakan masa pendidikan awal. Apabila hal ini diabaikan, maka perilaku tersebut akan berpengaruh pada jenjang pendidikan selanjutnya. Dalam dunia pendidikan, anak usia TK harus diperkenalkan, dilatih dan dibiasakan untuk berbudi pekerti luhur, sopan santun, serta ramah dalam pergaulan misalnya, tidak boleh sombong dan congkak terhadap orang lain, cara menghormati guru, menghormati teman sebaya, menyayangi orang yang lebih muda, sopan dalam berjalan, lembut dalam bercakap-cakap dengan orang lain, peduli terhadap sesama, belajar dengan giat, dan sebagainya.

4 10 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah secara keseluruhan semua tingkah laku anak yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, baik yang berhungan dengan norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan lain-lain. Perilaku agresif pada umumnya nampak pada unsur mental dengan motif subyektif, yaitu mencapai suatu objek tertentu dengan disertai kekerasan agresif Bentuk-bentuk Perilaku agresif Menurut Setiono (2007:27) dalam perkembangan menuju kematangan sosial, bentuk-bentuk perilaku agresif selalu ditunjukkan, di antarannya: 1. Pembangkangan (Negativisme) Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia empat tahun dan mulai menurun pada usia lima hingga enam tahun. Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju kearah independent. 2. Agresi (Agression) Agresi diartikan perilaku untuk menyerang balik secara fisik maupun nonfisik. Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini

5 11 diwujudkan dengan menyerang seperti; mencubut, menggigit, menendang dan lain sebagainya. Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin memingkat. 3. Berselisih (bertengkar) Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain. 4. Menggoda (teasing) Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya. 5. Persaingan (rivaly) Persaingan (rivaly) ini terjadi karena adanya keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestise dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik. 6. Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior) Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior) dimaksudkan adalah tingkahlaku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.

6 12 8. Mementingkan diri sendiri (selffishness) Mementingkan diri sendiri (selffishness) atau sering disebut sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya Berdasarkan bentuk-bentuk perilaku agresif yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku agresif pada usia TK merupakan perwujudan jati diri agar bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang siap untuk menjadi diri sendiri tanpa harus membebani orang lain. Dengan kata lain, perilaku agresif pada usia TK tidak harus sama dengan perilaku agresif orang dewasa. Perilaku agresif usia TK adalah bagian agresifitas untuk bisa menjadi diri sendiri Faktor faktor yang Mempengaruhi Anak Berperilaku Agresif Pada dasarnya, ada dua faktor yang mempengaruhi anak berperilaku agresif, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Adapun faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Menurut Martina (2007:17-18), di antara faktor internal tersebut adalah: 1. Terhalangnya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu, yaitu setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, maka jiwa anak langsung memberontak sehingga nampak tingkah laku anak bersifat negatif. 2. Ketidakmampuan mengungkapkan diri, yaitu dengan adanya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tetapi tidak bisa, dan orang tua pun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tingkah laku negatif.

7 13 3. Tidak terpenuhinya kebutuhan, yaitu dengan adanya keinginan memnuhi kebutuahnnya, maka anak akan membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Misalnya; kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah berperilaku agresif. Contoh lainnya adalah; anak yang berusia 3-4 tahun ingin mengambil minuman yang memakai wadah gelas kaca, tetapi tidak diperbolehkan oleh orang tuanya atau pegasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau rasa kesal karena tidak diperbolehkan, ia berperilaku negatif agar dipebolehkan. b. Faktor Eksternal Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Menurut Musbikin (2009:69), di antara faktor eksternal tersebut adalah: 1. Orang tua Orang tua merupakan figur pertama dan utama yang sangat mempengaruhi kehidupan anak. Sehinga kepedulian dan keterlibatan orang tua dalam pembentukan perilaku anak sangat penting demi menciptakan anak-anak yang memiliki kepribadian dan tingkah laku mulia. Az-Zhecolany (2011:73) menyatakan bahwa hubungan orang tua dengan anak merupakan interaksi awal yang dirasakan anak. Dikatakan interaksi awal karena orang yang pertama kali dikenal dan berada didekatnya adalah orang tuanya. Hubungan orang tua dengan anak pada

8 14 lingkungan keluarganya akan sangat membekas dan dapat bernilai pendidikan manakala arahan, bimbingan dan segala aktivitas orang tua dan seluruh anggota keluarganya dicerna dan menjadi karakter pembentuk sikap dan watak anak. Aswari (2008:39) mengungkapkan bahwa memulai pendidikan dan melatih anak sejak kecil merupakan kunci dari pembentukan perilaku agresif anak dan cara yang baik maupun cara yang jelek yang diterimanya sejak kecil membekas dihati anak bila ia telah dewasa. Selanjutnya Achmadi (2007:26) mengemukakan bahwa hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua mendidik anak agar berperilaku positif di antaranya: a) Memotivasi dan mengarahkan anak-anak agar aktif melaksanakan ibadah, b) Mengarahkan dan memberi keteladanan kepada anak dengan bertutur kata yang sopan, berbuat yang jujur, bertindak yang benar, lemah lembut dalam bersikap, dan lain-lain, c) Membiasakan anak untuk selalu bekerja dan mandiri. d) Menanamkan nilai-nilai solidaritas dan rasa bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban. Jika upaya-upaya yang disebutkan tersebut dapat dioptimalkan oleh orang tua, maka secara kodrati orang tua telah melaksanakan amanat Tuhan serta telah mendidik anak-anaknya berperilaku mulia atau tidak menjadi anak nakal. 2. Lingkungan Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan rumah dan lingkungan sekolah. Kedua lingkungan sangat mempengaruhi perilaku agresif dan watak

9 15 anak. Rohani (2006:19) mengemukakan bahwa, antara pembawaan dan lingkungan, keduanya saling membutuhkan dan saling terdapat jalinan erat melekat. Berdasarkan hal tersebut dapat dimaknai, bahwa faktor lingkungan secara potensial sanggup atau dapat mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku. Anak yang dalam tahap perkembangannya tidak lepas dari lingkungan, banyak menerima pengaruh positif maupun negatif. Perilaku agresif yang diluar batas kewajaran merupakan pengaruh negatif yang perlu ditindaki. Di samping itu, orang tua perlu memperhatikan lingkungan tempat anak berinteraksi. Secara psikologis, interaksi anak dengan lingkungan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Hal ini beralasan oleh karena anak banyak bergaul dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan keluarga yang berbeda-beda. Pada awalnya anak banyak meniru perbuatan siapa saja yang ia kenal, tanpa mempertimbangkan apakah perilakunya baik atau tidak baik. Semakin sering anak bergaul dengan lingkungannya yang baik, maka potensi anak untuk berperilaku baikpun semakin besar. Sebaliknya, jika anak sering bergaul dengan lingkungan yang kasar, dengan orang yang tidak jujur, malas, sombong dan lainnya, maka semakin besar pula sikap negatif itu akan membekas pada diri si anak. Dengan demikian, lingkungan keluarga hendaknya memberikan kepada anak ketegasan tentang ukuran mengenai yang baik, mengarahkan anak pada perasaan suka pada yang baik, serta membenci perbuatan yang tidak baik termasuk perilaku agresif.

10 16 3. Teman sebaya Banyak anak yang dari lingkungan keluarga berperilaku baik, begitu beradaptasi dengan teman sebaya yang perilakunya agak menyimpang, maka anak turut pula terseret megikuti perilaku temannya yang negatif tersebut. Hal ini dilakukan berdasar pada ketaatan berteman, di mana apabila anak tersebut tidak mengikuti perilaku temannya, ia tidak diikut sertakan dalam kelompok bermain. Proses meniru pada anak tentang perilaku anak lainnya perlu ditangani secara serius oleh orang tua maupun orang dewasa lainnya. Berteman bagi anak merupakan kebutuhan psikologis anak yang harus dipenuhi. Namun dalam hal ini orang tua perlu tanggap dalam mengamati anak dalam berteman. Simandjuntak (2006:81) menjelaskan, bahwa hal lain yang tidak ada dalam pergaulan antar anak, ialah tujuan etis yang ingin dicapai. Karena itu situasi pendidikan, apalagi situasi mendidik tidak akan muncul, seperti halnya di dalam pergaulan anak di lingkungan keluarganya. Tujuan anak-anak bergaul sering hanya karena ingin berteman untuk bermain-main, yang pada hakekatnya merupakan aspek sosial yang besar pengaruh pada pembentukan pribadi anak. Selanjutnya, Baradja (2005:76) menjelaskan bahwa anak memerlukan teman sebaya yang akan menjadi tempat untuk menyatukan perasaan, pemikiran motif dan tingkah laku dirinya dengan orang lain yang seusianya memungkinkan akan terjalin hubungan sosial, sehingga antara satu dengan yang lainnya akan terjadi saling mempengaruhi. Namun demikian, di dalam pergaulan antar anakanak dikatakan tidak ada proses mendidik, karena tidak ada di antara anak-anak

11 17 itu yang memiliki kewibawaan. Jadi lain halnya dengan pergaulan antara anak dengan orang tuanya. Sebabnya ialah, karena semua anak itu pada kedudukan yang sama, terutama di lapangan moril. Mungkin tampak ada anak yang mendominasi teman-temannya dalam pergaulan antar anak, tetapi dominasi tersebut dapat disebabkan oleh umur yang lebih tua atau olah keadaan fisik yang melebihi anak lain. Pergaulan antar anak dengan teman sebaya akan mendidik mereka untuk tidak berbuat sekehendak hatinya, misalnya ia tidak akan mengambil dan mempergunakan milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Di samping itu disadarinya juga, bahwa milik orang lain yang digunakannya harus dijaganya dengan sebaik baiknya. Peraturan ini berlaku bagi semua anak. Tampak di sini betapa anak belajar hidup bersama dengan landasan etik sosial. Selain uraian tersebut, Gunarsa (2006:273) mengemukakan bahwa penyebab perilaku agresif dibagi menjadi tiga, yaitu; faktor sosiologis, psikologis, dan biologis. Faktor sosiologis merupakan faktor eksternal yang mendukung terjadinya perilaku agresif, sehingga dapat dikatakan adanya suatu lingkungan delinquen yang dapat mempengaruhi anak agresif tersebut. Termasuk di dalamnya adalah; latar belakang keluarga, komunitas di mana anak berada, dan lingkungan sosial. Di samping itu, peranan lingkungan masyarakat, penerimaan dan umpan balik masyarakat terhadap anak memberikan dampak yang besar terhadap perilaku agresif anak. Bila peranan lingkungan masyarakat positif, maka akan memberikan

12 18 dampak positif pula pada anak, tetapi bila sebaliknya, maka tidak menutup kemungkinan pengaruh lingkungan dapat menjadikan anak berperilaku nakal. Adapun faktor psikologis, meliputi hubungan anak dengan orang tua dan faktor kepribadian anak itu sendiri. Suasana dalam keluarga, hubungan antara anak dengan orang tua memegang peranan penting atas terjadinya perilaku agresif. Sedangkan faktor biologis, yaitu pengaruh lemen fisik, organik, atau biologis yang terdapat pada diri anak. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengaruh teman sebaya dalam pembentukan perilaku anak ada yang bersifat positif dan ada juga bersifat negatif. Bersifat positif, ketika anak dalam proses pergaulan dengan teman sebaya memperoleh petunjuk secara spontanitas, misalnya mengambil barang orang lain tidak di perbolehkan. Makanya dengan tidak melibatkan dirinya dalam kelompok bermain, merupakan pelajaran yang berharga. Selanjutnya bersifat negatif, anak turut serta dalam pergaulan teman sebaya yang tidak disenangi oleh lingkungan/teman lainnya, seperti memukul-mukul meja pada saat pembelajaran berlangsung. Sebagai pendidik pergaulan antar anak di dalam sekolah perlu mendapatkan perhatian, terutama penanaman rasa persaudaraan, saling menghargai, berlaku sopan, saling menyayangi perlu diberikan pada semua pelajaran secara terpadu.

13 Upaya-upaya dalam Meminimalkan Perilaku Agresif Anak Perilaku agresif pada dasarnya merupakan perbuatan yang dapat merugikan orang lain serta diri sendiri, sehingga perlu diminimalisir atau dikurangi bahkan dihilangkan. Perilaku ini di samping mengganggu ketertiban umum juga mempengaruhi peroses belajar mengajar. Itulah sebabnya, untuk meminimalisir perilaku agresif yang dijumpai di sekolah, menurut Permanarian (2005:49), ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu usaha pencegahan dan usaha refresif atau pengembalian/perbaikan. Adapun untuk usaha pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah, menurut Permanarian (2005:50) di antaranya; a) melengkapi semua sarana pendidikan dan pengajaran sekolah, b) penggunaan waktu yang senggang hendaknya selalu memperoleh perhatian dan pengawasan guru. Jika hal ini diperhatikan dengan baik, maka akan mengurangi kebosanan anak serta terhindarnya anak dari perbuatan yang nakal. Selanjutnya, untuk upaya represif atau perbaikan ialah usaha mengembalikan bagi anak yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran norma sosial. Jadi usaha ini pada hakikatnya merupakan sarana dalam mengatasi dan menanggulangi masalah kenakalan yang mengarah pada usasha pencegahan dan penyembuhan. Sarana yang bersifat represif antara lain membuat tata tertib sekolah tentang kenakalan anak. Kalau perilaku individu mencakup segala pernyataan hidup, maka betapa banyak kata yang harus dipergunakan untuk mendeskrepsikannya. Untuk

14 20 keperluan studi tentang perilaku perlu ada sistematika pengelompokan berdasarkan kerangka berfikir tertentu (taksonomi). Dalam konteks pendidikan, Bloom (dalam Gulo, 2005:69) mengungkakan tiga domain (kawasan) perilaku individu, yaitu; 1) kaawasan kognitif; 2) kawasan afektif; 3) kawasan psikomotor. Tasonomi perilaku tersebut menjadi rujukan penting dalam peroses pendidikan, terutama kaitannya dengan usaha dan hasil pendidikan, segenaap usaha pendidikan seyogyanya diarahkan untuk terjadinya perubahan perilaku anak secara menyelruh, dengan mencakup semua kawasan perilaku Pengertian Bermain Peran Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Menurut Hurlock (dalam Tedjasaputra, ahli bahasa, 2001: 320) bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian untuk memberikan informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Bermain mempunyai fungsi sangat penting bagi perkembangan pribadi anak dan juga perkembangan sosial dan emosional. Melalui bermain, anak merasakan berbagai pengalaman emosi yang berupa: senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah, dan sebagainya. Melalui bermain pula anak memahami kaitan antara dirinya dan lingkungan sosialnya, belajar bergaul dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan.

15 21 Bermain peran berarti selama proses pembelajaran berlangsung anak diminta memerankan perilaku atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang atau tokoh pada suatu kejadian yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Djamariah dan Zain (2006: 100) mengemukakan bahwa bermain peran pada dasarnya adalah memerankan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Semiawan (2005: 82) bahwa unsur yang menonjol dalam bermain peran adalah unsur hubungan sosial, di mana anak dapat: 1) Mencoba menempatkan diri sebagai tokoh atau pribadi tertentu, misalnya sebagai dokter, petani, guru, pedagang: 2) Berlaku sebagai benda-benda, misalnya berpura-pura menjadi pohon, burung, serta benda-benda lainnya. Memperhatikan uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa metode bermain peran berarti meminta anak memerankan perilaku atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang atau tokoh pada suatu kejadian. Dengan kata lain, selama proses pembelajaran berlangsung anak diminta memerankan perilaku atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang atau tokoh pada suatu kejadian yang berkaitan dengan materi yang dipelajari Penerapan Metode Bermain Peran pada Anak TK Penelitian dan teori mendukung pengalaman bermain sebagai sebuah dasar untuk anak yang bermutu, tetapi semua anak tidak mendapatkan keuntungan secara penuh tanpa rencana, penataan lingkungan, dan pijakan orang dewasa dalam memberi pengalaman. Itulah sebabnya agar semua anak mendapatkan keuntungan penuh setelah melakukan permainan, maka pengalaman bermain anak

16 22 seharusnya direncanakan dengan hati-hati dan diberi pijakan untuk memenuhi kebutuhan setiap anak. Selanjutnya, dalam kegiatan belajar melalui metode bermain peran, seorang guru jangan hanya membiarkan anak bermain sendiri. Para guru, guru tidak mesti berdiam diri atau sekedar ngobrol, tanpa menghiraukan anaknya bermain, akan tetapi seharusnya mereka menuntun dan memperhatikan anak serta memberi mereka pijakan-pijakan sebagaiman tersebut. Turner and Helms (2007:15) lebih menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi anak. Kegiatan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan anak lain serta mampu mengenal berbagai aturan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Secara garis besar kegiatan bermain dibedakan menjadi tiga kategori besar yaitu: (a) exploratory and manipulative play (bermain menjelajah dan manipulatif), (b) deskruktive play (bermain menghancurkan) dan, (c) imaginative atau make-believe play (bermain berkhayal atau pura-pura). Ketiga teori permainan yang disebutkan tersebut menunjukkan, bahwa berdasarkan para ahli melalui metode bermain, maka sendirinya anak dapat melakukan pengalaman yang bermakna dan menyenangkan dalam hidupnya dengan bahan, benda, atau anak lain, berdasarkan bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa. Selanjutnya dengan metode bermain, dapat menolong para anak berkembang secara sempurna, baik fisik, emosi, kognisi, dan sosial. Itulah

17 23 sebabnya, teori dan penelitian tentang bermain seharusnya menjadi dasar untuk program pendidikan bagi anak yang berkualitas dan bermutu tinggi. Salah satu jenis bermain yang berkualitas dan bermutu tinggi bagi anak adalah berain peran. Bermain peran juga disebut main simbolik, main pura-pura, khayalan, fantasi, make-believe, fantasi, imajinasi, atau main drama. Permainanpermainan ini sangat penting untuk melatih perkembangan kognisi, sosial dan emosi pada anak sejak usia tiga sampai 15 tahun (Vygosky, 1967; Erikson, 1963). Di samping itu, bermain peran seperti ini dipandang sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar untuk mengembangkan daya cipta, tahapan ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan pengambilan sudut pandang spesial, dan ketrampilan pengampilan keputusan kognisi (Gowen, 2005:5). Bermain peran membolehkan anak memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan kembali masa lalu. Anak TK yang terlibat dalam naskah main pura-pura/main peran bukan berarti lepas dari dunia nyata, melainkan untuk memahami dunia nyata. Bermain peran menyediakan kesempatan untuk mengurutkan, memahami dan mengendalikan dunia mereka sendiri. Orang dewasa yang hidup dalam kekerasan atau lingkungan yang berantakan, memerlukan main peran sebagai suatu cara untuk ambil bagian dalam pengalaman-pengalaman yang menakutkan atau buruk dan memungkinkan anak memahami potongan-potongan kejadian.

18 24 Namun demikian, menurut Abd. Kadir Husain (2003:35) mutu pengalaman bermain peran sangat tergantung pada variabel berikut ini : a) Cukup waktu untuk bermain (paling sedikit satu jam) b) Ruang yang cukup, sehingga perabotan tidak penuh sesak, alat-alat mudah dijangkau, dan semua anak dapat bermain secara kelompok yang paling sedikit sebanyak empat sampai enam anak dapat bermain dengan nyaman. c) Alat-alat untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan. d) Orang dewasa dapat memberi pijakan bila dibutuhkan untuk meningkatkan ketrampilan main peran anak. Erik Erikson (2006:5) menjelaskan dua jenis bermain peran: mikro dan makro. Bermain peran mikro, yaitu anak dapat memainkan peran dengan menggunakan alat bermain berukuran kecil, contoh kandang dengan binatangbinatangan dan orang-orangan kecil. Sedangkan bermain peran makro, yaitu seorang yang belajar bermain menjadi tokoh menggunakan alat berukuran besar yang digunakan untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, contoh memakai baju dan menggunakan kotak kardus yang dibuat menjadi mobil-mobilan atau benteng. Sentra bermain peran harus ada di dalam dan di luar, mendukung anak dengan alat dan perlengkapan untuk bermacam-macam bermain peran. Selanjutnya, untuk anak yang berusia 3 sampai 6 tahun dengan perkembangan dari anak TK, maka alat yang digunakan harus mendukung seluruh tema selain tema di sekeliling anak.

19 Keuntungan dan Kelemahan Metode Bermain Peran Semua metode pembelajaran memiliki keunggulan di samping kelemahankelemahannya. Pada metode bermain peran, Mubtadiin (2009:1) mengemukakan keunggulan metode bermain peran, yaitu mampu melatih kompetensi anak didik dalam melaksanakan kegiatan praktis karena dirancang secara cermat dan mendekati kegiatan yang sebenarnya. Pendapat lainnya, oleh Muthoharoh (2010:2) yang mengemukakan kebaikan atau keunggulan metode bermain peran, yaitu: 1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan anak didik, disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan; 2) Sangat menarik bagi anak didik, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias; 3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri anak didik, serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi; 4) Anak didik dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, serta dapat mengambil makna yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan anak didik sendiri. Selain keunggulan-keungulan tersebut, metode bermain peran memiliki kekurangan atau kelemahan. Dalam kaitan dengan hal ini, Mubtadiin (2009:2) mengemukakan kelemahan metode bermain peran, yakni; (1) tidak semua guru

20 26 menguasai kompetensi yang akan disimulasikan, sehingga jika dipaksa menerapkan metode bermain peran, maka simulasi tidak mewakili kondisi nyata; (2) Tidak semua guru memiliki kompetensi merancang kegiatan simulasi; (3) memerlukan persiapan dan penyiapan yang matang serta membutuhkan banyak waktu; (4) bisa terjadi demotivasi dalam diri anak didik yang kurang berperan dalam kegiatan tersebut atau memainkan peran yang kurang disukainya. Sementara itu, Muthoharoh (2010:3) yang mengemukakan pula kelemahan metode bermain peran, yaitu: 1) Sosiodrama dan bermain peranan memelukan waktu yang relatif panjang. 2) Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun anak didik, dan ini tidak semua guru maupun anak didik yang memilikinya; 3) Kebanyakan anak didik yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk melakukan suatu adegan tertentu; 4) Apabila pelaksanaan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai; 5) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode bermain peran. Memperhatikan uraian tersebut jelaslah bahwa metode bermain peran, selain memiliki keunggulan atau kelebihan, juga mempunyai kekurangan atau

21 27 kelemahan. Hal ini mengharuskan guru lebih profesional dalam menerapkan metode pembelajaran tersebut Langkah-langkah Penerapan Metode Bermain Peran Guna mengefektifkan metode bermain peran, perlu diperhatikan beberapa petunjuk penggunaan teknik bermain peran. Berkaitan dengan hal ini, Semiawan (2006:83) mengemukakan beberapa langkah dalam menggunakan metode bermain peran dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) menentukan topik; (2) menyusun kalimat-kalimat untuk berperan; (3) menentukan anggota-anggota pemeran; (4) Anak mempelajari perannya masing-masing; (5) melaksanaan permainan peran. Pendapat lainnya oleh Djamariah (2006:100) yang mengemukakan langkahlangkah bermain peran dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) menetapkan dahulu masalah yang menarik perhatian anak; (2) menceritakan kepada anak mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks cerita tersebut; (3) menetapkan anak yang mampu dan bersedia untuk memainkan peranannya; 4) menjelaskan kepada anak mengenai peranan mereka pada waktu pembelajaran berlangsung. Sejalan dengan pendapat tersebut, Muthoharoh (2010: 4) mengemukakan langkah-langkah penerapan metode bermain peran, sebagai berikut. 1. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan melalui metode ini, dan tujuan tersebut diupayakan jelas dan mudah dilaksanakan; 2. Menjelaskan latar belakang bermain peranan tersebut, untuk menarik minat anak bermain peran;

22 28 3. Menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan bermain peran melalui peranan yang harus anak didik lakukan/mainkan; 4. Menetapkan siapa-siapa diantara anak didik yang pantas memainkan/ melakonkan jalannya suatu cerita. 5. Sebaiknya diadakan latihan-latihan secara matang, kemudian diadakan uji coba terlebih dahulu, sebelum bermain peran dipentaskan. Selanjutnya Johana Rosalina K (2005:72), mengetengahkan beberapa manfaat dari metode bermain peran pada pembelajaran anak-anak, di antaranya: a. Kemampuan sosial Sambil bermain, anak juga ikut belajar berbagi, belajar mengantri, dan berkomunikasi bersama teman-temannya. Ia pun mulai belajar untuk bekerja sama dengan orang lain. b. Kemampuan mengelola emosi Kemampuan ini termasuk untuk memahami perasaan takut, kecewa, sedih, marah, dan cemburu. Melalui imajinasi yang dibangunnya sendiri maka ia mulai belajar mengelola dan memahami perasaan-perasaan tersebut, misalnya; ketika ia melakukan permainanan yang melibatkan perasaan, ia mulai belajar untuk berempati dengan perasaan orang lain. c. Kreativitas Dalam dunia khayal, anak menjadi terbiasa melakukan apa saja. Bahkan, semakin sering ia melakukan permainan peran maka akan semakin besar daya kreatifitasnya terasah

23 29 d. Disiplin Saat bermain peran, biasanya ia mengambil peraturan dan pola hidupnya masing-masing. Misalnya, saat ia bermain peran sebagai orangtua yang menidurkan anaknya, ia akan bersikap dan menyatakan seperti apa yang sering dilakukan dan dikatakan oleh orang tuannya. Sehingga secara tidak langsung, ia pun membangun kedisiplinan dan keteraturan pada dirinya. e. Keluwesan Saat bermain peran, secara tidak langsung sikecil mulai belajar untuk mengatasi rasa takut dan hal-hal yang sebelumnya berbeda bagi mereka. Dengan demikian, kegiatan bermain peran sangat membantu guru untuk dapat mengevaluasi dan menemukan anak-anak yang memiliki bakat atau minat dalam hal seni kreatifitas. Itulah sebabnya dalam memenuhi predikat guru profesional, guru dituntut untuk lebih kreatif mempelajari metode-metode modern dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi guna diterapkan pada proses mengajar yang sangat dibutuhkan oleh semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan. Sehingga target pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa sebagai penerus cita- cita dapat tercapai. 2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Berkaitan dengan kajian penelitian yang ada hubungannya dengan meminimalkan perilaku agresif anak melalui metode bermain peran di TK ABA V Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, berikut ini peneliti akan paparkan hasil penelitian dimaksud antara lain:

24 30 1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim Papeyo (2011), dikemukakan bahwa kondisi lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku agresif anak. Dalam hal ini lingkungan yang menjadi obyek penelitiannya adalah lingkungan pasar sebagai tempat tinggal anak. Pengaruh tempat tinggal anak di sekitar pasar cenderung kelihatan kasar, nakal dan agresif. Itulah sebabnya upaya mengatasinya pun harus lebih persuasif dan bijaksana. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Silvana Harun (2011), bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak yang berperilaku agresif adalah meningkatkan peran pola asuh orang tua. Hal ini beralasan oleh karena, anak sebagai individu yang paling banyak berinteraksi dengan lingkungan keluarga, bahkan orang yang pertama kali ditemui oleh anak ketika lahir ke dunia ini adalah orang tuanya, maka hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku anak sangat dominan ketimbang yang lainnya. 3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suriati Pale (2011), mendeskripsikan bahwa suasana kehidupan keluarga sangat rentang dengan pembentukan perilaku sosial anak. Dari data statistik menunjukkan, hubungan yang diperoleh antara variabel X dan Y dengan harga r 2 =0,9467, yang berarti sebesar 94,67 % perilaku sosial anak ditentukan oleh suasana kehidupan keluarga, dan hanya 5,33 % ditentukan oleh faktor-faktor lain. Dari kajian dan uraian tersebut, setelah dianalisis belum ada yang meneliti secara rinci tentang meminimalkan perilaku agresif anak terlebih lagi

25 31 menfokuskan pada salah satu lembaga pra pendidikan formal yaitu Pendidikan Anak TK (Taman Kanak-kanak). Hal itulah yang kemudian memotivasi peneliti untuk melakukan kajian penelitian secara obyektif yaitu meminimalkan perilaku agresif anak melalui metode bermain peran di TK ABA V Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, dengan menjadikan hasil penelitian tersebut tersebut sebagai referensi utama sekaligus sebagai sumber informasi munculnya gagasan untuk membahas secara spesifik tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. 2.3 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori tersebut tersebut, maka hipotesis tindakan yang dapat penulis rumuskan adalah jika guru menggunakan metode bermain peran dalam kegiatan pembelajaran di TK ABA V Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, maka perilaku agresif anak dapat diminimalkan. 2.4 Indikator Kinerja Penelitian ini dinyatakan berhasil bila perilaku agresif anak dapat diminimalkan melalui metode bermain peran, dengan indikator jumlah anak yang perilaku agresifnya baik dari sebelumnya berjumlah 12 dari 20 orang atau (60 %) dapat diminimalkan menjadi 3 orang (15%) dari keseluruhan anak.

26 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teoretis yang telah dikemukakan, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Jika tutor menggunakan teknik permainan balok dalam pembelajaran, maka kreativitas anak TK Al-Ikhlas Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara dapat meningkat. Indikator kreativitas anak tersebut dapat berupa; anak dapat melakukan perbaikan atau solusi sendiri apabila ia berhadapan dengam masalah-

27 33 masalah yang ada di sekitar kehidupannya, anak dapat berinteraksi sosial secara baik dengan teman-temannya dalam melakukan suatu aktivitas, serta kemampuan anak dalam menyampaikan hasil permainannya kepada temannya akan semakin baik dan objektif. 2.3 Indikator Kinerja Sebagai indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah apabila minimal 75 % anak TK Al- Ikhlas Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara sudah meningkat kreativitasnya melalui teknik permainan balok. Dengan demikian, apabila dalam pelaksanaan penelitian nanti kreativitas anak di bawah dari 75%, maka dilakukan perbaikan pembelajaran dalam bentuk siklus dengan tetap menggunakan tekhnik permainan balok hingga mencapai harapan yang diinginkan.

28 34

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL I. PENGERTIAN DAN PROSES SOSIALISASI Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1990). Tuntutan sosial pada perilaku

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL 3/22/2012

PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL 3/22/2012 PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL Yusuf (2007) menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai

Lebih terperinci

PENGESAHAN JURNAL. Oleh NURLAILA DENGO NIM

PENGESAHAN JURNAL. Oleh NURLAILA DENGO NIM PENGESAHAN JURNAL MEMINIMALKAN PERILAKU AGRESIF ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN MIKRO MENGGUNAKAN MEDIA BONEKA TANGAN DI KELOMPOK A TK NEGERI PEMBINA SIPATANA KOTA GORONTALO Oleh NURLAILA DENGO NIM 153

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI Titing Rohayati 1 ABSTRAK Kemampuan berperilaku sosial perlu dididik sejak anak masih kecil. Terhambatnya perkembangan sosial anak sejak kecil akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prasekolah, serta merupakan wadah pendidikan pertama di jalur formal yang

BAB I PENDAHULUAN. prasekolah, serta merupakan wadah pendidikan pertama di jalur formal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan prasekolah, serta merupakan wadah pendidikan pertama di jalur formal yang memiliki fungsi sebagai peletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar pemikiran tersebut, pendidikan karakter. dengan metode serta pembelajaran yang aktif.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar pemikiran tersebut, pendidikan karakter. dengan metode serta pembelajaran yang aktif. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan nilainilai karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga peserta didik dapat memaknai karakter bangsa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Usia Dini 1. Keterampilan Sosial Anak usia dini merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan imajinasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Pendidikan Taman Kanak-Kanak memiliki peran yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Pendidikan Taman Kanak-Kanak memiliki peran yang sangat penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yaitu anak yang berusia empat sampai dengan enam tahun. Pendidikan Taman Kanak-Kanak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Hakikat Perilaku Sosial Anak 2.1.1) Pengertian Perilaku Sosial Anak Hakikat manusia adalah mahluk sosial yang selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan dipelihara karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu setiap warga Negara harus wajib mengikuti jenjang pendidikan baik jenjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia dalam kehidupannya. Kemajuan zaman memiliki nilai yang positif dalam kehidupan manusia, dimana pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pertama. Sekolah juga sebagai salah satu lingkungan sosial. bagi anak yang dibawanya sejak lahir.

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pertama. Sekolah juga sebagai salah satu lingkungan sosial. bagi anak yang dibawanya sejak lahir. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kerangka pelaksanaan pendidikan anak usia dini yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Salah satu bidang pengembangan dalam pertumbuhan keterampilan dasar

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Salah satu bidang pengembangan dalam pertumbuhan keterampilan dasar 8 II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini Salah satu bidang pengembangan dalam pertumbuhan keterampilan dasar ditaman kanak-kanak adalah

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN SOSIAL KELOMPOK USIA 5-6 TAHUN DAN SENTRA IMAN DAN TAQWA. A. Perkembangan hubungan sosial kelompok usia 5-6 tahun

BAB II HUBUNGAN SOSIAL KELOMPOK USIA 5-6 TAHUN DAN SENTRA IMAN DAN TAQWA. A. Perkembangan hubungan sosial kelompok usia 5-6 tahun BAB II HUBUNGAN SOSIAL KELOMPOK USIA 5-6 TAHUN DAN SENTRA IMAN DAN TAQWA A. Perkembangan hubungan sosial kelompok usia 5-6 tahun 1. Pengertian hubungan sosial kelompok usia 5-6 tahun Perilaku sosial merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

OPTIMALISASI KEMAMPUAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK MELALUI MEDIA GAMBAR DI TK KARTIKA 1-18 AMPLAS. Yenni Nurdin 1) dan Umar Darwis 2) UMN Al Washliyah

OPTIMALISASI KEMAMPUAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK MELALUI MEDIA GAMBAR DI TK KARTIKA 1-18 AMPLAS. Yenni Nurdin 1) dan Umar Darwis 2) UMN Al Washliyah OPTIMALISASI KEMAMPUAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK MELALUI MEDIA GAMBAR DI TK KARTIKA 1-18 AMPLAS Yenni Nurdin 1) dan Umar Darwis 2) 1) Mahasiswa FKIP UMN Al Washliyah dan 2) Dosen Kopertis Wilayah I dpk FKIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia kognitif anak-anak ialah kreatif, bebas dan penuh imajinasi. Imajinasi anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999).

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999). BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kematangan Emosional 2.1.1. Pengertian Kematangan Emosional Kematangan emosional dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kecerdasan Interpersonal 2.1 Kecerdasan Interpersonal BAB II KAJIAN TEORI 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hakikat Keterampilan Berbicara 2.1.1 Pengertian Berbicara Menurut Nurgiyantoro (1995:276) Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai kunci peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah hal yang perlu diperhatikan lagi di negara ini. Pendidikan juga dibuat oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

www.rajaebookgratis.com Ayo Bermain Peran! Main dokter-dokteran, main masak-masakan adalah permainan favorit si kecil. Meski terlihat sepele, permainan ini banyak manfaatnya lho! Lazim terlihat, bila si

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Berbahasa Menurut Yuliani Nurani Sujiono (2013) kemampuan berbahasa pada anak umur 5-6 tahun berkembang dengan cepat dan menjadi matang pada masa kanakkanak. Pada anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum

BAB I PENDAHULUAN. yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum memasuki pendidikan dasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majunya perkembangan IPTEK pada era globalisasi sekarang ini membuat dunia terasa semakin sempit karena segala sesuatunya dapat dijangkau dengan sangat mudah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Istilah disiplin berasal dari bahasa latin : Disciplina yang berarti tertib,

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Istilah disiplin berasal dari bahasa latin : Disciplina yang berarti tertib, 5 BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Hakikat Disiplin Anak 2.1.1 Pengertian Disiplin Istilah disiplin berasal dari bahasa latin : Disciplina yang berarti tertib, taat atau mengandalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perkembangan (developmental) merupakan bagian dari masalah psikologi. Masalah ini menitik beratkan pada pemahaman dan proses dasar serta dinamika perilaku

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI

BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI Asep Ardiyanto PGSD FIP Universitas PGRI Semarang ardiyanto.hernanda@gmail.com Abstrak Bermain bagi anak usia dini adalah sesuatu yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesiapan dalam memasuki pendidikan yang lebih tinggi. yang di selenggarakan di lingkungan keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. kesiapan dalam memasuki pendidikan yang lebih tinggi. yang di selenggarakan di lingkungan keluarga. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang di lakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kenakalan remaja bukan merupakan permasalahan baru yang muncul kepermukaan, akan tetapi masalah ini sudah ada sejak lama. Banyak cara, mulai dari tindakan prefentif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, kecerdasan dan keterampilan manusia lebih terasah dan teruji dalam menghadapi dinamika kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan sosial dan keterampilan berbicara merupakan hal yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan sosial dan keterampilan berbicara merupakan hal yang paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan sosial dan keterampilan berbicara merupakan hal yang paling kodrati dilakukan oleh semua orang. Begitu pula dengan seorang anak, sejak dalam kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai orang tua harus mempersiapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia 6 tahun. Secara alamiah perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini pada

BAB I PENDAHULUAN. sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pendidikan yang di berikan anak sejak dini merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh yaitu ditandai dengan karakter budi pekerti luhur pandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan selanjutnya (PKBTK, 2004:4). Didalam Undang-Undang. dijelaskan bahwa pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-Kanak) adalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan selanjutnya (PKBTK, 2004:4). Didalam Undang-Undang. dijelaskan bahwa pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-Kanak) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan pendidikan prasekolah yang mempersiapkan anak didik memasuki pendidikan Sekolah Dasar, bertujuan untuk membantu meletakkan

Lebih terperinci

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Pendahuluan Setiap anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Proses utama perkembangan anak merupakan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG

BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG A. Analisis relevansi kurikulum dengan perkembangan sosial Perkembangan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakag

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakag BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakag Kegiatan pembelajaran dalam pendidikan anak taman kanak-kanak (TK) mengutamakan bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Dalam hal ini inti kegiatan belajar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia, berdampak pada psikologis anak, anak tidak mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara efektif dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan anak. Dalam usia 0-5 tahun, anak diajarkan berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan anak. Dalam usia 0-5 tahun, anak diajarkan berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Usia emas atau golden age adalah masa yang paling penting dalam proses kecerdasan anak. Dalam usia 0-5 tahun, anak diajarkan berbagai macam pendidikan dasar,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN EMPATI ANAK USIA DINI MELALUI MENDONGENG DI TAMAN KANAK-KANAK ASYIYAH PARIAMAN

PENGEMBANGAN EMPATI ANAK USIA DINI MELALUI MENDONGENG DI TAMAN KANAK-KANAK ASYIYAH PARIAMAN PENGEMBANGAN EMPATI ANAK USIA DINI MELALUI MENDONGENG DI TAMAN KANAK-KANAK ASYIYAH PARIAMAN Nanik Iis* Abstrak Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di Taman Kanak-kanak Aisyiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain, atau

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain, atau BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Hakikat Interaksi Sosial Bonner (dalam Budiningsih, 2008:56) mengemukakan interaksi sosial yaitu hubungan antara dua atau lebih individu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing.

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia dini merupakan generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing. Untuk mengoptimalkan potensi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN METODE KETELADANAN DALAM PEMBINAAN AKHLAK ANAK DI RA NURUSSIBYAN RANDUGARUT TUGU SEMARANG

BAB IV ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN METODE KETELADANAN DALAM PEMBINAAN AKHLAK ANAK DI RA NURUSSIBYAN RANDUGARUT TUGU SEMARANG BAB IV ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN METODE KETELADANAN DALAM PEMBINAAN AKHLAK ANAK DI RA NURUSSIBYAN RANDUGARUT TUGU SEMARANG Pendidikan adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan dan sangat menentukan bagi perkembangan serta kualitas diri individu dimasa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH Pendahuluan Pada hakikatnya, anak manusia, ketika dilahirkan telah dibekali dengan bermacam-macam potensi yakni kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini masalah pendidikan yang menyangkut akhlak, moral, etika, tata krama dan budi pekerti luhur mencuat di permukaan, karena banyak perilaku yang menyimpang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (aspek keterampilan motorik). Hal ini sejalan dengan UU No.20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. (aspek keterampilan motorik). Hal ini sejalan dengan UU No.20 tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan manusia yang berkualitas dan berkarakter.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. sebut tariqah artinya jalan, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan

BAB II KAJIAN TEORI. sebut tariqah artinya jalan, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Teori 1. Metode Sosiodrama Metode berasal dari bahasa latin meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan ke atau cara ke. Dalam bahasa arab, metode di sebut tariqah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa tunagrahita pada umumnya termasuk juga siswa tunagrahita ringan, memiliki hambatan dalam kepribadian dan emosinya. Karena mereka kurang memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

Disampaikan oleh Kusmarwanti, M. Pd. (dari berbagai sumber)

Disampaikan oleh Kusmarwanti, M. Pd. (dari berbagai sumber) Disampaikan oleh Kusmarwanti, M. Pd. (dari berbagai sumber) Masalah berawal dari guru Tujuannya memperbaiki pembelajaran Metode utama adalah refleksi diri dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebaya ataupun orang dewasa lainnya (Yusuf,2001;122, Mubiar: 2008;13).

BAB I PENDAHULUAN. sebaya ataupun orang dewasa lainnya (Yusuf,2001;122, Mubiar: 2008;13). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap individu. Sejak lahir, setiap individu sudah membutuhkan layanan pendidikan. Secara formal, layanan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam menunjang keberhasilan pembangunan Bangsa dan Negara. Oleh karena itu perlu diupayakan langkah-langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan Oleh: SISKA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang LISTYA ANGGRAENI, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang LISTYA ANGGRAENI, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia kanak-kanak, merupakan usia belajar berbagai hal. Pada fase ini, anak juga belajar mengembangkan emosinya. Karena pengaruh faktor kematangan dan faktor belajar

Lebih terperinci

BAB 1V KONSEP DIRI REMAJA DELINQUEN DI DESA LOBANG KECAMATAN LIMPUNG KABUPATEN BATANG

BAB 1V KONSEP DIRI REMAJA DELINQUEN DI DESA LOBANG KECAMATAN LIMPUNG KABUPATEN BATANG BAB 1V KONSEP DIRI REMAJA DELINQUEN DI DESA LOBANG KECAMATAN LIMPUNG KABUPATEN BATANG A. Analisis Konsep Diri Remaja Delinquen di Desa Lobang Kecamatan Limpung Kabupaten Batang Masa remaja merupakan masa

Lebih terperinci

PENERAPAN METODA BERMAIN PERAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK DI TK NEGERI PEMBINA KOTA BANDUNG. Nanan Kartini.

PENERAPAN METODA BERMAIN PERAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK DI TK NEGERI PEMBINA KOTA BANDUNG. Nanan Kartini. PENERAPAN METODA BERMAIN PERAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK DI TK NEGERI PEMBINA KOTA BANDUNG Nanan Kartini STKIP Siliwangi Abstrak Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang Penerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa ini sering kali disebut dengan masa keemasan the Golden Age, masa-masa

BAB I PENDAHULUAN. masa ini sering kali disebut dengan masa keemasan the Golden Age, masa-masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah individu yang unik, dimana anak selalu bergerak, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, memiliki potensi untuk belajar dan mampu mengekspresikan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling awal atau pra sekolah. Pendidikan anak usia dini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling awal atau pra sekolah. Pendidikan anak usia dini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling awal atau pra sekolah. Pendidikan anak usia dini merupakan lembaga yang di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses yang dapat mengubah obyeknya. Pendidikan nasional harus dapat mempertebal iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari bantuan dan mengadakan interaksi sosial.

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari bantuan dan mengadakan interaksi sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makluk sosial yang mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan sosial dengan orang lain. Selain sebagai makhluk individu yang memenuhi kebutuhannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak usia 0-3 tahun merupakan masa untuk berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa yang dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci