BAB II KAJIAN PUSTAKA. bertambahannya usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat pada kolon

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. bertambahannya usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat pada kolon"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan Saluran Cerna Lebih dari 95-97% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah berasal dari kolon, sedangkan 3-5% sisanya berasal dari usus halus. LGIB terjadi ± 20% dari perdarahan gastrointestinal (Barnert, 2009). Insidensi LGIB meningkat dengan bertambahannya usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat pada kolon sehingga terjadi perdarahan yaitu pada divertikulosis dan angiodisplasia. Hemmoroid merupakan penyebab tersering LGIB pada pasien dengan usia < 50 tahun, tetapi perdarahan biasanya ringan. Penyebab utama LGIB adalah divertikulosis sebesar 33% kasus, diikuti dengan kanker dan polip yaitu sebesar 19% (Nguyen dan Frizelle, 2007). 2.2 Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Penyebab paling sering dari LGIB adalah penyakit diverticular sebesar 60%, IBD 13%, dan penyakit anorektal 11% (Lavakoli, et al., 2004) Divertikulosis Divertikulosis adalah suatu kelainan dimana terjadi herniasi mukosa atau submukosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding kolon yang lemah yaitu tempat dimana vasa rekta menembus dinding kolon (Nguyen dan Frizelle, 2007). 6

2 7 Gambar 2.1 Gambaran kolon dengan diverticular disease (Anonim, 2013). Divertikulosis kolon merupakan penyebab yang paling umum dari perdarahan saluran cerna bagian bawah, ± 40-50% dari semua kasus perdarahan. Prevalensi menurut umur ditemukan bahwa semakin tua usia semakin tinggi angka kejadian dari penyakit ini. Laki-laki dengan usia < 50 tahun lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Pada usia tahun insiden pada perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Perdarahan dari divertikulum umumnya tidak nyeri dan terjadi pada 3% pasien divertikulosis. Tinja biasanya berwarna merah marun kadangkadang juga bisa juga menjadi merah segar. Divertikula paling sering terletak pada kolon sigmoid dan kolon desendens. Kemunkinannya disebabkan oleh faktor traumatis lumen, termasuk fecalit yang menyebabkan abrasi dari pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan (Barnert dan Messmann, 2009). Perdarahan divertikular terjadi secara spontan pada 80% pasien. Meskipun divertikula kolon sebelah kiri lebih umum terjadi, namun perdarahan cenderung lebih umum terjadi pada divertikula pada kolon kanan. Perdarahan dari lesi kolon kanan dapat lebih banyak dan menghasilkan volume yang lebih besar daripada divertikula sisi sebelah kiri. Perdarahan ulang (rebleeding) mungkin terjadi kembali

3 8 pada 10% pasien pada tahun pertama, setelah itu, risiko untuk perdarahan ulang meningkat menjadi 25% setelah 4 tahun (Nguyen dan Frizelle, 2007) Arteriovenous Malformation (Angiodisplasia) Angiodisplasia menjadi penyebab 3-20% dari kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia, yang juga disebut sebagai malformasi arteriovenosa, adalah distensi atau dilatasi dari pembuluh darah kecil pada submukosa saluran pencernaan. Angiodisplasia dapat terjadi sepanjang saluran pencernaan dan merupakan penyebab paling umum dari perdarahan dari usus kecil pada pasien berusia diatas 50 tahun (Barbara dan Douglas, 2004). Angiodisplasia tampak jelas pada kolonoskopi berwarna merah, lesi rata dengan diameter sekitar 2-10 mm. Lesi tampak seperti bintang, oval, tajam, atau tidak jelas. Meskipun angiografi mampu mengidentifikasikan lesi, namun kolonoskopi adalah metode yang paling sensitif untuk mengidentifikasi angiodisplasia (Barbara dan Douglas, 2004). Angiodisplasia usus merupakan malformasi arteri yang terletak di sekum dan kolon asenden. Angiodisplasia usus merupakan lesi yang diperoleh dan mempengaruhi orang tua berusia > 60 tahun. Lesi ini terdiri dari kelompokkelompok pembuluh darah yang berdilatasi, terutama pembuluh darah vena, pada mukosa dan submukosa kolon (Barbara dan Douglas, 2004). Tidak seperti perdarahan divertikular, angiodisplasia cenderung menyebabkan perdarahan dengan episode lambat tetapi berulang. Oleh karena itu, pasien dengan angiodisplasia datang dengan anemia. Angiodisplasia yang menyebabkan hilangnya

4 9 darah dalam jumlah besar jarang didapat. Perdarahan lesi aktif dapat diobati dengan elektrokoagulasi koloskopi (Barbara dan Douglas, 2004) Inflammatory Bowel Disease (IBD) IBD adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya belum diketahui. Secara garis besar IBD dibagi menjadi 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif, penyakit chorn dan bila sulit untuk membedakan keduanya maka dimasukkan dalam kategori Indeterminate Colitis (Djojoningrat, 2007). Gambar 2.2 Segmen usus pada penyakit IBD (Anonim, 2012). Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan berkembang dalam perjalanan penyakitnya dan penyebabnya diduga berdasarkan riwayat pasien. Sampai dengan 20% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah akut disebabkan oleh salah satu kondisi peradangan. Kebanyakan perdarahan berhenti secara spontan atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya (Barbara dab Douglas, 2004).

5 10 Perdarahan masif karena IBD jarang terjadi. Colitis menyebabkan diare berdarah pada beberapa kasus. Pada 50% pasien dengan colitis ulseratif, perdarahan gastrointestinal bagian bawah ringan-sedang muncul, dan sekitar 4% pasien dengan kolitis ulseratif terjadi perdarahan yang masif (Senagore, 2007). Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada pasien dengan penyakit Crohn s jarang terjadi, tidak seperti pada pasien kolitis ulseratif, hanya 1-2% pasien dengan Crohn s terjadi perdarahan yang masif. Pada sumber lain mengatakan hanya kurang dari 1% pasien saja (Senagore, 2007) Benign Anorectal Disease Penyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal) dapat menyebabkan perdarahan rektum intermiten. 11% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah terjadi dari penyakit anorektal. Pasien yang memiliki varises rektum dengan hipertensi portal dapat membuat perdarahan masif saluran cerna bagian bawah tanpa rasa sakit, sehingga pemeriksaan awal anorektum menjadi penting. Jika diketahui terjadi perdarahan aktif, mengobatinya harus agresif. Perhatikan bahwa penemuan penyakit anorektal jinak tidak mengesampingkan kemungkinan perdarahan yang lebih proksimal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus-kasus ini perdarahan yang timbul berwarna merah segar dan tidak bercampur dengan feces (Barbara dan Douglas, 2004; Debas, 2004). Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari plexus hemoroidalis. Di bawah atau di luar linea dentate pelebaran vena yang berada dibawah kulit (subkutan) disebut hemoroid eksterna. Sedangkan di atas atau di dalam linea dentate, pelebaran vena submukosa

6 11 disebut hemoroid interna. Biasanya struktur anatomis anal canal masih normal (Djojoningrat, 2007) Neoplasma Neoplasma kolorektal dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni polip kolon dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan di atas permukaan mukosa. Polip kolon dapat dibagi dalam 3 tipe, yakni neoplasma epithelium, non neoplasma, dan submukosa. Makna klinis yang penting dari polip ada dua, pertama adalah kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat dicegah (Abdullah, 2007; DeCosse dan Tsioulias, 2011). Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua tebanyak dari seluruh pasien kanker di Amerika. Lebih dari kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya di AS dengan angka kematian mendekati angka Rata-rata pasien kanker kolorektal berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur diatas 55 tahun. Sedangkan polip juvenile merupakan penyebab perdarahan kedua paling umum pada pasien lebih muda dari usia 20 tahun (Debas, 2004). Neoplasma kolon dapat muncul dalam bentuk dan sifat bermacam-macam. Biasanya perdarahan dari lesi ini lambat, ditandai dengan perdarahan samar dan anemia sekunder. Neoplasma ini juga dapat berdarah dengan cepat, namun pada beberapa bentuk sampai dengan 20% dari kasus perdarahan akut pada akhirnya ditemukan muncul karena polip kolon atau kanker (Barbara dan Douglas, 2004; Branner dan Ota, 2007).

7 12 Keluhan yang paling sering dirasakan adalah perubahan buang air besar, perdarahan per anus (hematokesia dan konstipasi). Jika terjadi obstruksi maka gejala yang timbul berupa nyeri abdomen, mual, muntah dan obstipasi. Pada tumor yang telah melakukan invasi lokal maka akan timbul gejala tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra bahkan perforasi abdomen (Barbara dan Douglas, 2004). 2.3 Manifestasi Klinik Perdarahan Saluran Cerna Perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia, maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar Hematoskezia Darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal ini merupakan manifestasi klinis perdarahan yang paling sering. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas bila perdarahan tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat (Davila dan Rajan, 2005) Maroon stool Darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur dengan melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan (ileo-caecal) atau juga dapat dari usus kecil bila waktu transit usus cepat (Davila dan Rajan, 2005).

8 Melena Feses yang berwarna hitam seperti kopi (bubuk kopi) atau seperti aspal, berbau busuk dan hal ini disebabkan perubahan hemoglobin menjadi hematin. Perubahan ini dapat terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam lambung atau akibat degradasi darah oleh bakteri usus. Misalnya pada perdarahan yang bersumber di kolon bagian kanan yang disertai waktu transit usus yang lambat. Perdarahan saluran cerna bagian bawah akan tersamar bila jumlah darah sedikit sehingga tidak mengubah warna feses yang keluar. Gambaran klinis lainnya akan sesuai dengan penyebab perdarahan (misalnya pada tumor rektum, teraba massa pada pemeriksaan colok dubur) dan dampak hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan tersebut (misalnya anemia atau adanya renjatan). Sebagian besar perdarahan berlangsung akut, berhenti spontan, dan jarang menimbulkan gangguan hemodinamik (Davila dan Rajan, 2005). 2.4 Faktor Risiko Identifikasi faktor risiko kanker kolorektal penting untuk menetapkan program skrining pada populasi umum sedini mungkin (Bullard dan Rothenberger, 2007).

9 14 1. Usia Lebih dari 90% kasus didiagnosis pada populasi berusia > 50 tahun. Hal ini adalah alasan memulai uji skrining pada populasi asimptomatis > 50 tahun. Individu segala usia berpotensi mengidap kanker kolorektal, sehingga gejala seperti; perubahan signifikan kebiasaan buang air besar (change in bowel habits), perdarahan rektum, melena, anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan memerlukan evaluasi menyeluruh (Bullard dan Rothenberger, 2007). Liang dkk (2006) menyatakan risiko kanker kolorektal meningkat seiring usia, pada pasien muda sering timbul < 40 tahun. Tumor kolorektal herediter [hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), adenomatosis coli, dan suspected HNPCC] terjadi pada 38.4% pasien < 40 tahun dan 3.5% pada > 55 tahun. Karena itu, tumor kolorektal herediter lebih sering pada individu muda dengan faktor herediter daripada faktor diet maupun gaya hidup. Penelitian di Eropa menunjukkan, pasien usia 30 tahun, memiliki 25-30% 5-year survival rate % pasien kanker kolorektal muda tergolong stadium III/IV, dengan poorly differentiated atau musinosum. Pasien muda sering datang dalam stadium lanjut. Hal ini menunjukkan kanker kolorektal usia muda memiliki prognosis buruk. 2. Faktor Risiko Herediter Bullard (2007) menyatakan 80% kanker kolorektal terjadi sporadis, sementara 20% timbul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga.

10 15 Tabel 2.1 Risiko Herediter dan Kanker Kolon (Robert, et al., 2007) FAMILIAL SETTING COLON CANCER LIFETIME RISK General U.S. population 6% 1 first-degree relatif [*] with colon cancer 2- to 3-fold increased 2 first-degree relatifs [*] with colon cancer 3- to 4-fold increased First-degree relatif [*] with colon ca diagnosed 50 yr 3- to 4-fold increased 1 second- or third-degree relatif [ ][ ] with colon cancer 1.5-fold increased 2 second- or third-degree relatifs [ ][ ] with colon cancer 2- to 3-fold increased 1 first-degree relatif [*] with adenomatous polyp 2-fold increased From Burt RW: Colon cancer screening. Gastroenterology 119: , 2000, with permission. * First-degree relatifs include parents, siblings, and children. Second-degree relatifs include grandparents, aunts, and uncles. Third-degree relatifs include great-grandparents and cousins 3. Faktor Lingkungan dan Diet Penelitian menunjukkan bahwa karsinoma kolorektal terjadi pada populasi yang mengkonsumsi diet tinggi lemak hewani dan rendah serat, hal ini menghasilkan suatu hipotesis bahwa faktor-faktor diet berkontribusi besar terhadap karsinogenesis. Diet tinggi lemak tersaturasi jenuh atau lemak tak jenuh ganda meningkatkan risiko kanker kolorektal, sedangkan diet tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa, dan minyak ikan) menurunkan risiko. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa lemak dapat bersifat racun pada mukosa usus, sehingga menyebabkan perubahan karsinogenesis awal. Sebaliknya, diet tinggi serat tampaknya bersifat protektif. Konsumsi kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol nabati dapat menurunkan risiko kanker kolorektal. Obesitas dan gaya hidup tidak sehat secara dramatis meningkatkan mortalitas kanker,

11 16 termasuk KKR. Hal ini merupakan dasar strategi pencegahan primer untuk menurunkan angka KKR dengan mengubah diet dan gaya hidup tidak sehat. 4. Inflammatory Bowel Disease Pasien dengan penyakit kolitis kronis (Inflammatory Bowel Disease) berisiko menderita kanker kolorektal. Hal ini akibat peradangan kronis mukosa yang menjadi predisposisi keganasan. Durasi dan luasnya kolitis berkorelasi dengan risiko. Dalam pankolitis ulseratif (ulcerative pankolitis), risiko karsinoma sekitar 2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Pasien dengan pankolitis Crohn (Crohn's pankolitis) berisiko yang sama. Kolitis pada kolon kiri berisiko lebih rendah. Untuk alasan diatas, skrining kolonoskopi dan biopsi mukosa dianjurkan setiap tahun setelah 8 tahun menderita pankolitis dan setelah tahun pada kolitis kiri. 5. Faktor Risiko Lain Bullard dan Rothenberger (2007) mengaitkan rokok dengan peningkatan risiko adenoma kolon, terutama setelah usia 35 tahun. Pasien dengan ureterosigmoidostomi meningkatkan risiko pembentukkan adenoma dan karsinoma. Akromegali, yang berhubungan dengan peningkatan sirkulasi hormon pertumbuhan dan insulin-like growth factor-1, juga meningkatkan risiko. Radiasi daerah panggul dapat meningkatkan risiko pengembangan karsinoma rektum (akibat kerusakan radiasi atau akibat kanker rektum dan keganasan panggul).

12 17 Tabel 2.2 Faktor Risiko Kanker Kolon (Zinner dan Ashley, 2007) RISK FACTOR COMMENT Geographic variation Highest risk in Western countries and lowest risk in developing countries Age Risk increase sharply after the fifth decade Diet Increased with total and animal fat diets Physical inactivity Increased with obesity and sedentary life style Adenoma Risk dependent on type and size FAP penetrance in gene carriers 100% HNPCC penetrance in gene carriers 80% Hamartomatous syndromes Risk increased with Peutz-Jeghers syndrome and juvenile polyposis but not isolated juvenile polyps Previous history of colon cancer Increased risk for recurrent cancer Ulcerative colitis 10 20% after 20 years Radiation Associated with mucinous histology and poor prognosis Ureterosigmoidostomy times increased risk at or adjacent to the ureterocolonic anastomosis Reproduced, with permission, from Wu JS, Fazio VW, Test Skrining Prinsip Skrining CCI (Conference on Preventive Aspects of Chronic Disease) pada tahun 1951 mendefinisikan uji skrining sebagai identifikasi penyakit atau cacat yang tidak diakui melalui suatu tes, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat. Menurut Wilson dan Jungner (1968), test skrining memilah orangorang yang mungkin memiliki penyakit dari orang-orang yang mungkin tidak. Sebuah test skrining bukanlah suatu alat diagnostik. Berdasarkan definisi, gejala yang belum diakui serta penyakit presimptomatik termasuk

13 18 pemeriksaan fisik dianggap sebagai bagian dari prosedur skrining.who pada 1968 mengeluarkan pedoman alat skrining, antara lain: (Boyle, 2005). 1. Harus menjadi masalah kesehatan yang penting. Di seluruh dunia, kanker kolorektal menempati urutan kedua sebagai kanker paling sering pada wanita dan kanker tersering ketiga pada laki-laki, dan penyakit ini tidak hanya terbatas pada negara dengan gaya hidup barat. Risiko meningkat di negara yang sebelumnya dianggap berisiko rendah. 2. Harus ada pengobatan untuk kondisi tersebut. Five-year survival rate kanker kolorektal Duke A yang menjalani reseksi tumor sekitar 80% dan rata-rata survival rate setelah pembedahan dan reseksi adenomatous pedunculated polyp yang mengandung karsinoma in situ atau mengalami displasia berat atau karsinoma intramukosal mencapai 100%. Perbedaan survival rate stadium dini dan stadium lanjut sangat besar, sehingga deteksi dini memegang peranan penting. Pengangkatan polip atau lesi prekanker berguna untuk mencegah perubahan menjadi kanker, sehingga menurunkan risiko kanker kolorektal invasif. 3. Fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan harus tersedia. Sangat penting untuk memandang uji skrining sebagai satu langkah awal penatalaksanaan kanker kolorektal, perlu disadari bahwa diagnosis multidisiplin dan pengobatan terintegrasi berperan sangat penting. 4. Harus ada fase laten dari penyakit tersebut. Sebagian besar kanker invasif muncul dari polip adenomatosa dan menjadi penanda biologis terbaik untuk identifikasi risiko pasien saat pemeriksaan.

14 19 5. Harus ada tes atau pemeriksaan untuk kondisi tersebut. FOBT, sigmoidoskopi, double-contrast barium enema dan kolonoskopi merupakan alat skrining kanker kolorektal yang efektif. Suatu penelitian acak (randomized trials) menunjukkan penurunan angka insidensi dan kematian akibat kanker kolorektal pada individu yang menjalani uji FOBT (Haemoccult). Pada suatu studi observasional didapatkan sigmoidoskopi sekali satu tahap dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal dan kematian akibat penyakit ini. Studi observasional lainnya menunjukkan bahwa kolonoskopi juga dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal dan kematian akibat kanker ini. 6. Tes harus dapat diterima oleh masyarakat. Partisipasi dalam berbagai pencobaan sebelumnya menunjukkan FOBT dan sigmoidoskopi dapat diterima sebagian besar populasi, meskipun terdapat variasi individu dalam memilih tes skrining kanker kolorektal yang diminati. 7. Perjalanan alami dari penyakit harus sudah dipahami secara memadai. Telah diketahui bahwa pemahaman mengenai kanker kolorektal lebih baik dari pada jenis kanker padat lainnya. 8. Harus ada kebijakan mengenai siapa yang berwenang mengobati. Sangat tidak rasional bila kita mencari sukarelawan, menemukan kankernya namun, tidak memberikan pengobatan. Diperlukan suatu panduan berbagai modalitas pengobatan dan tindak lanjut setelah menegakkan diagnosis. 9. Total biaya harus ekonomis dan seimbang dengan pengeluaran medis.

15 20 Penanaman investasi dalam program kesehatan preventif didasarkan pada beberapa pertimbangan, termasuk bukti ilmiah, tekanan publik dan kemauan politik dari pemerintah. Penelitian menunjukkan uji skrining kanker kolorektal telah terbukti cost-effective. Namun, pengambilan keputusan menghabiskan sejumlah dana untuk skrining tidak bisa hanya diliat dari segi nominal saja. 10. Proses berkesinambungan, bukan hanya proyek "once and for all". Setelah program skrining dilakukan, penting melakukan tindak lanjut hasil Test Skrining Feses (Fecal screening test) Test skrining feses bertujuan mendeteksi darah samar pada saluran pencernaan (mulut hingga usus besar). Test positif dapat merupakan akibat pendarahan gastrointestinal atas atau bawah dan menjadi alasan kuat dilakukannya investigasi lebih lanjut. Test ini tidak secara langsung mendeteksi kanker kolorektal tetapi sering digunakan sebagai skrining untuk penyakit tersebut, juga dapat digunakan untuk mendeteksi darah samar bila timbul gejala gastrointestinal (Bardhan, et al., 2000). Ada beberapa jenis FOBT: 1. Guaiac Fecal Occult Blood Test (gfobt) Mendeteksi aktivitas peroksidase heme dan tidak spesifik untuk darah manusia. Pengujian satu kali dengan uji guaiac standar ini, memiliki sensitivitas deteksi kanker 33-50%, sedangkan test guaiac sensitif (Hemoccult Sensa, Beckman Coulter) memiliki sensitivitas 50-75%. Tiga sampel tinja terpisah per pemeriksaan

16 21 memiliki kepekaan lebih unggul, dibandingkan satu atau dua sampel (Lieberman, 2009). Metode pemeriksaan ini, komponen heme dalam hemoglobin memiliki efek menyerupai enzim peroksidase (peroxidase-like effect), yang secara cepat akan menghancurkan hidrogen peroksida. Pada beberapa keadaan, perdarahan lambung atau saluran cerna bagian atas, tes guaiac mungkin lebih sensitif dibandingkan tes deteksi globin, hal ini dikarenakan globin dipecah di usus bagian atas lebih besar dari pada heme. Terdapat beberapa alat tes gfobt dari yang memiliki sensitifitas rendah hingga tinggi, dan hanya yang memiliki sensitifitas tinggi sajalah yang direkomendasikan sebagai alat skrining. Hasil tes gfobt yang optimal sangat tergantung dari persiapan diet pasien. 2. Fecal porphyrin quantification: HemoQuant Tidak seperti gfobt dan FIT, memungkinkan kuantifikasi hemoglobin lebih tepat dan analitis divalidasi dengan asam lambung dan urin, serta sampel tinja. Gugus heme dari hemoglobin utuh secara kimia dikonversi oleh asam oksalat dan oksalat besi atau ferro-sulfat menjadi protoporfirin, dan kandungan porfirin baik dari sampel asli dan sampel setelah konversi hemoglobin ke porfirin ditentukan besarannya oleh fluoresensi perbandingan terhadap standar acuan (referensi), sedangkan spesifisitas hemoglobin meningkat dengan mengurangi fluoresensi sampel kosong berisi asam sitrat untuk mengoreksi efek yang mengacaukan dari potensi zat non-spesifik yang ada. Pengukuran kuantifikasi yang tepat terbukti sangat berguna dalam aplikasi penelitian klinis (Schwartz, 2010).

17 22 3. Fecal Immunochemical Test (FIT) Data terbaru menunjukkan bahwa FOBT baru yang disebut FIT lebih unggul dari gfobt yang lebih umum digunakan (Allison, 2007; Fraser, et al., 2006). Pada test ini menggunakan antibodi spesifik hemoglobin manusia, albumin, atau komponen darah lainnya dan lebih spesifik untuk darah manusia dibandingkan dengan gfobt. Satu kali pemeriksaan ini memiliki sensitivitas untuk mendeteksi kanker sebesar 60-85% dengan menggunakan satu sampai tiga sampel tinja. (Schwartz, 2010; Fraser, et al., 2012). FIT tidak bereaksi dengan globin yang bukan manusia atau dengan makanan seperti buah-buahan dan sayuran mentah yang mungkin berisi aktivitas peroksidase. Oleh karena itu pembatasan diet tidak diperlukan bila dengan tes ini. Test ini juga tidak terpengaruh oleh obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid atau vitamin C. Semua keunggulan ini dapat memperlihatkan bahwa FIT lebih dapat diterima bagi mereka yang diskrining dibandingkan gfobt (Allison, 2007). Hemoglobin luminal processing Heme Test gfobt Guaiac detects peroxidase activity Interfered with by plant peroxidases and red meal, vit C Detects bleeding from entire GIT Globin Test-FIT Antobody detects globin No dietary interference Detects only colonic bleeding when occult Gambar 2.3 Skema pemecahan hemoglobin pada feses (Young, 2004).

18 23 Keunggulan FIT dibandingkan gfobt sebagai berikut (Allison, 2007): 1. FIT memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik. 2. FIT menggunakan antibodi spesifik untuk globin manusia dan tidak seperti gfobt, khusus untuk perdarahan kolorektal dan tidak dipengaruhi oleh diet atau obat-obatan. 3. Beberapa FIT dapat dikembangkan untuk pengelolaan sejumlah besar tes dengan cara standar dengan jaminan kualitas yang baik. 4. Teknologi baru dari FIT memungkinkan mereka untuk mengukur hemoglobin tinja sehingga sensitivitas, spesifisitas dan laju positif dapat disesuaikan dalam skrining untuk neoplasia kolorektal. 5. Instrumen yang dikembangkan untuk beberapa FIT memiliki kemampuan untuk membaca kode bar pada tes. Fitur ini memastikan identifikasi akurat dari orang yang disaring dan memungkinkan untuk print-out dari hasil serta pengingat print-out untuk keperluan di masa depan. Keterbatasan dari Uji FIT (Allison, 2007): 1. FIT hanya untuk mendeteksi adanya haemoglobin dalam feces. 2. FIT hanya digunakan untuk skrining dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan test prosedur diagnostik. 3. Adanya darah dalam feces kemungkinan disebabkan juga oleh karena haemoroid, darah dalam urine atau iritasi lambung selain perdarahan kolorektal. Bila didapatkan hasil positif maka pemeriksaan lain perlu dilakukan untuk menentukan penyebab dan sumber dari perdarahan dalam spesimen feces.

19 24 4. Hasil negatif tidak dapat menyingkirkan adanya perdarahan karena bisa intermiten. Hasil negatif palsu bisa jadi oleh karena darah tersamar tidak terdistribusi merata dalam feces. 5. Kadang kadang adanya polip atau kanker kolorektal bisa berdarah secara intermiten atau tidak sama sekali. Tabel 2.3 Perbandingan karakteristik gfobt dan FIT (Young, 2004). Test and type Specificity for neoplasia Sensitivity for cancer Rehydrated Hemoccult: gfobt 90% 90% with repeated annual screnning Hemoccult II: gfobt 94%-98% 35%-55% with once-off testing. Up to 80% with repeated annual testing Hemoccult SENSA: 88%-92% 80% with once-off testing gfobt Heme Select variants: FIT 95% 70%-82% with once-off testing Studi Radiografi Pemeriksaan barium enema secara akurat mengidentifikasi kanker stadium lanjut, tetapi merupakan tes yang buruk untuk lesi prekanker dan jarang digunakan untuk skrining penyakit kanker kolorektal saat ini. Pemeriksaan penunjang dengan

20 25 Computed Tomografi (CT) kolonografi membuat gambaran usus dua-dimensi dan gambar tiga-dimensi dari usus besar dan memerlukan persiapan kolon yang baik. Suatu studi klinis menunjukkan 90% dari polip berdiameter lebih dari 10 mm telah diidentifikasi dengan benar, dengan tingkat positif palsu 14%. Tingkat deteksi polip berdiameter yang > 6 mm (ambang batas merujuk pasien untuk kolonoskopi) adalah 78% (spesifisitas 88%). Dengan cut off-point 15-25% dari orang yang menjalani skrining dirujuk untuk kolonoskopi (Lieberman, 2009). Tingkat rujukan untuk kolonoskopi merupakan elemen penting dari biaya program. CT kolonografi kurang sensitif dan spesifik untuk polip berdiameter < 6 mm. Namun, rencana perawatan pasien dengan diameter < 6 mm masih kontroversial. Pemeriksaan CT kolonografi menunjukkan < 2% pasien memiliki adenoma lanjut, dan kanker yang langka. Tidak ada satupun penelitian menunjukkan keselamatan pasien dengan CT kolonografi berulang (Lieberman, 2009). Adanya ketidakpastian tentang apakah CT kolonografi dapat digunakan untuk mengidentifikasi polip datar (flat polyp), beberapa di antaranya mungkin tempat tumbuhnya sel ganas. Interval skrining yang tepat setelah pemeriksaan negatif atau dalam kasus pertumbuhan, yang berdiameter < 6 mm dan kemungkinan polip masih tidak pasti. Selain itu, sensitivitas dan spesifisitas CT kolonografi dalam rutinitas pengaturan praktek klinis tidak diketahui. Paparan radiasi yang berhubungan dengan CT kolonografi dapat meningkatkan risiko kanker. Meskipun rejimen dosis rendah yang digunakan, ada kekhawatiran tentang paparan radiasi kumulatif, dan beberapa negara tidak memungkinkan diakukannya pencitraan untuk

21 26 tujuan skrining. Suatu studi menunjukkan bahwa 27-69% dari orang yang menjalani pemeriksaan dengan CT kolonografi memiliki minimal satu ditemukan masa di luar usus besar, yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada 5-16% dari orang menjalani skrining (Lieberman, 2009) Sigmoidoskopi Suatu penelitian case-control menunjukkan secara signifikan hubungan antara kegunaan suatu uji sigmoidiskopi dengan penurunan mortalitas akibat kanker kolorektal pada lokasi kolon yang dilakukan pemeriksaan. Pada suatu studi randomized control trial, tidak terjadi penurunan insidens kanker kolorektal diantara individu yang setuju menjalani pemeriksaan sigmoidoskopi, dan pada suatu analisis intention-to-treat, menunjukkan penurunan mortalitas yang tidak signifikan pada individu tersebut selama 6 tahun dibandingkan dengan kontrol. Namun Lieberman, (2009), menyatakan bahwa suatu studi dengan menggunakan skrining kolonoskopi telah menunjukkan lebih dari 30% pasien dengan neoplasia stadium lanjut yang memiliki lesi neoplasia proksimal yang tidak dapat teridentifikasi dengan sigmoidoskopi, hal ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki dan pada pasien lebih dari 60 tahun dari pada pasien usia muda. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan kunjungan pada jam kerja (office visit) dan biasanya terkait dengan ketidaknyamanan saat pemeriksaan. Beberapa klinisi dan pasien, lebih memilih pemeriksaan kolonoskopi daripada sigmoidoskopi, hal ini dikarenakan pasien tersedasi dan menjalani pemeriksaan kolon lengkap disertai polipektomi. Semua keterbatasan ini telah menyebabkan pembatasan penggunaannya di Amerika Serikat (Lieberman, 2009).

22 Kolonoskopi Kolonoskopi merupakan langkah penilaian final dalam setiap program skrining untuk deteksi kanker kolorektal. Beberapa penelitian kohort berskala besar telah menunjukkan kemampuan dan keamanan kolonoskopi sebagai tes skrining primer. Suatu lesi maligna/premaligna dapat terjadi pada beberapa kasus kanker yang terdeteksi melalui kolonoskopi. Lesi dengan diameter > 10 mm dapat tidak terdeteksi pada 2-12% kasus. Kolonoskopi mungkin kurang berperan dalam menurunkan risiko kanker kolon proksimal, kecuali pemeriksaan dilakukan secara lengkap dan seluruh polip diangkat. Suatu rekomendasi pemeriksaan berulang dengan interval 10 tahun setelah suatu hasil negatif kolonoskopi, telah dibuktikan melalui suatu studi case-control. Dua penelitian terbaru menunjukkan risiko yang rendah neoplasia stadium lanjut, setelah 5 tahun dengan kolonoskopi negatif (Lieberman, 2009). Kontraindikasi kolonoskopi (Modric, 2011): 1. Kehamilan. 2. Penyakit jantung akut. 3. Perforasi usus dan obstruksi total. 4. Divertikulitis akut. 5. Kolitis fulminan, megakolon toksik, nekrosis kolon, atau peritonitis akut. 6. Aneurisma aorta abdominalis > 5-6 cm yang bergejala. 7. Kelainan koagulasi darah atau penurunan signifikan leukosit atau trombosit dalam darah.

23 28 8. Hernia Bochdalek. 9. Pasien yang tidak kooperatif atau tidak dapat diobati. 10. Sore hari sebelum dilakukan kolonoskopi, konsumsi laksatif. Dan mulailah puasa makanan padat setelahnya, dan mulailah puasa total sekitar 6-8 jam sebelum tindakan. 11. Sekitar 1 jam sebelum prosedur, dokter mungkin akan memberikan pasien enema untuk melengkapi bowel preparation. Komplikasi Kolonoskopi (Modric, 2011): 1. Perdarahan yang mungkin terjadi selama prosedur hingga sekitar 1 minggu setelah kolonoskopi, biasanya berhenti spontan, namun dapat pula hingga memerlukan kolonoskopi ulang untuk menghentikannya. 2. Aritmia, biasanya terkait efek samping pembiusan. 3. Obstruksi usus halus. 4. Divertikulitis. 5. Perforasi kolon. 6. Sedatif dapat menyebabkan ansietas, mual, alergi atau depresi pernafasan. Prosedur Kolonoskopi Selama prosedur pasien diberi sedatif (fentanyl atau midazolam). Langkah pertama adalah pemeriksaan colok dubur untuk memeriksa tonus sfingter ani dan menetukan apakah persiapan cukup adekuat. Endoskop kemudian dimasukkan

24 29 melalui anus hingga rektum, kolon (sigmoid, kolon desenden, tranversum, dan kolon asenden, serta caecum), dan terakhir pada ileum terminal (Modric, 2011). Endoskop memiliki ujung fleksibel dan saluran untuk memasukkan instrumen, udara, suction dan sumber cahaya. Lumen usus akan diinsuflasi dengan udara untuk memaksimalkan pemeriksaan. Biopsi dilakukan selama prosedur ini. Dikarenakan tikungan yang tajam dan redudansi pada kolon yang tidak terfiksir, menyebabkan bowing effect yang berakibat regangan kolon dan mesenterika yang menimbulkan ketidaknyamanan (DiPalma, 2003; Modric, 2011). Pemeriksaan visual sering dilakukan menit setelah penarikan endoskop. Lesi yang tampak mencurigakan akan dikauterisasi, dipotong dengan sinar laser atau dengan kawat listrik untuk keperluan biopsi atau polipektomi lengkap. Obat dapat disuntikkan selama prosedur berlangsung, misalnya untuk mengontrol perdarahan. Prosedur ini memakan waktu menit, tergantung pada indikasi dan temuan selama prosedur. Dengan beberapa polipektomi atau biopsi, waktu prosedur dapat menjadi lebih lama. Setelah prosedur dilakukan, diperlukan waktu untuk pemulihan akibat obat penenang diperkirakan menit (DiPalma, 2003).

25 30 Tabel 2.4 Sensitifitas Test Skrining Satu Tahap (Lieberman dan Weiss, 2001) TEST SENSITIVITY (%) CANCER ADVANCED ADENOMAS* STOOL-BASED TEST Standard guaiac fecal occult-blood test (3 samples) Sensitive guaiac fecal occult-blood test (3 samples) Immunochemical fecal occult-blood test (1-3 stool samples) One stool DNA test (1 sample) New stool DNA test (1 sample) STRUCTURAL EXAMINATIONS OF THE COLON CT Colonography Sigmoidoscopy Colonoscopy Uncertain; probably > 90 > 95 (in the distal colon) > (if Ø 10mm) * Advanced adenoma is defined as a tubular adenoma that is 10 mm or larger in diameter or an adenoma with villous histologic features or high-grade dysplasia. If an adenoma is detected in the distal colon, the patient would undergo complete colonoscopy, which would result in the detection of some proximal advanced adenomas. Percobaan klinis telah menunjukkan bahwa individu dengan Fecal Occult Blood Test positif memiliki risiko kanker tiga sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan individu dengan tes negatif, dan kolonoskopi sebaiknya dianjurkan bagi orang dengan tes positif. Suatu penelitian uji kontrol-acak (randomized controlled trials) dimana tes guaiac standar setiap 1 atau 2 tahun selama periode tahun, berhasil mengurangi 15-33% kematian akibat kanker kolorektal (Anonim, 2011).

26 Tehnik Fecal Immunochemical Test Prinsip FIT ini memanfaatkan suatu kombinasi yang unik dari dua antibodi monoklonal untuk secara selektif mendeteksi adanya haemoglobin manusia didalam sampel feses. Test device terdiri dari pad yang dilapisi dengan gold colloidal dikonjugasikan dengan anti human haemoglobin antibodies, suatu membran nitrocellulose yang dilapisi antibody manusia pada test band dan goat antimouse antibodies pada control band area. Begitu jumlah sampel cairan feses telah cukup jumlahnya ditambahkan kedalam test device maka dia bermigrasi sepanjang test device secara kapiler. Bila sampel feses mengandung haemoglobin manusia 10 mg/ml atau lebih, test band nampak sebagai suatu red purple band. Bila kadar haemoglobin manusia kurang dari sampel feses yang dapat dideteksi maka tidak akan ada test band. Kontrol band akan nampak tidak tergantung dari adanya haemoglobin manusia didalam sampel Persiapan Spesimen 1. Pengumpulan spesimen hendaknya tidak dilakukan pada saat sedang menstruasi atau dalam tiga hari dari suatu periode menstruasi, begitu juga bila penderita mempunyai hemoroid yang sedang berdarah atau bila ada darah dalam urine. Bila dilakukan maka kemungkinan didapatkan hasil positif palsu. 2. Pengaturan diet (diet restriction) tidak diperlukan.

27 32 3. Mengkonsumsi alkohol, aspirin dan obat-obatan lain dalam jumlah yang berlebihan akan dapat menyebabkan occult bleeding (pendarahan tersamar). Bahan-bahan itu hendaknya dihentikan setidaknya 48 jam sebelum test Pengumpulan spesimen 1. Dalam pemeriksaan ini hendaknya hanya digunakan spesimen feces. Feses dapat dikoleksi dari toilet paper (tissue toilet) atau diletakkan dalam suatu clean container. Spesimen hendaknya jangan sampai terkontaminasi air toilet (toilet water). 2. Screw pada bagian atas dari sample collection device dilepaskan dan untuk mengumpulkan sampel feses dengan cara memasukkan stick secara random kedalam tiga tempat berbeda dari sampel feses yang sama. 3. Letakkan sampel collection stick yang berisi sampel feses kembali kedalam sampel collection device dan screw kembali dengan ketat, kocoklah dengan baik. 4. Sampel yang terkoleksi dapat disimpan pada suhu ruangan (< 30 C) selama 5 hari atau direfrigerasi pada suhu 4-8 C selama 7 hari Prosedur Test 1. Tempatkan sampel yang sudah diekstrak pada temperatur ruangan bila sampel itu direfrigerasi. Kemudian campur dengan baik sampel yang sudah diekstrak dengan cara mengocok sebentar sampel collection device. 2. Pindahkan test disk dari kantong foil dan tempatkan pada permukaan yang datar dan kering.

28 33 3. Peganglah sample collection device sedemikian rupa sehingga ujung device menghadap keatas, kemudian robeklah ujung dari collection device. Kemudian pencet sebanyak 2 tetes dari extracted sampel kedalam sampel dengan baik. 4. Pada saat test kit mulai bekerja, anda akan melihat purple color bergerak sepanjang result windows ditengah tengah (center) dari test disk. 5. Lakukan interprestasi dari hasil test dalam waktu 10 menit, jangan lakukan setelah 10 menit. Catatan : waktu interpestasi diatas dilaksanakan atas pembacaan hasil test pada suhu ruangan antara C. Bila suhu ruangan anda secara siginifikan dibawah 15 C, maka waktu interpretasi hendaknya dinaikkan dengan tepat. Gambar 2.4 Test Kit untuk Uji FIT

29 Interpretasi dari Test 1. Suatu pita warna (color band) akan nampak pada bagian bawah dari result window untuk menunjukkan bahwa test sedang bekerja dengan sempurna. Pita ini adalah Control Band atau C band. 2. Bagian atas dari result window menunjukkan hasil test. Bila pita warna yang lain nampak pada bagian atas, pita ini adalah Test Band atau T band. Hasil positif : Adanya dua pita warna ( C dan T bands) didalam result window tanpa memandang pita mana yang muncul terlebih dahulu, menunjukkan hasil positif. Hasil negatif : Bila yang nampak hanya satu purple color ( C ) di dalam result window, menunjukkan hasil negatif. Hasil cacat (invalid result): apabila setelah test dikerjakan purple color band tidak kelihatan didalam result window maka test dinyatakan cacat (invalid). Kemungkinan petunjuk tidak diikuti dengan tepat atau terjadi kerusakan. Dalam hal ini spesimen direkomendasikan untuk di test ulang.

BAB I PENDAHULUAN. Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah terjadi sekitar 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah terjadi sekitar 20% dari semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah terjadi sekitar 20% dari semua kasus perdarahan gastrointestinal. Lower gastrointestinal bledding (LGIB) didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geriatri adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009). Menurut UU RI No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tumor kolorektal merupakan neoplasma pada usus besar yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Tumor kolorektal merupakan neoplasma pada usus besar yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor kolorektal merupakan neoplasma pada usus besar yang dapat bersifat jinak atau ganas. Neoplasma jinak sejati (lipoma, tumor karsinoid, dan leiomioma) jarang terjadi

Lebih terperinci

VALIDITAS FECAL IMMUNOCHEMICAL TEST DALAM MENDETEKSI ADANYA PERDARAHAN PADA SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

VALIDITAS FECAL IMMUNOCHEMICAL TEST DALAM MENDETEKSI ADANYA PERDARAHAN PADA SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI TESIS VALIDITAS FECAL IMMUNOCHEMICAL TEST DALAM MENDETEKSI ADANYA PERDARAHAN PADA SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI IDA AYU PUTRANTI DARMA RESTUTI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini berkembang semakin cepat. Di dunia ini, diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh penderita kanker dan penyebab kematian keempat dari seluruh kematian pada pasien kanker di dunia.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit atau kondisi pada waktu tertentu; pembilang dari angka ini adalah jumlah kasus yang ada

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PEMERIKSAAN KOLONOSKOPI PADA PASIEN KELUHAN BERAK DARAH DENGAN KEJADIAN TUMOR KOLOREKTAL DI RSUP DR.

HUBUNGAN ANTARA PEMERIKSAAN KOLONOSKOPI PADA PASIEN KELUHAN BERAK DARAH DENGAN KEJADIAN TUMOR KOLOREKTAL DI RSUP DR. HUBUNGAN ANTARA PEMERIKSAAN KOLONOSKOPI PADA PASIEN KELUHAN BERAK DARAH DENGAN KEJADIAN TUMOR KOLOREKTAL DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusununtuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu. penyakit peradangan idiopatik pada traktus

BAB I PENDAHULUAN. Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu. penyakit peradangan idiopatik pada traktus BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu penyakit peradangan idiopatik pada traktus gastrointestinal yang umumnya menyerang daerah kolon dan rektal. Etiologi

Lebih terperinci

DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar.

DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar. CA. KOLON DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar. ETIOLOGI Penyebab kanker usus besar masih

Lebih terperinci

Gambaran Radiologi Tumor Kolon

Gambaran Radiologi Tumor Kolon Gambaran Radiologi Tumor Kolon Oleh Janter Bonardo (09 61050 0770 Penguji : Dr. Pherena Amalia Rohani Sp.Rad Definisi Kanker kolon suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan merusak sel DNA dan jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit idiopatik, yang diperkirakan melibatkan. reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran

BAB I PENDAHULUAN. penyakit idiopatik, yang diperkirakan melibatkan. reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit idiopatik, yang diperkirakan melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan. Dua tipe

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan adanya tinja yang keras sehingga buang air besar menjadi jarang, sulit dan nyeri. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI. BAB 4 HASIL Dalam penelitian ini digunakan 782 kasus yang diperiksa secara histopatologi dan didiagnosis sebagai apendisitis, baik akut, akut perforasi, dan kronis pada Departemen Patologi Anatomi FKUI

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. B DENGAN POST OP HEMOROIDECTOMI DI RUANG MELATI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. B DENGAN POST OP HEMOROIDECTOMI DI RUANG MELATI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 1 ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. B DENGAN POST OP HEMOROIDECTOMI DI RUANG MELATI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saluran pencernaan (gastrointestinal, GI) dimulai dari mulut sampai anus. Fungsi saluran pencernaan adalah untuk ingesti dan pendorongan makanan, mencerna makanan, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan sistem imun di mukosa kolon, melibatkan kerusakan fungsi barier intestinal dan mukosa. Beberapa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki gejala yang cukup bervariasi dari hematokezia sampai perdarahan yang masif dengan syok.

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker kolorektal adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan kanker kolorektal menyumbang 9% dari semua kejadian kanker

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari anus dan bagian bawah rektum, seperti hemoroid, fisura, ulkus soliter, varises

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari anus dan bagian bawah rektum, seperti hemoroid, fisura, ulkus soliter, varises BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Berak darah Perdarahan masif dari usus besar merupakan hal yang jarang terjadi dan juga jarang membutuhkan terapi pembedahan. Jika sumber perdarahan berasal dari anus dan bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Apakah kanker rahim itu? Kanker ini dimulai di rahim, organ-organ kembar yang memproduksi telur wanita dan sumber utama dari hormon estrogen dan progesteron

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan submucosal

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan submucosal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hirschsprung s disease merupakan penyakit motilitas usus kongenital yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan submucosal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menangani pasien-pasien dengan penyakit saluran

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menangani pasien-pasien dengan penyakit saluran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolonoskopi saat ini merupakan salah satu alat diagnostik dan teraupetik yang sangat penting untuk menangani pasien-pasien dengan penyakit saluran pencernaan bagian

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks diartikan sebagai bagian tambahan, aksesori atau bagian tersendiri yang melekat ke struktur utama dan sering kali digunakan untuk merujuk pada apendiks vermiformis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hemoroid atau wasir adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009). Hemoroid adalah struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu penyakit bedah mayor yang sering terjadi adalah. 1 merupakan nyeri abdomen yang sering terjadi saat ini terutama di negara maju. Berdasarkan penelitian epidemiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu predisposisi terjadinya kanker kolon (Popivanova et

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu predisposisi terjadinya kanker kolon (Popivanova et BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflammatory bowel disease (IBD) adalah suatu kelompok heterogen penyakit pada saluran pencernaan yang ditandai dengan respons imun mukosa yang berlebihan dan bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini?

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini? Kanker Serviks Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, penyakit kanker serviks merupakan penyebab utama kematian akibat kanker. Di dunia, setiap dua menit seorang wanita meninggal dunia akibat kanker

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis, yaitu divertikulum pada caecum yang menyerupai cacing, panjangnya bervariasi dari 7 sampai 15 cm, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kanker kolorektal merupakan salah satu penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kanker kolorektal merupakan salah satu penyebab utama BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia. Keganasan ini berkontribusi terhadap 9% seluruh kanker di dunia (World

Lebih terperinci

HASIL KOLONOSKOPI PADA PASIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2012

HASIL KOLONOSKOPI PADA PASIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2012 1 HASIL KOLONOSKOPI PADA PASIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2012 Oleh : RAHMAT HIDAYAT 090100005 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DIVERTICULITIS DIVERTICULITIS

DIVERTICULITIS DIVERTICULITIS DIVERTICULITIS DIVERTICULITIS Definisi Diverticulitis Diverticulitis adalah suatu kondisi dimana diverticuli pada kolon (usus besar) pecah. Pecahnya berakibat pada infeksi pada jaringan-jaringan yang mengelilingi

Lebih terperinci

ANDA BERTANYA, APOTEKER MENJAWAB. Diasuh oleh para Apoteker Dosen Fakultas Farmasi Unand. Pertanyaan:

ANDA BERTANYA, APOTEKER MENJAWAB. Diasuh oleh para Apoteker Dosen Fakultas Farmasi Unand. Pertanyaan: ANDA BERTANYA, APOTEKER MENJAWAB Diasuh oleh para Apoteker Dosen Fakultas Farmasi Unand Pertanyaan: Bapak Dr. Muslim Suardi, Apt. Ibu saya berusia 68 tahun. Beliau dinyatakan oleh dokter mengalami pendarahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 7,6 juta (atau 13% dari penyebab kematian) orang

I. PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 7,6 juta (atau 13% dari penyebab kematian) orang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Dari tahun ke tahun peringkat penyakit kanker sebagai penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ulcerative Colitis (UC) termasuk dalam golongan penyakit Inflammatory Bowel Disease (IBD). Keadaan ini sering berlangsung kronis sehingga dapat mengarah pada keganasan,

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu keganasan yang terjadi karena adanya sel dalam tubuh yang berkembang secara tidak terkendali sehingga menyebabkan kerusakan bentuk dan fungsi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus kegawatan dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya kanker di bagian colon dan rectum. Kanker kolon dan kanker rectum sering dikelompokan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari

BAB I PENDAHULUAN. kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insiden karsinoma kolorektal masih cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari kematian karena kanker

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Bedah Digestif. rekam medik RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Bedah Digestif. rekam medik RSUP Dr. Kariadi Semarang. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Bedah Digestif. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada anak dan paling sering jadiindikasi bedah abdomen emergensi pada anak.insiden apendisitis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dari saluran pencernaan yang berfungsi menyerap sari makanan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dari saluran pencernaan yang berfungsi menyerap sari makanan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal didefinisikan sebagai tumor ganas yang terjadi pada kolon dan rektum. Kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflammatory Bowel Disease atau IBD adalah. inflamasi kronik yang dimediasi oleh imun pada traktus

BAB I PENDAHULUAN. Inflammatory Bowel Disease atau IBD adalah. inflamasi kronik yang dimediasi oleh imun pada traktus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflammatory Bowel Disease atau IBD adalah inflamasi kronik yang dimediasi oleh imun pada traktus gastrointestinal. Dua tipe utamanya adalah Ulcerative colitis (UC)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyerang saluran pencernaan. Lebih dari 60 persen tumor ganas kolorektal

BAB I PENDAHULUAN. yang menyerang saluran pencernaan. Lebih dari 60 persen tumor ganas kolorektal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kolorektal ( colo rectal carcinoma) atau yang biasa disebut sebagai kanker usus besar merupakan suatu tumor ganas terbayak diantara tumor lainnya yang menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rektum yang khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat gangguan

BAB I PENDAHULUAN. rektum yang khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumor sekum merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel epitel yang tidak

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL

KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL DISUSUN OLEH : 1. SEPTIAN M S 2. WAHYU NINGSIH LASE 3. YUTIVA IRNANDA 4. ELYANI SEMBIRING ELIMINASI Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal adalah suatu penyakit yang mana sel-sel pada kolon atau rektum menjadi abnormal dan membelah tanpa terkontrol membentuk sebuah massa tumor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman teh (Camellia sinensis) merupakan tanaman yang banyak ditanam di berbagai negara di dunia sejak zaman dahulu. Tanaman teh dapat tumbuh dengan baik di daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Kolorektal Kanker kolon dan rektum adalah kanker yang menyerang usus besar dan rektum. Penyakit ini adalah kanker peringkat ke 2 yang mematikan. Usus besar adalah bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya suatu penyakit berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah satunya gangguan pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN 51 BAB V HASIL PENELITIAN Bab ini menguraikan hasil penelitian tentang pengaruh terapi air terhadap proses defekasi pasien konstipasi di RSU Sembiring Delitua Deli Serdang yang dilaksanakan pada 4 April-31

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Usus besar adalah bagian dari sistem pencernaan dimana materi yang dibuang disimpan. Rektum adalah ujung usus besar dekat dubur (anus). Bersama mereka menbentuk suatu

Lebih terperinci

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4 Pengertian Tujuan dan sasaran Macam-macam bentuk screening Keuntungan Kriteria program skrining Validitas Reliabilitas Yield Evaluasi atau uji alat screening Penemuan Penyakit secara Screening - 2 Adalah

Lebih terperinci

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh

Lebih terperinci

K35-K38 Diseases of Appendix

K35-K38 Diseases of Appendix K35-K38 Diseases of Appendix Disusun Oleh: 1. Hesti Murti Asari (16/401530/SV/12034) 2. Rafida Elli Safitry (16/401558/SV/12062) 3. Zidna Naila Inas (16/401578/SV/12082) K35 Acute Appendicitis (Radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. 1 Pada saat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Kolorektal 2.1.1 Definisi Kanker Kolorektal Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA 1 LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA I Deskripsi Perdarahan pada saluran cerna terutama disebabkan oleh tukak lambung atau gastritis. Perdarahan saluran cerna dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan kondisi yang progresif meskipun pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi diabetes menimbulkan beban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benjolan pada payudara merupakan keluhan yang paling sering ditemui pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang bersifat jinak mengalami peningkatan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA PENGERTIAN Suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung. (Mizieviez). ETIOLOGI 1. Faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik di belahan dunia Barat maupun di Indonesia. Kanker kolorektal (KKR) jenis

BAB I PENDAHULUAN. baik di belahan dunia Barat maupun di Indonesia. Kanker kolorektal (KKR) jenis 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker kolon dan rektum merupakan salah satu kanker yang sering dijumpai baik di belahan dunia Barat maupun di Indonesia. Kanker kolorektal (KKR) jenis sporadik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui. IBD terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kompleks, tidak hanya menyangkut penderita tetapi juga keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kompleks, tidak hanya menyangkut penderita tetapi juga keluarga, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang mempunyai spektrum sangat luas dan kompleks. Penyakit ini dimulai dari neoplasma ganas yang paling jinak sampai neoplasma

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

InfoDATIN SITUASI PENYAKIT KANKER. 4 Februari-Hari Kanker Sedunia PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI

InfoDATIN SITUASI PENYAKIT KANKER. 4 Februari-Hari Kanker Sedunia PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI PENYAKIT KANKER 4 Februari-Hari Kanker Sedunia SITUASI PENYAKIT KANKER Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di

Lebih terperinci

TUGAS BIOLOGI DASAR DIARE. Oleh : Nama : Yunika Dewi Wulaningtyas NIM : Prodi : Pendidikan Matematika (R) Angkatan : 2008/2009

TUGAS BIOLOGI DASAR DIARE. Oleh : Nama : Yunika Dewi Wulaningtyas NIM : Prodi : Pendidikan Matematika (R) Angkatan : 2008/2009 TUGAS BIOLOGI DASAR DIARE Oleh : Nama : Yunika Dewi Wulaningtyas NIM : 080210101051 Prodi : Pendidikan Matematika (R) Angkatan : 2008/2009 JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri

Lebih terperinci

KONSEP TEORI. 1. Pengertian

KONSEP TEORI. 1. Pengertian KONSEP TEORI 1. Pengertian Kolik Abdomen adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran

Lebih terperinci

MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL

MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kulia Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita Dosen : Yuliasti Eka Purwaningrum SST, MPH Disusun oleh :

Lebih terperinci

Bagi pria, kewaspadaan juga harus diterapkan karena kanker payudara bisa menyerang

Bagi pria, kewaspadaan juga harus diterapkan karena kanker payudara bisa menyerang Gejala Kanker Payudara dan Penyebabnya Pada wanita khususnya, payudara adalah salah satu organ paling pribadi. Penting artinya memeriksa kondisi payudara secara berkala. Benjolan, penebalan, dan perubahan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulseratif merupakan salah satu jenis Inflammatory Bowel Disease (IBD), suatu istilah umum untuk penyakit yang menyebabkan inflamasi pada usus halus dan kolon.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zaman memang pasti akan berubah karena orang-orang yang hidup didalamnya juga mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan bisa berlangsung menjadi baik ataupun

Lebih terperinci

Lilik Kurniawan, S.Ked

Lilik Kurniawan, S.Ked Author : Lilik Kurniawan, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk 0 KARSINOMA REKTUM ANATOMI REKTUM Secara anatomi rektum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inflamatory bowel disease (IBD) adalah suatu kondisi penyakit kronik pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks dan multifaktorial.

Lebih terperinci