BAB II PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM PENDAFTARAN TANAH DI KOTA BATAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM PENDAFTARAN TANAH DI KOTA BATAM"

Transkripsi

1 BAB II PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM PENDAFTARAN TANAH DI KOTA BATAM Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita sampai saat ini. Berbagai daerah tentunya memliki karakteristik yang berbeda-beda terhadap permasalahan yang terjadi diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, khususnya dalam hal ini seperti yang terjadi di Kota Batam. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakkan orang Indonesia menganggap tanah sebagai tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Sebagaimana yang diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Kejelasan akan status atas tanah semakin dituntut khususnya dalam Negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat kian harinya. Adanya kejelasan status tanah akan memastikan hak yang melekat atas tanah tersebut, tidak seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat di Kota Batam pada saat ini. Kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA, amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan berbagai kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan dimana seharusnya menjadi prioritas utama Negara untuk dapat melaksanakan upaya penyelesaian masalah pertanahan yang semakin meningkat.

2 A. Pendaftaran Tanah Batam merupakan salah satu bagian wilayah Indonesia yang tidak terlepas dari problematika pertanahan yang kerap terjadi di nusantara. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru. Kegiatan pendaftaran tanah di Kota Batam dilaksanakan baik dengan sistem pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik. Saat ini Batam menggalakkan Program Nasional Agraria (Prona) dan Program Daerah Agraria (Proda). Prona sebagai salah satu kegiatan pembangunan dibidang pertanahan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan pendaftaran tanah pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk memberikan edukasi dan kepedulian sosial kepada warga yang kurang mampu. Kegiatan Prona pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka penertiban sertifikat hak atas tanah terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah yang berada di desa miskin atau tertinggal, daerah penyangga kota, daerah miskin kota, pertanian subur serta daerah pengembangan ekonomi rakyat. Selain Prona, juga ada Proda yang dibiayai dengan APBD Kota Batam, yang maksud dan tujuannya sama dengan Prona. Saat ini lokasi proyek Prona dan Proda masih terfokus di wilayah Kecamatan Belakang Padang dan Kecamatan Bulan dan kedepannya akan

3 dikembangkan ke kecamatan lainnya. 47 Selain itu, peningkatan tugas pelayananan pertanahan juga ditingkatkan melalui program Larasita (Layanan Masyarakat untuk Sertifikat Tanah), yang merupakan wujud nyata dari pelayanan BPN RI kepada rakyat dengan jemput bola. Artinya petugas BPN mendatangi rakyat dan menembus daerah sulit terjangkau. berbunyi : Pengaturan kegiatan pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 19 UUPA, yang (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Bahwa kepastian hukum merupakan tujuan utama diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA, yang selanjutnya dijelaskan pendaftaran tanah akan dilaksanakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Pengertian dijalankan oleh rakyat secara sosiologis berarti adanya keterlibatan rakyat secara 47 diakses pada tanggal 26 Januari 2011, pukul WIB.

4 aktif dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah. Keterlibatan rakyat tersebut secara tegas tidak ditetapkan dalam pasal, namun terdapat dalam penjelasan Umum UUPA angka IV mengenai dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum, yang berbunyi sebagai berikut : Sesuai dengan tujuannya, yaitu akan memberikan kepastian hukum, maka pendaftaran tanah itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya. 48 Dari penjelasan umum tersebut, keterlibatan rakyat dimaksudkan adanya kewajiban bagi para pemilik tanah untuk mendaftarkan haknya, walau tidak ditetapkan adanya sanksi apabila kewajiban itu tidak dilakukan, akan tetapi dapat menimbulkan konsekwensi, bahwa diadakannya pendaftaran tanah tidak akan memberikan manfaat bagi Pemerintah maupun pemilik tanah. Tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dapat diukur dari kekuatan hukum pembuatan sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat, kebenaran dari data dan kesempatan penuntutan dari pihak-pihak lain yang merasa berhak atas tanah tersebut. 49 Sebagai ilustrasi A.P. Parlindungan menyatakan bahwa dalam kalangan para ahli disebutkan pendaftaran itu bertujuan untuk baik kepastian hak seseorang, pengelakan suatu sengketa perbatasan (karena adanya syarat ukur yang teliti dan cermat) dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. Maka dengan 48 Muchtar Wahid, Op.Cit., hlm Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah, Kepastian Hak, Fakultas Hukum Universitas, Sumatera Utara, Medan, 2007, hlm. 36.

5 diperolehnya sertifikat, bukan hanya sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang. Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah, meliputi: 1. Kepastian status hak yang didaftar. Artinya dengan pendaftaran tanah dapat diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atau Tanah Wakaf. 2. Kepastian subjek hak. Artinya dengan pendaftaran tanah dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga Negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara bersama-sama, atau badan hukum (badan hukum privat atau badan hukum publik). 3. Kepastian objek hak. Artinya dengan pendaftaran tanah dapat diketahui dengan pasti letak tanah, batasbatas tanah, dan ukuran (luas) tanah. Untuk memberikan kepastian tersebut diperlukan infrastruktur yang memadai sehingga bidang tanah yang ada di lapangan dapat digambarkan pada peta dan surat ukur secara benar. Pendaftaran tanah di Indonesia hanya terfokus untuk pendaftaran tanah pada bidang tanah yang merupakan bagian dari permukaan bumi dalam satuan bidang yang terbatas, artinya tidak mencakup bumi, air, dan ruang angksa. Sedangkan pendaftaran untuk hak-hak dari kehutanan atau pertambangan dilakukan sendiri oleh departemen

6 yang bersangkutan dengan surat-surat keputusan tentang HPH atau HPHH atau KP. Dengan diaturnya secara sektoral mengenai hak pengelolaan hutan oleh Departemen Kehutanan yang terpisah dari UUPA, maka hal ini akan menimbulkan konflik pengaturan yang akan berdampak kepada pengelolaan pertanahan yang diatur dalam UUPA. Misalnya akan terjadi konflik antara pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) pada lokasi yang sama masing-masing menyatakan berhak untuk melakukan pengelolaan. Konflik ini akan merugikan pemegang hak yang bersangkutan. 50 Badan-badan hukum yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, adalah: a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah; b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); d. PT Persero; e. Badan Otorita; f. Badan-badan hukum Pemerintah Lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah. Adapun prosedur perolehan sertifikat hak pengelolaan di Kantor Pertanahan dengan pemenuhan persyaratan sebagai berikut: 1. Surat permohonan; 2. Fotokopi KTP atau identitas diri pemohon; 50 Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hlm. 8.

7 3. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan; 4. Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan; 5. Fotokopi anggaran dasar perusahaan; 6. Fotokopi akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum; 7. Bukti penguasaan tanah berdasarkan bukti data yuridis dan bukti data fisik; 8. Bukti pelepasan tanah kawasan hutan jika obyek berasal dari tanah kawasan hutan; 9. Bukti izin lokasi atau surat izin penunjukkan tanah; 10. Bukti penunjukan dari pemegang hak pengelolaan jika obyek berasal dari tanah hak pengelolaan. Persyaratan permohonan tersebut disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Subyek hak pengelolaan yaitu pemerintah daerah, badan otorita, masyarakat hukum adat, Perum Perumnas atau badan hukum lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Obyek hak pengelolaan yaitu tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. 3. Pengertian hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebahagian dilimpahkan kepada pemegangnya. 4. Tujuan penggunaan tanah hak pengelolaan, yaitu untuk: a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;

8 b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. 5. Setiap fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Kegiatan Pendaftaran tanah dalam Pasal 19 Ayat (2) UUPA dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 24 tahun 1997, yaitu : Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration) Yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997), yang dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik (Pasal 1 angka 10 PP No. 24 Tahun 1997) didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayahwilayah yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional. 51 Urip Santoso, Op.Cit., hlm

9 Pendaftaran tanah secara sporadik (Pasal 1 angka 11 PP No. 24 Tahun 1997), dilaksanakan pada suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran secara sistematik. Pendaftaran tanah sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Pendaftaran tanah secara sporadik dapat dilakukan secara perseorangan atau massal. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik. Pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan melalui kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi: pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah, dan pembuatan surat ukur. b. Pembuktian hak dan pembukuannya, yang kegiatannya meliputi: pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, pembukuan hak, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, serta penyimpanan daftar umum dan dokumen. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1) ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut, tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Badan Pertanahan Nasional pada mulanya diatur dengan

10 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988, kemudian ditambahkan dengan Keputusan Presiden No. 154 Tahun 1999, diubah dengan Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain: Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Pejabat dari Kantor Lelang, dan Panitia Ajudikasi. Pasal 39 Ayat (1) penjelasan PP 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa fungsi dan tanggung jawab PPAT sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah, akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada dalam kantor pertanahan. 52 Menurut Edward Silitonga, untuk sertifikat yang telah terbit dan akta jual beli atas perumahan itu adalah sah karena permasalahan hutan lindung ini mencuat setelah adanya surat keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan lindung sementara kawasan tersebut telah dialokasikan kepada pihak 52 T. Mursalin, Mewujudkan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Dengan Pendaftaran Tanah (Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Nagan Raya), Tesis, Sekolah Pascasarjana, USU, Medan 2008, hlm. 68.

11 ketiga berdasarkan rekomendasi dari Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan atas kawasan pertanahan di Kota Batam. 53 Pelaksanaan pendaftaran tanah harus memperhatikan bukan hanya pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, tetapi juga harus memperhatikan pemeliharaan data baik fisik maupun data yuridis dari objek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar. Setiap perubahan terjadi baik data fisik maupun data yuridis pada objek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar diwajibkan bagi pemegang hak untuk mendaftarkan perubahan tersebut. Pendaftaran terhadap perubahan dan peralihan serta hapusnya dan pembebanan hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan juga harus didaftarkan sebagai alat bukti yang kuat. Dengan demikian maksud dari pemeliharaan data pendaftaran tanah, agar tetap terpelihara dan selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pemegang hak yang berkepentingan dapat membuktikan haknya kepada pihak ketiga, sehingga tercipta kepastian hukum dan perlindungan hukum atas pemegang hak-hak atas tanah yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan dan kesejahteraan rakyat. 54 Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) macam asas, yaitu: Asas Specialiteit Artinya pelaksanaan pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan pendataran peralihannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai luas tanah, letak dan batas-batas tanah. 2. Asas Openbaarheid (Asas Publisitas) Asas ini memberikan data yuridis tentang siapa yang menjadi subjek haknya, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang dapat melihatnya. Berdasarkan asas ini, setiap orang mengetahui data yuridis tentang subjek hak, nama hak atas tanah, peralihan hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum sertifikat diterbitkan, sertifikat pengganti, sertifikat yang hilang, atau sertifikat yang rusak. 53 Hasil wawancara dengan Edward Silitonga, Notaris/PPAT di Kota Batam, pada tanggal 4 Agustus Syafruddin Kalo., Op.Cit., hlm Urip Santoso, Op.Cit., hlm

12 Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran dilaksanakan berdasarkan asas : 1. Asas sederhana. Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2. Asas aman. Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3. Asas terjangkau. Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. 4. Asas mutakhir. Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan,

13 dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. 5. Asas terbuka. Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam sistem pendaftaran tanah dikenal adanya sistem publikasi, yaitu sistem publikasi negatif dan sistem publikasi positif. Sistem publikasi negatif maksudnya adalah Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertifikat, oleh karena itu belum tentu seseorang yang tertulis namanya pada sertifikat adalah mutlak sebagai pemilik, sedangkan dalam sistem publikasi positif adalah sebaliknya. 56 Kelemahan asas yang dianut dalam stelsel publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yakni membuka kesempatan untuk menyangkal keabsahan dari nama yang tersebut dalam sertifikat hak atas tanahnya. Asas pendaftaran tersebut jelas dijumpai dalam bunyi Pasal 19 ayat 2 (c), pemberian surat-surat tanda bukti, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dan Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Artinya hukum hanya memberikan jaminan atas bukti hak kepemilikan tersebut kepada seseorang. Dan bukti ini tidak satu-satunya sebagai bukti, hanya 56 Muhammad Yamin Lubis, Abd. Rahim Lubis, Op.Cit., hlm. 172.

14 sebagai alat bukti yang kuat saja. Hukum bukan memberikan milik, sehingga sering dianggap masih kurang melindungi pemiliknya. Seakan bukti hak itu hanya mengokohkan seseorang dengan miliknya (tanahnya) saja. Tetapi seharusnya di samping pendaftaran tanah itu memberikan hak kepada seseorang, pemilik tanah juga harus mengokohkannya sebagai pemegang hak yang ada dan sah. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah asas-asas tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan atau mengalami permasalahan dalam mendaftarkan tanahnya maupun terhadap sertifikat yang sudah dimiliki ternyata tidak memberikan mereka jaminan akan kepastian hukum seperti yang diamanatkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 dan UUPA. UUPA menetapkan bahwa bagi masyarakat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya pendaftaran tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (4) UUPA, yaitu Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran yang termaksud dalam Ayat (1), dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang terjadi, Pemerintah tidak mampu membebaskan seluruh biaya pendaftaran tanah yang menjadi kewajiban bagi pemohon pendaftaran tanah, disebabkan oleh keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah hanya dapat memberikan subsidi biaya pendaftaran tanah kepada pemohon pendaftaran tanah Urip Santoso, Loc.cit., hlm. 23.

15 Pada tanggal 22 Januari 2010, Pemerintah mengeluarkan Peraturan baru yang memberikan standarisasi besarnya uang Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pelayanan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu PP Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Peraturan baru tersebut menyusul standarisasi besarnya PNBP untuk pelayanan masyarakat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM RI (Depkumham) sebagaimana ditetapkan dengan PP No. 32 Tahun Terdapat peningkatan biaya yang cukup signifikan dalam tarif resmi tersebut dibandingkan dengan tarif yang sebelumnya berlaku selama ini. Peningkatan biaya pendaftaran tanah ini juga dirasakan oleh masyarakat Kota Batam, banyak masyarakat yang mengeluhkan biaya lain-lain yang cukup tinggi dan memberatkan untuk mendapatkan suatu pelayanan di bidang pertanahan, hal ini juga ternyata sudah dirasakan masyarakat sebelum peraturan ini berlaku. Hal ini juga yang dikemukan oleh Edward Silitonga, PP tersebut mempunyai sisi negatif dan positif dari penerapannya, dengan penerapan PP ini lebih jelas mengenai pengaturan tarif tentang biaya yang akan dikenakan kepada masyarakat, meskipun dirasakan memberatkan masyarakat khususnya. 59 Menurut Darmansyah Nasution, pemberlakuan PP itu hanya akan memberatkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan, sementara peruntukkannya tidak jelas, dimana tidak sesuai dengan asas 58 diakses pada tanggal 10 Mei 2010, Pukul WIB. 59 Wawancara dengan Bapak Edward Silitonga, Notaris/PPAT di Kota Batam pada tanggal 4 Agustus 2011.

16 kesederhanaan yang diamanatkan dalam pendaftaran tanah, meskipun demikian PP tersebut tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan karena sudah merupakan keputusan pemerintah sebagai peraturan yang harus ditaati. 60 Diberlakukannya peraturan ini tidak menimbulkan dampak positif pada masyarakat khususnya bagi golongan ekonomi lemah. Ini menyebabkan kurangnya partisispasi masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, meskipun sadar akan pentingnya sertifikat guna memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 24 Tahun Menurut Ronald, PP No. 13 Tahun 2010 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk masyarakat tidak mendaftarkan tanahnya dikarenakan biaya yang cukup mahal, tarif yang ditetapkan dalam PP No. 13 Tahun 2010 tersebut sebenarnya seimbang dengan nilai ekonomi Negara pada saat ini, mana mungkin sama nilai ekonomi pada saat ini dengan nilai ekonomi pada belasan tahun yang lalu, dan tidak ada yang namanya pendaftaran tanah itu menyulitkan masyarakat karena berbelit-belit dan lama. Pendaftaran tanah itu membutuhkan proses, dari permohonan, pengukuran, pemetaan, sampai diterbitkannya sertifikat, dengan adanya pemberlakuan tarif secara resmi yang secara nasional tersebut dapat membuat standarisasi dan aturan baku yang jelas dalam pelayanan dibidang pertanahan. Peningkatan tersebut diharapkan juga berakibat langsung dengan peningkatan pelayanan masyarakat dibidang pertanahan. 61 B. Kewenangan Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Batam Secara geogarfis Pulau batam yang dikenal sebagai wilayah Kota Batam mempunyai letak yang sangat strategis yaitu jalur pelayanan internasional dengan jarak 12,5 mil laut dari Negara Singapura. Wilayah Pulau Batam terdapat lebih dari 400 (empat ratus) pulau dan 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) pulau diantaranya 60 Wawancara dengan Bapak Darmansyah Nasution, Notaris/PPAT di Medan pada tanggal 6 Agustus Wawancara dengan Bapak Ronald P, selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, di Kantor Pertanahan Kota Batam, pada tanggal 22 Juli 2010.

17 telah diberi nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara, yang berbatasan dengan: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat : Negara Singapura : Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang : Kabupaten Lingga : Kabupaten Karimun Sesuai Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam. Seiring pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983, wilayah kecamatan Batam yang merupakan bagian dari kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendudukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam. 62 Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri, akan tetapi juga di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, yang disebut Otorita Batam, dan sekarang berubah menjadi daerah Perdagangan Bebas atau Free 62 BATAM.p

18 Trade Zone (FTZ) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009, dengan pemberian hak pengelolaan. Tujuan utamanya adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Bagian tanah hak pengelolaan dapat diberikan kepada pihak lain dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Pemberiannya dilakukan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Hak pengelolaan didaftar dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 1. Pemerintah Kota Batam Pada tahun 1983, Pulau Batam menjadi kota administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dengan 3 (tiga) sub distrik (kecamatan), yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur. 63 Derasnya tuntutan otonomi daerah dan kisah melunaknya kekuasaan sentralistik mendorong perubahan sejarah pemerintahan di Batam. Tanggal 4 Oktober 1999 yang menjadi momentum perubahan bagi Kota Batam. Wilayah yang semula berstatus pemerintahan kota administratif dengan keunikan sebagai daerah khusus industri ditetapkan menjadi pemerintahan yang otonom melalui Undang-Undang 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam Ibid., hlm Ibid.,

19 Diberikannya status otonom kepada Batam juga sesuai dengan kehendak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Batam memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. 65 Dengan dijadikannya Batam sebagai daerah otonom, maka kewenangannya mencakup seluruh bidang pemerintahan, termasuk kewenangan wajib kecuali bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal. Kewenangan wajib, sebagaimana dimaksudkan di atas meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. 66 Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Dalam 65 Arie Sukanti Hutagalung, dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm Ibid., hlm 173.

20 Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Berdasarkan rumusan Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan berskala kabupaten/kota yang diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. 67 Pemerintah Kota Batam melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan melalui Dinas Pertanahan berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut antara lain: Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang. 67 Ibid., 68 Ibid., hlm. 176.

21 a. Pemberian izin lokasi; b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. Penyelesaian sengketa tanah garapan; d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; h. Pemberian izin membuka tanah; i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. 2. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah. a. penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan; b. izin mendirikan bangunan; c. izin usaha; d. undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal; e. penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan; f. lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan Pemukiman jo. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999). Berkaitan dengan adanya hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam atas seluruh tanah di Pulau Batam, kewenangan Pemerintah Kota Batam yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam hal ini izin lokasi menjadi tidak berlaku. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi dalam Pasal 2 Ayat (2) d disebutkan bahwa izin lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut. Namun, kewenangan lainnya di luar pemberian izin lokasi tersebut tetap dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam.

22 Jika sebelumnya, Otorita Batam mengikutsertakan Pemerintah Kota Batam dalam menjalani tugas pemerintahan dan pembangunan, kini sebaliknya justru pemerintah Kota Batam diamanatkan untuk mengikutsertakan Otorita Batam. 69 Di dalam pertimbangan mukadimah Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 ini juga disebutkan bahwa perkembangan Kotamadya Batam tidak terlepas dari keberadaan Otorita Batam sebagai pengelola industri Pulau Batam. 2. Otorita Batam Keberadaan Otorita Batam tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat untuk memberlakukan Pulau Batam secara khusus demi memicu iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan potensi dan letak strategis Pulau Batam. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan sejumlah keputusan yang menjadi dasar hukum bagi keberadaan Otorita Batam. Keputusan tersebut antara lain: Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 tentang Proyek Pengembangan Pulau Batam sebagai Dasar Logistik Lepas Pantai Untuk Kegiatan Pengeboran Oleh Pertamina; Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pembangunan Pulau Batam; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang telah lima kali diubah yaitu dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1978, Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1998, Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005; Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang Penunjukan Beberapa Lokasi di Sekupang, Batu Ampar, dan Kabil sebagai Kawasan Bonded Ware House dan PT Persero Batam sebagai Penguasa Bonded Ware House; Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Dan Penggunaan Tanah Di Daerah Industri Pulau Batam; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Pulau Batam Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone); Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam), Tesis, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Depok, 2007, hlm. 79.

23 tentang Hubungan Kerja Antara Pemerintah Kotamadya Batam dengan Otorita Batam; Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1984 tentang Perluasan Wilayah Kerja Otorita Batam meliputi lima puluh pulau kecil di sekitar Pulau Batam, Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Otorita Batam meliputi Pulau Rempang, Galang Baru, dan beberapa pualu kecil di sekitarnya dan Penetapan sebagai wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone). 70 Dalam bidang pertanahan, kepada Otorita Batam diberikan hak pengelolaan atas seluruh wilayah di Pulau Batam. Hak pengelolaan Otorita Batam diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam. Terhadap hak pengelolaan Otorita Batam, harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota Batam untuk kemudian dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Kebijakan pemerintah berikutnya yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan di Pulau Batam adalah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993 tanggal 13 Juni 1999 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain disekitarnya. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang mengatur tentang kedudukan Pulau Batam sebagai daerah industri, adanya lembaga Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan mengatur peruntukan dan penggunaan tanah di Pulau Batam. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau Otorita Batam memiliki kewenangan menyusun blue print yang berfungsi sebagai master plan pembangunan Batam. Di dalam master plan tersebut ada kawasan tertentu yang dikelompokkan 70 Ibid.,

24 sebagai daerah hijau atau daerah resapan air yang harus dilindungi. Dalam Pasal 6 Ayat (2) disebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri Pulau Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria dengan ketentuan sebagai berikut: Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. 2. Hak pengelolaan tersebut diberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk: a. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut; b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA; d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan. Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Presiden Nomor 41 tahun 1973 bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan Hak Pengelolaan namun tidak dijelaskan apakah pendaftaran hak dilakukan sekaligus terhadap seluruh areal lokasi yang ditetapkan menjadi areal Hak Pengelolaan atau didaftarkan secara parsial (sebagian-sebagian), namun merujuk pada kalimat seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan, seharusnya seluruh areal tersebut didaftarkan sekaligus dan diterbitkan satu sertifikat Hak Pengelolaan secara parsial, mengikuti aturan dalam Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII Penerbitan sertifikat 71 Ibid., hlm. 179

25 Hak Pengelolaan dapat dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan pengukuran untuk mengetahui luas tanah yang pasti dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. 72 Akibat dari diberikannya Hak Pengelolaan (Right of Managemnt Control) oleh negara kepada Otorita Batam adalah merupakan perbuatan hukum dari Pejabat yang berwenang dalam pemberian Hak atas Tanah dan didasarkan atas ketentuan ketentuan yang berpangkal pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang memiliki karakteristik khusus, yaitu tidak mempunyai Right of Disposal ( tidak dapat dipindah tangankan). 73 C. Problematika yang Terjadi Dalam Pendaftaran Tanah Di Kota Batam Problematika pertanahan yang terus terjadi di Kota Batam seperti benang kusut yang tak kunjung usai dan terselesaikan sehingga menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat Batam khususnya. Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, akhirnya jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah Negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat Batam. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, akibatnya bermunculan rumah-rumah liar, tanpa ada usaha untuk membendungnya. 74 Persoalan lain yang berkembang pada saat ini adalah tuntutan 72 Juliani Libertina Nasution, , Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di Wilayah Pulau Batam (Studi: Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat), Tesis,, Medan, 2011, hlm Agus Setyadi Hadisusilo, B4B , Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang Asing Di Indonesia Khususnya Di Pulau Batam Dengan Orang Asing Di Negara Malaysia, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm Ibid., 171

26 masyarakat terhadap sertifikat yang tidak bisa diagunkan ke Bank, dikarenakan ternyata berada di atas kawasan hutan lindung serta lambatnya penerbitan sertifikat tanah masyarakat karena belum adanya kepastian akan status lahannya. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam Nomor 003/UM- KPTS/III/86 tentang Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) mengenai penyerahan bagianbagian areal tanah di Pulau Batam kepada pihak ketiga pada Pasal 5 sebagai berikut: Di luar bidang industri sebagian areal tanah di Pulau Batam dapat juga diperuntukkan perkembangan industri pada khususnya dan kemudian ekonomi pada umumnya, dengan mengutamakan usaha-usaha dibidang jasa, perumahan, pariwisata, pertanian, peternakan, dan perikanan (rawa-rawa). Pasal ini menyatakan bahwa penyerahan areal tanah kepada pihak ketiga dalam hal ini developer/pengembang yang bergerak di bidang perumahan dan pemukiman dapat mengadakan perjanjian dengan Otorita Batam. Akan tetapi permasalahan yang timbul dalam problematika yang terjadi di Kota Batam saat ini adalah peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dan pemegang kekuasaan atas Pulau Batam pada akhirnya tidak sejalan dengan ketentuan yang ada di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam. Hal ini menimbulkan problematika seperti banyaknya kawasan hijau dan kawasan hutan yang sesuai Tata Ruang Kota/Wilayah yang dilanggar dengan memberikan izin kepada pihak ketiga yang dikeluarkan Otorita Batam. Sehingga perlu adanya penerapan prinsip KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi) antara peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional

27 (BPN) Kota Batam dengan peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dalam menjalankan kewenangannya masing-masing dimana perlu menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian apapun peranan yang menjadi wewenangnya masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik. Peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dengan ketentuan yang ada di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam tidak sejalan, misalnya: 1). Banyaknya kawasan hijau yang dibangun perumahan atau toko oleh developer yang telah mendapat izin dari Otorita Batam sehingga Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Kota Batam dilanggar, karena kawasan hijau sebenarnya tidak boleh digunakan atau diberikan kepada developer untuk dibangun. 2). Kawasan hutan yang oleh Otorita Batam diberikan kepada developer untuk hutan dilindungi diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990 bahwa dalam rangka kebijaksanaan pengembangan pola tata dibangun perumahan yang semula adalah kawasan hutan. Otorita Batam tidak memperhatikan masalah apa yang akan timbul akibat wewenang yang dimilikinya disalah gunakan dalam mengambil keputusan untuk mengalokasikan lahan yang ada di Kota Batam. Mengenai pengelolaan ruang tersebut perlu ditetapkan adanya

28 kawasan lindung yang memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Yang terjadi adalah pada tahun 2006 sertifikat rumah yang dimiliki masyarakat masih bisa diajukan dan diterima Bank, akan tetapi kondisi mulai berubah pada bulan Agustus Ada sekitar 200 hektare lahan perumahan di Batam yang ternyata adalah kawasan hutan lindung. Lebih ironisnya pengembang tidak mengetahui lahan yang digarap tersebut berdiri di atas kawasan hutan lindung, sehingga masalah ini terungkap belakangan. Inilah yang menyebabkan kekacauan dimana masyarakat dan pengembang merasa dirugikan karena tidak ada kepastian hukum akan kejelasan status lahan. Maka wajar saja kalau sengketa pertanahan masih berkembang dan meluas di masyarakat akibat ketiadaan bukti hak atas kepemilikan tanah tersebut dan/atau dianggap susah proses yang dilalui masyarakat untuk memperoleh bukti ini. Adapun tuntutan masyarakat tersebut antara lain: Meminta kepada pihak BPN kota Batam agar segera merubah sertifikat dari hak guna bangunan menjadi hak milik. 2. Meminta kepada instansi terkait secepatnya dapat menindak lanjuti status lahan yang selama ini dikatakan sebagai hutan wisata maupun hutan lindung, agar secepatnya disahkan menjadi lahan sesuai peruntukan tanpa ada masalah tumpang tindih peraturan. 3. Meminta kepada BPN Kota Batam agar secepatnya menentukan status sertifikat yang dimiliki sebagaimana mestinya dalam hal ini bisa diagunkan ke bank. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian dan kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena 75 d=1054, diakses pada tanggal 5 Oktober 2010, pukul WIB. 76 Wawancara dengan salah satu warga yang rumahnya berdiri diatas kawasan hutan lindung, pada tanggal 23 Juli 2010.

29 masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda secara tumpang tindih antara peraturan yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan menjadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada. 77 Pengaturan penggunaan tanah di Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya terjadi dualisme, yakni yang dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan yang di dalam ketentuannya memberikan kewenangan untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanahnya, dan juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam dengan didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 20 Tahun 2001 jo Nomor 2 Tahun 2004, sungguhpun pada kenyataannya, pengaturan penggunaan tanah dimaksud belum sepenuhnya dilaksanakan di lapangan sesuai dengan RTRW Kota Batam, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. 78 Dan juga tidak adanya kesinkronan peraturan dan data-data antara Otorita Batam dengan Departemen Kehutanan Kota Batam akan status lahan yang ada di pulau Batam. Sehingga masalah tumpang tindih akibat wewenang masing-masing instansi pemerintah Kota Batam terus terjadi sampai saat ini. Sebagaimana dalam Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam, yang menyebutkan bahwa dengan terbentuknya Kota Batam sebagai daerah Otonom, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan 77 Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm Juliani Libertina Nasution, Op.Cit., hlm. 121.

30 pemerintahan dan pembangunan didaerahnya mengikutsertakan Otorita Batam, untuk itu perlu diatur hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam dengan peraturan pemerintah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Kota Batam. Hubungan kerja itu diatur selambat-lambatnya satu tahun atau 12 (dua belas) bulan sejak diresmikannya Kota Batam sebagai daerah otonom. Selama proses penantian peraturan pemerintah tersebut, sering terjadi gesekan dan benturan di lapangan dalam menerapkan kewenangan oleh masing-masing instusi. Ketegangan demi ketegangan muncul antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam, akan tetapi peraturan pemerintah yang mengatur hubungan kerja tetap tidak terbit. 79 Dua lembaga pengelola wilayah yang saling bersiteru hingga membingungkan investor/pengembang, bersedia untuk bekerjasama melalui sebuah nota kesepahaman mengenai hak dan wewenang pemerintah kota Batam dan Badan Otorita Batam. Fungsi dan wewenang dua lembaga ini mengalami tumpang tindih satu sama lain setelah otonomi daerah diberlakukan. Badan Otorita Batam tidak bersedia melepas wewenangnya sementara pemerintah daerah kota Batam bersikeras bahwa mempunyai hak dan wewenang untuk mengelola Batam. Pemerintah Pusat sendiri sampai sekarang belum mengeluarkan undang undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tugas dan wewenang Badan Otoritas Batam dan pemerintah daerah Batam dalam mengelola wilayah ini. Karena itu, MOU antara pemerintah daerah Batam dengan badan Otorita 79 Arie Sukanti Hutagalung, dan Markus Gunawan, Op.Cit., hlm. 190.

31 Batam dipandang sebagai satu terobosan penting, yang mengatur tentang pertanahan, perizinan, infrastruktur, pelayanan masyarakat, pariwisata dan sebagainya. Menurut Budi Setiawan, persoalan tumpang tindih ini tidak bisa langsung diselesaikan secara langsung karena harus ada undang undang yang mengatur hubungan kerja antara pemerintah kota Batam dan Badan Otorita Batam. Tetapi sampai sekarang undang undang itu belum ada. Jadi selama undang undang atau peraturan pemerintah belum diterbitkan, maka hubungan kerja antara dua lembaga tersebut tidak akan sempurna, meskipun telah ada MOU, akan lebih sempurna apabila ada peraturan dari pemerintah pusat. 80 Karena belum terciptanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, akan timbullah gejala penguasaan dan pengusahaan atas bidang-bidang tanah oleh pihakpihak tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pendudukan atau pengklaiman atas suatu bidang tanah oleh seseorang/kelompok orang yang belum tentu berhak atas tanah yang bersangkutan, okupasi liar dan tumpang tindih hak serta peruntukkan hak atas tanah. Menurut Isman Hadi, ketidaksinkronan aturan yang ada ini terjadi pada pemerintahan daerah Kota Batam, oleh karena Batam dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang penetapan Batam sebagai kawasan industri yang memiliki kewenangan khusus dalam pengalokasian lahan-lahan yang ada di Batam, sedangkan BPN hanya melegalkan sertifikatnya saja. Semua alas haknya dari Otorita Batam (Badan Pengusahaan Batam), maka seluruh lahan yang masuk wilayah Badan 80 Hasil wawancara dengan Staf Perencanaan Otorita Batam, pada tanggal 4 Agustus 2011.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah 34 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang Pendaftaran Tanah yang terdapat di dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pendaftaran Tanah Pasal 19 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997

KEPASTIAN HUKUM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 DIH, Jurnal Ilmu Hukum Agustus 2014, Vol. 10, No. 20, Hal. 76-82 KEPASTIAN HUKUM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 Bronto Susanto Alumni Fakultas Hukum Untag

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH AKIBAT HIBAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA 1 Oleh : Cry Tendean 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut: Peranan merupakan aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017 PROSES PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh: Israwelana BR. Sembiring 2 ABSTRAK Tujuan dialkukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau 26 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wakaf dan Tujuannya Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha, yang meliputi bidang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung dengan pesatnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

PENDAFTARAN TANAH RH

PENDAFTARAN TANAH RH PENDAFTARAN TANAH RH Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah : Merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur, terus menerus untuk mengumpulkan, menghimpun

Lebih terperinci

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia 10 BAB 2 SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 00609/JEMBATAN BESI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG KUAT ( TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 40 K/PDT/2009 ) 2. Landasan Teori Umum 2.1. Pendaftaran

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017 PENDAFTARAN TANAH MENGGUNAKAN SISTEM PUBLIKASI NEGATIF YANG MENGANDUNG UNSUR POSITIF MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh: Anastassia Tamara Tandey 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 1. Pendaftaran tanah adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 1. Pendaftaran tanah adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang ber-kelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN DI KAWASAN

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 PEMINDAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI LELANG MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 1 Oleh : Farrell Gian Kumampung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah. menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang individualistic komunalistik

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah. menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang individualistic komunalistik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAFTARAN TANAH DAN PPAT

PENDAFTARAN TANAH DAN PPAT BAHAN KULIAH PENDAFTARAN TANAH DAN PPAT Oleh : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN Abd. Rahim Lubis, SH.,M.Kn MAGISTER KENOTARIATAN SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 0 9 2

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena tanah mempunyai nilai ekonomi, ekologi, dan nilai sosial dalam kehidupan. Kenyataan sejarah menunjukkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

Pertanyaan: Ringkasan Jawaban: Analisa. 1. Surat Tanah di Indonesia. Dapat kah dilakukan amandemen nama pemilik pada surat tanah?

Pertanyaan: Ringkasan Jawaban: Analisa. 1. Surat Tanah di Indonesia. Dapat kah dilakukan amandemen nama pemilik pada surat tanah? 16 Januari 2016 Pertanyaan: Dapat kah dilakukan amandemen nama pemilik pada surat tanah? Ringkasan Jawaban: 1. Surat tanah yang ada di Indonesia bermacam-macam, dan dibagi ke dalam dua kelompok garis besar,

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

Lebih terperinci

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERUMAHAN, KAWASAN PERMUKIMAN

Lebih terperinci

PENDAFTARAN TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PENDAFTARAN TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENDAFTARAN TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA LATAR BELAKANG PENDAFTARAN TANAH Belum tersedia Hukum Tanah Tertulis yang Lengkap dan Jelas Belum diselenggarakan Pendaftaran Tanah yang Efektif

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 44 BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 1. Tugas dan Wewenang Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sebagai badan hukum, pengurus perhimpunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi masyarakat agraris selain sebagai faktor produksi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi masyarakat agraris selain sebagai faktor produksi yang sangat 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia sangat mendambakan dan menghargai suatu kepastian, terutama sebuah kepastian yang berkaitan dengan hak atas suatu benda yang menjadi miliknya, yang

Lebih terperinci

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 24/1997, PENDAFTARAN TANAH *35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG LEGALISASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG LEGALISASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG LEGALISASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 PENGATURAN HUKUM TENTANG PENDAFTARAN TANAH MENJADI HAK MILIK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 1 Oleh: Syendy A. Korompis 2 Dosen Pembimbing: Atie Olii, SH, MH; Godlieb N. Mamahit, SH, MH

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan Desa Caturharjo Kecamatan Pandak) Oleh : M. ADI WIBOWO No. Mhs : 04410590 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah mempunyai peran yang sangat strategis sebagai sarana pembinaan keluarga dan pendidikan dasar dan juga berfungsi dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), memberikan ruang yang

BAB I PENDAHULUAN. Hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), memberikan ruang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), memberikan ruang yang cukup luas dan bertanggung jawab dalam arti untuk keperluan pribadi maupun untuk keperluan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI OTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960 1 Oleh : Reynaldi A. Dilapanga 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai 14 BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA 3.1. Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai Pentingnya kegiatan pendaftaran tanah telah dijelaskan

Lebih terperinci

BAB II SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI YANG KUAT (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA NOMOR 71/PDT

BAB II SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI YANG KUAT (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA NOMOR 71/PDT 11 BAB II SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI YANG KUAT (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA NOMOR 71/PDT.G/1999/PN.YK DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI YOGYAKARTA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan.

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan. 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan dari berbagai dinamika masyarakat, semakin tinggi pula tuntutan terhadap pembangunan untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 159, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENDAYAGUNAAN TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR DENGAN

Lebih terperinci

BAB III HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA PEMERINTAH KOTA BATAM DENGAN BADAN PENGUSAHAAN BATAM DAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH

BAB III HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA PEMERINTAH KOTA BATAM DENGAN BADAN PENGUSAHAAN BATAM DAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH BAB III HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA PEMERINTAH KOTA BATAM DENGAN BADAN PENGUSAHAAN BATAM DAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH A. Sebelum Otonomi Daerah Perkembangan Kota Batam sejak

Lebih terperinci

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia, dimana setiap orang memerlukan tanah bukan hanya untuk kehidupannya, tapi sampai manusia meninggal dunia

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Batam Dalam Data

Batam Dalam Data SEJARAH RINGKAS Sebelum menjadi daerah otonom, Kotamadya Batam merupakan Kotamadya ke 2 (dua) di Provinsi Riau yaitu yang pertama Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom, sedangkan Kotamadya Batam bersifat

Lebih terperinci

PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI SECARA SPORADIK MELALUI PENGAKUAN HAK. Oleh Bambang Eko Muljono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK

PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI SECARA SPORADIK MELALUI PENGAKUAN HAK. Oleh Bambang Eko Muljono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI SECARA SPORADIK MELALUI PENGAKUAN HAK Oleh Bambang Eko Muljono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH A. Pengertian Tanah Menarik pengertian atas tanah maka kita akan berkisar dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, hanya saja secara rinci pada ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan adanya dua satuan ukur yaitu panjang dan lebar. Tanpa disadari oleh manusia, tanah mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah. bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk mati pun manusia masih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH 2. 1. Pendaftaran Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung dengan pesatnya

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA SURABAYA KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 7 Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk mati pun manusia masih

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN ATAS TANAH

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN ATAS TANAH KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN ATAS TANAH Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-mail: urip_sts@yahoo.com Abstract Tenure of land that can be controlled by local government

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017 PEROLEHAN HAK ATAS TANAH MELALUI PENEGASAN KONVERSI MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA 1 Oleh : Calvin Brian Lombogia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mendasar, karena hampir sebagian besar aktivitas dari kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. yang mendasar, karena hampir sebagian besar aktivitas dari kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah memiliki posisi yang sangat strategis dan sebagai kebutuhan yang mendasar, karena hampir sebagian besar aktivitas dari kehidupan manusia bersentuhan dengan tanah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting baik untuk kehidupan maupun untuk tempat peristirahatan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus.

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus. 19 BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA A. Pengertian Tanah Terlantar Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kadaster) yaitu istilah untuk rekaman, menunjukkan tentang luas, nilai dan kepemilikan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kadaster) yaitu istilah untuk rekaman, menunjukkan tentang luas, nilai dan kepemilikan atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah Menurut AP Parlindungan 1 pendaftaran berasal dari kata Cadaster (bahasa Belanda kadaster) yaitu istilah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA D. Dasar Hukum Hak Pengelolaan Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965. Dalam

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 44 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Kementrian yang berada di bawah dan

Lebih terperinci

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS 8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS A. Pendahuluan Berdasarkan ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, pendaftaran tanah karena perubahan data yuridis termasuk dalam lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang corak kehidupan serta perekonomian rakyatnya masih bercorak agraris, sebagian besar kehidupan rakyatnya

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 LEGALISASI ASET PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN PRINGSEWU. Oleh.

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 LEGALISASI ASET PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN PRINGSEWU. Oleh. Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 113 LEGALISASI ASET PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN PRINGSEWU Oleh Suhariyono 1 ABSTRAK: Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Legalisasi

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak hari Kamis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Agraria a. Pengertian Hukum Agraria Keberadaan Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR: 5 TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR: 5 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR: 5 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa sebagai upaya pengendalian agar penggunaan tanah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga setiap kegiatan

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN

Lebih terperinci

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG 1 RUANG LINGKUP HGU SUBYEK HGU JANGKA WAKTU HGU PENGGUNAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH DAN SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PENDAFTARAN TANAH ADAT. Indah Mahniasari. Abstrak

PENDAFTARAN TANAH ADAT. Indah Mahniasari. Abstrak PENDAFTARAN TANAH ADAT Indah Mahniasari Abstrak Pertanahan di Indonesia sangat menarik untuk selalu dikaji. Sehingga tidak heran ketika dikatakan bahwa masalah tanah adalah masalah klasik yang sangat menarik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batasan usia dewasa. Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

BAB I PENDAHULUAN. batasan usia dewasa. Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk mewujudkan kepastian hukum mengenai kedewasaan dan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan, perlu adanya kejelasan

Lebih terperinci

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI 214 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 214-225 PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI Urip Santoso * Departemen Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS TRANSMIGRASI DAN KEPENDUDUKAN KABUPATEN PELALAWAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB 2 PEMBAHASAN. 2.1 Pendaftaran Tanah

BAB 2 PEMBAHASAN. 2.1 Pendaftaran Tanah BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pendaftaran Tanah 2.1.1 Pengertian Pendaftaran Tanah UUPA merupakan peraturan dasar yang mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pengendalian pemanfaatan tanah

Lebih terperinci