INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011"

Transkripsi

1

2 ISSN INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO MANADO SULAWESI UTARA INFO BPK MANADO VOL. 1 No. 1 Hal 1-87 Manado, November 2011 ISSN ISSN i

3 UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi INFO BPK MANADO mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah analisa/naskah yang dimuat pada edisi Vol. 1 No. 1 tahun 2012: 1. Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado) 2. Dr. Ir. John S. Tasirin, M.Sc. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado) 3. Ir. Hengky Walangitan, MP. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado) ii

4 ISSN INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November 2011 DAFTAR ISI Avifauna Penghuni Hutan Kobe Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Provinsi Maluku Utara Diah Irawati Dwi Arini Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni (Diospyros spp.) di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara Julianus Kinho Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi terhadap Keberadaan Anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara Arif Irawan Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat Sekitar Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Lis Nurrani iii

5 INFO BPK MANADO ISSN Vol. 1 No. 1, November 2011 ABSTRAK Diah Irawati Dwi Arini (Balai Penelitin Kehutanan Manado) Avifauna Penghuni Hutan Kobe Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Provinsi Maluku Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm Melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode jalur dan pemasangan jaring kabut (Mistnet), diperoleh hasil sebanyak 39 jenis burung, dimana 14 jenis diantaranya merupakan jenis endemik, 23 diantaranya adalah burung penetap dan dua lainnya merupakan jenis burung pengunjung. Habitat alami sebagai tempat hidup jenis-jenis burung di kawasan ini umumnya berada pada hutan sekunder serta pinggiran hutan dan hanya sebagian kecil saja yang dijumpai pada hutan-hutan primer. Kata kunci : Avifauna, habitat, hutan kobe, taman nasional, Maluku Utara Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni (Diospyros spp.) di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi permudaan alami jenis-jenis eboni yang ada di CA Tangkoko. Hasil penelitian diketahui ada 90 jenis anakan yang didominasi oleh jenis Drypethes neglecta dan Koordersiodendron pinnatum. Potensi permudaan alam D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Jumlah permudaan ini relatif rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sifat biji rekalsitran, persaingan /kompetisi yang kuat oleh jenis-jenis yang lain dan sebaran daerah yang cukup spesifik, sehingga keberhasilan permudaan eboni menjadi rendah. Kata kunci : Eboni, Diospyros, CA Tangkoko, permudaan alami iv

6 Julianus Kinho (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jahe-jahean di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang di Sulawesi Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis jahejahean yang merupakan tumbuhan herba terrestrial dari famili Zingiberaceae. Jenis-jenis tersebut adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum. Kata kunci : Jahe, jenis, morfologi, melindungi, identifikasi, menjelajah Arif Irawan (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi terhadap Keberadaan Anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone serta kaitannya dengan keberadaan anoa pada kawasan ini. Dari hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa ketiga variabel struktur dan komposisi vegetasi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak mempengaruhi keberadaan anoa di kawasan ini. Kata kunci :Vegetasi, struktur, komposisi, anoa Lis Nurrani (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm Pola pemanfaatan lahan yang diterapkan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berupa kebun polikultur (85%) dan ladang monokultur maupun polikultur. Kebun didominasi oleh tanaman tahunan seperti kelapa, coklat, cengkeh, kopi dan vanili, sedangkan ladang didominasi oleh tanaman musiman jagung dan kedelai. Hasil analisis tabulasi silang yang dilanjutkan dengan uji chi square test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel asal-usul penduduk dengan status kepemilikan lahan demikian juga untuk variabel luas lahan dengan pendapatan petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih dibawah UMP Sulawesi Utara sebanyak 72%. Kebun polikultur memberikan fungsi produksi dan fungsi relatif seimbang sedangkan ladang hanya memiliki fungsi produksi. Kata kunci : Pemanfaatan lahan, masyarakat, Taman Nasional v

7 vi

8 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini AVIFAUNA PENGHUNI HUTAN KOBE KAWASAN TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA PROVINSI MALUKU UTARA Avifauna of Kobe Forest in Aketajawe Lolobata National Park North Maluku Province Diah Irawati Dwi Arini Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) bpk_mdo@yahoo.com ABSTRACT Halmahera is the second largest island in the Maluku Province keeps potential wildlife diversity that has characterized the characters closer to the fauna Australia. The presence of Aketajawe Lolobata National Park is a concept of the conservation of species of forest ecosystems which is devoted to the conservation of species of birds beak is hooked in the province of North Maluku. Lack of data and information on the potential of biodiversity in the region make this research is important in order to obtain the validation data related to diversity of fauna, especially species of avifauna. Through direct observation method using line and installation of fog nets (Mistnet), retrieved results by as much 39 species of birds, of which 14 are endemic species, among species, of which 23 are bird and two other settlers is a type of bird visitors. Natural Habitat as a place of living species of birds in the area is generally located in the secondary forest and forest edges and only a small percentage are found in old-growth forests Keywords : Avifauna, habitat, kobe forest, national park, North Maluku ABSTRAK Halmahera merupakan pulau terbesar kedua di Kepulauan Maluku menyimpan potensi keanekaragaman satwa yang memiliki ciri lebih dekat dengan karakter fauna di kawasan Australia. Kehadiran Taman Nasional Aketajawe Lolobata merupakan sebuah konsep pelestarian ekosistem hutan yang dikhususkan pada konservasi terhadap jenis-jenis burung paruh bengkok di Provinsi Maluku Utara. Minimnya data dan informasi mengenai potensi hayati di wilayah ini membuat penelitian ini penting guna memperoleh validasi data terkait keanekaragaman fauna terutama jenis-jenis avifauna. Melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode jalur dan pemasangan jaring kabut (Mistnet), diperoleh hasil 1

9 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 sebanyak 39 jenis burung, dimana 14 jenis diantaranya merupakan jenis endemik, 23 diantaranya adalah burung penetap dan dua lainnya merupakan jenis burung pengunjung. Habitat alami sebagai tempat hidup jenis-jenis burung di kawasan ini umumnya berada pada hutan sekunder serta pinggiran hutan dan hanya sebagian kecil saja yang dijumpai pada hutan-hutan primer. Kata kunci : Avifauna, Habitat, Hutan Kobe, Taman Nasional, Maluku Utara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan Wallacea yang terdiri dari ribuan pulau termasuk wilayah Maluku Utara memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan. Keragaman ini dicirikan oleh tingkat endemisitas spesies yang begitu tinggi terutama pada jenis burung (avifauna). Avifauna kawasan Wallacea sangat kaya, paling sedikit ada 249 jenis yang terdapat di kawasan ini, yang merupakan 36 % dari 698 jenis yang tercatat di kawasan ini, selain itu terdapat 27 jenis endemik Indonesia (Coates et al, 2000). Sebagai bagian dari wilayah paling timur garis Wallace, Kepulauan Maluku khususnya Maluku Utara menjadi tempat hidup berbagai satwa campuran Oriental dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis burung endemik. Kekayaan jenis fauna endemik Maluku Utara dan pulaupulau lainnya di Indonesiai merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, namun di sisi lain menjadi sebuah amanah besar untuk dikelola dengan baik agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Sebagai bagian dari upaya melestarikan kekayaan burung-burung endemik khususnya burung paruh bengkok (Psittacidae) dan habitatnya di Maluku Utara, Pemerintah telah menetapkan hutan Aketajawe-Lolobata sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) merupakan kawasan konservasi di Indonesia yang mewakili keanekaragaman hayati Bioregion Wallacea bagian timur. Kawasan ini menyimpan variasi kekayaan fauna yang sangat beragam dan potensial, namun hingga kini belum banyak informasi dan publikasi terkait potensi hayati utamanya penyebaran jenis-jenis burung endemik di 2

10 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini kawasan ini. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan kajian terkait keanekaragaman fauna khususnya jenis-jenis avifauna endemik di kawasan TN. Aketajawe-Lolobata. Penunjukan kawasan Aketajawe-Lolobata menjadi Taman Nasional, selain sebagai tempat pelestarian bagi flora dan fauna juga secara langsung ditujukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat sekitar melalui perlindungan kawasan sebagai water catchment area, setidaknya puluhan sungai dan anak sungai berhulu di kawasan ini menjadi pasokan air bersih bagi masyarakat sekitar kawasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi keragaman jenis fauna khususnya jenis-jenis burung endemik di Kawasan Hutan Blok Aketajawe pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata yang diharapkan dapat menambah khasanah dan informasi guna melengkapi database bioekologi di kawasan ini serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan bagi kehidupan jenis-jenis burung Maluku. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Blok Aketajawe yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) I Weda. Secara administrasi lokasi ini masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Kobe Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009, di sekitar Desa Kobe dan Sungai Kaligoro pada ketinggian tempat m dpl. 3

11 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 : TN. Aketajawe - Lolobata Gambar 1. Peta lokasi penelitian B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teropong/binoculer, jaring kabut (mistnet), jaring perangkap nylon, Global Positioning System (GPS), kamera digital dilengkapi dengan lensa tele dengan ukuran mm, handycam, alat ukur diameter/kaliper, mistar, tali tambang, meteran, tali rafia, bambu, lembar isian data, alat tulis menulis, larutan alkohol 70 % dan 95 % untuk pengawetan spesimen, toples, minor surgery set. Buku Panduan Lapang Burung Wallacea (Coates et al, 2000). C. Prosedur Penelitian Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer berupa jenis burung, aktivitas dan waktu perjumpaan diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan. Metode yang digunakan adalah metode jalur dibantu dengan pemasangan jaring kabut (mistnet) (Boer, 1993). Data sekunder berupa kondisi umum kawasan serta data-data hasil- 4

12 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini hasil penelitian dan kajian diperoleh dari Balai TN. Aketajawe-Lolobata maupun penelusuran literatur lainnya. Penempatan jalur pengamatan dilakukan secara purposive random sampling yaitu pada lokasi-lokasi yang menjadi habitat utama burung. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengamatan secara langsung atau visual dan pemasangan jaring kabut yang berfungsi untuk menangkap burung guna pengukuran morfometri tubuh satwa. Jenis-jenis burung yang terjaring selanjutnya dilakukan pengukuran sampel tubuh mencakup panjang paruh, lebar paruh, tebal paruh, panjang kepala, lebar kepala, lebar badan, panjang sayap, lebar sayap, panjang tungkai, panjang total, panjang ekor, lebar ekor, panjang sayap, lebar sayap. Setelah dilakukan pengukuran kemudian burung tersebut dilepaskan kembali. Pemasangan jaring kabut dilakukan sepanjang 50 meter untuk lima buah mistnet yang dipasang sejajar dengan menggunakan tiang bambu atau diikat pada pohon. Pengamatan dengan metode jalur dilakukan pada pagi hingga sore hari yang dimulai pukul WITA, dan merekam setiap jenis satwa yang dijumpai. mencakup jenis burung, jumlah individu burung, serta aktivitas burung. D. Analisis Data Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel serta grafik. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Aketajawe Lolobata adalah Taman Nasional pertama yang berada di wilayah administrasi Provinsi Maluku Utara, merupakan wilayah daratan yang terdiri dari ekosistem dengan tipe hutan hujan dataran rendah, hutan hujan perbukitan, hutan hujan sub montana dan hutan rawa air tawar. Ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri 5

13 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) merupakan kawasan konservasi yang mengkombinasikan dua kawasan inti yang terpisah yaitu kawasan hutan Aketajawe ( Ha) sebagai bagian dari administrasi pemerintahan Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Sedangkan kawasan hutan Lolobata ( Ha) seutuhnya menjadi bagian administrasi Kab. Halmahera Timur. Perlindungan yang diharapkan dari kombinasi dua kawasan ini adalah perlindungan terhadap perwakilan keanekaragaman ekosistem dan rangkaian habitat yang lengkap mulai dari dataran rendah sampai pegunungan, perlindungan daerah resapan air yang penting bagi kawasan sekitarnya atau di bawahnya untuk kebutuhan air masyarakat, pertanian, industri dan lainnya (Dephut, 2009). Topografi TNAL berdasarkan klasifikasi USDA Soil Taxonomy (1998) memiliki kemiringan lereng di wilayah ini terdiri dari datar (0-3 %), bergelombang (8-15 %), hingga bergunung (15-30 %). Topografi merupakan salah satu faktor penentu terhadap variasi vegetasi, hal ini dapat dibuktikan dari variasi hutan yang membentuk Halmahera khususnya Kawasan Aketajawe mulai dari hutan mangrove, hutan dataran rendah dan pegunungan (Dephut, 2007). Tanah utama pembentuk Pulau Halmahera adalah jenis-jenis tanah vulkanis yang terbentuk dari endapan lava beberapa gunung berapi. Tanah vulkanis (inceptisol) adalah tanah yang terbentuk akibat sedimentasi vulkanik dan berasal dari endapan batu berlapis-lapis, bahan organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Vulkanis yang sangat subur merupakan pusat utama industri rempah-rempah di Wilayah Maluku, hal ini jugalah yang membuat vegetasi pembentuk hutan Halmahera tumbuh dengan cepat dengan tegakan-tegakan besar. Tanah disini mengandung banyak batu kapur koral dan batuan ultrabasa yang sekarang membentuk bukit-bukit karst dan gunung-gunung batuan beku yang tinggi (Coates et al., 2000). 6

14 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini Dalam hal iklim, Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim, oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi lautan dan bervariasi antara wilayah, yaitu daerah iklim Halmahera Utara, iklim Halmahera Tengah/Barat, iklim Bacan dan daerah iklim Kepulauan Sula. Kawasan Aketajawe dan Lolobata berada pada wilayah iklim Halmahera Tengah dan Barat dengan musim hujan pada bulan Oktober-Maret dengan musim pancaroba pada bulan April, dan musim kemarau pada bulan April- September yang diselingi angin Timur dan perubahan cuaca pada bulan September. Curah hujan rata-rata antara mm per tahun (Dephut, 2009). B. Keragaman Jenis Burung Hutan Kobe Kawasan TNAL Hasil penelitian para ahli ornithologi terhadap kelompok avifauna menyimpulkan bahwa sebanyak 213 jenis burung yang tercatat di Halmahera, 126 jenis diantaranya merupakan burung penetap. Burung penetap dianggap penting bagi konservasi dan saat ini diperkirakan terancam punah secara global (Poulsen et al, 1999). Pulau Halmahera adalah pulau terbesar kedua di Maluku setelah Seram dan merupakan miniatur yang secara fisik paling mirip dengan Sulawesi. Kemiripan tidak saja dalam hal sejarah terbentuknya kedua pulau yang notabene sebuah busur pulau, tetapi fisiografi dan bentuknya juga sangat mirip. Walaupun kekayaan jenisnya tidak setinggi di sub kawasan Sulawesi, namun Kepulauan Maluku mendukung enam marga endemik dan 64 jenis endemik (Coates & Bishop, 2000). Hasil eksplorasi jenis avifauna dan mamalia pada hutan kawasan TN. Aketajawe-Lolobata menemukan sebanyak 39 jenis burung yang dijumpai melalui perjumpaan secara langsung. Dari semua jenis tersebut dikelompokkan ke dalam 22 famili, sebanyak 17 jenis merupakan burung endemik, 20 jenis burung penetap dan dua jenis burung pengunjung. Perjumpaan didominasi oleh kelompok julang irian (Rhyticeros plicatus) dan dua jenis burung paruh bengkok yaitu nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi) serta nuri bayan (Eclectus roratus) dengan frekuensi perjumpaan rata-rata 5-10 menit per hari. 7

15 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Columbidae merupakan marga dengan jenis yang paling banyak ditemukan, sebanyak tujuh spesies dijumpai dan tiga diantaranya adalah endemik Maluku Utara yaitu walik dada merah (Ptilinopus bernsteinii), walik kepala kelabu (Ptilinopus hyogaster) dan pergam boke (Ducula basilica). Sedangkan empat jenis lainnya bersifat umum antara lain pergam mata putih (Ducula perspicillata), uncal ambon (Macropygia amboinensis amboinensis), pergam laut (Ducula bicolor) dan tekukur biasa (Streptopelia chinensis). Dari keluarga Pssitacidae sebanyak enam jenis terdiri atas nuri Kalung ungu (Eos squamata), nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri bayan (Ecletus roratus) dan kakatua putih (Cacatua alba) yang sesekali terlihat melintas di lokasi pengamatan. Perjumpaan dengan Cacatua alba pada lokasi penelitian di hutan Kobe, agak berbeda karena hanya terlihat beberapa kali saja, berbeda dengan dua tempat penelitian sebelumnya yaitu Kawasan Tayawi dan hutan di sekitar sungai Yomoyomoto dimana intensitas pertemuan dengan jenis endemik ini sangat tinggi. Lokasi penelitian yang masih dekat dengan wilayah pantai menjadi alasan mengapa jenis burung Cacatua alba jarang ditemukan pada kawasan ini. Marga Pssitacidae merupakan penciri khusus dari avifauna kawasan timur Indonesia, marga ini juga dikenal sebagai keluarga burung paruh bengkok dan merupakan ekosistem asli Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jenis endemik lain dari marga Pssitacidae yaitu kasturi ternate (Lorius garulus), ciri khusus sebagai indikator untuk mengenali jenis ini adalah bulu dominan merah dan sayap berwarna hijau. Dari famili Campephagidae juga ditemukan sebanyak tiga jenis, dimana satu jenis adalah endemik yaitu kapasan halmahera (Lalage aurea) dan dua lainnya terdiri atas Kepudang Sungu Kartula (Coracina papuensis) dan kepudang sungu miniak (Coracina tenuirostris). Perbandingan jumlah jenis berdasarkan familinya dapat dilihat dalam Gambar 2. 8

16 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini Gambar 2. Grafik perbandingan jumlah jenis burung berdasarkan famili yang dijumpai di TNAL. Jenis-jenis burung endemik lainnya yang dijumpai pada lokasi pengamatan antara lain cikuakua halmahera (Melitograis gilolensis), brinji emas (Ixos affinis), bubut goliath (Centropus goliath), elang alap halmahera (Accipiter henicogrammus), cendrawasih halmahera (Lycocorax pyrrhopterus), bubut kai (Centropus spilopterus), cikuakua hitam (Philemon fuscicapillus), cikuakua halmahera (Melitograis gilolensis), kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus) dan paok halmahera (Pitta maxima). Jenis-jenis burung yang dijumpai dalam pengamatan disajikan dalam Gambar 3. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, beberapa jenis burung maupun satwa terestrial tertentu diburu untuk keperluan konsumsi atau diperjual belikan, terutama yang mudah ditangkap dengan jerat. Jenis burung berukuran besar seperti pergam (Ducula sp) dan julang irian (Aceros plicatus) jarang diburu karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki senapan angin sedangkan perburuan burung-burung kecil biasanya hanya menggunakan lem perekat atau jaring perangkap. Masalah yang kini menjadi kekhawatiran adalah meningkatnya penggunaan pestisida komersial untuk meracuni ikan pada sungai-sungai yang notabene sebagai 9

17 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 tempat dimana satwa mencari air. Fakta yang cukup mengejutkan lagi adalah jenis burung paruh bengkok terutama kasturi ternate (Lorius garulus), kakatua putih (Cacatua alba), nuri bayan (Eclectus roratus) dan nuri kalung ungu (Eos squamata) banyak ditangkap oleh Suku Togutil untuk dijual kepada para penambang emas. Kondisi ini diperparah dengan perilaku ma Masyarakat di desa-desa sekitar yang juga sering kali menangkap jenis tersebut untuk binatang peliharaan ataupun untuk diperdagangkan secara ilegal baik domestik maupun internasional. Burung dijual dengan harga antara Rp per ekor atau terkadang hanya ditukar dengan jam tangan, rhum, dan komoditi lainnya kepada nelayan Filipina. Kemungkinan tingkat penangkapan burung paruh bengkok telah melebihi kuota dan sistem perijinan legal. Salah satu keunikan yang dijumpai pada saat penelitian adalah penemuan burung yang diperkirakan bubut kai (Centropus spilopterus) jenis ini dinyatakan endemik Pulau Kai, namun ditemukan pada kawasan pinggiran hutan di luar batas kawasan taman nasional. Bubut Kai memiliki karakteristik morfologi hampir sama dengan bubut goliath (Centropus goliath) mulai dari warna bulu dan ukuran tubuhnya. Yang membedakan adalah garis putih pada kedua sayap bagian samping sedangkan bubut kai yang dijumpai berbulu hitam pada seluruh bagian tubuhnya. Kegiatan eksplorasi fauna pada tahun 2008 juga menemukan jenis ini yaitu pada lokasi penelitian di Desa Tomares (S. Yomoyomoto) dan sekitarnya. Namun tentunya perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi untuk memastikan apakah jenis tersebut memang dapat dijumpai di luar Pulau Kai. 10

18 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini Rhyticeros plicatus Geoffroyus geoffroyi Eclectus roratus Cacatua alba Ptilinopus bernsteinii Lorius garulus Centropus goliath Ixos affinis Lalage aurea Eos squamata Heliastur indus Dicrurus bracteatus Gambar 3. Jenis burung yang dijumpai di Kawasan TNAL 11

19 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 C. Penggunaan Habitat Burung di Kawasan TNAL Penutupan vegetasi pada lokasi penelitian didominasi oleh hutan primer yang sebagian telah terfragmentasi menjadi mosaik-mosaik kecil. Fragmentasi habitat disebabkan oleh adanya pembukaan hutan menjadi jalan logging oleh perusahaan-perusahaan kayu yang dulunya beroperasi di sekitar kawasan TNAL. Secara umum, tipe habitat di lokasi penelitian dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu habitat hutan primer, semak belukar, hutan sekunder serta pinggiran hutan. Hutan sekunder dan pinggiran hutan didefinisikan sebagai habitat yang sangat bervariasi, pada awalnya berupa lahan yang ditumbuhi semak sampai hutan-hutan berpohon tinggi, sering ditumbuhi banyak pohon tinggi yang diantaranya merupakan sisa hutan aslinya. Tipe hutan ini juga mencakup tumbuhan hasil regenerasi yang lebat di tepi hutan, seperti di sepanjang jalan, jalan setapak, jalur pembalakan, anak-anak sungai dan sungai-sungai cabang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar burung dapat dijumpai pada bagian hutan sekunder dan pinggiran hutan dan hanya beberapa jenis saja yang dijumpai di habitat hutan primer diantaranya walik dada merah (Ptilinopus bernsteinii), julang irian (Rhyticeros plicatus), kakatua putih (Cacatua alba) dan lainnya. Jenis-jenis burung paruh bengkok seperti nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri bayan (Eclectus roratus) banyak menggunakan pohon-pohon tinggi terutama bagian tajuk paling atas untuk melakukan aktivitas hariannya. Persentase penggunaan habitat berdasarkan perjumpaan oleh kelompok burung di lokasi penelitian dapat dilihat dalam Gambar 4. 12

20 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini Gambar 4. Grafik perbandingan penggunaan habitat oleh burung pada kawasan konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata D. Keragaman Satwa Lain di TNAL Hutan Kobe kawasan TNAL juga menyimpan kekayaan satwa lain selain burung. Hasil perjumpaan menemukan sebanyak tiga jenis mamalia yang terdiri atas rusa sambar (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa) dan satu jenis kelelawar (Fooradoxous sp). Babi hutan (Sus scrofa) teramati ketika sedang mencari makan di sekitar bekas jalan sarad dengan mengagali-gali tanah untuk mendapatkan larva ataupun umbi-umbian. Jumlah individu yang teramati sebanyak tiga ekor, dimana dua ekor merupakan anak dan seekor lainnya adalah induk babi. Keberadaan Sus scrofa juga terlihat dari jejak-jejak kaki yang banyak ditemukan dalam kawasan taman nasional. Pada pemukiman warga yang berada di sekitar Taman Nasional, beberapa masyarakat terlihat melakukan penangkapan dengan tujuan untuk memelihara satwa tersebut. Secara umum babi hutan maluku mempunyai ciri-ciri morfologi yang sama dengan Sus celebensis namun pada babi maluku terdapat janggut putih pada rahang. Satwa ini memiliki penciuman yang sangat tajam sehingga mampu mengidentifikasi kehadiran makhluk asing dengan cepat, sehingga babi hutan senang hidup pada hutan-hutan primer. Mamalia ini sering kali ditangkap oleh masyarakat sekitar untuk dipelihara kemudian 13

21 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 dikonsumsi oleh sebagian besar warga Desa Kobe yang beragama Kristen. Perburuan terhadap jenis ini akan meningkat ketika menjelang hari-hari besar keagamaan. Perburuan babi dan rusa semakin hari dirasakan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya pasar lokal di lokasi-lokasi transmigrasi dan tempat pendulangan emas ilegal. Mamalia lainnya yang ditemukan adalah rusa sambar (Cervus timorensis). Indikasi keberadaan mamalia bertanduk indah ini dilihat dari banyaknya jejak kaki yang ditemukan pada kawasan. Pengamatan dilakukan pada ketinggian tempat antara mdpl. Rusa sambar (Cervus timorensis) yang merupakan jenis introduksi sama dengan babi hutan (Sus scrofa) (Poulsen et al, 1999). Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNAL, biasanya melakukan perburuan kedua jenis tersebut untuk dikonsumsi dagingnya ataupun untuk dijual. Daging rusa biasanya dijual dengan harga Rp per lembarnya (rata-rata 1-2 kg). Jika masih hidup harga jualnya bisa mencapai Rp per ekor. Metode perburuan terhadap jenis ini dilakukan dengan cara memasang perangkap dan kadang kala menggunakan jasa anjing sebagai pemburu. Kobe merupakan salah satu daerah di Maluku Utara yang dikenal sebagai pemasok jenis Rusa sebagai satwa peliharaan maupun untuk kepentingan suplai daging rusa. Mamalia lainnya yang berada dalam kawasan Taman Nasional adalah kuskus beruang halmahera (Ailurops ornatus. Keberadaan satwa marsupialia ini diketahui berdasarkan informasi masyarakat sekitar yang sering kali menangkap satwa tersebut untuk dikonsumsi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan sebanyak 39 jenis burung, 14 jenis merupakan jenis endemik Maluku Utara, 23 jenis dikelompokkan sebagai burung penetap dan dua lainnya adalah jenis burung pengunjung. 2. Berdasarkan penggunaan habitatnya, sebanyak 45% burung ditemukan pada habitat hutan sekunder dan pinggiran hutan, 23% 14

22 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini ditemukan pada habitat semak belukar, 19% pada hutan primer, 8% ditemukan pada habitat lahan pertanian dan atau pemukiman serta 5% ditemukan di kawasan perairan (danau). B. Saran 1. Melihat potensi yang ada, diperlukan suatu penetapan prioritas terkait dengan kegiatan penelitian satwa. Penelitian lebih lanjut mengenai populasi dan habitat khususnya bagi satwa-satwa endemik yang saat ini sudah mulai terancam keberadaannya sangat diperlukan guna mencegah kepunahannya di alam khususnya untuk jenis avifauna. 2. Kerusakan habitat dan perburuan satwa merupakan permasalahan utama yang dihadapi Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Konsep pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan beberapa pihak terutama masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar kawasan diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk dapat mempertahankan keberadaan hutan dan keberlangsungan satwa penghuninya. DAFTAR PUSTAKA Boer, Chandradewana Studi Tentang Keragaman Jenis Burung Berdasarkan Tingkat Pemanfaatan Hutan Hujan Tropis di Kalimantan Timur Indonesia. Disertasi. Universitas Wuerzburg. Coates, B.J. dan K.D. Bishop Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallace. BirdLife International Indonesia Programme & Dove Publication. Bogor. Departemen Kehutanan Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts- II/2004 tanggal 18 Oktober Tentang Penetapan Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara. Jakarta. 15

23 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Poulsen, Michael K., Frank R. L., dan Yusup C Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Ake Tajawe. BirdLife. Bogor. Suyanto, A Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor. Undang-Undang No 5 Tahun Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta Monk, K.A., Y. D. Fretes, and G.R. Lilley Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia Buku V. Prenhallindo. Jakarta. Whitten, A.J. Mustafa, F. and G.S. Hendersen Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada Press Yogyakarta. 16

24 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini Lampiran 1. Daftar jenis-jenis burung hasil pengamatan pada Taman Nasional Aketajawe-Lolobata No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Sebaran Habitat 1 Accipitridae 1 Elang Alap Halmahera Accipiter henicogrammus E S 2 Elang bondol Haliastur indus <R> S 2 Alcedinidae 3 Cekakak pita biasa Tanysiptera galatea R> L 3 Ardeidae 4 Kuntul Kerbau Bubulcus ibis < R, V? > Sb, A 4 Bucerotidae 5 Julang Irian Rhyticeros plicatus R> P, S 6 Kepudang Sungu Kartula Coracina papuensis R S, A 5 Campephagidae 7 Kepudang sungu miniak Coracina tenuirostris R> S 8 Kapasan Halmahera Lalage aurea E S, A 9 Uncal Ambon Macropygia amboinensis amboinensis R> P, S, A, Sb 10 Pergam Mata Putih Ducula perspicillata R> S 11 Pergam Laut Ducula bicolor <R> P, S 6 Columbidae 12 Walik Kepala Kelabu Ptilinopus hyogaster E S 13 Walik Dada Merah Ptilinopus bernsteinii E P 14 Pergam boke Ducula basilica E P 15 Tekukur biasa Streptopelia chinensis <R L 17

25 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Sebaran Habitat 7 Corvidae 16 Cendrawasih halmahera Lycocorax pyrrhopterus E (MU) S 8 Cuculidae 17 Bubut Goliath Centropus goliath E P, Sb 18 Bubut Kai Centropus spilopterus E Sb 9 Dicruridae 19 Srigunting Lencana Dicrurus bracteatus <R> P, S 20 Walet Sapi Collocalia esculenta <R> S, Sb 10 Hemiprocnidae 21 Tepekong Kumis Hemiprocne mystacea R> S, Sb 11 Hirundinidae 22 Layang-layang api Hirundo rustica <V> S, Sb 12 Megapodidae 23 Gosong Kelam Megapodius freycinet R> S 13 Meliphagidae 24 Cikuakua hitam Philemon fuscicapillus E S 25 Cikuakua Halmahera Melitograis gilolensis E Sb 14 Muscicapidae 26 Sikatan Belang Ficedula westermanni <R S, Sb 15 Nectariniidae 27 Burung Madu Sriganti Nectarinia jugularis <R> S 28 Burung madu hitam Nectarinia aspasia R> S, Sb 16 Oriolidae 29 Kepudang Halmahera Oriolus phaeochromus E S Pitta maxima P, S 17 Pittidae 30 Paok Halmahera E 18

26 Avifauna Penghuni Hutan Kobe Diah Irawati Dwi Arini No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Sebaran Habitat 31 Nuri Pipi Merah Geoffroyus geoffroyi R> P, S 32 Nuri Bayan Eclectus roratus R> P,S 18 Psittacidae 33 Nuri Kalung Ungu Eos squamata R> S 34 Kasturi Ternate Lorius garrulus E S 35 Kakatua Putih Cacatua alba E S, P 36 Perkici dagu merah Charmosyna placentis R> S 19 Pycnonotidae 37 Brinji Emas Ixos affinis E S 20 Rhipiduridae 38 Kipasan Kebun Rhipidura rufiventris R> L, A 21 Sturnidae 39 Perling Ungu Aplonis metallica R> Sb, S Keterangan Sebaran : R : Penetap E : Endemik V : Pengunjung Int : Introduksi < : Sebaran dijumpai pula di sebelah Barat Maluku (Utara) > : Sebaran dijumpai pula di sebelah Timur Maluku (Utara) Keterangan Penutupan Lahan : P : Hutan Primer S : Hutan Sekunder dan Pinggiran Hutan A : Pemukiman dan Lahan Pertanian L : Perairan (Danau/Sungai) Sb : Semak Belukar 19

27 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November

28 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari POTENSI PERMUDAAN ALAMI JENIS-JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI CAGAR ALAM TANGKOKO, BITUNG, SULAWESI UTARA. Natural Regeneration of Diospyros species in Tangkoko Nature Reserve, Bitung, North Sulawesi Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari Balai Penelitian Kehutanan Manado. Jl Raya Adipura, Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Manado, Sulawesi Utara. ABSTRACT Ebony is a type of wood due to its beautiful luxury fiber and high quality wood and has become primadona export from Indonesia of Sulawesi. The conservation area is an area source of germplasm. However, deforestation, land use, and function of disaster are factor that threatens sustainability of biodiversity. This research aims to find out potential natural regeneration of diospyros species in tangkoko nature reserve. Data retrieval method is using the nedsted method of sampling with an area of 6 ha on two observation blocks. Research results known there are 90 kinds of chicks dominated by species of Drypethes and Koordersiodendron pinnatum neglecta. The potential of natural regeneration, D. minahassae 197 trees/ha, D. pilosanthera 178 trees/ha, D. cauliflora 104 trees/ha, D. marritima 32 trees/ha, D. hebecarpa 16 trees/ha, D. malabarica 10 trees/ha, and D. ebenum 5 trees/ha. This number regeneration is relatively low. Several factors influence it seeds rekalsitran, among others of the nature of competition/competition strong by the kinds of the other and to scatter an area sufficiently species, so the success of ebony regeneration is low. Keywords: Ebony, Diospyros, Tangkoko Nature Reserve, natural regeneration ABSTRAK Eboni merupakan kayu jenis mewah karena seratnya indah dan kualitas kayunya tinggi serta telah menjadi primadona ekspor Indonesia yang berasal dari Sulawesi. Kawasan konservasi merupakan kawasan sumber plasma nutfah. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan bencana merupakan faktor yang mengancam kelestarian jenis keanekaragaman hayati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi 21

29 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 permudaan alami jenis-jenis eboni yang ada di CA Tangkoko. Metode pengambilan data menggunakan metode nedsted sampling dengan luas 6 ha pada dua blok pengamatan. Hasil penelitian diketahui ada 90 jenis anakan yang didominasi oleh jenis Drypethes neglecta dan Koordersiodendron pinnatum. Potensi permudaan alam D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Jumlah permudaan ini relatif rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sifat biji rekalsitran, persaingan /kompetisi yang kuat oleh jenis-jenis yang lain dan sebaran daerah yang cukup spesifik, sehingga keberhasilan permudaan eboni menjadi rendah.. Kata kunci : Eboni, Diospyros, CA Tangkoko, permudaan alami I. PENDAHULUAN Salah satu jenis kayu perdagangan yang termasuk dalam kayu kelas mewah dan banyak tumbuh di Sulawesi adalah eboni. Menurut Suriarahardja dan Wasono (1996) dalam Hendromono (2007) eboni merupakan salah satu jenis pohon andalan di Sulawesi Selatan, Tengah dan Utara yang mulai langka dan merupakan jenis yang secara alami hanya tumbuh di Sulawesi serta sangat diminati oleh mancanegara sebagai mebel, hiasan, ukiran, konstruksi, alat rumah tangga dan alat musik. Eboni merupakan anggota suku Ebenacea, Marga Diospyros termasuk Lissocarpa dan Maba, memiliki antara 400 hingga 500 jenis yang tersebar di daerah pantropis (Sunaryo, 2003). Menurut catatan Holtus dan Lam (1942), Clayton dkk (1991), Lee dkk (1998, 1999, 2000, 2001), dan Djamaludin (1999) dalam Kinho dkk (2010) di wilayah Sulawesi Utara terdapat sepuluh jenis eboni yaitu Diospyros celebica, Diospyros buxifolia, Diospyros hebecarpa, Diospyros javanica, Diospyros korthalsiana, Diospyros macrophylla, Diospyros maritime, Diospyros minahassae, Diospyros rumphii dan Diospyros sp yang tersebar di kawasan konservasi baik yang dikelola oleh BKSDA Sulawesi Utara maupun Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pemungutan eboni khususnya jenis D. celebica menurut Sanusi (2002) telah dilakukan sejak abad ke-18 dalam jumlah yang besar dan 22

30 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari mengalami penurunan sejak tahun Penurunan ini disebabkan oleh tegakan eboni di alam berkurang drastis karena pemungutan berlebihan dan tidak diimbangi dengan permudaannya. Volume tebangan kayu eboni yang berhasil tercatat selama kurun waktu 1969 sampai 1982 sebesar ,678 m 3. Hal ini menyebabkan populasi eboni semakin terbatas. Kawasan konservasi merupakan sumber plasma nutfah berbagai keanekeragaman hayati. Adanya deforestasi, alih fungsi lahan, bencana alam dan berbagai aktivitas manusia lainnya telah menjadi ancaman bagi kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika anakan dan potensi permudaan alam jenis jenis eboni di Cagar Alam Tangkoko. Diharapkan kajian ini dapat memberikan gambaran kelestarian jenis eboni serta menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya CA Tangkoko. II. KONDISI UMUM CAGAR ALAM TANGKOKO Cagar Alam Tangkoko dilindungi sejak pemerintah kolonial Belanda sebagai kawasan hutan dengan fungsi Cagar Alam berdasarkan Besluit Van den Governeur Nederlands Indie (GB) No.6 Stbl.90 tanggal 12 Pebruari 1919 dengan luas ha. Topografi landai sampai bergunung dengan ketinggian mencapai m dpl. Berdasarkan Shcmidth dan Ferguson curah hujan mm/tahun, dengan temperatur rata-rata 20 o 25 o C. Bentang alam terdiri dari pantai hingga pegunungan dan tipe ekosistem hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan serta hutan lumut. Menurut Kinho dkk (2010) sedikitnya terdapat 140 jenis pohon yang tediri dari 102 marga dan 44 suku serta 8 jenis dari marga Diospyros. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Kegiatan Penelitian dilakukan di Cagar Alam Tangkoko pada tanggal 18 sampai 27 Agustus 2010 dengan metode nedsted sampling seluas 6 ha. 23

31 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Pengamatan pertama berada pada ketinggian antara meter dpl bertopografi landai sampai jurang dan kedua pada ketinggian meter dpl dengan topografi yang relatif landai. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koran, alkohol 70 % dan tally sheet. Alat yang digunakan ialah meteran roll, solatip, plastik, tali, gunting stek, kamera, peta kerja, GPS, parang, kompas dan alat tulis. C. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian menggunakan metode nedsted sampling seluas 6 ha. Pada setiap ketinggian dibuat 5 jalur pengamatan dengan base line searah garis kontur dan arah rintisan memotong kontur. Setiap jalur memiliki petak pengamatan 15 buah berukuran 5x5 meter diletakan pada kiri dan kanan arah rintisan. Pengamatan dilakukan dengan melihat semua jenis anakan tingkat semai sampai pancang dan dihitung jumlahnya. Jenis yang belum bisa diidentifikasi secara langsung, lebih lanjut diidentifikasi di Herbarium Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Selanjutnya data dianalisa menurut Indriyanto (2010) dengan indeks nilai penting (INP) dan indeks keanekaragaman Shannon (H) yaitu. INP = DR+ FR + KR; DR (dominasi relatif), FR (Frekuensi relatif) dan KR (kerapatan relatif) ; H = Indeks Shannon, N = Total nilai penting, n.i = Nilai penting dari tiap spesies 24

32 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keanekaragaman Jenis - Jenis Permudaan Jenis-jenis permudaan yang berhasil ditemukan tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Daftar jenis permudaan alam di CA Tangkoko No. Nama Jenis No. Nama Jenis No. Nama Jenis 1 Acalypha caturus Bl. 31 Diospyros malabarica 61 Leocosiche sapitelata 2 Aglaia cortalsiana 32 Diospyros maritima Blume. 62 Litsea sp. 3 Aglaia macrocarpa 33 Diospyros minahassae Bakh. 63 Macaranga mapa 4 Alectrion sp. 34 Diospyros pilosanthera Blanco 64 Mallotus ricinoides Muell.Arg. 5 Alstonia scholaris R. Br. 35 Dracontomelon dao Merr.et Rolfe 65 Melanolepis multiglandulosa Rich.f.et.Zoll 6 Alstonia sumatrana 36 Dracontomelon mangiferumbi 66 Malotus columnaris 7 Antidesma celebicum Miq. 37 Drypetes neglecta 67 Meliosma pinnata 8 Apocyna jasmine 38 Dysoxylum molisimum 68 Morinda bracteata Roxb. 9 Ardisia sp. 39 Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr. 69 Ocrocia acuminatisima 10 Artocarpus dada 40 Euginia acuminatisima 70 Palaquium obtusifolium 11 Avero belimbing 41 Ficus pubinervis Bl. 71 Piper aduncum 12 Baringtonia acutangula Gaertn. 42 Ficus sp. 72 Pipturus argentus 13 Buchanania arborescens Bl 43 Ficus variegata Bl. 73 Pisonia umbellifera Seem. 14 Calophyllum saulattri Burm Bl. 44 Garcinia daedalanthera Pierre 74 Polyalthia latericia 15 Cananga odorata Hook.f.et Th 45 Garcinia tetranda 75 Polyalthia glauca Boerl. 25

33 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 No. Nama Jenis No. Nama Jenis No. Nama Jenis 16 Canarium asperum Benth. 46 Glochidion philipicum 76 Polyalthia latericia 17 Canarium chrysanum 47 Gnetum gnemon L. 77 Polyscias nodosa Seem 18 Canarium hirsutum Willd 48 Gymnacranthera forbesii (King) Warb. 78 Pometia curiacea 19 Caparis micracanta 49 Gymnacranthera paniculata Warb. 79 Prunus arborea 20 Chisocheton kingee 50 Homalium celebicum Kds 80 Pterospermum celebicum Miq. 21 Clerodendron minahasa 51 Homalium foetidum Benth. 81 Sandoricum coetjapi 22 Cratoxylon celebicum Bl. 52 Horsfieldia braceata 82 Santiria 23 Cratoxylon sp. 53 Ionimus javanicum 83 Siphonodon celastrinew Griff. 24 Cryptocarya bicolor 54 Ixora sp. 84 Spatudea 25 Cryptocarya sp. 55 Kjellbergiodendron celebicum Merr. 85 Sterculia insularis 26 Dendronicde microstikma 56 Koordersiodendron pinnatum Merr. 86 Syzigium sp. 27 Dillenia ochreata T.et B. 57 Lea aculeata Bl. 87 Terminalia celebica 28 Diospyros cauliflora Bl. 58 Lea indica 88 Tricalichia minahasa 29 Diospyros ebenum King. 59 Lea rubra 89 Vilebrunia rubescens 30 Diospyros hebecarpa Cunn. 60 Lea sp. 90 Vitex quinata F.N.Vill. 26

34 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari Hasil pengamatan pada plot pertama ditemukan 88 jenis pancang dan 69 jenis tingkat semai, pada plot kedua 76 jenis pancang dan 58 jenis semai, hasil rekapitulasi jenis yang ditemukan telah tersaji pada Tabel 1 di atas. Perhitungan indeks Shannon (H) menunjukan bahwa plot di bawah 500 mdpl mempunyai nilai 2,868 sedangkan di atas 500 mdpl 2,777. Indeks Shannon merupakan indeks keanekaragaman dan sebagai indikator kestabilan ekosistem. Semakin tinggi nilai H maka mengindikasikan semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi kelimpahan relatifnya. B. Dinamika Permudaan Alam di CA Tangkoko Perhitungan INP dapat menunjukan dinamika populasi vegetasi dalam suatu ekosistem sebagaimana pada Tabel 2 dan 3 di bawah ini. Tabel 2. Hasil tabulasi INP tingkat semai disusun mulai dari yang tertinggi Tinggi (mdpl) < 500 > 501 Nama Ilmiah Famili Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65 Koordersiodendron pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,57 14,75 Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89 Baringtonia acutangula Gaertn. Lecythidaceae 4,78 4,36 9,14 Palaquium obtusifolium Burk Sapotaceae 5,26 3,67 8,93 Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65 Koordersiodendron pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,57 14,75 Homalium foetidum Benth. Flacourtiaceae 4,07 6,88 10,95 Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89 Garcinia daedalanthera Pierre Guttiferae 5,26 4,93 10,19 Keterangan : FR = Frekuensi relatif, KR = Kerapatan relatif, INP = Indek nilai penting FR (%) KR (%) INP (%) 27

35 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Tabel 3. Hasil tabulasi INP tingkat pancang disusun mulai dari yang tertinggi Tinggi FR KR INP Nama Ilmiah Famili (mdpl) (%) (%) (%) Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65 Koordersiodendron pinnatum < 500 Merr. Anacardiaceae 7,18 7,18 14,75 Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89 Baringtonia acutangula Gaertn. Lecythidaceae 4,78 4,36 9,14 Palaquium obtusifolium Burk Sapotaceae 5,26 3, Siphonodon celastrinew Griff. Celastraceae 7,62 10, Dysoxylum molisimum Meliaceae 6,93 9,42 16,35 > 501 Vilebrunia rubescens Urticaceae 5,77 6,38 12,15 Lea indica Leaceae 4,16 6,81 10,97 Achtonoides sp Mrtaceae 4,39 6,52 10,91 Keterangan : FR = Frekuensi relatif, KR = Kerapatan relatif, INP = Indek nilai penting Berdasar hasil perhitungan di atas diketahui bahwa Drypetes neglecta merupakan jenis paling dominan dengan INP tertinggi disusul Koordersiodendron pinnatum. Hasil analisis pada tingkat pancang menunjukan D. neglecta dan K. pinnatum merupakan jenis dominan. Kedua jenis ini sebagai pohon dominan pada tingkat pancang dan semai. Hal ini menunjukkan bahwa permudaan alami CA Tangkoko didominasi oleh D. nelecta dan K. pinnatum. Sebaran kedua jenis ini memiliki cukup luas pada kedua plot pengamatan karena frekuensi perjumpaan petak ukur yang berisi kedua jenis relatif paling tinggi dibandingkan jenis lain. Berdasar nilai KR, kedua jenis tersebut memiliki kerapatan paling tinggi di setiap petak ukur. Dominasi akan memberikan sifat negatif terhadap jenis yang lainnya karena faktor persaingan akan semakin tinggi. Tingkat dominasi pada tingkat anakan ini berbeda dengan dominasi pada tingkat pohon. Penelitian Kurniawan dkk (2008) menyebutkan bahwa asosiasi pohon di CA Tangkoko didominasi oleh pohon dengan jenis Palaquium sp dan Cananga odorata. Palaquium sp atau dikenal dengan nama lokal Nyatoh menurut Cendrawasih dalam Kurniawan dkk 2008 merupakan salah satu jenis yang berpotensi dan endemik di Sulawesi, 28

36 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari sehingga pada hutan alam dataran rendah di Sulawesi Utara banyak dijumpai dalam jumlah yang tinggi. Penelitian ini memberikan informasi bahwa dinamika hutan di CA Tangkoko nampak jelas terjadi. Permudaan akan sangat mempengaruhi dinamika hutan di masa yang akan datang. Semakin tinggi jumlah atau kerapatan, sebaran dan penguasaan daerah suatu jenis anakan vegetasi, maka peluang keberhasilan menjadi pohon akan semakin tinggi. Hal ini seperti dikatakan oleh Soerianegara dan Indrawan, 1982 dalam Indriyanto (2010) bahwa komunitas hutan merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh karena komunitas itu terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tetumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Perubahan dalam komunitas selalu terjadi bahkan dalam komunitas hutan yang stabil pun akan selalu mengalami perubahan, misalnya ada pohon-pohon yang tumbang maka akan memberikan peluang dan ruang tumbuh bagi tumbuhan lain. C. Potensi Permudaan Jenis-Jenis Eboni Permudaan eboni yang berhasil dijumpai ada 8 jenis, 1 jenis berada di luar petak pengamatan yaitu Diospyros korthalsiana dan 7 jenis di dalam petak pengamatan yaitu Diospyros cauliflora, Diospyros ebenum, Diospyros hebecarpa, Diospyros malabarica, Diospyros maritima, Diospyros minahassae dan Diospyros pilosanthera. Menurut Lee dkk (2001) di CA Tangkoko ada 6 jenis eboni yang ditemukan yaitu D. celebica, D. javanica, D. korthalsiana, D. maritima, D. minahassae dan D. rumphii, beberapa jenis eboni yang tidak dijumpai yaitu D. celebica, D. javanica dan D. rumphii. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga jenis tersebut mengalami pengurangan populasi di habitat alaminya. Namun ada eboni jenis lain yang berhasil ditemukan yaitu D. malabarica, dan D. pilosanthera. Jumlah individu ketujuh jenis eboni dalam plot pengamatan disajikan dalam Gambar 1. 29

37 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Gambar 1. Jenis dan jumlah permudaan eboni di Cagar Alam Tangkoko Total permudaan didalam petak ukur yaitu D. minahassae 74 pohon, D. pilosanthera 67 pohon, D. cauliflora 39 pohon, D. maritima 12 pohon, D. hebecarpa 6 pohon, D. malabarica 4 pohon dan D. ebenum 2 pohon. Permudaan D. ebenum, D. hebecarpa dan D. malabarica sangat minim karena hanya ditemukan dalam kondisi tingkat vegetasi tertentu saja dan pada ketinggian tertentu di bawah 500 mdpl. Ketinggian tempat tumbuh mempengaruhi populasi jenis, hal ini ditunjukkan dengan permudaan D. minahassae dan D. pilosanthera dimana populasi semai di atas 500 mdpl lebih banyak dibanding dengan populasi permudaan di bawah 500 mdpl. Ketinggian tempat akan mempengaruhi kondisi iklim suatu tempat. Kemungkinan D. minahassae dan D. pilosanthera lebih dapat beradaptasi pada daerah dengan kelembaban yang lebih tinggi dan temperatur lebih rendah. D. hebecarpa, D. maritima dan D. malabarica merupakan jenis eboni yang hanya ditemukan di dataran rendah sedangkan D. cauliflora merupakan jenis yang memiliki tingkat permudaan paling lengkap dan tersebar merata di kedua ketinggian. Bila dibandingkan jenis-jenis eboni dengan lima jenis permudaan dominan plot pengamatan sebelumnya, maka eboni pada plot pengamatan 30

38 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari ini berada dalam kondisi tertekan. Hasil perhitungan INP, ketujuh jenis eboni disajikan pada gambar 2. Gambar 2. Hasil perhitungan INP jenis jenis eboni di CA Tangkoko. Hasil perhitungan INP rata-rata menunjukkan D. minahassae saja yang memiliki nilai INP rata-rata paling tinggi, sedangkan yang lain relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan jenis dominan seperti D. neglecta dan K. pinnatum. Faktor permudaan ini sangat mempengaruhi kelestarian suatu jenis di habitat aslinya. Menurut Mueller et. all (1974) kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan sangat mungkin di waktu yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang. Namun pada penelitian ini jenisjenis eboni yang dijumpai cenderung memiliki permudaan dalam jumlah minim. Kondisi permudaan alam yang minim menurut Hani dan Effendi (2009) disebabkan anakan yang tumbuh di bawah tegakan mengalami pertumbuhan yang kurang optimal, karena akan mengalami persaingan yang cukup ketat dalam mendapatkan unsur hara dan cahaya. Menurut Alrasyid (2002) biji eboni bersifat rekalsitran atau daya perkecambahan 31

39 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 cepat menurun dan mudah terserang jamur Penicillopsis clavariaeformis. Hal ini ditunjukkan pada waktu penelitian dilakukan banyak ditemukan buah eboni yang jatuh mengalami kebusukan. Sedangkan bila buah eboni dijemur menurut Alrasyid (2002) daya perkecambahan akan menurun hingga menjadi 0%. Upaya yang mungkin dilakukan menurut Yuniarti (2002) biji hendaknya disimpan menggunakan wadah yang porositasnya tinggi misalnya kantong kain blacu dengan ruangan bersuhu o C dan kelembaban 50-60%. Selain beberapa pendapat tersebut, Eboni merupakan jenis yang memiliki pertumbuhan lambat, sehingga untuk melakukan reproduksi menurut taksiran yang dilakukan Steup dan Beversluis dalam Alrasyid (2002) menyebutkan bahwa MAI (Mean Annual Increment) dari diameter dan volumenya berkisar 0,5 cm/th dan 0,5 m 3 /ha/th. Populasi suatu jenis vegetasi dipengaruhi oleh kompetisi dan distribusi. Semai yang tumbuh pada daerah yang padat maka faktor kompetisi tinggi, kemungkinan keberhasilan berkembang menjadi pohon lebih rendah. Sedangkan distribusi wilayah yang luas akan memberikan kesempatan lebih tinggi bagi keberhasilan permudaan alam. Bila suatu jenis tumbuh hanya pada daerah yang spesifik maka bila tumbuh bukan pada daerahnya akan mengalami pertumbuhan yang tidak optimal. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dinamika hutan menjadi penting karena ada beberapa jenis tertentu yang mengalami tekanan sehingga kelimpahan di alam mengalami penurunan serta adanya jenis-jenis dengan status kritis, langka dan atau terancam punah. Hal inilah yang perlu mendapatkan kajian dan pengelolaan yang lebih intensif, sehingga kelestarian jenis (conservasi species) dapat berhasil. Upaya pelestarian jenis dapat dilakukan dengan berbagai metode baik secara insitu maupun exsitu. V. KESIMPULAN DAN SARAN Potensi permudaan alam jenis-jenis eboni sangat rendah yaitu D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Faktor yang dominan terhadap perkembangbiakan eboni di CA Tangkoko dipengaruhi 32

40 Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari oleh sifat biji eboni yang rekalsitran, daerah sebaran yang tidak luas dan adanya persaingan yang kuat dengan jenis lain. Perlu adanya upaya konservasi terhadap beberapa jenis eboni di CA Tangkoko. DAFTAR PUSTAKA Alrasyid, H Kajian Budidaya Pohon Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. BKSDA, Profil Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado. BPKH Wil VI Profil Kawasan Konservasi. Manado. Diakses dari pada tanggal 17 januari 2011 Hani, A. dan Effendi, R Potensi Permudaan Alam Tingkat Semai (Khaya antotecha) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, Jawa Barat. Bogor. Mitra Hutan Tanaman Vol 4 No 2 Hal Hendromono Teknik Pembibitan Eboni Dari Anakan Hasil Permudaan Alam. Jurnal Hutan Tanaman Vo 4 No 2 Halaman Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor Kinho, J., dkk Kajian Habitat dan Populasi Eboni (Diospyros spp.) Pada Kawasan Konservasi di Cagar Alam Tangkoko, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado Kurniawan, A., Undaharta, N.K.E. dan Pendit, I.M.R Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Biodiversitas Vol 9 No 3 halaman Lee, R.J., J. Riley, dan R. Merrill Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta. Mueller-Dumbois, D. dan H. Ellenberg Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, Inc. Canada Sinombor, S.H Kawasan Konservasi Tangkoko : Aset Sejarah Alam Dunia dan Rumah Satwa Sulawesi. Kompas 30 April :51 WIB diakses dari m.dunia.dan.rumah.satwa.sulawesi Sunaryo Tingkat Kualitas Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berdasarkan Komposisi Serat Gelap dan Terang. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. 33

41 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November

42 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho KARAKTERISTIK MORFOLOGI ZINGIBERACEAE DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG SULAWESI UTARA Morphological Characteristics of Zingiberaceae in Gunung Ambang Nature Reserve in North Sulawesi Julianus Kinho Balai Penelitian Kehutanan Manado d/a : Jln. Raya Adipura Kel.Kima Atas, Kec.Mapanget - Manado Tlp. (0431) kinho81@yahoo.com ABSTRACT Ginger group is herbaceous plant from Zingiberaceae family. The plants are cultivated and have been developed for pharmacy industries since a long time age. Most of them have beautiful ornament in appearance. They are potential plants to use as ornamental plants. Wild species are abundant in tropical forests of Indonesian. In the northern part of Sulawesi,gingers are widely found from lowland to mountain forests. To develop the plants for the future they need to be preserved and identified. This research was to recognize the morphologic characteristics of gingers around Alia Lake in Bolaang Mongondow regency and Iloloi Lake in South of Minahasa regency in Mount Ambang Nature Reserve in North Sulawesi. Study is done by exploring the hole area using iregular transect to cover the potential growing sites. The results show that sixtypes of gingers were found. They are Alpinia rubricaulisk.schum., Etlingera heliconiifolia (K.Schum.)A.D.Poulsen., Etlingera sp. Alpinia eremochlamysk.schum., Etlingera sp., and Alpinia monopleura K.Schum. Keyword: Ginger, species, morphologic, preserved, identified, exploring ABSTRAK Kelompok jahe-jahean merupakan tumbuhan herba dari famili Zingiberaceae. Jenis tumbuhan ini sudah dibudidayakan dan dikembangkan dalam industri farmasi sejak lama. Beberapa jenis dari famili ini memiliki keindahan arsitektur dan ornamen. Banyak dari jenis tumbuhan ini memiliki ornamen yang indah dalam penampilannya. Beberapa jenis diantaranya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman hias. Jahe-jahean memiliki kerabat liar yang hidup di hutan-hutan tropis Indonesia. Jenis-jenis ini tumbuh dan tersebar luas mulai dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan di bagian utara Sulawesi. Jahe- 35

43 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 jahean penting untuk diketahui sehingga dapat dilestarikan dan dikembangkan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jahe-jahean di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang di Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan dengan cara menjelajah seluruh area menggunakan transek iregular untuk mewakili daerah-daerah yang potensial sebagai tempat tumbuhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis jahe-jahean yang merupakan tumbuhan herba terrestrial dari famili Zingiberaceae. Jenis-jenis tersebut adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum. Kata kunci : Jahe, jenis, morfologi, melindungi, identifikasi, menjelajah I. PENDAHULUAN Pulau Sulawesi sebagai hasil dari suatu proses geologi yang kompleks, merupakan muara tempat bercampurnya (harbors a melange) berbagai spesies hewan dan tumbuhan dalam persentase besar yang tidak dapat ditemukan di tempat manapun di dunia (Lee,R.J, et.al 2001). Sulawesi sejak diperkenalkan oleh Wallace, banyak peneliti yang kagum dengan ekologinya sebagai kumpulan ekosistem yang sangat beragam dan kompleks sehingga banyak ditemukan flora dan fauna yang unik dan endemik. Pengetahuan ini kemudian menjadikan Sulawesi sebagai ekoregion prioritas bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Sebagai ekoregion prioritas di bioregion Wallaceae, Sulawesi juga tidak luput dari berbagai tekanan dan ancaman terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Luas pembukaan kawasan hutan di Sulawesi cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat bahwa dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini, 21% area hutan di Sulawesi bagian utara telah berubah fungsi atau ditebang, karena pembalakan, pertambangan, kebakaran, pertanian dan perluasan wilayah (Lee,R.J, et.al 2001). Semua itu secara drastis telah mengurangi habitat flora maupun fauna. Hal ini sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan karena baik flora maupun fauna yang endemik ataupun potensial yang belum dikenal akan mengalami penyusutan secara kuantitas maupun kualitas. 36

44 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho Penelitian dasar mengenai keanekaragaman jenis flora di Sulawesi masih sangat diperlukan. Apabila dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, jumlah spesimen tumbuhan (herbarium) yang telah dikoleksi dari Pulau Sulawesi masih sangat sedikit kira-kira 23 spesimen per 100 km 2, sedangkan di Pulau Jawa tercatat hampir spesimen/100 km 2 (Whitten et al., 1987). Aktifitas geologi pada masa lalu menyebabkan Pulau Sulawesi secara biogeografi terisolasi dari pulau-pulau di sebelah barat (Asiatis), maupun di sebelah timur (Australis). Isolasi geografi dan kondisi lingkungan seperti variasi topografi, gradien elevasi, dan variasi jenis tanah menyebabkan flora dan fauna di bioregion ini berkembang secara khas (Siebert, 2000). Struktur dan komposisi biota pulau ini sangat unik, walaupun jumlah jenisnya relatif sedikit, dimana jumlah jenis tumbuhan tinggi diperkirakan hanya spesies, termasuk tumbuhan berkayu (Whitten et al., 1987; Keβler et al., 2002). Jumlah spesimen tumbuhan yang telah dikoleksi dari Pulau Sulawesi diperkirakan sebanyak spesimen (Keβler et al., 2002 dalam Pitopang, 2004). Jenis tumbuhan yang telah dikoleksi dari Pulau Sulawesi diantaranya adalah jenis-jenis herba. Tumbuhan herba memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung ekosistem hutan. Salah satu fungsi tumbuhan herba dalam ekosistem hutan yaitu untuk menghambat limpasan permukaan pada lantai hutan yang dapat menyebabkan erosi permukaan pada saat musim hujan. Tumbuhan herba juga banyak digunakan dalam pengobatan tradisional, bahkan tidak sedikit dari jenis-jenis herba dari hutan, telah didomestikasi dan dikembangkan. Jenis-jenis tumbuhan herba dari famili Zingiberaceae (jahe-jahean) merupakan tanaman multiguna yang sudah banyak dibudidayakan dan dikembangkan baik sebagai tanaman hias, maupun sebagai tanaman obat. Anggota dari famili ini masih memiliki kerabat liar yang hidup di hutan-hutan tropis Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara yang belum banyak diketahui jenis dan manfaatnya. Data dan informasi tentang jenis-jenis tumbuhan dari famili Zingiberaceae di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara belum banyak diketahui. Eksplorasi dan identifikasi perlu dilakukan untuk 37

45 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 mengetahui karakteristik morfologi setiap jenisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jenis-jenis Zingiberaceae di CA. Gunung Ambang. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di sekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang pada tanggal 21 Nopember - 4 Desember B. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah roll meter, mistar, minicaliper, cutter, gunting stek, parang, kamera digital, camcorder dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan terdiri dari alkohol 70%, kertas koran, tali raffia, selotip dan kantong spesimen. C. Prosedur Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Survey ini dilaksanakan dengan melakukan eksplorasi di semua situs yang berpotensi ditemukannya jenis-jenis target bertumbuh secara alami. Pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan, pengambilan dokumentasi dan pengambilan spesimen herbarium. Spesimen yang dikumpulkan selanjutnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense (BO) dan Herbarium Royal Botanical Garden Edinburgh (E). D. Analisa Data Data hasil identifikasi dan karakterisasi yang dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan hutan di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di 38

46 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho Kabupaten Minahasa Selatan terdapat sedikitnya 6 jenis tumbuhan dari famili Zingiberaceae yang hidupnya menyebar pada ketinggian m dpl. Jenis-jenis ini banyak dijumpai hidup berkoloni dan lebih banyak dijumpai pada daerah terbuka atau daerah-daerah dengan tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Tu is (Alpinia monopleura), sedangkan jenis yang jarang dijumpai adalah Tu is sarewou (Etlingera sp.). Tu is (A. monopleura) memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dari jenis lainnya yaitu jenis ini umumnya tumbuh berumpun dengan perawakan yang cukup besar, pembungaan (inflorescence) dan pembuahan (infructescence) selalu muncul pada bagian ujung dari cabang daun (terminal of leaf). Tangkai bunga dan buah dari jenis Tu is (A. monopleura) memiliki ukuran yang cukup panjang yang bisa mencapai lebih dari 50 cm. Tu is sarewou (Etlingera sp.) merupakan jenis dengan ciri khas yang unik dan berbeda dari jenis-jenis Tu is lainnya (Zingberaceae) yang ditemukan di CA. Gunung Ambang, khususnya disekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi. Jenis ini memiliki ciri yang sangat khas yaitu pada permukaan kulit buahnya selalu basah karena terdapat cairan berlendir. Jenis ini umumnya ditemukan pada daerah yang lembab dengan tutupan tajuk hutan yang tidak terlalu rapat sekitar 60-70%. Daftar jenis Zingiberaceae yang dijumpai pada kawasan CA. Gunung Ambang, di sekitar Danau Alia Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi, Kabupaten Minahasa Selatan ditampilkan dalam Tabel 1. 39

47 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Tabel 1. Daftar jenis Zingiberaceae di sekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang No Nama Botani Nama Daerah Keterangan 1 Alpinia rubricaulis K.Schum Tu is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa) 2 Etlingera heliconiifolia (K.Schum.)A.D. Poulsen Tu is 3 Etlingera sp. 1. Tu is sarewou (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa) (Bahasa Tontemboan) 4 Alpinia eremochlamys K.Schum Tu is (Bahasa Minahasa) 5 Etlingera sp. 2. Tu is (Bahasa Tontemboan) 6 Alpinia monopleura K.Schum Tu is (Bahasa Minahasa) Deskripsi Jenis Zingiberaceae Deskripsi jenis-jenis Zingiberaceae di sekitar Danau Alia Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang adalah sebagai berikut : 1. Alpinia rubricaulis K. Schum. Nama Daerah : Tu is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial, tinggi 2-3,5 m. Hidup berkelompok atau berumpun. Daun : Daun majemuk dengan panjang 2-3 m, lebar bentangan daun 1-1,5m. Anak Daun : Bentuk anak daun memanjang dengan panjang ± 67 cm, lebar anak daun 13,5 cm; panjang tangkai anak daun 12 cm, permukaan anak daun bergelombang, pinggiran anak daun bergelombang dangkal. 40

48 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho Bunga : Bunga majemuk, terletak pada bagian ujung dari cabang daun (terminal on leafy shoot), panjang tangkai bunga cm, bunga berwarna merah muda, kelopak berwarna putih, tangkai putik berwarna merah muda. Buah : Banyak dalam satu kumpulan bertangkai, buah oval tidak berekor, jumlah buah 46 atau lebih, warna buah merah sampai merah tua, warna tangkai buah merah dengan panjang 30 cm, permukaan kulit buah mengkilap, berbulu halus dengan ciri utama tangkai buah berwarna merah. Habitat : Tanah berpasir dan tanah berbatu, dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah perbukitan dan daerah lembab dengan sedikit pencahayaan. Perbanyakan : Dapat diperbanyak dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas. Ciri Utama : Tangkai bunga dan atau tangkai buah berwarna merah, permukaan daun bergelombang Keterangan : a,b,c : Perbungaan (inflorescense) d,e : Perbuahan (infructescence) f : Buah (fruit) Gambar 1. Bunga dan buah Alpinia rubricaulis K.Schum 41

49 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen Nama Daerah : Tu is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 3-6 m. Hidup berkelompok atau berumpun. Daun : Daun majemuk,panjang daun 4-6 m, lebar daun 2-3 m, permukaan daun licin, ujung daun tumpul Anak Daun : Bentuk anak daun memanjang, dengan panjang 131 cm, lebar 16 cm, panjang tangkai anak daun 1-2 cm, duduk anak daun selang seling. Bunga : Bunga majemuk, berwarna merah dengan sedikitwarna putih dibagian tengah Buah : Buah berasal dari rhizome,diatas permukaan tanah,banyak dalam satu kumpulan bertangkai (tandan), bentuk dasar buah seperti jantung dengan permukaan buah bersisik, jumlah tandan buah 2, kadang-kadang lebih, panjang buah 25,3 cm dengan lebar 10,3 cm, warna buah merah. Habitat : Hidup di tanah alvisol dan tanah berbatu dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lereng (slope). Perbanyakan : Dapat diperbanyak dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas Ciri Utama : Permukaan anak daun licin mengkilap, buah berbentuk jantung, permukaan kulit buah bersisik kasar 42

50 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho Perbungaan Perbuahan Gambar 2. Bunga, buah dan daun Etlingera heliconiifolia. Daun 3. Etlingera sp. 1. Nama Daerah : Tu is sarewou (Bahasa Tontemboan) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial, tinggi 4-5 m. Hidup berkelompok atau berumpun. Daun : Panjang daun 3-5 m, lebar bentangan daun 1-3 m. Anak Daun : Letak anak daun selang seling, bentuk anak daun memanjang, panjang anak daun 53 cm, lebar anak daun 11 cm, panjang tangkai anak daun 2-5 cm. Bunga : Berasal dari rhizome, bunga majemuk, berwarna kuning, dengan lingkar putih, perhiasan bunga ada, bau khas tidak ada. Buah : Berwarna merah, banyak dalam satu kumpulan bertangkai, permukaan buah berlendir, bentuk buah bulat telur, jumlah buah 5 atau lebih dalam satu rumpun, panjang buah 4,5 cm-13 cm dengan lebar 5,2-6,8 cm. Habitat : Hidup di tanah liat, dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lereng yang agak 43

51 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 lembab Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas. Ciri Utama : Buahnya berlendir. Perbuahan Daun Perbungaan Belahan Buah Perbungaan Gambar 3. Daun, bunga dan buah Etlingera sp. 4. Alpinia eremochlamys K. Schum. Nama Daerah : Tu is (Bahasa Minahasa) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 2-3 m. Hidup berkelompok atau berumpun. Daun : Panjang daun 3-5 m, lebar bentangan daun 2-2,5 m, permukaan daun licin mengkilap, ujung daun runcing. Anak Daun : Letak anak daun selang seling, bentuk anak daun memanjang, panjang anak daun cm, lebar anak 44

52 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho daun 9-11,5 cm. Panjang tangkai anak daun 3-7 cm. Bunga : Terletak pada bagian tengah ujung daun (terminal on leafy shoot), dalam satu tangkai bunga. Buah : Berwarna hijau sampai hijau tua, banyak dalam satu kumpulan bertangkai, bentuk buah bulat berekor, jumlah buah dalam satu tangkai 35, diameter buah 1,7 cm. Habitat : Hidup di tanah alvisol dan tanah berbatu dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lembah. Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas. Ciri Utama : Buah bulat berekor, dengan tangkai anak buah yang pendek, permukaan kulit buah licin dan terdapat garis yang nyata. Daun (leaf) Perbuahan (infructescence) Gambar 4. Daun dan buah Alpinia eremochlamys K.Schum. 45

53 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November Etlingera sp. 2. Nama Daerah : Tuis (Bahasa Tontemboan) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 2-3 m. Hidup berkelompok atau berumpun Daun : Panjang daun 1-2 m, lebar bentangan daun cm, permukaan daun licin mengkilap berwarna hijau, belakang daun berwarna merah bata. Anak Daun : Bentuk anak daun memanjang, panjang anak daun 46 cm, lebar anak daun 13 cm, panjang tangkai anak daun 4-6 cm, duduk anak daun selang-seling, belakang anak daun muda berwarna merah bata, anak daun tua berwarna merah kecoklatan, berbulu halus, pinggiran anak daun bergelombang. Bunga : Tidak tampak pada saat penelitian Buah : Tidak tampak pada saat penelitian Habitat : Hidup di tanah alvisol, dengan solum dalam, cukup bahan organik, di daerah lembah yang agak lembab. Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan rimpang yang bertunas. Ciri Utama : Tepi anak daun bergelombang, belakang anak daun muda berwarna merah bata, belakang anak daun tua berwarna merah kecoklatan, berbulu halus. 46

54 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho Tampak belakang daun Tampak depan daun Gambar 5. Tampak belakang dan depan daun Etlingera sp2. 6. Alpinia monopleura K. Schum. Nama Daerah : Tu is (Bahasa Minahasa) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 4-6 m. Hidup berkelompok atau berumpun. Daun : Daun majemuk dengan panjang 2-3 m, lebar bentangan daun 1-1,5 cm. Anak Daun : Duduk anak daun selang seling, bentuk anak daun memanjang dengan panjang cm, lebar anak daun cm, panjang tangkai anak daun cm, belakang anak daun berbulu halus agak lebat. Bunga : Terletak pada bagian ujung dari cabang daun (terminal on leavy shoot), bunga majemuk dengan panjang tangkai bunga cm (kadang labih). Panjang tangkai anak bunga 5-7 cm berwarna putih krem kecoklatan, perhiasan bunga ada, tangkai bunga berwarna hijau muda kekuningan, bunga berwarna putih. 47

55 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Buah : Buah banyak dalam satu kumpulan bertangkai, panjang tangkai buah 97 cm, dengan jumlah buah 77 buah, panjang tangkai anak buah 5 cm, tangkai buah berwarna hijau muda, buah tersusun ganjil genap , dst. Satu tangkai anak buah terdiri dari 2 bulir namun hanya satu yang berhasil menjadi buah, satu bulir lainnya kadangkadang masih berbunga bulir yang satunya sudah menjadi buah dengan diameter 1,6-1,9 cm. Habitat : Hidup di tanah aluvial, solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lembah yang terbuka. Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan buah dan rimpang yang bertunas. Ciri Utama : buah bulat, berekor, dalam satu tangkai anak buah terdapat dua bulir namun hanya satu yang menjadi buah. Daun Perbungaan Daun dan buah Gambar 6. Daun dan buah Alpinia monopleura K.Schum. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 2 jenis jahe hutan yang memiliki perawakan yang cukup besar yaitu Etlingera heliconiifolia (K.Schum.) A.D. Poulsen dan Alpinia monopleura K.Schum dengan tinggi bisa mencapai 6 m atau lebih. Perbedaan utama pada kedua jenis ini yaitu pada letak perbungaan (inflorescence) dan perbuahan (infructescence) dimana untuk jenis Etlingera heliconiifolia (K.Schum.) A.D. Poulsen., bunga dan buahnya keluar dari rimpang atau rhizome dan terkadang tertimbun oleh serasah atau tanah sedangkan untuk jenis Alpinia monopleura K. Schum bunga dan buahnya terletak padabagian ujung dari cabang daun (terminal of leaf). Perbungaan dan perbuahan pada Alpinia 48

56 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae.. Julianus Kinho monopleura cukup panjang dan menjuntai sehingga mudah dikenal. Selain kedua ciri di atas, terdapat ciri lainnya yang dapat membedakan keduanya yaitu pada tulang primer anak daun untuk jenis Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen tidak kaku sehingga tidak mudah patah sedangkan pada jenis Alpinia monopleura K. Schum tulang primer anak daunnya sangat kaku sehingga mudah patah. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Terdapat 6 (enam) jenis dari famili Zingiberacae yang terdapat di sekitar Danau Alia sampai dengan Danau ilioloi pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang. 2. Jenis-jenis Zingiberaceae yang terdapat di sekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum. 3. Terdapat 2 (dua) jenis Zingiberaceae yang memiliki perawakan yang cukup besar yaitu Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen dan Alpinia monopleura K. Schum dengan tinggi bisa mencapai 6 m atau lebih. Perbedaan utama pada kedua jenis ini yaitu pada letak bunga dan buah, dimana untuk jenis Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., bunga dan buahnya keluar dari rimpang atau rhizome dan terkadang tertimbun oleh serasah atau tanah sedangkan untuk jenis Alpinia monopleura K. Schum bunga dan buahnya terletak pada bagian ujung dari cabang daun dengan ukuran yang cukup panjang dan menjuntai sehingga mudah dikenal. 49

57 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 DAFTAR PUSTAKA Kinnaird,M.F Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Yayasan Pengembangan Wallacea. Jakarta. Keβler, P.J.A., M.Bos, S.E.C. Sierra Daza, L.P.M.Willemse, R.Pitopang, and S.R.Gradstein Checklist of Woody Plants of Sulawesi, Indonesia. Blumea Suplement 14: Lee,R.J Ecological Assessments and Recomendations for Gunung Ambang Nature Reserve in North Sulawesi, Indonesia. WCS. New York,USA. Lee, R.J., J. Riley, dan R. Merrill Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta. Poulsen,A.D Gingers of Sarawak.A Pocket Guide.Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu,Sabah,Malaysia in association with Royal Botanical Garden Edinburgh,Scotland. Ramadhanil, P., dan R.Gradstein Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya Dalam Menunjang Penelitian Taksonomi Tumbuhan di Sulawesi. Jurnal Biodiversitas Volume 5, Nomor 1. Hal Siebert, S.F Rattan Use, Economics, Ecology and Management in the Southern Lore Lindu National Region of Sulawesi Indonesia. Missoula: School of Forestry. University Montana, Missoula. Tjitrosoepomo, G Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Whitten, A.J., M. Mustafa and G.S. Henderson The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 50

58 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan KETERKAITAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI TERHADAP KEBERADAAN ANOA DI KOMPLEKS GUNUNG PONIKI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE SULAWESI UTARA The Relations of Vegetation Structure and Composition to the Presence of Anoa in Mount Poniki, Bogani Nani Wartabone National Park, North Sulawesi Arif Irawan Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) arif_net23@yahoo.com ABSTRACT Sulawesi is an island with arichbiodiversity and high level of endemicity. Anoa (Bubalus sp.) is one of the mammals currently of concern to many parties because their existence is increasingly threatened. This study is aimed to investigate the vegetation structure and composition of Mount Poniki, an area Bogani Nani Wartabone National Park, and their relation to the presence of anoa. The vegetation was recorded using circular plot methods with radius r= 17.8 meter. The study employed correlation analysis between density, dominance, and diversity and anoa s foot print found in the area. The collected data include all plant species within the sampling plot. The tree curve structure at Mount Poniki similar is an inverse J shape and the vegetation consist of a complete stage A, B, C, D, and E stratification. The species composition at sapling and pole is dominated with Orophea sp. with Importance Value Index (IVI) 57.8% and 51.7%. Tree level is dominated by Calophyllum soulattri Burm.f (IVI=32.1%). The result of correlation test showed that three variables of vegetation structure and composition have significance value greater than 0.05 or in the other words the variables of density, dominance, and tree diversity do not influence the presence of anoa in this area. Keywords: Vegetation, structure, composition, anoa 51

59 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 ABSTRAK Pulau Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya yang sebagian besarnya adalah jenis endemik. Anoa (Bubalus spp.) merupakan salah satu mamalia yang saat ini sedang menjadi perhatian banyak pihak karena keberadaannya yang semakin terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone serta kaitannya dengan keberadaan anoa pada kawasan ini. Pencatatan vegetasi menggunakan metode circular plot dengan data yang dikumpulkan meliputi semua jenis vegetasi yang terdapat di dalam plot lingkaran yang memiliki jari-jari 17,8 meter. Analisis data menggunakan uji korelasi antara variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon dengan jumlah jejak anoa yang ditemukan. Struktur sebaran kurva pohon di Kompleks Gunung Poniki menyerupai huruf J terbalik dan tingkat stratifikasi vegetasi tersusun atas stratum yang lengkap yaitu stratum A, B, C, D, dan E, Komposisi jenis di kawasan ini didominasi jenis Orophea sp. pada tingkat anakan pohon dan pohon muda dengan nilai INP sebesar 57.8% dan 51.7%, sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Calophyllum soulattri Burm.f (INP=32.1%). Selanjutnya dari hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa ketiga variabel struktur dan komposisi vegetasi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak mempengaruhi keberadaan anoa di kawasan ini. Kata kunci :Vegetasi, struktur, komposisi, anoa I. PENDAHULUAN Pulau Sulawesi merupakan salah satu wilayah penting, karena secara geografis terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul, sehingga menyebabkan pulau ini dihuni oleh banyak perwakilan keanekaragaman hayati dunia yang sebagian besar diketahui merupakan jenis endemik. Adapun tingkat endemisitas yang dimaksud diantaranya terdapat pada kelompok mamalia dimana dari 114 jenis yang ditemukan di pulau ini 60% (53 jenis) adalah endemik, dari kelompok aves 380 jenis dimana 25% atau (96 jenis) diantaranya adalah endemik, dari kelompok serangga, khususnya kupu-kupu Sulawesi memiliki 560 jenis dengan 235 jenis (42%) adalah endemik, dari kelompok reptilia tercatat 46 jenis kadal Sulawesi dan 18 jenis diantaranya adalah endemik. 1 52

60 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan Anoa (Bubalus spp.) merupakan salah satu mamalia endemik Sulawesi yang saat ini sedang menjadi perhatian banyak pihak karena keberadaannya yang semakin terancam. Sebenarnya anoa merupakan satwa langka endemik sulawesi yang statusnya sudah dilindungi sejak tahun 1931 berdasarkan ordonansi peraturan perlindungan binatang Liar 1931 No. 134 dan 266, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yang dipertegas dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan No.301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun IUCN (International Union For Conservation Of Natural Resources) memasukkan anoa ke dalam red data book dengan kategori endangered. 3 Sedangkan CITES (Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan anoa dalam Appendiks I, yaitu lampiran dari memorandum yang dikeluarkan CITES yang berisi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilarang untuk ditangkap, dibunuh dan diperdagangkan di seluruh dunia. 4 Namun tidak berjalannya penegakan aturan tersebut selama ini menyebabkan seolah peraturanperaturan yang telah dibuat menjadi tidak berarti. Bedasarkan hasil kajian Mustari 5 banyak kawasan hutan yang dahulunya dikenal sebagai habitat anoa sudah tidak dijumpai kembali keberadaan satwa ini didalamnya. Seperti yang terjadi di Cagar Alam Tangkoko Batuangus di Bitung Sulawesi Utara, anoa punah secara lokal. Hal ini merupakan salah satu akibat dari konversi kawasan hutan baik legal maupun illegal menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lainlain. Selain itu menurunnya kualitas habitat ini juga diakibatkan oleh kerusakan vegetasi (misalnya penebangan yang tidak terkendali, pembakaran atau bencana alam). Salah satu tempat yang menjadi habitat anoa di Sulawesi Utara yang semakin terancam keberadaannya adalah di bagian pedalaman Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Hasil wawancara dengan masyarakat yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2009, di kawasan Desa Toraut tepatnya di Kompleks Gunung Poniki satwa ini masih dapat dijumpai walaupun diperkirakan jumlahnya terus menurun. Hal 53

61 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 ini dapat diindikasikan melalui frekuensi perjumpaan masyarakat dengan satwa ini yang sudah semakin jarang. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang semula bernama Taman Nasional Dumoga Bone ditetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1990 dengan luas ± hektar. Secara administratif wilayah ini terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Topografi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat dan berbukit terjal dengan ketinggian tempat berkisar antara m dpl dengan kawasan terbagi menjadi hutan lumut, hutan hujan pegunungan rendah, hutan hujan dataran rendah dan hutan sekunder. 6 Luasnya wilayah dan bervariasinya topografi mengakibatkan masih banyak hal yang belum tergali dari kawasan ini, salah satunya terkait informasi vegetasi yang merupakan salah satu data dasar untuk digunakan dalam pengelolaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di kawasan Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan kaitannya dengan keberadaan anoa di dalamnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dalam mengembangkan pelestarian anoa dan kawasan TNBNW secara komprehensif. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yaitu pada Kompleks Gunung Poniki. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data struktur dan komposisi vegetasi serta jejak anoa yang ditemukan di Kompleks Hutan Gunung Poniki. Pencatatan struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode circular plot. Data yang dikumpulkan meliputi semua jenis vegetasi yang terdapat di dalam plot lingkaran yang berjari-jari 17,8 m dan jumlahnya sebanyak 18 plot. Penempatan titik pusat lingkaran dilakukan pada lokasi yang banyak di dalamnya ditemukan jejak kaki anoa. Pencatatan vegetasi dilakukan untuk tingkat anakan pohon atau 54

62 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan sapling (diameter < 10 cm), pohon muda atau poles (diameter cm) dan tingkat pohon atau trees (> 35 cm). Pencatatan data dilakukan terhadap semua jumlah, jenis, diameter serta tinggi pohon yang terdapat dalam plot penelitian. Data tersebut digunakan untuk mendapatkan dominasi berdasarkan kerapatan, frekuensi, dan dominasi (Persamaan 1, 3, 5) yang selanjutnya dijumlahkan untuk memperoleh indeks nilai penting (Persamaan 7) masing-masing jenis pohon 7. (1) (2)... (3) (4) (5) (6) Tingkat keanekaragaman jenis (diversitas) dihitung dengan menggunakan persamaan Shannon Index of Diversity (Persamaan 8) 8 sebagai berikut : (H ) = (8) 55

63 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 dimana nilai H merupakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity), adalah Proporsi individu jenis ke-i terhadap semua jenis, adalah Jumlah individu suatu jenis, dan adalah Jumlah individu seluruh jenis. Selanjutnya untuk mengetahui kaitan antara struktur dan komposisi vegetasi terhadap keberadaan anoa (jumlah jejak kaki yang ditemukan) digunakan uji korelasi dengan tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95 %. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone pada kawasan Kompleks Gunung Poniki diketahui bahwa jumlah pohon yang ditemukan adalah 98 jenis (95 jenis telah teridentifikasi) yang berasal dari 48 famili dengan jumlah individu sebanyak Jumlah tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Gunawan, 10 pada lokasi yang sama ditemukan jenis pohon sebanyak 107 jenis. Hasil pencatatan di Kompleks Gunung Poniki tersebut juga sesuai dengan yang dinyatakan Vickery dalam Indriyanto 7 bahwa jumlah jenis pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem lainnya, seperti jika dibandingkan dengan hasil komposisi vegetasi pada blok Adudu di SM Nantu Gorontalo yang merupakan hutan dataran rendah, tercatat sebanyak 61 jenis 10 Hasil tabulasi menunjukkan bahwa jumlah individu terbanyak yang ditemukan yaitu jenis Orophea sp dengan jumlah individu 1.039, diikuti oleh Calophyllum soulattri Burm.f.dan Psychotria sp masing-masing sebanyak 532 dan 251 individu. 56

64 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan Tabel 1. Sepuluh jenis dominan di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW No Nama Latin Family Jumlah Individu 1 Orophea sp. Annonaceae Calophyllum soulattri Burm.f. Clusiaceae Psychotria sp. Rubiaceae Meliosma nitida Blume. Sabiaceae Alangium javanicum Wang. Alangiaceae Aphanamixis grandifolia Blume. Meliaceae Crypteronia griffithii Clarke. Crypteroniaceae Cratoxylum celebicum Blume. Hypericaceae Antidesma montanum Blume. Euphorbiaceae Tricalysia minahasae Comb. Rubiaceae 130 Selanjutnya dari tabel 2 dapat diketahui keragaman famili berdasarkan perbandingan antara jumlah jenis dan jumlah individu pohon yang terdapat di lokasi. Tabel 2. Sepuluh famili dominan di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW No Famili Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Individu (%) Jenis (%) 1 Annonaceae Euphorbiaceae Lauraceae Meliaceae Moraceae Myristicaceae Rubiaceae Anacardiaceae Elaeocarpaceae Sapindaceae

65 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Jumlah jenis tertinggi yang ditemukan pada Kompleks Gunung Poniki adalah dari famili Euphorbiaceae dengan jumlah jenis sebanyak 9 (sembilan) jenis (9,47%) dan jumlah individu 345 individu, diikuti Famili Meliaceae sebanyak 6 (enam) jenis (6,32%) dengan jumlah individunya 252 individu. Struktur tegakan pohon di Kompleks Gunung Poniki dibagi berdasarkan kelas diameter < 10 cm, cm, cm, cm dan diameter > 40 cm. Struktur tegakan pohon adalah hubungan antara banyaknya pohon dengan kelas diameter dan tinggi dalam suatu plot penelitian. 11 Nilai ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan tegakan yang berada di suatu wilayah tertentu secara umum. Kelas diameter yang mendominasi tegakan di Kompleks Gunung Poniki adalah tingkat diameter < 10 cm dan semakin menurun pada kelas diameter selanjutnya. Grafik struktur tegakan secara lengkap dapat ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur tegakan berdasarkan hubungan antara kelas diameter dengan jumlah pohon di Kompleks Gunung Poniki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran pohon di lokasi kawasan Kompleks Gunung Poniki menyerupai huruf J terbalik (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa populasi pohon yang berdiameter besar 58

66 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan relatif menurun drastis seiring dengan pohon yang berdiameter kecil sehingga secara umum mengakibatkan jumlah pohon menurun secara drastis seiiring dengan pertumbuhan kelas diameter. Kondisi tersebut merupakan hal yang normal bagi keberadaan suatu hutan alam, karena biasanya komposisi pohon berdiameter kecil lebih banyak jumlahnya dari pohon berdiameter besar. Hal ini dimungkinkan adanya tingkat persaingan antar individu tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa cahaya, air tanah, oksigen, unsur hara, dan karbon dioksida. Struktur tinggi pohon di Kompleks Gunung Poniki diperoleh dengan membagi berdasar stratifikasi tajuk yang merupakan susunan tumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Tiap lapisan dalam stratifikasi itu disebut stratum. Stratifikasi tajuk komunitas hutan di Kompleks Gunung Poniki tersusun atas stratum yang lengkap mulai stratum A hingga E. Secara lengkap jumlah pohon pada masing-masing tingkatan stratum dapat dilihat pada Gambar 2. A : Tinggi tegakan 30 m; B : Tinggi tegakan m; C : Tinggi tegakan 4-20 m; D : Tinggi tegakan 1-4 m; E : Tinggi tegakan 0-1 m Gambar 2. Tingkat stratifikasi pohon di Kompleks Gunung Poniki. 59

67 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Indriyanto 8 menjelaskan bahwa adanya tingkat stratum dikarenakan persaingan antar tumbuhan serta sifat toleransi spesies pohon terhadap radiasi matahari. Selain itu stratum juga menunjukkan kelas umur dari masing-masing vegetasi penyusun hutan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tidak seragamnya tajuk-tajuk pohon (stratum) di Komplek Gunung Poniki, atau dengan kata lain di hutan ini terdapat perbedaan kelas umur dari setiap vegetasi. Hal ini disebabkan karena pada hutan hujan tropis, faktor lingkungan berfluktuasi. Seperti yang umum dijumpai pada tegakan hutan alam di hutan hujan tropis bahwa stratifikasi (pelapisan tajuk hutan) berkembang dengan baik sehingga hutan hujan tropis yang sempurna akan memiliki lima strata atau lapisan tajuk hutan, yaitu strata A, B, C, D dan E. Kondisi seperti ini mencerminkan tegakan hutan tidak seumur. 7 Selanjutnya untuk mengetahui tingkat komposisi suatu habitat digunakan analisis vegetasi, yaitu suatu cara untuk mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dengan analisis vegetasi diharapkan dapat diketahui komposisi vegetasi suatu ekosistem yang merupakan keseluruhan genetik dan jenis-jenis tumbuhan di dalam kawasan suatu ekosistem. Hasil analisis vegetasi terhadap semua jumlah jenis yang ada di lokasi Kompleks Gunung Poniki diperoleh jumlah masing-masing tingkatan pohon sebanyak 89 jenis untuk anakan pohon, 66 jenis untuk tingkat pohon muda dan 37 jenis untuk tingkat pohon. Untuk menggambarkan secara kuantitatif keadaan vegetasi dari hasil analisis vegetasi digunakan parameter Kerapatan relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominasi Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP). Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 3) didapatkan nilai KR dominan di Kompleks Gunung Poniki untuk tingkat anakan pohon adalah jenis Orophea sp. dan Calophyllum soulattri Burm. Selanjutnya diketahui jenis Orophea sp, C. soulattri, Iilex cymosa Lamk, merupakan jenis yang paling tersebar karena ketiganya memiliki nilai FR yang terbesar. Untuk nilai Dominasi di Kompleks Gunung Poniki pada tingkatan ini jenis yang menonjol adalah jenis Orophea sp, C. soulattri dan Psychotria sp. Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat anakan pohon di Kompleks Gunung Poniki 60

68 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan tertinggi adalah Orophea sp., diikuti jenis C. soulattri dan Psychotria sp. Urutan nilai INP (Tabel 2) menggambarkan secara berurutan bahwa jenisjenis tersebut merupakan jenis yang memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi pada Kompleks Gunung Poniki dibandingkan jenis pohon yang lainnya atau dengan kata lain Kompleks Gunung Poniki merupakan habitat yang penting bagi keberadaan jenis-jenis tersebut. Dominasi tingkat anakan kelima jenis tersebut menunjukkan kemampuannya untuk mencapai lokasi distribusi dibandingkan jenis-jenis yang lain. Tabel 3. Lima Jenis dominan pada tingkat anakan pohon (sapling) di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW No Jenis (Species) Famili 1 Orophea sp. Annonaceae Calophyllum soulattri Burm.f. Guttiferae Psychotria sp. Rubiaceae Meliosma nitida Blume. Sabiaceae Alangium javanicum Wang. Alangiaceae Ket :KR=Kerapatan Relatif; FR=Frekuensi Relatif; DR=Dominasi Relatif; INP=Indeks Niai Penting KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Selanjutnya dari hasil perhitungan (Tabel 4) diketahui nilai Kerapatan Relatif (KR) tingkat pohon muda didominasi oleh jenis Orophea sp. diikuti oleh jenis A. javanicum dan C soulattri. Sedangkan nilai Frekuensi Relatif (FR) pada tingkatan pohon muda didominasi secara berturut-turut adalah jenis Orophea sp., A. javanicum dan C. soulattri. Jenis Orophea sp. dan C. soulattri merupakan jenis yang tetap konsisten untuk tetap dominan seperti pada tingkatan anakannya. Hal ini berarti bahwa kedua jenis tersebut memiliki tingkat persaingan yang lebih menonjol terhadap jenis lainnya atau juga karena faktor regenerasi yang sangat baik. Untuk nilai Dominasi Relatif (DR) pada tingkatan pohon muda didominasi jenis Orophea sp., A. 61

69 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 javanicum,c. soulattri. Tidak seperti halnya pada tingkatan anakan sebelumnya nilai Dominasi Relatif untuk Orophea sp pada tingkatan ini tidak terlampau jauh dengan nilai Dominasi Relatif kedua. Hal ini dikarenakan selain faktor jumlah individunya yang semakin berkurang dibanding tingkatan sebelumnya juga karena jenis ini bukan merupakan jenis pohon yang berdiameter besar dibanding jenis pohon yang lain seperti Ficus sp., A. javanicum, dan C. soulattri. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon muda masih didominasi oleh jenis-jenis yang mendominasi pada tingkat anakan pohon. Selain jenis A. javanicum dan jenis pohon lain yang mendominasi antara lain Orophea sp. dan C. soulattri. Berdasarkan hasil ini dapat diketahui bahwa tingkat kepentingan jenis pohon tertinggi terhadap Kompleks Gunung Poniki adalah jenis Orophea sp. Dominasi pada tahap pohon muda ini menunjukkan kemampuan jenis tersebut untuk beradaptasi lebih baik dibandingkan jenis lainnya. Tabel 4. Lima jenis dominan pada tingkat pohon muda (Poles) di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW No Jenis (Species) Famili 1 Orophea sp. Annonaceae Alangium javanicum Wang. Alangiaceae Calophyllum soulattri Burm.f. Guttiferae Antidesma montanum Blume. Euphorbiaceae Meliosma nitida Blume. Sabiaceae Ket :KR=Kerapatan Relatif; FR=Frekuensi Relatif; DR=Dominasi Relatif; INP=Indeks Niai Penting KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 62

70 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan Hasil perhitungan pada tingkat pohon (Tabel 5) dapat diketahui bahwa jenis C. soulattri, Chionanthus macrophylla Wall., dan A. javanicum merupakan jenis yang mempunyai nilai Kerapatan Relatif (KR) lebih dominan dibandingkan jenis lainnya. Jenis Orophea sp., yang sebelumnya sangat menonjol sudah tidak mendominasi lagi. Hal ini disebabkan jenis Orophea sp. jarang ditemukan memiliki diameter di atas 35 cm, sehingga hanya jenis-jenis pohon yang berdiameter besar akan memiliki perbandingan lurus dengan jumlah individunya pada tingkat pohon. Nilai Frekuensi Relatif (FR) dominan untuk tingkat pohon secara berurutan adalah jenis C. soulattri, Ficus sp, jenis C. macrophylla dan Dillenia serrata Thunb. D. serrata atau dikenal dengan nama leler, memilki nilai Kerapatan Relatif yang cukup tinggi. Jenis tersebut merupakan salah satu pohon yang dimanfaatkan buahnya oleh anoa sebagai pakan. Selanjutnya nilai Dominasi Relatif (DR) dominan adalah jenis Ficus sp., C. soulattri, Michelia alba Dc. Jenis Ficus sp. secara individu lebih jarang ditemukan, tetapi jenis ini memiliki nilai diameter lebih besar per individunya, sehingga nilai Dominasi Relatif (DR) jenis ini merupakan jenis yang dominan. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon didominasi oleh C. soulattri, Ficus sp., dan diikuti jenis C. macrophylla. Pada tingkat pohon jenis C. soulattri memiliki tingkat kepentingan terhadap Kompleks Gunung Poniki bukan lagi jenis Orophea sp. Dominasi terhadap jenis-jenis pada tingkat pohon menunjukkan bahwa jenis tersebut mampu beradaptasi dan beregenerasi pada habitatnya. 63

71 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Tabel 5. Lima jenis dominan pada tingkat pohon (trees) di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW No Jenis KR FR DR INP Famili (Species) (%) (%) (%) (%) 1 Calophyllum soulattri Burm.f. Guttiferae Ficus sp. Moraceae Chionanthus macrophylla Wall. Oleaceae Michelia alba Dc. Magnoliac eae Ardisia villosa Roxb. Myrsinace ae Ket :KR=Kerapatan Relatif; FR=Frekuensi Relatif; DR=Dominasi Relatif; INP=Indeks Niai Penting Hasil analisis vegetasi dari ketiga tingkatan yang telah diuraikan di atas mengindikasikan bahwa regenerasi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki tergolong cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari dominasi jenis yang sama pada tingkat anakan dan pohon muda, sedangkan pada tingkat pohon didominasi jenis berbeda dipengaruhi karakteristik jenis pohon. Berdasarkan nilai INP tersebut dapat diketahui bahwa Kompleks Gunung Poniki merupakan tipe hutan dengan klasifikasi hutan campuran. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi (r) untuk mengetahui keterkaitan kerapatan pohon terhadap keberadaan anoa adalah sebesar 0,072 dengan nilai signifikasi sebesar 0,778. Nilai tersebut lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada keterkaitan atau hubungan yang signifikan antara tingkat kerapatan pohon terhadap keberadaan anoa. Sedangkan nilai korelasi (r) untuk mengetahui hubungan dominasi pohon terhadap keberadaan anoa adalah sebesar 0,119 dengan besaran nilai signifikansinya adalah 0,638. Berdasarkan nilai tersebut maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel 64

72 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan tingkat dominasi pohon terhadap keberadaan anoa. Untuk nilai keragaman jenis pohon dalam suatu wilayah dapat diketahui melalui nilai indeks keanekaragaman jenis. Nilai ini merupakan gambaran tingkat keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas tumbuhan. Jika nilainya semakin tinggi maka semakin meningkat pula tingkat keanekaragaman komunitas tersebut. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi (r) adalah 0,009 dengan nilai signifikansi sebesar 0,972. Berdasarkan nilai tersebut karena signifikansi yang lebih besar dari 0,05 maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel keragaman jenis pohon terhadap keberadaan anoa di Kompleks Gunung Poniki. Hasil perhitungan pengaruh ketiga variabel struktur dan komposisi tersebut dapat diketahui bahwa dalam memilih daerah habitat dan juga daerah jelajahnya (home range), satwa ini tidak berdasarkan faktor tingkat kerapatan, tingkat dominasi, dan tingkat keragaman jenis pohon yang ada pada wilayah tersebut. Dari pengamatan di lapangan dimungkinkan terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh, sehingga disinyalir keberadaan anoa di suatu lokasi di Kompleks Gunung Poniki dipengaruhi gabungan beberapa faktor yang terkait dengan kebutuhannya dalam bertahan hidup. Beberapa faktor lain yang mungkin menjadi pendorong anoa menempati suatu habitat tertentu tersebut antara lain faktor akses manusia ke lokasi, keberadaan sumber pakan, ketersediaan garam mineral, kerapatan tajuk pohon, kerapatan tumbuhan bawah dan jarak lokasi dari sungai. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Struktur dan komposisi vegetasi yang meliputi variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak dapat dijadikan ukuran parameter keberadaan anoa pada kawasan ini. Jumlah jenis pohon yang ditemukan di TN Bogani Nani Wartabone pada kawasan kompleks Gunung Poniki sebanyak 98 jenis (95 jenis telah teridentifikasi) berasal dari 48 famili, dengan jumlah individu dan famili yang mendominasi adalah jenis Orophea sp dan famili Euphorbiaceae. Sebaran kurva pohon di lokasi Kompleks 65

73 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Gunung Poniki menyerupai huruf J terbalik dan tingkat stratifikasi vegetasi tersusun atas stratum tajuk lengkap. Komposisi jenis di kawasan ini didominasi jenis Orophea sp. pada tingkat anakan pohon dan pohon muda, sedangkan pada tingkat pohon yang didominasi oleh jenis Calophyllum soulattri Burm.f. Saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan Anoa di kompleks Gunung Poniki dapat diketahui pada lokasi-lokasi yang dimungkinkan memilki kecenderungan faktor akses manusia ke lokasi, keberadaan sumber pakan, ketersediaan garam mineral, kerapatan tajuk pohon, kerapatan tumbuhan bawah dan dimungkinkan pula jarak lokasi tersebut dari sungai. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut dan Lis Nurrani, S.Hut atas ijin penggunaan data untuk bahan analisis dalam tulisan ini serta kepada Yermias Kafiar, Sumarno N. Patandi, Harwiyaddin Kama, dan Syamsir Shabri yang telah banyak membantu pekerjaan di lapangan. DAFTAR PUSTAKA 1 Marthen. T.L 2003 Fauna Endemik Sulawesi : Permasalahan dan Usaha Konservasi 2 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Satwa Tumbuhan tanggal 27 Januari IUCN The IUCN Red List of Threatened Species Diakses 28 Maret Convention on International Trade in Endangared Species of Wild Fauna and Flora. Diakses 28 Maret Mustari, A.H Ecology and conservation of lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in Sulawesi, Indonesia. Disertasi. University of New England. England. 6 Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Revisi Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kotamobagu, Sulawesi Utara. 7 Indriyanto Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. 66

74 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan 8 Irwanto Analisis Vegetasi untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. 9 Gunawan, H Struktur Vegetasi dan Status Populasi Satwaliar di Kompleks Hutan Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara.Buletin Penelitian Kehutanan 3(2): Arini, Irawan, Nurrani, Kafiar, Patandi, Kama, Shabri Kajian populasi dan Habitat Anoa (Bubalus spp) pada Kawasan Konservasi di provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. 11 Samsoedin I. N.M,Heriyanto, dan E. Subiandono Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Hutan Pamah di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita, Provinsi Banten, Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam 8 (2) :

75 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Lampiran 1 Tabel 1. Struktur vegetasi masing-masing plot dan data jejak anoa yang dicatat Plot Tingkat Tingkat Jumlah Tingkat Dominasi Kerapatan Keragaman Jejak

76 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Arif Irawan Tabel 2. Output Korelasi Jejak Anoa terhadap Tingkat Kerapatan, Dominasi, dan Keragaman Pohon di Kompleks Gunung Poniki Correlations jumlah_jejak Kerapatan Keragaman Dominasi Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N jumlah_jejak Kerapatan Keragaman Dominasi

77 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November

78 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani KARAKTERISTIK PEMANFAATAN LAHAN HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE The Characteristic of Using Land by communities about Bogani Nani Wartabone National Park Lis Nurrani Balai Penelitian Kehutanan Manado Jalan Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget-Manado. Telp. (0431) yoe_lizz@yahoo.com ABSTRACT Research patterns of forest land use by local communities within the National Park Bogani Nani Wartabone conducted in four villages namely Mengkang, Lolanan, matayangan and Toraut Village. The purposed of this studied was identified patterns of forest land use and its impact on socio-economic and forest communities. The method of collected data through interviews using questionnaires list of people who make land use, the respondents in each village as many as 30 people. The majority rural communities as farmers and farm workers as a result of lack livelihood in rural and other low skills in the field of community is one of the causes of forest land into agricultural land. The result showed that the applied pattern of society in the form of polyculture gardens (85%) and the fields of monoculture or polyculture. Garden dominated by annual crops such as coconut, chocolate, clove, coffee and vanilla, while the field is dominated by corn and soybean crops. The result of cross tabulation, followed by chi square test showed that there was no causal relationship between the origins population variables of the status of land ownership and also there is no causal linkage between the variable area of the average revenue per in the community. Incomes are still below the minimum wage as much as 72% of North Sulawesi. Polyculture garden gives the production function and the function is relatively balanced, while the field has only the production function. Keywords : Land use, community, national parks 71

79 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 ABSTRAK Penelitian pola pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat lokal di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dilaksanakan pada empat desa yaitu Desa Mengkang, Desa Lolanan, Desa Toraut dan Desa Matayangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola-pola pemanfaatan lahan hutan dan dampak ekologis terhadap hutan serta sosial ekonomi masyarakat setempat. Metode pengumpulan data menggunakan daftar kuesioner terhadap masyarakat yang melakukan pemanfaatan lahan di dalam kawasan. Responden diambil secara purposive random sampling sebanyak 30 orang tiap desa. Analisis data menggunakan analisis tabulasi silang (cross tab) yang dilanjutkan dengan uji chi square test. Kondisi masyarakat desa yang mayoritas sebagai petani dan buruh tani sebagai akibat dari kurangnya mata pencaharian di desa serta rendahnya keterampilan masyarakat di bidang lainnya merupakan salah satu penyebab adanya pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola yang diterapkan masyarakat berupa kebun polikultur (85%) dan ladang monokultur maupun polikultur. Kebun didominasi oleh tanaman tahunan seperti kelapa, coklat, cengkeh, kopi dan vanili, sedangkan ladang didominasi oleh tanaman musiman jagung dan kedelai. Hasil analisis tabulasi silang yang dilanjutkan dengan uji chi square test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel asal-usul penduduk dengan status kepemilikan lahan demikian juga untuk variabel luas lahan dengan pendapatan petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih dibawah UMP Sulawesi Utara sebanyak 72%. Kebun polikultur memberikan fungsi produksi dan fungsi relatif seimbang sedangkan ladang hanya memiliki fungsi produksi. Kata kunci : Pemanfaatan lahan, masyarakat, Taman Nasional I. PENDAHULUAN Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) termasuk dalam tipe ekosistem hutan dataran rendah dan dataran tinggi. Memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi sehingga menjadi kantong kawasan konservasi darat bagi tumbuhan dan satwa yang sangat potensial di sepanjang jazirah pulau Sulawesi. Satwa endemik yang menghuni diantaranya adalah maleo, babirusa, rangkong sulawesi, tarsius dan monyet sulawesi. Sedangkan jenis tumbuhan endemik antara lain kayu matayangan, kayu inggris, eboni dan berbagai jenis anggrek (BTNBNW, 2006) 72

80 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani Tekanan penduduk terhadap lahan yang semakin meningkat didorong oleh adanya potensi kawasan hutan seperti kayu, lahan subur dan potensi lainnya menyebabkan tingkat kerusakan ekosistem TNBNW tergolong tinggi. Adanya benturan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar kawasan dengan kepentingan konservasi dapat menimbulkan konflik yang akan berakibat buruk pada kelestarian hutan itu sendiri. Untuk mengetahui sejauh mana dampak dari pemanfaatan lahan hutan ini maka perlu dilakukan penelitian bentuk-bentuk pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan TNBNW. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pemanfaatan lahan hutan dan dampaknya terhadap kelestarian hutan. II. METODE PENELITIAN A. Risalah Lokasi Penelitian 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 di empat desa yang berada di sekitar kawasan TNBNW yaitu Desa Mengkang, Kecamatan Lolayan; Desa Lolanan, Kecamatan Sang Tombolang; Desa Toraut, dan Desa Matayangan, Kecamatan Dumoga Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow- Sulawesi Utara. 2. Letak dan Luas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone secara geografis terletak antara LU dan BT. Secara administratif wilayah ini terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang Mongondow, meliputi 14 kecamatan) dan Provinsi Gorontalo (Kabupaten Bone Bolango, meliputi 4 kecamatan). Kawasan ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 724/Kpts-II/1993 tanggal 8 Nopember 1993 dengan luas ha dengan perincian seluas ha di Provinsi Sulawesi Utara dan ha terletak di Provinsi Gorontalo. 73

81 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November Keadaan Topografi, Tanah dan Iklim Kondisi topografi kawasan TNBNW bervariasi mulai dari datar, bergelombang, sampai berbukit dan bergunung pada ketinggian mdpl. Sebagian besar wilayah atau sekitar 90% luas TNBNW mempunyai kelerengan 25-45%. Jenis-jenis tanah yang ditemukan di kawasan TNBNW meliputi latosol, podsolik, renzina, aluvial dan andosol. Bahan induk tanah terutama berasal dari bahan vulkanis (BTNBNW, 2006). Pada kawasan yang mengandung batuan kapur dan vulkanik biasanya bertopografi terjal dengan tanah dangkal bertekstur sedang dan peka terhadap erosi. Tipe iklim di kawasan TNBNW berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson tergolong tipe A, B dan C. Curah hujan relatif merata sepanjang tahun dengan periode musim penghujan di bulan Nopember- Januari dan Maret-Mei, sedangkan periode kering pada bulan agustus- September. Secara umum curah hujan rata-rata tahunan di Lembah Dumoga sebesar mm/th, sedangkan di wilayah Gorontalo sebesar mm/th. Kelembaban udara disekitar kawasan pada umumnya tinggi. 4. Kondisi Ekosistem dan Zonasi Keragaman tipe ekosistem pada kawasan TN BNW dibagi menjadi 4 tipe ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan sekunder pada daerah bekas penambangan, perambahan yang tidak terpelihara; ekosistem hutan hujan dataran rendah (hutan pamah) ditemukan pada ketinggian m dpl, umumnya terletak di atas batuan vulkanis; ekosistem hutan hujan pegunungan rendah terdapat pada ketinggian m dpl, kanopi rendah dan sedikit terbuka, vegetasi bawah cukup tebal dengan jenis-jenis rotan, pandan, dan paku-pakuan; dan ekosistem hutan lumut pada ketinggian di atas 1600 m dpl, disekitar puncak pegunungan (BTNBNW, 2006). Taman Nasional Bogani Nani Wartabone terbagi menjadi empat zona (revisi tahun 2006) yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi. Zona rehabilitasi diperuntukkan pada lokasi-lokasi yang mengalami kerusakan atau perubahan fungsi. Zona ini diarahkan untuk 74

82 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani pengembalian ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alaminya dengan melibatkan masyarakat. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sebagian kawasan TNBNW beserta masyarakat sekitarnya yang beraktivitas didalam kawasan tersebut. Alat yang digunakan adalah Peta kerja, GPS, kamera, Tally sheet, kuesioner, milimeter blok, tali plastik, voice recorder, papan data dan alat tulis. C. Prosedur Penelitian Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan wawancara, kuesioner, observasi dan studi literatur. Penarikan sampel secara purposive random sampling, setiap desa dipilih 30 KK sebagai responden. Sehingga jumlah responden keseluruhan ada 120 KK yang tersebar di empat desa. Untuk menggambarkan struktur dan komposisi lahan digambarkan melalui sketsa dengan ukuran 20 x 50 m. D. Analisa Data Data dan informasi hasil pengamatan dikompilasi dalam bentuk tabel frekuensi, kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan pola pemanfaatan lahan, jenis tanaman, potensi lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Analisis tabulasi silang (crosstab) dengan pengujian chi square test dilakukan pada variabel asal-usul penduduk terhadap status kepemilikan serta variabel luas lahan terhadap pendapatan yang diperoleh untuk mengetahui pengaruh hubungan antar variabel tersebut. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TN. Bogani Nani Wartabone Kondisi sosial masyarakat di empat desa sekitar kawasan taman nasional dapat dilihat pada Tabel 1. 75

83 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Table 1. Kondisi sosial masyarakat di empat desa sekitar kawasan TNBNW Lokasi Desa Karakteristik Desa Desa Desa Desa Toraut Mengkang Lolanan Matayangan Asal - usul penduduk Asli (100%) Asli (83%) Pendatang (17%) Asli (63%) Pendatang (37%) Asli (20%) Pendatang (80%) Jumlah KK Petani dan buruh tani Petani dan buruh tani Petani dan buruh tani Petani dan buruh tani Pekerjaan : ( 98%) (90%) (78%) (90%) Pedagang Pedagang Pedagang (10%) buruh panjat (2%) (10%) Pertambangan kelapa (10%) (12 %) Bahan utama perumahan Kayu Kayu, Bata Kayu Kayu Jarak ke - hutan 0,5-4 km 1-2 km * * - lahan garapan 0,5-6 km 4-5 km 0 30 km 1 6 km (*) tidak ada data Keterangan : Penduduk asli merupakan masyarakat suku Mongondow yang merupakan suku asli di Sulawesi Utara khususnya di Bolaang Mongondow. Penduduk pendatang merupakan masyarakat yang berasal dari luar suku Mongondow seperti suku lain di wilayah Silawesi Utara dan transmigran dari Jawa dan Bali. Masyarakat sekitar kawasan TNBNW di empat desa didominasi oleh suku asli Mongondow. Suku pendatang berasal dari Minahasa, Sanger dan Bugis serta transmigran dari Jawa dan Bali sejak tahun 1970-an (transmigran khusus di desa Matayangan). Mata pencaharian utama mereka adalah petani dan buruh tani bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan sendiri. Pekerjaan sampingan yang sering dilakukan adalah sebagai buruh panjat kelapa, buruh petik cengkeh, buruh angkut peralatan tambang dari desa ke lokasi galian, dan buruh angkut tanah yang mengandung emas 76

84 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani dari lokasi galian menuju tempat pengolahan emas. Pekerjaan sampingan dilakukan pada masa jeda setelah masa tanam selesai dan sebelum datang masa panen. Penghasilan dari pekerjaan sampingan ini sangat bermanfaat membantu pemenuhan kebutuhan hidup karena hasil panen tidak memadai, serta dijadikan sebagai modal yang digunakan sebagai biaya pada masa tanam dan panen nanti. Hasil pengamatan terhadap responden pada empat desa sekitar TNBNW menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat berpenghasilan di atas Rp sebesar 28 %, 48% berpenghasilan antara Rp Rp , dan 24% yang masih di bawah Rp (Grafik 1). Menurut Sukanto (2000) dalam buku ekonomi perkotaan, ukuran kemiskinan bermacam-macam ada yang berdasarkan penghasilan, ada yang berdasarkan konsumsi dan ada yang didasarkan pada luas perumahan. Namun kemiskinan pada hakikatnya merupakan perbedaan antara penghasilan dan standard hidup minimum. Sayogjo menetapkan batas kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras sebanyak 360 kg per kapita per tahun. Jika dibandingkan dengan standar upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Peraturan Gubernur No. 33A Tahun 2011 tentang Upah Minimum Provinsi sebesar Rp ,-, maka hanya 28% masyarakat sekitar TNBNW yang berpenghasilan di atas UMP. Sedangkan 72% masyarakat masih di bawah UMP, ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNBNW masih rendah. 77

85 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Grafik 1. Persentase rata-rata pendapatan hasil panen per bulan responden. Salah satu penyebab rendahnya penghasilan petani adalah adanya sistem ijon oleh tengkulak. Petani sangat bergantung pada tengkulak yang menyediakan bibit, pupuk, dan insektisida dengan konsekuensi mereka harus menjual hasil ladang terutama jagung kepada tengkulak tersebut. Melalui sistem paket, yaitu tiap 1 hektar lahan terdiri dari 4 paket, tiap paket memuat bibit, pupuk dan pembasmi hama yang digunakan selama masa tanam hingga panen tiba. Harga bibit, pupuk, insektisida dan hasil panen juga dikendalikan oleh tengkulak, sehingga pendapatan yang diperoleh petani hanyalah sisanya. Ini menjadi kerugian yang besar bagi taman nasional. Disamping perambahan kawasan terus berlanjut, kesejahteraan masyarakat pun tetap terpuruk. Hanya segelintir orang saja yang bisa menikmati hasilnya. 2. Latar Belakang Adanya Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat Lokal Beberapa hal yang perlu dicermati adalah latar belakang masyarakat mengolah lahan (memanfaatkan lahan hutan) di dalam kawasan Taman Nasional, dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu : a) Masyarakat lokal telah mengolah lahan sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional. 78

86 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani b) Semakin berkurangnya lahan garapan dan jenis mata pencaharian di desa sekitar kawasan Taman Nasional. c) Potensi lahan hutan lebih subur/produktif dibandingkan dengan lahan yang berada di desa serta bebas biaya pajak kepemilikan lahan garapan. d) Adanya lahan-lahan terbuka, kritis dan terlantar bekas HPH dan penebangan liar (illegal logging) mengundang masyarakat untuk masuk dan mengolah disana. Beberapa sebab adanya ketimpangan adalah kurangnya koordinasi antara pengelola Taman Nasional, Pemda setempat serta masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai batas-batas kawasan dan pengaturan pengelolaan bersama. Kurangnya sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu hal yang harus segera ditindak lanjuti selain peningkatan pengamanan oleh petugas taman nasional, sebab pembangunan hutan tidak akan pernah tercapai selama kesejahteraan masyarakat terabaikan. 3. Luas Pemilikan Lahan Garapan Masyarakat Luas lahan garapan masyarakat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan luas pemilikan lahan garapan Jumlah persen (%) tiap desa Jumlah Luas lahan Desa Mengkang Desa Lolanan Desa Toraut Desa Matayangan Total (%) < 2 ha ,75 antara 2-4 ha > 4 ha ,25 Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas pemilikan lahan masyarakat dari empat desa sekitar TNBNW dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pemilikan lahan sempit (< 2 Ha), pemilikan lahan sedang (antara

87 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 Ha) dan pemilikan lahan luas/besar (> 4 Ha) dengan persentasi berturutturut sebesar 47,75%, 48% dan 4,25%. Lahan yang dimiliki oleh masyarakat berasal dari membuka hutan/belukar dengan cara sistem tebas bakar. Hasil analisis tabulasi silang (crosstab) yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian chi square test terhadap variabel luas lahan garapan masyarakat terhadap rata-rata pendapatan per bulan yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan saling mempengaruhi diantara keduanya (Tabel 3). Artinya seberapapun luas masyarakat membuka hutan untuk dijadikan lahan garapan ternyata tidak memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan taraf kehidupan mereka. Hal ini disebabkan karena ada sistem ijon yang sudah membudaya di masyarakat. Tabel 3. Nilai uji chi square test terhadap variabel luas lahan garapan masyarakat terhadap rata-rata pendapatan masyarakat per bulan Chi-Square Tests Value df Asy mp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 120 a. 3 cells (33.3%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is Pola Pemanfatan Lahan Garapan yang Diterapkan Oleh Masyarakat Pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di empat desa sekitar TNBNW dapat dilihat dalam Tabel 4. 80

88 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani Tabel 4. Pola pemanfaatan lahan garapan yang diterapkan oleh masyarakat Distribusi frekuensi tiap desa (%) Ratarata Indikator Desa Desa Desa Desa jumlah Mengkang Lolanan Toraut Matayangan (%) a. Kebun b. Ladang ,25 Kombinasi c. antara keduanya ,75 Mayoritas masyarakat dari empat desa sekitar TN. Bogani Nani Wartabone memanfaatkan lahan hutan di dalam kawasan taman nasional untuk dijadikan sebagai lahan pertanian kering berupa kebun sebanyak 85%. Pola pertanian lainnya adalah ladang dan kombinasi diantara keduanya dengan prosentase 8,25% dan 6,75%. Kebun dikelola secara polikultur artinya dalam satu bentang lahan garapan lebih dari dua jenis tanaman. Baik itu antar tanaman tahunan seperti coklat, kelapa, cengkeh, kopi dan vanili maupun antara tanaman tahunan dengan tanaman musiman seperti jagung, dan cabe (rica-manado). Tanaman buah-buahan lokal seperti durian, matoa, langsat, dan rambutan juga ditanam diantara tanaman kebun, meskipun persentasenya sangat sedikit. Ladang masyarakat didominasi oleh tanaman jagung, baik ditanam secara monokultur maupun polikultur. Secara polikultur jagung ditanam bersama-sama dengan tanaman tahunan seperti kelapa dan coklat dalam satu bentang lahan. Pola ladang polikultur selain menambah pendapatan secara ekonomi juga berperan dalam perlindungan tanah terutama kesuburan dan erosi. Adanya naungan akan menjaga kestabilan tanah dari ancaman erosi permukaan tanah dan kehilangan hara tanah yang lebih banyak lagi bila dibandingkan dengan pola ladang monokultur. 81

89 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November Struktur dan Komposisi Jenis Tanaman Penyusun Lahan Garapan Masyarakat Lahan garapan masyarakat disusun oleh beberapa jenis tanaman berdasarkan pola pemanfaatan lahan yang diterapkan, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi jenis tanaman yang menyusun lahan garapan masyarakat Gambaran komposisi tanaman tiap lokasi Indikator Desa Desa Desa Ds. Matayangan Mengkang Lolanan Toraut Jenis Tanaman Penyusun Kebun - Perkayuan - Tanaman perkebunan - MPTS - Palawija - Sayuran Indikator Nantu, Mahoni, Cempaka coklat, kelapa, kopi, cengkeh kemiri, durian, rambutan, langsat, matoa Kayu sirih cengkeh, coklat, kelapa durian, langsat rambutan, nanas, pisang, mangga - Jagung - Ds. Mengkang Jenis Tanaman Penyusun Ladang - Perkayuan - Tanaman perkebunan Nantu, sengon, pala coklat, kelapa, panili rambutan, langsat, durian matoa, kemiri, nangka, nanas, jagung, cabe dadap, pala, nantu coklat, kelapa, panili langsat, rambutan, nangka, matoa, durian, jagung, cabe Gedi, tomat, cabe, terong - - Gambaran komposisi tanaman tiap lokasi Ds. Lolanan Ds. Toraut nantu, sengon kelapa, coklat Ds. Matayangan - MPTS - - Durian

90 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat.. Lis Nurrani - Palawija jagung, kedelai kacang - jagung - Cengkeh merupakan komoditi utama yang dibudidayakan masyarakat Lolanan, disamping karena memiliki nilai ekonomi tinggi, juga karena lahan garapan masyarakat yang terletak pada ketinggian ± 635 mdpl sesuai dengan syarat tumbuh tanaman ini. Kelapa merupakan salah satu komoditi unggulan Sulawesi Utara dengan produk utama penghasil kopra sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa dan produk turunan lainnya. Masyarakat menanam kopi dan coklat disertai dengan pohon pelindung/naungan, yang biasanya dipilih jenis dadap (Erythrina subumbrans Merr). Selain berfungsi sebagai naungan, pohon ini juga dapat menjaga kesuburan tanah. Ket Gambar: Ne (Nangka) Kp (Kopi) Ki (Kemiri) Ka (Kelapa) Ck (Cokelat) Mt (Matoa) Du (Durian) Rb (Rambutan) Gambar 1. Struktur tanaman yang menyusun kebun polikultur. Nantu, cempaka dan mahoni merupakan tanaman hasil dari pengkayaan yang merupakan salah satu program dari pengelola TNBNW ataupun tanaman yang memang sudah ada di lahan tersebut yang tidak ditebang pada saat pembukaan/pembersihan lahan. Sedangkan kayu sirih (Piper sp) banyak ditemui di kebun sebagai tanda adanya perubahan fungsi 83

91 Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011 hutan dari ekosistem hutan dataran rendah menjadi ekosistem hutan sekunder yang dimanfaatkan masyarakat sebagai kayu bakar. Komposisi jenis tanaman kebun yang dibudidayakan masyarakat terdiri lebih dari 4 macam tanaman keras yang dapat dibagi kedalam tiga stratum tajuk lihat Gambar 1. Stratum atas dihuni oleh MPTS yang didominasi oleh tanaman buah-buahan seperti durian, kelapa, rambutan dan kemiri. Dengan ciri tajuknya tidak terlalu rimbun, secara ekologi menaungi tanaman yang ada di bawahnya dan salah satu keuntungan dari durian adalah daunnya mudah busuk terdekomposisi mikroorganisme. Stratum tengah dihuni oleh tanaman kopi, coklat, cengkeh, jeruk dan pisang. Sedangkan stratum bawah dihuni oleh semak belukar, rumput dan tanaman semusim seperti cabe, jagung dan sayuran sebagai bahan makanan tambahan petani. Pengaturan tataruang pola ladang yang sering diterapkan oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 2 dengan tanaman utama yang dibudidayakan adalah tanaman jagung. Gambar 2. Ladang masyarakat. 6. Fungsi Ekonomi dan Ekologi Tiap Pola Pemanfaatan Lahan Siklus tanam jagung dua kali dalam setahun. Setelah masa panen selesai biasanya masyarakat membersihkan lahan dengan cara dibakar. Kebiasaan tersebut dapat menyebabkan dampak buruk seperti peningkatan suhu udara, polusi asap hingga hilangnya atau berkurangnya nutrient dalam 84

ABSTRAK. Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari

ABSTRAK. Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari POTENSI PERMUDAAN ALAMI JENIS-JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI CAGAR ALAM TANGKOKO, BITUNG, SULAWESI UTARA. Natural

Lebih terperinci

AVIFAUNA PENGHUNI HUTAN KOBE KAWASAN TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA PROVINSI MALUKU UTARA

AVIFAUNA PENGHUNI HUTAN KOBE KAWASAN TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA PROVINSI MALUKU UTARA Avifauna Penghuni Hutan Kobe AVIFAUNA PENGHUNI HUTAN KOBE KAWASAN TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA PROVINSI MALUKU UTARA Avifauna of Kobe Forest in Aketajawe Lolobata National Park North Maluku Province

Lebih terperinci

POTENSI DAN SEBARAN NYATOH (Palaquium obtusifolium Burck) DI SULAWESI BAGIAN UTARA

POTENSI DAN SEBARAN NYATOH (Palaquium obtusifolium Burck) DI SULAWESI BAGIAN UTARA Potensi dan Sebaran Nyatoh.. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari POTENSI DAN SEBARAN NYATOH (Palaquium obtusifolium Burck) DI SULAWESI BAGIAN UTARA Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

Ady Suryawan, Julianus Kinho, dan Anita Mayasari

Ady Suryawan, Julianus Kinho, dan Anita Mayasari Struktur dan Sebaran Jenis-Jenis Suku Euphorbiaceae Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita M. STRUKTUR DAN SEBARAN JENIS-JENIS SUKU EUPHORBIACEAE DI CAGAR ALAM TANGKOKO, BITUNG, SULAWESI UTARA (Structure

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG YANG DIPELIHARA MASYARAKAT KOTA TERNATE, MALUKU UTARA

INVENTARISASI JENIS BURUNG YANG DIPELIHARA MASYARAKAT KOTA TERNATE, MALUKU UTARA INVENTARISASI JENIS BURUNG YANG DIPELIHARA MASYARAKAT KOTA TERNATE, MALUKU UTARA SOLEMAN, RACHMAWATY 1 1 Guru Biologi Pada SMPN 7 Kota Ternate. Email: watysoleman@ymail.com ABSTRAK Masyarakat Kota Ternate

Lebih terperinci

Anita Mayasari 1, Julianus Kinho 2, dan Ady Suryawan 3 ABSTRACT ABSTRAK

Anita Mayasari 1, Julianus Kinho 2, dan Ady Suryawan 3 ABSTRACT ABSTRAK Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan ASOSIASI EBONI (DIOSPYROS SPP.) DENGAN JENIS-JENIS POHON DOMINAN DI CAGAR ALAM TANGKOKO SULAWESI UTARA The Association of

Lebih terperinci

AVIFAUNA PADA TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA BERDASARKAN TIPOLOGI ZONA DAN TUTUPAN LAHAN

AVIFAUNA PADA TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA BERDASARKAN TIPOLOGI ZONA DAN TUTUPAN LAHAN Avifauna pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata (Supratman Tabba dan Lis Nurrani) AVIFAUNA PADA TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA BERDASARKAN TIPOLOGI ZONA DAN TUTUPAN LAHAN DISTRIBUTION OF AVIFAUNA IN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

DISTRIBUSI EBONI ( Diospyros spp. ) DI KAWASAN PUSAT PEYELAMATAN SATWA TASIKOKI

DISTRIBUSI EBONI ( Diospyros spp. ) DI KAWASAN PUSAT PEYELAMATAN SATWA TASIKOKI DISTRIBUSI EBONI ( Diospyros spp. ) DI KAWASAN PUSAT PEYELAMATAN SATWA TASIKOKI Andikha P. Lamada (1), Johny S. Tasirin (1), Marthen T. Lasut (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian,

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS BURUNG DI DAS TAYAWI TAMAN NASIONAL AKETAJAWE-LOLOBATA BIRDS DIVERSITY IN TAYAWI S WATERSHEED AREA AKETAJAWE-LOLOBATA NATIONAL PARK

KERAGAMAN JENIS BURUNG DI DAS TAYAWI TAMAN NASIONAL AKETAJAWE-LOLOBATA BIRDS DIVERSITY IN TAYAWI S WATERSHEED AREA AKETAJAWE-LOLOBATA NATIONAL PARK Keragaman Jenis Burung di DAS Tayawi (Diah Irawati D.W. & Julianus Kinho) KERAGAMAN JENIS BURUNG DI DAS TAYAWI TAMAN NASIONAL AKETAJAWE-LOLOBATA BIRDS DIVERSITY IN TAYAWI S WATERSHEED AREA AKETAJAWE-LOLOBATA

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

Oleh: Merryana Kiding Allo

Oleh: Merryana Kiding Allo Corak Indah Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) CORAK INDAH KAYU EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243, telp. (0411)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI HABITAT EBONI (Diospyros spp.) PADA HUTAN DATARAN RENDAH DI CAGAR ALAM TANGKOKO

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI HABITAT EBONI (Diospyros spp.) PADA HUTAN DATARAN RENDAH DI CAGAR ALAM TANGKOKO Struktur dan Komposisi Vegetasi.. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI HABITAT EBONI (Diospyros spp.) PADA HUTAN DATARAN RENDAH DI CAGAR ALAM TANGKOKO Julianus

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri GorontaloJalan Jendral

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara

Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara BAB I PENDAHULUAN 2 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara BAB I PENDAHULUAN A. Sekilas Sulawesi Utara Pulau Sulawesi dan kepulauan disekitarnya telah lama dikenal dan merupakan tempat yang melegenda,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI RESORT TULOBOLO-PINOGU, TAMAN NASIONAL BOGANINAI WARTABONE, SULAWESI UTARA

KERAGAMAN JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI RESORT TULOBOLO-PINOGU, TAMAN NASIONAL BOGANINAI WARTABONE, SULAWESI UTARA KERAGAMAN JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI RESORT TULOBOLO-PINOGU, TAMAN NASIONAL BOGANINAI WARTABONE, SULAWESI UTARA DIVERSITY SPECIES OF EBONI (Diospyros spp.) TULABOLO-PINOGU RESORT, BOGANINANI WARTABONE

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya. Oleh : Oki Hidayat

Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya. Oleh : Oki Hidayat Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya Oleh : Oki Hidayat Setiap satwaliar tidak dapat lepas dari habitatnya. Keduanya berkaitan erat dan saling membutuhkan satu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

MONITORING LINGKUNGAN

MONITORING LINGKUNGAN MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan

Lebih terperinci

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2014 ISSN : 2355-9969 DAFTAR ISI Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Berbasis Kemampuan Lahan di Daerah Tangkapan Air

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan

JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan VOL. 2 NO. 2, DESEMBER 2015 ISSN : 2355-9969 DAFTAR ISI Pengaruh Etnis terhadap Pola Pemanfaatan Lahan dan Kontribusinya bagi Pendapatan Masyarakat di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan USU Tahura Desa Tongkoh Kecamatan Dolat Rayat Kabupaten Karo Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG Muhammad Syukur Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : msyukur1973@yahoo.co.id ABSTRAKS:

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013. B. Alat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI Indonesia terdiri atas pulau-pulau sehingga disebut negara kepulauan. Jumlah pulau yang lebih dari 17.000 buah itu menandakan bahwa Indonesia merupakan suatu wilayah yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan BAB III METODOLOGI PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dengan ketinggian 700-1000 m dpl,

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Inventarisasi Jenis Pohon Pada Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara

Inventarisasi Jenis Pohon Pada Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 4 (2) 115-119 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Inventarisasi Jenis Pohon Pada Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara Akbar Arafah Embo a*, Roni

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH Oleh/by MUHAMMAD HELMI Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci