MONITORING LINGKUNGAN
|
|
- Sri Agusalim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan hutan. Dari hasil monitoring tersebut dapat dipakai sebagai instrument guna mengetahui apakah pengelolaan hutan yang dijalankan PT BUMWI perlu ada koreksi atau tidak. Berdasar hasil monitoring lingkungan yang dilakukan pada tahun 215 dihasilkan temuan sebagai berikut: 1. Struktur dan Potensi Tegakan Hasil pemantauan terhadap struktur dan potensi tegakan menunjukkan bahwa kondisi ekosistem mangrove bekas tebangan memperlihatkan perkembangan yang cukup baik setelah masa pemulihan selama rentang waktu 12 tahun (23), 11 tahun (24), 1 tahun (25), 9 tahun (26), dan 8 tahun (27). Indikator yang menunjukan pemulihan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Strata tegekan pada lokasi LOA ditemukan lengkap mulai dari tingkat strata semai sampai dengan pohon dengan kelimpahan yang cukup tinggi dan melebihi persyaratan yang ditetapkan oleh sistem silvikultur hutan payau. 2. Pada strata semai, dengan asumsi menghilangkan semai jenis Bruguiera parviflora dan Rhizophora apiculata yang memiliki kelimpahan di atas rata rata, kondisi kerapatan areal LOA melebihi lokasi virgin forest (lihat grafik 1). Rata rata kerapatan semai pada lokasi LOA adalah 2.21 batang/ha sedangkan pada virgin forest adalah 1.4 batang/ha. Bahkan di LOA blok 23 kerapatan jenis komersil selain Bruguiera parviflora dan Rhizophora apiculata berada jauh di atas virgin forest. 3,5 3, 2,5 2, 1,5 1, 5
2 Grafik 1. Perbandingan Jumlah strata semai jenis komersil selain Bruguiera parviflora dan Rhizophora apiculata (N/ha) pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). 3. Pada tingkat setrata pohon rerata kerapatan pada areal LOA sebesar 111 batang/ha mendekati potensi kerapatan rerata di areal virgin forest yaitu sebesar 223 batang/ha. Namun dalam hal potensi volume, lokasi virgin forest jauh berada di bawah lokasi LOA yaitu 4.1 m 3 /ha untuk virgin forest dan m 3 /ha untuk LOA. Perbandingan potensi volume antar blok sampel dapat dilihat pada (grafik 11) Grafik 11. Perbandingan Potensi volume jenis komersil (M3/ha) tingkat strata pohon pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). 4. Pada tingkat strata tiang rerata kerapatan di lokasi LOA berada diatas lokasi virgin forest yaitu 146 batang/ha berbanding 163 batang/ha. Potensi volume per hektar pada areal LOA jauh lebih besar dari pada areal virgin forest 8.8 m 3 /ha berbanding.31 m 3 /ha (lihat grafik 12). Temuin ini adalah bukti bahwa ekosistem mangrove setelah mulai proses pemulihan selama rentang waktu 13 tahun telah mampu mengembalikan strutur tegakan menjadi primary forest.
3 Potensi Strata Tiang Grafik 12. Perbandingan Potensi volume jenis komersil (m 3 /ha) tingkat strata tiang pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Dominasi Jenis Vegetasi Dominasi jenis dari suatu vegetasi dapat diketahui dengan melakukan perbandingan Indeks Nilai Penting (INP) pada seluruh komunitas vegetasi yang ditemukan. Berdasarkan INP adalah nilai yang menunjukkan persentase dominasi atau spesies laiannya pada suatau bentang lahan tertentu. Berdasar INP tersusun dari beberapa variabel peyusun yaitu Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominasi Relatif (DR). semakin tinggi besaran INP dari suatu spesies menunjukkan bahwa spesies tersebut memiliki dominasi yang tinggi pada areal tempat tumbuhnya. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pada strata pohon, jenis dominan baik di areal virgin forest maupaun LOA adalah Rhizophora apiculata, sedangkan jenis kodominan pada areal virgin forest dan LOA diisi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parviflora (Lihat grafik 13). Tiga jenis ini merupakan jenis yang mendominasi tegakan mangrove di seluruh areal sampel dikondisikan virgin forest maupun LOA tiga spesies tersebut tetap berada pada posisi tiga teratas.
4 Bruguiera gymnorrhiza hizophora apiculata Bruguiera parviflora Grafik 13. Perbandingan INP (%) tiga spesies dominan tingkat strata pohon pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Pada tingkat strata tiang, jenis dominan INP tertinggi di seluruh blok sampel adalah jenis Rhizophora apiculata dengan rata rata INP sebesar %. Sedangkan jenis kodominan adalah jenis Bruguiera parviflora dengan rata rata INP sebesar % (lihat grafik 14) Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Bruguiera parviflora Grafik 14. Perbandingan INP (%) tiga spesies dominan tingkat strata tiang pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Pada tingkat strata pancang peringkat 1 sampai 4 nilai INP diisi oleh empat spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Ceriops decandra, dan Rhizophora apiculata. untuk perangkat 1 dan 2 nilai INP didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera
5 parviflora, sedangkan posisi 3 dan 4 nilai INP didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops decandra (lihat grafik 15) Rihizophora apiculata Ceriops decandra Bruguiera parviflora Bruguiera gymnorrhiza Grafik 15. Perbandingan INP (%) tingkat strata pancang pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Pada tingkat strata semai, jenis Bruguiera parviflora dan Rhizophora apiculata jenis ini selalu bergantian menjadi dominan pada tiap blok areal sampel. (lihat grafik 16) Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera perviflora Ceriops decandra Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
6 Grafik 16. Perbandingan INP (%) tingkat strata semai pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Kemantapan Tegakan Kemantapan tegakan adalah suatu kawasan yang dapat diketahui dengan melihat besaran indeks keanekaragaman jenis shanon wiener (H ) dari komunitas vegetasi yang terdapat pada kawasan tersebut. Semakin tinggi besaran indeks shanon wiener menunjukkan bahwa komunitas vegetasi yang terdapat pada kawasan tersebut memiliki ragam jenis yang tinggi atau dengan kata lain kawasan tersebut tergolang sebagai kawasan dengan kemantapan tegakan yang solid kareana terisi oleh jenis spesies yang bervariatif. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pada tingkat strata pohon, blok sampel dengan nilai indeks H tertinggi adalah LOA blok 23 yaitu sebesar 1.36 sedangkan blok sampel dengan indeks H terendah adalah LOA blok 25 yaitu sebesar.96 (lihat grafik 17) Pohon Series Grafik 17. Perbandingan Indeks Shanon Wiener (H ) strata pohon pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27) Pada tingkat strata tiang, blok sampel dengan nilai indeks H tertinggi adalah LOA blok 24 dengan nilai H sebesar sedangkan blok sampel dengan indeks H terendah adalah LOA blok 25 dengan nilai H sebesar.87 (lihat grafik 18)
7 Tiang Series Grafik 18. Perbandingan Indeks Shanon Wiener (H ) strata tiang pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Pada tingkat strata pancang blok sampel dengan nilai H tertinggi adalah pada blok sampel virgin forest blok URKT 216 yaitu sebesar 1.3. sedangkan blok sampel dengan nilai H terendah ada pada blok sampel LOA 24 yaitu sebear.96 (lihat grafik 19.) Pancang Series Grafik 19. Perbandingan Indeks Shanon Wiener (H ) strata pancang pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27).
8 Pada tingkat strata semai blok sampel dengan nilai indeks H tertinggi adalah LOA blok 23 dengan nilai H sebesar sedangkan nilai indeks H terendah adalah virgin forest blok URKT 216 dengan nilai H sebesar.98 (lihat grafik 2) Semai Series Grafik 2. Perbandingan Indeks Shanon Wiener (H ) strata pancang pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Jenis Flora Dilindungi Berdasarkan identifikasi NKT PT BUMWI,tidak terdapat jenis flora yang dilindungi oleh pemerintah. Namun demikian, terdapat satu jenis flora mangrove di areal PT. BUMWI yang masuk katagori Hampir Terancam (Near thretened) di dalam Red List IUCN v yaitu Ceriops decandra. Pada laporan IFF tahun 214 tejah menjelaskan tentang jenis ini pada laporannya (lihat laporan IFF tahun 214). Hasil pemantauan menunjukkan bahwa spesies Ceriops decandra di temukan merata pada seluruh sampel tingkat strata pancang dan semai namun pada strata pohon dan tiang spesies Ceriops decandra ini hanya di temukan di blok sampel LOA blok 24, 25 dan virgin forest blok URKT 216 untuk strata pohon dan strata tiang spesies ini hanya ditemukan pada blok sampel LOA blok 24, 25, 27 dan virgin forest blok URKT 216. Pada tingkat strata pohon jenis Ceriops decandra ditemukan dengan kerapatan tertinggi di virgin forest blok URKT 216 sebanyak 6 batang/ha, sedangkan kerapatan terendah terdapat pada LOA blok 25 yaitu sebanyak 1 batang/ha pada strata pohon jenis ini hanya ditemukan pada tiga blok sampel yaitu LOA blok 24, 25 dan URKT 216. Jika ditinjau dari sisi potensi volume, lokasi blok URKT 216 memiliki potensi volume kayu sebesar.9 m 3 /ha, blok LOA
9 N/ha N/ha m3/ha 24 memiliki potensi volume yang besar yaitu 2.27 m 3 /ha, sedangkan blok LOA 25 memiliki potensi sebesar.24 m 3 /ha. (lihat grafik 21) 8 pohon 2.5 pohon Series Series Grafik 21. Perbandingan kerapatan dan potensi Ceriops decandra (N/ha) dan (m 3 /ha) tingkat strata pohon pada virgin forest blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 25, 26, 27). Pada tingkat strata tiang jenis Ceriops decandra dengan kerapan tertinggi di LOA blok 24 sebanyak 12 batang/ha dengan potensi kayu sebesar.4 m 3 /ha, sedangkan kerapatan terendah terdapat di areal LOA blok 25 di tinjau dari sisi potensi kayu blok LOA 25 sebesar.25 m 3 /ha sedangkan potensi kayu pada blok URKT 216 hanya.4 m 3 /ha jadi di tinjau dari sisi potensi volumme blok sampel terendah adalah virgin forest blok URKT 216 (lihat grafik 22 dan 23) 15 Tiang 1 5 Series Grafik 22. Perbandingan kerapatan Ceriops decandra (N/ha) tingkat strata tiang pada virgin forest blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 25, 26, 27).
10 N/ha m3/ha Tiang Series Grafik 23. Perbandingan kerapatan Ceriops decandra (m 3 /ha) tingkat strata tiang pada virgin forest blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 25, 26, 27). Pada tingkat strata pancang jenis ceriops decandra ditemukan dengan kerapatan tertinggi di blok LOA 27 sebanyak 528 batang/ha sedangkan kerapatan terendah terdapat di lokasi LOA blok 25 yaitu sebanyak 144 batang/ha (lihat grafik 24) Pancang Series Grafik 24. Perbandingan kerapatan Ceriops decandra (N/ha) tingkat strata pancang pada virgin forest blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 25, 26, 27). Pada tingkat strata semai blok sampel dengan kerapatan jenis tertinggi adalah LOA blok 23 yaitu sebanyak 1.1 batang/ha sedangkan kerapatan terendah adalah pada virgin forest blok URKT 216 yaitu sebanyak 3 batang/ha (lihat grafik 25)
11 N/ha 12 Semai Series Grafik 25. Perbandingan kerapatan Ceriops decandra (N/ha) tingkat strata semai pada virgin forest blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 25, 26, 27). Hasil pemantauan menunjukkan bahwa jenis Ceriops decandra yang berstatus Hampir Terancam (Near Threatened) pada IUCN Red List, teryata memiliki persebaran yang cukup merata karena di temukan di seluruh areal sampel. Hal ini selaras dengan diskripsi yang ditemukan oleh Rusila Norr, dkk. (1999) yang meyatakan bahwa Ceriops decandra berstatus langka secara global namun relatif umum dijumpai dengan lingkup lokal di Indonesia (umum setempat) Komposisi Jenis Fauna Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pada seluruh areal sampel terdapat total 15 jenis burung dari 1 famili, dan 2 jenis reptilia dari 2 famili. Total individu fauna yang ditemukan adalah sebanyak 29 ekor meliputi 24 ekor jenis burung dan 5 ekor jenis reptilia. Kerapatan fauna tertinggi terdapat pada virgin forest blok 216 yaitu sebesar 552 ekor/ha, diikuti oleh LOA blok 25 (381 ekor/ha), LOA blok 26 (365 ekor/ha), LOA blok 23 (28 ekor/ha), LOA blok 24 (241 ekor/ha), dan LOA blok 27 (171 ekor/ha) dengan kerapatan terendah yaitu sebesar 171 ekor/ha (lihat grafik 26).
12 Fauna (N/ha) Grafik 26. Perbandingan kerapatan jenis fauna (N/ha) pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Berdasar klasifikasi jenis fauna, jenis aves adalah fauna dengan kelimpahan tertinggi dibanding jenis reptilia. Disini hanya akan ditampilkan grafik jenis aves, karena jenis reptilia tidak ditemukan secara merata dan jenis mamalia tidak ditemukan pada semua kawasan sampel. Dari hasil pemantauan dapat dilihat bahwa kerapatan jenis aves tertinggi diduduki oleh virgin forest blok URKT 215. Hal ini menunjukan bahwa lamanya pemulihan kawasan setelah penebangan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kerapatan jenis fauna yanga ada. (lihat grafik 27) Fauna Aves (N/ha) Grafik 27. Perbandingan kerapatan jenis (N/ha) fauna aves pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27) Blok sampel dengan keanekaragaman jenis tertinggi adalah virgin forest blok URKT 216 dengan nilai indeks Shannon Wiener (H ) sebesar 2,24 diikuti oleh LOA blok 22 (2,1), LOA blok 25 (2,3), LOA blok 27 (1,82), LOA blok 23 (1,66), sedangkan blok dengan ragam jenis terendah adalah LOA blok 26 dengan indeks Shannon Wiener sebesar 1,63.
13 Semua blok sampel memiliki nilai H 1 yang menandakan bahwa semua kawasan sampel memiliki tingkat keragaman jenis yang tinggi (lihat grafik 28). H' Grafik 28. Perbandingan keanekaragaman jenis Shannon Wiener (H ) pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Jenis fauna yang mendominasi seluruh areal sampel adalah jenis-jenis fauna aves dengan INP tertinggi diisi oleh tiga jenis fauna aves yaitu cekakak rimba, nuri pipi merah, dan sikatan kilap. Cekakak rimba (Halcyon macleayii) menjadi jenis dominan pada LOA blok 24, nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi) menjadi jenis dominan pada virgin forest blok URKT 216. Sedangkan sikatan kilap (Myiagra alecto) menjadi jenis dominan pada blok sampel LOA blok 23, 25, 26, dan 27. Cekakak rimba termasuk jenis fauna dilindungi PP 7 tahun 1999 dan masuk ke dalam Red List IUCN dengan status Kurang Diperhatikan (Least Concern), sedangkan jenis nuri pipi merah termasuk jenis fauna yang masuk Apendix CITES dan masuk ke dalam Red List IUCN dengan status Kurang Diperhatikan (Least Concern), sedangkan jenis sikatan kilap jenis fauna yang Red List IUCN dengan status Kurang Diperhatikan (Least Concern), (lihat grafik 29) INP cekakak rimba nuri pipi merah sikatan kilap Grafik 29. Perbandingan Nilai Indek Penting (INP) pada virgin forest Blok URKT 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27).
14 Axis Title Hasil pemantauan menunjukkan bahwa berdasar kategori guild pakan, jenis fauna aves yang ditemukan didominasi oleh jenis burung yang memiliki guild pakan Carnivoraus, Frugivoros, Granivorous, Insectivorous, Nectarivorous, dan Omnivorous (lihat grafik 3) Carnivorous Frugivorous Granivorous Insectivorous Nectarivorous Omnivorous Grafik 3. Perbandingan kerapatan jenis fauna aves (N/ha) berdasar kriteria guild pakan pada virgin forest Blok 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Jenis Fauna Dilindungi Jenis fauna dilindungi oleh PP No. 7 tahun 1999 yang ditemukan di lapangan adalah 8 jenis burung dari 5 famili. Lokasi sampel dengan jumlah jenis terbesar untuk fauna dilindungi adalah LOA blok 24 dan 25 yaitu ditemukan sebanyak 5 jenis, sedangkan blok sampel dengan jumlah jenis terkecil untuk fauna dilindungi adalah LOA blok 23, 26, dan 27 yaitu ditemukan sebanyak 3 jenis (lihat grafik 31). Jika ditinjau dari sisi kelimpahan individu jenis fauna dilindungi, LOA blok 26 dan virgin forest blok URKT 216 adalah lokasi sampel dengan kelimpahan individu tertinggi yaitu mencapai 25 ekor. Sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada LOA blok 27 yaitu sebanyak 9 ekor (lihat grafik 32)
15 Grafik 31. Perbandingan Jumlah jenis (N) fauna dilindungi pada virgin forest Blok 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27) Grafik 32. Perbandingan Jumlah jenis (N) fauna dilindungi pada virgin forest Blok 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). Berdasar Laporan Identifikasi NKT PT. BUMWI, terdapat 5 jenis spesies yang masuk ke dalam daftar Appendix CITES yaitu 4 jenis burung yang terdiri dari famili Psittacidae (Nuri pipi merah dan kakatua koki), famili Accipitridae (Elang bondol), dan Famili Bucerotidae (julang papua) serta 1 jenis reptilia biawak (famili Varanidae). Keempat dari lima jenis tersebut ditemukan seluruhnya pada virgin forest blok 216, sedangkan pada blok lainnya ditemukan dengan jumlah yang bervariasi (lihat grafik 33). Jika ditinjau dari kelimpahan individu, blok sampel dengan jumlah individu tertinggi terdapat pada virgin forest blok 216 yaitu sebanyak 29
16 ekor, sedangkan jumlah individu terendah terdapat pada LOA blok 24 yaitu sebesar 2 ekor (lihat grafik 34) Grafik 33. Perbandingan Jumlah jenis (N) fauna dilindungi pada virgin forest Blok 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27) Grafik 34. Perbandingan Jumlah jenis (N) fauna dilindungi pada virgin forest Blok 216 dan LOA (Blok 23, 24, 25, 26, 27). 2. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) 1. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa areal KPPN berada dalam kondisi baik. Penutupan kawasan dan kondisi vegetasi pada areal KPPN terjaga dengan baik berada dalam kondisi utuh serta tidak mendapatkan gangguan dari pihak luar. Ragam jenis flora yang ada merupakan representasi hutan mangrove di areal PT. BUMWI dan keanekaragaman jenis fauna yang ditemukan tergolong tinggi dengan besaran indeks Shannon Wiener (H ) sebesar 2.9. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengelolaan terhadap areal KPPN terindikasikan BAIK. 2. Hasil pemantauan untuk jenis flora menunjukkan bahwa pada areal KPPN terdapat 9 jenis flora mangrove mayor dari 4 famili. a. Tidak terdapat jenis flora yang dilindungi oleh PP No. 7 tahun 1999 dan tidak terdapat jenis yang masuk dalam Appendix CITES.
17 b. Terdapat 1 jenis flora yang telah masuk kriteria Near Thereatened (Hampir Terancam) pada IUCN Red List ver yaitu eriops decandra. 3. Hasil pemantauan untuk jenis fauna menunjukkan bahwa pada areal KPPN terdapat 11 jenis burung dari 6 famili. Jumlah individu fauna yang ditemukan adalah sebayak 41 individu satwa burung. a. Terdapat 7 jenis fauna yang dilindungi oleh Pemerintah RI berdasar PP No 7 tahun Seluruhnya merupakan jenis fauna burung yang berasal dari 3 famili dengan jumlah total 3 ekor. b. Terdapat 2 jenis fauna yang masuk kedalam Appendix CITES. Jumlah total individu fauna yang masuk dalam Appendix CITES adalah sebayak 5 ekor. c. Tidak terdapat jenis fauna yang tergolong kategori terancam pada IUCN Red List v 3.1 tahun dari 11 jenis spesies yang ditemukan hanya bersetatus kurang diperhatikan (Least Concern). 3. Kantong Satwa 1. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa tutupan lahan serta keutuhan kawasan Kantong Satwa berada dalam kondisi baik dan tidak megalami gagguan dari pihak luar. Keanekaragaman jenis fauan yang ditemukan pada kawasan Kantong Satwa tinggi (indeks H sebesar 3.5). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengelolaan terhadap kawasan Kantong Satwa terindikasikan BAIK. 2. Hasil pemantauan untuk jenis fauan menunjukkan bahwa pada kawasan Kantong Satwa terdapat 26 burung dari 21 famili dan 2 jenis reptilia dari 2 famili dan 1 jenis mamalia. Jumlah individu satwa yang ditemukan adalah sebanyak 169 individu meliputi 162 ekor burung 2 ekor reptilia 5 ekor mamalia. a. Terdapat 8 jenis fauna yang dilindungi oleh pemerintah RI berdasar PP No. 7 tahun 1999 yang terdiri dari 8 jenis burung dari 4 famili. Jumlah total individu fauna yang dilindungi adalah sebanyak 43 ekor. b. Terdapat 5 jenis fauan yang masuk ke dalam Appendix CITES yaitu 4 jenis burung dari 3 famili dan 1 jenis reptilia. Jumlah total individu fauan yang masuk ke dalam Appendix CITES adalah sebanyak 32 ekor burung dan 1 jenis reptilia. c. Tidak terdapat jenis fauna yang tergolong kategori terancam pada IUCN red list 212. Semua spesies yang ditemukan hanya bersetatus Kurang Diperhatiakan (Least concern).
18 3. Hasil pemantauan untuk jenis flora menunjukkan bahwa pada kawasan Kantong Satwa terdapat 8 jenis flora mangrove dari 4 famili. Tidak terdapat jenis yang dilindungi baik oleh PP No. 7 tahun 1999, Appendix CITES, maupun red list IUCN. 4. Fauna maskot Kus-kus pohon (Phalanger orientalis) pada pemantaun tahun ini tidak terlihat oleh tim kelola lingkungan. 4. Pemantauan Tanah dan Air 1. Kecenderungan kadar ph pada ketiga blok areal bekas tebangan cenderung mendekati kadar ph netral (ph 7). Rerata nilai ph dari seluruh titik sampel pada areal bekas tebangan adalah sebesar 6.64 sedangkan rerata nilai ph dari seluruh titik sampel pada virgin forest adalah sebesar Pada sub komponen tanah, tidak terdapat pola kecenderungan penurunan permukaan tanah yang konsisten pada areal bekas tebangan. Pada beberapa titik sampel di areal bekas tebangan justru ketebalan tanahnya lebih besar dibanding virgin forest di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penebangan dan penyaradan kayu yang dilakukan pada hutan mangrove tidak memberikan dampak besar pada sub komponen tanah mengingat kegiatan eksploitasi yang dilakukan hanya menggunakan tenaga manusia tanpa mobilisasi alat berat. 3. Hasil perhitungan pemunduran garis pantai di Blok RKT 21 pada pemantauan tahun 215 adalah 1.42 cm pertahun, sedangkan pada data pemunduran garis pantai di Blok RKT 29 perhitungan pemunduran garis pantai pada pemantauan tahun 215 adalah m pertahun
MONITORING LINGKUNGAN
MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan
Lebih terperinciMONITORING LINGKUNGAN
MONITORING LINGKUNGAN Monitoring atau pemantauan lingkungan yang diimplementasikan oleh PT. BUMWI, dilakukan terhadap 4 (empat) komponen lingkungan yang terkena dampak yaitu meliputi komponen Kawasan Bernilai
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,
16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja
Lebih terperinciVI. SIMPULAN DAN SARAN
135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.
Lebih terperinciLAMPIRAN. Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan
LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan tingkat salinitas di Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan
29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi
BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai
METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2010.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan
Lebih terperinciII. METODOLOGI. A. Metode survei
II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi
Lebih terperinciANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT
ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi
Lebih terperinciPENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF
PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PT Inhutani II adalah BUMN Holding Kehutahan di luar Jawa, dengan aktivitas bisnis utama meliputi pengusahaan hutan alam, pengusahaan hutan tanaman,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal
Lebih terperinciSTRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN
STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura
12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak
Lebih terperinciPENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1
PENDAHULUAN PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI) adalah merupakan salah satu perusahaan pengusahaan hutan yang mengelola hutan bakau (mangrove). Dan seperti diketahui bahwa, hutan mangrove
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk
Lebih terperinciMETODOLOGI. Lokasi dan Waktu
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis
Lebih terperinciB III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.
B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional
Lebih terperinciStruktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage
Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten pemekaran baru dari
xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten pemekaran baru dari Kabupaten Merauke di Propinsi Papua sesuai dengan Undang-Undang nomor 26 Tahun 2002
Lebih terperinciKOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM
KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar
Lebih terperinciANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR
ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR Bernhard Katiandagho Staf Pengajar Akademi Perikanan Kamasan Biak-Papua, e-mail: katiandagho_bernhard@yahoo.com ABSTRAK
Lebih terperinci:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012
ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA
Lebih terperinciKERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM
KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan
Lebih terperinciAnalisis Vegetasi Hutan Alam
Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
Lebih terperinciPenelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia
Lebih terperinci1. Pengantar A. Latar Belakang
1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah
Lebih terperinciMATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove
6 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian a. Materi Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove pada area restorasi yang berbeda di kawasan Segara
Lebih terperinciStruktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara
Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Amna dajafar, 2 Abd Hafidz Olii, 2 Femmy Sahami 1 amanjadjafar@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,
Lebih terperinciGambar 2 Peta lokasi penelitian.
0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Tropis di dunia, walaupun luas daratannya hanya 1.32% dari luas daratan di permukaan bumi, namun demikian
Lebih terperinciLaporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal
Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT
KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang
Lebih terperinciSTRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG
STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG Nanang Herdiana, E. Martin, B. Winarno, A. Nurlia dan
Lebih terperinciProses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian
4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada
27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada
Lebih terperinciBAB III. METODE PENELITIAN
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar
Lebih terperinciHASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN)
HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN) 1. Kerapatan Kerapatan Jenis yang ditemukan pada kondisi hutan, 10 tahun setelah, sebelum dan setelah. ( RKT 2005) Kerapatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki
Lebih terperinciDAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi ABSTRAK... xiii ABSTRACT... xiv BAB
Lebih terperinciKOMPOSISI VEGETASI HUTAN MANGROVE DI PANTAI MOJO KECAMATAN ULUJAMI KABUPATEN PEMALANG PROVINSI JAWA TENGAH
KOMPOSISI VEGETASI HUTAN MANGROVE DI PANTAI MOJO KECAMATAN ULUJAMI KABUPATEN PEMALANG PROVINSI JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciREPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI
REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA
KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,
Lebih terperinciKERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)
1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Lebih terperinciANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI
ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu
Lebih terperinciBaharinawati W.Hastanti 2
Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian
Lebih terperinciE ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :
PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,
Lebih terperinciAnalisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara
Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Laila Usman, 2 Syamsuddin, dan 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 laila_usman89@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Lebih terperinciI. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).
I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang
Lebih terperinciRENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA
RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN 2010 2019 PT. TELAGABAKTI PERSADA I. MAKSUD & TUJUAN Maksud penyusunan rencana pengelolaan PT. Telagabakti Persada adalah untuk memanfaatkan hutan alam secara lestari
Lebih terperinciV. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung
Lebih terperinci