II. TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme."

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pariwisata adalah segala hal yg berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme. Berpariwisata berarti melancong; bertamasya. Pariwisata adalah industri gaya baru yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, penghasilan, taraf hidup, dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Pariwisata juga merupakan sektor yang kompleks, meliputi industri-industri dalam arti yang klasik, seperti misalnya industri kerajinan tangan dan industri cenderamata. Penginapan dan transportasi secara ekonomi juga dipandang sebagai industri (Wahab, 1992). Selanjutnya Wahab (1992) menjelaskan pariwisata sebagai suatu gejala yang terwujud dalam beberapa bentuk. Pertama, menurut jumlah orang yang bepergian, terdiri dari pariwisata individu dan pariwisata rombongan. Kedua, menurut maksud bepergian, terdiri dari pariwisata rekreasi atau pariwisata santai, pariwisata budaya, pariwisata pulih sehat, pariwisata sport, dan pariwisata temu wicara. Ketiga, menurut alat transportasi, terdiri dari pariwisata darat, tirta, dan dirgantara. Keempat, menurut letak geografis, terdiri dari pariwisata domestik nasional, pariwisata regional, dan pariwisata internasional. Kelima, menurut umur, terdiri dari pariwisata remaja dan dewasa. Keenam, menurut jenis kelamin terdiri dari pariwisata pria dan wanita. Ketujuh, menurut tingkat harga dan tingkat sosial terdiri dari pariwisata taraf lux, menengah, dan jelata. Menurut Wardiyanta (2006), pengembangan pariwisata di suatu tempat dapat menimbulkan implikasi yang beragam, mulai dari yang positif, yakni 23

2 menguntungkan sampai yang negatif, yakni merugikan. Hal ini dapat menjadi sumber permasalahan penelitian pariwisata yang potensial. Oleh karena keberadaannya memiliki banyak dimensi, maka untuk dapat memahaminya secara menyeluruh dapat menggunakan berbagai pendekatan ilmu, antara lain manajemen, sosiologi, sejarah, politik, antropologi, psikologi, lingkungan, hukum, dan lain-lain. Terdapat sepuluh pendekatan yang digunakan dalam penelitian pariwisata, yaitu pendekatan institusional, pendekatan produk, pendekatan historis, pendekatan manajerial, pendekatan ekonomis, pendekatan sosiologis, pendekatan hukum, pendekatan geografis, pendekatan budaya, dan pendekatan interdisipliner Permintaan Wisata Unsur-unsur penting dalam permintaan wisata menurut Damanik dan Weber (2006) adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata. Basis utamanya adalah ketersediaan waktu dan uang pada kelompok tersebut. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial wisata. Permintaan potensial ini harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata. Pengambilan keputusan berlangsung secara bertahap, mulai dari tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai keputusan itu sendiri. Masingmasing fase ini mempunyai kegiatan yang spesifik. Faktor kepribadian, daya tarik ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata), ketersediaan sumberdaya, jarak dan kondisi lingkungan wisata, semuanya ikut menentukan keputusan tersebut. Namun, terkadang dalam beberapa kasus diketahui bahwa keputusan wisatawan untuk berwisata kerap kali tidak terpengaruh oleh jarak obyek wisata dengan tempat tinggal (Ross, 1994). 24

3 2.1.2 Penawaran Wisata Elemen penawaran wisata sering disebut sebagai triple A s yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Secara singkat atraksi dapat diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan. Atraksi dapat dibagi menjadi tiga, yakni alam, budaya, dan buatan. Atraksi alam meliputi pemandangan alam, udara sejuk dan bersih, hutan perawan, sungai, gua, dan lain-lain. Singkatnya, pemandangan alam, kekayaan flora dan fauna. Atraksi budaya meliputi peninggalan sejarah seperti candi dan adat-istiadat masyarakat. Adapun atraksi buatan dapat dimisalkan Kebun Raya Bogor, Taman Safari, Taman Margasatwa Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Disneyland, dan sebagainya. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitally, yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya (Damanik dan Weber, 2006). Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep, 1994) dalam (Damanik dan Weber, 2006). Lebih lanjut Damanik dan Weber menjelaskan bahwa amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha persewaan (rental), penerbit dan penjual buku panduan wisata, seni pertunjukan (teater, bioskop, pub, dan lainlain) dapat digolongkan ke dalam bagian ini. Pariwisata rekreasi adalah pariwisata yang maksud kepergiannya untuk memulihkan kemampuan fisik dan mental setiap peserta wisata dan memberikan 25

4 kesempatan rileks bagi mereka dari kebosanan dan keletihan kerja selama di tempat rekreasi (Wahab, 1992). Pariwisata rekreasi lebih ke arah mencari hiburan. Soekadijo (2000) menjelaskan bahwa untuk menjalani hidupnya menurut alam, manusia dibekali dengan kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, yang dapat diklasifikasikan menjadi kebutuhan fisik, psikis, dan sosial. Kebutuhan fisik itu antara lain makan, dan minum, beristirahat, kesehatan, mandi, dan sebagainya. Diantara kebutuhan psikis dapat disebut hasrat ingin tahu, hasrat untuk menyelidiki, kebosanan yang menimbulkan keinginan untuk mencari kesenangan, dan lainnya. Mengenai kebutuhan sosial, Plato sudah mengatakan bahwa manusia itu suatu zoon politicon, makhluk sosial dengan hasrat untuk berkawan dan yang hanya dapat mencapai kesempurnaannya dalam pergaulan dengan sesama manusia. Manusia merasa perlu atau merasa terdorong untuk mengadakan perjalanan ke suatu tempat dimana hasratnya secara konkret diharapkan akan dapat dipenuhi. Hasrat pembawaan dalam bentuknya yang konkret, yang berupa keperluan atau dorongan atau alasan tertentu itulah yang dimaksud dengan motif perjalanan atau motif wisata. Sudah tentu motif perjalanan itu berbeda menurut tingkat kebudayaan orang yang mengadakan perjalanan. Makin tinggi kebudayaannya, makin beraneka ragam kebutuhan orang dan makin beraneka ragam pula motif perjalanannya. Sedangkan apa yang diharapkan akan dapat memenuhi keperluan atau motif itu disebut atraksi wisata (Soekadijo, 2000). 2.2 Konservasi Eksitu Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi dijelaskan bahwa konservasi eksitu adalah konservasi tumbuhan dan atau satwa yang dilakukan di luar habitat alaminya. 26

5 Muntasib (2003) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk konservasi eksitu antara lain kebun binatang, kebun raya, arboretum, taman hutan raya, taman safari, kebun botani, taman burung, taman kupu-kupu, dan berbagai penangkaran satwa. Konservasi eksitu dimaksudkan untuk ikut mendorong pengembangan konservasi flora dan fauna dengan cara : 1. Pada periode tertentu flora dan fauna hasil konservasi eksitu dapat dilepaskan kembali ke habitat alaminya untuk memelihara jumlah dan variabilitas genetik (terpeliharanya keanekaragaman genetik) di dalam populasinya di alam atau biasa disebut restocking. 2. Hasil-hasil penelitian dari populasi eksitu dapat memberikan manfaat sebagai dasar-dasar biologi untuk menentukan strategi atau upaya-upaya konservasi baru. 3. Populasi eksitu dapat digunakan untuk atraksi satwa, seperti di kebun binatang atau taman safari. 4. Hasil pengembangan populasi di kawasan konservasi eksitu dapat digunakan untuk berbagai keperluan penelitian sehingga tidak perlu mengganggu populasi di alam. 5. Kawasan konservasi eksitu juga dapat digunakan sebagai tempat atau media pendidikan dan penelitian bagi masyarakat. Selanjutnya Muntasib (2003) juga menjelaskan meskipun konservasi eksitu memberikan manfaat dalam membantu perlindungan jenis, namun ada beberapa keterbatasan/kekurangan jika dibandingkan dengan konservasi insitu, yaitu : 1. Ukuran populasi dalam kawasan konservasi eksitu biasanya terbatas. 2. Variasi genetis (keanekaragaman genetis) terbatas karena populasi yang kecil. 27

6 3. Kemampuan spesies (jenis) agar tetap bertahan hidup berkurang karena biasanya segala kebutuhan hidupnya tersedia sehingga tidak ada kemampuan mencari (berjuang) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 4. Mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan buatan sehingga ketika dilepas ke alam yang sebenarnya maka daya hidupnya sangat menurun. 5. Biasanya terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu saja, sehingga lebih tahan terhadap gangguan dan mudah terancam akan perubahan atau tekanan lingkungan 6. Untuk menjaga keberlanjutan konservasi eksitu, maka diperlukan dana dan biaya yang besar, fasilitas yang memadai, dan tenaga terlatih. Ketiga hal tersebut seringkali menjadi masalah utama pelaksanaan konservasi eksitu, terutama biaya pengelolaannya yang sangat besar. 2.3 Kebun Binatang Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi menjelaskan bahwa kebun binatang adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama sebagai lembaga konservasi yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis satwa berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa dalam rangka membentuk dan mengembangkan habitat baru, sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis melalui kegiatan penyelamatan, rehabilitasi dan reintroduksi alam dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1977), kebun binatang adalah satu-satunya tempat dimana penduduk kota dapat menyaksikan satwa liar dan 28

7 segala aspek hidupnya, misalnya bentuk dan tingkah lakunya, (etologi), termasuk kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan terhadap satwa tersebut yaitu penelitian dan studi-studi. Dengan demikian, kebun binatang merupakan sarana penghubung satu-satunya antara masyarakat dan satwa liar. Kebun binatang menurut peragaannya dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu bentuk manageri, bentuk peragaan satwa yang di tempatkan disuatu tempat/kurungan atau ruang yang berpagar, dan bentuk taman margasatwa. Bentuk manageri berupa kumpulan satwa yang ditempatkan dalam kurungan sempit, bentuk ini sudah tidak digunakan lagi sedangkan bentuk taman margasatwa mempertontonkan satwa pada keadaan mendekati habitat alaminya dan diusahakan menurut jenis satwanya. Fungsi kebun binatang dalam SK Dirjen Kehutanan No. 20/Kpts/DJ/1978 adalah untuk perlindungan dan pelestarian satwa liar, sarana pendidikan dan penelitian ilmiah, sarana rekreasi dan hiburan alamiah. Tugas pokok kebun binatang antara lain melakukan penangkaran satwa liar untuk menghindari kepunahan, memperagakan binatang untuk kepentingan pendidikan budaya ilmiah, penelitian, dan rekreasi, serta memberi pelayanan kepada pengunjung dan menjaga keamanan serta keselamatannya. Salah satu landasan yuridis teknis pemanfaatan sumberdaya alam pada umumnya atau satwa pada khususnya adalah Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menegaskan antara lain: (1) Sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 10 ayat 1), dan (2) Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam yang 29

8 menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumberdaya terbaharui menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1, ayat 11). 2.4 Taman Margasatwa Taman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah tempat untuk bersenang-senang. Margasatwa menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memiliki arti perlindungan terhadap binatang liar yang perlu dilestarikan keberadaannya. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi menjelaskan bahwa taman satwa adalah kebun binatang yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan terhadap jenis satwa yang dipelihara berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat. Peragaan yang dilakukan di dalam taman margasatwa bertujuan untuk mengusahakan suatu keadaan lingkungan yang mendekati keadaan habitat alamiahnya. Kebun binatang di dunia pada masa sekarang ini lebih mengarah kepada bentuk taman margasatwa. Hal ini disebabkan karena tuntutan kebutuhan yang lebih modern untuk lebih meningkatkan fungsi kebun binatang. Kriteria taman satwa dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi meliputi : a. Koleksi satwa yang dipelihara sekurang-kurangnya 2 kelas, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang dan atau 30

9 ketentuan Convention of International Trade on Endangered Spesies of Flora Fauna (CITES) b. Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar c. Memiliki ketersediaan sumber air dan pakan yang cukup d. Memiliki sarana pemeliharaan satwa, antara lain: kandang pemeliharaan, kandang perawatan, kandang karantina, kandang pengembangbiakan/ pembesaran dan prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain e. Memiliki Kantor Pengelola dan sarana pengelolaan pengunjung f. Tersedia tenaga kerja sesuai bidang keahliannya antara lain tenaga medis, ahli biologi konservasi, kurator, perawat, dan tenaga keamanan 2.5 Badan Layanan Umum (BLU) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, pada Bab I Pasal 1 Ayat 1 tentang Ketentuan Umum dijelaskan bahwa Badan Layanan Umum (BLU), adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur 31

10 dalam Peraturan Pemerintah ini sebagai pengecualian dan ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah yang sama, pada Bab IV tentang Standar dan Tarif Layanan bagian pertama tentang Standar Layanan, Pasal 8 dijelaskan bahwa instansi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) menggunakan standar pelayanan minimum, yang ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya dengan mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Sedangkan pada bagian kedua tentang Tarif Layanan ayat 1 dijelaskan bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan, pada ayat 5 dijelaskan bahwa tarif layanan sebagaimana dimaksud harus mempertimbangkan: a. kontinuitas dan pengembangan layanan; b. daya beli masyarakat; c. asas keadilan dan kepatutan; dan d. kompetisi yang sehat Pengelolaan BLU dari sisi keuangan sangat terkait dengan sumber pendapatannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang sudah disebutkan di atas, pada Bab V bagian ketiga tentang Pendapatan dan Belanja, Pasal 14 Ayat 1 dijelaskan bahwa penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Ayat 2 menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional 32

11 BLU. Ayat 3 menjelaskan bahwa hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. Pendapatan pada ayat (2) dan (3) dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah. Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU menyatakan bahwa BLU adalah alat untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata sarana untuk mengejar fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat/publik dengan tarif/harga layanan yang terjangkau masyarakat dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif dapat diterapkan. Pengelolaan Keuangan BLU dengan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat. BLU harus dikelola secara profesional seperti bisnis, oleh karena itu, pegawai BLU harus tenaga profesional. Tenaga profesional ini bisa PNS maupun Non PNS. Komposisi jumlah PNS maupun Non PNS dalam suatu BLU dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Salah satu agenda reformasi keuangan negara menurut Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU adalah adanya pergeseran dari pengganggaran tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi pada output. Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran untuk menggunakan sumber daya pemerintah yang makin terbatas, tetapi tetap dapat memenuhi kebutuhan yang makin tinggi. BLU ini diharapkan dapat menjadi 33

12 langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan di sektor publik, sehingga mampu meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. 2.6 Penelitian Terdahulu Wibawa (2005) menganalisis permintaan wisata dan menduga surplus konsumen pengunjung Taman Margasatwa Ragunan menggunakan pendekatan kontingensi. Diperoleh hasil bahwa jumlah rata-rata kesediaan membayar pengunjung TMR dengan asumsi kualitas lingkungan yang lebih baik adalah Rp 8.240,00/orang/tahun. Nilai total kesediaan membayar dari seluruh pengunjung sebesar Rp ,00 pertahun. Nilai total menunjukkan besarnya nilai manfaat rekreasi TMR berdasarkan kesediaan membayar pengunjung. Surplus konsumen yang terbentuk pada kondisi TMR yang lebih baik kualitasnya pada harga tiket Rp 3.000,00/orang adalah Rp ,00/ tahun dengan rata-rata Rp 5.100,00/orang. Surplus konsumen ini didapat dari selisih nilai manfaat rekreasi dan penerimaan yang diperoleh TMR dari hasil penjualan tiket dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Penelitian lainnya dilakukan oleh Zulkarnain (2001), yaitu mengenai karakteristik pengunjung dan pendugaan permintaan rekreasi di Kebun Binatang Ragunan. Umumnya, pengunjung yang datang adalah laki-laki (65,15%), dengan kisaran umur terbanyak berada pada selang tahun (57,58%). Sebagian besar berasal dari daerah Jakarta Selatan (49,93%) dan Botabek (24,24%). Tingkat pendidikan rata-rata adalah perguruan tinggi/akademi (48,48%), dan SLTA/sederajat (45,45%). Pekerjaan pokok pengunjung umumnya adalah pegawai swasta (50,00%), dengan pendapatan pokok terbanyak berkisar antara Rp 34

13 ,00-Rp ,00 perbulan (27,27%). Sebanyak 72,73 % dari total responden mengaku telah berkeluarga sedangkan selebihnya belum menikah. Model permintaan rekreasi dibentuk berdasarkan hasil regresi linear berganda terhadap delapan faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kunjungan wisata di lokasi Kebun Binatang Ragunan antara lain, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, status perkawinan, tempat tinggal, pendapatan, dan biaya rekreasi. Peubah yang berpengaruh nyata pada taraf 95% adalah pekerjaan pokok, status perkawinan, tempat tinggal, pendapatan pokok, dan biaya rekreasi rata-rata. Pada tahun 2006, Mulyani menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Pantai Carita Kabupaten Pandeglang. Karakteristik wisatawan di tempat wisata tersebut adalah kelompok muda (sebagian besar masih berumur 20 tahunan), dengan pekerjaan utama sebagai pegawai swasta dan pendapatan kurang dari Rp ,00 per tahun. Sebagian besar wisatawan di Pantai Carita berasal dari Jakarta dan tingkat pendidikan akhir SLTA. Umumnya responden merupakan bagian dari rombongan wisata teman dengan jumlah rombongan yang bervariasi. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kawasan Wisata Pantai Carita untuk responden yang tidak menginap adalah biaya perjalanan, pendapatan, jarak tempuh, dan pendapatan keluarga. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kawasan Wisata Pantai Carita untuk responden yang menginap adalah biaya perjalanan, biaya penginapan, tingkat pendidikan, waktu luang, jumlah rombongan, jarak tempuh, dan daya tarik. 35

14 Selanjutnya Dewi (2005) di dalam skripsinya dengan judul Fungsi Permintaan Taman Safari Indonesia (TSI) dengan Metode Biaya Perjalanan, memperoleh hasil bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, berumur tahun, berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan pegawai swasta dengan pendapatan diatas Rp 12 juta per tahun dan berasal dari daerah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung berkisar antara Rp ,00-Rp ,00 per orang per kunjungan. Sebagian besar pengunjung mengeluarkan biaya perjalanan antara Rp ,00-Rp ,00 per orang per kunjungan (43,48%). Biaya perjalanan total dari 92 responden sebesar Rp ,00 per kunjungan, dengan komponen biaya terbesar adalah biaya transportasi yaitu Rp ,00 (36,37% dari total biaya perjalanan). Biaya transportasi per orang sebesar Rp ,00. 36

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN DAN OPTIMASI HARGA TIKET TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA FACHRUNNISA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN DAN OPTIMASI HARGA TIKET TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA FACHRUNNISA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN DAN OPTIMASI HARGA TIKET TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA FACHRUNNISA DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebun binatang (sering disingkat bonbin, dari kebon binatang) atau

BAB I PENDAHULUAN. Kebun binatang (sering disingkat bonbin, dari kebon binatang) atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebun binatang (sering disingkat bonbin, dari kebon binatang) atau taman margasatwa adalah tempat hewan dipelihara dalam lingkungan buatan, dan dipertunjukkan kepada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi. Keanekaragaman makhluk hidup yang menjadi kekayaan alam Indonesia ini dimungkinkan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG Menimbang : MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009).

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, pasal

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling.

BAB II URAIAN TEORITIS. yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling. BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pariwisata Kata Pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa keanekaragaman flora, fauna dan gejala alam dengan keindahan pemandangan alamnya merupakan anugrah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa jenis tumbuhan dan satwa liar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata

BAB I PENDAHULUAN. kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata pariwisata berasal dari kata bahasa sangskerta yang terdiri atas dua kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata berarti

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 Tentang : Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 18 TAHUN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Perkembangan Wisatawan Nusantara pada tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Perkembangan Wisatawan Nusantara pada tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tentang kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki

1. PENDAHULUAN. Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan (nusantara) yang terdiri dari 17.508 pulau Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki karakteristik

Lebih terperinci

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang turut mengembangkan perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN I. UMUM Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan berupa sumber daya yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan wisata bagi rombongan study tour anak-anak PAUD (Pendidikan Anak

BAB I PENDAHULUAN. tujuan wisata bagi rombongan study tour anak-anak PAUD (Pendidikan Anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebun Binatang merupakan tempat wisata favorit bagi semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Kebun Binatang biasanya menjadi tujuan wisata bagi rombongan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. npembangunan nasional. Hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat

BAB I PENDAHULUAN. npembangunan nasional. Hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhatikan dalam kancah npembangunan nasional. Hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat dijadikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 18 Tahun 1994

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 18 Tahun 1994 PERATURAN PEMERINTAH Nomor 18 Tahun 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL,TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata, untuk sebagian negara industri ini merupakan pengatur dari roda

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata, untuk sebagian negara industri ini merupakan pengatur dari roda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu negara pada saat ini lebih fokus berorientasi kepada industri non migas seperti industri jasa yang didalamnya termasuk industri pariwisata,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan dunia pariwisata dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembangunan suatu daerah. Pengembangan

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil analisis dari studi yang dilakukan terhadap persepsi wisatawan terhadap Objek Wisata Batu Mentas, maka selanjutnya diuraikan kesimpulan dan rekomendasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PENETAPAN RAYON DI TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, TAMAN WISATA ALAM DAN TAMAN BURU DALAM RANGKA PENGENAAN

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

2 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

2 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 752, 2014 KEMENHUT. Penetapan Rayon. Taman Nasional. Taman Hutan Raya. Taman Wisata Alam. Taman Buru. PNBP. Pariwisata Alam. Penetapan Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata, wisata dan wisata alam Pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain yang bukan tempat tinggalnya dan menetap sementara waktu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang a. GUBERNUR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

DEFINISI- DEFINISI A-1

DEFINISI- DEFINISI A-1 DEFINISI- DEFINISI Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multi dimensional baik fisik, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

BAB I PENDAHULUAN. multi dimensional baik fisik, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh setiap daerah merupakan modal penting untuk meningkatkan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisata, sarana dan prasarana pariwisata. Pariwisata sudah berkembang pesat dan menjamur di

BAB I PENDAHULUAN. wisata, sarana dan prasarana pariwisata. Pariwisata sudah berkembang pesat dan menjamur di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata menjadi industri yang berpengaruh besar terhadap perkembangan dan kemajuan suatu daerah. Berkembangnya sektor pariwisata terlihat dari munculnya atraksi

Lebih terperinci

Pasal 68 UU no. 1 Tahun 2004

Pasal 68 UU no. 1 Tahun 2004 BADAN LAYANAN UMUM Dasar Hukum 1. UU no. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 2. PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 3. PP No. 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri Pariwisata merupakan salah satu sektor jasa yang menjadi unggulan di tiap-tiap wilayah di dunia. Industri Pariwisata, dewasa ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat menghasilkan pendapatan daerah terbesar di beberapa negara dan beberapa kota. Selain sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepariwisataan diperkirakan mengalami perkembangan dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepariwisataan diperkirakan mengalami perkembangan dan mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepariwisataan diperkirakan mengalami perkembangan dan mempunyai nilai tinggi dalam kehidupan manusia. Potensi wisata dalam perkembangan pariwisata sebuah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak ragam pariwisata dan budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari tempat wisata dan objek wisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka percepatan pembangunan daerah, salah satu sektor yang menjadi andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. Pariwisata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, menyebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang

Lebih terperinci

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap.

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap. Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap. Bersyukurlah, tanah kelahiran kita Cilacap Bercahaya dianugerahi wilayah dengan alam yang terbentang luas yang kaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 1996 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 1996 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 1996 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan pengembangan kepariwisataan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 14 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1. Sejarah dan Status Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu telah dikunjungi wisatawan sejak 1713. Pengelolaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembiayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Kebutuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Metode Shift Share Metode shift share digunakan dalam penelitian ini untuk melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau keinginan dalam memenuhi kelangsungan hidupnya. Manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

IZIN USAHA JASA PARIWISATA

IZIN USAHA JASA PARIWISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA JASA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Pembangunan pariwisata mulai digalakkan, potensi potensi wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Pembangunan pariwisata mulai digalakkan, potensi potensi wisata yang BAB I PENDAHULUAN Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhatikan dalam kancah pembangunan skala nasional, hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat dijadikan sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Keberadaan primata di seluruh dunia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Degradasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas. memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas. memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya. Lautan merupakan barang sumber daya milik

Lebih terperinci