BAB I PENDAHULUAN. didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantaranya (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. 1 Makna perjanjian tersebut di atas juga ditegaskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menentukan, Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam hukum perjanjian dikenal perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena suatu perjanjian. 2 Perikatan yang lahir karena undang-undang, perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum yang muncul antara mereka sebagai akibat perbuatannya, justru dapat dikatakan pada Handi Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 2 Ibid., hal

2 2 umumnya salah satu pihak sama sekali tidak menghendaki akibat hukumnya. Lain halnya dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini lahir karena para pihak menghendakinya dan kehendak para pihak tersebut tertuju pada akibat hukum tertentu (yang dikehendaki para pihak), dengan kata lain munculnya perikatan bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian yang ditutup oleh para pihak. 3 Hubungan hukum di antara masing-masing pihak di dalam suatu perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) didasarkan pada kehendak atau kemauan dan kesukarelaan dari para pihak tanpa ada unsur paksaan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Begitu pula perjanjian arbitrase diperjanjikan antara kedua belah pihak secara sukarela, maka perjanjian arbitrase termasuk ke dalam perikatan yang lahir karena perjanjian. Frank Elkouri dan Edna Elkouri mengatakan arbitrase sebagai pilihan sukarela dari para pihak, dikatakannya, Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and binding. 4 Arbitrase merupakan pilihan secara sukarela, perikatan di dalam arbitrase lahir karena suatu perjanjian bukan lahir karena undang-undang. Faktor kesukarelaan masing-masing pihak merupakan landasan keabsahan suatu perjanjian arbitrase. 3 Ibid. 4 Frank Elkouri dan Edna Elkouri dalam Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 36.

3 3 Cara penyelesaian sengketa arbitrase dilaksanakan di luar peradilan umum (non litigasi). Jika para pihak telah terikat dalam perjanjian arbitrase maka pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak. 5 Bahkan eksistensi pilihan domisili Pengadilan Negeri setempat sekalipun bukan merupakan alasan bagi Pengadilan Negeri untuk mengambil kompetensi atau kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam perjanjian yang mengandung klausula arbitrase. 6 Dasar hukum penyelesaian sengketa arbitrase internasional secara umum dimuat dalam Konvensi New York Tahun 1958 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang telah 5 Ibid., hal. 37. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 3, dan Pasal 11 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, secara formil kewenangan penyelesaiannya jatuh pada forum arbitrase. Pasal 1 angka 1 menentukan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Pasal 3 menentukan: Pengadilan Negeri tidal berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 menentukan: (1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang temuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. 6 Sudargo Gautama, Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1991), hal

4 4 ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni Selain itu, khususnya di Indonesia dasar hukum penyelesaian sengketa arbitrase didasarkan pada Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (disingkat UUA dan APS). Pasal 1 angka 1 UUA dan APS menentukan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah sengketa yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Idealnya suatu perjanjian arbitrase menurut Priyatna Abdurrasyid mengharuskan perjanjian arbitrase itu harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis dianggap memadai karena menurutnya jika tidak dilakukan dengan perjanjian tertulis, maka para pihak akan menemui kesulitan. 8 Perjanjian arbitrase secara lisan tidak dapat ditegakkan, perjanjian arbitrase yang diakui hanya perjanjian tertulis. 7 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 407 dan hal Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958 ini telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasioal Indonesia-BANI, 2011), hal. 70.

5 5 Adanya perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa arbitrase ke pengadilan. 9 Bahkan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS menentukan perjanjian arbitrase harus dilakukan dibuat secara tertulis. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesulitan dalam pembuktian ada atau tidaknya suatu perjanjian di antara para pihak yang sedang bersengketa. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS tersebut berarti hakim pengadilan tidak dibenarkan oleh hukum secara serta merta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang diajukan salah satu pihak ke pengadilan. Artinya para pihak wajib menempuh penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan klausula apa yang diperjanjikan di dalam perjanjian arbitrase tersebut. Jika terdapat klausula di dalam perjanjian arbitrase menentukan pilihan hukum (choice of law) atau pilihan forum penyelesaian sengketa dengan menunjukkan pada suatu arbitrase tertentu, maka secara serta merta penyelesaian sengketa tersebut harus ditempuh melalui lembaga arbitrase yang ditunjuk dalam perjanjian arbitrase tersebut, bukan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Kekuatan mengikat para pihak dalam suatu perjanjian merupakan suatu pemenuhan terhadap azas kebebasan berkontrak (freedom of contract), yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan Frans Hendra Winarta, Loc. Cit. 10 Ricardo Simanjuntak, Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 44. Menurut Ricardo Simanjuntak, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) bukan berarti bebas

6 6 Asas-asas penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia sangat banyak macamnya diantaranya adalah asas-asas dalam kontrak yang dikenal menurut ilmu hukum perdata, yaitu: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (togoe dentrow) dan asas kepribadian (personality). 11 Argumentasi asasasas perjanjian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, karena dalam pilihan arbitrase yang dipilih antar para pihak adalah didasarkan pada kontrak/perjanjian. Menurut Priyatna Abdurrasyid, jika perjanjian dilakukan secara sukarela, maka ini berarti kedua belah pihak dalam suatu perjanjian sepakat untuk menyerahkan sengketa yang terjadi kepada lembaga arbitrase tertentu seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), The International Chamber of Commerce (ICC), International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), dan lain-lain 12 termasuk dalam hal ini dapat dipilih Singapore International Arbitrase Centre (SIAC). Azas kebebasan berkontrak terkandung di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan, Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Tentu saja agar berlaku secara sah dan mengikat ke dalam suatu perjanjian, maka asas kebebasan berkontrak yang diterapkan dalam membuat perjanjian harus berdampingan dengan azas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban umum, maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. 11 Ibid, hal Priyatna Abdurrasyid, Op. cit., hal. 73.

7 7 konsensualitas. Azas konsensualitas ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. 13 Asas konsensualitas sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan syarat-syarat sah suatu perjanjian yang menentukan ada 4 (empat) syarat-syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Suatu perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini, jika keempat syarat sudah dipenuhi, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Herlien Budionon mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak terikat pada bentuknya dan tidak pula secara formal tetapi cukup melalui konsensus saja. 14 Pokok masalah dalam sengketa arbitrase internasional ini adalah terkait dengan kerjasama usaha patungan (joint venture) yang telah disepakati dalam perjanjian yang bernama Subscription and Shareholders Agreement tertanggal 11 Maret 2005 (disingkat SSA) antara PT. Direct Vision dan Astro Group Malaysia (yang diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc., (salah satu Claimants SIAC) sedangkan PT. Ayunda Prima Mitra adalah pemegang saham PT. Direct Vision, di mana para pihak (Astro Group Malaysia dan PT. Ayunda Prima Mitra) tersebut telah sepakat melakukan investasi pada PT. Direct Vision dalam menyelenggarakan kegiatan di bidang jasa penyiaran televisi langganan berbasis satelit di Indonesia. 13 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian di Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal Ibid., hal

8 8 Dalam perkembangannya ternyata terjadi perselisihan antara Astro Group Malaysia (yang diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc, salah satu Claimants SIAC Nomor 062, di mana pihak Astro All Asia Networks Plc telah mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Arbitrase SIAC di Singapura pada tahun Arbitrase SIAC telah mengeluarkan Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 atas Sengketa SIAC Nomor 062, setelah dikeluarkannya Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 (putusan ini bertentangan dengan ketertiban umum). Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2009 telah dinyatakan non eksekuatur berdasarkan suatu keputusan berkekuatan hukum tetap (inckraht van gewijsde), karenanya Putusan SIAC Tahun 2009 tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur) di wilayah hukum Republik Indonesia (vide: Penetapan Non Eksekuatur PN Jakpus juncto Putusan MARI Nomor 01/2010), di mana telah ditegaskan dalam Putusan MARI Nomor 01/2010 sebagai berikut: Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas souvereignity dari Negara Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public order) di Indonesia. 15 Lebih lanjut Arbitrase Internasional SIAC yang berkedudukan di Singapura tersebut, mengeluarkan lagi 3 (tiga) putusan yaitu: Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia, hal Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia, hal

9 9 1. Putusan Further Partial Award tertanggal 3 Oktober 2009 (Putusan Partial Award); 2. Putusan Award on Cost For Ther Preliminary Hearing From April 2009 tertanggal 5 Februari 2010 (Putusan Preliminary Hearing); dan 3. Putusan Interim Final Award tertanggal 16 Februari 2010 yang telah diperbaiki dengan Memorandum of Correction Made Pursuant to Rule 28.1 of the SIAC Rules tertanggal 23 Maret 2010 (Putusan Final Award). Putusan Partial Award, Putusan Preliminary Hearing, dan Putusan Final Award di atas selanjutnya disebut sebagai Putusan-Putusan SIAC Ketiga Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 ini erat kaitannya dengan perkara a quo yang pada intinya memenangkan pihak Astro Group Malaysia (yang diwakili oleh Astro All Asia Networks Plc) dan menghukum PT. Direct Vision. Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 inilah yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) berdasarkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional Nomor 03/Pdt/Arb-Int/2010/PN.Jkt.Pst jo. Nomor 05/Pdt/Arb-Int/2009/PN.Jkt.Pst tertanggal 27 Mei 2010 (disebut Akta Pendaftaran Putusan-Putusan SIAC 2010). PT. Direct Vision mengajukan upaya atau permohonan penolakan agar majelis hakim PN Jakpus menolak upaya pelaksanaan (eksekuatur) dan tidak memberikan eksekuatur atas Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut. Namun upaya PT. Direct Vision mengajukan permohonan penolakan Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut tidak berhasil dan menyatakan gugatan PT. Direct Vision tidak dapat diterima baik di PN Jakpus maupun di Mahkamah Agung.

10 10 Pada saat yang bersamaan dengan upaya penolakan non eksekuatur oleh PT. Direct Vision, ternyata PT. Ayunda Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision) mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat kedelapan pihak Astro tersebut (Gorup Astro). Masalahnya mejalis hakim pada Mahkamah Agung menyatakan: 17 Tetapi Pemohon Kasasi/Penggugat justru membawa sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat Para Termohon Kasasi/telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat karena timbulnya perselisihan terkait pelaksanaan Perjanjian kerjasama usaha jelas telah bertentangan dengan perjanjian arbitrase. Padahal yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Astro Group Malaysia tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah PT. Ayunda Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision). Majelis hakim seolah-olah melihat upaya pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum dari PT. Ayunda Prima Mitra dan permohonan penolakan non eksekuatur dari PT. Direct Vision adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sama lain. Jadi dalam perkara ini telah terdapat fakta adanya silang sengketa antara PT. Ayunda Prima Mitra yang merupakan salah satu pemegang saham pada PT. Direct Vision di satu pihak, dengan perusahaanperusahaan yang terafiliasi atau tergabung dalam Astro Group Malaysia di pihak lain. Salah satu klausula dalam perjanjian yang bernama Subscription and Shareholders Agreement tanggal 11 Maret 2005 (disingkat SSA)) kedua belah pihak (PT. Direct Vision dan Astro Group Malaysia) telah sepakat, jika terjadi sengketa, 17 Ibid., hal. 50.

11 11 maka diselesaikan melalui SIAC yang berkedudukan di Singapura, lagi pula di dalam Pasal 3 UUA dan APS telah ditentukan larangan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Sementara itu PT. Direct Vision (Pemohon Kasasi/Penggugat) telah digugat oleh Astro Group Malaysia (Para Termohon Kasasi/Para Tergugat) di dalam forum SIAC bahkan SIAC telah menerbitkan Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 atas perselisihan para pihak dan PT. Direct Vision dalam perkara a quo dinyatakan sebagai pihak yang dihukum. Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) oleh Astro Group Malaysia tetapi belum dinyatakan eksekuatur oleh PN Jakpus. Tetapi pada kenyataannya PT. Direct Vision tetap saja mengajukan upaya permohonan penolakan (non eksekuatur) atas Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 yang telah didaftarkan tersebut di PN Jakpus. Jadi masalahnya pada saat yang bersamaan PT. Ayunda Prima Mitra mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan dalam perkara lain PT. Direct Vision mengajukan permohonan penolakan non eksekuatur terhadap Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 di PN Jakpus, yang pada prinsipnya objek perkara a quo dengan objek perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT. Ayunda Prima Mitra memiliki satu kesatuan yang bulat dan tidak dapat dipisahkan. Menurut eksepsi dari para tergugat seharusnya PT. Direct Vision menunggu terlebih dahulu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perbuatan melawan

12 12 hukum yang diajukan oleh PT. Ayunda Prima Mitra dan menunggu penetapan eksekuatur dari PN Jakpus. Jika diperhatikan secara seksama dari Pasal 65 s/d Pasal 69 UUA dan APS mengenai arbitrase internasional dan dari Pasal 70 s/d Pasal 72 UUA dan APS tentang Pembatalan Putusan Arbitrase tidak terdapat satu ketentuan pun yang mengatur sampai kapan dapat dilakukan upaya permohonan non eksekuatur oleh pihak yang dikalahkan. Memang ada ditentukan di dalam Pasal 71 UUA dan APS mengenai tenggang waktu tetapi tenggang waktu yang dimaksud bukan untuk pembatalan putusan arbitrase, bukan untuk arbitrase internasional, lagi pula bukan untuk penolakan (non eksekuatur) melainkan untuk pembatalan. Bisa dibaca Pasal 71 UUA dan APS yang menentukan, Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Ketentuan ini dari segi judulnya saja tidak tertuju pada permohonan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional tetapi tentang Pembatalan Putusan Arbitrase. Atas dasar pertimbangan yuridis inilah yang membuat posisi PT. Direct Vision tersudut dan terjepit dalam perkara a quo. Jika putusan atas gugatan perbuatan melawan hukum ini yang harus ditunggu oleh PT. Direct Vision baru dilakukannya permohonan penolakan non eksekuatur, maka sebenarnya suatu kesempatan hukum bagi PT. Direct Vision untuk membela haknya dengan menunggu Perkara Perdata

13 13 Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel agar berkekuatan hukum tetap lebih dulu baru dilakukan permohonan non eksekuatur. Maka wajar saja dalam perkara a quo majelis hakim PN Jakpus menolak permohonan non eksekuatur terhadap Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 tersebut karena adanya upaya pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Perkara Perdata Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel, sehingga belum ditetapkannya eksekuatur atas pendaftaran Putusan-Putusan SIAC Tahun 2010 dan tampak pula jawaban dari dari Astro Group Malaysia selalu mengatakan: 18 Faktanya adalah Putusan-Putusan SIAC 2010 dengan obyek perkara a quo tersebut baru pada tahap pendaftaran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana Akte Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional Nomor 03/Pdt/Arb-Int/2010/PN.Jkt.Pst. Jo. Nomor 05/Pdt/Arb-Int/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal 27 Mei Walaupun sudah didaftarkan oleh para tergugat tetapi belum ada penetapan eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Mahakamah Agung juga mengatakan permohonan non eksekuatur dari PT. Direct Vision tersebut tidak dapat diterima. Walaupun tidak secara tegas ditentukan dalam UUA dan APS mengenai permohonan penolakan pembatalan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri di Indonesia, tetapi dalam prakteknya selain sengketa tersebut di atas, ada beberapa kasus putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pendaftaran pembatalan dan penolakannya di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agunga, antara 18 Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, dalam Perkara Antara PT. Direct Vision melawan Astro Group Malaysia, hal. 18.

14 14 lain misalnya sengketa antara PT. Sumi Asih melawan Vinmar Overseas Ltd. 19 Sengketa antara PT. Sumber Subur Mas (PT. SSM) melawan Transpac Capital Pte. Ltd. dan Transpac Industrial Holdings dan lain-lain. Kedua contoh ini juga ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung RI. Menyangkut gugatan perusahaan dalam negeri oleh PT. Sumber Subur Mas (PT. SSM) untuk membatalkan putusan The Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) di PN Jakpus ditolak. Gugatan PT. SSM terhadap Transpac Capital Pte. Ltd., dan Transpac Industrial Holdings yang diputuskan oleh SIAC tersebut ditolak dengan pertimbangan hakim pada PN Jakpus tidak memiliki kompetensi mengadili. Majelis Hakim menerima eksepsi yang diajukan Transpac Capital Pte. Ltd. dan Transpac Industrial Holdings, terkait kompetensi absolut. Gugatan dalam sengketa ini hanya bisa diajukan di Pengadilan Singapura Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 268 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Sumi Asih (Penggugat) melawan Vinmar Overseas Ltd., dan The American Arbitration Association (AAA) diakses tanggal 12 April Ditulis oleh: Windarto, Salah Menggugat Putusan Arbitrase Internasional. Sengketa antara PT. SSM dengan Transpac Capital Pte. Ltd., berawal ketika PT. SSM gagal membayar kewajibannya sebesar US$12,2 juta kepada Transpac Capital Pte. Ltd yang disebabkan oleh krisis ekonomi menimpa Indonesia pada tahun PT. SSM memohon kepada Transpac Capital Pte. Ltd., untuk diadakan kesepakatan ulang dalam menyelesaikan utangnya. Kesepakatan tersebut disetujui Transpac Capital Pte. Ltd., dan dituangkan dalam Akta Perjanjian Penyelesaian Utang pada Oktober PT. SSM membayar kewajibannya secara bertahap, yaitu membayar Rp.2 Miliar beserta menyerahkan dua bidang tanah dan bangunan, dan membayar kembali sebesar Rp.8,7 miliar. Namun, setelah kesepakatan ulang PT. SSM lalai melakukan pembayaran lanjutan untuk melunasi utangnya. Karena itulah, Transpac Capital Pte. Ltd., melakukan upaya hukum ke SIAC yang berkedudukan di Singapura. Dalam akta perjanjian antara PT. SSM dengan Transpac Capital Pte. Ltd., ditentukan klausula, jika lalai membayar akan kembali ke perjanjian awal. Sedangkan dalam perjanjian awal menentukan bila terjadi sengketa akan diselesaikan di SIAC. Dalam penyelesaiannya, SIAC mengeluarkan putusan yang memerintahkan PT. SSM untuk membayar kewajibannya sebesar US$12,2 juta. Selain itu, SSM juga dihukum membayar bunga sebesar 8 % per tahun sejak pembayaran terakhir SSM Juni 2002 hingga pelunasan pembayaran. Tidak hanya itu, SSM juga diperintahkan membayar biaya arbitrase sebesar SIN$ dan US$18 Ribu.

15 15 Prinsip di dalam perjanjian adalah bahwa setiap para pihak masing-masing terbuka peluang untuk menuntut haknya, sehubungan dengan salah satu asas dalam perjanjian dengan asas separabilitas (severability) yang bersumber dari perjanjianperjanjian bertradisi common law. Menurut asas ini, tidak akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi batal atau klausula lain dalam perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, jika satu di antara klausula tersebut tidak dapat dilaksanakan. 21 Sehingga dalam perkara a quo (Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011) tidak ada alasan bagi PT. Direct Vision yang beranggapan tidak sah atau batal Subscription and Shareholders Agreement tanggal 11 Maret 2005 sehingga PT. Direct Vision lebih memilih Pengadilan Negeri Jakarta Selatan daripada SIAC. Asas separabilitas ini ternyata dianut di dalam Pasal 10 UUA dan APS, yang menentukan bahwa Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan keadaan: meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrse tersebut, dan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Gunawan Widjaja mengatakan terkait PT. SSM tidak mau menerima putusan SIAC tersebut begitu saja dengan tindakan yang dilakukan Transpac. PT. SSM menilai penyelesaian tersebut bertentangan dengan Akta Perjanjian Penyelesaian Utang yang telah disepakati para pihak yang salah satu klausula dalam akta itu menentukan, apabila terjadi sengketa diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena pertimbangan itulah PT. SSM mengajukan gugatan permohonan pembatalan arbitrase internasional SIAC tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetapi upaya tersebut justru tidak dapat dimohonkan pembatalannya kepada lembaga peradilan di Indonesia dengan alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusata tidak berwenang mengadili melainkan pengadilan Singapura. 21 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Arbitrase VS. Pengadilan Persoalan Kompetensi Absolut yang Tidak Pernah Selesai, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 17.

16 16 asas ini, Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok. 22 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dirasa penting dan menarik untuk dilakukan penelitian dengan menganalisis permasalahan mengenai aturan hukum yang berkenaan dengan kewenangan mengadili sengketa arbitrase internasional, kemudian menganalisis pertimbangan majelis hakim terhadap penolakan putusan arbitrase internasional, dan akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan pelaksanaan putusan yang diajukan oleh pihak PT. Direct Vision dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011. Sehingga dipilih, Analisis Yuridis Penolakan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 Dalam Perkara Antara PT. Direct Vision Melawan Astro Group Malaysia) sebagai judul di dalam tesis ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang tersebut di atas, bahwa sifat khusus arbitrase didasarkan pada perjanjian arbitrase, tetapi fakta menunjukkan bahwa masih terdapat pihak yang tidak tunduk pada perjanjian arbitrase dengan beralih memilih lembaga pengadilan secara sepihak, padahal pilihan terhadap lembaga pengadilan tidak ditentukan di dalam perjanjian arbitrase, maka dirumuskan permasalahan yang diteliti adalah: 22 Ibid.

17 17 1. Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur tentang penolakan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional? 2. Apa yang menjadi alasan-alasan majelis hakim menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011? 3. Bagaimanakah akibat hukum penolakan majelis hakim atas permohonan non eksekuatur putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan hukum yang mengatur tentang penolakan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan-alasan majelis hakim yang menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/ Untuk mengetahui akibat hukum penolakan majelis hakim atas permohonan non eksekuatur putusan arbitrase internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011.

18 18 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai berikut: 1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut serta menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang aspek hukum penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di pengadian Indonesia. 2. Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional lembaga peradilan (para hakim pengadilan) agar memahami secara mendalam tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bagi arbiter-arbiter agar dapat lebih mengetahui tentang penolakan putusan arbitrase internasional, bagi pelaku usaha dapat memahami pengaturan penolakan putusan arbitrase internasional, dan bagi masyarakat dapat memahami tentang aspek hukum penolakan putusan arbitrase internasional. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak plagiat dari hasil karya ilmiah pihak lain. Karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum. Dari hasil pemeriksaan diperoleh beberapa judul tesis, antara lain: 1. Tesis atas Novran Harisa, NIM: , dengan judul, Analisis Hukum Kewenangan Pengadilan Terhadap Putusan Arbitrase Internasional/Putusan

19 19 Arbitrase Jenewa (Studi: PT. Pertamina Vs Karaha Bodas Company). Fokus kajian permasalahan dalam penelitian ini menyangkut kewenangan pengadilan terhadap putusan arbitrase internasional dalam sengketa antara PT. Pertamina menggugat Karaha Bodas Company di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 2. Tesis atas nama Dedi Harianto, NIM: , dengan judul, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Forum Arbitrase Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Di Kota Medan. Fokus kajian permasalahan utama dalam penelitian ini menyangkut faktor-faktor dipilihnya forum arbitrase asing sebagai forum penyelesaian sengketa dalam kegiatan penanaman modal asing khususnya di Kota Medan. 3. Tesis atas nama Azwir Agus, NIM: dengan judul, Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Fokus kajian permasalahan dalam penelitian ini menyangkut upaya hukum keberatan terhadap putusan arbitrase dalam negeri yaitu BPSK dalam menyelesaian sengketa konsumen. 4. Tesis atas nama Daniel Pardede, NIM: , dengan judul, Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Fokus kajiannya adalah putusan BPSK. Berdasarkan hasil penelusuran judul tesis di atas dapat disimpulkan bahwa judul dan permasalahan dalam penelitian ini dengan judul, Analisis Yuridis Aspek Hukum Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 Dalam Perkara Antara PT.

20 20 Direct Vision Melawan Group Astro), sama sekali belum pernah dilakukan penelitian dalam perkara antara PT. Direct Vision melawan Group Astro. Atas judul dan permasalahan dalam penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan judul dan permasalahan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab. F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian ini adalah teori tentang kewenangan hakim dalam mengadili. Teori kewenangan hakim mengadili dalam kaitannya dengan sengketa antara PT. Direct Vision dan Astro Group Malaysia adalah bahwa antara kedua belah pihak telah sepakat (berjanji) memilih SIAC yang berkedudukan di Singapura sebagai forum penyelesaian sengketa. Tetapi PT. Direct Vision melalui PT. Ayunda Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision) justru mengajukan perkara yang sama ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara sepihak, padahal pilihan terhadap lembaga pengadilan tidak ditentukan di dalam perjanjian arbitrase tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUA dan APS menentukan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang

21 21 bersengketa. Berarti ketentuan ini jelas mengatur sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah sengketa yang didasarkan pada perjanjian arbitrase, apa yang disebutkan dalam klausula arbitrase maka berlaku dan menjadi ketentuan hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Konsekuensi ini berarti hakim pengadilan tidak dibenarkan menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang diajukan salah satu pihak ke pengadilan. Artinya para pihak wajib mematuhi perjanjian dengan menempuh penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan klausula apa yang diperjanjikan di dalam perjanjian arbitrase tersebut. Jika terdapat klausula di dalam perjanjian arbitrase menentukan pilihan hukum (choice of law) atau pilihan forum penyelesaian sengketa dengan menunjukkan pada suatu arbitrase tertentu, maka secara serta merta penyelesaian sengketa harus ditempuh melalui lembaga arbitrase yang ditunjuk dalam perjanjian itu, bukan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Orang akan berbuat atau tidak berbuat sesuatu jika dirinya memiliki kewenangan untuk itu. Pentingnya kewenangan dalam diri seseorang dan jabatannya berdasarkan teori kewenangan, maka kewenangan itu harus ditentukan terlebih dahulu oleh aturan-aturan hukum dan sifatnya berhubungan dengan hukum. Sebelum berbuat sesuatu, maka seseorang dalam jabatannya harus ditentukan dulu di dalam aturan-aturan hukum dan undang-undang, apakah dalam undang-undang ada ditentukan perintah untuk berbuat atau tidak berbuat, di sinilah kaitan hubungan hukum itu.

22 22 Kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu, authority, dalam bahasa Belanda yaitu, theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jerman yaitu, theorie der autoritat. Teori kewenangan berasal daru dua suku kata yaitu teori dan kewenangan. Kewenangan menyangkut keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang oleh subjek hukum. 23 Kewenangan (authority, gezag) menyangkut apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya menyangkut beberap bagian (onderdeel) dari kewenangan. Wewenang menyangkut lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang pemerintahan, tetapi meliputi wewenang dalam pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditentukan dalam undang-undang. 24 Dalam teori ini kewenangan dibedakan dengan wewenang tetapi tetap saja unsur-unsurnya meliputi adanya keuasaan formil dan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang menurut Indoharto mengatakan, wewenang secara yuridis menyangkut suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum H.D. Stoud dalam Ridwan AR., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal Ateng Syafruddin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hal Indroharto dalam H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Penerepan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 185.

23 23 Kewenangan dalam Black s Law Dictionary adalah right to exercise powers, to implement and enforce law s, to exact obedience, to command, to judge. Control over, jurisdiction. Often synonymous with power. 26 Dalam kontruksi ini, kewenangan tidak hanya menyangkut sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan, namun kewenangan juga menyangkut: penarapan dan penegakan hukum, ketaatan yang pasti, perintah, memutuskan, pengawasan, yurisdiksi, atau kekuasaan. Dalam kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan kewenangan diartikan sebagai kekuasaan yang menegaskan suatu kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma atau kekuatan fisik. 27 Sementara dalam Kamus Hukum disebut kewenangan berhak, kewenangan biasa, kewenangan daerah, kewenangan Mahkamah Konstitusi, kewenangan mutlak. Kewenangan mutlak diartikan, sebagai bentuk kewenangan yang dimiliki oleh badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. 28 Pandangan-pandangan tentang kewenangan sebagaimana di atas, tidak tampak dalam bentuk teori kewenangan (authority theory), menurut Salim dan Erlies Septiana Nurbani, teori kewenangan menyangkut kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya baik dalam lapangan hukum publik maupun dalam 26 Henry Campbell Black, Black s Law Dictionary, (Amerika Serikat: West Publishing Co., 1978), hal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 363.

24 24 hukum privat. Sehingga unsur-unsur dalam kewenangan semestinya terdapat: adanya kekuasaan, adanya organ pemerintah, dan mengandung sifat hubungan hukum. 29 Jenis-jenis kewenangan dalam Black s Law dictionary dibedakan dalam bentuk 17 (tujuh belas) macam, antara lain: 30 a. Kewenangan delegasi (the power delegated); b. Kekuasaan hukum (legal Power); c. Kewenangan nyata (apparent authority); d. Kewenangan untuk menyangkal (authority by estopples); e. Kewenangan yang digabungkan dengan kepentingan (authority coupled with an interes); f. Kewenangan yang diberikan secara jelas, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan (express authority); g. Kewenangan umum (general authority); h. Kewenangan yang tersirat (implied authority); i. Kewenangan yang benar-benar ada/terjadi (actual authority); j. Kewenangan yang bersifat kebetulan (incidental authority); k. Kewenangan dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (inferred authority); l. Kewenangan yang tidak bisa dipisahkan (inherent authority); m. Kewenangan yang terbatas (limited authority); n. Kewenangan yang terbuka (naked authority); o. Kewenangan semu/pura-pura (ostensible authority); p. Kewenangan khusus (special authority); q. Kewenangan yang tidak terbatas (unlimited authority). Berdasarkan sumbernya kewenangan dibedakan menjadi kewenangan personal dan kewenangan ofisial. Kewenangan personal yaitu bersumber pada inteligensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan kewenangan ofisial yaitu kewenangan resmi yang diterima dari wewenang 29 H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Op. cit., hal Henry Campbell Black, Loc. cit.

25 25 yang ada diatasnya. 31 Selanjutnya Max weber membedakan jenis-jenis kewenangan sebagai: wewenang kharismatik, tradisional, dan rasional; wewenang resmi dan tidak resmi; wewenang pribadi dan teritorial; serta wewenang terbatas dan menyeluruh. 32 Wewenang kharismatik merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang dan dimiliki sejak lahir. Wewenang tradisonal diperoleh seseorang atau sekelompok orang. Wewenang rasional atau legal yaitu wewenang yang disandarkan pada sistim hukum yang berlaku dalam masyarakat, dipahamkan sebagai kaidahkaidah yang telah diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Wewenang tidak resmi merupakan hubungan-hubungan yang timbul antar pripadi yang sifatnya siituasional dan sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang saling berhubungan itu. Wewenang resmi secara sistematis dapat diperhitungkan dan rasional biasanya dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan dan tata tertib yang tegas serta bersifat tetap. 33 Selanjutnya wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi dan atau kharisma. Wewenang teritorial dilihat dari wilayah di mana tempat tinggal. Wewenang terbatas sifatnya terbatas dalam arti tidak mencakup semua sektor, misalnya seorang Jaksa memiliki wewenang atas nama negara untuk menuntut seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana, akan tetapi Jaksa 31 H. Salim H.S., dan Erlies Septiana Nurbani, Op. cit., hal Max Weber dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal Ibid., hal

26 26 tersebut tidak berwenang untuk mengadilinya. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang tertentu, contoh setiap negara memiliki wewenang yang menyeluruh dan mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya. 34 Berdasarkan pengertian-pengertian kewenangan dan teori tentang kewenangan serta pembagian jenis-jenis kewenangan tersebut di atas, maka hakim memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa, memutus, dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Di samping kewenangan-kewenangan tersebut, masih banyak lagi kewenangan hakim dalam hal menerima, memeriksa, memutus, dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Kewenangan-kewenangan hakim tersebut tersebar di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Antara lain kewenangan hakim yang cukup menonjol dalam mengadili dan memutus perkara adalah kewenangan yudisial independen yakni kewenangan kebebasan hakim dalam memutus perkara, hakim juga memiliki kewenangan untuk menafsirkan (mengintrepretasi undang-undang) karena yang demikian itu hakim diharuskan dapat melakukan penemuan hukum. Selain itu hakim juga memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi yaitu kewenangan yang dibenarkan jika menurut keyakinan harus dilaksanakan dalam situasi yang mendesak atau darurat, serta kewenangan hakim untuk berperilaku dengan menunjung tinggi nilai dan moralitas hukum karena hakim 34 Ibid., hal

27 27 juga adalah hukum, berarti baik di dalam diri hakim maupun pada hukum nilai moral harus tetap ada. Teori kewenangan hakim mengadili dalam sistim hukum di Indonesia dikenal dengan istilah kompetensi yang maksudnya sama dengan kewenangan. Kompetensi hakim mengadili dibagi dua yaitu kompetensi absolut dan ada kompetensi relatif. Dalam hukum acara di Indonesia dikenal 2 (dua) macam kompetensi yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua macam ini dihubungkan dengan masalah kewenangan mengadili dari lembaga peradilan atau pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para pihak. Pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. Sedangkan pada kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi, apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 35 Klausula arbitrase dalam kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik sebelum maupun sesudah terjadinya sengketa menentukan tentang kompetensi absolut arbitrase. 36 Dalam perjanjian biasanya ditentukan pilihan hukum dan pilihan 35 Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2010), hal Lihat juga, Eman Suparman, Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI, 2012), hal. 67. Sebelum terjadi sengketa disebut dengan pactum de compromittendo yakni berkenaan dengan sengketa yang baru akan terjadi di kemudian hari. Oleh karena itu rumusan arbitrse tidak selalu dapat dibuat secara rinci, karena belum dapat diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi dan belum diketahui pula bagaimana para pihak akan menyelesaikan sengketa dengan cara yang paling baik. Sedangkan sesudah terjadinya sengketa disebut submission agreement atau akta kompromis yaitu berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi sehingga rumusan substansi agreement-nya dapat disusun secara pasti dan rinci sesuai dengan kondisi sengketanya sekaligus pula dapat dirancang bagaimana lembaga arbitrase akan menyelesaikan sengketa tersebut. Kedua bentuk perjanjian arbitrase ini, baik pactum de

28 28 arbitrase untuk menyelesaikan sengketa jika terjadi perselisihan. Para pihak bebas menentukan pilihan hukum maupun pilihan forum penyelesaian sengketa. 37 Jika dalam perjanjian arbitrase yang sebelumnya telah disepakati dan ditentukan pilihan hukum dan pilihan forum terhadap arbitrase mana yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa sebagaimana telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase, maka dalam hal ada pihak yang mengajukan gugatan ke lembaga arbitrase lain, atau mengajukan gugatan ke pengadilan, maka masalah yang muncul adalah masalah kompetensi mengadili yaitu kompetensi absolut. Pada dasarnya apa yang disengketakan secara materil, termasuk yurisdiksi Peradilan Umum (Pengadilan Negeri), akan tetapi secara formil, jatuh menjadi yurisdiksi absolut arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Atas landasan kesepakatan penyelesaian yang dituangkan para pihak dalam klausul perjanjian, maka berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 11 UUA dan APS secara formil kewenangan penyelesaiannya jatuh pada forum arbitrase. Klausul arbitrase menyangkut kekuasaan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Meskipun demikian masalah yang merupakan bidang perdata (perdagangan) yang masuk dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri, namun haknya untuk mengadili sengketa itu, disingkrikan oleh klausul perjanjian. 38 compromittendo maupun submission agreement atau akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan yang sama bahwa perjanjian arbitrase itu untuk melahirkan kompetensi absolut. 37 Sudargo Gautama, Hukum Acara Perdata Internasional, Jilid III Bagian 2 Buku ke-8, (Bandung: Alumni, 2010), hal M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 185.

29 29 Para pihak menyetujui penyelesaian sengketa dalam suatu perjanjian arbitrase yang disepakati, berarti para pihak telah memilih jurisdiksi arbitrase dan mengeyampingkan forum peradilan umum dalam bentuk tertulis, hal ini penting untuk memberi batasan bagi para pihak tentang pilihan forum yang telah disepakati bersama. Kompetensi absolut ini juga diatur dalam Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang menentukan: Each Contracting State shall recognize an agreement in writing under which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of settlement by arbitration. Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 tersebut di atas menentukan bahwa setiap negara peserta konvensi mengakui perjanjian tertulis di mana para pihak telah setuju untuk menyerahkan kepada arbitrase semua atau setiap perbedaan paham yang timbul atau yang mungkin timbul antara para pihak mengenai suatu hubungan hukum, baik yang berdasarkan kontrak maupun yang tidak, mengenai suatu masalah yang dapat diselesaikan dengan arbitrase. 39 Pasal 2 UUA dan APS menentukan: Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari 39 Tineke Louise Tueguh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Sebuah Tinjauan atas Pelaksanaan Konvensi New York 1958 Pada Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Asing, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1998), hal. 21. Konvensi New York Tahun 1958 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958.

30 30 hubungan hukum tersebut akan diselesaiakan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Kompetensi absolut juga ditemukan dalam Pasal 3 UUA dan APS yang menentukan, Pengadilan Negeri tidal berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Penegasan dari ketentuan ini berarti setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak akan menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian arbitrase. Dengan demikian kompetensi absolut berkenaan dengan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa apakah melalui arbitrase atau melalui pengadilan umum. 40 Keabsolutan untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase yang tipilih oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan di dalam perjanjian arbitrase juga pada prinsipnya dapat beralih atau menjadi tidak absolut, jika antara para pihak menyepakatinya dalam akta komprimis. Terkadang kemauan pihak yang kalah untuk tunduk dan mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela merupakan suatu yang sulit diterima bagi pihak yang kalah, itu sebabnya instrumen Pengadilan diperlukan untuk sarana bilamana ada pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela Erman Rajagukguk, Op. Cit., hal I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI, 2009), hal. 217.

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja SENGKETA KOMPETENSI ANTARA SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) DENGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN DALAM PENYELESAIAN KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORKS PLC BESERTA AFILIASINYA DAN LIPPO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arbitrase 2.1.1. Pengertian Arbitrase Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan untuk menyelesaikan suatu masalah berdasarkan kebijaksanaan.

Lebih terperinci

USU Law Journal, Vol.3.No.3 (November 2015) 51-63

USU Law Journal, Vol.3.No.3 (November 2015) 51-63 ANALISIS YURIDIS PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 Dalam Perkara Antara PT. Direct Vision Melawan Astro Group Malaysia) Junandar

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneska, 2002.

DAFTAR PUSTAKA. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneska, 2002. 143 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasioal Indonesia-BANI,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini Indonesia akan menghadapi ASEAN Free Trade Area atau (AFTA) yang akan aktif pada tahun 2015 1. Masyarakat dikawasan ASEAN khususnya di Indonesia mau tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI Awal permasalahan ini muncul ketika pembayaran dana senilai US$ 16.185.264 kepada Tergugat IX (Adi Karya Visi),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM HPI 1 PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV By Malahayati, SH, LLM TOPIK 2 PEMAKAIAN HUKUM ASING PELAKSANAAN PUTUSAN PUTUSAN PAILIT PUTUSAN ARBITRASE ICC 3 International Chamber of Commerce, Paris;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam bidang ekonomi dan semakin hiterogennya pihak yang terlibat dalam lapangan

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA

BAB II KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA Latar Belakang Masalah BAB II KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA Sebelum kontrak dibuat, biasanya akan didahului dengan sesuatu pembicarakan pendahuluan serta pembicaraan-pembicaraan tingkat berikutnya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

Oleh: IRA SUMAYA, SH, M.Hum Dosen STIH Labuhanbatu

Oleh: IRA SUMAYA, SH, M.Hum Dosen STIH Labuhanbatu ANALISIS KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE DALAM PERJANJIAN MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE Oleh: IRA SUMAYA, SH, M.Hum Dosen STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdurrasyid, Prijatna 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu Pengantar), Fikahati Aneska, Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembahasan dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST)

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST) PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST) Astri Maretta astrimaretta92@gmail.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE 20 FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE Oleh : Suphia, S.H., M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember Abstract Disputes or disagreements can happen anytime and anywhere without being limited space and

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1 Soeikromo D.: Kontrak Standar Perjanjian.. Vol.22/No.6/Juli /2016 Jurnal Hukum Unsrat KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS Oleh : Deasy Soeikromo

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang untuk melangkah lebih maju ke depan dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai BAB IV PENUTUP Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian pada era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang melibatkan pihak-pihak

Lebih terperinci

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini: NAMA: Catherine Claudia NIM: 2011-0500-256 PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL NTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 17 Juni 2013 menjatuhkan putusan batal demi hukum atas perjanjian yang dibuat tidak menggunakan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA Jurnal Repertorium Volume III No. 2 Juli-Desember 2016 PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA Farizal Caturhutomo Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih arbitrase internasional daripada arbitrase nasional sebagai pilihan forum penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

PERKARA NO. 451/PDT. G/ 2012/ PN. JKT BARAT

PERKARA NO. 451/PDT. G/ 2012/ PN. JKT BARAT PERKARA NO. 451/PDT. G/ 2012/ PN. JKT BARAT Penggugat Tergugat : PT Bangun Karya Pratama Lestari : Nine AM Ltd. FAKTA & LATAR BELAKANG PERKARA 1. Penggugat telah memperoleh pinjaman uang dari Tergugat

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum OLEH SETIAWAN KARNOLIS LA IA NIM: 050200047

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kontrak termasuk dalam ranah hukum perdata, disebut demikian karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan dengan individu lain untuk

Lebih terperinci

Oleh : Karmuji 1. Abstrak PENDAHULUAN

Oleh : Karmuji 1. Abstrak PENDAHULUAN Jurnal Ummul Qura Vol VIII, No. 2, September 2016 1 PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARI`AH Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya, namun dalam penyelesaiannya

Lebih terperinci

Oleh : Ni Putu Rossica Sari Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Nyoman A Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Ni Putu Rossica Sari Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Nyoman A Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA DIKAJI DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010) Oleh : Ni Putu Rossica Sari Dewa Nyoman Rai Asmara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum dan Peradilan Niaga SHPDT1210 2 VI Marnia Rani Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi Mata kuliah Hukum dan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID Oleh : Aldo Rico Geraldi Ni Luh Gede Astariyani Dosen Bagian Hukum Tata Negara ABSTRACT This writing aims to explain the procedure

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang sering disebut dengan globalisasi, kini telah membawa dampak yang luar biasa dalam segala bidang kehidupan. Salah satunya adalah kemajuan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat sering timbul permasalahan hukum, yang mana permasalahan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2 PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015 KLAUSUL ARBITRASE DAN PENERAPANNYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 1 Oleh : Daru Tyas Wibawa 2 ABSTRAK Dari segi tipe penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan pengakuan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya saling berinteraksi dengan manusia lain. Masing-masing individu dalam berinteraksi adalah subjek hukum yang

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Martin Surya 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017 KEDUDUKAN DAN KEKUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DITINJAU DARI SEGI HUKUM KONTRAK DALAM KUHPERDATA (PENERAPAN PASAL 1320 JO PASAL 1338 KUHPERDATA) 1 Oleh: Adeline C. R. Dille 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE Oleh Ni Made Asri Alvionita I Nyoman Bagiastra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Bogor, hlm M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Bogor, hlm M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan globalisasi saat ini telah membawa bangsa Indonesia dalam free market dan free competition. Dengan adanya free market dan free competition

Lebih terperinci

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Anastasia Maria Prima Nahak I Ketut Keneng Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional dewasa ini merupakan kebutuhan dari setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam mengadakan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut: DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Perhatikan desain-desain handphone berikut: 1 1. Pengertian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang SIRKUIT TERPADU (integrated

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap hukum bisnis internasional dan penanaman modal asing suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. terhadap hukum bisnis internasional dan penanaman modal asing suatu negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi dan liberalisasi ekonomi merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari oleh negara manapun di dunia baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 Each contracting state shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the award is relied upon, under the condition laid down

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Oleh : Aryani Witasari,SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Abstrak Arbitrase sebagai salah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2 PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang ada dalam hukum kontrak dagang internasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sesuai judul Bab ini yaitu tinjauan pustaka, berikut di bawah ini Penulis mengemukakan bagaimana pustaka atau literatur menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah Penelitian dan

Lebih terperinci

HABIB ADJIE - MAGISTER ILMU HUKUM - UNIV. NAROTAMA SURABAYA

HABIB ADJIE - MAGISTER ILMU HUKUM - UNIV. NAROTAMA SURABAYA BAB II KEABSAHAN KONTRAK A. ISTILAH KONTRAK DAN PERJANJIAN B. PENGATURAN HUKUM KONTRAK. C. SIGNIFIKASI BATAS TIAP KONTRAK D. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK. E. ASAS HUKUM KONTRAK. F. SUMBER HUKUM KONTRAK.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit).

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan

Lebih terperinci