~Tahun Anggaran 2015~ 3

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "~Tahun Anggaran 2015~ 3"

Transkripsi

1 1

2 2

3 ~Tahun Anggaran 2015~ 3

4 4

5 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb, Salam sejahtera untuk kita semua, Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-nya, buku panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengelolaan Sampah dapat tersusun. Buku panduan ini disusun guna menjadi acuan Satker PAMS, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Konsultan dalam melaksanakan kegiatan Penyusunan Ranperda Pengelolaan Sampah di provinsi masing-masing. Buku panduan ini berisikan informasi mengenai Umum, Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penyusunan Ranperda Pengelolaan Sampah. Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan kegiatan Bantek Penyusunan Ranperda Pengelolaan Sampah TA Kepada semua pihak kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. Masukan dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku panduan ini. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, Juni2015 Tim Penyusun Direktorat PPLP Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 5i

6 DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar i ii iii iii BAB I UMUM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH FUNGSI PERATURAN DAERAH LANDASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH ASAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 8 BAB II PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH 20 BAB III PENYUSUNAN RANPERDA PENGELOLAAN SAMPAH KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERDA PENGELOLAAN SAMPAH MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN SAMPAH MENURUT HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN MODEL RANPERDA PENGELOLAAN SAMPAH 51 6ii

7 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Kewenangan Urusan Persampahan 34 Tabel 3.2 Muatan Ranperda Pengelolaan Sampah 43 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tahap Penyusunan Prolegda 14 Gambar 2.2 Tahap Penyusunan Ranperda 15 Gambar 2.3 Tahap Pembentukan Ranperda 19 7iii

8 8 TPA Rawakucing Tangerang.

9 9

10 10

11 BAB 1 UMUM 1.1 HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 1 (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini bermakna bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan Negara Kekuasaan (machtstaat); dengan demikian penyelenggaraan kekuasaan negara didasarkan pada prinsip-prinsip hukum sebagai landasan untuk menjalankan program pembangunan nasional. Ketentuan pasal 1 (3) UUD 1945 tersebut adalah sebagai bentuk titah konstitusi kepada seluruh rakyat Indonesia terutama para pejabat di tataran pemerintahan baik di pusat maupun di daerah untuk dapat memposisikan hukum sebagai titik tolak dalam bertingkah laku dan merumuskan kebijakan publik. Sebagai negara hukum dalam mengimplementasikan berbagai produk hukum menggunakan teori norma hukum yang berjenjang (hirarki) dalam artian bahwa produk hukum yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan produk 1

12 hukum yang lebih tinggi diatasnya (lex superior derogat legi inferior). Hal ini sebagaimana diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan hirarki norma hukum yang dianut adalah : 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Jenis Peraturan Perundang-undangan lain mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 1 Peraturan Daerah dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dibedakan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mengingat lingkup berlakunya Peraturan Daerah hanya terbatas pada daerah yang bersangkutan 2 1. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

13 sedangkan lingkup berlakunya Peraturan Menteri mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, maka dalam hirarki, Peraturan Menteri berada diatas Peraturan Daerah KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain berhak ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun FUNGSI PERATURAN DAERAH Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan 2. Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah 3

14 hirarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia tahun d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah. 1.4 LANDASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat 3 (tiga) landasan yaitu: a. Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau ideologi Negara; b. Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan masyarakat; dan c. Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan kewenangan untuk membentuk, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, tata cara atau prosedur tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengingat Peraturan Daerah adalah merupakan produk 4

15 politis maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi Peraturan Daerah. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. 1.5 ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik termasuk Peraturan Daerah sebagaimana tercantum pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 meliputi : a. Kejelasan Tujuan Bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat Bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang karena peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian Antara Jenis, Hirarki, dan Materi Muatan Bahwa dalam pembentukan peraturan perundangundangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. d. Dapat Dilaksanakan Bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan 5

16 perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan Bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Kejelasan Rumusan Bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan Bahwa dalam peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. 1.6 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH Yang dimaksud dengan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan hirarki peraturan perundangundangan. Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang 6

17 berbunyi sebagai berikut: Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan Daerah juga dapat memuat sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun Materi muatan yang berupa sanksi pidana dalam Peraturan Daerah berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp ,- (lima puluh juta rupiah). Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangundangan lainnya. Selanjutnya materi Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 250 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun yang dimaksud dengan Bertentangan dengan kepentingan umum meliputi: a. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender. 7

18 1.7 ASAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH Peraturan Daerah mempunyai materi muatan yang mengandung asas-asas sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mempunyai pengertian sebagai berikut : a. Pengayoman Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Kemanusiaan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Kebangsaan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Kekeluargaan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Kenusantaraan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. 8

19 f. Bhineka Tunggal Ika Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Keadilan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. h. Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain: agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Ketertiban dan Kepastian Hukum Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. 9

20 CDM TPA BATU LAYANG-PTK 10

21 11

22 12

23 BAB 2 PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 2.1 PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan bahwa Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Usulan pembentukan produk hukum daerah - yang dimaksud dalam hal ini adalah Peraturan Daerah dapat berasal dari dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (Pemerintah Daerah) dan atas usulan legislatif (DPRD). Proses dalam tiap-tiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 13

24 A. Perencanaan Perencanaan adalah tahap dimana pemerintah daerah dan DPRD menyusun daftar Peraturan daerah yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya dikenal dengan istilah penyusunan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Hasil pembahasan tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan DPRD. Secara umum ada lima tahap dalam penyusunan Prolegda, yaitu: Tahap Mengumpulkan Masukan Tahap Penyaringan Masukan Tahap Penetapan Awal Tahap Pembahasan Bersama Gambar 2.1. Tahap Penyusunan Prolegda Tahap Penetapan Prolegda Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah Daerah dan DPRD secara terpisah membuat daftar Ranperda, baik dari SKPD, anggota DPRD, fraksi dan masyarakat. Hasil dari proses pengumpulan masukan tersebut kemudian disaring/ dipilih untuk kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak (Pemerintah Daerah dan DPRD). Tahap selanjutnya adalah pembahasan masing-masing usulan dalam forum bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Dalam tahap inilah seluruh masukan tersebut diseleksi dan kemudian, setelah ada kesepakatan bersama, ditetapkan oleh DPRD melalui Keputusan DPRD. B. Penyusunan Tahap Penyusunan Ranperda merupakan tahap penyiapan sebelum sebuah Ranperda dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Secara garis besar tahap ini terdiri dari: 14

25 Pembuatan Naskah Akademik Penyusunan Draft Ranperda Harmonisasi, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Persetujuan Draft Ranperda Gambar 2.2. Tahap Penyusunan Ranperda Persiapan penyusunan Ranperda di lingkungan Pemerintah Daerah, lebih rinci adalah sebagai berikut: 1. Kepala Daerah memerintahkan pimpinan SKPD menyusun Ranperda berdasarkan Prolegda. 2. Pimpinan SKPD menyusun Ranperda disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. 3. Ranperda diajukan kepada biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota. 4. Biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/ kota melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda Kepala Daerah membentuk Tim Penyusun Rancangan Perda yang diketuai oleh Kepala SKPD pemrakarsa. 6. Ranperda Provinsi yang telah dibahas diparaf koordinasi oleh kepala biro hukum dan pimpinan SKPD terkait. 3). Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi adalah adalah suatu tahapan untuk memastikan bahwa 1.Ranperda yang disusun telah selaras dengan: a.pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain, b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.2.menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam Ranperda 15

26 7. Ranperda kabupaten/kota yang telah dibahas diparaf koordinasi oleh kepala bagian hukum dan pimpinan SKPD terkait. 8. Pimpinan SKPD mengajukan Ranperda yang telah diparaf koordinasi kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. 9. Sekretaris Daerah melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan Ranperda yang telah diparaf koordinasi. 10. Sekretaris Daerah menyampaikan Ranperda kepada Kepala Daerah. 11. Kepala Daerah menyampaikan ranperda kepada pimpinan DPRD. 12. Kepala Daerah membentuk Tim asistensi pembahasan Ranperda yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Persiapan penyusunan Ranperda di lingkungan DPRD, lebih rinci adalah sebagai berikut: 1. Pengajuan Ranperda oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Balegda kepada pimpinan DPRD disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik. 2. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda kepada Balegda untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda. 3. Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Ranperda kepada semua anggota DPRD dalam rapat paripurna. 4. Pembahasan Ranperda dalam rapat paripurna. 5. Penyempurnaan Ranperda oleh komisi, gabungan komisi, Balegda atau panitia khusus. 16

27 6. Ranperda disampaikan kepada pimpinan DPRD. 7. Ranperda disampaikan kepada Kepala Daerah untuk pembahasan. C. Pembahasan Ranperda yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah dibahas oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. 4 Pembahasan dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Urutan kegiatan pembahasan adalah sebagai berikut: 1. Pembicaraan tingkat 1 Dalam hal Ranperda berasal dari Kepala Daerah maka urutan kegiatan pada pembicaaran tingkat I adalah sebagai berikut: a. Penjelasan kepala daerah dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Perda; b. Pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perda; dan c. Tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi. Dalam hal Ranperda berasal dari DPRD maka urutan kegiatan pada pembicaaran tingkat I adalah sebagai berikut: a. Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Perda; b. Pendapat kepala daerah terhadap Rancangan Perda; dan c. Tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat kepala daerah. 4. Apabila dalam satu masa sidang kepala daerah dan DPRD menyampaikan Ranperda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas Ranperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Ranperda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan 17

28 2. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya. 3. Pembicaraan tingkat II, meliputi: a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan: 1) penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan; dan 2) Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna. b. Pendapat akhir kepala daerah. 4. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal rancangan Perda tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah, Rancangan Perda tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa itu. Rancangan Perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Penarikan kembali Rancangan Perda oleh kepala daerah, disampaikan dengan surat kepala daerah disertai alasan penarikan. Penarikan kembali Rancangan Perda oleh DPRD, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD dengan disertai alasan penarikan. Rancangan Perda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.penarikan kembali Rancangan Perda hanya dapat 18

29 dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh kepala daerah. Rancangan Perda yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama. PEMBICARAAN TINGKAT I Dalam hal Ranperda berasal dari Kepala Daerah Dalam hal Ranperda berasal dari DPRD Penjelasan Kepala Daerah Penjelasan Pimpinan Komisi, Gabungan Komisi, Balegda atau Panitia Khusus Pemandangan Umum Fraksi Pendapat Kepala Daerah Tanggapan Kepala Daerah Tanggapan Fraksi Pembahasan bersama dengan Kepala Daerah atau Pejabat yang mewakili PEMBICARAAN TINGKAT II Penyampaian Laporan Pimpinan Komisi, Gabungan Komisi, Balegda atau Panitia Khusus Permintaan Persetujuan dari Anggota Secara Lisan Persetujuan Bersama DRPD dan Kepala Daerah Pendapat Akhir Kepala Daerah Gambar 2.3. Tahap Pembahasan Ranperda 19

30 D. Pengesahan Setelah ada persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah terkait Ranperda yang dibahas bersama, Kepala Daerah mengesahkan Ranperda tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah Ranperda. Penandatanganan ini harus dilakukan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal Ranperda tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Jika Kepala Daerah tidak menandatangani Ranperda tersebut sesuai waktu yang ditetapkan, maka Ranperda tersebut otomatis menjadi Perda dan wajib untuk diundangkan. Penomoran Perda dilakukan oleh kepala biro hukum provinsi atau kepala bagian hukum kabupaten/kota. E. Pengundangan Pengundangan merupakan pemberitahuan secara formal suatu Perda sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat. Perda yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran daerah. Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan perda dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda. Sekretaris Daerah mengundangkan perda. Perda dimuat dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. 2.2 PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 20

31 Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Pemrakarsa dalam mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Pemrakarsa dalam melakukan Penyusunan Naskah Akademik dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan pihak ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. Teknik penyusunan Naskah Akademik mengikuti ketentuan pada Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun Sistematika Naskah Akademik Adalah Sebagai Berikut: Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut: JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I BAB II PENDAHULUAN KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG- 21

32 UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BAB VI PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Uraian singkat setiap bagian adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. A. Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 22

33 B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut: 1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi. 2. Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut. 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang- Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: 1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut. 2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 23

34 3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang- Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. D. Metode Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. 24

35 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: A. Kajian teoretis B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asasasas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang- undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan 25

36 Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang- Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 1. Landasan Filosofis Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 26

37 memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. 3. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang- Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG- UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi 27

38 muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: A. Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; B. Materi yang akan diatur; C. Ketentuan sanksi; dan D. Ketentuan peralihan. BAB VI PENUTUP Bab penutup terdiri atas sub bab simpulan dan saran. A. Simpulan Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. B. Saran Saran memuat antara lain: 1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. 2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah. 3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA 28

39 Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang bahan penyusunan Naskah Akademik. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Proses Penyusunan Naskah Akademik Proses penyusunan Naskah Akademik terbagi dalam beberapa tahap. Berikut adalah tahapan penyusunan Naskah Akademik: a. Tahap persiapan penyusunan Naskah Akademik 1) Pembentukan Tim Penyusun Naskah Akademik 2) Pengumpulan data-data dan informasi penyusunan agenda dan pembagian kerja serta persiapan-persiapan b. Tahap Pelaksanaan Penyusunan Naskah Akademik 1) Penyusunan Kerangka Draft Naskah Akademik 2) Penyusunan draft naskah akademik c. Diskusi publik draft Naskah Akademik 1) Menginformasikan draft Naskah Akademik 2) Menghimpun masukan-masukan dan berbagai hal d. Evaluasi Draft Naskah Akademik 1) Menginventarisasi masukan-masukan 2) Mengakomodir masukan-masukan yang bermanfaat ke dalam Naskah Akademik e. Penetapan atau finalisasi draft Naskah Akademik f. Memberikan Naskah Akdemik kepada lembaga legislative dan lembaga eksekutif untuk dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pembahasan pembentukan peraturan daerah 29

40 30

41 31

42 32

43 BAB 3 PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN SAMPAH 3.1 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERDA PENGELOLAAN SAMPAH Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam: a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 65 ayat (2) huruf b, Pasal 154 ayat (1) huruf a, dan Pasal 236 ayat (2), Pasal 242 (1) ] yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: 33

44 Pasal 65 ayat (2) huruf b : Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD Pasal 154 ayat (1) huruf a : DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama Pasal 242 ayat (1) : Rancangan Perda Yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda Pasal 236 ayat (2) : Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah Pemerintah Daerah memiliki kewenangan di bidang persampahan yang merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk urusan persampahan adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Kewenangan Urusan Persampahan Sub Urusan Persampahan Daerah Provinsi Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional Daerah Kabupaten/Kota Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan dalam Daerah kabupaten/ kota 34

45 Sub Urusan Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota Persampahan Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan dalam Daerah kabupaten/ kota 3.2 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN SAMPAH MENURUT HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN Materi muatan yang perlu diatur dalam penyusunan Perda Pengelolaan Sampah diperintahkan oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang secara Hirarki Perundangundangan berada diatas Peraturan Daerah. Sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa menurut Undang- Undang Pasal 14 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Pasal 236 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan yang harus diatur dalam Perda bidang Persampahan adalah : 1. UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 2. PP Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2010; dan 4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun

46 Perintah Undang-undang No 18 tahun 2008 yang bersifat tegas untuk diatur dengan Peraturan Daerah, adalah sebagai berikut: 1. Pasal 11 ayat (2) mengenai tata cara penggunaan hak setiap orang, yaitu: (a) mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi tanggung jawab untuk itu; (b) berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah; (c) memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah; (d) mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah; (e) memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan. 2. Pasal 12 ayat (2) mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga yang merupakan kewajiban setiap orang mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. 3. Pasal 17 ayat (3) mengenai tata cara memperoleh izin melaukan kegiatan usaha pengelolaan sampah. 4. Pasal 18 ayat (2) mengenai jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapatkan izin dan tata cara pengumuman kepada masyarakat. 5. Pasal 22 ayat (2) mengenai penanganan sampah meliputi: (a) pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah; (b) pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat 36

47 penampungan sementara (TPS) atau tempat pengolahan sampah terpadu (TPST; (c) pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara (TPSS) atau dari tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) menuju ke tempat pemrosesan akhir (TPA); (d) pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; (e) pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. 6. Pasal 24 ayat (3) mengenai pembiayaan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. 7. Pasal 25 ayat (4) mengenai pemberian kompensasi oleh pemerintah daerah kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) berupa: relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, dan/atau kompensasi dalam bentuk lain. 8. Pasal 27 ayat (2) mengenai bentuk perjanjian kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah 9. Pasal 28 ayat (3) mengenai mengenai bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, dapat dilakukan melalui: (a) pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah daerah; (b) perumusan kebijakan pengelolaan sampah; (c) pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan. 37

48 10. Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) mengenai larangan membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan, melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir (TPA), dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Atas pelarangan tersebut, di dalam Peraturan Daerah dapat menetapkan sanksi pidana kurungan atau denda terhadap pelanggaran tersebut. 11. Pasal 31 ayat (3) mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengelola sampah dan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan yang diatur oleh Pemerintah. 12. Pasal 32 ayat (3) mengenai penerapan sanksi administratif oleh Bupati/walikota kepada pengelola sampah yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan dapat berupa: (a) paksaan pemerintahan; (b) uang paksa; (c) pencabutan izin. Sedangkan perintah yang bersifat tidak tegas untuk diatur dengan Peraturan Daerah, meliputi: 1. Pasal 5 memberikan tugas kepada Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan pengelolaan sampah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. 2. Pasal 6 memberikan tugas kepada Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah (Pusat) untuk 38

49 melaksanakan sebagai berikut: (a) menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah; (b) melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah; (c) memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah; (d) melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah; (e) mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah; (f) memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang (berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; g) melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah. 3. Pasal 9, memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai berikut: (a) menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi; (b) menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar,prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah; (c) melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain; (d) menetapkan lokasi tempat penampungan sementara (TPS), tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah (RTRW); (e) melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; (f) menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya. 39

50 4. Pasal 20 ayat (2) memberikan kewajiban kepada Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah untuk melakukan kegiatan pengurangan sampah meliputi kegiatan: (a) pembatasan timbulan sampah; (b) pendauran ulang sampah; (c) pemanfaatan kembali sampah. Untuk itu Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah: (a) menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu; (b) memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan; (c) memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan; (d) memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; (e) memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang. 5. Pasal 26 memberikan anjuran kepada Pemerintah daerah untuk melakukan kerja sama antar pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah yang dapat diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan/ atau pembuatan usaha bersama pengelolaan sampah. Perintah tersebut di atas tidak hanya ditujukan kepada Pemerintah Daerah melainkan juga kepada masyarakat, seperti: 1. Pasal 13 memberikan perintah kepada Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah. 2. Pasal 14 memberikan perintah kepada setiap produsen untuk mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya. 3. Pasal 15 memberikan perintah kepada produsen untuk mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya 40

51 yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 memerintahkan secara tegas untuk mengatur tata cara pemberian kompensasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi. Hal tersebut diperintahkan dalam Pasal 32 ayat (4) PP Nomor 81 tahun Kementerian Dalam Negeri sebagai kementerian penyelenggara urusan pemerintahan dalam negeri, menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 yang memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah (kabupaten dan kota) untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 44 ayat (1) Peraturan Menteri Nomor 33 tahun 2010 memerintahkan secara tegas kepada Bupati/Walikota untuk menetapkan peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah dengan berpedoman pada peraturan menteri ini, paling lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkan. Pasal 44 ayat (2) perintah yang bersifat tegas untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang pengelolaan sampah, dengan minimal muatan yang diatur sebagai berikut: a. Pengurangan dan penanganan; b. Lembaga pengelola; c. Hak dan kewajiban; d. Perizinan; e. Insentif dan desinsentif; f. Kerjasama dan Kemitraan; 41

52 g. Retribusi; h. Pembiayaan dan kompensasi; i. Peran masyarakat; j. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa; k. Pengawasan dan pengendalian;dan l. Larangan dan sanksi; Kementerian Negara Lingkungan Hidup, melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun 2011 telah menetapkan sebuah Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun 2011 memberi perintah tegas bahwa materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, adalah sebagai berikut : a. Hak dan kewajiban; b. Perizinan; c. Penanganan Sampah; d. Pembiayaan dan kompensasi ; e. Peran masyarakat; f. Larangan; g. Pengawasan;dan h. Sanksi administratif. Berikut tabel muatan yang diperintahkan, dalam penyusunan Ranperda Pengelolaan Sampah : berbunyi sebagai berikut: 42

53 Tabel 3.2 Muatan Ranperda Pengelolaan Sampah No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 1. Tugas dan Kewenangan pemerintah daerah Pasal 5 UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Pemerintah dan Pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan UU pengelolaan sampah. 1. Tugas pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sampah 2. Kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/ Kota dalam pengelolaan sampah 3. Perencanaan daerah dalam pengelolaan sampah yang harus disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mencapai tujuan pengelolaan sampah 2. Hak 1. Pasal 11 ayat (2) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (a) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga 3. Pasal 44 ayat (2) (c), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan hak diatur dengan Peraturan Pemerintan dan Peraturan Daerah Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah memuat : a. Hak dan Kewajiban b. Perizinan c. Penanganan Sampah d. Pembiayaan dan Kompensasi e. Peran Masyarakat f. Larangan g. Pengawasan, dan h. Sanksi (*) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat : a. Pengurangan dan penanganan b. Lembaga Pengelola c. Hak dan Kewajiban d. Perizinan e. Insentif dan Desinsentif f. Kerjasama dan Kemitraan g. Retribusi h. Pembiayaan dan Kompensasi i. Peran masyarakat j. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa k. Pengawasan dan Pengendalian l. Larangan dan Sanksi (**) 1. Hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sampah : a. Mendapatkan pelayanan b. berpartisipasi dalam proses pengambilan k e p u t u s a n penyelenggaraan dan pengawasan c. memperoleh informasi yang benar akurat dan tepat waktu d. mendapatkan perlindungan dan kompensasi akibat dampak negatif dari pengelolaan sampah 2. Tata cara penggunaan hak masyarakat dalam pengelolaan sampah, yang disesuaikan dengan kelembagaan, kearifan lokal dan peraturan perundangundangan di daerah masing-masing 43

54 No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 3. Kewajiban 1. Pasal 12 ayat (2) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (a) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga 3. Pasal 44 ayat (2) (c), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga diatur dengan Perda Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Kewajiban dalam pengelolaan sampah: a. orang perseorangan dan kelompok orang dan/atau badan hukum untuk mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan b. setiap pengelola kawasan untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah c. setiap produsen untuk mengelola kemasan dan/ atau barang yang diproduksinya yang sulit terurai oleh proses alam 2. Tata cara pelaksanaan kewajiban dalam pengelolaan sampah 4. Perizinan 1. Pasal 17 ayat (3) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 18 ayat (2) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 3. Pasal 3 (b) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan kewenangannya Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapat izin dan tata cara pengumuman diatur dengan peraturan daerah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) 1. Kewajiban memiliki izin 2. Jenis kegiatan pengelolaan sampah yang memerlukan izin 3. Tata cara mendapatkan izin 4. Tata cara pengumuman dalam perizinan 5. Izin lingkungan yang merupakan bagian dari perizinan 6. Masa berlaku izin pengelolaan sampah 4. Pasal 44 ayat (2) (a), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 44

55 No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 5. Pengelolaan Sampah Pengurangan Sampah 1. Pengelolaan sampah terdiri dari pengurangan 1. Pasal 44 ayat (2)(a) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah 2. UU No. 18 tahun 2008 Pasal 20 ayat (2), perintah secara tidak tegas Penanganan Sampah 1. Pasal 22 ayat (2) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (c) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga 3. Pasal 44 ayat (2) (a), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan-kegiatan dalam hal pengurangan sampah. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan sampah diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah atau dengan peraturan daerah sesuai dengan kewenangannya Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) dan penanganan 2. Pengurangan sampah a. Perencanaan pengurangan dan penanganan pengelolaan sampah b. Pengurangan Sampah : Jenis kegiatan pengurangan sampah Tata cara pengurangan sampah Tugas dan Kewenangan Pemerintah daerah dalam Pengurangan Sampah c. Tata cara pengurangan sampah oleh produsen 3. Penanganan Sampah: a. Jenis kegiatan penanganan sampah b. Teknis pemilahan sampah c. Pembagian jenis sampah dalam kegiatan pemilahan sampah d. Persyaratan sarana pemilahan dan pewadahan sampah e. Teknis pengumpulan sampah f. Teknis pengangkutan sampah g. Alat angkut sampah h. Teknis pengolahan sampah i. Jenis kegiatan pengolahan sampah j. Prasarana dan sarana dalam pengolahan sampah k. Kerjasama dalam penyelenggaraan pengolahan sampah l. Teknis pemrosesan sampah m. Metode pemrosesan akhir sampah n. Teknis pemilihan lokasi TPA o. Tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam kegiatan pemrosesan akhir sampah. 45

56 No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 6. PEMBIAYAAN 1. Pasal 24 ayat (3) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (d ) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan diatur dengan peraturan daerah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) 1. Sumber-sumber pembiayaan 2. Sumber pembiayaan lain yang sah adalah retribusi dan/atau penerimaan dari badan layanan umum daerah 3. Pasal 44 ayat (2) (h), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 7. Kompensasi 1. Pasal 25 ayat (4) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 32 ayat (4) PP No.81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga 3. Pasal 3 (d ) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi oleh pemerintah diatur dengan peraturan pemerintah dan/ atau peraturan daerah Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kompensasi oleh Pemkab/kota dan pemprov diatur dengan peraturan daerah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) 1. Kompensasi secara umum 2. Bentuk-bentuk kompensasi 3. Bentuk-bentuk dampak negatif yang dapat mengakibatkan diberikannya kompensasi 4. Asuransi sebagai jaminan kompensasi 5. Tata cara pemberian kompensasi yang disesuaikan dengan kelembagaan, kearifan lokal dan peraturan perundang-undangan di daerah masing-masing 4. Pasal 44 ayat (2) (h), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 46

57 No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 8. Peran Masyarakat 1. Pasal 28 ayat (3) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (e ) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga 3. Pasal 44 ayat (2) (i), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk- bentuk dan tata cara pelaksanaan peran masyarakat, diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Bentuk peran masyarakat : a. Pemberian usul, pertimbangan, dan saran dalam perumusan kebijakan pengelolaan sampah b. Melaksanakan penanganan sampah secara mandiri atau bermitra dengan pemerintah c. Pemberian pendidikan dan pelatihan d. Pendampingan oleh kelompok masyarakat kepada anggota masyarakat 2. Tata cara peran serta masyarakat yang di sesuaikan dengan kebutuhan, kearifan lokal dan peraturan perundangundangan di daerah masing-masing. 9. Larangan 1. Pasal 29 ayat (3) dan (4) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (f ) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan : diatur dengan perda kabupaten/kota (4) Peraturan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menetapkan sanksi pidana kurungan atau denda terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud diatas Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) 1. Kegiatan yang dilarang dalam pengelolaan sampah : a. membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan b. melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di TPA c. membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Pengaturan lainnya dapat di sesuaikan dengan kebutuhan, kearifan lokal dan peraturan perundang-undangan di daerah masing-masing 3. Pasal 44 ayat (2) (l), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 47

58 No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 10 Pembinaan dan Pengawasan 1. Pasal 31 ayat (3) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (g) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan pengelolaan sampah diatur dengan peraturan daerah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Bentuk kegiatan pembinaan oleh kepala daerah 2. Subyek hukum dalam setiap kegiatan pembinaan 3. Bentuk pengawasan 4. Kegiatan pengawasan dalam pengelolaan sampah 3. Pasal 44 ayat (2) (k), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 11. Sanksi 1. Pasal 32 ayat (3) UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 2. Pasal 3 (h) Permen Negara LH No. 16 tahun 2011, Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga 3. Pasal 44 ayat (2) (l), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan sanksi administratif diatur dengan perda kabupaten/ kota Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (*) Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Bentuk-bentuk sanksi administratif 2. Penerapan sanksi administratif 3. Kelembagaan yang mengawal dan menerapkan sanksi administratif 4. Tata cara dan mekanisme penerapan sanksi adminsitratif secara rinci dapat didelegasikan dalam peraturan Bupati/ Walikota 5. Sanksi Pidana (bila diperlukan) Pengaturan lainnya dapat di sesuaikan dengan kebutuhan, kearifan lokal dan peraturan perundang-undangan di daerah masing-masing 12. Insentif dan Desinsentif Pasal 44 ayat (2) (e) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Bentuk-bentuk kegiatan yang mendapatkan insentif 2. Bentuk-bentul insentif 3. Bentuk-bentuk kegiatan yang mendapatkan desinsentif 4. Bentuk-bentuk desinsentif 5. Pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk dan tatacara pemberian insentif dan desinsentif 48

59 No Muatan Yang Diperintahkan Referensi Perundangundangan Bunyi Perintah Pengaturan Dalam Model Ranperda Pengelolaan Sampah 13. Kerjasama dan kemitraan Pasal 44 ayat (2) (f) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Tata cara kerjasama antar daerah 2. Lingkup kegiatan pengelolaan sampah yang dapat dikerjasamakan 3. Kemitraan dengan badan usaha 4. Lingkup kegiatan pengelolaan sampah yang dapat dikerjasamakan dengan badan usaha 14. Retrbusi Pasal 44 ayat (2) (g) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Kewenangan pemerintah dalam pemungutan retribusi 2. Pedoman penyelenggaraan mengacu pada peraturan perundangan yang sudah ada (bila ada) 15. Lembaga Pengelola Pasal 44 ayat (2) (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Lembaga pengelola sebagai penyelenggara pengelolaan sampah 2. Bentuk Lembaga Pengelola disesuaikan dengan peraturan peruuan dan kelembagaan di daerah masing-masing 16. Mekanisme pangaduan dan penyelesaian sengketa Pasal 44 ayat (2) (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Bunyi perintah sama sebagaimana diuraikan pada Point (**) 1. Pengaduan masyarakat : tata cara pengaduan dan penanganan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan 2. Lembaga pengelola pengaduan masyarakat 3. Jenis-jenis sengketa yang mungkin timbul dalam pengelolaan sampah 4. Tata cara penyelesaian sengketa dalam pengelolaan sampah 17. Materi muatan lainnya Dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan masingmasing daerah 49

60 50

61 3.3 MODEL RANPERDA PENGELOLAAN SAMPAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA. NOMOR. TAHUN TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA.. Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam rangka mewujudkan Kabupaten/ Kota. yang sehat dan bersih dari sampah yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan sampah secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir; c. bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban masyarakat/pelaku usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif dan efisien; d. bahwa pengelolaan sampah berdasarkan 51

62 Peraturan Nomor. Tahun tentang Kebersihan Lingkungan Dalam Wilayah Kabupaten/ Kota.., sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini sehingga perlu dilakukan penggantian; e. Bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c dan huruf d maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor.. Tahun.tentang Pembentukan Kabupaten/Kota ; 2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347) 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah 52

63 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 274); 6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2011, tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 933); 7. Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA. Dan BUPATI/WALIKOTA KABUPATEN/WALIKOTA MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH. 53

64 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. 2. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga yang tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. 3. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah rumah tangga yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan/atau fasilitas lainnya. 4. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. 5. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah. 6. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah. 7. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. 8. Penyelenggaraan Pengelolaan sampah adalah kegiatan merencanakan, membangun, mengoperasikan, dan memelihara serta memantau dan mengevaluasi pengelolaan sampah. 9. Pengurangan sampah adalah kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendaur ulang sampah dan/atau pemanfaatan kembali sampah. 54

65 10. Pemilahan sampah adalah kegiatan mengelompokkan dan memisahkan sampah sesuai dengan jenis, jumlah dan/atau sifat sampah. 11. Pengumpulan sampah adalah kegiatan mengambil dan memindahkan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R atau ke tempat pengolahan sampah terpadu. 12. Pengangkutan sampah adalah kegiatan membawa sampah dari sumber dan/ atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R atau dari tempat pengelolaan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir. 13. Pengolahan sampah adalah kegiatan mengubah karakteristik, komposisi dan/atau jumlah sampah. 14. Pemrosesan akhir sampah adalah proses pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. 15. Tempat penampungan sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. 16. Tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (Reduse, Reuse, Recycle) yang selanjutnya disebut TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan. 17. Stasiun peralihan antara yang selanjutnya disingkat SPA, adalah sarana pemindahan dari alat angkut kecil ke alat angkut lebih besar dan diperlukan untuk kabupaten/kota yang memiliki lokasi TPA jaraknya lebih dari 25 km yang dapat dilengkapi dengan fasilitas pengolahan sampah. 18. Tempat pengolahan sampah terpadu yang selanjutnya disingkat 55

66 TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir. 19. Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan. 20. Prasarana persampahan yang selanjutnya disebut prasarana adalah fasilitas dasar yang dapat menunjang terlaksananya kegiatan penanganan sampah. 21. Sarana persampahan yang selanjutnya disebut sarana adalah peralatan yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penanganan sampah. 22. Reduce, Reuse dan Recycle yang selanjutnya disingkat dengan 3R, adalah kegiatan pengurangan sampah dengan cara mengurangi, memakai atau memanfaatkan kembali dan mendaur ulang. 23. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Daerah adalah Kabupaten/Kota Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten /Kota 56

67 27. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Perangkat Daerah sebagai unsur pembantu Kabupaten/ Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 28. Unit Pelaksana Teknis Daerah yang selanjutnya disingkat UPTD 29. Badan Layanan Unit Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 30. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 31. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah. 32. Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. 33. Petugas kebersihan adalah orang yang diberi tugas menjalankan pelayanan kebersihan oleh Pemerintah Daerah dan/atau badan usaha di bidang kebersihan 34. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang dan/atau badan hukum. 35. Masyarakat adalah perorangan atau kelompok orang atau badan usaha atau lembaga/organisasi kemasyarakatan. 57

68 BAB II ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Pengelolaan sampah berdasarkan pada asas: a. tanggung jawab; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keterpaduan; d. keadilan; e. kehati-hatian; f. partisipatif; g. manfaat; h. tata kelola pemerintahan yang baik; dan i. pencemar membayar. Pasal 3 Tujuan pengelolaan sampah untuk: a. mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari sampah; b. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan menjaga kesehatan masyarakat; c. meningkatkan peran serta masyarakat dan pelaku usaha untuk secara aktif mengurangi dan/atau menangani sampah yang 58

69 berwawasan lingkungan; d. menjadikan sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomis; dan e. mewujudkan kinerja pelayanan sampah yang efektif dan efisien. Pasal 4 Sampah yang diatur dalam peraturan daerah ini meliputi: a. sampah rumah tangga; b. sampah sejenis sampah rumah tangga; dan c. sampah spesifik. BAB III TUGAS DAN WEWENANG Pasal 5 Tugas Pemerintah Daerah meliputi: a. menumbuh kembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan sampah; b. mengalokasikan dana untuk pengelolaan sampah; c. melakukan penelitian pengembangan teknologi pengurangan dan penanganan sampah; 59

70 d. memfasilitasi, mengembangkan dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah; e. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah; f. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah; g. mendorong dan memfasilitasi penerapan teknologi pengolahan sampah lokal yang berkembang pada masyarakat untuk mengurangi dan/atau menangani sampah; dan h. mengkoordinasikan antar lembaga pemerintah daerah, antar lembaga pengelola sampah, dan antara lembaga-lembaga tersebut dengan masyarakat, dan pelaku usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah. Pasal 6 Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pemerintah Daerah mempunyai kewewenangan: a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi; b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/ kota sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pemerintah; c. melakukan kerjasama antar daerah, kemitraan dan jejaring dalam pengelolaan sampah; d. menetapkan lokasi TPS, TPS 3R, TPST dan TPA di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); e. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap 60

71 TPS, TPS 3R dan TPST dan/atau TPA; f. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali selama 20 (dua puluh) tahun terhadap TPA dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; g. melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah; dan h. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 7 (1) Untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah sesuai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, pemerintah daerah harus membuat dokumen perencanaan daerah yang memuat target pengurangan dan penanganan sampah dalam pengelolaan sampah. (2) Teknis penyusunan perencanaan daerah pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 61

72 BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 8 Masyarakat berhak: a. mendapatkan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat; b. mendapatkan pelayanan kebersihan secara baik dan berwawasan lingkungan pemerintah daerah dan/atau pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri dan kawasan khusus; c. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan dan pengawasan pengelolaan sampah; d. memperoleh data dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah; e. mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan pengolahan sampah di TPA; dan f. memperoleh pembinaan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan. 62

73 Bagian Kedua Kewajiban Pasal 9 (1) Dalam pengelolaan sampah di Daerah, setiap orang wajib: a. menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya; b. turut aktif dalam pengurangan dan penanganan sampah; c. menyiapkan pewadahan sampah sesuai dengan peraturan/ standar tempat sampah yang berwawasan lingkungan; d. dalam kegiatan sehari-hari menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, di daur ulang dan/atau mudah diurai oleh proses alam. (2) Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga wajib dilakukan dalam skala RT/RW, dan/atau Desa/ Kelurahan/Kecamatan dengan pembinaan teknis dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi persampahan. (3) Setiap angkutan umum, kendaraan pribadi, fasilitas umum, fasilitas sosial, perkantoran, perusahaan, pusat perbelanjaan wajib menyediakan wadah sampah dan/atau TPS. 63

74 BAB V PENGELOLAAN SAMPAH Bagian Kesatu Umum Pasal 10 Pengelolaan sampah terdiri dari: a. pengurangan sampah; dan b. penanganan sampah. Bagian Kedua Pengurangan Sampah Pasal 11 (1) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, meliputi kegiatan: a. pembatasan timbulan; b. pendauran ulang sampah; dan c. pemanfaatan kembali sampah. 64

75 (2) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 huruf a dilakukan dengan cara: a. menggunakan bahan yang dapat digunakan ulang, bahan yang dapat didaur ulang, dan/atau bahan yang mudah diurai oleh proses alam; dan/atau b. mengumpulkan dan menyerahkan kembali sampah dari produk dan/atau kemasan yang sudah digunakan untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang; c. memanfaatkan kembali sampah secara aman bagi kesehatan dan lingkungan. Pasal 12 Pemerintah daerah dalam usaha pengurangan sampah dilakukan melalui kegiatan: a. pemantauan dan supervisi pelaksanaan rencana pemanfaatan bahan produksi ramah lingkungan oleh pelaku usaha; dan b. fasilitasi kepada masyarakat dan dunia usaha dalam mengembangkan dan memanfaatkan hasil daur ulang, pemasaran hasil produk daur ulang, dan guna ulang sampah. Pasal 13 (1) Produsen wajib melakukan pembatasan timbulan sampah dengan: a. menyusun rencana dan/atau program pembatasan timbulan 65

76 sampah sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya; dan/atau b. menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin. c. melakukan pendauran ulang sampah; dan d. melakukan pemanfaatan kembali sampah. (2) Produsen wajib melakukan pendaur ulangan sampah dengan: a. menyusun program pendauran ulang sampah sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya; b. menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang; dan/atau c. menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk didaur ulang. (3) Dalam melakukan pendauran ulang sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), produsen dapat menunjuk pihak lain. (4) Pihak lain, dalam melakukan pendauran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memiliki izin usaha dan/atau kegiatan. (5) Dalam hal pendauran ulang sampah untuk menghasilkan kemasan pangan, pelaksanaan pendauran ulang wajib mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang pengawasan obat dan makanan. (6) Produsen wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan: a. menyusun rencana dan/atau program pemanfaatan kembali sampah sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya sesuai, dengan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah Kabupaten/Kota..; 66

77 b. menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna ulang; dan/atau c. menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk diguna ulang. Pasal 14 (1) Pelaku usaha wajib melaksanakan pengurangan sampah dari kegiatan usahanya. (2) Pengurangan sampah dari kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan: a. menggunakan bahan-bahan baik untuk produksi maupun untuk pewadahannya yang sesedikit mungkin menimbulkan sampah; b. menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang dan/atau bahan yang mudah diurai oleh proses alam dalam kegiatan usahanya; c. melakukan pendaur ulangan sampah yang dihasilkan dari usahanya dengan teknologi yang aman bagi kesehatan dan lingkungan; d. membantu upaya pengurangan dan pemanfaatan kembali sampah dari hasil dalam kegiatan usahanya, dengan metode pemanfaatan sampah untuk menghasilkan produk dan energi; dan e. apabila usahanya menghasilkan produk, melakukan optimalisasi penggunaan bahan daur ulang sebagai bahan baku produk; dan menampung kemasan produk yang telah dimanfaatkan oleh konsumen. 67

78 Bagian Ketiga Penanganan Sampah Pasal 15 Kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi: a. pemilahan; b. pengumpulan; c. pengangkutan; d. pengolahan; e. pemrosesan akhir sampah. Paragraf 1 Pemilahan sampah Pasal 16 (1) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 huruf a dilakukan melalui kegiatan pengelompokan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah yang terdiri atas: a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun; b. sampah yang mudah terurai; 68

79 c. sampah yang dapat digunakan kembali; d. sampah yang dapat didaur ulang; dan e. sampah lainnya. (2) Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain kemasan obat serangga, kemasan oli, kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa, peralatan listrik, dan peralatan elektronik rumah tangga. (3) Sampah yang mudah terurai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain sampah yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan/atau bagian-bagiannya yang dapat terurai oleh makhluk hidup lainnya dan/atau mikroorganisme seperti sampah makanan dan serasah. (4) Sampah yang dapat digunakan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan sampah yang dapat dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses pengolahan antara lain kertas kardus, botol minuman, dan kaleng. (5) Sampah yang dapat didaur ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meirupakan sampah yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui proses pengolahan antara lain sisa kain, plastik, kertas, dan kaca. (6) Sampah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan residu. Pasal 17 (1) Dalam rangka pemilahan sampah, produsen harus mencantumkan label atau tanda pada produk dan/atau kemasan produk, yang menunjukkan bahwa sisa produk dan/atau kemasan produk 69

80 yang dihasilkan merupakan jenis : a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun; b. sampah yang mudah terurai; c. sampah yang digunakan kembali; d. sampah yang dapat di daur ulang; dan e. sampah lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 18 (1) Setiap orang/rumah tangga wajib melakukan pemilahan sampah pada sumbernya. (2) Setiap rumah tangga wajib menyediakan wadah sampah untuk kegiatan pemilahan sampah, dengan persyaratan dan kriteria sebagai berikut : a. tidak mudah rusak dan kedap air; b. ekonomis dan mudah diperoleh; c. mudah dikosongkan; d. apabila berbentuk kantong terbuat dari bahan yang dapat di daur ulang; e. dibedakan dengan warna dan simbol, sesuai jenis sampah. (3) Apabila rumah tangga tidak mampu menyediakan wadah sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka wadah sampah wajib disediakan oleh pemerintah daerah. 70

81 Pasal 19 (1) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya dalam melakukan pemilahan sampah wajib menyediakan sarana pemilahan dan pewadahan sampah skala kawasan. (2) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan sarana pemilahan dan pewadahan sampah skala kabupaten/kota. Pasal 20 (1) Persyaratan sarana pemilahan dan pewadahan sampah skala kawasan dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: a. volume sampah; b. jenis sampah dan sifat sampah; c. penempatan; d. jadwal pengumpulan; dan e. jenis sarana pengumpulan dan pengangkutan. (2) Sarana pemilahan dan pewadahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menggunakan wadah yang tertutup, yang diberi label atau tanda, dengan kriteria sebagai berikut : a. wadah warna untuk sampah, dengan simbol..; b. wadah warna... untuk sampah.., dengan simbol.; 71

82 c. wadah warna... untuk sampah..., dengan simbol...; d. wadah warna... untuk sampah.., dengan simbol.; e. wadah warna... untuk sampah..., dengan simbol.. (3) Penyediaan wadah sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi standar wadah sampah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar wadah sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Paragraf 2 Pengumpulan Sampah Pasal 21 (1) Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 huruf b dilakukan melalui kegiatan pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke TPS dan/atau TPS 3R atau TPST/ TPA dengan tetap memperhatikan pemilahan sampah sesuai jenis sampah. (2) Kegiatan pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, meliputi: a. Pengelolaan kawasan wajib melakukan pengumpulan sampah dan menyediakan TPS dan/atau TPS 3R skala kawasan secara aman bagi kesehatan dan lingkungan; 72

83 b. Pemerintah Daerah wajib menyediakan TPS dan/atau TPS 3R yang aman bagi kesehatan dan lingkungan. Pasal 22 (1) Pengumpulan sampah perorangan/rumah tangga dari tempat pemilahan sampah ke TPS dan/atau TPS 3R menjadi tanggung jawab pengelola sampah di tingkat Rukun Warga (RW) yang dibentuk oleh Pengurus RW. (2) Penyediaan sarana pengumpulan sampah rumah perorangan/ rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di wilayah permukiman yang dikelola oleh Pengurus RW, menjadi tanggung jawab Pengurus RW, dan Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasinya sesuai kebutuhan, dan kondisi sosial - ekonomi masyarakat. Pasal 23 (1) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya dalam melakukan pengumpulan sampah wajib menyediakan TPS, atau TPS 3R dan/atau sarana pengumpulan sampah terpilah secara aman bagi kesehatan dan lingkungan skala kawasan. (2) Sarana pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. gerobak; 73

84 b. motor sampah; c. kontainer; atau d. truk sampah (3) TPS dan/atau TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan TPS, TPS 3R dan sarana pengumpulan sampah skala kabupaten/kota. Paragraf 3 Pengangkutan Sampah Pasal 24 (1) Pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA dan/ atau TPST sebagaimana dimaksud Pasal 15 huruf c tidak boleh dicampur kembali setelah dilakukan pemilahan dan pewadahan. (2) Dalam hal terdapat sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun, teknis pengangkutan sampah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 (1) Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah. 74

85 (2) Pemerintah daerah dalam melakukan pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. menyediakan alat angkut sampah termasuk untuk sampah terpilah yang tidak mencemari lingkungan; dan b. melakukan pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA atau TPST. (3) Dalam pengangkutan sampah, pemerintah daerah bila diperlukan dapat menyediakan stasiun peralihan antara. (4) Dalam hal dua atau lebih kabupaten/kota melakukan pengolahan sampah bersama dan memerlukan pengangkutan sampah lintas kabupaten/kota, pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kepada pemerintah provinsi untuk menyediakan stasiun peralihan antara dan alat angkutnya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kendaraan dan penjadwalan pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kabupaten/Walikota. Paragraf 4 Pengolahan Sampah Pasal 26 Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, dilakukan di TPS 3R, TPST dan/atau TPA dengan cara mengubah karakteristik, komposisi dan jumlah sampah dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan. 75

86 Pasal 27 (1) Kegiatan pengolahan sampah dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. pemadatan; b. pengomposan; c. daur ulang materi; d. daur ulang energi; dan/atau e. pengolahan sampah lainnya dengan teknologi ramah lingkungan. (2) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan oleh Pemerintah Daerah, orang perseorangan, kelompok orang dan/atau badan hukum pada sumbernya, dan pengelola kawasan. Pasal 28 (1) Pengolahan sampah di TPS 3R sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 terdapat di: a. kelurahan/desa; b. kecamatan; dan c. kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, dan kawasan khusus. (2) Pengolahan sampah di TPS 3R kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diselenggarakan oleh penanggung jawab dan/atau pengelola kawasan. 76

87 (3) Pengolahan sampah di TPS 3R sebagaimana dimaksud dapat dikerjasamakan dan/atau dapat diselenggarakan oleh badan usaha di bidang kebersihan atau persampahan di bawah pembinaan dan pengawasan Pemerintah Daerah. (4) Penyediaan lahan TPS 3R di kelurahan dan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dan dapat dikerjasamakan dengan pelaku usaha, masyarakat dan/atau badan usaha dibidang kebersihan atau persampahan. Pasal 29 Lokasi TPS 3R sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat 4 ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi. Pasal 30 (1) Pengolahan sampah di TPS 3R harus memenuhi persyaratan teknis dan standar prasarana dan sarana pengolahan sampah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan standar prasarana dan sarana pengolahan sampah di TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 77

88 Pasal 31 (1) Sampah spesifik karena sifat, konsentrasi dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus, dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, kriteria sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Paragraf 5 Pemrosesan Akhir Sampah Pasal 32 (1) Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e, dilakukan di TPA untuk mengembalikan sampah dan/ atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. (2) Pemrosesan akhir sampah dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan menggunakan metode : a. lahan urug terkendali b. lahan urug saniter; dan/atau c. penggunaan teknologi ramah lingkungan. (3) Pemilihan lokasi TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 78

89 Pasal 33 (1) Apabila TPA tidak dioperasikan sesuai dengan persyaratan teknis, harus dilakukan penutupan dan/atau rehabilitasi. (2) Penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir sampah dilakukan melalui tahapan perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan. (3) Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir meliputi kegiatan konstruksi, supervisi, dan uji coba. Paragraf 6 Pengelolaan Sampah Spesifik Pasal 34 Pengelolaan sampah spesifik terdiri atas: a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun; b. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun; c. sampah yang timbul akibat bencana; d. puing bongkaran bangunan; e. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; f. sampah yang timbul secara tidak periodik. 79

90 Pasal 35 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 mengenai pengelolaan sampah spesifik diatur dengan peraturan Bupati/Walikota. BAB VI PERIZINAN Pasal 36 (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota. (2) Kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dan yang wajib memiliki izin meliputi : a. pendaur ulangan; b. pengangkutan; c. pengolahan; dan d. pemrosesan akhir. (3) Izin pengangkutan sampah berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Izin pengolahan dan pemrosesan akhir sampah berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (5) Izin pengelolaan sampah berakhir secara otomatis karena masa berlaku nsudah berakhir atau badan usaha pemegang izin 80

91 pengelolaan sampah bubar dan/atau dicabut karena melanggar ketentuan yang berlaku dalam perizinan. Pasal 37 (1) Untuk mendapatkan izin usaha pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), badan usaha harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati/ Walikota dengan melampirkan persyaratan administrasi dan teknis. (2) Permohonan izin pengelolaan sampah harus memenuhi persyaratan administratif yang memuat : a. data akta pendirian perusahaan; b. nama penanggung jawab kegiatan; c. nama, alamat dan bidang usaha dan/atau kegiatan perusahaan; d. nomor telepon perusahaan; e. wakil perusahaan yang dapat dihubungi; dan f. sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat pelatihan. (3) Untuk kegiatan pengelolaan yang wajib Amdal atau UKL-UPL. permohonan izin harus dilengkapi dengan izin lingkungan. (4) Keputusan mengenai pemberian izin pengelolaan sampah diumumkan kepada masyarakat. 81

92 BAB VII LEMBAGA PENGELOLA Pasal 38 (1) Penyelenggaraan pengelolaan sampah dilaksanakan oleh lembaga pengelola sampah. (2) Lembaga pengelola sampah sebagaimana yang dimaksud dengan ayat 1 dapat berbentuk: a. Lembaga Swadaya Masyarakat; b. UPTD; c. BLUD; d. SKPD; dan/atau e. BUMD. Pasal 39 Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 akan diatur dengan peraturan Bupati/Walikota. 82

93 BAB VIII PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI Bagian Kesatu Pembiayaan Pasal 40 (1) Sumber pembiyaan pengelolaan sampah berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan b. sumber pembiayaan lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Sumber pembiayaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa: c. retribusi; b. hibah; c. pinjaman; dan/atau d. investasi badan usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembiayaan diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. 83

94 Pasal 41 (1) Pembiayaan kegiatan pengolahan sampah yang dilaksanakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab masyarakat. (2) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan berupa stimulan dan/atau sarana pengolahan sampah yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai kebutuhan. Pasal 42 (1) Setiap orang yang menggunakan atau menerima manfaat jasa pelayanan pengelolaan sampah wajib membayar jasa pengelolaan sampah. (2) Besaran tarif yang dikenakan kepada setiap wajib bayar dihitung berdasarkan kebutuhan biaya penyediaan jasa pengelolaan sampah yang diberikan menurut kaidah manajemen usaha dan mempertimbangkan kemampuan secara ekonomi dan aspek keadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif jasa pengelolaan sampah diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Bagian Kedua Kompensasi Pasal 43 (1) Kompensasi merupakan pemberian imbalan dan/atau rugi 84

95 kepada orang perseorangan, kelompok orang dan/atau badan hukum, yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di TPA. (2) Pemerintah Daerah wajib memberikan kompensasi sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pemrosesan akhir sampah. (3) Kompensasi harus dianggarkan dalam APBD. (4) Dampak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. pencemaran air; b. pencemaran udara; c. pencemaran tanah; d. longsor; e. kebakaran;dan/atau f. ledakan gas metan; dan/atau g. hal lain yang dapat menimbulkan dampak negatif. Pasal 44 (1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1),dapat berbentuk: a. relokasi penduduk; b. pemulihan kualitas lingkungan; c. biaya kesehatan dan pengobatan; d. penyediaan fasilitas sanitasi dan kesehatan; dan/atau e. kompensasi dalam bentuk lain. 85

96 (2) Untuk memberikan jaminan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan perusahaan asuransi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kerjasama dengan perusahaan asuransi diatur melalui Peraturan Bupati/Walikota. Pasal 45 Tata cara pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dilaksanakan melalui: a. pengajuan surat pengaduan kepada Pemerintah Daerah; b. pemerintah daerah melakukan investigasi atas kebenaran dan dampak negatif pengelolaan sampah; dan c. menetapkan bentuk kompensasi yang diberikan berdasarkan hasil investigasi dan hasil kajian. BAB IX INSENTIF DAN DISINSENTIF Pasal 46 (1) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif pada setiap lembaga, pelaku usaha, perseorangan yang melakukan pengurangan dan/atau pengolahan sampah berupa: 86

97 a. inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah; b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan; c. pengurangan timbulan sampah; dan/atau d. tertib penanganan sampah. (2) Insentif yang diberikan berupa: a. insentif fiskal; dan/atau b. insentif non fiskal. (3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa antara lain: a. uang kepada anggota masyarakat yang langsung melakukan pemilahan dan/atau pengolahan sampah; b. dana bergulir; dan c. keringanan pajak daerah dan/atau pengurangan retribusi. (4) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa pemberian kemudahan dalam perizinan dan/atau dalam bentuk penghargaan. Pasal 47 (1) Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif kepada setiap orang yang melakukan: a. pelanggaran terhadap larangan; dan/atau b. pelanggaran tertib penanganan sampah. (2) Desinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa: a. disinsentif fiskal; dan 87

98 b. disinsentif non fiskal. (3) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, berupa pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah yang tinggi. (4) Disinsentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, berupa persyaratan khusus dalam perizinan, kewajiban berupa kompensasi atau imbalan dan/atau pembatasan penyediaan prasarana dan sarana. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan/atau disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati/ Walikota. BAB X KERJASAMA DAN KEMITRAAN Bagian Kesatu Kerjasama Antar Daerah Pasal 48 (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah. (2) Lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah mencakup: 88

99 a. penyediaan/pembangunan TPA; b. penyediaan prasarana dan sarana TPA; c. pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA; d. pengelolaan TPA; dan/atau e. pengelolaan sampah menjadi produk lainnya yang ramah lingkungan. (3) Bentuk dan pola kerjasama antar daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kemitraan Pasal 49 (1) Pemerintah Daerah dapat bermitra dengan badan usaha dalam pengelolaan sampah. (2) Lingkup kerja sama bidang pengelolaan sampah dapat berupa: a. pembatasan timbulan sampah; b. pendauran ulang sampah; c. pemanfaatan kembali sampah; d. pemilahan sampah; e. pengumpulan sampah; f. pengangkutan sampah; g. pengolahan sampah; dan h. pemrosesan akhir sampah. 89

100 (3) Kerjasama dalam kegiatan pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h, dapat berupa : a. penyediaan/pembangunan TPA; b. sarana dan prasarana TPA; c. pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA; d. pengelolaan TPA; dan/atau e. pengolahan sampah menjadi produk lainnya yang ramah lingkungan f. Pengolahan sampah menjadi produk berdaya guna, bernilai ekonomis dan sumber energi. Pasal 50 (1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama antara pemerintah daerah dengan badan usaha. (2) Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAB XI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN Pasal 51 90

101 (1) Pemerintah daerah dapat mengenakan retribusi atas pelayanan persampahan. (2) Penyelenggaraan retribusi atas pelayanan persampahan berpedoman pada peraturan daerah Nomor tentang Retribusi. BAB XII PERAN MASYARAKAT Pasal 52 (1) Masyarakat dapat berperan aktif dalam pengolahan sampah dengan cara: a. meningkatkan kemampuan, kemandirian, keberdayaan dan kemitraan dalam pengelolaan sampah; b. menumbuhkembangkan kepeloporan masyarakat dalam pengolahan sampah; c. meningkatkan ketanggap daruratan atau tindakan yang sifatnya gawat darurat dalam pengolahan sampah, seperti terjadi kebakaran di TPS, TPS 3R, TPST atau TPA yang membahayakan; dan d. menyampaikan informasi, laporan, pengaduan, saran dan/ atau kritik yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. (2) Pelaku usaha dapat berperan aktif dalam kegiatan pengolahan sampah melalui kegiatan: a. penyediaan dan/atau pengembangan teknologi pengolahan sampah; 91

102 b. bantuan prasarana dan sarana; c. bantuan inovasi teknologi pengolahan sampah;dan d. pembinaan pengolahan sampah kepada masyarakat. Pasal 53 (1) Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat dampak negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan pengelolaan sampah dan/atau perbuatan larangan dalam perda ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dapat menyampaikan pengaduan kepada Bupati/Walikota melalui Lurah, Camat dan/ atau Kepala Dinas. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dengan cara lisan dan/atau tertulis. Pasal 54 (1) Pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) memuat informasi: a. identitas pengadu yang paling sedikit memuat informasi nama, alamat, dan b. nomor telepon yang bisa dihubungi; c. lokasi terjadinya dampak dan/atau perbuatan dalam kegiatan pengelolaan sampah ; d. dugaan sumber dampak dan/atau perbuatan dalam kegiatan pengelolaan sampah; 92

103 e. waktu terjadinya dampak dan/atau perbuatan dalam kegiatan pengelolaan sampah. (2) Data pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dirahasiakan oleh penerima pengaduan. Pasal 55 (1) Pengadu berhak menyampaikan pengaduan kepada instansi yang bertanggung jawab. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui kepala desa/lurah atau camat setempat. (3) Kepala desa/lurah atau camat setempat menyampaikan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada instansi yang bertanggung jawab. (4) Dalam hal pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditindaklanjuti dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja, pengadu dapat menyampaikan pengaduan kepada instansi yang bertanggung jawab di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kelembagaan dalam penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. 93

104 BAB XIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 56 (1) Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap penyelenggara pengelolaan sampah, antara lain melalui kegiatan: a. koordinasi; b. sosialisasi; c. penyuluhan dan bimbingan teknis; d. supervisi dan konsultasi; e. pendidikan dan pelatihan; f. penelitian dan pengembangan; g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi; dan h. penyebarluasan informasi. (2) Kegiatan pembinaan pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada masyarakat (orang perorangan, kelompok masyarakat), produsen, pelaku usaha, pengelola kawasan, dan lembaga pengelola. (3) Kegiatan pembinaan pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 94

105 Pasal 57 (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah dengan cara: a. pemantauan; b. pengendalian; dan c. evaluasi. (2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. pengurangan sampah ; b. penanganan sampah; c. pelaksanaan penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkungan hidup akibat kegiatan penanganan sampah; dan d. pelaksanaan pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat kecelakaan dan pencemaran lingkungan dari kegiatan penanganan sampah. 95

106 BAB XIV LARANGAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Larangan Pasal 58 Setiap orang dilarang : a. membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; b. membuang sampah, kotoran, atau barang bekas lainnya disaluran air atau selokan, jalan, berm (bahu jalan), trotoar, tempat umum, tempat pelayanan umum, dan tempat-tempat lainnya yang bukan merupakan tempat pembuangan sampah; c. mencampur sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dengan sampah B3 rumah tangga; d. mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; e. mengotori, merusak, membakar, atau menghilangkan tempat sampah yang telah disediakan; f. membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah, sehingga mengganggu kenyamanan penduduk sekitar tempat pembakaran sampah dan menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; dan g. melakukan pemrosesan akhir sampah menggunakan metode yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 96

107 Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 59 (1) Setiap produsen dengan sengaja melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif berupa uang paling sedikit Rp ,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Setiap pelaku usaha dengan sengaja melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling sedikit Rp ,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua puluh lima juta rupiah). (3) Setiap produsen dan pelaku usaha yang dengan sengaja tanpa melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) maka pemerintah daerah dapat mencabut izin usaha. (4) Uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disetorkan ke kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 60 (1) Setiap orang yang lalai atau dengan sengaja tidak melakukan pemilahan dan pewadahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling banyak Rp ,00. 97

108 (2) Penanggung jawab dan/atau pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, yang lalai atau dengan sengaja tidak menyediakan prasarana dan sarana pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling sedikit Rp ,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima puluh Juta rupiah). (3) Pengelola fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya yang lalai atau dengan sengaja tidak menyediakan prasarana dan sarana pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 23, dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling sedikit Rp ,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima juta rupiah). Pasal 61 (1) Bupati/ Walikota dapat memberikan sanksi administratif berupa uang paksa kepada: a. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang sampah di luar jadwal yang ditentukan, dikenakan uang paksa paling banyak Rp ,00 (seratus ribu rupiah); b. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang, menumpuk sampah dan/atau bangkai binatang tidak pada tempat yang ke sungai/kali/kanal, waduk, situ, saluran air limbah, di jalan, taman, atau tempat umum, dikenakan uang paksa paling banyak Rp ,00 (lima ratus ribu rupiah); c. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang sampah dari kendaraan, dikenakan uang paksa paling 98

109 banyak Rp ,00 (lima ratus ribu rupiah); dan d. setiap orang dengan sengaja atau terbukti mengeruk atau mengais sampah di TPS yang berakibat sampah menjadi berserakan, membuang sampah diluar tempat/lokasi pembuangan yang telah ditetapkan, dikenakan uang paksa paling banyak Rp ,00 (lima ratus ribu rupiah); e. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membakar sampah, dikenakan uang paksa paling banyak Rp ,00 (satu juta rupiah); f. pengelola sampah yang melanggar ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam izin, dikenakan paksaan pemerintahan sesuai ketentuan dalam perizinan yang berlaku; g. apabila paksaan pemerintahan tidak dilaksanakan, dikenakan uang paksa paling banyak Rp ,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah). h. paksaan pemerintahan dan uang paksa tidak dilaksanakan oleh pemegang izin maka dikenakan pencabutan izin. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), secara operasional ditetapkan oleh pengawas kebersihan dan dapat di dampingi aparat penegak hukum. (3) Uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disetorkan ke kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 62 (1) Badan usaha yang terbukti melakukan usaha pengelolaan sampah tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 99

110 (1) kepada penanggungjawab Badan Usaha bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling sedikit Rp ,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan wajib memproses Izin Usaha Pengelolaan Sampah. (2) Badan usaha di bidang pengelolaan sampah dengan sengaja dan terbukti tidak memberikan jaminan perlindungan kepada Petugas Kebersihannya, maka penanggung jawab badan usaha yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha pengelolaan sampah. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan mekanisme penerapan sanksi administratif secara rinci, diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. BAB XV PENYIDIKAN Pasal 63 (1) Selain pejabat penyidik Polri, yang bertugas menyidik tindak pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam melaksanakan tugas PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang: 100

111 a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya pelanggaran dan/atau tindak pidana ; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian pelanggaran dan/atau melakukan pemeriksaan kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang pengelolaan sampah; c. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi yang berkenaan dengan pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang pengelolaan sampah; d. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang pengelolaan sampah; e. meminta keterangan dan mengumpulkan alat bukti berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang pengelolaan sampah; f. melakukan pemeriksaan atas alat bukti yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan sampah; g. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang pengelolaan sampah; dan h. melakukan pemeriksaan tempat kejadian perkara yang diduga tempat kejadian atau lokasi yang terkena dampak pelanggaran dan/ atau tindak pidana di bidang pengelolaan sampah. (3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik 101

112 Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan penyidikan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.. BAB XVI KETENTUAN PIDANA Pasal 64 (1) Setiap produsen yang lalai atau dengan sengaja tidak mencantumkan label dan/atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produk yang dihasilkan kepada penanggungjawabnya diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp ,- (lima puluh juta rupiah). (2) Setiap produsen yang lalai atau dengan sengaja tidak menggunakan bahan baku produksi dan kemasan yang dapat diurai oleh proses alam, yang menimbulkan sesedikit mungkin sampah, dan yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), kepada penanggungjawabnya diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling sedikit Rp ,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). 102

113 Pasal 65 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan sampah tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp ,- (lima puluh juta rupiah). Pasal 66 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 adalah kejahatan. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 67 (1) Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan berdasarkanperaturan Daerah ini, peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. (2) Penyediaan fasilitas pemilahan sampah dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku. 103

114 (3) Penyediaan TPS 3R oleh Pemerintah Daerah dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku. (4) Penyediaan TPST dan TPA oleh Pemerintah Daerah dilakukan paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku. (5) Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Peraturan Daerah ini diselesaikan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak peraturan daerah ini diundangkan. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 68 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor.. Tahun. tentang.., dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 69 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 104

115 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Ditetapkan di. pada tanggal BUPATI/WALIKOTA.. NAMA BUPATI/WALIKOTA Diundangkan di.. pada tanggal. Plt. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA..,.. NIP. LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA TAHUN.. NOMOR.. 105

116 106

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbitnya Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan kegiatan Bantek Penyusunan Ranperda Pengelolaan Air Limbah Domestik, TA

Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan kegiatan Bantek Penyusunan Ranperda Pengelolaan Air Limbah Domestik, TA 1 2 3 4 Mobil Sedot Tinja KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb, Salam sejahtera untuk kita semua, Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-nya, buku panduan Penyusunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULANG BAWANG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG,

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2015 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI,

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa produk hukum merupakan landasan dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa produk hukum

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KAB LUMAJANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG, Menimbang : a. bahwa produk

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memberikan arah

Lebih terperinci

BUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG

BUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG BUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTAENG Menimbang : a.

Lebih terperinci

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 09 Tahun 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 1 - TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH

- 1 - TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH - 1 - LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH 1. Naskah Akademik adalah

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN - 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA, UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN IKATAN KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a. bahwa untuk keseragaman

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DAN PRODUK HUKUM DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 1 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 1 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK salinan NOMOR 1 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO Pembentukan Produk Hukum Pemerintahan Daerah; LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 1 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI,

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.32, 2014 KEMENDAGRI. Produk Hukum. Daerah. Pembentukan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH [ BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang:

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH C. BENTUK PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MERANGIN

PEMERINTAH KABUPATEN MERANGIN PEMERINTAH KABUPATEN MERANGIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang : a. bahwa produk

Lebih terperinci

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH A. BENTUK PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah sebagai bagian dari proses legislasi

Lebih terperinci

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang : a. bahwa untuk keseragaman dan tertib administrasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah 1 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 7 TAHUN 2015 TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 7 TAHUN 2015 TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA TAHUN 2015 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 7 TAHUN 2015 TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BAGIAN HUKUM DAN ORGANISASI SEKRETARIAT DAERAH

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI DHARMASRAYA PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI DHARMASRAYA PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DHARMASRAYA,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI. 3. Undang...

GUBERNUR JAMBI. 3. Undang... GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang a. bahwa proses pembentukan

Lebih terperinci