ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)"

Transkripsi

1 ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Asri Dwi Utami NIM. E FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 i

2 ii

3 iii

4 iv

5 MOTTO dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuz). (QS. Al An am: 59) Aku adalah apa yang hambaku sangkakan, dan Aku akan selalu bersamanya selama ia mengingat-ku (Muttafaq alaih) The greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time we fall. (Nelson Mandela) Kebahagian sejati adalah setiap hal yang ada di kehidupan kita.. be Happy ^^ (Lee Teuk-ssi) Dream..Try..Believe..And Will be Happen (penulis) v

6 PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada : Orang Tua Bangsa dan Tanah Air ku Indonesia. I LOVE INDONESIA! Almamater, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Orang-orang yang mempunyai mimpi dan senantiasa berusaha meraihnya vi

7 ABSTRAK Asri Dwi Utami, E ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan hukum internasional mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas dengan menganalisa kasus Kapal Sinar Kudus MV. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, bersifat preskriptif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode analisis bahan hukum menggunakan metode deduktif dalam penalaran hukum. Hasil penelitian mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas adalah bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional yang dapat dijadikan sebagai landasan. Aturan-aturan tersebut yaitu Convention on the High seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988) dan ketentuan yang diatur oleh organisasi internasional serta hukum yang berlaku di kawasan tertentu. Berdasarkan aturan hukum internasional tersebut seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus MV dapat dilakukan dengan cara lain (tidak dengan pembayaran uang tebusan). Penyelesaian yang sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yurisdiksi Indonesia, yurisdiksi Somalia maupun yurisdiksi universal Kata kunci : Perompakan, Sinar Kudus MV, Yurisdiksi vii

8 ABSTRACT Asri Dwi Utami, E ANALYSIS OF PIRACY JURISDICTION ON THE HIGH SEAS BY INTERNATIONAL LAW (CASE STUDY ON THE SINAR KUDUS MV SHIP PIRACY). Faculty of Law Sebelas Maret University Surakarta. This research aims to determine the international law rules concerning piracy on the high seas by analyzing the application of jurisdiction case on Sinar Kudus MV ship case. This research is a normative legal research with prescriptive characteristic. The approach researches are statute approach and cases approach. The law materials used by this research are primary, secondary and tertiary materials. For the analysis, it uses a deductive method. The results of the research show that there has been international law rules which can be used as the basis for all states to apply their jurisdiction to the piracy cases. These rules are the Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), and the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988). Instead of these international rules, some codes and guidances concerning combating piracy are also concluded by international organizations. Based on these international rules, the Indonesian government has some alternatives to prosecute pirates, instead of ransom money payment. These alternatives are either employing Indonesian or Somalia jurisdiction; regional jurisdiction; and universal jurisdiction. Keywords : Piracy, Sinar Kudus MV, Jurisdiction. viii

9 KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur penulis panjatkan, penulisan hukum (skripsi) dengan judul ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV) dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya penulisan hukum ini. Dalam menyelesaikan penulisan hukum ini penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Ibu Sri Lestari, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan dan perhatian kepada penulis. 4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, dan motivasi demi kemajuan Penulis. 5. Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, obrolan-obrolan bermanfaat dan motivasi demi kemajuan Penulis. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat ix

10 dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan. 7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta terima kasih atas bantuannya. 8. Kementrian Luar Negeri khususnya Dinas 3 Polkamwil yang telah memberikan Penulis banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. 9. Orang tua penulis, terimakasih atas cinta, doa dan pengorbanannya selama ini hingga sampai detik ini penulis hanya dapat membalas dengan doa dan hanya mampu berucap terimakasih lagi terimakasih. 10. Arum Setyowati dan Heri Kurnianto, terimakasih sudah memberikan motivasi, doa dan bimbingan selama ini tanpa support dari kalian tidak akan pernah penulis menjadi seperti ini. 11. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dam mengisi hari-hari penulis dalam penyusunan skripsi ini. Surakarta, Penulis x

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... HALAMAN PERNYATAAN.. MOTTO HALAMAN PERSEMBAHAN... ABSTRAK KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang.... B. Rumusan masalah... C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian.. E. Metode Penelitian... F. Sistematika Penulisan Hukum BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.. A. Kerangka Teori Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan United Nations Convention on Law of the Sea Tinjauan tentang yurisdiksi Tinjauan tentang jenis kapal laut 4. Tinjauan tentang status kapal di laut lepas 5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut i ii iii iv v vi vii ix xi xiii xiv xi

12 B. Kerangka Pemikiran.. BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara Somalia.. 2. Gambaran tentang perompakan Somalia.. 3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV... B. Pembahasan Pengaturan perompakan di laut lepas menurut hukum internasional Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV ditinjau dari aspek hukum internasional.. BAB IV. PENUTUP. A. Simpulan. B. Saran DAFTAR PUSTAKA xii

13 DAFTAR TABEL Tabel 1: Kapal yang dirompak di afrika tahun Tabel 2: Resume aturan hukum internasional mengenai perompakan xiii

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Gambar pembagian wilayah laut. Gambar2: Skema Kerangka Pemikiran... Gambar3: Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia... Gambar4: Gambar perluasan wilayah perompakan... Gambar5: Gambar total perompakan di beberapa negara... Gambar6: Gambar jalur perompakan xiv

15 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut sebagai cabang dari hukum internasional telah mengalami banyak perubahan. Hukum laut mengalami suatu revolusi yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Hukum laut merupakan salah satu pembahasan yang pertama kali dilakukan dalam konferensi internasional, hukum laut diberikan ruang yang luas dalam pembahasan di perjanjian multilateral (D.J Harris, 1998: 368). Pada abad ketujuhbelas Portugis menyatakan laut lepas sebagai bagian dari laut teritorial Portugis, namun klaim ini ditanggapi oleh Grotius yang mengelaborasikan nilai doktrin laut lepas sebagai res communis yang berarti laut lepas merupakan milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil/dimiliki oleh masing-masing negara (Malcolm N Shaw, 2008: 553). Konferensi internasional yang mengatur mengenai hukum laut telah di mulai sejak tahun 1930 dengan adanya kodifikasi hukum internasional yang salah satunya mengatur mengenai laut teritorial. Pada tahun 1958 diadakan lagi konferensi internasional dan mengatur khusus mengenai hukum laut yang menghasilkan 4 konvensi tentang hukum laut, yakni Konvensi atas Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Teritorial Sea and Contiquous Zone), Konvensi atas Laut Bebas (The Convention on The High Seas), Konvensi atas Landasan Kontinental (The Convention on The Continental Shelf), dan Konvensi atas Penangkapan Ikan dan Konservasi Sumber Daya Hidup Laut Bebas (The Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of The High Seas) (Rebecca M.M.Wallace,1993: 141). Sejalan dengan adanya perkembangan jaman dan banyaknya bahaya di laut maka diadakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke III atas hukum laut. Pada tanggal 30 April 1982 konferensi tersebut telah ditandatangani oleh 119 negara, dan menghasilkan Konvensi Hukum Laut yang baru yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Pembahasan mengenai 1

16 2 hukum laut dilakukan karena dilatarbelakangi oleh fungsi laut yang merupakan jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain ke seluruh pelosok dunia untuk segala macam kegiatan (Boer Mauna, 2005: 304). Karena fungsi tersebut, kejahatan sering terjadi di laut, hal ini disebabkan karena laut dijadikan sebagai jalur transportasi yang sering digunakan untuk menghubungkan antar negara. Kejahatan yang sering terjadi di laut salah satunya adalah perompakan. Perompakan sudah ada sejak zaman Illyrians tahun 233 SM. Pada saat itu, kekaisaran Romawi telah melakukan upaya untuk melindungi pedagang Italia dan Yunani dari kejahatan perompakan ketika berlayar di laut. Namun perompakan tetap tidak berkurang, para perompak terus bertahan dan menyebar ke berbagai lokasi di seluruh dunia (Sergei Oudman, Tindakan perompakan mengancam keamanan pelayaran, membahayakan awak buah kapal dan keamanan dalam perdagangan. Tindakan kejahatan perompakan ini dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, kerusakan fisik kapal atau penyanderaan awak buah kapal, gangguan untuk perdagangan dan navigasi, kerugian keuangan untuk pemilik kapal, peningkatan premi asuransi dan biaya keamanan, meningkatkan biaya bagi konsumen dan produsen, dan kerusakan pada lingkungan laut. Serangan perompakan juga dapat memiliki konsekuensi yang luas, termasuk mencegah bantuan kemanusiaan dan meningkatkan biaya pengiriman masa depan ke daerah-daerah (division for ocean affairs and the law of the sea, UNCLOS 1982 memberikan kerangka untuk menekan perompakan di bawah hukum internasional, khususnya dalam Pasal Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menegaskan bahwa hukum internasional, sebagaimana tercermin dalam UNCLOS 1982, menetapkan kerangka hukum yang berlaku untuk memerangi perompakan dan perampokan bersenjata di laut (Resolusi Dewan Keamanan 1897 (2009), diadopsi pada tanggal 30 November 2009) (division for ocean affairs and the law of the sea, Perompakan juga merupakan

17 3 suatu tindak pidana yang berada diyurisdiksi semua negara di manapun tindakan itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai kejahatan pelanggaran atas prinsip jus cogens (J.G. Starke, 2009: 304). Secara umum istilah perompakan atau perampokan bersenjata di laut tidak dibedakan secara pasti dan jelas. Namun dalam pengertian yang ada di dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 perompakan di laut diartikan secara sederhana yang terdiri dari salah satu di antara tindakan yang merupakan tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara dan atau terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. Serta, setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta bahwa kapal atau pesawat udara tersebut digunakan untuk merompak. Setiap tahun kasus perompakan mengalami peningkatan, menurut laporan tahunan International Maritime Organitation (IMO), perompakan yang terjadi di laut lepas di dunia pada tahun 2009 terdapat 406 kasus dan semakin meningkat hingga 20,4%, terdapat 489 kasus pada tahun 2010 (IMO, MSC.4/Circ icalresources/piracy/pages/piracy-reports-(annual) aspx). Kasus yang terjadi pada tahun 2011 yakni perompakan Kapal Sinar Kudus MV yang dirompak oleh perompak dari Somalia di 320 mil laut sebelah timur laut Pulau Socotra sebanyak 20 awak kapal yang berwarganegara Indonesia dijadikan disandera oleh perompak Somalia. (Deni Doris, =344%3Aperompakan-kapal-mv-sinar-kudus&Itemid=137). Upaya yang telah dikerahkan dari pihak Indonesia untuk menyelesaikan kasus tersebut yakni dengan melakukan negosiasi dengan pembayaran uang tebusan kepada para perompak Somalia.

18 4 Pembayaran uang tebusan dan negosiasi yang diterapkan untuk menyelesaikan kasus perompakan Sinar Kudus MV sesungguhnya bukan menjadi solusi satu-satunya yang dapat diterapkan, melainkan ada alternatif solusi lain yakni dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat dalam kasus tersebut. Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai yurisdiksi yang melekat pada perompakan kapal laut di laut lepas menurut hukum internasional dengan studi kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV tersebut dengan judul ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV) B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana aturan hukum internasional yang mengatur mengenai perompakan di laut lepas? 2. Bagaimana penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV ditinjau dari aspek hukum internasional? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan subjektif dan tujuan objektif. Dalam penelitian hukum ini mempunyai tujuan objektif dan tujuan subjektif adalah: 1. Tujuan objektif Tujuan objektif merupakan tujuan umum yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian hukum ini tujuan objektifnya sebagai berikut: a. Untuk mendeskripsikan aturan-aturan hukum internasional dalam mengatur perompakan di laut lepas; b. Untuk mengkaji penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV yang ditinjau dari aspek hukum internasional.

19 5 2. Tujuan subjektif Tujuan subjektif yaitu merupakan tujuan pribadi penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian hukum. Dalam penelitian ini tujuan subjektifnya sebagai berikut: a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum Internasional, khususnya hukum laut di bidang perompakan; b. Menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar kajian tentang yurisdiksi perompakan di laut lepas ini memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang bernilai positif karena berdasarkan alasan tersebutlah penulis melakukan penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan hukum ini adalah: 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian hukum ini, bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya, dan hukum Internasional pada khususnya; b. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang aturan hukum perompakan kapal laut menurut hukum internasional; c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini berkaitan dengan pemecahan suatu masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut :

20 6 a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir sekaligus mengetahui kemampuan peniliti dalam penerapan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya hukum laut internasional. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). Sesuai urgensi penelitian hukum untuk menghasilkan suatu argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah, maka diperlukan metode penelitian sebagai rangkaian langkah untuk mencapai preskripsi penelitian hukum. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan kajian penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian yang dikaji penulis seiring dengan definisi dari penelitian hukum normatif, diteliti dan disusun secara sistematis dengan menggunakan bahan pustaka, baik bahan hukum primer seperti, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dengan masalah yang diteliti. Telaah terhadap unsur hukum yang dimaksud dalam

21 7 penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui unsur yurisdiksi yang terdapat dalam kasus perompakan kapal di perairan laut lepas secara normatif. 2. Sifat penelitian Sifat penelitian hukum adalah sejalan dengan sifat hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22). Sifat preskriptif yang peneliti analisis adalah aturan hukum internasional yang seharusnya diterapkan dalam kasus perompakan Sinar Kudus MV yakni dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat terhadap kasus tersebut. 3. Pendekatan penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Penelitian hukum ini akan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) digunakan dengan menelaah isu hukum yang diangkat dikaitkan dengan aturan-aturan yang terdapat pada UNCLOS 1982, Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988).

22 8 Selain hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach) melalui penelaahan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV yang terjadi pada tahun Jenis bahan hukum Penelitian hukum memerlukan sumber penelitian untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai yang seyogyanya. Menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahanbahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer seperti : 1) Convention on the High Seas ) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982; 3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988) 4) Resolusi Dewan Keamanan PBB 5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).

23 9 Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai pendukung untuk menelaah segala isu hukum dalam penelitian ini diantaranya adalah dokumen publik dan catatan resmi (public documents and officials records) yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan perompakan di laut lepas dalam ranah hukum. Selain itu penulis memperoleh bahan hukum dari buku-buku teks, jurnal-jurnal, artikel, penelitian terdahulu, media elektronik serta media massa yang mengulas mengenai perompakan di laut lepas yang dimaksud serta sumber lain yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, dan teks yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Bahan hukum sekunder yang dipakai penulis dalam hal ini antara lain : 1) Jurnal-jurnal, antara lain: a) Lucas Bento Toward An International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy Law Enables Piracy to Flourish. Berkeley Journal of International Law. Vol. 29 No. 2 b) Tri Setyawan R Pengaturan Hukum Penanggulangan Pembajakan dan Perompakan Laut di Wilayah Perairan Indonesia. Media Hukum/Vol.V/No1/Januari - Maret/ 2005 No ISSN ) Buku teks mengenai hukum Internasional: a) D.J Harris tahun 1998 dengan judul Cases and Materials on International Law diterbitkan oleh Sweet and Maxwell Limited, London b) J.G Starke. Tahun 2009 dengan judul Pengantar Hukum Internasional diterbitkan oleh Sinar Grafika, Jakarta. c. Bahan Hukum Tersier yakni bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian, peneiliti menggunakan bahan hukum tersier berupa Blacks Law Dictionary.

24 10 5. Teknik pengumpulan bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas dipaparkan, di sistemisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku (Johny Ibrahim, 2006: 296). 6. Teknik analisis bahan hukum Analisis bahan hukum ini menggunakan metode deduktif dalam penalaran hukum. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor dan kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47). Analisis yang digunakan penulis melalui metode deduksi ini berupa penyajian premis mayor terkait konsep menurut peraturan dalam aturan hukum internasional tentang perompakan di laut lepas kemudian premis minor ditunjukkan dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV di laut lepas. Kesimpulan yang diperoleh dari kedua premis yakni tidak digunakannya penerapan yurisdiksi yang diatur dalam hukum internasional terhadap kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV. F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian agar memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Metode penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, sumber penelitian hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

25 11 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini yakni: Tinjauan terhadap pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982, tinjauan tentang yurisdiksi, tinjauan tentang jenis-jenis kapal laut, tinjauan tentang status kapal laut di laut lepas, tinjauan tentang perompakan kapal laut. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang aturan-aturan hukum dalam penyelesaian terhadap perompakan di laut lepas yang dikaitkan dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV. BAB IV : PENUTUP Berisi simpulan yang merujuk dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran yang diajukan penulis terkait simpulan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.

26 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori Sebuah tinjauan pustaka berguna sebagai dasar teori dalam penulisan hukum, maka penulis dalam Bab ini akan menguraikan beberapa teori yang menjadi dasar teori dalam penulisan hukum ini seperti pembagian laut menurut UNCLOS 1982, yurisdiksi, jenis-jenis kapal, status kapal dan perompakan. Selain hal tersebut, dalam Bab ini penulis mencantumkan sebuah kerangka pemikiran untuk mengetahui alur berfikir dalam penulisan hukum ini. 1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan United Nations Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) Gambar 1 Gambar pembagian wilayah laut (Sumber : Berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut laut dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut: a. Perairan pedalaman Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di wilayah perairan dalam ini, negara memiliki kedaulatan penuh atasnya. Tidak ada kapal asing yang diperbolehkan masuk ke dalam wilayah ini kecuali dalam keadaan yang bersifat memaksa (Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 186). 12

27 13 b. Laut teritorial Pasal 3 UNCLOS 1982 mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 ini. UNCLOS 1982 memberikan keleluasan bagi setiap negara untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 juga (Albert W Koers, 1991: 7). Negara mempunyai kewenangan dalam laut teritorial yakni negara berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut termasuk dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non-hayati dalam air tersebut. Namun, negara berkewajiban menyediakan jalur khusus bagi pelintasan kapal-kapal asing yang akan melewati laut wilayah tersebut. Jalur tersebut sering disebut sebagai innocent passage atau jalur lintas damai. Aturan mengenai jalur lintas damai ini diatur dalam pasal 19 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa lintas damai adalah lintas yang dilakukan kapal sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan peraturan hukum internasional lainnya. Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-kapal dagang/ pariwisata asing untuk secara bebas melintasi jalur tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan orang/ lembaga dari negara pantai dengan syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan negara pantai. Kewajiban negara terhadap lintas damai diatur dalam Pasal 24 UNCLOS 1982, yakni negara tidak dipekenankan menghalangi lintas damai kapal asing yang melalui laut teritorialnya. Negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas baik secara perdata maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang melintas di jalur lintas damai. Pasal 27 UNCLOS 1982 mengatur hal tersebut, yakni

28 14 yurisdiksi kriminal negara tidak dapat diterapkan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial, kecuali dalam hal kejahatan yang terjadi di atas kapal asing tersebut dirasakan oleh negara teritorial dan mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah, telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal, wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera, tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropica. Hak negara dapat digunakkan untuk mengambil langkah apapun berdasarkan undang-undangnya untuk tujuan penangkapan atau penyidikan di atas kapal asing yang melintasi laut teritorialnya setelah meninggalkan perairan pedalaman. c. Zona tambahan (Contiguous Zone) Zona tambahan merupakan suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 33 UNCLOS 1982, bahwa negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapkan hukumnya (Albert W Koers, 1991: 7). Zona tambahan negara pantai mempunyai kewenangan sebagai berikut: 1) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya; 2) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya d. Zona ekonomi ekseklusif (ZEE) Pengertian zona ekonomi eksklusif dirumuskan dalam Pasal 55 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus. Ditegaskan pula di dalam Pasal 57 bahwa lebar zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.

29 15 Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai beberapa hak yang dapat dinikmati : 1) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin; 2) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan dengan UNCLOS 1982 ini berkenaan dengan: (a) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (b) Riset ilmiah kelautan; (c) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. 3) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam UNCLOS ZEE memiliki perbedaan dengan laut teritorial. ZEE tidak tunduk pada kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hakhak berdaulat dan bukan kedaulatan. Hal ini dapat dilihat di Pasal 58 UNCLOS 1982 bahwa di zona ekonomi eksklusif di semua negara dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan UNCLOS 1982, mengamati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuanketentuan lain dalam UNCLOS 1982 ( Albert W. Koers, 1991: 8). e. Laut lepas Sudah menjadi suatu ketentuan umum yang berasal dari hukum kebiasaan bahwa permukaan laut dibagi atas beberapa zona dan yang paling jauh dari pantai dinamakan laut lepas. Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau dalam

30 16 perairan internal suatu negara, definisi ini kemudian sudah mendapatkan modifikasi dengan lahirnya UNCLOS 1982 (Rebecca M.Wallace, 1993: 155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi atas pengertian laut lepas yakni semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan, yang tidak mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua negara di zona ekonomi eksklusif. Sedangkan, Pasal 86 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi ekseklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Dengan menilik hal tersebut maka yang disebut laut lepas adalah perairan yang terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar zona ekonomi ekseklusif. Menurut Black s Law Dictonary, Laut Lepas adalah the Seas or oceans beyond the jurisdiction of any country. Under traditional international law, the high sea began 3 miles from the coast, today the distance is generally accepted to be 12 miles. Under the UNCLOS 1982 coastal shores now have 200 miles exclusive economic zone. Laut lepas sebagai laut atau samudera di luar yurisdiksi setiap negara. Dahulu dalam hukum internasional laut lepas di mulai 3 mil dari tepi pantai, akan tetapi sejalan dengan perkembangan jarak yang disepakati secara umum menjadi 12 mil. Setelah adanya UNCLOS 1982 laut lepas dihitung setelah 200mil dari garis pangkal. (Bryan A Ganner, 1999: 1466): Laut lepas terbuka untuk semua negara baik itu negara pantai maupun negara bukan pantai. Prinsip yang digunakan dalam konsep laut lepas menggunakan prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak berlakunya kedaulatan, hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara (Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 189). Menurut Pasal 2 CHS tahun 1958 mengatakan bahwa laut lepas harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh

31 17 mengklaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Hal ini diperjelas kembali dalam Pasal 82 UNCLOS 1982, laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam UNCLOS 1982 dan ketentuan lain di hukum internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi laut lepas baik untuk negara pantai atau negara tidak berpantai: 1) Kebebasan berlayar; 2) Kebebasan penerbangan; 3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut; 4) Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional; 5) Kebebasan menangkap ikan; 6) Kebebasan riset ilmiah. Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas dan juga dengan memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dalam UNCLOS 1982 yang berhubungan dengan kegiatan di kawasan di laut lepas. Kebebasan yang dimaksud juga untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun negara dapat menegakkan yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya digunakan untuk kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Hal ini diakomodir di dalam Pasal 89 UNCLOS 1982, pasal ini menjelaskan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat secara sah menundukkan kegiatan manapun dari laut lepas pada kedaulatannya Pasal 90 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa setiap negara, mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas. Dengan begitu, harus adanya suatu keterkaitan yang jelas antara kapal dengan bendera negaranya, ditegaskan pula dalam Pasal 92 bahwa status kapal di laut lepas sebagai berikut :

32 18 1) Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. 2) Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. 3) Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan. Begitu juga ketika terjadi pelanggaran atau tindak kejahatan di laut lepas di atas kapal, maka yurisdiksi negara bendera yang berkibar di kapal tersebutlah yang berkewenangan untuk mengadilinya. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari negara pantai memiliki alasan yang cukup untuk mengira bahwa suatu kapal telah melanggar peraturan perundang-undangan negaranya. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing berada pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pantai dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika ini diakomodir dalam Pasal 110 UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai aturan-aturan dalam proses pengejaran seketika tersebut. Hak pengejaran seketika berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan, di sekitar instalasi-instalasi di landas kontinen. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya sendiri atau negara ketiga. Hak pengejaran seketika ini hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat

33 19 udara militer atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara pemerintah dan berwenang melakukan tugas itu. Apabila kapal asing yang telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial itu dalam keadaan tidak dibenarkannya tindakan pengejaran seketika, dan kapal tersebut menderita kerugian, maka kapal asing itu harus mendapat ganti kerugian sebesar kerugian yang dideritanya. f. Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional Semua kapal dan pesawat terbang (termasuk kapal perang dan pesawat terbang militer) dari semua negara untuk tujuan continuous and expeditious transit dari satu laut lepas (high sea) atau zona ekonomi ekseklusif (exclusive economic zone) menuju laut bebas atau zona ekonomi eksklusif lainnya yang lain, berhak atas lintas transit (transit passage) di selat-selat yang digunakan untuk navigasi internasional (Sahono Soebroto, 1983: 10). Pasal 44 UNCLOS 1982, mengatur tentang kewajiban negara yang berbatasan dengan selat dirumuskan bahwa negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menghambat lintas transit dan harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran atau penerbangan lintas di dalam atau di atas selat yang diketahuinya. g. Landas kontinen Batas landas kontinen adalah kelanjutan garis batas dari daratan suatu benua yang terendam sampai kedalaman 200m di bawah permukaan air laut. Menurut Pasal 77 UNCLOS 1982, hak negara di landas kontinen ini mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya baik hayati termasuk jenis ikan sedenter serta kekayaan alam non hayati termasuk minyak dan gas bumi. Perlu dicatat bahwa pada bagian landas kontinen yang berada dalam batas 200 mil zona ekonomi ekslusif, hak-hak tersebut bersamaan dengan hakhak yang dinikmati berdasarkan Pasal 56 konvensi mengenai zona ekonomi ekslusif (Heru Prijanto, 2007 : 15).

34 20 2. Tinjauan tentang yurisdiksi a. Pengertian yurisdiksi Yurisdiksi diartikan oleh Malcolm N Shaw sebagai hal yang menyangkut kekuasaan negara di bawah hukum internasional untuk pengaturan atau mengatur dampak terhadap orang, barang, dan keadaan serta mencerminkan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara, kesetaraan negara, non-interfensi di dalam urusan dalam negerinya. Yurisdiksi menjadi hal yang penting dan menjadi pusat kedaulatan negara, karena hal itu merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah, membuat atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban (Malcolm N Shaw, 2008: 645). Menurut Encyclopedia Americana diuraikan tentang arti kata jurisdiction (yurisdiksi), jurisdiction, in law, a term for power or authority. It is usually applied to courts and quacy judicial bodies, describing the scope of their right to act. As applied to a state or nation, the term means the authority to declare and enforce the law. Dalam hukum, yurisdiksi merupakan sebuah istilah kekuasaan atau wewenang. Hal ini biasanya diterapkan ke pengadilan dan badan peradilan, yang menggambarkan lingkup hak mereka untuk bertindak. Penerapan disebuah negara atau bangsa, berarti wewenang untuk menyatakan dan menegakkan hukum (I Wayan Parthiana, 1990: 292). Menilik pada tiga pengertian tersebut, bahwa yurisdiksi berkaitan dengan permasalahan hukum. Yurisdiksi suatu negara menunjuk kepada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya (pidana dan perdata). Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang) untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang (Rebbeca M.Wallace, 1993:191). b. Prinsip-prinsip yurisdiksi negara : 1) Asas teritorial (territorial principle) Hukum Internasional memberikan kesempatan kepada setiap negara untuk mengatur permasalahan negaranya sendiri. Yurisdiksi

35 21 teritorial yaitu kewenangan suatu negara untuk mengatur, menerapkan, dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang ada atau terjadi (bisa berupa benda, orang, peristiwa) di dalam batas-batas wilayahnya (I Wayan Parthiana, 1990:317). Sebuah negara bebas untuk mengatur dan menegakkan undangundang yang ada dalam wilayahnya untuk setiap orang dalam wilayahnya, termasuk warga negara asing, kecuali ketika kebebasan itu dibatasi oleh perjanjian. Negara juga dapat menerapkan hukumhukumnya untuk kapal yang mengibarkan benderanya atau pesawat udara yang terdaftar dan orang berada dalam kapal tersebut (Anthony Aust, 2005:44). Menurut Lord Mac Milan dalam buku J.G Starke, jurisdiksi adalah : suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang beradaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini (J.G Starke, 2009: ) Suatu kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara satu dapat dimungkinkan diselesaikan di negara lain. Dalam hal ini, ada dua asas teritorial yang saling berhubungan, yaitu asas teritorial subjektif dan asas teritorial objektif. Asas teritorial subjektif mengijinkan pelaksanaan yurisdiksi di negara di mana kejahatan itu di mulai sedangkan asas teritorial objektif memberikan yurisdiksi kepada negara di mana kejahatan diselesaikan, dan mempunyai efek dari korban (Rebbeca M.Wallace, 1993: ). Asas territorial dapat diterapkan ketika misalnya seseorang melakukan kejahatan di suatu negara dapat diadili di negara tersebut meskipun bukan warga negara tersebut, penerapan ini didasarkan atas tempat terjadinya suatu kejahatan sehingga yurisdiksi tempat kejadian kejahatan tersebut dapat diterapkan.

36 22 2) Asas personal Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di manapun juga. Menurut praktek internasional dewasa ini, yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip berikut: a) Prinsip nasionalitas aktif Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negaranya. Prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana di luar negeri (Malcolm N Shaw, 2008: 664). Prinsip nasional aktif dapat diterapkan untuk warga negara yang melakukan sebuah kejahatan di negara lain, misalnya seorang warga negara Indonesia melakukan kejahatan di negara Australia, hukum Indonesia tetap melekat pada warga negara Indonesia tersebut sehingga warga negara Indonesia tersebut dapat diadili dengan hukum Indonesia. b) Prinsip nasionalitas pasif Berdasarkan prinsip ini, negara dapat mengklaim yurisdiksi untuk mencoba individu untuk pelanggaran dilakukan di luar negeri yang telah mempengaruhi atau akan mempengaruhi warga negara (Malcolm N Shaw, 2008: 664) Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu berada di wilayahnya (J.G Starke, 2009: 303).

37 23 3) Asas universal (universality principle) Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelanggaran. Dua kategori yang jelas termasuk dalam lingkup yurisdiksi universal, yang telah didefinisikan sebagai kompetensi negara untuk menuntut yang diduga pelaku dan menghukum mereka jika terbukti bersalah, terlepas dari tempat tindak pidana itu terjadi dan meskipun ada yurisdiksi personal aktif atau pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan lain dari yurisdiksi diakui oleh hukum internasional (Malcolm N Shaw, 2008: 668). Dasar pertimbangan untuk menempatkan suatu peristiwa hukum tertentu di bawah yurisdiksi universal, yakni peristiwa hukum tertentu yang tidak tercakup oleh jenis yurisdiksi lain, tetapi membahayakan bagi umat manusia dan sangat bertentangan dengan rasa keadilan umat manusia. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya peristiwa hukum di manapun dan kapan pun terjadinya serta siapapun yang menjadi pelaku maupun korbannya. (I Wayan Parthiana, 1990: 325) Asas universal ini berlaku terhadap beberapa kejahatan seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan kemanusiaan, perompakan laut, pembajakan udara, kejahatan terorisme dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Asas perlindungan (protective/security principle) Atas dasar ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang walaupun terjadi di luar negeri dan bukan oleh warga negaranya, akan tetapi dianggap sebagai membahayakan keamanan negara (Rebbeca M.Wallace, 1993: 122). 3. Jenis kapal laut Perbedaan antara kapal publik dan kapal swasta saat ini didasarkan atas bentuk penggunaannya dan bukan atas kualitas pemilik kapal-kapal tersebut.

38 24 Kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan tujuan swasta (Boer Mauna, 2005: 320). a) Kapal perang Pasal 29 UNCLOS 1982, memberikan definisi mengenai kapal perang. Kapal perang diartikan sebagai kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular. Sesuai dengan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapalkapal perang bukan saja kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga kapal-kapal selam, kapal-kapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan angkatan laut, seperti kapal-kapal ranjau laut, kapal-kapal penarik, kapalkapal transport militer, dan lain sebagainya (Boer Mauna, 2005: 321). b) Kapal-kapal publik non-militer Kapal-kapal publik yang dimaksud di sini yaitu, kapal-kapal pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal logistik pemerintah, kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal pengawasan pantai, atau kapal swasta yang disewa merintah untuk tujuan non-komersil maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal publik (Boer Mauna, 2005: 321). c) Kapal organisasi-organisasi internasional Kapal organisasi internasional yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional. Misalnya PBB, badan-badan khusus PBB dapat memakai kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masingmasing benderanya sesuai dengan Pasal 93 UNCLOS Pasal 93 ini tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan dalam dinas resmi PBB, badan-badan khususnya atau badan tenaga atom

39 25 internasional (International Atomic Energy Agency), yang mengibarkan bendera organisasi tersebut (Boer Mauna, 2005: ). d) Kapal-kapal dagang Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta. 4. Status kapal di laut lepas Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran. Aturan mengenai kebangsaan kapal diatur dalam Pasal 91 UNCLOS. Pasal 91 menyatakan bahwa suatu kapal dapat memperoleh kebangsaanya dengan beberapa aturan sebagai berikut: a. Setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayah, dan untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan negara yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu. b. Setiap negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu. Status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Di laut lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan negara bendera. Pasal 92 menjelaskan bahwa kapal harus berlayar di bawah satu bendera negara saja kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merubah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di

40 26 suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. Serta sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan. Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi dari tidak adanya yurisdiksi di laut lepas, sehingga hukum negara bendera yang dipakai sebagai yurisdiksinya (Boer Mauna, 2005: 322). 5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut Perompakan telah ditetapkan sebagai hukum kebiasaan internasional. Sudah sejak abad ke-18, masyarakat bangsa-bangsa mengenal dan mengakui kejahatan perompak di laut sebagai kejahatan internasional yang dikenal sebagai piracy de jure cogens. Kejahatan tersebut dianggap sangat merugikan kesejahteraan bangsa-bangsa pada saat itu dan dianggap sebagai musuh bangsa-bangsa. Piracy de jure cogens kemudian ditetapkan sebagai kejahatan internasional karena merupakan satu-satunya tindak kriminal murni ( Eddy O.S. Hiariej,2009: 49). Perompakan adalah setiap tindakan ilegal kekerasan atau penahanan yang dilakukan di laut lepas untuk tujuan pribadi dengan sebuah kapalnya terhadap kapal lain (Anthony Aust, 2002: 269). Menurut Black s Law Dictonary perompakan diartikan sebagai Piracy is Robbery, kidnapping or other criminal violence commited at Sea (Bryan A Garner, 1999: 1186). Menurut pengertian yang dirumuskan oleh Pasal 101 UNCLOS 1982 memberi pengertian bahwa, Perompakan di laut terdiri dari salah satu di antara tindakan berikut :

41 27 a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan : i. Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian; ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun; b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang diatur di atas. Brierly dalam Tri Setyawanta R memberikan definisi perompak kapal laut sebagai berikut there is no authoritative definition of international piracy, but it is of the essence of a piratical act to be an act violence, committed at sea or at any rate closely connected with the sea, by person not acting under proper authirity. Thus an act cannot be piratical if it is done the authority of a state, or even of an insurgent community whose belligerency has been recognized. Perompakan tidak didefinisikan secara otoratif tetapi esensi dari tindakan perompakan adalah tindakan kekerasan, yang dilakukan di laut atau di sekitar laut, oleh orang yang tidak bertindak di bawah ketetapan yang telah ada, jadi, tindakan yang tidak dapat dikatakan perompakan jika dilakukan oleh otoritas negara, atau bahkan dari komunitas yang melakukan pemberontak yang telah diakui (Tri Setyawanta R, 2005:2). Menurut, S.V Molodtsov, telah memberikan perumusan mengenai batasan pengertian perompakan di laut sebagai berikut:

42 28 Both acts of violence by vessels and their crews at sea also attack from the sea on littoral points carried out with the aim of securing plunder, the seizure and sinking of vessels and persons or other criminal purposes are considered as piracy (sea banditry). In the epoch of imperialism piracy has aquired special characteristics. It is one of the provocative methods to which imperialist States resort for agressive purposes Perompakan di laut yakni suatu tindakan kekerasan terhadap kapal dan awak kapal di laut juga penyerangan di lepas pantai yang dilakukan dengan tujuan penjarahan, perampasan barang-barang dan untuk menyandera awak kapal serta tujuan kriminal lainnya dianggap sebagai perompakan (Tri Setyawanta R, 2005: 2). Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) memberikan definisi perompakan sebagai unlawful acts as defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (Tindakan ilegal sebagaimana yang diatur dalam Pasal UNCLOS 1982). Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dari International Maritime Organization Maritime Security Commite (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (pedoman praktek investigasi terhadap kejahatan perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery against ship (Perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a State s jurisdiction over such offenses. Menurut IMO perampokan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan ataupun pembunuhan terhadap tawanan, individu, kejahatan terhadap harta kekayaan maupun pengrusakan kapal, yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of Practice)

43 29 International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi perompakan yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101, IMB memberi perluasan definisi perompakan yakni IMB tidak membedakan definisi perompakan berdasarkan tempat kejadiannya. Dalam laporan IMB dikatakan act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof, perompakan diartikan sebagai tindakan dengan menaiki kapal apapun dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan lain ( Istilah perompakan dan perampokan bersenjata (piracy and armed robbery) terkadang membuat kerancuan, akan tetapi sebenarnya ada hal yang membedakan keduanya. Pasal 101 UNCLOS 1982 jelas memberikan batasan bahwa dikategorikan piracy jika kejadian tersebut terjadi dilaut bebas, atau diluar yurisdiksi suatu negara, artinya tentu di luar pelabuhan dan laut territorial suatu negara. Sedangkan armed roberry lebih diartikan sebagai kejahatan perompakan yang terjadi di laut teritorial sebuah negara seperti yang diartikan oleh IMO.

44 30 B. Kerangka Pemikiran Perompakan kapal laut Di Laut Lepas (High Seas) Hukum Internasional Perompakan kapal Yurisdiksi Sinar Kudus MV Yurisdiksi Universal Yurisdiksi Regional Yurisdiksi Indonesia Yurisdiksi Somalia Gambar 2: Skema Kerangka Pemikiran Keterangan : Permasalahan perompakan kapal laut terjadi sejak jaman dahulu. Perompakan kapal laut sering dilakukan di laut lepas. Beberapa aturan hukum telah dibuat untuk mengatur mengenai perompakan di laut lepas seperti CHS 1958, UNCLOS 1982, SUA Convention, aturan hukum IMO, aturan hukum IMB, serta sistem hukum di beberapa negara yang memiliki aturan-aturan dalam penanggulangan maupun penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perompakan. Ketentuan ini diharapkan akan mampu untuk menanggulangi pertambahan angka perompakan di laut lepas. Salah satu kasus yang terjadi di tahun 2011 adalah kasus perompakan kapal laut Sinar Kudus MV di laut lepas. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal dengan bendera Indonesia yang artinya di dalam kapal tersebut terdapat yurisdiksi dari negara Indonesia. Perompakan tersebut dilakukan oleh warga negara Somalia sehinga yurisdiksi Somalia pun dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus ini. Mengingat perompakan juga merupakan pelanggaran prinsip jus cogens yang

45 31 berarti merupakan kejahatan internasional yang penanggulangannya harus dilakukan secara bersama-sama di dunia maka yurisdiksi universal dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Hal tersebut telah diakomodir oleh aturan hukum internasional sehingga beberapa yurisdiksi tersebut sudah dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus kapal Sinar Kudus MV.

46 32 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara Somalia a. Geografis Somalia merupakan negara yang berada di titik paling timur Afrika, dibatasi di sebelah timur dan tenggara dengan Samudra Hindia, di sebelah utara dan timur laut oleh Teluk Aden dan Republik Djibouti, bagian selatan dan barat daya dibatasi dengan Kenya, dan di sebelah barat oleh Ethiopia. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang kilometer, membentang dari Loyadde di Teluk Aden ke Ras Kiyambone pada Samudera Hindia. Republik Somalia pertama memiliki luas sebesar kilometer persegi. Negara ini merupakan dataran, kecuali Magnyafulka "Scraping seas" tebing yang curam di selatan dengan ketinggian mencapai 1,800-2,100 meter (Mohamed Haji Mukhtar,2003: 225 ). b. Situasi politik dan keamanan Situasi politik di Somalia sangat lemah sejak tahun 1990, pemerintah resmi Somalia yang hanya menguasai beberapa bagian kecil Somalia, termasuk sebagian ibu kota Mogadishu, dan Kedutaan Besar Somalia di Indonesia mewakili pemerintah ini. Somaliland, wilayah yang secara de facto sudah memisahkan diri dari Somalia, melingkupi wilayah Utara Somalia yang merupakan bekas jajahan Inggris. Somaliland tidak diakui secara resmi oleh dunia, namun beberapa negara tetangga seperti Ethiopia memiliki konsulat di ibu kota Somaliland di Hergaisa. Sisanya merupakan wilayah tanpa pemerintah, yang dikuasai berbagai kelompok militan bersenjata, termasuk diantaranya AI-Shabaab, kelompok Islam ekstrimis yang diduga bekerja sama dengan Al Qaeda. Wilayah ini meliputi Somalia bekas jajahan Italia (Teguh Widodo,2011). 32

47 33 Beberapa alternatif telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di Somalia, salah satunya adalah pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan di Djibouti disepakati untuk membentuk sebuah pemerintahan transisi (Transitional National Government (TNG)) dibentuk dengan dipimpin oleh Presiden Abdulkassim Salat Hassan. Namun hingga tahun 2003 mandat pemerintahan berakhir dengan menghasilkan sedikit kemajuan untuk menghentikan perseturuan antarklan dan kepastian hukum. Setelah itu dilakukan sejumlah perundingan dan upaya damai, melalui fasilitasi oleh PBB, berhasil diadakan Pemilu Somalia pada tanggal 10 Oktober 2004, yang menghasilkan terpilihnya Presiden, pemerintah baru (Transitional Federal Government (TFG) yang menggantikan TNG), dan terbentuknya parlemen transitional baru (Transitional Ferderal Parliament (TFP)). Selama kurang lebih satu tahun TFG dan TFP berkedudukan di Nairobi, baru kemudian TFG dipindahkan ke Baidoa (250 km dari Mogadishu) setelah dinilai situasi di Somalia memungkinkan. dibentuknya Transitional Federal Government (Embassy of the Rep. of Indonesia, Addis Ababa, c. Situasi ekonomi Pada awalnya, Somalia menganut sistem ekonomi sosialis. Namun Somalia mulai memberikan kesempatan kepada pihak swasta dan investor asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Hasil pertanian seperti ternak, ikan, pisang merupakan tulang punggung perekonomian, memgang sekitar 40% GDP dan 65% pendapatan ekspor. Namun larangan ekspor ternak oleh Pemerintah Arab Saudi saat ini menyebabkan sektor ternak mengalami penurunan. Perindustrian Somalia sebagian besar berskala kecil dan bergerak di bidang pemprosesan hasil pertanian. Kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang belum stabil menyebabkan iklim investasi Somalia masih belum kondusif. Meskipun demikian, sektor jasa, terutama di bidang telekomunikasi tanpa kabel mengalami perkembangan cukup signifikan (Embassy of the Rep. of

48 34 Indonesia, Addis Ababa, 2011: d. Lepas pantai Somalia Lepas pantai Somalia merupakan jalur pelayaran yang dilewati kapal-kapal saat berlayar. Mengingat, lepas pantai Somalia merupakan jalur pelayaran utama yang menghubungkan antara Asia dengan Eropa. Gambar 3 Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia ( Dalam rute pelayaran tersebut terlihat Somalia berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Asia dengan Terusan Suez. Garis pantai Somalia cukup dekat dengan jalur pelayaran tersebut sehingga secara tidak langsung memberikan akses yang mudah bagi para perompak untuk beraksi. 2. Gambaran tentang perompakan Somalia a. Latar belakang perompak Somalia Perompak laut pertama di Somalia adalah nelayan di sepanjang pesisir. Alasan mereka merompak karena seringnya terjadi penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal-kapal asing yang memanfaatkan situasi Somalia yang kacau dan tidak terpatroli dengan baik (Teguh Widodo,2011).

49 35 Sebelum tahun 1990, perompakan bukan masalah besar di lepas pantai Somalia, sasaran kelompok bersenjata tersebut adalah kapal yang kandas di lepas pantai. Pada pertengahan tahun 1990 saat itulah beberapa kelompok bersenjata, mengaku telah diberi izin oleh penjaga pantai dengan klaim untuk melindungi sumber daya perikanan Somalia. Setelah tahun 2000 bagi setiap kapal yang berlayar di dalam atau dekat dengan wilayah perairan Somalia kapal dan awak akan dijadikan sandera dan menuntut uang tebusan. Selama tahun 2005 tercatat peningkatan dalam jumlah serangan yang dicoba terhadap kapal yang berlayar di Samudera Hindia khususnya lepas pantai Somalia (Ahmedou Ould Abdallah, 2008: 14). Pada tahun 2006 beberapa serangan perompak meluas sejauh 350 nm di lepas pantai Somalia tidak hanya di Samudera Hindia tetapi juga di Teluk Aden dan Laut Merah. Fenomena ini tumbuh di tahun 2007 dari basis perompak utama dari Eyl, Hobyo dan Haradheere terkonsentrasi di sepanjang pantai timur Somalia. Pada tahun 2008 perompakan mencapai proporsi peningkatan yang mana kapal-kapal yang diserang dirusak oleh perompakan untuk mendapatkan barang sitaan. Akibatnya perjalanan laut di lepas pantai utara Somalia, yang dikenal sebagai Puntland, telah menjadi wilayah yang paling berbahaya di dunia untuk serangan perompak (Ahmedou Ould Abdallah, 2008: 14). Meluasnya perompakan ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini yang menunjukkan hal tersebut:

50 36 Gambar 4 Gambar 4 Gambar perluasan wilayah perompakan (Sumber: Meluasnya kejahatan para perompak ini terjadi karena adanya kelompok-kelompok perompak yang terbentuk di Somalia semakin terorganisir. Secara umum berdasarkan laporan Asosiasi East African Seafarers memperkirakan, setidaknya ada 3 (tiga) geng perompak dan total anggotanya seribu orang bersenjata yang mengorganisir perompak Somalia yaitu: 1) Dari kalangan nelayan Somalia. 2) Dari kalangan mantan milisi rezim Siad Berre yang memerintah Somalia tahun Terutama adalah anggota seniornya yang berusia di atas 35 tahun. 3) Dari kalangan para teknisi yang menguasai teknologi informasi dan kelautan. Dari ke tiga unsur kelompok di atas terdapat kurang lebih 1100 orang perompak yang memiliki peralatan untuk menyerang, seperti RPG-7 peluncur granat terbaik saat ini, Pistol semi otomatis

51 37 dan Senapan Mesin. Sedangkan, 4 (empat) geng utama yang menguasai dunia perompak Somalia, yaitu : a) Marka group, dipimpin Yusuf Mohammed Siad Inda ade yang sedikit berantakan, kurang terorganisir dan menguasai kota pesisir Marka (Maakhir Land). b) National Volunteer Coast Guard yang dipimpin oleh Garaad Mohamed. Mereka spesialis mencegat kapal-kapal kecil dan perahu nelayan di Kismayo, pesisir selatan. c) Kelompok nelayan tradisional. Mereka terorganisir dengan rapi. Lokasi operasi mereka di sekitar Puntland dan dikenal sebagai Puntland group milik Abdirahman Farole, President of Puntland. d) Somali Marines paling kuat dan canggih. Kelompok ini paling disegani karena terorganisir berstruktur militer. Mereka memiliki armada dan komandan angkatan laut yang masih aktif saat ini. Sulit menemukan siapa pemimpinnya karena mereka bertindak secara ilegal dan berpura-pura patroli laut. Jika ada kesempatan mereka melakukan perompakan dengan mengatasnamakan ke tiga kelompok di atas ( Menurut pengamat Somalia Mohamed Mohamed, mengatakan ada tiga kelompok besar yang menjadi cikal bakal perompak: 1) Kelompok pertama adalah mantan nelayan. Mereka adalah tulang punggung operasi perompak karena sangat mengenal Teluk Aden. 2) Kelompok kedua adalah mantan milisi dari perang saudara Somalia. Mereka menjadi eksekutor perompak. 3) Kelompok terakhir adalah para ahli informasi dan tekhnologi. Mereka yang mengoperasikan peralatan canggih untuk merompak kapal di tengah laut termasuk berkomunikasi lewat telepon satelit dan ahli senjata ( perompak-somalia/). Menurut Iqbal Jhazbhay, pakar Somalia dari Universitas Afrika Selatan, mengatakan motif para perompak Somalia sejauh ini cuma dua yaitu uang dan bertahan hidup, yang direkrut pertama kali untuk jadi perompak adalah para nelayan karena nelayan yang punya akses ke laut

52 38 berupa perahu ( Taktik yang digunakan perompak Somalia adalah dengan menggunakan kapal induk yang biasanya merupakan hasil serangan yang dilancarkan perompak pada kejahatan sebelumnya. Kapal induk ini memungkinkan para perompak laut untuk tinggal di laut lebih lama daripada menggunakan perahu ringan mereka. Setelah sebuah kapal kargo yang lewat telah diserang, kapal induk mempercepat kecepatannya dan mengapit target tersebut. Untuk memperlambat atau menghentikan kapal, perompak menggunakan berbagai cara untuk mengintimidasinya, termasuk dengan menembakkan senjata atau dengan menggunakan roket dan granat. Setelah target telah melambat, tim yang terdiri dari tujuh sampai sepuluh orang menggunakan papan perompak kapal untuk naik tangga dan menggunakan kait yang digulatkan untuk mengambil kapal dan menyandera awaknya (James Jay Carafano and Jon Rodeback, 2011: 6). Setelah dirompak, kapal kargo yang lebih besar dan awak mereka berlayar ke pelabuhan di Somalia untuk bernegosiasi dan pembayaran uang tebusan. Perompak-perompak Somalia juga memiliki jaringan di sepanjang pantai, di mana mereka dapat menjual barang-barang hasil rampokkan dan dengan adanya jaringan tersebut para perompak ini dapat mendapatkan informasi tentang kapal-kapal yang melewati daerah tersebut (James Jay Carafano and Jon Rodeback, 2011: 6). b. Perompakan di Somalia Negara sebagai otoritas tertinggi dalam sistem hukum internasional secara langsung terkait dengan prinsip kedaulatan. Namun, ketidakmampuan suatu negara, untuk mempertahankan kontrol yang efektif dan memberikan keamanan bagi warganya menciptakan permasalahan yang serius bagi sistem internasional dan keinginan untuk menghormati kedaulatan negara. Di Somalia kegagalan negara untuk menyediakan pemerintahan yang baik, keamanan, dan penghormatan terhadap aturan hukum di menjadi konflik yang meluas di negara itu. Hal

53 39 ini juga telah memicu perompakan yang semakin marak terjadi di Somalia (Mario Silva, 2010: 553) Data laporan International Maritime Bureau (IMB) memperlihatkan bahwa kejahatan perompakan terbesar terdapat di daerah Afrika di tahun Gambar 5 Gambar total perompakan di beberapa negara (sumber: nt&view=article&id=58:piracy-annual-report-2009&catid=15:hirekkalozkodas&itemid=175&lang=hu). Beberapa kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun adalah: Tabel 1 No. Nama Bendera Dirompak Awak 1 1 MV Iceberg 1 Panama 29 Maret FV Jih Chun Tsai No 68 Taiwan 30 March MV RAK Afrikana St Vincent and 11 April Grenadines 4 FV Prantalay 11 Thailand 18 April FV Prantalay 12 Thailand 18 April FV Prantalay 14 Thailand 18 April MV Suez Panama 02 August

54 40 8 MV Olib G Malta 08 September MV Asphalt Venture Panama 28 September MV Izumi Panama 10 October FV Golden Wave Sth Korean 09 October MV York Singapore 23 October MV Polar Panama 30 October MV Aly Zoulfecar Comoros 03 November MV Hannibal II Panama 11 November MV Yuan Xiang Panama 12 November MV Albedo Malaysia 25 November BC Jahan Moni Bangladesh 05 December MV MSC Panama Liberia 10 December MV Renuar Panama 11 December MV Orna Panama 20 December MV Thor Nexus Thailand 25 December FV Shiuh Fu No 1 Taiwan 25 December MV EMS RIVER Antigua & 27 December 8 Barbuda 2010

55 41 25 FV VEGA 5 Mozambique 31 December MV BLIDA Algerian 01 January MV EAGLE Cyprus 7 January HOANG SON SUN Mongolia 19 January (reported) 29 MV KHALED Togo January MUHIEDDINE K MV BELUGA Germany 25 January NOMINATION Tabel kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun (sumber: EU NAVFOR, pirated vessels) Menurut laporan IMB melalui International Chamber of Commerce (ICC) perompakan banyak terjadi di laut lepas terutamanya di lepas pantai Somalia. Dari 439 serangan dilaporkan ke IMB pada tahun 2011, 275 serangan terjadi di lepas pantai Somalia di pantai timur dan di Teluk Guinea di pantai barat Afrika ( Perompakan yang terjadi di lepas pantai Somalia menyumbang 92% dari semua kejahatan kapal yang terjadi pada tahun 2009 dengan 49 kapal dirompak dan awak kapal diambil dan dijadikan sebagai sandera (Lucas Bento, 2011 : 6). Perompakan yang terjadi di Somalia semakin lama semakin berkembang diantara tahun perompakan telah meluas bukan hanya disekitar lepas pantai Somalia, seperti yang terlihat di dalam gambar di bawah ini yang menunjukkan semakin meluasnya tindakan perompakan serta jalur yang dijadikan sebagai tempat perompakan tersebut merupakan jalur pelayaran yang ramai dan strategis.

56 42 Gambar 6 Gambar jalur perompakan (Sumber: 3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV a. Kronologis Berikut kronologi perompakan Sinar Kudus MV: (Adi Patrianto, 2011) 1) Awal Kejadian Kapal Sinar Kudus MV milik PT Samudera Indonesia Tbk dirompak di sekitar 320 mil timur laut Pulau Socotra. Para perompak itu memakai senjata untuk mengancam ke arah kapal dan kemudian menaiki kapal. Kemudian, kendali kapal sudah berada di tangan para perompak, sebanyak 20 ABK Sinar Kudus dijadikan sandera. Mereka lalu membawa kapal itu ke pantai yang mereka kuasai. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu 16 Maret 2011 pukul WIB. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal berbendera Indonesia yang berangkat dari Kolombo pada tanggal 11 Maret Ketika dirompak, kapal tersebut sedang mengarungi rute perjalanan dari Pomala, Sulawesi Selatan, Indonesia menuju Rotterdam, Belanda dengan mengangkut 800 ton ferro nickel (biji nikel) milik PT Aneka Tambang dengan harga Rp 1,5 triliun. Menurut Gugus Tugas Antiperompak Uni Eropa, kapal Sinar Kudus MV dirompak di posisi 320 mil laut di sebelah timur laut Pulau

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan perjuangan Indonesia

Lebih terperinci

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut PEMBUKAAN Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Wilayah Negara 1. Pengertian negara Negara merupakan suatu lembaga, yaitu satu sistem yang mengatur hubungan yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan lembaga keuangan yang sering muncul sengketa yang bersentuhan dengan hukum dalam menjalankan usahanya. Sengketa Perbankan bisa saja terjadi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah telah membuktikan bahwa Negara Indonesia adalah negara bahari, yang kejayaan masa lampaunya dicapai karena membangun kekuatan maritim

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu kehidupan manusia tidak lepas dari keinginan untuk memiliki seorang keturunan. Keinginan untuk memiliki keturunan atau mempunyai anak merupakan suatu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON DUTA BESAR (Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar Indonesia Untuk Australia)

PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON DUTA BESAR (Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar Indonesia Untuk Australia) PEMBERIAN STATUS PERSONA NON GRATA TERHADAP CALON DUTA BESAR (Studi Kasus Herman Bernhard Leopold Mantiri Calon Duta Besar Indonesia Untuk Australia) Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi dapat dipastikan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH SECARA ONLINE (E-PROCUREMENT) DI INDONESIA DAN AUSTRALIA

STUDI KOMPARATIF KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH SECARA ONLINE (E-PROCUREMENT) DI INDONESIA DAN AUSTRALIA STUDI KOMPARATIF KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH SECARA ONLINE (E-PROCUREMENT) DI INDONESIA DAN AUSTRALIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

ini tentunya tidak terdapat perairan pedalaman namun dalam keadaan-keadaan

ini tentunya tidak terdapat perairan pedalaman namun dalam keadaan-keadaan batas terluar dari perairan pedalaman suatu negara. Garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis terendah, di mana pada keadaan seperti ini tentunya tidak terdapat perairan pedalaman

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum Internasional Kl Kelautan Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang dan tentunya tidak terlepas dari permasalahan kejahatan. Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membentang dari Sabang sampai Merauke terbagi dalam provinsi- provinsi yang berjumlah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas wilayahnya baik darat, air, maupun udara, dimana hukum yang berlaku adalah hukum nasional negara masing-masing.

Lebih terperinci

PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2591K/PID.SUS./2011)

PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2591K/PID.SUS./2011) PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2591K/PID.SUS./2011) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN KETENTUAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 102/Pdt/2015/PT.

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN KETENTUAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 102/Pdt/2015/PT. TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN KETENTUAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 102/Pdt/2015/PT.BDG) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Zona laut menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan peraturan perundang undangan Indonesia Wilayah merupakan suatu unsur pokok dari suatu negara. Hal ini ditegaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam persidangan perkara pidana saling berhadapan antara penuntut umum yang mewakili Negara untuk melakukan penuntutan, berhadapan dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

YUSNIAR DWI AGUSTIN NIM. E

YUSNIAR DWI AGUSTIN NIM. E TANGGUNG JAWAB NIGERIA DAN BOKO HARAM TERHADAP PEREMPUAN YANG MENJADI OBJEK KEKERASAN BOKO HARAM DALAM KONFLIK BERSENJATA DI NIGERIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal: 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber: LN 1983/44; TLN NO. 3260 Tentang: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Indeks:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

Penulisan Hukum. (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk. Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam

Penulisan Hukum. (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk. Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam PENGGUNAAN ASAS IN DUBIO PRO REO OLEH TERDAKWA SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI DALAM PERKARA SURAT PALSU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2175/K/Pid/2007) Penulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris adalah Pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/76; TLN NO. 3319 Tentang: PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi sasaran utamanya adalah terciptanya landasan yang kuat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangan zaman pada saat ini, adanya pembangunan nasional ke depan merupakan serangkaian upaya untuk memajukan perkembangan pembangunan nasional

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan adalah buah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Materi Kuliah. Modul 12. Oleh :

Materi Kuliah. Modul 12. Oleh : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah GEOPOLITIK INDONESIA (Wilayah Sebagai Ruang Hidup) Modul 12 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 86 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut adalah kumpulan air asin dan menyatu dengan samudera. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap fungsi atau peranan laut. Adapun fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci