KONSEP DIRI OLEH : Raras Sutataminingsih, M.Si.,psikolog FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSEP DIRI OLEH : Raras Sutataminingsih, M.Si.,psikolog FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA"

Transkripsi

1 KONSEP DIRI OLEH : Raras Sutataminingsih, M.Si.,psikolog FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009/2010

2 DAFTAR ISI I. PENGERTIAN KONSEP DIRI... 1 II. DIMENSI KONSEP DIRI III. ASPEK - ASPEK KONSEP DIRI IV. SUB-VARIABEL LAIN DALAM KONSEP DIRI V. KONSEP DIRI POSITIF DAN NEGATIF VI. KONSEP DIRI DAN KEPRIBADIAN DAFTAR PUSTAKA... 34

3 KONSEP DIRI Oleh : Raras Sutatminingsih, M.Si.,psikolog I. PENGERTIAN KONSEP DIRI Pengertian umum dari konsep diri dalam psikologi adalah konsep pusat (central construct) untuk dapat memahami manusia dan tingkah lakunya serta merupakan suatu hal yang dipelajari manusia melalui interaksinya dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan nyata di sekitarnya. William H. Fitts (1971) meninjau konsep diri secara fenomenologis. Fitts mengatakan bahwa konsep diri nerupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi dengan lingkungannya. Definisi yang diberikan Fitts mengenai konsep diri adalah : "... the self as seen, perceived, and experienced by him. This is the perceived self or the individuals self concept (Fitts, 1971 : 3). Fitts juga mengemukakan bahwa konsep diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Oleh karena itu, dengan mengetahui konsep diri seseorang maka akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya. Fitts menjelaskan bahwa jika individu mempersepsikan dirinya, berreaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, maka hal ini menunjukkan

4 suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap obyek-obyek lain yang ada di dalam kehidupannya. Jadi, diri yang dilihat, dihayati, dan dialami seseorang itu disebut konsep diri. George Herbert Mead (1972 : ) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Mead juga mengemukakan bahwa setiap individu memiliki pemahaman tertentu tentang penilaian orang lain terhadap dirinya, dan individu tersebut akan bertingkah laku sesuai dengan penilaian umum. Pernyataan ini senada dengan John Kinch (1963 dalam Fitts, 1971 : 12-13) yang mengemukakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurutnya, konsep diri seseorang didasarkan pada persepsi dari reaksi-reaksi orang lain terhadap dirinya. Dari beberapa pengertian konsep diri yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan secara gamblang bahwa konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Pengertian ini senada dengan Burns (1993) yang mengemukakan bahwa konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.

5 Cawagas (1983 dalam Pudjijogyanti, 1988 : 2) juga mengemukakan hal yang sama bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan lain sebagainya. Dua orang peneliti dan penulis utama yang mengkaji dan memberikan sumbangan besar dalam pengembangan studi konsep diri, Rogers (1951) dan Staines (1954) dalam Burns (1993 : 72) menyatakan defenisi konsep diri yang sejalan. Rogers menyatakan bahwa konsep diri disusun dari unsur-unsur seperti persepsi-persepsi dari karateristik-karateristik dan kemampuan-kemampuan seseorang; hal-hal yang dipersepsikan dan konsep-konsep tentang diri yang ada hubungannya dengan orang-orang lain dan dengan lingkungannya; kualitas-kualitas nilai yang dipersepsikan yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman dan obyek-obyek; dan tujuan-tujuan serta ide-ide yang dipersepsikan sebagai mempunyai valensi positif atau negatif. Jadi menurut Rogers, konsep diri dengan kata lain adalah gambaran yang terorganisasikan yang berada di dalam kesadaran baik sebagai tokoh atau dasar, dari diri dan diri yang berkaitan (self in relationship), bersama-sama dengan nilai-nilai positif dan negatif yang dihubungkan dengan kualitas-kualitas dan hubungan-hubungan sebagaimana mereka dipersepsikan sebagai hidup atau ada dimasa lalu, sekarang, atau dimasa yang akan datang. Staines dalam defenisinya juga menempatkan konsep diri ke dalam bidang studi tentang sikap yang dibangun dari pengalaman-pengalaman seorang individu. Konsep diri menurutnya adalah suatu sistem yang sadar dari hal-hal

6 yang dipersepsikan, konsep-konsep, dan evaluasi-evaluasi mengenai diri individu sebagaimana dia tampak bagi dirinya sendiri. Termasuk di dalamnya suatu kognisi respons yang evaluatif yang dibuat oleh individu itu terhadap aspek-aspek yang dipersepsikan dan dipahami tentang dirinya sendiri; suatu pemahaman tentang gambaran yang diduga oleh orang-orang lain mengenai dia; dan suatu kesadaran dari suatu diri yang dievaluasikan, yang merupakan gagasannya tentang pribadi sebagaimana dia inginkan dan dimana dia harus bertingkah laku. Pengharapan yang dinginkan dari setiap individu mengenai dirinya masing-masing juga menentukan, sampai batas tertentu, bagaimana individu akan bertingkah laku dalam kehidupannya. Bila individu berpikir bahwa ia mampu dalam banyak hal, maka cenderung individu tersebut akan meraih sukses. Sebaliknya, bila individu berpikir bahwa ia gagal dalam banyak hal, maka sebenarnya individu tersebut menyiapkan dirinya untuk gagal. Dengan kata lain, konsep diri merupakan ramalan yang dipersiapkan untuk diri sendiri. Konsep diri menurut Calhoun (1990 : 90) adalah gambaran tentang diri individu itu sendiri, yang terdiri dari pengetahuan tentang dirinya, pengharapannya, dan penilaian terhadap dirinya. Pengetahuan tentang diri setiap individu adalah merupakan informasi yang dimiliki individu tersebut tentang dirinya, misalnya usianya, jenis kelaminnya, penampilannya, dan sebagainya. Pengharapan bagi setiap diri individu adalah merupakan gagasan individu tersebut tentang kemungkinan menjadi apa ia kelak. Sedangkan penilaian individu tentang dirinya sendiri adalah merupakan pengukuran yang dilakukan individu sendiri tentang keadaan dirinya, yang dibandingkannya dengan apa yang menurut ia dapat

7 dan seharusnya terjadi pada dirinya. Penilaian diri ini menentukan tingkat harga dirinya, yang pada akhirnya akan menentukan perilakunya. Semakin baik setiap individu menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimilikinya. Begitu juga sebaliknya, semakin tidak baik setiap individu menghargai dirinya maka semakin negatif pula konsep diri yang dimilikinya. Akhir dari konsep diri ini semua, apakah itu positif atau negatif, adalah berbentuk perilaku yang positif atau negatif. II. DIMENSI KONSEP DIRI Konsep diri adalah pandangan dari diri setiap individu tentang dirinya sendiri. Potret diri mental ini, menurut Calhoun (1990 : 67) memiliki 3 dimensi, yaitu (1) pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, (2) pengharapan individu terhadap dirinya sendiri, dan (3) penilaian individu tentang dirinya sendiri. Dimensi pertama dari konsep diri, yaitu pengetahuan individu tentang dirinya tersebut menempatkan setiap individu ke dalam kelompok atapun katagori-katagori sosial tertentu. Dalam benak setiap individu, terdapat satu daftar julukan yang menggambarkan dirinya. Misalnya berapa usianya, kebangsaannya, sukunya, pekerjaannya, keadaan fisiknya, dan sebagainya. Dengan demikian, konsep diri setiap individu dapat diazas dasarkan dari keseluruhan pengetahuan daftar julukan dirinya yang menempatkannya ke dalam kelompok ataupun katagori-katagori sosial tertentu. Misalnya menjadi kelompok usia, kelompok bangsa, kelompok suku, kelompok pekerjaan, kelompok keadaan fisik, dan sebagainya. Dalam pengertian luas, setiap individu juga

8 mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial lainnya, yang akhirnya akan menambah luas pengetahuan tentang daftar julukan dari dirinya. Julukan-julukan yang terdapat dalam setiap daftar pengetahuan julukan diri setiap individu dapat diganti oleh individu itu setiap saat. Tetapi, sepanjang individu masih mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok ataupun katagori sosial tertentu, maka kelompok tersebut akan memberikan individu tersebut sejumlah pengetahuan atau informasi lain, yang pada akhirnya akan dimasukkan individu tersebut ke dalam potret diri mentalnya. Akhirnya, dalam membandingkan dirinya dengan anggota kelompoknya ataupun katagori sosialnya, setiap individu menjuluki dirinya sendiri dengan istilah-istilah kualitas. Misalnya individu mengkatagorikan dirinya, dengan membandingkan dirinya dengan orang lain dalam kelompok ataupun katagori sosialnya, sebagai orang yang sudah dewasa, berbangsa Indonesia, bersuku Batak, pekerjaan sebagai pegawai negeri, mempunyai fisik yang sehat, dan sebagainya. Seperti sebagian besar julukan diri setiap individu, apakah khusus dirinya atau kelompok/katagori sosialnya, kualitas yang diberikan individu terhadap dirinya sendiri adalah tidak permanen (Markus dan Kunda, 1986 dalam Calhoun, 1990 : 67). Setiap individu dapat saja mengubah tingkah lakunya atau individu juga dapat mengubah kelompok pembanding dari dirinya. Misalnya sebagai contoh, bila seorang individu memberi julukan kepada dirinya sebagai seorang yang lemah dan gagal dalam kehidupannya akibat cacat tubuh (misalnya, dua jari tangan kanannya putus) yang dideritanya, dengan kelompok pembanding masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggalnya (dalam hal ini semuanya

9 normal). Namun, jika individu tersebut memasuki suatu kelompok ataupun katagori sosial lainnya (misalnya ikut sebagai anggota kelompok penyandang cacat tubuh), maka ia memandang julukan yang diberikannya terhadap kualitas dirinya berubah. Dalam hal ini menjadi baik atau positif. Hal ini dikarenakan, individu tersebut mendapatkan bahwa kecacatan tubuhnya sebagai identitas kegagalannya ternyata masih jauh lebih baik dari cacat-cacat tubuh yang dimiliki oleh orang lain dalam kelompoknya. Pada saat individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu tersebut juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan dirinya menjadi apa di masa mendatang dari hidup yang dijalaninya (Rogers, 1959 dalam Calhoun 1990 : 71). Set pandangan yang lain ini merupakan dimensi kedua dari aspek konsep diri yang disebut dengan harapan atau cita-cita diri. Setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri. Pengharapan ini merupakan diri ideal, yaitu cita-cita diri atau suatu angan-angan individu tentang apa yang diinginkannya dari dirinya. Diri ideal yang terdapat pada setiap individu adalah berbeda. Pengharapan bagi setiap individu adalah tujuan yang membangkitkan kekuatan serta mendorong setiap individu menuju masa depan dan memandu kegiatan individu dalam perjalanan hidupnya. Satu hal yang pasti, setelah individu mencapai tujuannya, maka akan muncul cita-cita atau pengharapan lain/baru. Dalam pengertian ini terlihat bahwa dimensi kognitif dari diri tentang "saya adalah..." tidak pernah berdiri sendiri dalan konsep diri. Secara ajeg hal itu diukur dengan dimensi harapan, yaitu "saya dapat menjadi...".

10 Dimensi ketiga dari konsep diri adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Dalam artian, setiap individu adalah berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri setiap hari. Menurut Epstein (1973 dalam Calhoun, 1990 : 71), penilaian yang dilakukan setiap individu terhadap dirinya sendiri setiap hari akan diukur dengan mengajukan pertanyaan apakah diri bertentangan dengan (1) "saya dapat menjadi" apa, yaitu pengharapan bagi diri individu itu sendiri (dimensi pengharapan) dan (2) "saya seharusnya menjadi apa", yaitu standart individu bagi dirinya sendiri. Hasil pengukuran dari dua pertanyaan ini disebut dengan rasa Perasaan harga diri menurut Brisset (1972 dalam Burns, 1993 : 71) mencakup 2 proses psikologis yang mendasar, yaitu (1) proses evaluasi diri dan (2) proses harga diri. Masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dan Brisset berpendapat bahwa harga diri adalah lebih fundamental bagi manusia daripada evaluasi diri, meskipun kedua unsur dari perasaan harga diri ini perlu melibatkan penempatan sebagai apa seorang individu atau apa yang sedang dilakukan oleh seorang individu ke dalam konteks ataupun memberikan dirinya sendiri dan aktifitas-aktifitasnya dengan suatu acuan. Perasaan harga diri di dalam hubungannya dengan evaluasi diri mengacu kepada pembuatan suatu penilaian kesadaran berkenaan dengan arti dan nilai pentingnya seorang individu atau segi-segi dari seorang individu. Terdapat 3 (tiga) titik acuan utama yang muncul berhubungan dengan dimensi penilaian diri. Pertama, perbandingan dari citra diri sebagai dikenal (dimensi pengetahuan) dengan citra diri yang ideal (dimensi harapan) atau gambaran jenis pribadi yang

11 diinginkan oleh seorang individu. Jenis perbandingan ini menurut James (1890 dalam Burns, 1993 : 70) adalah tentang perasaan harga diri sebagai rasio antara hasil-hasil yang sebenarnya dan aspirasi-aspirasi, yang merupakan suatu pernyataan dari titik acuan yang utama di dalam evaluasi diri dan aktualisasi dari cita-cita. Titik acuan kedua dari evaluasi diri melibatkan internalisasi dari penilaian masyarakat. Hal ini mengandaikan bahwa evaluasi diri ditentukan oleh keyakinan-keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dirinya. Konseptualisasi dari perasaan harga diri ini, dikembangkan mula-mula oleh Cooley (1912, melalui apa yang disebutnya "the looking glass self") dan Mead (1972 : 186), melalui pernyataannya "mind as the individual importation of the social process"). Titik acuan terakhir dari dimensi evaluasi diri adalah melibatkan individu yang bersangkutan mengevaluasi dirinya sendiri sebagai seorang individu yang relatif sukses ataupun relatif gagal di dalam melakukan apa yang diminta oleh identitasnya. Dalam hal ini, masyarakat memberikan kesempatan-kesempatan bagi pengembangan perasaan harga diri. Tetapi untuk meyakinkan hal ini, diisyaratkan pada satu tingkat terhadap individu bahwa hal itu hanya dapat dicapai dengan jalan menyesuaikan diri kepada apa-apa yang diberikan oleh masyarakat. Harga diri (self worth) adalah perasaan bahwa diri itu penting dan efektif dan melibatkan pribadi yang sadar akan dirinya sendiri. Sedangkan gagasan-gagasan dari evaluasi diri, menyiratkan bahwa perasaan harga diri

12 seorang individu berasal dari pemilikan sifat-sifat yang sesuai dengan standart-standart tertentu dan penghargaan untuk memenuhi aspirasi-aspirasinya sendiri dari orang-orang lain, yang merupakan perasaan harga diri baginya. Pada pihak lain, harga diri adalah lebih fundamental dimana melibatkan suatu pandangan dari diri seorang individu sebagai penguasa dari tindakan-tindakannya, suatu perasaan kompeten yang intrinsik yang pada akhirnya tergantung pada dukungan dari luar atau masyarakat. Jadi, harga diri menjadi sebuah konsep yang agak samar-samar, berada lebih di dalam kekuasaan diri sebagai pengenal atau yang mengalami. Karenanya, perasaan harga diri dalam operasionalnya untuk tujuan-tujuan pengukuran dipandang paling baik sebagaimana evaluasi diri, yaitu dengan menyatakan secara tidak langsung atau berorientasi fenomenologi. Dalam hal ini, apakah evaluasi tersebut subyektif dengan melibatkan penilaian seorang individu terhadap prestasinya ataupun interpretasi seorang individu terhadap penilaian dirinya sendiri yang dibuat oleh orang-orang lain, kedua-duanya berhubungan dengan cita-cita/harapan yang mengarah kepada diri sendiri dan standart-standar yang secara budaya dipelajari. Dalam dimensi penilaian, tidaklah menjadi soal apakah suatu standart diri itu masuk akal atau pengharapan itu realistis. Sebagai contoh, jika standart diri seorang mahasiswa untuk prestasi akademiknya adalah mendapatkan nilai A semuanya, maka nilai rata-rata B+ (yang untuk mahasiswa lain mungkin standart dan menjadi sumber dari rasa harga diri yang tinggi), akan menyebabkan rasa harga diri yang rendah bagi dirinya. Akibat yang paling sering muncul dalam realita kehidupan adalah bahwa terdapatnya ketidakajegan dimensi penilaian dalam kehidupan manusia, akan

13 menimbulkan permasalahan-permasalahan psikis dalam kehidupannya. Di sini, terlihat bahwa ketiga dimensi dari konsep diri yang ada pada setiap individu merupakan komponen dasar yang sangat kuat dalam menentukan setiap perilaku individu. Perspektif yang senada mengenai dimensi dari konsep diri dikemukakan Fitts (1971 : 12-21), dimana Fitts seperti juga Rogers menganggap bahwa diri adalah sebagai suatu obyek sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya itu, Fitts membagi konsep diri ke dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu : 1. Dimensi Internal, yang terdiri dari : a. Diri sebagai obyek/identitas (identity self) b. Diri sebagai pelaku (behavior self) c. Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self) 2. Dimensi Eksternal, yang terdiri dari : a. Diri fisik (physical self) b. Diri moral-etik (moral-ethical self) c. Diri personal (personal self) d. Diri keluarga (family self) e. Diri sosial (social self) Kesemua dimensi dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk

14 lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan satu persatu. Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah bila seorang individu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas 3 (tiga) bentuk, yaitu : 1. Diri identitas (identity self). Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar. Konsep ini mengacu pada pertanyaan "siapakah saya?", dimana di dalamnya tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Misalnya, "saya Iskandar" dan kemudian sejalan dengan bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan semakin banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri, sehingga individu tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti : "saya Iskandar", "saya seorang ayah dari dua orang anak", saya bekerja sebagai seorang pegawai negeri", dan sebagainya. Selanjutnya setiap elemen dari identitas diri akan mempengaruhi cara individu mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya sendiri sebagaimana ia berfungsi.

15 Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai pelaku. Identitas diri sangat mempengaruhi tingkah laku seorang individu, dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai pelaku. Sejak kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu. 2. Diri pelaku (behavioral self). Diri pelaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah lakunya. Diri pelaku berisikan segala kesadaran mengenai "apa yang dilakukan oleh diri". Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai. 3. Diri pengamat/penilai (judging self). Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standart serta pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri, identitas dengan diri pelaku. Manusia cenderung untuk senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga

16 sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang miskin dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya akan lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokukan energi serta perhatiannya ke luar diri, yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif.diri sebagai penilai erat kaitannya dengan harga diri (self esteem), karena sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan harga diri. Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1) dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standart ini dapat berasal dari internal, eksternal, maupun keduanya. Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu sendiri. Oleh karena itu, walaupun harga diri (self esteem)

17 merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri. Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan bahwa masing-masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) serta konsep diri (self concept) secara utuh dan menyeluruh. Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut dengan dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari dunia di luar diri individu. Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun, yang dikemukakan oleh Fitts adalah bagian dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang. Bagian-bagian dimensi eksternal ini, dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk, yaitu : 1. Diri fisik (physical self). Diri fisik, menyangkut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus). 2. Diri moral-etik (moral-ethical self). Diri moral, merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya sendiri, yang dilihat dari standart pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan,

18 kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk. 3. Diri pribadi (personal self). Diri pribadi, merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejumlah mana seorang individu merasakan dirinya sebagai pribadi yang tepat. 4. Diri keluarga (family self). Diri keluarga, menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian diri ini menunjukkan seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga. 5. Diri sosial (social self). Diri sosial, merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini, sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri fisik yang baik, tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik, tanpa

19 adanya tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik. Hubungan antar dimensi dalam konsep diri (dimensi internal dan eksternal), dapat dijelaskan dengan menggunakan analogi. Misalkan, total dari diri (self) sebagai suatu keseluruhan adalah sebuah apel. Apel tersebut dapat dibagi-bagi secara horisontal maupun secara vertikal, yang pada setiap potongan akan mengandung bagian dari potongan bagian lainnya. Dengan demikian dapat diartikan, bahwa setiap bagian dari dimensi internal akan mengandung bagian-bagian dari dimensi eksternal, demikian pula sebaliknya. Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagian dan antar bagian pada dimensi internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan. Seorang individu yang terintegrasi dengan baik, akan menunjukkan derajat konsistensi interaksi yang tinggi, baik di dalam bagian-bagian dari dirinya sendiri (intra personal communication) maupun dengan individu-individu lain (interpersonal communication). III. ASPEK - ASPEK KONSEP DIRI Selain membagi konsep diri menjadi 2 (dua) dimensi (internal dan eksternal), Fitts (1970 : 12-21) juga membedakan konsep diri menjadi 4 (empat) aspek diri. Aspek diri ini nerupakan bagian dari diri yang dapat dilihat oleh orang lain pada diri seorang individu, sedangkan dimensi diri (seperti yang telah

20 dikemukakan), adalah bagian dari diri yang hanya dapat diketahui oleh diri individu yang bersangkutan sendiri. Aspek-aspek dari diri (self) tersebut menurut Fitts adalah sebagai berikut. 1. Aspek pertahanan diri (self defensiveness). Pada saat seorang individu menggambarkan atau menampilkan dirinya, terkadang muncul keadaan yang tidak sesuai dengan diri yang sebenarnya. Keadaan ini terjadi dikarenakan individu memiliki sikap bertahan dan kurang terbuka dalam menyatakan dirinya yang sebenarnya. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan individu tidak ingin mengakui hal-hal yang tidak baik di dalam dirinya. Aspek pertahanan diri ini, membuat seorang individu mampu untuk "menyimpan" keburukan dari dirinya dan tampil dengan baik sesuai yang diharapkan oleh lingkungan dari dirinya. 2. Aspek penghargaan diri (self esteem). Berdasarkan label-label dan simbol-simbol yang ada dan diberikan pada dirinya, seorang individu akan membentuk penghargaan sendiri terhadap dirinya. Semakin baik label atau simbol yang ada pada dirinya, maka akan semakin baik pula penghargaan yang diberikannya pada dirinya sendiri. Demikian pula bila individu memiliki label-label atau simbol-simbol yang kurang baik pada dirinya, maka penilaian tersebut akan diinternalisasikannya dan membentuk penghargaan diri yang kurang baik pada dirinya sendiri. 3. Aspek integrasi diri (self integration).

21 Aspek integrasi ini menunjukkan pada derajat integrasi antara bagian-bagian dari diri (self). Semakin terintegrasi bagian-bagian diri dari seorang individu, maka akan semakin baik pula ia akan menjalankan fungsinya. 4. Aspek kepercayaan diri (self confidence). Kepercayaan diri seorang individu berasal dari tingkat kepuasannya pada dirinya sendiri. Semakin baik penilaian seorang individu terhadap dirinya, maka semakin percaya ia akan kemampuan dirinya. Dengan kepercayaan diri yang baik, maka seorang individu akan semakin percaya diri di dalam menghadapi lingkungannya. Dari uraian yang telah dikemukakan mengenai dimensi diri maupun aspek diri, terlihat bahwa diri (self), baik sebagaimana yang dilihat seorang individu sendiri maupun oleh individu lainnya, adalah terdiri dari beberapa bagian. Bagian-bagian dari diri inilah yang saling berinteraksi dan berintegrasi sehingga membentuk suatu konsep diri yang utuh. IV. SUB-VARIABEL LAIN DALAM KONSEP DIRI Selain dari sub variabel konsep diri mengenai tingkat penghargaan diri yang meliputi dimensi internal dan eksternal serta aspek-aspek dari diri seperti yang telah dikemukakan, Fitts (1971 : 23) juga mengemukakan terdapatnya pula sub-variabel lain yang mengukur aspek lain dari konsep diri yang terdiri atas : 1. Aspek kritik diri. Aspek dari kritik diri ini menggambarkan sikap "keterbukaan" diri dalam menggambarkan diri pribadi. Aspek ini diukur dengan menggunakan

22 pertanyaan-pertanyaan yang bersifat merendahkan dan kurang menyenangkan mengenai diri seorang individu, tetapi dinyatakan secara halus sehingga pada umumnya individu akan mau mengakui sebagai suatu kebenaran bagi dirinya sendiri. Derajat keterbukaan dari diri yang terlalu rendah, menunjukkan sikap defensif individu. Individu yang normal memiliki derajat kritik diri yang tinggi, namun derajat yang terlalu tinggi (di atas 99%) justru menunjukkan individu yang kurang defensif dan kemungkinan memiliki kelainan psikologis. 2. Aspek variabilitas. Aspek variabilitas dari diri ini adalah menggambarkan derajat integritas dan konsistensi persepsi seorang individu tentang dirinya sendiri, dari satu bagian diri ke bagian diri lainnya. Derajat variabilitas yang tinggi, menunjukkan diri yang terintegrasi. Sedangkan derajat yang terlalu rendah, menunjukkan adanya kekakuan pada diri seorang individu. Derajat variabilitas yang optimal berada di bawah rata-rata, namun di atas persentil 1 (satu). 3. Aspek distribusi. Aspek distribusi dari diri ini adalah menggambarkan keyakinan diri atau kemantapan seorang individu dalam menilai dirinya. Derajat distribusi yang tinggi, menunjukkan rasa pasti seorang individu dalam menilai dirinya sendiri. Sedangkan derajat distribusi yang rendah, menunjukkan keraguan seorang individu terhadap dirinya atau kekaburan dalam mengenali dirinya.

23 V. KONSEP DIRI POSITIF DAN NEGATIF Pandangan seorang individu terhadap dirinya sendiri, yang diperolehnya dari informasi melalui interaksinya dengan orang-orang lain, yang dikenal dengan konsep diri, kiranya akan jatuh di antara dua kutub. Kutub pertama adalah konsep diri positif dan kutub yang satunya lagi adalah konsep diri negatif. Dengan mengetahui kedua perbedaan dari pengertian konsep diri tersebut, kiranya akan lebih membantu dan memberi kemampuan dalam penilaian ke arah mana condongnya konsep diri seorang individu. Penempatan nilai yang tinggi pada sifat rendah hati yang dilakukan seorang individu, dapat diasumsikan bahwa suatu konsep diri yang benar-benar positif adalah suatu kuantitas yang agak berbahaya bagi dirinya. Bagaimanapun juga, jika seorang individu merasa bahwa segala sesuatu tentang dirinya sendiri sempurna, tidakkah individu ini mungkin akan menjadi angkuh? Bagaimana pula jika seorang individu sangat mencintai dirinya sendiri, tidakkah individu ini mungkin akan memanfaatkan orang lain untuk memenuhi keinginannya sendiri? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah bahwa pada dasarnya, konsep diri yang positif bukanlah terletak pada kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih didasarkan kepada bentuk penerimaan diri. Dalam hal ini diyakini bahwa kualitas penerimaan diri ini lebih mungkin mengarah kepada kerendahan hati dan kedermawanan daripada kepada keangkuhan dan keegoisan. Wicklund dan Frey (1980 dalam Calhoun, 1990 : 73) menyatakan pendapatnya bahwa yang menjadikan penerimaan diri kepada bentuk konsep diri positif adalah dikarenakan seorang individu dengan konsep diri positif mengenal

24 dirinya dengan baik sekali. Tidak seperti konsep diri yang terlalu kaku atau terlalu longgar, konsep diri yang positif lebih bersifat stabil dan bervariasi. Menurut Chodorkoff (1954 dalam Calhoun, 1990 : 73), konsep diri positif ini berisi berbagai "kotak kepribadian", sehingga seorang individu dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik itu informasi yang negatif maupun yang positif. Jadi, seorang individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Misalnya, seorang individu yang cacat tubuh masih kompeten sebagai seorang ahli hukum atau seorang politikus, tetapi tidak kompeten sebagai seorang perwira polisi; Sebagai seorang staf pengajar, saya mempunyai status sosial yang baik tapi tidak baik dalam penghasilan (materi ekonomi); Saya sangat mencintai kedua orang tua saya, tapi kini mereka telah tiada. Contoh-contoh ini kiranya memberi pengertian dan menjelaskan bahwa secara mental seorang individu yang memiliki konsep diri positif dapat menyerap semua informasi, sehingga dengan demikian tidak satupun dari informasi tersebut merupakan ancaman bagi dirinya. Pengertian konsep diri positif yang dimiliki seorang individu adalah adanya kemampuan cakupan yang luas dari diri untuk dapat menampung seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya sendiri menjadi positif. Individu dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa seorang individu yang memiliki konsep diri positif tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri atau bahwa dia gagal mengenali kesalahannya sebagai suatu kesalahan. Namun, dia merasa tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah untuk eksistensinya. Dengan menerima dirinya sendiri, seorang

25 individu yang memiliki konsep diri positif juga dapat menerima orang lain. Hal ini kiranya senada dengan ungkapan dari para leluhur, "cubitlah dirimu sendiri sebelum kamu mencubit orang lain", yang kiranya dapat diinterpretasikan sebagai cinta pada diri sendiri adalah prasyarat untuk dapat mencintai orang lain. Dalam dimensi pengharapan dari diri, seorang individu dengan konsep diri positif, merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis dalam penilaian dirinya. Seperti semua individu, secara berkala kadang-kadang seorang individu dengan konsep diri yang positif dapat saja berkhayal menjadi bintang rock atau memenangkan kejuaraan tinju kelas berat atau menerima penghargaan nobel, dan sebagainya. Tetapi, tujuan yang benar-benar dirancang seorang individu dengan konsep diri yang positif untuk dirinya sendiri adalah realistis. Artinya, individu dengan konsep diri positif tersebut telah melakukan penilaian diri yang baik dan karena itu ia memiliki kemungkinan besar untuk dapat mencapai tujuannya tersebut. Di samping tujuan yang realistis tersebut berharga bagi dirinya, sehingga kalau individu tersebut berhasil mencapainya maka hal itu akan dapat dijadikannya sebagai alasan untuk memuji dirinya sendiri. Hal yang lebih penting dari dimensi pengharapan yang realistik tentang pencapaian dari seorang individu dengan konsep diri yang positif adalah pengharapannya tentang kehidupannya sebagai seorang individu, yaitu idenya tentang apa yang diberikan oleh kehidupan kepadanya dan bagaimana seharusnya dirinya mendekati dunia. Pada bidang inilah, konsep diri yang positif mungkin lebih banyak menjadi modal yang lebih berharga dibanding dengan dimensi diri yang lainnya.

26 Titik pusat dari pengertian konsep diri yang positif adalah adanya cakupan yang luas dan cukup beragam dari diri seorang individu untuk mengasimilasikan seluruh pengalamannya. Dalam pengertian ini juga terkandung bahwa segala sesuatu informasi baru, bukanlah sesuatu yang merupakan ancaman bagi dirinya sehingga tidak menimbulkan kecemasan baginya. Dengan kata lain, seorang individu dengan konsep diri yang positif dapat menghadapi kehidupan di depannya. Hal ini membedakannya dengan seorang individu yang memiliki konsep diri negatif, dimana kehidupannya dijalani dalam suatu benteng pertahanan diri. Seorang individu dengan konsep diri yang positif, dapat tampil ke depan secara bebas. Baginya, hidup adalah suatu proses penemuan. Ia mengharapkan, kehidupannya dapat membuat dirinya tertarik, dapat memberinya kejutan, dan memberinya penghargaan. Dengan demikian, seorang individu dengan konsep diri yang positif akan bertindak dengan berani dan spontan serta memperlakukan individu lain dengan hangat dan hormat. Oleh karena seorang individu dengan konsep diri positif menghadapi kehidupannya dengan cara-cara yang telah dikemukakan, kehidupannya akan terasa menyenangkan, penuh kejutan, dan penuh penghargaan. Jadi, konsep diri yang positif adalah bagian dari hubungan yang melingkar antar bagian-bagian dari dalam diri seorang individu yang berdimensi konstruktif. Kutub lain dari konsep diri, selain yang positif adalah kutub konsep diri yang negatif. Pada konsep diri yang negatif, dimensi diri yang terdiri atas pengetahuan, evaluasi, dan pengharapan dari seorang individu tentang dirinya sendiri adalah sangat sedikit dan kurang realistis.

27 Pada konsep diri negatif, dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu (1) pandangan seorang individu tentang dirinya sendiri yang benar-benar tidak teratur dimana individu tersebut tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Dalam arti ini, individu dengan konsep diri yang negatif ini, benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya. Menurut Erikson (1968 dalam Calhoun 1990 : 72), kondisi ini umum dan normal di antara banyak para remaja. Konsep diri para remaja kerapkali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan ini terjadi pada saat transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Tetapi, pada orang dewasa hal ini mungkin dianggap sebagai suatu tanda ketidakmampuan penyesuaian diri. Jenis konsep diri negatif yang ke 2 (dua) hampir merupakan lawan dari pengertian konsep diri negatif yang pertama. Pada jenis konsep diri negatif yang ke 2 (dua) ini, malah konsep diri itu terlalu stabil dan terlalu teratur. Dengan kata lain, konsep diri negatif yang kedua ini bersifat kaku. Hal ini dimungkinkan, karena seorang individu dengan konsep diri yang negatif seperti ini, biasanya dididik dengan sangat keras. Akibatnya, individu ini menciptakan citra diri bagi dirinya, yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum besi yang ada dalam pikirannya. Cara hidup seperti ini adalah merupakan cara hidup yang dianggapnya tepat. Pada kedua jenis konsep diri negatif, informasi baru tentang diri yang dialami seorang individu hampir pasti menjadi penyebab kecemasan dan rasa ancaman terhadap dirinya. Tidak satupun dari kedua konsep diri negatif cukup bervariasi untuk menyerap berbagai macam informasi tentang diri. Setiap hari,

28 pikiran individu mengalami proses pemilihan yang ketat tentang berbagai macam dorongan, ingatan, dan tanggapan yang semuanya itu merefleksi pada dirinya. Jadi, supaya individu memahami dan menerima dirinya sendiri, konsep diri seorang individu harus dilengkapi dengan "kotak kepribadian" yang cukup luas, yang dapat menyimpan bermacam-macam fakta yang berbeda tentang dirinya sendiri. Dengan kata lain, suatu konstruk konsep diri, idealnya adalah harus luas dan tersusun dengan teratur. Individu dengan konsep diri yang tidak teratur atau konsep diri yang sempit, benar-benar tidak memiliki kategori mental yang dapat dikaitkannya dengan informasi yang bertentangan mengenai dirinya (Sullivan, 1953 dalam Calhoun, 1990 : 72). Oleh karena itu, individu dengan konsep diri negatif, selalu mengubah terus menerus konsep dirinya atau individu tersebut melindungi konsep dirinya yang kaku, dengan cara mengubah ataupun menolak semua informasi baru yang bertentangan dengan citra dirinya yang telah ditetapkannya. Dalam kaitannya dengan dimensi evaluasi diri, seorang individu dengan konsep diri yang negatif menurut definisinya meliputi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri. Apapun pribadi itu, individu dengan konsep diri negatif ini tidak pernah cukup baik. Apapun yang diperolehnya, tampaknya tidak berharga bila dibandingkan dengan apa yang diperoleh oleh orang lain - (seperti yang dikatakan dengan tegas oleh Ralph Waldo Emerson, pada saat kehilangan semangat, "setiap pekerjaan tampaknya mengagumkan bagiku, kecuali pekerjaan yang dapat saya kerjakan" dalam Calhoun, 1990 : 72). Hal ini merupakan penuntun ke arah kelemahan emosional. Menurut Dobson dan Shaw (1987 dalam Calhoun, 1990 :

29 72), melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsep diri negatif yang dimiliki seorang individu, seringkali berhubungan dengan depresi klinis. Dalam hal ini menurut mereka, individu dengan konsep diri negatif mungkin akan mengalami kecemasan secara ajeg, dikarenakan menghadapi informasi tentang dirinya sendiri yang tidak dapat diterimanya dengan baik dan yang mengancam konsep dirinya. Dalam kasus ini, depresi atau kecemasan dan kekecewaan emosional akan mengikis harga diri yang menyebabkan munculnya sebuah kekecewaan emosional yang lebih parah dan seterusnya bak sebuah lingkaran setan. Untuk dapat menjelaskan dimensi dari seorang individu yang memiliki konsep diri negatif, Rotter (1954 dalam Calhoun, 1990 : 73) memaparkan contoh sebagai berikut. Seorang siswa dengan konsep diri negatif dapat memasuki dan lulus dengan pas-pasan kursus yang terkenal muda, atau dia dapat menentukan beberapa tujuan yang sangat tinggi (misalnya semua bernilai A), dan tentu saja dia gagal untuk mencapainya. Dalam kedua hal tersebut, sebenarnya individu tersebut telah menjebak dirinya sendiri dan menghantam harga dirinya, baik dengan jalan mencapai suatu tujuan yang tak seorang pun, termasuk dirinya, menganggapnya sebagai suatu keberhasilan, atau dengan gagalnya untuk mencapai cita-citanya. Dalam kedua kejadian tersebut, mungkin yang sedang terjadi adalah pembenaran ramalannya sendiri bahwa ia percaya dirinya tidak dapat mencapai suatu apapun yang berharga. Individu ini merancang pengharapannya sedemikian rupa, sehingga dalam kenyataannya ia tidak mencapai suatu apapun yang berharga. Kegagalan ini, sebaliknya merusak harga dirinya yang sudah rapuh,

30 yang kemudian membuat kekakuan atau ketidakteraturan citra dirinya lebih parah. Dengan kata lain, suatu lingkaran setan mengenai penghancuran diri akan terus memperparah konsep dirinya menjadi negatif. VI. KONSEP DIRI DAN KEPRIBADIAN Asumsi dasar mengenai tingkah laku dalam perspektif psikologi adalah bahwa tingkah laku bukanlah sesuatu yang selalu tampak sebagaimana tampilannya. Tidak terdapat suatu hubungan yang mutlak antara tingkah laku tertentu dengan penyebabnya. Untuk dapat memahami hubungan antara suatu tingkah laku dengan penyebabnya, terlebih dahulu harus diketahui dan dipahami sesuatu mengenai seorang individu dan situasi dimana tingkah laku itu muncul. Sesuatu mengenai individu yang harus diketahui dan dipahami ini adalah mengarah kepada kepribadian sebagai suatu hal yang dapat membantu dalam memahami tingkah laku. Tingkah laku biasanya merujuk pada suatu pola, organisasi, dan integrasi dalam mencapai tujuan yang dimaksudkan oleh seorang individu. Hal yang melakukan fungsi organisasi dan integrasi dari suatu tingkah laku seorang individu adalah konsep dirinya sendiri. Konsep diri merupakan "pusat" dari kepribadian. Jika kepribadian dianalogikan dalam bentuk suatu roda, maka konsep diri merupakan pusat roda dan sifat-sifat (traits) dari seorang individu adalah jarijarinya. Dengan demikian, kepribadian dapat dikatakan merupakan suatu kesatuan yang utuh, lebih dari sekedar penjumlahan dan konsep diri menjalankan fungsi organisasi dan integrasi dari aspek-aspek dalam kepribadian. Selain itu,

31 perkembangan konsep diri juga sejalan dengan perkembangan fungsi-fungsi kepribadian pada umumnya. Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri adalah sebagai suatu keseluruhan kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservasi, dialami, dan dinilai oleh seorang individu. Dengan demikian, sudah tentu setiap individu akan memiliki perincian yang sangat banyak dan bervariasi mengenai dirinya. Menurut Fitts, untuk dapat memahami kepribadian seorang individu tidak perlu untuk mengetahui secara tepat perincian gambaran dirinya, karena pasti akan sangat bervariasi. Akan lebih penting dan bermanfaat menurut Fitts jika lebih memfokuskan pada "emotional tone" dari gambaran diri seorang individu tersebut. Bobot emosional atau nilai penghargaan akan lebih banyak berpengaruh terhadap terjadinya perbedaan-perbedaan dalam kepribadian setiap individu yang pada akhirnya membeda-bedakan setiap individu dalam bertingkahlaku. Sebagai contoh, "saya memiliki cacat tubuh", "fisik saya tidak normal", dan sebagainya akan membawa suatu bobot emosional tertentu, bahkan untuk hal yang netral sekalipun, seperti "rumah saya di..." terkandung bobot emosional tertentu. Jadi, cara bagaimana individu "merasakan" tentang dirinyalah yang akan mewarnai persepsinya terhadap dunia yang dilakoninya. Pendapat Fitts sejalan dengan pendapat Burns (1993 : 66) yang mengemukakan bahwa pada dasarnya konsep diri merupakan sikap terhadap diri sendiri dari seorang individu. Sebagai suatu sikap, maka konsep diri tersebut memiliki 4 (empat) komponen penting yaitu (1) keyakinan atau pengetahuan (komponen kognitif), (2) emosional (komponen afektif), (3) evaluasi, dan (4)

32 predisposisi untuk berespon (komponen konatif). Jadi, di dalam konsep diri terdapat unsur-unsur dimana setiap individu memiliki sistem evaluasi serta perasaan-perasaan emosional dan juga kecenderungan-kecenderungan untuk pro atau kontra terhadap suatu obyek sosial yaitu diri sendiri, sama halnya dengan sikap. Namun, di dalam sikap terhadap diri sendiri (konsep diri) terdapat beberapa sifat khas yang berbeda dengan sifat dari sikap terhadap objek-objek sosial lainnya, yaitu (1) tidak ada referensi yang berlaku sama, dimana dalam hal ini setiap individu akan memiliki sikap terhadap dirinya sendiri yang unik, karena obyeknya satu dengan lainnya adalah berbeda dan (2) setiap individu akan termotivasi untuk memiliki sikap yang sama terhadap dirinya sendiri, yaitu sikap yang positif. Dari apa yang telah dikemukakan, terangkum bahwa konsep diri sebagai persepsi seorang individu terhadap dirinya sendiri, yang meliputi gambaran, penilaian, serta keyakinan terhadap diri sendiri secara menyeluruh, terlihat bukan hanya berisi "gambaran kepribadian" mengenai diri, tetapi juga memiliki kandungan evaluasi-evaluasi serta emosi-emosi mengenai diri. Dalam hubungannya dengan kepribadian, Rosenberg (1965 dalam Burns, 1993 : 73) menyatakan tidak ada perbedaan yang kualitatif di dalam karakteristik sikap-sikap terhadap diri dan sikap-sikap terhadap obyek-obyek lainnya (misalnya : sabun, sup, daerah pinggiran kota, dan sebagainya). Argumen ini mengambil titik pangkalnya kepada realitas bahwa individu mempunyai sikap-sikap terhadap banyak obyek. Beberapa dari obyek ini dapat berupa bukan

33 manusia dan dapat juga berupa individu-individu, dimana yang paling penting adalah diri individu itu sendiri. Secara lebih mendasar, Rosenberg (1965 dalam Burns, 1993 : 74-76) menyatakan bagaimanapun ada aspek-aspek dari konsep diri yang membedakan sikap-sikap diri dari sikap-sikap terhadap obyek lainnya. Kualitas-kualitas yang membedakan ini terletak pada : 1. Obyek acuan yang berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, Rosenberg memberikan contoh : jika seorang individu berpendapat bahwa Picasso itu hebat, sedangkan individu yang lainnya berpendapat tidak hebat, maka kedua individu ini saling tidak sependapat. Tetapi bila seorang individu menganggap dirinya cerdas, sedangkan individu lainnya menganggap dirinya bodoh, maka kedua orang ini saling sependapat. Contoh ini memberikan pengertian bahwa masing-masing individu melihat pada obyek-obyek secara berlainan, tergantung pada aspek-aspek konsep dirinya masing-masing. 2. Setiap individu didorong untuk mempunyai sikap yang sama terhadap diri. Hal ini terutama sekali terhadap kutup yang menyenangkan atau positif dari diri. Hal ini tampaknya menjadi ciri-ciri yang paling penting dari sikap-sikap diri setiap individu, yaitu individu lebih suka mempunyai hal-hal yang positif atau yang menyenangkan dari dirinya. 3. Obyek adalah penting bagi setiap individu, meskipun ada sejumlah besar variasi dalam kadar nilai pentingnya yang dilekatkan kepada obyek tersebut oleh individu secara subyektif. Rosenberg mengutip pernyataan

34 Murphy (1947) yang menyatakan bahwa apapun diri itu, dia tetap menjadi pusat dan titik sadar, sebuah standart perbandingan, dan suatu kenyataan yang pokok. Tidak dapat dihindari lagi bahwa hal-hal tersebut akan mengambil tempat sebagai suatu penilai yang tertinggi dari diri. 4. Diri adalah refleksi, karena itu sikap dan obyek yang dipunyai oleh seorang individu adalah sama. Sebagai contoh, "saya tidak suka terhadap diri saya sendiri" dan "saya berusaha membersihkan diri saya sendiri" memberikan pengertian bahwa individu tersebut berlaku baik sebagai subyek maupun sebagai obyek. Hal ini merupakan 2 (dua) aspek) yang dibedakan dari diri yang global, diri sebagai I atau pengenal dan diri sebagai Me atau dikenal. 5. Komitmen emosional dari setiap individu akan menentukan pembentukan sikapnya terhadap obyek. Emosi-emosi tertentu seperti kesombongan, kecongkakan, malu, putus asa, dan aib hanya ditimbulkan dalam hubungannya dengan obyek-obyek yang melibatkan diri atau ego. Emosi-emosi ini sebagian besar menerangkan mengapa sikap-sikap diri mempunyai nilai-nilai yang penting dan besar bagi penentuan sikap dan kesehatan mental seorang individu. 6. Sumber-sumber pengaruh yang dimiliki setiap individu berbeda-beda dalam mempengaruhi sikap-sikap dirinya dan yang mempengaruhi sikap-sikapnya terhadap banyak obyek lainnya. Sebagai contoh, komunikasi antarpribadi lebih mempengaruhi sikap-sikap diri dibandingkan dengan komunikasi massa. Komunikasi antarpribadi lebih

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep diri Konsep diri adalah gambaran tentang diri individu itu sendiri, yang terjadi dari pengetahuan tentang diri individu itu sendiri, yang terdiri dari pengetahuan tentang

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Teori

Bab II Tinjauan Teori Bab II Tinjauan Teori 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Pengertian umum dari konsep diri dalam psikologi adalah konsep pusat (central construct) untuk dapat memahami manusia dan tingkah lakunya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992). BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang- orang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang- orang yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dukungan Sosial 2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial Cohen dan Wills (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendefinisian dan klarifikasi istilah dilakukan di awal penelitian dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendefinisian dan klarifikasi istilah dilakukan di awal penelitian dengan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Definisi Pendefinisian dan klarifikasi istilah dilakukan di awal penelitian dengan tujuan menyamakan persepsi mengenai hal yang sedang dibahas. Dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di sepanjang kehidupannya sejalan dengan pertambahan usianya. Manusia merupakan individu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Minat Belajar 1. Pengertian Minat Belajar Slameto (2003) berpendapat bahwa minat adalah suatu kecenderungan untuk mempelajari sesuatu dengan perasaan senang. Apabila individu membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Kondisi ekonomi saat ini telah banyak menimbulkan permasalahan sosial, terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas menggejala secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, masyarakat Indonesia menganggap pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama dalam hal mencapai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu fase dalam perkembangan individu adalah masa remaja. Remaja yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan. Individu senantiasa akan menjalani empat tahapan perkembangan, yaitu masa kanak-kanak, masa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG KONSEP DIRI REMAJA PUTRI YANG MEMILKI IBU TIRI. jangka waktu yang singkat, konsep diri juga bukan merupakan pembawaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG KONSEP DIRI REMAJA PUTRI YANG MEMILKI IBU TIRI. jangka waktu yang singkat, konsep diri juga bukan merupakan pembawaan 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG KONSEP DIRI REMAJA PUTRI YANG MEMILKI IBU TIRI A. Konsep diri 1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri bukan merupakan hasil sekali jadi yang terbentuk dalam jangka waktu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Fitts (1971) Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang,

BAB II LANDASAN TEORI. Fitts (1971) Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Fitts (1971) Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Fase perkembangan tersebut meliputi masa bayi, masa kanak-kanak,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Fase perkembangan tersebut meliputi masa bayi, masa kanak-kanak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya mengalami beberapa fase perkembangan. Setiap fase perkembangan tentu saja berbeda pengalaman dan dituntut adanya perubahan perilaku

Lebih terperinci

Studi Komparatif Mengenai Konsep Diri Anggota Senior dan Anggota Junior pada Komunitas Cosplay di Kota Bandung

Studi Komparatif Mengenai Konsep Diri Anggota Senior dan Anggota Junior pada Komunitas Cosplay di Kota Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Komparatif Mengenai Konsep Diri Anggota Senior dan Anggota Junior pada Komunitas Cosplay di Kota Bandung 1 Gilang Aditya Pratama, 2 Agus Sofyandi Kahfi 1,2 Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan sangat penting maka pemerintah Indonesia memberikan perhatian berupa subsidi dalam bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI 1 KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI Apakah harga diri atau self esteem itu? Coopersmith (Gilmore, 1974) mengemukakan bahwa:.self esteem is a personal judgement of worthiness that is

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 RUSTAM ROSIDI F100 040 101 Diajukan oleh: FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsep Diri Istilah konsep diri biasanya mengarah kepada sebuah pembentukan konsep pribadi dari diri seseorang. Secara umum konsep diri adalah pandangan dan sikap

Lebih terperinci

Teori Komunikasi MODUL PERKULIAHAN. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tentang Teori-Teori Dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi

Teori Komunikasi MODUL PERKULIAHAN. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tentang Teori-Teori Dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi MODUL PERKULIAHAN Teori Komunikasi Pokok Bahasan 1 Antarpribadi 1.1 Elemen pembentuk kesadaran diri 1.2 Konsep-konsep yang mempengaruhi perkembangan kesadaran diri 1.3 Teori-Teori Tentang Diri (Konsep

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai konsep diri. Fitts (dalam Agustiani, 2006), mengemukakan bahwa konsep diri merupakan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Konsep Diri Pengertian Konsep Diri. Hurlock (1990) mengemukakan, konsep diri merupakan inti dari pola

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Konsep Diri Pengertian Konsep Diri. Hurlock (1990) mengemukakan, konsep diri merupakan inti dari pola BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Hurlock (1990) mengemukakan, konsep diri merupakan inti dari pola perkembangan kepribadian seseorang yang akan mempengaruhi berbagai bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Ayah 1. Definisi Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini,

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

MAKALAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN KONSEP DIRI

MAKALAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN KONSEP DIRI MAKALAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN KONSEP DIRI Disusun Oleh: Aprilia Fajriati H0814013 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pada seseorang, tanpa adanya kepercayaan diri akan banyak. atribut yang paling berharga pada diri seseorang dalam kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pada seseorang, tanpa adanya kepercayaan diri akan banyak. atribut yang paling berharga pada diri seseorang dalam kehidupan 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang, tanpa adanya kepercayaan diri akan banyak menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Erikson (Hurlock, 1980:208) berpendapat, identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Fenomena remaja yang terjadi di Indonesia khususnya belakangan ini terjadi penurunan atau degredasi moral. Dalam segala aspek moral, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada kesiapannya dalam menghadapi kegiatan belajar mengajar.

BAB I PENDAHULUAN. pada kesiapannya dalam menghadapi kegiatan belajar mengajar. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah pendidikan di Indonesia tidak hanya terletak pada persoalan, pengajar/ dosen, sarana prasarana serta media pembelajaran. Masalah pembelajaran jauh lebih kompleks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia agar mampu mandiri, menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil Belajar. Seluruh pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan perilaku siswa

TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil Belajar. Seluruh pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan perilaku siswa 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Belajar Seluruh pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan perilaku siswa terbentuk dan berkembang seiring dengan proses pembelajaran. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak belajar tentang banyak hal, sejak lahir ke dunia ini. Anak belajar untuk mendapatkan perhatian, memuaskan keinginannya, maupun mendapatkan respon yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan sumber kepribadian seseorang. Di dalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang dapat membentuk kepribadian seserang. Tidak dapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA Naskah Publikasi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Sebagian Syaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya kehidupan dewasa ini disemaraki oleh banyaknya kegagalan dalam membina rumah tangga yang utuh. Seringkali banyak keluarga memilih untuk berpisah dari hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan yang terjadi semakin ketat, individu dituntut untuk memiliki tingkat pendidikan yang memadai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara 7 BAB II LANDASAN TEORI 1. Pengertian Interaksi Sosial A. Interaksi Sosial Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang memiliki tujuan sama dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk membantu individu dalam mencapai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Hasil Pembelajaran Matematika 2.1.1 Matematika Kata Matematika berasal dari bahasa Yunani (mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, relasi, perubahan, dan beraneka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konsep Diri a. Pengertian Konsep Diri Konsep diri dikatakan sebagai pandangan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri seseorang erat hubunganya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun (Santrock, 2003: 31). Lebih rinci, Konopka dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja berasal dari kata adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Diet 2.1.1 Pengertian Perilaku Diet Perilaku adalah suatu respon atau reaksi organisme terhadap stimulus dari lingkungan sekitar. Lewin (dalam Azwar, 1995) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Etos Kerja. kepribadian, serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Etos Kerja. kepribadian, serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan cara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja Tasmara (2002) menegaskan bahwa etos kerja adalah totalitas kepribadian, serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan cara memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlian Ferdiansyah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlian Ferdiansyah, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga futsal merupakan salah satu modifikasi olahraga sepak bola yang dimainkan di dalam ruangan. Jumlah pemain dalam olahraga futsal sebanyak lima orang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian yang bejudul Konsep Diri Pada Penderita Tumor Jinak

BAB V PENUTUP. Penelitian yang bejudul Konsep Diri Pada Penderita Tumor Jinak BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian yang bejudul Konsep Diri Pada Penderita Tumor Jinak Payudara Perempuan Dewasa Awal ini telah menjawab pertanyaan dari rumusan masalahnya. Dimana rumusan masalahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam situasi dunia seperti ini dimana banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat membuat masyarakat semakin semangat di dalam melakukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Orang Tua Definisi dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup setiap orang, yang berguna

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup setiap orang, yang berguna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman modern seperti saat ini, banyak terjadi perubahan dalam segala bidang, baik itu bidang teknologi, ekonomi, sosial maupun pendidikan. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada masa dewasa awal, kondisi fisik mencapai puncak bekisar antara usia 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari 30 tahun.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencangkup keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang semakin meningkat. Individu dituntut untuk semakin maju agar dapat mengikuti persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

INDRA KAMARA PATTIMAHU Universitas Gunadarma

INDRA KAMARA PATTIMAHU Universitas Gunadarma PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR KANAK- KANAKNYA DIBESARKAN DI PANTI ASUHAN DENGAN REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR KANAK-KANAKNYA DIBESARKAN DI RUMAH BERSAMA KELUARGA INDRA KAMARA

Lebih terperinci

MENGEMBANGKAN SELF CONCEPT SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT

MENGEMBANGKAN SELF CONCEPT SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT MENGEMBANGKAN SELF CONCEPT SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT Tina Sri Sumartini Abstrak Dalam pembelajaran, siswa masih kurang memiliki self concept yang positif. Salah satu model pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era global yang terus berkembang menuntut manusia untuk lebih dapat beradaptasi serta bersaing antara individu satu dengan yang lain. Dengan adanya suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Subjective Well-Being 2.1.1. Pengertian Subjective Well-Being Menurut Deiner dan Pavot subjective well-being (SWB) merupakan kategori yang luas mengenai fenomena yang menyangkut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian kecerdasan emosional Kecerdasan emosional, secara sederhana dipahami sebagai kepekaan mengenali dan mengelola perasaan sendiri dan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. serta menukarkan produk yang bernilai satu sama lain (Kotler dan AB. Susanto,

II. LANDASAN TEORI. serta menukarkan produk yang bernilai satu sama lain (Kotler dan AB. Susanto, II. LANDASAN TEORI 2.1 Analisis Sikap 2.1.1 Pengertian Sikap Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan dengan menciptakan dan menawarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan kehidupannya dapat dijalani dengan baik sesuai harapan-harapan di masa yang akan datang. Namun sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia yang tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Kita mengetahui bahwa manusia merupakan makhluk yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pengertian Berpikir Kreatif Kreatif merupakan istilah yang banyak digunakan baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Umumnya orang menghubungkan kreatif dengan sesuatu

Lebih terperinci