kepada para pembaca anak-anak melalui cerita, tokoh, seting, ilustrasi, dan pesan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "kepada para pembaca anak-anak melalui cerita, tokoh, seting, ilustrasi, dan pesan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra anak terjemahan diyakini mampu mengenalkan dan menghubungkan dunia anak dan keragaman kultur dari berbagai belahan dunia kepada para pembaca anak-anak melalui cerita, tokoh, seting, ilustrasi, dan pesan yang ada di dalamnya. Buku-buku sastra anak terjemahan menjadi penting bagi pembacanya karena melalui buku-buku ini mereka mengenal dunia lain selain dunia yang mereka kenal. Selain itu, karya sastra anak terjemahan memberi kontribusi pada tumbuh kembang relasi kultural antar bangsa dan memberi pengetahuan tambahan mengenai karakteristik sifat-sifat unik para tokoh, seting, dan budaya yang ditawarkan oleh sebuah buku. Oleh karena itu mengenal keberadaan, peran, dan posisi sastra anak terjemahan di sebuah Negara adalah penting. Banyak cerita mengenai pengaruh sastra anak terjemahan yang dapat disarikan disini yang menunjukkan betapa pentingnya peran sastra anak terjemahan bagi suatu Negara. Tabbert (2002) menyatakan bahwa di negaranegara Scandinavia dan Belanda misalnya para penulis buku anak banyak distimulasi dan diinspirasi oleh banyak buku impor berkualitas bagus dan mereka dipaksa untuk menulis karya-karya yang standarnya tidak boleh kalah dari bukubuku impor tadi. Menurut Tabbert, di Spanyol bahkan diakui bahwa sastra anak terjemahan dari Negara Inggris mampu memberi penguatan pada sistem sastra anak mereka dan memberi pengayaan atas perkembangan sastra anak Spanyol. 1

2 Bunanta mengatakan bahwa karya sastra anak dari pengarang Indonesia secara sepintas tidak menarik tetapi itu tidak berarti upaya menerjemahkan sastra anak dari bahasa dan bangsa lain harus dihentikan karena rasa inferioritas. Berkaitan dengan pentingnya menerjemahkan sastra anak dari bahasa dan bangsa lain Bunanta menyebutkan ada tiga hal: karya terjemahan bisa dijadikan sumber inspirasi dan referensi pengarang lokal karena dapat digunakan untuk mengukur kemampuan dan ketrampilannya menulis; karya terjemahan dapat digunakan untuk memperkenalkan kebudayaan lain; dan karya sastra terjemahan dapat memperkaya khasanah perbukuan (Bunanta, 2008: 269). Sastra anak yang dapat ditemukan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama, sastra anak Indonesia yakni sastra anak atau bacaan untuk anak yang ditulis oleh pengarang, diberi ilustrasi dan diterbitkan oleh penerbit Indonesia dan kedua, sastra anak terjemahan yang ditulis oleh penulis, diberi ilustrasi dan diterbitkan oleh penerbit dari luar Indonesia dan diterjemahkan kemudian diterbitkan oleh penerbit Indonesia. Dua kelompok di atas merupakan sebuah generalisasi ciri-ciri sastra anak yang dapat digunakan secara mudah untuk membedakan sastra anak Indonesia dan sastra anak terjemahan. Dari berbagai segi, sastra anak terjemahan yang masuk ke Indonesia memang lebih unggul dari pada sastra anak Indonesia. Hasil penelitian Kusumayanti dan kawan-kawan (2009) terhadap buku cerita bergambar yang ditulis oleh penulis Indonesia dan pengarang Inggris menemukan bahwa sastra anak terjemahan memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan sastra anak Indonesia. Menurut penelitian Kusumayanti tersebut terdapat tiga unsur 2

3 utama dalam buku cerita bergambar terjemahan, yaitu unsur sastra, unsur bahasa dan unsur artistik. Secara singkat yang dimaksudkan dengan unsur sastra adalah unsur sastra yang meliputi tokoh, plot, tema, pesan, seting cerita; sedangkan unsur bahasa adalah unsur bahasa yang meliputi sintaksis, leksikon, style (gaya); sedangkan unsur artistik adalah unsur yang meliputi tata letak, font, komposisi warna, bentuk, dan unsur artistik lainnya. Buku cerita bergambar umumnya memiliki unsur artistik yang menonjol. Sastra anak terjemahan yang beredar di Indonesia umumnya datang dari negara Inggris, Amerika, dan Jepang (cerita dari Jepang banyak yang ditulis dalam bentuk komik). Dengan demikian, manakala pembaca anak-anak Indonesia ingin menikmati sastra anak dari luar negeri, maka mereka sangat bergantung pada kemampuan penerjemah dalam menerjemahkan teks-teks tersebut ke dalam teks bahasa Indonesia. Menerjemahkan buku-buku cerita anak memerlukan strategi khusus karena pembaca buku sastra anak terjemahan adalah anak-anak dengan kapasitas kognitif, imajinatif, serta kemampuan berbahasa yang tidak sama dengan para pembaca dewasa. Di satu sisi, pembaca anak-anak belum memiliki banyak pengetahuan yang tersimpan dalam memori mereka. Storage (simpanan) atau background knowledge (pengalaman sebelumnya), yang tidak dimiliki oleh pembaca anak-anak, dapat digunakan oleh pembaca dewasa dalam membantu menerima hasil terjemahan dengan lebih baik, sedangkan bagi pembaca anak-anak pengalaman dan pengenalan terhadap kehidupan dan lingkungan yang ada di sekitar mereka justru 3

4 baru diperoleh dari membaca buku-buku cerita anak, baik buku cerita anak karangan penulis Indonesia maupun cerita anak hasil terjemahan. Pembaca anak-anak, di sisi lain, belum memiliki kemampuan kritis untuk mengatakan sebuah teks terjemahan adalah teks terjemahan yang benar-benar mereka butuhkan, teks terjemahan yang membingungkan, teks terjemahan yang komunikatif, atau teks terjemahan yang merupakan terjemahan verbatim 1. Secara singkat dapat dikatakan bahwa menerjemahkan buku cerita anak untuk dikonsumsi pembaca anak-anak memerlukan seorang penerjemah dengan ketrampilan dan penguasaan tehnik menerjemahkan yang baik. Seorang penerjemah, menurut Burns (1962 dalam Thomson-Wohlgemuth, 1998: 44), harus menguasai bahasanya sendiri dan bahasa sasaran dengan baik. Udasmoro (2012) menilai bahwa selain cakap dan menguasai bahasa sasaran sebaik bahasa sumber seorang penerjemah harus akrab dengan isi teks sumber; harus peka; harus bersimpati, dan harus memahami perasaan, pemikiran, dan dunia anak. Selain penguasaan pada bahasa sumber dan sasaran, seorang penerjemah juga harus menguasai konteks kultural teks sumber dan teks sasaran karena menerjemahkan tidak hanya melakukan perubahan dalam hal sistem kebahasaan suatu bahasa, tetapi juga membuat adaptasi-adaptasi dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tidak hanya itu, Udasmoro menilai bahwa adaptasi sering kali harus dilakukan penerjemah ketika dia tidak dapat menemukan padanan yang tepat antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata verbatim berarti kata demi kata; menurut apa yang tertuang dalam tulisan (halaman 1260). 4

5 Menerjemahkan sastra anak pada hakekatnya tidak hanya melibatkan penerjemahan kata dari bahasa sumber ke padanannya dalam bahasa sasaran, akan tetapi melibatkan penerjemahan konteks kultur yang melibatkan perbedaan penggunaan bahasa, penggunaan konteks situasi, dan penggunaan ideologi. Disadari atau tidak, ada kalanya seorang penerjemah memiliki kepentingan untuk mengintervensi dan memasukkan visi, misi, dan ideologinya sendiri dalam teks hasil terjemahannya. Menurut Puurtinen (1998), O Sullivan (2005), dan Fornalzyck (2007) kepentingan dibalik pekerjaan penerjemah yang meliputi kepentingan penerbit, kepentingan editor, dan kepentingan pemerintah adalah hal lain yang mungkin akan berpengaruh pada teks hasil terjemahan. Menerjemahkan untuk kepentingan format buku berlabel bilingual di Indonesia dilakukan karena buku bacaan berlabel bilingual digunakan sebagai upaya komplementer dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang di Indonesia dianggap sebagai bahasa komunikasi dalam komunitas Internasional. Dalam situasi yang seperti ini peran penerjemah menjadi krusial dalam penerjemahan buku cerita untuk pembaca anak-anak. Hasil terjemahannya akan dijadikan pegangan untuk pembelajaran bahasa Inggris. Oleh karena itu menerjemahkan buku teks berlabel bilingual seharusnya dilakukan dengan ekstra cermat dan ekstra hati-hati karena beberapa pembaca anak-anak buku tersebut mungkin akan meng-cross check tiap kata teks sasaran pada teks sumber walaupun tidak menutup kemungkinan pembaca anak-anak yang lain tidak mempedulikannya. Teks sasaran dalam buku cerita bergambar berlabel bilingual (BCBB) merupakan hasil kerja seorang penerjemah (Real Translator) dan merupakan hasil 5

6 respon dari pekerjaan dia selaku pembaca dan selaku penerjemah. Dengan kata lain teks terjemahan bahasa Indonesia dalam buku cerita bergambar berlabel bilingual merupakan hasil sambutan para penerjemah setelah membaca teks berbahasa sumber bahasa Inggris. Pola para penerjemah merespon teks BSu, yang kemudian dituangkannya ke dalam teks BSa, akan menarik untuk diteliti. Objek kajian berupa BCBB untuk penelitian ini melibatkan sebuah pembacaan yang tidak akan sama dengan pembacaan teks cerita anak dalam genre lain mengingat teks buku cerita bergambar terdiri dari teks verbal dan teks visual sehingga saat menerjemahkan seorang penerjemah tidak mungkin menghindar dari keberadaan teks verbal dan teks visual dalam Teks Sumber tersebut. Perubahan dan penyesuaian yang dilakukan oleh penerjemah yang menggambarkan respon mereka, akan dikaji dengan melihat keberadaan teks verbal TSa dengan teks verbal dan teks visual TSu dalam buku-buku cerita bergambar tersebut. Untuk memudahkan jalannya penelitian dan analisis terhadap hasil terjemahan para penerjemah penelitian dipandu dengan pertanyaan penelitian berikut ini. Penelitian ini akan mengkaji perubahan-perubahan yang terjadi dalam teks sasaran setelah dilakukan proses penerjemahan. Asumsinya, perubahan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran akan dipengaruhi oleh proses penerjemah dalam merespon teks sumber. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji hasil respon para penerjemah melalui teks hasil terjemahan dalam BCBB. Sampai saat ini, telah ditemukan hasil karya terjemahan tiga penerjemah dari penerbit Erlangga for Kids. Perbedaan sikap dalam merespon yang dilakukan masing- 6

7 masing penerjemah, strategi, inovasi, dan kreatifitas para penerjemah dapat dikaji melalui hasil terjemahannya. Dari kajian terhadap teks bahasa Indonesia dalam buku cerita bergambar yang diberi label bilingual ini, dapat dilihat sampai sejauh mana perbedaan dan kesamaan merespon penerjemah satu dengan yang lainnya terhadap cerita dalam buku-buku cerita tersebut. Hasil terjemahan dari setiap kata, setiap konteks, setiap situasi dalam teks verbal dan teks visual dalam Teks Sumber dapat ditelusuri dalam Tekas Sasaran dan diharapkan akan mampu mencerminkan hasil respon penerjemah. 1.2 Permasalahan Permasalahan yang diformulasikan dengan baik, detil, dan jelas akan memudahkan peneliti dalam mencapai dan menetapkan indikator ketercapaian tujuan penelitiannya. Semakin jelas formulasi permasalahan akan semakin mudah bagi peneliti untuk menyusun jawaban sementara dari permasalahan yang ditetapkan. Berdasar latar belakang yang dikemukakan di atas maka jalannya penelitian ini akan dipandu dengan pernyataan penelitian berikut. 1. Bagaimanakah teks verbal hasil terjemahan para Real Translator bila dikaitkan dengan teks verbal dalam teks sumber. 2. Bagaimanakah teks verbal hasil terjemahan para Real Translator bila dikaitkan dengan teks visual dalam buku cerita bergambar yang diteliti. Kedua pertanyaan tersebut akan dikaitkan dengan label bilingual di halaman sampul buku-buku cerita bergambar yang diteliti. Teks verbal dalam teks sasaran yang berbeda dari teks verbal dalam teks sumber serta teks verbal dalam teks 7

8 sasaran yang dihubungkan dengan keberadaan teks visual dalam teks sumber diharapkan akan memberi jawaban atas pertanyaan mengenai bagaimana para Real Translator merespon buku-buku cerita bergambar berlabel bilingual yang menjadi objek penelitian ini Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan 1. Tujuan penelitian ini adalah menemukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh Real Translator BCBB yang dapat dilihat dengan cara membandingkan teks verbal Teks Sasaran dan teks verbal Teks Sumber serta teks verbal TSa dan teks visual TSu. 2. Penelitian disertasi ini berusaha menemukan respon para penerjemah bukubuku cerita bergambar bilingual. Diyakini bahwa masing-masing penerjemah akan merespon teks sumber secara berbeda dan perbedaan ini akan menarik untuk dikaji secara lebih mendalam Manfaat Penelitian Kajian teoritis yang dilakukan oleh penelitian ini terhadap penerjemahan buku cerita bergambar berlabel bilingual diharapkan memberi informasi kontributif pada para peneliti sastra anak terutama yang memiliki perhatian pada perkembangan penerjemahan buku sastra anak dan kususnya penerjemahan buku cerita bergambar. 8

9 1.4. Tinjauan Pustaka Bagian ini berisi penjelasan mengenai penelitian terdahulu yang pernah dilakukan dalam cakupan (scope) penelitian sastra anak, persoalan penerjemahan sastra anak, penelitian tentang penerjemahan buku cerita bergambar, dan penelitian-penelitian yang menggunakan teori Respon Estetik (Response Aesthetic) dari Wolfgang Iser. Penjelasan ini diperlukan untuk menggali state of the art dari kajian dan penelitian terdahulu di bidang-bidang tersebut. Hasil yang diperoleh dari pemaparan state of the art bidang-bidang kajian di atas akan membantu menemukan gap yang terbentuk dari hasil penelitian yang pernah dilaksanakan Penelitian Terhadap Sastra Anak Para peneliti bidang sastra anak baik di Inggris, Amerika maupun Indonesia, sepakat menegaskan bahwa sastra anak adalah sastra yang ditulis dan diciptakan secara khusus untuk dibaca oleh pembaca anak (Oittinen, 1993; Hunt, 1995; Mitchell, 2003; Luckens, 2003; Bunanta, 2008; Nurgiyantoro, 2005). Sastra anak sendiri merupakan sebuah genre dan mempunyai pembagian. Pembagian genre sastra anak dilakukan oleh Mitchell (2003), Bunanta (2008), Luckens (1989), Nurgiyantoro (2005), dan Cullinan (1989). Pembagian genre oleh masingmasing peneliti mencerminkan kesamaan umum dari sastra anak walaupun ada beberapa bagian pengelompokan yang sedikit berbeda menurut penulis satu dengan penulis yang lainnya. Sastra anak sendiri memiliki bermacam genre yang menunjukkan macam atau jenis atau kategori atau kelompok yang membedakan 9

10 karya sastra dan biasanya memuat ciri-ciri khusus mengenai gaya (style), bentuk, dan isi sebuah buku (Mitchell, 2003). Pembagian genre dalam sastra anak yang dikemukakan oleh Bunanta, Nurgiyantoro, dan Mitcell meliputi sastra tradisional yang terdiri atas cerita rakyat, mite, legenda, fabel; fantasi; fiksi; dan puisi. Fiksi masih dibagi lagi menjadi fiksi ilmiah, fiksi sejarah, fiksi realistik. Genre sastra anak juga meliputi buku-buku non fiksi; buku-buku informatif seperti misalnya buku konsep (concept book), buku informasi (informational book); dan biografi. Selain jenisjenis yang telah disebutkan, buku cerita bergambar (picture book), buku komik (comic strip), dan buku cerita dengan gambar (illustrated book) termasuk dalam genre sastra anak. Secara umum dapat dikatakan bahwa sastra anak adalah sastra yang diremehkan, tidak dimasukkan dalam kategori sastra kanon, dianggap peripheral (Shavit, 1986) dan ini berarti sastra anak dianggap tidak penting dan marginal. Di Negara-negara Eropa, sampai tahun 1990-an, pekerjaan menulis sastra untuk anak-anak dipandang sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi sehingga kurang dihargai dan kurang diminati (Thomson-Wohlgemuth,1998: 3). Hal yang sama juga berlaku pada pekerjaan menerjemahkan sastra anak. Hasil penelitian yang dilakukan Thomson-Wohlgemuth mengungkapkan bahwa para penerjemah sastra anak mengeluhkan royalti yang kecil dibanding dengan pekerjaan menerjemahkan sastra dewasa, sehingga dua kelompok pekerja tersebut sering kali mengabaikan jati diri mereka. Para penulis sastra anak biasa menggunakan nama pena dalam karya-karya mereka, sedangkan para penerjemah 10

11 merelakan namanya tidak disebutkan didalam sebuah karya sastra anak terjemahan. Kondisi semacam ini masih dapat ditemukan oleh Thomson- Wohlgemuth dalam kajiannya terhadap sastra anak terjemahan di Inggris sampai tahun Mulai tahun 2000-an penelitian dan kajian mengenai sastra anak dan penerjemahannya semakin banyak dilakukan. Berbicara mengenai sastra anak berarti berbicara mengenai potensi besar sebuah teks, karena awalnya sastra anak ditulis memang untuk keperluan didaktik. Sejarah kemunculan sastra anak di Eropa menunjukkan dan memberi legitimasi bahwa sastra anak sering dimanfaatkan untuk kepentingan instruksional dan didaktik. Dalam orasi kunci pada kongres International Research Society for Children Literature di Spanyol tahun 1989, Professor Hans-Heino Ewers, seorang professor bidang sastra anak di German, menyatakan bahwa sastra anak pertama kali dikenal masyarakat karena fungsi didaktisnya (Palsdottir, 2002). Dari hasil penelitiannya Palsdottir sendiri berpendapat bahwa di akhir milenium pertama masyarakat awam dan akademik telah banyak mencurahkan perhatiannya pada sastra anak sehingga sastra anak berkembang pesat dan telah diakui keberadaannya secara internasional (2002: 3) dan penelitian-penelitian terhadap sastra anak semakin banyak dilakukan. Elizabeth A. Gallway (2008) mengkaji peran puisi anak-anak Canada dalam merekonstruksi identitas nasional Canada di awal terbentuknya negara tersebut. Dalam kajiannya Galloway mengumpulkan puisi-puisi yang ditulis oleh anak-anak Canada. Sastrawan Canada yakin bahwa sastra merupakan senjata ampuh yang dapat digunakan untuk membantu membentuk sebuah bangsa 11

12 (Gallway: 2008). Di Afrika terdapat dua peneliti Yenika-Agbaw (2008) dan Jenkins (2006) yang mengkaji penggunaan sastra anak untuk membangkitkan kesadaran akan identitas kultural Afrika. Yenika-Agbaw meneliti 50 buku sastra anak Afrika yang diterbitkan setelah thaun 1960 an dan menemukan bahwa sastra anak Afrika didominasi oleh gambaran kehidupan anak-anak Afrika yang primitive, kampungan dan barbar dengan seting hutan atau kampung (Yenika- Agbaw: 2008). Berbeda halnya dengan Yenika-Agbaw, Jenkins (2006) menemukan bahwa beberapa puisi untuk dibaca oleh anak-anak Afrika menonjolkan patriotisme yang harus selalu diingat dan dielukan oleh anak-anak Afrika. Semangat patriotisme dapat dibangkitkan melalui puisi-puisi yang dikenalkan pada anak-anak sejak usia dini. Sementara itu dunia sastra anak dan penelitiannya di Indonesia mengenal Murti Bunanta sebagai pionir penelitian bidang sastra anak di Indonesia. Hasil penelitian disertasi yang kemudian dirangkum dalam buku berjudul Problematika Penulisan Cerita Rakyat Untuk Anak di Indonesia merupakan salah satu penelitian bidang sastra anak yang menyoroti persoalan penulisan cerita rakyat untuk anak-anak Indonesia ditinjau dari penyajian cerita (1998: 5). Cerita rakyat yang dipilih adalah dongeng Bawang Merah Bawang Putih Penelitian Terhadap Sastra Anak Terjemahan dan Penerjemahannya Di Indonesia, kajian mengenai cerita anak terjemahan dapat ditemukan antara lain dari tulisan Sugihastuti (1996, 2000, 2008), Sastriyani (1998, 1999, 12

13 2004), Bunanta (2008), Kusumawardani & Kusumayanti (2008), Astutiningsih & Kusumayanti (2008), Kusumayanti (2009), dan Sarumpaet (2010). Sugihastuti mengkaji cerita anak terjemahan yang banyak datang dari Eropa dan Amerika. Dalam salah satu kajiannya, Sugihastuti menemukan bahwa cerita anak versi terjemahan sangat menarik minat anak-anak karena sering menampilkan tokoh hero, mudah dikenal karena cerita anak versi terjemahan seringkali sudah dikenal terlebih dahulu oleh para pembaca anak melalui serial film seri kartun yang ditayangkan di televisi, contohnya serial dari Walt Disney tentang Mickey tikus, Donal bebek, Gufi anjing, dan yang lainnya. Tampilan teks dan kualitas warna serta ilustrasi yang menawan disertai iklan yang gencar menjadikan sastra anak versi terjemahan laris di pasaran (Sugihastuti, 2000: 44). Sejauh ini, kajian Sugihastuti terhadap cerita anak terjemahan bukan pada unsur terjemahannya, melainkan pada perkembangan cerita anak terjemahan yang beredar di kalangan pembaca anak-anak Indonesia. Satu lagi, penelitian Sugihastuti adalah tentang cerita anak Korea yang dia tinjau dengan menggunakan teori semiotika (2008). Sementara itu, bila berbicara tentang cerita anak terjemahan, Bunanta menekankan bahwa kita tetap butuh karya terjemahan dan karya terjemahan itu penting karena tiga alasan: (1) karya terjemahan bisa dijadikan sumber inspirasi dan referensi pengarang lokal sehingga pengarang lokal dapat menggunakan karya terjemahan sebagai alat untuk mengukur kemampuan dan ketrampilannya menulis; (2) karya terjemahan dapat digunakan untuk memperkenalkan kebudayaan lain pada anak-anak; dan (3) karya terjemahan memperkaya khasanah 13

14 perbukuan (Bunanta, 2008: 269). Menurut Bunanta, persoalan memilih buku mana yang layak diterjemahkan adalah persoalan sulit dan banyak berbagai keluhan tentang buku-buku terjemahan. Keluhan ini terutama karena hasil terjemahan kurang enak dibaca, tidak pas bahasanya, kurang seru seperti buku aslinya, tidak akurat, dan sebagainya. Dalam kajian yang dilakukan terhadap ajaran moral dalam fabel Prancis, Sastriyani menemukan bahwa fabel Prancis digunakan untuk menggambarkan masyarakat Prancis yang feodal yakni dalam cerita Le Roman de Renard (2004). Dari penelitian yang dilakukannya, Kusumayanti (2009) melihat bahwa tema cerita anak dari Inggris dan Amerika sederhana tetapi beragam dan sangat dekat dengan dunia anak-anak; cara mengungkapkannya ringan terkesan main-main; penampilan teksnya sangat menarik (enticing) dilengkapi ilustrasi, tata letak (lay out), desain artistik, dan format teks yang apik. Sampai sejauh ini, tidak banyak ditemukan artikel jurnal atau hasil penelitian yang mengulas tentang problematika menerjemahkan buku cerita bergambar di Indonesia. Tiga makalah yang masing-masing ditulis oleh Nugroho (2009), Cahyono (2009), dan Ulwiyah (2009) mengkaji masalah penerjemahan cerita anak dikaitkan dengan isu domestikasi (domestication) atau forenisasi (foregnization). Makalah Nugroho mengungkapkan kelebihan dan kelemahan domestikasi dan forenisasi, sedangkan makalah Ulwiyah walaupun berbicara mengenai domestikasi, tetapi dia menggunakan teori terjemahan umum yang ditawarkan oleh Newmark sebagai pisau bedah analisisnya, dan bukan teori terjemahan sastra anak. 14

15 Kajian mengenai proses menerjemahkan dan terjemahan sastra anak saat ini dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang baru karena merupakan persilangan dua disiplin ilmu, yakni disiplin ilmu terjemahan dan disiplin ilmu sastra anak. Arizpe menyatakan (2009): Though the study of children's literature is now well established as an academic discipline, the study of its translation has only recently begun. 2 Pemikiran Arizpe di atas, diperkuat oleh pernyataan Fornalzyck (2007) berikut ini: The focus of my paper lies within a new field of research which is situated at the intersection of two academic disciplines: translation studies and children s literature, the so called children s literature translation studies (CLTS) 3. Fornalczyk (2007) memberi penjelasan ringkas mengenai CLTS. Menurutnya, dokumen penting yang pertama kali mendiskusikan tentang CLTS adalah buku Children s Books in Translation yang diedit oleh Gote Klingberg (1978). Buku Klingberg ini memaparkan isu-isu penting dalam CLTS yang meliputi faktor-faktor non tekstual yang mempengaruhi penerjemahan sastra anak. Di dalam artikelnya Fornalczyk menyebutkan bahwa Klingberg mengklaim penerjemahan sastra anak adalah penerjemahan yang spesifik yang harus mempertimbangkan kapasitas kognitif dan kompetensi linguistik para pembaca anak-anak. Hal-hal yang dikemukakan dalam artikel Fornalczyk ini menggaris 2 Walaupun studi mengenai sastra anak sebagai sebuah disiplin ilmu sekarang telah mapan, tetapi studi terhadap penerjemahan sastra anak dapat dikatakan relatif masih baru (Catatan: terjemahan dari peneliti). 3 Fokus dari makalah saya berada di antara bidang penelitian yang masih baru yang terletak di persimpangan antara dua disiplin ilmu: bidang penerjemahan dan sastra anak, sehingga boleh disebut sebagai kajian penerjemahan sastra anak (CLTS) (Catatan: terjemahan dari peneliti).. 15

16 bawahi bahwa yang dipentingkan dalam CLTS adalah para pembaca anak-anak sebagai Real Reader teks hasil terjemahan dan bukan teknis terjemahan itu sendiri. Mengikuti Puurtinen (1998), Fornalczyk (2007) mencatat bahwa para peneliti penerjemahan sastra anak memfokuskan kajiannya pada: 1) norma-norma penerjemahan dan fungsi dari sastra anak terjemahan; 2) pembaca anak-anak dan interaksi teks dan pembaca anak-anak; dan 3) kajian sastra anak bandingan. Berikutnya, dia berargumen bahwa terjadi peningkatan ketertarikan pada penerjemahan sastra anak terbukti dari semakin banyaknya publikasi ilmiah mengenai bidang ini. Dia tidak menyebutkan peningkatan ini secara kuantitatif tetapi menarik untuk disebutkan di sini bahwa kajian di bidang penerjemahan sastra anak dipicu oleh faktor-faktor berikut ini. Buku-buku cerita anak perlu diterjemahkan karena buku-buku tersebut membangun jembatan yang menghubungkan dua kultur sehingga dirasa perlu untuk mengkaji hasil sebuah terjemahan sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian. Setuju dengan Puurtinen, Fornalczyk berpendapat bahwa buku-buku sastra anak terjemahan menawarkan dan mengenalkan pengetahuan tentang nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan perilaku baru dari dunia lain (Puurtinen, 1998 dalam Fornalczyk). Selain daripada itu, keberadaan dan ketertarikan pada tantangan spesifik yang diberikan oleh buku-buku sastra anak pada para penerjemahnya (interaksi antara gambar dan teks dalam buku cerita bergambar; referensi kultural yang ada; permainan bahasa; dialek; register; nama; dan kemungkinan timbulnya pembaca ganda) memicu ketertarikan penerjemah untuk menerjemahkan buku-buku ini. 16

17 Faktor yang tidak kalah penting adalah usia para pembaca buku sastra anak terjemahan yang berada pada rentangan tertentu dan para pembaca anak-anak ini dapat saja berupa pembaca implied atau pembaca real. Dapat dikatakan semangat para peneliti bidang CLTS lebih dipicu oleh kebutuhan pembaca anak-anak untuk mengenal kultur dan dunia lain dan kebutuhan para pembaca anak-anak terebut untuk memperoleh bacaan alternatif selain yang telah mereka miliki dan dapatkan. Pada dasarnya CLTS adalah bidang terjemahan dengan menggunakan teori terjemahan yang telah ada akan tetapi penekanannya adalah pada kebutuhan pembaca anak-anak. Untuk alasan tersebut penerjemah buku-buku sastra anak akan membuat penyesuaian pada teks dengan berbagai cara yaitu dengan memberi tambahan, membuang yang tidak diperlukan, melakukan abridgement, dan membuat penyesuaian-penyesuaian lain yang diperlukan (Shavit 1986). Sebagai model kajian baru dalam bidang penerjemahan dengan objek utama berupa karya sastra anak, CLTS sendiri sejauh ini belum menetapkan kriteria, langkah, metodologi, karakter, indikator capaian, ataupun tahapan spesifik dalam penerjemahan sastra anak. Singkat kata CLTS adalah sebuah kajian terhadap sastra anak dengan menggunakan teori terjemahan Penelitian Terhadap Buku Cerita Bergambar Hasil penelitian Lawrence Sipe 4 yang ditulisnya dalam karya ilmiah berjudul Young Children s Responses to Picture Storybooks: Five Types of 4 Professor di Universitas Pennsylvenia, Amerika Serikat. 17

18 Literary Understanding 5 menyatakan bahwa anak-anak merupakan kritikus yang rumit. Sipe mempelajari respon pembaca anak-anak saat buku cerita bergambar dibacakan pada mereka secara lantang dengan kata lain dibacakan dengan suara keras. Hasil penelitian Sipe mencatat adanya lima tipe respon anak-anak saat dibacakan buku cerita bergambar yang merepresentasikan lima macam pemahaman terhadap buku sastra anak. Lima tipe respon tersebut meliputi: 1) tipe analitikal; 2) tipe intertekstual; 3) tipe personal; 4) tipe transparan; 4) tipe performatif. Tipe analitikal mencerminkan anak-anak yang mampu memanfaatkan informasi dalam teks dan ilustrasi buku untuk menginterpreatasi seting, plot, karakter, dan tema. Anak-anak tipe ini mampu membaca dan mendengar secara kritis semua informasi yang ada dalam teks dan ilustrasi buku. Tipe kedua mencerminkan kemampuan anak-anak untuk merelasikan semua aspek dalam buku yang sedang dibacakan dengan teks atau produk kultural lain seperti buku cerita lain, film, video, iklan, program televisi atau hasil kerja kreatif ilustrator atau seniman lain. Tipe ketiga memperlihatkan kemampuan anak-anak untuk menghubungkan semua aspek dalam buku cerita bergambar dengan kehidupannya sendiri. Mereka mempergunakan pengalaman mereka sendiri untuk dapat memahami teks dan sebaliknya mereka memanfaatkan semua aspek dalam buku untuk memahami apa yang mereka alami dalam kehidupan. Tipe keempat menunjukkan keterhubungan secara transparan antara anak-anak dan dunia di dalam buku. 5 Contoh lengkap dan transkrip hasil percakapan dan diskusi peneliti dan responden dapat dilihat dalam artikel ini yang dapat diunduh di alamat website 18

19 Keterlibatan dan penceburan diri (immersion) pembaca pada cerita di dalam buku yang sedang dibacakan membuat mereka tanpa sadar memberi komentar secara spontan, menjawab, memberi respon langsung seolah mereka adalah pelaku dalam cerita. Penceburan seperti ini dilakukan secara tanpa sadar dan dapat dilihat oleh peneliti, sehingga Sipe menamakan tipe ini sebagai tipe pembaca transparan. Tipe terakhir adalah tipe yang jarang muncul tetapi menarik untuk dicermati. Sipe melihat anak-anak tipe ini pandai memanipulasi teks untuk memicu proses kreatif mereka dalam berimajinasi. Respon mereka, dalam istilah Sipe, bersifat subversif dan transgresif. Komentar dan celetukan anak-anak ini bersifat spontan, tidak terantisipasi, kreatif, dan sekenanya yang merupakan ciri khas anak-anak. Kehadiran dan keberadaan penerjemah sering tidak diperhitungkan oleh pembaca maupun oleh masyarakat. Ini berbeda dengan pengarang buku yang dianggap lebih eksis dan popular seiring dengan popularitas buku. Rankin (2005) melihat bahwa penerjemah memainkan peran yang cukup penting dalam mengenalkan kultur baru yang dibawa oleh buku yang diterjemahkannya. Penerjemah memiliki peran signifikan untuk mendiseminasi sastra anak secara lintas kultural. Penelitian Rankin bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai persoalan penerjemahan yang muncul saat menerjemahkan buku cerita bergambar yang melibatkan relasi verbal-visual dalam buku cerita bergambar. Hasil penelitian Rankin menunjukkan bahwa menerjemahkan buku cerita bergambar merupakan tugas yang multifaset, penuh tantangan, dan membutuhkan kemampuan dan pengetahuan khusus. 19

20 Para penerjemah buku cerita bergambar harus mengembangkan kompetensi literer dan kemampuan visual agar dapat menghasilkan ikonoteks 6 dalam bahasa sasaran yang diinginkan (Oittinen, 2003; 2008a; 2008b). Dengan kata lain untuk menghasilkan terjemahan yang baik dan mudah diterima oleh pembacanya terutama pembaca anak-anak maka terjemahan tersebut harus mampu mempertahankan kesatuan antara kata-kata, gambar-gambar, dan efekefek visual lain yang merupakan cri khas dari buku cerita bergambar. Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut di atas, penelitian Dabhagi (2011) yang bertujuan mengkaji proses menerjemahkan tanda-tanda kultural dalam buku cerita bergambar menemukan bahwa penerjemah yang ditelitinya memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi entitas semiotika tetapi gagal dalam mentransfer maksud dari pesan-pesan dalam buku cerita bergambar yang diterjemahkan. Lebih lanjut menurutnya tak satupun penerjemah memperhatikan hubungan komplementer antara kata-kata dan gambar-gambar. Penelitian di bidang penerjemahan buku cerita bergambar yang lain dapat ditemukan dari laporan ilmiah Oittinen (2003). Menurut Oittinen setiap kali sebuah buku diterjemahkan maka terjadi proses membaca dan menulis ulang. Buku tersebut mendapatkan bahasa baru, kultur baru, dan pembaca sasaran yang baru. Penerjemah menciptakan situasi yang multivoice, dimana ilustrator, 6 Di dalam artikel-artikelnya Oittinen mengatakan bahwa sebuah gambar dalam BCB dapat disebut sebagai ikon yang merujuk pada sesuatu di dunia nyata. Teks BCB yang terdiri dari Teks Verbal dan Teks Visual dianggap berkomunikasi dengan bahasa dan caranya masing-masing yang bersifat spesifik. Interaksi yang terjadi dari dua teks tersebut dan bagaimana keduaya berkomunikasi yang disebut oleh Oittinen sebagai ikonoteks (iconotext) (Oittinen, 2003; 2008a; 2008b). 20

21 pengarang, penerjemah, penerbit, dan grup pembaca yang berlainan bertemu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurutnya, proses penerjemahan meliputi kombinasi proses holistik yang melibatkan banyak detil. Penerjemah biasanya mulai dengan ide keseluruhan mengenai buku yang akan diterjemahkan, kemudian dilanjutkan dengan membuat perencanaan dan keputusan-keputusan untuk menerjemahkan detil-detilnya. Menerjemahkan selalu memiliki tujuan dan fungsi yang berpengaruh pada interpretasi bagian-bagian yang ada dalam sebuah teks dan membutuhkan sebuah totalitas dan karena dipengaruhi oleh kultur dan individu penerjemah, maka setiap penerjemahan menjadi unik dan tidak dapat diulang (Oittinen, 2003: 129). Lebih lanjut Oittinen menyatakan, Translators aim their words at someone and for some pupose and adapt their text according to the imagined future function of the translated text. This function includes not just reading silently and looking at the pictures, but also reading aloud, which is usually performed by grown-ups (Oittinen, 2003: 129). Menerjemahkan pada tahap awal adalah proses membaca dan tiap proses membaca merupakan sebuah proses yang hasilnya tidak akan pernah sama walaupun diulang oleh pembaca yang sama (Oittinen: 2008b). Disamping itu, penerjemah dipengaruhi oleh diri mereka sendiri seperti ideologi dan citra masa kecil mereka, norma-norma, poetika-poetika yang berlaku dalam masyarakat dia hidup, yang kesemuanya mempengaruhi pilihan strategi yang diambil penerjemah saat dia bekerja. 21

22 Kata-kata dan gambar tidak dapat dipisahkan dari konteks dan harus ditempatkan pada kerangka waktu dan tempat. Ketika sebuah buku bergambar diterjemahkan maka gambar-gambar yang ada membawa sudut pandang yang baru. Visual merupakan konteks untuk kata-kata dan sebaliknya kata-kata digunakan sebagai konteks untuk visual. Dalam menerjemahkan buku cerita bergambar totalitas ini yang harus diterjemahkan (Oittinen, 2003) Penelitian Terhadap Respon Estetik Wolfgang Iser Pemaparan bagian ini dimaksudkan untuk menelusuri penelitian yang menggunakan teori Respon Estetik (RE) Wolfgang Iser. Ditemukan delapan penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan teori RE sebagai pisau analisis dan kesemuanya berfokus pada konsep Repertoir (di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada). Delapan penelitian tersebut adalah penelitian Pandanwangi (2004), Budiarti (2012), Setyami (2014), Baehaq (2014), Cahyani (2015), Raharjo (2015), Rosyidah (2015), dan Waidah (2015). Penelitian Raharjo (2015) mengkaji suntingan teks terjemahan naskah Jawa Bratayuda Sabil Khakuliah (BSK). Menggunakan teori respon estetika penelitian Raharjo bertujuan untuk mengetahui perwujudan repertoire teks BSK yang dijadikan background penciptaan sehingga foreground yang dituju pengarang dapat diungkapkan. Hasil penelitian Raharjo menunjukkan bahwa norma sosial budaya yang tampak dalam BSK merujuk pada masuknya Islam ke Nusantara yang memberi warna baru terhadap kepustakaan Jawa, yang ditandai dengan aliran Islam Jawa dan tradisi kepustaan Islam Kejawaen. 22

23 Penelitian Baehaq (2014) dilakukan untuk mengungkapkan perwujudan repertoire dalam naskah sandiwara Sampek Eng Tay (SET). Baehaq menemukan bahwa norma sosial dalam naskah sandiwara SET berkaitan erat dengan komedi Aristophanes. Telaah mengenai repertoir dalam SET mengungkapkan bahwa budaya yang tampak dalam naskah sandiwara ini adalah budaya patriarki yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Sedangkan background kultur yang digunakan untuk penciptaan naskah sandiwara ini adalah kultur etnis Tionghoa di masa Orba. Menurut Baehaq, norma sosial, norma budaya, dan norma sejarah yg menjadi background tersebut merupakan perwujudan repertoire dalam SET. Nurul Waidah (2015) menggunakan novel Amerika karya F. Scott Fitzgerald The Great Gatsby sebagai objek kajian. Menurutnya hadirnya prosaprosa Amerika tidak dapat dipungkiri merupakan dampak dari realitas yang melingkupi penciptaan sebuah karya sastra. Hal ini diyakini Wahidah yang melihat kehidupan masyarakat sebagai bagian dari kumpulan pengalaman dan pengetahuan yang kemudian dimanfaatkan untuk mewarnai sebuah karya sastra. Pengarang tidak bisa tidak akan dipengaruhi oleh semua realitas (sosial, politik, ekonomi, dan budaya) yang berlaku saat itu. Wahidah, melalui penelitiannya, ingin mengetahui wujud repertoire yang dapat ditemukan dalam novel The Great Gatsby (TGG). Wahidah menemukan bahwa repertoir dalam novel tersebut merujuk pada norma sosial dalam bentuk spirit American dream, fakta historis pertempuran di hutan Argonne selama PD I, dan kesenian jazz yang mulai berkembang saat itu. Temuan repertoire dalam novel Fitzgerald tersebut 23

24 membantu Wahidah membuat suatu kesimpulan bahwa fiksi Amerika (TGG) merupakan salah satu representasi realitas kehidupan masyarakat Amerika saat itu. Perwujudan repertoire dalam karya-karya sastra Indonesia menarik bagi Pandanwangi (2004) yang penelitiannya menggunakan novel Roro Mendut sebagai objek kajian; Setyami (2012) dengan objek kajian Ronggeng Dukuh Paruk; dan Cahyani (2015) dengan objek kajian novel Amba. Melalui penelitianpenelitian tersebut, mereka berusaha mendalami lebih jauh konvensi, norma, sistem pemikiran, tradisi sastra yang berlaku saat sebuah karya sastra diciptakan. Ketiganya menelusuri keterkaitan realita dalam dunia fiksi dan realita di dunia nyata dengan melihat seberapa jauh fiksi merepresentasi realitas dunia nyata. Ketiganya sepakat bahwa dengan menganalisis latar belakang terciptanya sebuah karya yang merupakan repertoire, maka latar depan (foreground) sebuah karya sastra akan lebih mudah untuk diungkapkan. Ketiganya setuju bahwa konsep repertoire dalam teori RE Iser membantu membukakan jalan untuk menemukan tujuan penulisan sebuah karya sastra. Berbeda dengan penelitian yang telah disebut terdahulu, penelitian ini berupaya untuk memotret respon para penerjemah dalam BCBB. Perbedaan menyolok dari kajian terdahulu dengan kajian yang dilakukan oleh penelitian ini salah satunya adalah pada objek yang diteliti. Penelitian yang telah disebutkan di atas meneliti karya sastra untuk pembaca dewasa sedangkan objek kajian penelitian ini adalah karya sastra untuk pembaca anak-anak berupa buku cerita bergambar bilingual. Selain itu, fokus penelitian ini adalah pada penerjemah 24

25 sebagai pembaca sekaligus penulis teks terjemahan bukan pembaca karya sastra pada umumnya. Dalam teori RE Iser terdapat beberapa konsep yang salah satunya adalah repertoire. Dalam penelitian-penelitian di atas konsep repertoir menjadi pisau analisis utama untuk mengungkapkan background penciptaan karya-karya sastra yang sedang diteliti, sedangkan penelitian ini menelusuri respon para penerjemah dengan mengkaji lebih medalam perubahan TSu saat diterjemahkan kedalam TSa. Repertoir para penerjemah digunakan untuk membantu melihat perubahanperubahan yang terjadi pada TSu. Penelitian ini menonjol dari segi novelty terutama karena objek kajiannya adalah buku cerita bergambar bilingual dengan teori respon estetik Wolfgang Iser sebagai pisau analisis. 1.5 Landasan Teori Respon Estetik Teori respons estetik berorientasi pada respon pembaca atas teks yang dibacanya yang akan bervariasi antara satu pembaca dengan pembaca yang lain; satu pembaca dengan dirinya sendiri pada saat membaca pertama kali, kedua dan seterusnya kali; serta satu grup pembaca dengan grup pembaca lain di jaman, ruang dan konteks yang berbeda. Ahli yang mendalami teori respon pembaca diantaranya adalah Stanley Fish (1972), Gerrard Prince (1973), Roman Ingarden (1973), Norman Holland (1975), David Bleich (1978), Wolfgang Iser (1978), 1980), Jonatahn Culler (1981), dan Hans R. Jauss (1982), (Eagleton, 1983: 77-88; Selden, 1986: ;). Para peneliti bidang respon pembaca ini memiliki 25

26 perbedaan mendasar pada konsep mereka masing-masing. Jauss yang dikenal sebagai penggagas Rezeptionsaesthetic misalnya, melihat pembaca sebagai sebuah kelompok dengan respon pemikiran terhadap karya sastra pada masa dan ruang tertentu. Rezeptionsaesthetic - biasa diterjemahkan sebagai reception aesthetic (resepsi estetis) menganggap bahwa teks memiliki hubungan dengan milieu sosialnya, dengan teks lain, dan dengan para pembacanya. Di Indonesia, teori Jauss dikenal juga dengan nama teori resepsi (reception theory). Walaupun samasama dari Konstanz School (German), teori respon pembaca Jauss berbeda secara mendasar dengan yang dikemukakan oleh Wolfgang Iser yang menamakan teorinya sebagai Wirkungstheorie yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi respons aesthetic (respon estetik). Disertasi ini menggunakan teori respon estetik Wolfgang Iser sebagai landasan sehingga teori Iser ini akan dieksplorasi lebih dalam terutama yang berkaitan dengan proses penerjemahan buku-buku sastra anak. Menurut Iser, sebuah teks sastra menghasilkan respon saat dia dibaca dan bila ingin mengetahui respon pembaca maka seseorang harus menganalisis proses pembacaannya. Sebuah karya sastra menghasilkan respon saat dia dibaca sehingga agak sulit untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk respon tersebut tanpa menganalisis proses pembacaan. Dalam pandangan Iser, membaca menjadi penting untuk didiskusikan karena aktivitas ini ditempatkan pada posisi yang selalu bergerak; sebuah gerakan dari rangkaian aktivitas yang tergantung pada keberadaan teks yang mengindikasikan terciptanya sebuah respon. 26

27 Respon estetik harus dikaji terutama dalam hal relasi dialektis antara teks, pembaca dan interaksi antara keduanya. Iser menamakan teorinya sebagai teori respon estetik karena walaupun respon ini dihasilkan oleh teks, tetapi imajinasi dan kemampuan perseptif pembaca tetap berperan penting dalam pemaknaan teks. Apa yang terjadi pada pembaca melalui teks bacaan menjadi penting dan pendekatan inilah yang membedakan respon estetik Iser dari teori resepsi milik Jauss. Karena dengan pendekatan tersebut maka teks sastra tidak dilihat sebagai sebuah dokumentasi hasil rekaman dari apa yang sudah pernah ada. Sebaliknya teks sastra harus dilihat sebagi sebuah reformulasi dari realita yang telah diformulasikan. Teori resepsi Jauss, menurut Iser, selalu berhubungan dengan pembaca yang telah ada sebelumnya yang responnya memberi kesaksian atas pengalaman literer sekelompok masyarakat. Teori respon estetik - Wolfgang Iser - berakar pada teks karya sastra; teori resepsi sastra - Hans R. Jauss - tercipta dari sejarah penilaian pembacanya (Iser, 1978: x). Bagi Iser apa yang terjadi dalam benak pembaca selama proses pembacaan menjadi menarik karena makna teks tidak berada dalam teks itu sendiri tetapi berada dalam proses aktualisasi yang terjadi pada diri pembaca (halaman 18). Oleh karena itu membaca adalah syarat mutlak pertama bagi keseluruhan proses interpretasi dan proses pemaknaan. Pusat dari proses membaca karya sastra adalah interaksi antara struktur karya dan penerima karya. Karena inilah studi tentang karya sastra seharusnya memperhatikan teks itu sendiri dan aktivitas pembaca dalam merespon teks. 27

28 Iser berpendapat bahwa karya sastra memiliki dua kutub yakni: kutub artistik dan kutub estetik (hal. 21). Kutub artistik adalah teks yang dihasilkan pengarang dan kutub estetik adalah realisasi (realization) yang dilakukan oleh pembaca. Implikasi dari polaritas ini adalah bahwa karya tidak akan pernah identik dengan teks atau dengan konkretisasi yang dilakukan oleh pembaca, tetapi harus ditempatkan diantara keduanya. Kedinamisan teks yang seperti ini diperoleh dari realitas teks dan subjektivitas pembaca yang mampu menciptakan virtualitas. Saat pembaca melewati beragam perspektif yang ditawarkan oleh teks dan menghubungkannya dengan pandangan dan patron yang berbeda-beda, maka saat itu dia menempatkan karya dalam pergerakan (motion) dan menempatkan dirinya sendiri dalam pergerakan juga (Iser, 1978: 21). Bila posisi virtual sebuah karya adalah diantara teks dan pembaca, berarti aktualisasi teks adalah hasil dari interaksi keduanya. Dua kutub ini penting dalam artian bila seseorang tidak mampu memahami hubungan keduanya maka dia akan kehilangan karya itu secara virtual. Sebuah karya memiliki struktur yang menjadi basis dari interaksi dua kutub ini dan dengan cara demikian kita mendapatkan efek dari sebuah karya. Struktur ini akan berfungsi bila telah mempengaruhi pembaca. Secara praktis struktur fiksi yang dapat dilihat (discernable) memiliki dua sisi: verbal dan afektif. Aspek verbal memandu reaksi dan mencegahnya dari sifat arbitrer; aspek afektif adalah pemenuhan apa yang telah diprestruktur oleh bahasa yang digunakan oleh teks. Semua deskripsi mengenai interaksi diantara keduanya harus memasukkan baik efek (dari teks) maupun respon dari pembaca. Dengan demikian jelas bahwa makna teks sastra bukan merupakan entitas yang dapat 28

29 ditetapkan dan didefinisikan secara tunggal tetapi merupakan kejadian yang dinamis dan memiliki banyak wajah (Iser, 1978: 22). Teks fiksional terdiri atas objek miliknya sendiri dan tidak mengkopi sesuatu yang telah ada, yakni sesuatu di luar teks. Karena alasan ini mereka tidak memiliki kepastian total dari objek riilnya dan elemen ketidakpastian (indetermination) ini yang membuat teks mampu berkomunikasi dengan pembacanya karena berarti teks-teks ini membujuk pembaca untuk berpartisipasi dalam pemahaman dan pemaknaan sebuah karya. Indeterminasi yang ada dalam sebuah teks menciptakan spektrum aktualisasi tidak terbatas yang artinya aktualisasi teks bersifat tidak tunggal (Iser, 1978: 24). Spektrum aktualisasi ini akan menciptakan makna yang beragam dan jenis pembaca yang bermacammacam pula. Ketika kita sepakat bahwa spektrum aktualisasi teks sangat luas tidak terbatas maka yang terjadi adalah pemaknaan teks tidak mungkin tunggal. Hal ini dimungkinkan karena teks sastra menginisiasi bagaimana sebuah makna ditampilkan dan diwujudkan dan bukan memformulasikan makna tersebut. Mengutip Northrop Frye, Iser mengatakan bahwa buku bagai sebuah perjalanan yang memungkinkan terciptanya berbagai kategori pembaca sebagai penikmat (dalam Iser 1978: 27). Dengan adanya berbagai kategori pembaca ini maka untuk pembaca yang mana sebuah teks ditulis akan memunculkan persoalan tersendiri. Nilai estetik terbentuk secara virtual saat pembaca mengaktifkan semua simpanan pengetahuan dan pengalaman (repertoire) yang dimilikinya dengan bantuan struktur teks. Struktur dan inditerminasi teks berinteraksi dengan repertoire pembaca dan memberi stimulan bagi si pembaca untuk menciptakan 29

30 respon. Spektrum aktualisasi menjadi tidak terbatas sebagai hasil dari benturan (convergence) antara repertoire pembaca dengan ketidak pastian dalam teks Status Ganda Penerjemah: sebagai real reader dan real translator Sebuah karya sastra dalam pandangan Iser memiliki real author dan real reader. Dalam konteks penerjemahan, saat menerjemahkan sebuah karya sastra, saat itu penerjemah berada dalam posisi real reader dan real translator. Penerjemah sampai batas tertentu dianggap sebagai seorang pengarang karena dia mengkreasi ulang teks sumber sehingga dapat dikonsumsi oleh para pembaca teks sasaran. O Sullivan (2005: 89) menyatakan bahwa penerjemah adalah orang yang mengkreasi teks sasaran menjadi sedemikian rupa sehingga teks sasaran dapat diterima/dipahami oleh pembaca yang benar-benar berbeda dari pembaca kultur sumber, pembaca baru ini adalah kelompok pembaca teks sasaran. Dalam posisi ini, penerjemah berhadapan dengan bahasa, konvensi, kode-kode dan referensi yang dimiliki oleh pembaca teks sasaran yang berbeda dari yang dimiliki oleh pembaca teks kultur sumber. Dari teks sasaran sebenarnya terlihat bahwa penerjemah tidak menghasilkan pesan yang benar-benar baru karena dia menangkap, berkomunikasi, memproses ulang dan mentransmisikan pesan dari teks sumber untuk pembaca baru yang menerima pesan-pesan itu melalui teks hasil terjemahan (Schiavi, 1996 dalam O Sullivan, 2005). Dengan menginterpretasikan teks sumber, dengan mengikuti norma-norma tertentu, dan dengan mengadopsi strategi dan metode khusus, menurut Schiavi, seorang penerjemah membangun hubungan 30

31 baru antara teks terjemahan dengan grup pembaca yang baru yakni pembaca teks sasaran. Saat menerjemahkan, penerjemah berpikir tentang pembacanya sendiri yakni pembaca dari kultur sasaran. Sampai taraf tertentu pembaca teks sumber dan teks sasaran mungkin sama. Usia dan kompetensi berbahasa pembaca teks sumber atas bahasa sumber serta usia dan kompetentsi berbahasa pembaca teks sasaran adalah contoh hal yang mungkin sama, tetapi mereka tidaklah identik satu sama lain (O Sullivan, 2005: 90). Pembaca teks terjemahan akan selalu menjadi entitas yang berbeda dari pembaca teks sumber. Membaca teks sastra melibatkan kesadaran spontan pembaca dan karena teks memberikan atau menciptakan potensi makna bagi para pembacanya maka hubungan teks dan pembaca menjadi krusial. Sejarah respon pembaca sastra menunjukkan bahwa potensi makna berada pada suatu spektrum aktualisasi yang tidak terbatas (Iser, 1978: 24) dimana potensi ini diisi dan dimaknai dengan cara yang sangat beragam. Jadi tidak mungkin seorang pembaca dapat mencakup seluruh kemungkinan potensi makna dalam sekali baca (Iser, 1978: 29). Dalam usaha kita untuk menjelaskan struktur intersubjektif proses yang dilalui teks sumber yang ditransfer dan diterjemahkan, maka kita dihadapkan pada persoalan pertama, yaitu fakta bahwa keseluruhan teks tidak dapat dipahami dengan sekali baca (Iser, 1978: 108). Kompleksitas pemahaman pada teks sastra dianggap lebih rumit mengingat teks sastra tidak mengacu secara empiris pada objek yang ada di dunia riil di luar teks sastra. Iser mengingatkan bahwa objek di dalam dan di luar teks 31

32 sastra tidak identik satu sama lainnya (1978). Seorang penerjemah, dengan demikian, harus siap menghadapi objek dalam dunia teks sastra yang merupakan sebuah entitas tersendiri dengan potensi makna yang spesifik. Di dalam diri seorang penerjemah, dapat dikatakan, terdapat seseorang dengan dua peran sekaligus yaitu sebagai real reader dan real translator teks sumber Penerjemah dalam Teks Sastra Anak Di bawah kerangka teori respon estetik Iser, Real Author (RA) adalah orang yang menciptakan teks dan melakukan pekerjaannya di bawah kutub artistik (1978, 21) yang merupakan akumulasi unsur-unsur yang dimiliki penulis, yaitu: kemampuan tehnis dalam menciptakan struktur teks, ketrampilan berimajinasi, dan kemampuannya menciptakan seorang imej pembaca. Iser mengikuti pemikiran Booth (1963 dalam Iser halaman 37) menyatakan bahwa saat menciptakan teks beserta strukturnya, seorang RA menciptakan imej dirinya sebagai seorang pengarang dan imej lain yaitu imej seorang pembaca. Real author menyesuaikan struktur dengan imej pembaca tersebut sehingga struktur teks dapat mengundang dan diantisipasi oleh pembacanya (Real Reader). Situasi seperti ini menjadikan struktur teks fiksi berperan penting karena RR dapat berinteraksi dengan teks dan memberi ruang bagi RR untuk melakukan partisipasi dan realisasi. Partisipasi dan realisasi yang dilakukan oleh pembaca ini membuahkan efek dan menciptakan pemaknaan di benak pembaca. Struktur teks menuntun pembaca dalam tindak pemahaman (Iser, 1978: 24) dan tindak pemaknaan. 32

BAB IV KESIMPULAN. merupakan salah satu bentuk bacaan untuk anak-anak. Buku semacam ini dikatakan

BAB IV KESIMPULAN. merupakan salah satu bentuk bacaan untuk anak-anak. Buku semacam ini dikatakan BAB IV KESIMPULAN Buku cerita bergambar yang terdiri atas teks verbal dan teks visual merupakan salah satu bentuk bacaan untuk anak-anak. Buku semacam ini dikatakan unik karena bercerita dengan dua cara

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF PERAN SASTRA ANAK TERJEMAHAN DALAM PENGEMBANGAN SASTRA ANAK INDONESIA: UPAYA REVITALISASI SASTRA ANAK INDONESIA

RINGKASAN EKSEKUTIF PERAN SASTRA ANAK TERJEMAHAN DALAM PENGEMBANGAN SASTRA ANAK INDONESIA: UPAYA REVITALISASI SASTRA ANAK INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF PERAN SASTRA ANAK TERJEMAHAN DALAM PENGEMBANGAN SASTRA ANAK INDONESIA: UPAYA REVITALISASI SASTRA ANAK INDONESIA Peneliti: Dina Dyah Kusumayanti UNIVERSITAS JEMBER AGUSTUS 2014 Peran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA 8 BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA Resensi atas karya sastra berkaitan erat dengan resepsi sastra. Resensi-resensi karya sastra di surat kabar dapat dijadikan sasaran penelitian resepsi sastra. Dalam bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative

BAB I PENDAHULUAN. Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative Children merupakan buku cerita bilingual yang menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan juga pengalaman yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Keindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film.

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya media penyampaian suatu cerita sejak Tahun 70-an, film mulai banyak mengambil inspirasi atau karya- karya sastra yang telah ada sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini tampaknya komik merupakan bacaan yang digemari oleh para anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun tempat persewaan buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi yang diciptakan oleh sastrawan melalui kontemplasi dan suatu refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kartun sebagai media komunikasi merupakan suatu gambar interpretatif. diciptakan dapat mudah dikenal dan dimengerti secara cepat.

BAB I PENDAHULUAN. Kartun sebagai media komunikasi merupakan suatu gambar interpretatif. diciptakan dapat mudah dikenal dan dimengerti secara cepat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kartun sebagai media komunikasi merupakan suatu gambar interpretatif yang menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan suatu pesan secara cepat dan ringkas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1 (hlm. 6), kehidupan masyarakat dapat mengilhami sastrawan dalam melahirkan sebuah karya. Dengan demikian, karya sastra dapat menampilkan gambaran

Lebih terperinci

Menulis Artikel Ilmiah

Menulis Artikel Ilmiah Menulis Artikel Ilmiah Disampaikan dalam rangka kegiatan PPM Pelatihan penulisan Artikel Ilmiah bagi Guru-guru Bahasa Prancis Se-Karisidenan Banyumas di SMAN 1 Cilacap pada Tanggal 28-29 Mei 2011 Oleh

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga

Bab 1. Pendahuluan. Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya sebuah karya sastra tentu tidak akan terlepas dari kehidupan pengarang baik karya sastra yang berbentuk novel, cerpen, drama, maupun puisi. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai berbagai permasalahan yang kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menyangkut berbagai hal, yakni permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori/Metode Teori membuat Komik. Dalam bukunya, Scott McCloud mengatakan bahwa komik adalah

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori/Metode Teori membuat Komik. Dalam bukunya, Scott McCloud mengatakan bahwa komik adalah 14 BAB 4 KONSEP DESAIN 4.1 Landasan Teori/Metode 4.1.1 Teori membuat Komik Dalam bukunya, Scott McCloud mengatakan bahwa komik adalah Gambar-gambar dan lambing-lambang yang terjukstaposisi dalam turutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran, pendapat, imajinasi, dan berhubungan dengan manusia lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. pikiran, pendapat, imajinasi, dan berhubungan dengan manusia lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat terpenting yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia akan dapat mengungkapkan segala pemikirannya. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh masyarakat Indonesia terutama para remaja setelah merebaknya

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh masyarakat Indonesia terutama para remaja setelah merebaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Akhir-akhir ini segala hal yang berkaitan dengan Korea menjadi begitu diminati oleh masyarakat Indonesia terutama para remaja setelah merebaknya Korean wave (Gelombang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan fakta cerita novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan fakta cerita novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Perubahan fakta cerita novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara ke dalam film Pintu Terlarang disutradarai oleh Sheila Thimoty belum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki karakteristiknya sendiri. Abrams (Teeuw, 1988: 50) dalam bukunya yang berjudul The Mirror

Lebih terperinci

01 Meninjau Narasi 1.1. Analisa bentuk narasi untuk menghasilkan narasi yang siap untuk penulisan bagian berikutnya.

01 Meninjau Narasi 1.1. Analisa bentuk narasi untuk menghasilkan narasi yang siap untuk penulisan bagian berikutnya. KODE UNIT : TIK.MM02.022.01 JUDUL UNIT : Menulis Naskah DESKRIPSI UNIT : Unit ini mendeskripsikan tentang keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan menulis sebuah naskah dari narasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerjemahan adalah satu ilmu yang sangat dibutuhkan dewasa ini, kekurangmampuan manusia dalammenguasaibahasa yang ada dunia ini

BAB I PENDAHULUAN. penerjemahan adalah satu ilmu yang sangat dibutuhkan dewasa ini, kekurangmampuan manusia dalammenguasaibahasa yang ada dunia ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan memegang peranan yang sangat penting hampir diseluruh aspek kehidupan manusia. Dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, penerjemahan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Kata komik berasal dari bahasa Inggris comic yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Kata komik berasal dari bahasa Inggris comic yang merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komik adalah media bercerita melalui gambar-gambar yang disusun sedemikian rupa membentuk narasi. Dalam perkembangannya, komik sempat reaksi keras dari pemerintah

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2014 lalu merupakan tahun yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut bertepatan dengan dilaksanakan pemilihan umum yang biasanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karya sastra. Di zaman modern seperti sekarang ini, karya sastra sudah berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. karya sastra. Di zaman modern seperti sekarang ini, karya sastra sudah berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah suatu hal yang yang tidak bisa lepas dari diri seorang manusia, dalam pribadi setiap manusia pasti memiliki rasa cinta atau rasa ingin tahu terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak pada zaman sekarang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu

BAB I PENDAHULUAN. Anak pada zaman sekarang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penciptaan Anak pada zaman sekarang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk browsing internet atau menonton televisi dan film-film yang cenderung menampilkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1. Latar Belakang Sastra 1 merupakan curahan hati manusia berupa pengalaman atau pikiran tentang suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan bermain peran merupakan salah satu keterampilan berbahasa lisan yang penting dikuasai oleh siswa, termasuk siswa Sekolah Menengah Pertama. Seperti

Lebih terperinci

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA Modul ke: 06 MATA KULIAH BAHASA INDONESIA Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id MENULIS AKADEMIK SUPRIYADI, S.Pd., M.Pd. HP. 0815 1300 7353/ 0812 9479 4583 E-Mail: supriyadibahasa@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Sebuah karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Sebuah karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai penikmat karya. Selain itu, pembaca juga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menulis cerpen merupakan salah satu kompetensi yang diajarkan di SMA.

BAB I PENDAHULUAN. Menulis cerpen merupakan salah satu kompetensi yang diajarkan di SMA. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menulis cerpen merupakan salah satu kompetensi yang diajarkan di SMA. Pembelajaran menulis cerpen dituangkan dalam dua Standar Kompetensi (1) mengungkapkan pengalaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Buku merupakan jendela ilmu. Dengan membaca buku akan banyak pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan yang dikuasai dengan menuliskannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rosyadi (2006) menjelaskan bahwa kebudayaan Cina banyak memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Rosyadi (2006) menjelaskan bahwa kebudayaan Cina banyak memberikan HALAMAN JUDUL BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rosyadi (2006) menjelaskan bahwa kebudayaan Cina banyak memberikan pengaruh di kalangan penduduk di Indonesia umumnya (hlm. 213). Tradisi sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN digilib.uns.ac.id BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini terdiri atas dua subbab yaitu simpulan dan saran. Bagian simpulan memaparkan tentang keseluruhan hasil penelitian secara garis besar yang meliputi strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Film merupakan suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa dan sastra memiliki hubungan yang erat. Kekuatan sastra berada pada kekuatan dan cara pengarang menggunakan bahasa. Melalui bahasa, seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hyde mulai dari masa anak-anak hingga dewasa, yang awalnya ingin menjadi. seorang komikus kemudian beralih menjadi seorang pemusik.

BAB I PENDAHULUAN. Hyde mulai dari masa anak-anak hingga dewasa, yang awalnya ingin menjadi. seorang komikus kemudian beralih menjadi seorang pemusik. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autobiografi atau otobiografi adalah sebuah biografi atau riwayat hidup yang ditulis oleh pemiliknya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia otobiografi adalah riwayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sastra berhubungan erat dengan masyarakatnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan munculnya berbagai hasil karya sastra yang mengangkat tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu cipta karya masyarakat, sedangkan masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam karya sastra. Keduanya merupakan totalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang yang masuk ke Indonesia tidak hanya animasi, komik, dan musik namun juga

BAB I PENDAHULUAN. Jepang yang masuk ke Indonesia tidak hanya animasi, komik, dan musik namun juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya populer dari Jepang saat ini menjadi tren di beberapa kalangan masyarakat Indonesia. Seiring dengan perkembangan akses informasi, produk budaya Jepang yang masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil karya manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman, dan tanggapan perasaan penciptanya tentang hakikat kehidupan dengan

Lebih terperinci

Memilah, Memilih, dan Memanfaatkan Mengajar dan Belajar Bahasa Inggris dari Bacaan

Memilah, Memilih, dan Memanfaatkan Mengajar dan Belajar Bahasa Inggris dari Bacaan Memilah, Memilih, dan Memanfaatkan Mengajar dan Belajar Bahasa Inggris dari Bacaan oleh DR. Murti Bunanta SS, MA. Spesialis Sastra Anak Ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak Makalah dibawakan pada kegiatan

Lebih terperinci

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Mashura SMP Negeri 2 ToliToli, Kab. ToliToli, Sulteng ABSTRAK Strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan induk dari seluruh disiplin ilmu. Pengetahuan sebagai hasil proses belajar manusia baru tampak nyata apabila dikatakan, artinya diungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1). Pembelajaran menurut Sugandi (2006: 9) adalah seperangkat peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1). Pembelajaran menurut Sugandi (2006: 9) adalah seperangkat peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bisa diartikan sebagai sebuah proses kegiatan pelaksanaan kurikulum suatu lembaga pendidikan yang telah ditetapkan (Sudjana, 2001: 1). Pembelajaran

Lebih terperinci

Pengaruh Menyimak Cerita terhadap Kemampuan Bercerita Fiksi pada Anak

Pengaruh Menyimak Cerita terhadap Kemampuan Bercerita Fiksi pada Anak Pengaruh Menyimak Cerita terhadap Kemampuan Bercerita Fiksi pada Anak Tri Wahyono Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Abstrak Penulisan makalah ini bertujuan untuk 1) mengetahui apakah menyimak cerita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka mempunyai peranan penting dalam melakukan penelitian karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

Lebih terperinci

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN Dalam bab ini diuraikan proses pengembangan model penilaian otentik dalam pembelajaran membaca pemahaman yang telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB II DATA DAN ANALISA

BAB II DATA DAN ANALISA BAB II DATA DAN ANALISA 2.1 Data dan Literatur 2.1.1 Pengertian Cerita Rakyat Berdasarkan definisi Folklore dari Wikipedia.org, (2012) cerita rakyat merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Sebelum kita terjun ke lapangan untuk melakukan suatu penelitian, kita harus mempersiapkan metode atau cara apa yang akan kita lakukan untuk membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Penelitian pada novel Pulang karya Leila S. Chudori sudah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian itu bisa dimanfaatkan sebagai studi pustaka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Menurut Moeliono (2002:701) kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Selanjutnya Menurut Moenir (2001:16) kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan materi agar pembelajaran berlangsung menyenangkan. Pada saat

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan materi agar pembelajaran berlangsung menyenangkan. Pada saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guru sebagai fasilitator memiliki pengaruh yang besar dalam proses kegiatan pembelajaran. Salah satunya guru juga dituntut untuk lebih kreatif dalam menyampaikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan menggunakan kajian fenomenologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya sastra terdapat kenyataan yang dialami oleh masyarakat itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori BAB 4 KONSEP DESAIN 4.1 Landasan Teori 4.1.1 Definisi Publikasi Publikasi berarti penyiaran, pengumuman atau penerbitan suatu karya yang telah diciptakan agar diketahui publik. Pengumuman tersebut dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa Kegiatan Pembelajaran 3 Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa A. Apresiasi dalam Pendidikan Seni Rupa Salah satu aspek pembelajaran yang cukup penting dalam pendidikan seni rupa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren,

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990:218).

Lebih terperinci

: Ainul Khilmiah, Ella yuliatik, Anis Citra Murti, Majid Muhammad Ardi SMART?: SEBUAH TAFSIR SOLUSI IDIOT ATAS PENGGUNAAN TEKNOLOGI

: Ainul Khilmiah, Ella yuliatik, Anis Citra Murti, Majid Muhammad Ardi SMART?: SEBUAH TAFSIR SOLUSI IDIOT ATAS PENGGUNAAN TEKNOLOGI Ditulis oleh : Ainul Khilmiah, Ella yuliatik, Anis Citra Murti, Majid Muhammad Ardi Pada 08 November 2015 publikasi film SMART? dalam screening mononton pada rangkaian acara Kampung Seni 2015 pukul 20.30

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. massa terutama televisi, telah menjadi media penyebaran nilai-nilai dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. massa terutama televisi, telah menjadi media penyebaran nilai-nilai dan sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Televisi telah menjadi begitu lazim sehingga hampir tidak pernah memperhatikan apa itu televisi dan apa pengaruhnya. Televisi telah menciptakan sebentuk kemelekan huruf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang sukar diubah dan

BAB I PENDAHULUAN. Budaya merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang sukar diubah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang sukar diubah dan disampaikan secara turun menurun. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesantunan berbahasa merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk menciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan lawan tutur. Kesantunan berbahasa memiliki

Lebih terperinci

JUDUL UNIT KRITERIA UNJUK KERJA ELEMEN KOMPETENSI

JUDUL UNIT KRITERIA UNJUK KERJA ELEMEN KOMPETENSI KODE UNIT JUDUL UNIT DESKRIPSI UNIT ELEMEN KOMPETENSI : MMPWR00101 : MEMBUAT SEBUAH NARASI : Unit ini mendeskripsikan tentang keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan sebuah narasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu nilai dan pikiran yang hidup pada sebuah masyarakat, dan dalam suatu nilai, dan pikiran ini berkembang sejumlah

Lebih terperinci