BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam pemerintahan. maka dari itu setiap warga negara memiliki kekuasaan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Menurut Mahfud M.D., demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat kaitannya dengan hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif. 1 Seiring berjalannya waktu demokrasi dalam arti rakyat terlibat secara langsung dalam pemerintahan sudah tidak mungkin dilaksanakan lagi, karena demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat secara sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah warga negaranya sangat kecil. Dari hal tersebut lahirlah sistem demokrasi perwakilan yang bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuat keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Didalam sistem demokrasi perwakilan, kekuasan tertinggi tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil yang di pilih oleh rakyat sendiri 2. Hans Kelsen menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada orang-orang yang akan duduk di organ-organ negara. Untuk mengisi organ-organ negara dilakukan nominasi yang demokratis, yaitu Pemilihan 1 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, 1999, Gama Media, Yogyakarta, h. 1 2 ibid, h. 5

2 Umum (Pemilu). Dengan demikian Pemilu merupakan salah satu ciri utama dari negara demokrasi modern dan cara yang demokratis untuk membentuk dan mentransfer kekuasaan dari rakyat kepada otoritas negara. Pemilu dijadikan indikator kualitas demokrasi dari sebuah bangsa, apabila Pemilu mampu dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif, maka hal tersebut menunjukan proses demokratisasi berlangsung secara positif. 3 Hasil Pemilu yang dilaksanakan dalam suasana keterbukaan dan kebebasan dianggap akurat mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat. 4 Secara umum, pelaksanaan Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar dan sesuai dengan pilihan rakyat, maka dari itu pemilu yang demokratis merupakan pemilu yang dilakukan secara berkala, dan diselenggarakan berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur, dan adil. Indonesia yang menganut prinsip negara hukum yang demokratis 5 yang mengatur ketentuan mengenai Pemilu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu dituangkan dalam ketentuan Pasal 22E disana diatur secara khusus ketentuan mengenai pelaksanaan pemilu secara berkala, yaitu setiap 5 (lima) tahun sekali untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden. Agar pelaksanaan Pemilu mencapai hasil yang benar-benar demokratis, UUD NRI 1945 menetukan asas Pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kemudian dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Kemudian dalam 3 Irvan Marwadi, 2014, Dinamika Sengketa Hukum Administrasi di Pemilukada, Rangkang Education, Yogyakarta, h Miriam Budiarjo, 1999, Demokrasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, h. 132

3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menterjemahkan kata dipilih secara demokratis sebagai Pemilihan Langsung. Namun sesungguhnya dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjadi dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Ketentuan tegas tentang pemilihan secara langsung oleh rakyat terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 angka 4, dengan pertimbangan antara lain karena Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah 6. Sehingga sejak tahun 2004, rakyat Indonesia memilih langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada). Walaupun Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, namun pilkada tidak diletakan dalam bagian dari Pemilu, melainkan diletakkan dalam bagian Pemerintahan Daerah. Hal ini dilihat dari beberapa aspek, yaitu dilihat dari istilah yang digunakan bukan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, melainkan Pemilihan Kepala Daerah, penyelenggara pemilihan Pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada adalah wewenang Mahkamah Agung (MA). Beberapa aspek tersebut menjadi dasar permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian MK menerbitkan Putusan MK Nomor /PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 6 Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, Konpress, Jakarta, h. 177

4 Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam putusan ini MK menyatakan secara formal pembentuk Undang-Undang menentukan rezim Pilkada secara langsung memang bukan merupakan rezim Pemilu. Sekalipun demikian, secara substantif Pilkada adalah Pemilu, sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional Pemilu. Dengan dikeluarkannya putusan ini, pemerintah yang berwenang membentuk Undang- Undang kemudian membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu secara tegas menyatakan bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu ditegaskan bahwa Penyelenggara Pemilihan Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan demikian sejak tanggal 29 Oktober 2008 penyelesaian sengketa penetapan hasil Pemilukada menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya merupakan wewenang Mahkamah Agung (MA). Kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa Pemilukada diatur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

5 diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Perkara atau sengketa pemilu mencakup 3 ranah, yaitu: sengketa hasil pemilu, perkara pidana pemilu, dan sengketa administrasi pemilu. Apabila merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, untuk sengketa hasil pemilu diselesaikan di MK, sedangkan penyelesaian perkara pidana pemilu diselesaikan melalui Pengadilan Negeri (PN), sementara penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu (Pasal 254 (3) UU No. 8 Tahun 2012) dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berdasarkan laporan Bawaslu dan Panwaslu, dimana apabila tidak puas dalam hal tertentu dapat menggugat ke PTUN. Dengan dijadikannya MK sebagai lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa Pemilukada, maka segala perkara terkait dengan sengketa penetapan hasil pemilukada langsung masuk ke MK dan tentu saja hal ini mempengaruhi kinerja dari MK karena sebelumnya MK hanya menangani masalah terkait pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terhitung sejak tahun 2008 hingga 2013 MK telah menangani 685 perkara terkait dengan sengketa Pemilukada. Jika dilihat dari jumlah perkara yang ada, MK cenderung menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu yang ditangani lebih banyak dibanding dengan pengujian Undang-Undang (Judicial Review)

6 yang merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah Konstitusi. Komite Pemilih Indonesia mencatat, 85 persen lebih Pemilukada berujung sengketa di MK. Berdasarkan pada fakta tersebut, kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai hilang, karena di MK seorang hakim bisa menggelar empat hingga lima sidang perhari, dan bahkan pada bulan Agustus 2010, MK bersidang sebanyak 221 kali, yang berarti dalam 1 hari MK bersidang 11 kali. Intensitas persidangan seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan dari sisi efektifitas dan kualitas proses persidangan, yang pada ujung berpengaruh terhadap kualitas pelayanan terhadap pencari keadilan. Beragam putusan terkait dengan sengketa Pemilukada telah dikeluarkan oleh MK, salah satu contoh putusan yang telah dikeluarkan MK terkait dengan sengketa Pemilukada yaitu putusan sengketa Pemilukada Gubernur Jawa Timur. MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mujiono. MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Sampang dan Bangkalan. Sedangkan di Kabupaten Pamekasan harus dilakukan penghitungan suara ulang. Terjadi kontroversi terhadap putusan tersebut, dimana MK seharusnya tak mempunyai kewenangan memerintahkan pemungutan suara ulang, karena MK hanya berewenang mengadili sengketa atas hasil Pemilukada. Namun MK berpendapat bahwa MK dapat menerobos Undang-Undang dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi pada Pemilukada Jawa Timur, MK melihat adanya pelanggaran asas-asas dalam UUD NRI 1945 yang menyangkut pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Putusan pemungutan suara ulang bukan hanya terjadi pada Pemilukada Jawa Timur saja, hal yang sama juga terjadi pada Pemilukada Tapanuli Utara, bahkan MK memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang pada Pemilukada di Tapanuli Utara. Dari 15 kecamatan yang ada di

7 Tapanuli Utara, MK memerintahkan agar pemungutan suara di 14 kecamatan diulang. 7 Kemudian pada tahun 2013, Akil Mochtar selaku ketua MK ditahan akibat kasus suap dalam penyelesaian 15 sengketa Pemilukada. 8 Hal tersebut menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap MK, kasus yang melibatkan Ketua MK tersebut dijadikan momentum untuk mengevaluasi kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa Pemilukada. Jika dilihat kembali awal pembentukan MK, sangat jelas bahwa yang menjadi tugas utama MK adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan kewenangankewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI Selain itu ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukada paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Permasalahan lainnya akibat pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat (upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Banyaknya gugatan yang masuk, sempitnya waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan mengikat inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan. 7 Ali, 2009, Sengketa Pilkada, Kewenangan Baru Bikin sibuk MK, hukumonline.com, URL : diakses tanggal 16 Maret Henry Lopulalan, Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar Yang Menggurita, kompas.com, URL : g.menggurita. diakses tanggal 16 Maret 2015.

8 Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) mengajukan gugatan terkait dengan pengujian Undang-Undang ke MK, yaitu Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bertentangan dengan UUD NRI Yang kemudian MK mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan wewenangnya memutus sengketa Pemilukada dengan mengeluarkan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah berpendapat, Pemilu menurut Pasal 22E UUD NRI 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara. MK berpendapat jika memasukkan Pemilukada menjadi bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda. Di samping itu, sebagaimana telah menjadi pendirian MK dalam pertimbangan

9 putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Februari 2014, kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD NRI 1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah karena akan mengambil peran sebagai pembentuk UUD NRI Dengan demikian, menurut MK, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional. Untuk menindaklanjuti putusan tersebut, kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengembalikan kewenangan mengadili sengketa Pilkada ke badan peradilan di bawah MA, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun Kewenangan ini diatur dalam Pasal 157 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Dari pemaparan di atas muncul dua pendapat mengenai peralihan kewenangan penyelesaian sengketa Pemilukada dari MK ke MA. Di satu pihak menanggapi wewenang penyelesaian sengketa terhadap penetapan hasil Pemilukada haruslah tetap menjadi wewenang dari MK, karena selain memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi, MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi. Maka dari itu penyelesaian sengketa Pemilukada oleh MK merupakan suatu upaya untuk mengawal proses demokrasi dalam kerangka konstitusi. Merujuk pada pendapat salah satu hakim MK Fadlil Sumadi, beliau menjelaskan bahwa karena sistem dan

10 mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah perselisihan hasil pemilu (PHPU). Di lain pihak menanggapi secara positif peralihan kewenangan penyelesaian sengketa Pemilukada dari MK ke MA, karena kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda. Selain itu MK dalam putusannya menyatakan bahwa kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil Pemilukada adalah Inskonstitusional. Dengan adanya peralihan kewenangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada dari MK kepada MA, maka hal tersebut menarik untuk diteliti dan dituangkan dalam tulisan yang berjudul Implikasi Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi Kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa latar belakang yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung? 2. Bagaimana implikasi peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan

11 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu terkait dengan permasalahan pertama yaitu menelusuri dasar yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung terutama setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan permasalahan kedua yaitu implikasi dari kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Orisinalitas Penelitian Penelitian ini membahas mengenai implikasi peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Selain itu dalam penelitian ini dibahas mengenai dasar yuridis kewenangan Mahkamah Agung dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah. Dalam penulisan penelitian ini, penulis menemukan beberapa kemiripan dengan penelitian lain, adapun perbandingan penelitian penulis dengan penelitian lainnya adalah sebagai berikut:

12 No. Nama Penulis Judul Rumusan Masalah 1 Hendri Budi Yanto (Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta) Implikasi Tugas Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/Phpu.Dvi/2008 Tentang Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan) 1. Bagaimana Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Di Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PHPU.D- VI/2008 Dalam Perkara Perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Bengkulu Selatan? 2. Bagaimana Implikasi Tugas Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PHPU.D-VI/2008 Dalam Perkara Perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Bengkulu Selatan)? 2 Siswantana Putri Rachmatika (Mahasiswi Program Magister Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta) 3 I Putu Dedy Putra Laksana (Mahasiswa Fakultas Hukum, Unversitas Udayana, Bali) Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pilkada Dari Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi Implikasi Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Dari Mahkamah Konstitusi Ke Mahkamah Agung 1. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Pilkada Sebelum Perubahan Kedua Undang- Undang Pemerintahan Daerah? 2. Bagaimana Implikasi Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pilkada Dari Mahkamah Agung Ke Mahkamah Konstitusi? 1. Apa Dasar Yuridis Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Oleh Mahkamah Agung? 2. Bagaimana Implikasi Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Dari Mahkamah Konstitusi Ke Mahkamah Agung?

13 Dilihat dari tabel perbadingan penelitian di atas, kemiripan penelitian ini dengan penelitian lainnya tidak terlalu signifikan. Penelitian ini lebih menitiberatkan pada implikasi peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi Kepada Mahkamah Agung setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota serta latar belakang yuridis kewenangan Mahkhamah Agung dalam peneyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut; Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk dapat memahami dasar yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung dan implikasi dari kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengkaji dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang latar belakang yuridis kewenangan penyelesaian sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung.

14 2) Untuk mengkaji dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang implikasi dari peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Manfaat Penulisan Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahanpermasalahan yang ada di masyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian di bidang hukum tata negara. Sehingga, melalui penelitian ini dapat dilihat perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum tata negara, khususnya mengenai penyelesaian sengketa hasi Pemilihan Kepala Daerah Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian terhadap penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah Landasan Teoritis Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan skripsi ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep atau landasan-landasan terhadap permasalahan tersebut

15 yang didasarkan pada literatur literatur yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori negara hukum, teori demokrasi, teori pembagian kekuasaan, dan teori kewenangan atribusi Teori Negara Hukum Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Djokosutomo mengatakan, bahwa negara hukum menurut UUD NRI 1945 adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum. 9 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada hukum. Secara teori, negara hukum (rechstaat) adalah negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu, dan agar semua berjalan menurut hukum. 10 Seiring dengan perkembangan negara hukum itu sendiri, kini suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum asalkan memenuhi dua belas prinsip, yakni: 1) Supremasi Hukum (supremacy of law); 2) Persamaan dalam Hukum (equality before The Law); 3) Asas legalitas (due process of law); 4) Pembatasan kekuasaan; 9 C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini), cetakan I, PT Rineka Cipta, Jakarta, h Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, cetakan I, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung, h. 382.

16 5) Organ-organ eksekutif independen; 6) Peradilan bebas dan tidak memihak; 7) Peradilan tata usaha negara; 8) Peradilan tata negara; 9) Perlindungan hak asasi manusia; 10) Bersifat demokratis (democratische rechtstaat); 11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara. 12) Transparansi dan kontrol sosial. 11 Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD NRI 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Lembaga Yudikatif di era reformasi di Indonesia terjadi perubahan dan telah sejalan dengan amandemen terhadap UUD NRI 1945, Bab IX, tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24 ayat (2) menetapkan bahwa Lembaga Yudikatif yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. berikut : Dalam menjalankan fungsinya lembaga peradilan harus memenuhi unsur-unsur sebagai 1) Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat secara umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan, 2) Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret, 3) Ada sekurang-kurangnya 2 pihak, dan 4) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutus perselisihan. 11 Jimly Assiddhiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitualisme, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, h.124.

17 5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. 12 Sedangkan menurut Abdul Mukhti Fajar, ciri-ciri lembaga peradilan yaitu : 1) Merupakan lembaga independen atau lembaga yang bebas dari kekuasaan lembaga lain baik secara fungsional maupun struktural; 2) Adanya hukum yang bersifat umum yang merupakan sumber hukum yang akan diterapkan oleh lembaga peradilan; 3) Adanya pihak yang bersengketa yang mempunyai kepentingan secara langsung atas putusan yang disengketakan yang dapat memberikan dasar bagi pemberian status untuk mengajukan gugatan atau permohonan; 4) Adanya perkara konkrit yang terjadi yang diajukan untuk mendapatkan putusan; 5) Keputusan lembaga mempunyai sifat eksekutorial, tanpa perlunya persetujuan penuh dan resmi dari lembaga lain. 13 Utrecht dan Rachmat Soemitro memberikan dua macam asas yang merupakan ciri negara hukum, yaitu asas legalitas dan asas perlindungan terhadap kebebasan setiap orang dan terhadap hak-hak asasi manusia lainnya. 14 Dari sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya di berbagai negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas konstitusional. 15 Hukum yang hendak ditegakkan dalam negara hukum agar hak-hak asasi warganya benar-benar terlindungi hendaklah hukum yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dibuat secara konstitusional. 12 Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural, Profil Lembaga Negara Rumpun Yudikatif, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, h Ibid, h E. Utrecht, 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan IX, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, h Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, cetakan I, Penerbit Total Media, Yogyakarta, h. 44.

18 Teori Demokrasi Terdapat dua jenis demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung adalah pemerintah dijalankan oleh rakyat sendiri, dimana segala keputusan diambil oleh seluruh rakyat pada waktu dan tempat yang sama dan hal ini hanya mungkin terjadi pada negara kecil. Sedangkan demokrasi perwakilan dilaksanakan dengan permusyawaratan dimana warganegaranya melaksanakan hak yang sama, tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses-proses pemilihan yang bebas, ini dikenal sebagai representative government, suatu pemerintahan yang berdasarkan perwakilan 16. Dalam sistem demokrasi perwakilan, Pemilihan Umum adalah suatu kemestian dan suatu lembaga yang sangat vital untuk demokrasi. Suatu pemilihan yang bebas berarti bahwa dalam suatu jangka waktu tertentu rakyat akan mendapat kesempatan untuk menyatakan hasratnya terhadap garis-garis politik yang harus diikuti oleh negara dan masyarakat dan terhadap orangorang yang harus melaksanakan kebijakan itu 17. Dengan demikian pemilihan umum merupakan salah satu ciri utama dari negara demokrasi modern dan cara yang demokratis untuk membentuk dan mentransfer kekuasaan dari rakyat kepada otoritas negara Teori Pembagian Kekuasaan Dalam sebuah praktek ketatanegaraan perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga 16 Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Panca Sila, Cetakan Ke III, Radar Jaya Offset, Jakarta, h Ibid. h. 21.

19 Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu: 1) Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal. 2) Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudisial. Pencetus teori pembagian kekuasaan diantaranya : 1) John Locke, dalam bukunya yang berjudul Second Treaties of Goverment mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya harus ada pembagian pemegang kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu, Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain). 18 Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara. 18 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 15.

20 2) Montesquieu mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul L esprit des Lois pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang). 19 Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. 20 Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo menegaskan bahwa UUD NRI 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata 21. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah : 1) adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR. 2) diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang. 3) diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. 4) MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. 5) hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. 19 Ibid h Ibid h Ibid

21 Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara Teori Kewenangan Wewenang merupakan hal yang esensial dalam kajian hukum tata negara karena berhubungan dengan pertanggungjawaban hukum dan penggunaan wewenang tertentu. Prajudi Atmosudirdjo berpendapat bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberikan oleh Undang-Undang ) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orangorang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. 23 Secara teori kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh dengan tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Dalam hal ini, Van Wijk mendefinisikan hal-hal tersebut sebagai berikut: 1. Atribusi; adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. 22 ibid, h Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 29.

22 2. Delegasi; adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat; terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. 24 Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang- Undang Dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. 25 Menurut Philipus M. Hadjon terdapat tiga sumber kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat 26. Atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan Hukum Tata Negara atribusi ditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang ditunjuk oleh pembuat Undang-Undang Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis penelitian pada skripsi ini, digunakan jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam praktek hukum Jenis Pendekatan 24 M. Hutanuruk, 1978, Asas-Asas Ilmu Negara, Erlangga, Jakarta, h Ni Nyoman Mariadi, Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2011, h Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi I, Cet ke-v, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.13.

23 Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 28 Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep konsep hukum yang ada Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan, sehingga bahan dari penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas atau bersifat mengikat. Contohnya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Putusan hakim. 29 Contoh bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : UUD NRI 1945, Undang-Undang, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library research). Library research digunakan untuk menggali data melalui buku-buku yang terkait dengan masalah hukum tata negara, Undang-Undang, Putusan hakim maupun data-data lainnya. 28 Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47

24 Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder 30, contohnya : kamus bahasa hukum, dan ensiklopedi Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan bahan hukum yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katagori. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, dicatat dan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. 1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari kegunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum atau non hukum Teknik evaluasi adalah penilaian berupa, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali, 2013, Bali, h Ibid.

25 3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. 33 Dari ketiga teknik analisis bahan hukum diatas, maka akan dituangkan dalam tulisan yang bersifat deskriptif analisis. 33 Ibid h. 77.

BAB I PENDAHULUAN. NRI 1945) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. NRI 1945) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan. Apabila dilihat secara geografis, Indonesia memiliki letak yang strategis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH ABSTRACT: Oleh : Putu Tantry Octaviani I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan,

BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca-Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan, Gubernur, Bupati, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016 KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA HASIL PERHITUNGAN SUARA PEMILIHAN KEPALA DAERAH 1 Oleh: Imam Karim 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kewenangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. Rakyat, hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Jimly Asshidiqi, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di

BAB I PENDAHULUAN Jimly Asshidiqi, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atas dasar Undang-undang dasar 1945, Indonesia mempunyai sistem kekuasaan yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif bahkan menurut Prof. Prayudi Atmosudirdjo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI 07940077 PROGRAM KEKHUSUSAN: HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS

Lebih terperinci

IMPLIKASI PEMILIHAN UMUM ANGGOTA LEGISLATIF DAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SECARA SERENTAK TERHADAP AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN

IMPLIKASI PEMILIHAN UMUM ANGGOTA LEGISLATIF DAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SECARA SERENTAK TERHADAP AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN IMPLIKASI PEMILIHAN UMUM ANGGOTA LEGISLATIF DAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SECARA SERENTAK TERHADAP AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013)

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik di Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih demokratis ditandai dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung 1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada 1. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 Mahkamah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS Anang Dony Irawan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Jl. Sutorejo No. 59 Surabaya 60113 Telp. 031-3811966,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memberikan jaminan secara konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIV/2016 Konstitusinalitas KPU Sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Pada Rezim Pemilihan Kepala Daerah Bukan Pemilihan Umum I. PEMOHON 1. Muhammad Syukur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Oleh: I Putu Hendra Wijaya I Made Subawa Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------- Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara Continuing Legal Education, Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN KONSULTASI YANG MENGIKAT BAGI PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 19 Juni 2016; disetujui: 8 Agustus 2016 Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a dalam

Lebih terperinci

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 73/PUU-XIII/2015 Ketentuan Persentase Selisih Suara sebagai Syarat Pengajuan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara ke Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini diwakili

Lebih terperinci

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14 1 of 14 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA 1 PERKEMBANGAN GAGASAN CONSTITUTIONAL REVIEW William Marbury mengajukan permohonan kepada MA agar memerintahkan James Madison selaku Secretary of State untuk mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan 136 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pilkada di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA NO NO. PUTUSAN TANGGAL ISI PUTUSAN 1 011-017/PUU-I/2003 LARANGAN MENJADI ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susunan Dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Susunan Dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, sebagai perubahan atas Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini

Lebih terperinci

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb No.1442, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Penyelesaian Sengketa PEMILU. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILIHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang telah mengalami beberapa masa kepemimpinan yang memiliki perbedaan karakteristik perlakuan hak politik setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA

KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA bpk.go.id Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pertemuan dengan pimpinan lembaga negara di Majelis Permusyawaratan Rakyat

Lebih terperinci

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1 BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1 Oleh: A. Mukthie Fadjar 2 I. Pendahuluan Salah satu kewenangan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (disingkat

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9 RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Prolog Lembaga negara (staatsorgaan/political institution) merupakan suatu organisasi yang tugas

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Puspaningrum *) Abstract : The Constitutional Court

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DI INDONESIA 1 Oleh : Mega M. Mawuntu 2 ABSTRAK Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, telah banyak membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketetanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 73/PUU-XIII/2015 Syarat Jumlah Perbedaan Suara dalam Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 PEMILIHAN UMUM R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 Sub Pokok Bahasan Memahami Sistem Pemilu dalam Ketatanegaraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah) PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah) R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 21 Mei 2008 Pokok

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA; MOMENTUM MENGEFEKTIFKAN PENGAWASAN PREVENTIF DAN PELAKSANAAN HAK UJI MATERIIL MA Oleh: M. Nur Sholikin * Naskah diterima: 24 pril 2017; disetujui:

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. Pendahuluan Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah judicial

Lebih terperinci

Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis

Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis Budiyono Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Email : budiyono.1974@fh.unila.ac.id Abstrak Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci