LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK
|
|
- Suparman Sudirman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK Oleh : Benny Rachman Delima Hasri Azahari Henny Mayrowani Arief Iswariyadi Valeriana Darwis Ahmad M. Ar-Rozi PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011
2 RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Pupuk merupakan salah satu unsur penting dan strategis dalam peningkatan produksi dan produktivitas serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem usahatani. Demikian penting dan strategisnya peranan pupuk dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman, pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk secara efisien melalui kebijakan harga pupuk, pengadaan dan distribusinya. Seiring dengan perkembangannya, produksi pupuk, khususnya pupuk an-organik terus menurun, sehingga di beberapa wilayah terjadi kelangkaan. Adanya opsi kebijakan pengembangan pupuk organik bukan semata-mata diarahkan untuk mensubstitusi pupuk an-organik, akan tetapi untuk mendukung penggunaan pupuk secara berimbang dan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk. Kondisi ini membuka peluang produksi berbagai jenis pupuk organik untuk melengkapi kekurangan pasokan pupuk. 2. Untuk memproduksi pupuk organik dapat dilakukan oleh pabrikan/ industri pupuk dan/atau oleh petani/ kelompok tani dengan menggunakan bahan baku yang tersedia dilokasi setempat (in situ). Adanya peluang usaha baru (pupuk organik) cenderung menjadi perhatian berbagai pihak untuk ikut partisipasi dalam usaha tersebut, yang terkadang keluar dari etika dan norma. Mengantisipasi semakin banyaknya peredaran pupuk organik dalam berbagai jenis, bentuk dan kualitas yang belum terjamin dan teruji kebenarannya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan dan lingkungan, sehingga dibutuhkan pengawasan dan monitoring yang ketat terhadap kualitas pupuk organik. Sehubungan dengan itu, perlu dibangun suatu kesepahaman tentang arah pengembangan pupuk organik, etika komersialisasi, pentingnya baku mutu dan payung hukum, serta sosialisasi pemanfaatannya. 3. Kajian ini bertujuan : (a) mengidentifikasi potensi, peluang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi pengembangan pupuk organik, (c) menganalisis pengaruh penggunaan pupuk (organik dan an-organik) terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi, dan (e) merumuskan alternatif kebijakan pengembangan pupuk organik. Untuk menjawab tujuan pertama digunakan teknik eksplorasi data dan informasi yang antara lain mencakup : (a) luas areal yang harus dipupuk; (b) potensi bahan baku pupuk organik (hijauan, kotoran hewan, sisa tanaman/jerami, dan kompos); dan (c) xii
3 teknologi pembuatan pupuk organik insitu. Untuk menjawab tujuan kedua, digunakan analisis kelembagaan yang difokuskan pada aspek kelembagaan (regulasi/ peraturan perundangan). Untuk menjawab tujuan ketiga digunakan pendekatan analisis finansial atau benefit cost ratio (B/C) dan fungsi produksi linier Cobb-Douglas. Untuk menjawab tujuan keempat dilakukan sintesis dari hasil tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga. 4. Lokasi kajian dilakukan di Jawa barat dan jawa Tengah. Basis informasi dalam kajian ini adalah data primer yang dikumpulkan secara berlapis mulai dari tingkat desa, kabupaten dan provinsi contoh. Disamping itu, digunakan data sekunder dari berbagai lembaga dan instutusi terkait yang relevan dengan kajian ini. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan daftar isian yang diwawancarakan kepada responden. Pengembangan Rumah Kompos/ UPPO 1. Dalam upaya meningkatkan kesuburan lahan, mulai tahun 2007 Kementerian Pertanian melakukan kegiatan penyediaan alat pengolah pupuk organik (APPO), rumah kompos/ Rumah Percontohan Pembuatan Pupuk Organik (RP3O) dan UPPO (Unit Pengolah Pupuk Organik). Prasarana tersebut khususnya diarahkan pada kawasan produksi padi yang disalurkan kepada Kelompok Tani/ Gapoktan dalam rangka pengembangan pupuk organik di tingkat kelompok tani (insitu). Saat ini, total jumlah prasarana tersebut adalah : APPO (1.086 unit); rumah kompos/ RP3O/ UPPO (2.578 unit) dan ternak sapi ( ekor). 2. Apabila seluruh prasarana pembuat pupuk organik tersebut dapat beroperasi secara optimal, maka jumlah pupuk organik yang dapat dihasilkan oleh petani sebanyak 5,496 juta ton/tahun (asumsi 1 unit mesin APPO/RP3O/rumah kompos mampu mengolah bahan organik sebanyak 5 ton/hari/unit dan dalam setahun bekerja 300 hari). Mengingat pupuk organik saat ini belum tersosialisasi dengan baik di lapangan/ petani, maka potensi prasarana pembuatan pupuk organik yang telah tersedia tersebut belum dapat menghasilkan jumlah produksi pupuk organik sesuai dengan kapasitas yang tersedia, atau 50 persen dari kapasitasnya. Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan Pupuk Organik 3. Data luas panen lahan sawah tahun 2010 di Jawa Barat dan Jawa tengah tercatat 1,894 juta hektar dan 1,779 juta hektar dengan produksi mencapai 10,99 juta ton dan 10,08 juta ton. Apabila produksi jerami segar sekitar 5 ton/ha, maka potensi jerami untuk pembuatan xiii
4 pupuk organik masing-masing 5,49 juta ton dan 5,04 juta ton. Sedangkan agregat nasional luas panen lahan sawah 12,87 juta hektar dengan produksi 65,15 juta ton, sehingga potensi jerami untuk pembuatan pupuk organik adalah 32,57 juta ton. Apabila diasumsikan semua jerami segar yang dapat digunakan untuk memupuk lahan sawah, dengan dosis 5 ton/ha, maka lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha mencapai 12,87 juta hektar. Sedangkan apabila menggunakan jerami dikomposkan luas lahan sawah yang dapat dipupuk sekitar 6,4 juta hektar. 4. Ternak sapi dewasa, kuda, dan kerbau dapat memproduksi kotoran rata-rata 9 kg/ekor/hari, sedangkan kambing dan domba rata-rata 1 kg/ekor/hari. Atas dasar asumsi tersebut, maka dalam waktu satu tahun akan diproduksi kotoran ternak sapi, kuda, kerbau, kambing dan domba sebanyak 8,401 juta ton (di Jawa barat), 6,308 juta ton (di Jawa Tengah), dan agregat nasional 51,526 juta ton. Bila lahan pertanian memerlukan pupuk kandang 5-10 ton/ha, maka kotoran ternak tersebut dapat digunakan untuk memupuk seluas 0,84 1,6 juta ha (Jawa Barat), 0,63 1,2 juta ha (Jawa Tengah), dan 5,1 10,0 juta ha (Indonesia). 5. Pengembangan pupuk organik juga dihadapkan pada berbagai kendala teknis dan non teknis. Pertama, pupuk organik diperlukan dalam jumlah besar sehingga menimbulkan kesulitan dalam pengangkutan dan penggunaannya. Kedua, komposisi hara dalam pupuk organik relatif rendah dan sangat bervariasi sehingga manfaatnya bagi tanaman tidak langsung dan dalam jangka panjang. Ketiga, masih adanya pemahaman bahwa usahatani yang menggunakan pupuk organik diartikan sebagai usahatani pertanian organik. Keempat, sumber bahan untuk pupuk organik sangat bervariasi, sehingga kualitas pupuk organik yang dihasilkan juga bervariasi mutunya. 6. Pemanfaatan pupuk organik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pemahaman petani akan pentingnya pupuk organik dalam kelangsungan usahataninya. Kondisi ini membuka peluang produksi berbagai jenis pupuk hayati dan pupuk organik untuk melengkapi kekurangan pasokan pupuk. Pupuk organik bisa dibuat dan diproduksi secara komersial dan non komersial oleh berbagai kalangan termasuk petani/kelompok tani dan pengusaha kecil-menengah (UKM). Pupuk organik bukan sebagai pengganti pupuk anorganik, tetapi sebagai komplementer. 7. Prospek pengembangan pupuk organik semakin jelas bila dikaitkan dengan pelaksanaan program Sekolah Lapang-Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Untuk tahun 2011 luas SL-PTT di Jawa Barat dan jawa Tengah tercatat 201,5 ribu ha dan 220,0 ribu ha, dan total xiv
5 nasional mencapai 2,78 Juta ha. Dalam pendekatan PTT dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik minimal 2 (dua) ton per ha. Mengingat program SL-PTT akan terus dikembangkan dan diperluas, maka ketersediaan pupuk organik dalam rangka mendukung peningkatan produksi pangan nasional menjadi sangat penting, baik secara produksi pabrikan (komersial) maupun produksi kelompok tani insitu (non komersial). Kelembagaan Pengelolaan Usaha Pupuk Organik Insitu 8. Produk pupuk organik yang dihasilkan oleh kelompok tani bersifat non komersial (insitu) atau hanya diperuntukkan bagi kebutuhan kelompok tani dan/atau masayarakat petani yang berada di desa UPPO. Kewenangan kelompok tani dalam mengelola UPPO adalah : (a) Membentuk struktur organisasi pengelola mulai dari manager, sekretaris, bendahara, tenaga operator; sehingga pengelolaan dapat berjalan baik dan profsional; (b) Menetapkan biaya operasional dan pemeliharaan UPPO, termasuk biaya manajemen; dan (c) Kelompok tani/ gapoktan pemula hanya memproduksi pupuk organik untuk kebutuhan kelompok dan masyarakat petani di wilayah UPPO. Namun bagi kelompok tani yang telah maju dan bermaksud memproduksi pupuk organik secara komersial, dapat mengajukan permoihonan ijin ke Dinas Pertanian Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 9. Unit pengolah pupuk organik (UPPO) yang dibangun beserta segala perlengkapan penunjangnya (termasuk ternak sapi 35 ekor) menjadi asset milik kelompok tani. Sesuai program UPPO jumlah ternak sapi yang dipelihara berjumlah 35 ekor yang meliputi 32 ekor ternak betina dan 3 ekor ternak jantan.ternak tersebut dipelihara pada kandang ternak komunal oleh anggota kelompok tani yang aktif dengan rata-rata beranggotakan 8-10 orang. 10. Secara umum bentuk pengelolaan ternak di setiap UPPO relatif sama. Sebagai ilustrasi, pengelolaan ternak dilakukan dengan sistem gaduh, dimana keuntungan atas hasil usaha dibagi menurut kesepakatan : (a) Untuk sapi betina, dalam satu paket terdiri dari 4 ekor sapi betina apabila sudah beranak maka anak induk sapi yang pertama diserahkan kepada kelompok tani sebagai asset kelompok, dan anakan kedua, ketiga, dan keempat menjadi milik pengelola / penggaduh dengan kurun waktu 1,5 tahun, (b) Untuk sapi jantan dikelola dengan sistem bagi hasil dengan perhitungan 50% penggaduh dan 50% kelompok, dan (c) sistem bagi hasil berlaku untuk satu periode. xv
6 11. Aturan representasi dalam pengembangan UPPO dapat ditelaah dari berbagai tingkatan, yaitu institusi pusat (Kementan dan Ditjen terkait), institusi Dinas Pertanian Tanaman Pangan / Peternakan, kelompok tani serta kelompok pengelola UPPO. Pola aturan representasi pada pelaksanaan UPPO dirancang secara homogen untuk semua lokasi penerima UPPO. Pada tingkat kelompok tani, berbagai aturan main dibuat dalam pemeliharaan ternak. pengelola kandang ternak komunal. Dalam hal ini terdapat perjanjian tertulis antara pengelola ternak sapi/penggaduh dengan kelompok tani. Kelompok tani sesuai program UPPO menyediakan kandang komunal beserta fasilitas-fasilitasnya dan menyerahkan sapi (35 ekor) kepada pihak pengelola. Pihak pengelola memiliki kewajiban : (a) Merawat dan dan memelihara kandang beserta semua fasilitasnya; (b) Mengelola ternak sapi dengan sistem bagi hasil dalam kesepakatan bersama. Biaya Produksi Pupuk Organik Non Komersial 12. Untuk pembuatan pupuk organik padat, setiap bahan baku kotoran ternak 1 ton dapat menghasilkan pupuk organik sebanyak 650 Kg. Proses pembuatan pupuk organik dalam satu siklus pembuatan dilakukan selama 5-6 minggu. Jenis dan bahan-bahan yang dibutuhkan pada kedua lokasi relatif sama : (1) Satu ton kotoran hewan (dari usaha ternak kelompok), (2) Arang sekam 100 kg, (3) Jerami padi sebanyak 50 kg dilembutkan, (4) Kalsit 20 kg, (5) Stardeck (pengurai) sebanyak 2 kg,dan (6) tenaga kerja sebanyak 8 orang. Total biaya pembuatan pupuk organik padat adalah Rp (di Jawa Barat), dan Rp (di Jawa Tengah) dengan rata-rata biaya produksi Rp 400/Kg, harga tersebut tanpa adanya subsidi dari pemerintah. Harga jual di tingkat distributor (sesuai pesanan) berkisar Rp 500 Rp 525 per Kg, sehingga pendapatan bersih berkisar Rp Rp ,- (per 650 kg pupuk organik) atau Rp 83 - Rp 112,-/kg. 13. Untuk pembuatan pupuk alam cair (PAC) pada setiap bahan baku urine ternak 120 liter dapat menghasilkan PAC sebanyak 100 liter. Proses pembuatan pupuk organik cair dalam satu siklus pembuatan dilakukan selama 6 minggu. Total biaya yang dibutuhkan Rp (Jawa Barat), dan Rp (Jawa Tengah). Harga jual PAC berkisar Rp hingga Rp per liter, sehingga pendapatan bersih per 100 liter mencapai Rp (Jabar) dan Rp (Jateng), atau Rp dan Rp per liter. Kemitraan Usaha Pupuk Organik Insitu xvi
7 14. Mengingat batas kewenangan kelompok tani UPPO untuk memproduksi dan memasarkan POG hanya untuk kebutuhan kelompok (insitu ), maka untuk memperluas pemasaran menuntut adanya jalinan Kemitraan antara kelompok tani/ produsen POG insitu dengan produsen pupuk organik pabrikan (swasta) yang telah memiliki sertifikasi mutu produksi POG untuk dikomersialisasikan. Saat kajian dilakukan, telah terbentuk jalinan kemitraan dengan produsen POG pabrikan dan pedagang/kios pupuk di desa lain dalam rangka memperluas pemasaran pupuk organiknya. Kemitraan pemasaran hasil POG di kabupaten Bandung, Jawa Barat sudah terjalin dengan produsen POG komersial (pabrikan), seperti PT. Petroganik dan PT. Agrimas. Pasokan POG dari kelompok tani ke PT. Petroganik, selanjutnya diproses menjadi POG (bentuk granul), pemasarannya disalurkan melalui kioskios binaan PT. Petroganik. Sedangkan kemitraan dengan PT. Agrimas diarahkan untuk memasok POG (bentuk curah) ke PTP.VIII dan lainnya. Harga jual POG padat ke mitra usaha (swasta) berkisar Rp 500 Rp 525 per kg, dan harga jual swasta ke pedagang/kios pengecer sebesar Rp 600 Rp 650 per kg Sementara itu, gambaran kemitraan dalam pemasaran produk POG (bentuk curah) di kabupaten Wonosobo dilakukan dengan perusahaan swasta, yaitu PT Alam Global Nusantara (PT. AGN). PT. AGN saat ini telah melakukan pengolahan sampah untuk dibuat pupuk organik. Produksi riil pupuk organik yang diperoleh baru sekitar 3-4 ton per hari dengan bentuk curah. Pemasaran masih terbatas pada permintaan langsung dari distributor, karena untuk pemasaran luas masih harus menunggu ijin edar dari Kementerian Pertanian. Uji kandungan dan penelitian pun terus dilakukan dengan mengundang para ahli dari Universitas Gadjah Mada. Dukungan Kebijakan Pengembangan Pupuk Organik 16. Pengembangan pupuk organik, baik pada skala kecil (kelompok tani) maupun skala komersial dengan manajemen mutu dan standar kualitas terjamin akan mendorong penggunaan pupuk organik secara massal dengan tingkat harga yang terjangkau. Hal ini dapat terwujud melalui dukungan kebijakan berupa regulasi mengenai etika komersialisasi, baku mutu dan payung hukum, serta sosialisasi pemanfaatannya. Dengan demikian, produk pupuk organik yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi petani, dan mengurangi dampak negatif bagi kesehatan dan pencemaran lingkungan. Secara spesifik, regulasi yang diperlukan adalah: (1) kebijakan investasi dan pelayanan, (2) kebijakan diseminasi dan xvii
8 pendampingan, (3) kebijakan standardisasi dan mutu produk pupuk organik, (4) kebijakan subsidi pupuk organik, dan (5) kebijakan dalam mendorong peran swasta. Kesimpulan 17. Secara agregat nasional potensi jerami untuk pembuatan pupuk organik sekitar 32,57 juta ton, sehingga lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha mencapai 12,87 juta hektar, dan apabila menggunakan jerami dikomposkan luas lahan sawah yang dapat dipupuk sekitar 6,4 juta hektar. 18. Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, program SL-PTT akan terus dikembangkan dan diperluas, maka ketersediaan pupuk organik dalam rangka mendukung peningkatan produksi pangan nasional menjadi sangat strategis untuk dikembangkan, baik secara produksi pabrikan (komersial) maupun produksi kelompok tani insitu (non komersial). 19. Secara umum teknologi pembuatan pupuk organik non komersial (insitu ) masih tergolong sederhana, yaitu teknologi sederhana fermentasi. Untuk pembuatan pupuk organik padat, setiap bahan baku kotoran ternak 1 ton dapat menghasilkan pupuk organik sebanyak 650 Kg. Proses pembuatan pupuk organik dalam satu siklus dilakukan selama 5-6 minggu. Harga jual pupuk organik berkisar Rp 500 Rp 525,- dengan keuntungan berkisar Rp 83 - Rp 112,- per kg. 20. Produk pupuk organik yang dihasilkan oleh kelompok tani bersifat non komersial (insitu) atau hanya diperuntukkan bagi kebutuhan kelompok tani dan/atau masayarakat petani yang berada di desa UPPO. Bagi kelompok tani/ gapoktan yang telah maju dan bermaksud memproduksi pupuk organik yang akan dijual secara komersial, harus memiliki sertifikat stadarisasi mutu produk. 21. Batas kewenangan kelompok tani UPPO untuk memproduksi dan memasarkan pupuk organik hanya untuk kebutuhan kelompok (insitu), untuk memperluas pemasaran diperlukan kemitraan antara kelompok tani/ produsen insitu dengan produsen pupuk organik pabrikan (swasta) yang telah memiliki sertifikasi mutu produksipupuk organik untuk dikomersialisasikan. xviii
9 22. Usahatani padi semi organik di lokasi kajian baru berlangsung dua musim, sehingga kondisi tanahnya belum stabil. Namun dari segi produktivitas, usahatani padi semi organik relatif sama dengan usahatani padi an organik. Hal ini masih membuka peluang adanya peningkatan produksi dan produktivitas bilamana kondisi tanah mendekati stabil (setelah 4 musim). Implikasi Kebijakan 23. Pengembangan aspek produksi, distribusi, dan pemanfaatan pupuk organik perlu dukungan sosialisasi terhadap pemahaman pupuk organik yang intensif yang difokuskan kearah keberimbangan penggunaan pupuk an-organik dan organik serta pembenahan tanah, disertai dengan Sekolah lapang (SL) - Pupuk Organik minimal selama empat musim. 24. Manajemen mutu dan standar kualitas yang baik akan mendorong penggunaan pupuk organik secara massal, sekaligus mengurangi dampak negatif bagi kesehatan dan pencemaran lingkungan. Secara spesifik, bentuk kebijakan untuk mendukung pengembangan pupuk organik adalah : (a) kebijakan investasi dan pelayanan, (b) kebijakan diseminasi dan pendampingan, (c) kebijakan standardisasi dan mutu produk pupuk organik, (4) kebijakan subsidi pupuk organik, dan (d) kebijakan dalam mendorong peran swasta. 25. Untuk meningkatkan pemasaran pupuk organik perlu fasilitasi dan dukungan : (a) uji kandungan pupuk, (b) pembuatan label usaha pengolahan pupuk organik yang diproduksi kelompok tani, (c) pemerintah seyogyanya tidak menurunkan harga pupuk organik pabrikan yang disubsidi, mengingat pupuk organik dari kelompok tani adalah biaya swadaya yang tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, dan (d) meningkatkan pembinaan terhadap produsen pupuk organik (kelompok tani). 26. Pengembagan produksi pupuk organik oleh kelompok tani perlu terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Dalam rangka peningkatan pendapatan petani organik,pemerintah daerah perlu memfasilitasi temu usaha/bisnis. Disamping itu, perlu adanya dukungan jaminan harga dan pasar pupuk organik melalui kemitraan. xix
I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2015 Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto NIP
KATA PENGANTAR Pedoman Teknis ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi petugas Dinas lingkup Pertanian baik Provinsi, Kabupaten/ kota maupun petugas lapangan dalam melaksanakan kegiatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya dengan mata pencarian dibidang pertanian, maka pembangunan lebih ditekankan kepada sektor pertanian
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,
BUPATI BENGKAYANG PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1
Lebih terperinciBUPATI MALANG BUPATI MALANG,
BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI
Lebih terperinciRENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014
RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN
Lebih terperinciSALINAN NOMOR 5/E, 2010
SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,
WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU
Lebih terperinciBUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN
ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinci3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN
Lebih terperinciBUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN
Lebih terperinciBUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciBUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO
Lebih terperinciBUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan. masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001).
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian pangan khususnya beras, dalam struktur perekonomian di Indonesia memegang peranan penting sebagai bahan makanan pokok penduduk dan sumber pendapatan sebagian
Lebih terperinci6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan
Lebih terperinciRENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Tujuan Sasaran RPJMD Kinerja Utama Program dan Kegiatan Indikator
Lebih terperinciBUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pupuk Kompos Pupuk digolongkan menjadi dua, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG
PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG
Lebih terperinciPEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN UNIT PENGOLAH PUPUK ORGANIK (UPPO) TA. 2014
PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN UNIT PENGOLAH PUPUK ORGANIK (UPPO) TA. 2014 DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 KATA PENGANTAR Pedoman
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan
Lebih terperinciMASUKAN AWAL ANALISIS KEBIJAKAN PUPUK
MASUKAN AWAL ANALISIS KEBIJAKAN PUPUK RAPAT PIMPINAN BADAN LITBANG PERTANIAN 28 JANUARI 2013 Outline: Pendahuluan Tanggapan terhadap usulan BUMP Tanggapan terhadap Realisasi Serapan Pupuk Penutup PENDAHULUAN
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2014 Direktur Pupuk dan Pestisida, Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc NIP
Direktorat Pupuk dan Pestisida KATA PENGANTAR Direktorat Pupuk dan Pestisida mempunyai tugas melaksanakan Penyiapan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria
Lebih terperinciBUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI
PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang
Lebih terperinciPENGARUH BERBAGAI JENIS BAHAN ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)
PENGARUH BERBAGAI JENIS BAHAN ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) OLEH M. ARIEF INDARTO 0810212111 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013 DAFTAR ISI Halaman
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen
Lebih terperinciBUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012
BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR
BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPUPUK KANDANG MK : PUPUK DAN TEKNOLOGI PEMUPUKAN SMT : GANJIL 2011/2011
PUPUK KANDANG MK : PUPUK DAN TEKNOLOGI PEMUPUKAN SMT : GANJIL 2011/2011 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami definisi pupuk kandang, manfaat, sumber bahan baku, proses pembuatan, dan cara aplikasinya Mempelajari
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BOGOR
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak dimulainya revolusi hijau (1970 -an), kondisi lahan pertanian khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar lahan pertanian Indonesia
Lebih terperinciWALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G
SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,
BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan
Lebih terperinciBUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT
BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 1149 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciWALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG
WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA BANJAR TAHUN ANGGARAN 2012 WALIKOTA BANJAR Menimbang : bahwa
Lebih terperinciBUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG
1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPENDAHULUAN. satu ternak penghasil daging yang sifatnya jinak dan kuat tetapi produktivitasnya
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang beberapa puluh tahun terakhir populasinya menurun dan tergantikan oleh sapi. Kerbau merupakan salah satu ternak penghasil
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG
BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciWALIKOTA TASIKMALAYA
WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang Mengingat
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciTENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI
LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 01/Kpts/SR.130/1/2006 TANGGAL 3 JANUARI 2006 TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK KATA PENGANTAR
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPENGANTAR. Ir. Suprapti
PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan tersusunnya Rencana Strategis Direktorat Alat dan Mesin Pertanian Periode 2015 2019 sebagai penjabaran lebih lanjut Rencana Strategis
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK
Lebih terperinciKebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan
6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya
Lebih terperinciRENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN
RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KATA PENGANTAR Untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keberadaan pupuk anorganik dipasaran akhir-akhir ini menjadi langka.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam bidang pertanian pupuk merupakan salah satu hal pokok untuk menunjang keberhasilan panen. Keberadaan pupuk sangat dibutuhkan para petani karena pupuk dapat
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. [Diakses Tanggal 28 Desember 2009]
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian semakin penting karena sebagai penyedia bahan pangan bagi masyarakat. Sekarang ini masyarakat sedang dihadapkan pada banyaknya pemakaian bahan kimia di
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciGUBERNUR RIAU. b. bahwa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang diperlukan subsidi pupuk;
GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 62 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI RIAU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPOLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT
POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk di dunia semakin meningkat dari tahun ketahun. Jumlah penduduk dunia mencapai tujuh miliar saat ini, akan melonjak menjadi sembilan miliar pada
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya 1-1,5 ton/ha, sementara jumlah penduduk pada masa itu sekitar 90 jutaan sehingga produksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG
PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TAHUN ANGGARAN 2016 DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam beberapa dekade terakhir ini, kondisi prasarana dan sarana pertanian dihadapkan pada berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan yang sangat dinamis serta
Lebih terperinciWALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016
WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOTA SOLOK
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciBUPATI PENAJAM PASER UTARA
BUPATI PENAJAM 9 PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2014 DENGAN
Lebih terperinciKE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis
LAPORAN AKHIR TA. 2013 STUDI KEBIJA AKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAUU JAWAA (TAHUN KE-2) Oleh: Bambang Irawan Gatoet Sroe Hardono Adreng Purwoto Supadi Valeriana Darwis Nono Sutrisno
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan usaha tani yang intensif telah mendorong pemakaian pupuk anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan adalah
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG
WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014
PERATURAN GUBERNUR BANTEN MOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciWALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA
WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KEBUTUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN
Lebih terperincil. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau
l. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktivitas kehidupan manusia baik individu maupun kelompok maupun proses-proses alam yang
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan sumber bahan makanan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Apalagi setelah adanya kebijakan pembangunan masa lalu, yang menyebabkan perubahan sosial
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA SURABAYA TAHUN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tanaman padi salah satunya yaitu pemupukan. Pupuk merupakan salah satu faktor
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama yang selalu dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Tetapi ada banyak hal yang menjadi kendala dalam produktivitas budidaya tanaman padi
Lebih terperinciBUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinci