The Responsibility of Airline of Denied Boarding Passanger (Case Study Jakarta High Court Decision Number 319/PDT/2013/PT.DKI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "The Responsibility of Airline of Denied Boarding Passanger (Case Study Jakarta High Court Decision Number 319/PDT/2013/PT.DKI)"

Transkripsi

1 Tanggung Jawab Perdata Maskapai Penerbangan Atas Tidak Diangkutnya Penumpang Dengan Alasan Melebihi Kapasitas Pesawat Udara (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 319/PDT/2013/PT.DKI) Nadia Aprillika, Suharnoko (Pembimbing) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini disusun untuk menganalisis peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum serta menganalisis pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab pengangkut udara atas tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini adalah peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum serta pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi apabila terjadi peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara. Dibutuhkan suatu definisi dan pengaturan yang lebih jelas mengenai peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara sehingga kepastian hukum bagi penumpang dapat lebih terjamin. Kata kunci: Penumpang, Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, Tanggung Jawab, Ganti Rugi, Pengangkut Udara. The Responsibility of Airline of Denied Boarding Passanger (Case Study Jakarta High Court Decision Number 319/PDT/2013/PT.DKI) Abstract This research is analyzing denied boarding passanger as a failure to perform and as a tort and also analyzing the regulations and practices of the responsibility of airline of denied boarding passanger. This research is qualitative decriptive interpretative. The result of this research are denied boarding passanger can be classified as a failure to perform and can be classified as a tort. In addition, airline always be responsible to give compensation if there is denied boarding passanger. The researcher suggest that needs a definition and regulation more clearly about denied boarding passanger so the passanger can be more protected. Keywords: Passanger, Tort, Failure to Perform, Responsibility, Compensation, Airline.

2 Pendahuluan Di Indonesia perkembangan dunia penerbangan amatlah pesat. Pesatnya perkembangan penerbangan tersebut telah menyebabkan ketatnya persaingan antara maskapai penerbangan di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari semakin banyaknya maskapai penerbangan yang berlomba-lomba menawarkan tarif tiket dengan harga yang rendah kepada para calon penumpang. Tarif tiket dengan harga yang rendah disebut pula dengan Low Cost Carrier. Low Cost Carrier sering dikenal dengan sebutan no frills, discount, atau budget carrier ialah angkutan udara niaga berjadwal yang dalam menjalankan kegiatannya dikelompokkan dalam pelayanan dengan standar minimum. 1 Low Cost Carrier merupakan sebutan bagi maskapai penerbangan yang menawarkan biaya penerbangan yang relatif lebih rendah dibandingkan maskapai penerbangan pada umumnya. Sayangnya, tarif tiket dengan harga yang rendah tersebut seringkali berbanding lurus dengan penurunan pada segi kualitas pelayanan yang diberikan bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi ialah terjadinya penurunan kualitas pemeliharaan sehingga akan memberikan dampak buruk terhadap keamanan, kenyamanan, dan perlindungan konsumen. 2 Hal ini tentu saja akan berpotensi besar merugikan penumpang, yang notabenenya merupakan salah satu pihak yang terdapat dalam kegiatan pengangkutan udara. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara terdapat dua pihak yakni pelaku usaha penerbangan sebagai pihak pengangkut udara dan konsumen sebagai pihak penumpang. Di antara para pihak tersebut terdapat suatu hubungan hukum yakni hubungan kontraktual berdasarkan perjanjian pengangkutan udara. Menurut Pasal 1 angka 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan udara ialah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara dengan imbalan bayaran atau 1 Indonesia, Undang-Undang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009, Ps. 97 angka 1 huruf c Jo. Pasal 98 angka 1. 2 E. Saefullah Wiradipradja (a), Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta: 2006), hlm. 5-6.

3 dalam bentuk imbalan jasa yang lain. 3 Perjanjian pengangkutan udara antara pengangkut udara dengan penumpang dapat dibuktikan dengan tiket penumpang pesawat udara. Akan tetapi, tiket penumpang pesawat udara bukan satu-satunya bukti adanya perjanjian pengangkutan udara karena masih dapat dibuktikan dengan bukti lain, misalnya tanda terima uang pembelian tiket penumpang pesawat udara. 4 Perjanjian pengangkutan udara tidak terlepas dengan aspek komersial yang terdapat didalamnya. Salah satu aspek komersial dalam perjanjian pengangkutan udara ialah kapasitas pesawat udara. Mengetahui arus penerbangan dan sistem operasional yang ada sudah seharusnya dapat ditentukan jumlah kapasitas yang disepakati pada perjanjian pengangkutan udara yang harus dilayani oleh pengangkut udara secara adil. 5 Akan tetapi, pada nyatanya pengangkut udara seringkali menetapkan batas jumlah penjualan tiket melebihi kapasitas kursi pesawat yang sebenarnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan adanya cancellation dan no show customer. Cancellation ialah pembatalan pemesanan tiket yang dapat dilakukan oleh penumpang yang telah melakukan pemesanan sebelumnya. No show customer ialah keadaan dimana penumpang yang telah memesan tiket untuk suatu penerbangan, namun pada saat keberangkatan ia tidak datang. Adanya cancellation dan no show customer dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian bagi pihak pengangkut udara. Pertama, uang refund yang diberikan akan mengurangi pendapatan pihak pengangkut udara. Kedua, akan terdapat kursi-kursi kosong dimana pihak pengangkut udara akan mengalami kesulitan untuk menjual kembali tiket yang telah dibatalkan pada saat telah mendekati atau pada saat keberangkatan penerbangan. Dimana dengan menetapkan batas jumlah penjualan tiket melebihi kapasitas kursi pesawat yang sebenarnya maka penumpang lain dapat mengisi kekosongan kursi apabila terjadi cancellation atau no show customer. Sayangnya, di beberapa kasus jumlah penumpang yang datang pada saat jadwal penerbangan 3 Indonesia, Undang-Undang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009, Ps. 1 angka K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, cet. 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 154.

4 justru melebihi kapasitas pesawat udara sehingga beberapa penumpang yang telah memiliki tiket penumpang pesawat udara tidak dapat diangkut dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Mengenai hal itu, pihak pengangkut udara seringkali berdalih bahwa peristiwa tersebut dapat terjadi karena alasan manajemen maupun alasan operasional. 6 Peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara telah menimbulkan suatu ketidakpastian bagi para penumpang dalam memperoleh haknya berupa pengangkutan diri penumpang melalui pesawat udara sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya. Lebih jauh lagi, peristiwa tersebut berpotensi besar menimbulkan banyak kerugian bagi diri penumpang, baik kerugian yang bersifat material maupun yang bersifat immaterial. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul Tanggung Jawab Perdata Maskapai Penerbangan Atas Tidak Diangkutnya Penumpang Dengan Alasan Melebihi Kapasitas Pesawat Udara (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 319/PDT/2013/PT.DKI). 1. Bagaimanakah peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata barat? 2. Bagaimanakah pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab pengangkut udara atas tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011? Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui bagaimana peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan diunduh 3 Juli

5 sebagai tindakan wanprestasi dan sebagai perbuatan melawan hukum menurut hukum perdata barat. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab pengangkut udara atas tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yudiris normatif yaitu penelitian hukum yang meneliti kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 7 Berdasarkan metode pengolahan dan analisis data, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif. Berdasarkan sudut bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian preskriptif. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder. Dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya maka data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: 8 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat di Indonesia. Bahan hukum primer pada penelitian ini ialah KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder pada penelitian ini ialah laporan penelitian, artikel ilmiah, buku, majalah, internet, dan makalah. 7 Sudikno Mertokusumo (a), Penemuan Hukum Suatu Pengantar, cet. 2. (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 14. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 33.

6 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier pada penelitian ini ialah kamus bahas Indonesia, kamus bahasa Inggris- Indonesia, kamus bahasa Belanda-Indonesia, kamus terminologi hukum, dan aneka istilah hukum. Kasus Posisi Budi Santoso selaku Penggugat adalah seorang Pegawai. Berdasarkan Surat Tugas Perjalanan Dinas Dalam Negeri, Penggugat diberi tugas untuk melakukan Perjalanan Dinas ke Makassar dan Manado dari tanggal Oktober Akan tetapi, karena Penggugat hendak merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 20 Oktober 2011 dan hari ulang tahun anaknya pada tanggal 21 Oktober 2011 maka Penggugat memohon kepada pimpinannya agar dapat kembali ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober Oleh karena itu, pada tanggal 13 Oktober 2011, Penggugat membeli tiket elektronik dengan Nomor Tiket untuk penerbangan tanggal 17 Oktober 2011 dari Jakarta ke Ujung Pandang dengan Nomor Penerbangan JT. 778, untuk penerbangan tanggal 18 Oktober 2011 dari Ujung Pandang ke Manado dengan Nomor Penerbangan JT. 749, dan untuk penerbangan tanggal 19 Oktober 2011 dari Manado ke Jakarta dengan Nomor Penerbangan JT Ketiga tiket penerbangan tersebut atas nama Penggugat sendiri yakni Budi Santoso. Pada tanggal 19 Oktober 2011 pukul WITA, Penggugat tiba di Bandara Samratulangi Manado untuk melakukan check in atas tiket miliknya. Setelah beberapa lama mengantri, tibalah giliran Penggugat untuk memvalidasi tiket miliknya dan pada saat itu, petugas yang melayani Penggugat menyatakan bahwa pesawat telah melebihi kapasitas. Selanjutnya, Penggugat diminta oleh petugas yang melayaninya untuk mengumpulkan e-ticket bersama dengan beberapa penumpang lain yang gagal diberangkatkan dalam penerbangan JT. 743, tetapi Penggugat menolak untuk mengumpulkan tiketnya. Dikarenakan tidak diangkutnya Penggugat dari Manado ke Jakarta dengan Lion Air maka Penggugat dan beberapa penumpang lain, yang juga tidak diangkut, mendesak pihak Lion Air untuk menjelaskan perihal tidak diangkutnya

7 mereka dengan cara meminta keterangan tertulis dari perwakilan Lion Air yang bertugas di Bandara Samratulangi Manado. Lalu, dikeluarkanlah surat keterangan yang menyatakan bahwasannya Penggugat tidak dapat diangkut karena alasan operasional yakni pesawat telah melebihi kapasitasnya dimana terjadi penggantian pesawat dari kapasitas 215 kursi menjadi 205 kursi. Alasan tersebut dirasa sangat tidak beralasan bagi Penggugat karena Penggugat telah memesan tiket penerbangan dan dibukukukan pada tanggal 13 Oktober 2011 atau 6 hari sebelum jadwal keberangkatan. Selanjutnya, Penggugat bersama penumpang lain, yang juga tidak diangkut, melakukan peneguran secara lisan kepada pihak Lion Air. Akan tetapi, karena pihak Lion Air tidak dapat memberi pemenuhan prestasi dan memberi jumlah kompensasi yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka Penggugat mencari maskapai penerbangan lain yang dapat membawa Penggugat ke Jakarta dan pada akhirnya Penggugat menggunakan maskapai Garuda Indonesia dengan penerbangan Nomor GA 067 yang memiliki jadwal keberangkatan pada keesokan harinya atau pada tanggal 20 Oktober Dimana selama menunggu penerbangan esok hari, Penggugat bersama beberapa penumpang lain, yang juga dinyatakan gagal berangkat, terpaksa harus bermalam di Bandara Samratulangi Manado. Dampak dari tidak diangkutnya Penggugat dari Manado ke Jakarta dirasa sangat merugikan Penggugat karena Penggugat tidak dapat berkumpul dengan istri dan kedua anaknya serta keluarga besarnya untuk ibadah dan/atau syukuran menjelang perayaan hari ulang tahun Penggugat. Dimana pada malam menjelang hari ulang tahun Penggugat atau pada tanggal 19 Oktober 2011 telah disiapkan jamuan makan malam bersama keluarga besar dengan jumlah 50 (lima puluh) orang. Hal tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan di keluarga besar Penggugat sehingga memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi Penggugat dan keluarga besarnya. Terhadap kejadian yang telah diuraikan di atas maka Budi Santoso selaku Penggugat mengajukan gugatan kepada PT. Lion Mentari Ar Lines yakni perusahaan angkutan udara yang mengoperasikan pesawat Lion Air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 12 Desember Pada tanggal 4 Juli 2012,

8 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan yakni putusan No. 506/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst, yang mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. Dikatakan demikian karena dalil gugatan Penggugat ialah perbuatan melawan hukum, tetapi majelis hakim justru memelintirnya menjadi wanprestasi dengan tetap mengabulkan gugatan Penguggat. PT. Lion Mentari Air Lines yang merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Pada akhirnya putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan No. 319/PDT/2013/PT.DKI pada tanggal 10 September Dimana Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta berpendapat bahwa Tergugat memang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang didalilkan Penggugat dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembahasan Sebelum kasus ini dikaitkan dengan tindakan wanprestasi, perlu diketahui apakah perjanjian pengangkutan udara yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat telah memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Penjelasannya sebagai berikut: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian berarti terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak di antara para pihak. 9 Pada kasus ini telah terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa Penggugat selaku konsumen pengguna jasa penerbangan bertindak sebagai pembeli yang menginginkan pengangkutan udara terhadap dirinya dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011, sedangkan Tergugat selaku pelaku usaha jasa penerbangan bertindak sebagai penjual yang menginginkan sejumlah uang pembayaran atas jasa pengangkutan udara yang dilakukannya. Dimana tidak terdapat paksaan, kekhilafan, maupun penipuan di antara kedua belah pihak saat mencapai kesepakatan berupa perjanjian pengangkutan udara. 9 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008), hlm. 129.

9 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Untuk membuat perjanjian, para pihak harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Selain manusia sebagai subyek hukum dikenal juga badan hukum sebagai subyek hukum. Pada kasus ini Sdr. Budi Santoso selaku Penggugat merupakan seseorang yang telah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sementara PT. Lion Mentari Airlines selaku Tergugat adalah suatu badan hukum yang juga cakap untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Mengenai suatu hal tertentu Hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya. 10 Pada kasus ini hal tertentu yang dimaksud ialah harga tiket penerbangan sebesar Rp ,- (dua juta delapan ratus dua puluh ribu rupiah) dan jasa berupa pengangkutan udara terhadap diri Penggugat pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta. 4. Suatu sebab yang halal Sebab halal yang dimaksud disini ialah isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pada kasus ini isi dari perjanjian pengangkutan udara adalah halal dan tidak membahayakan kepentingan umum. Tidak ada suatu hal terlarang yang diperjanjikan dalam perjanjian pengangkutan udara tersebut. Dengan demikian syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi sehingga perjanjian pengangkutan udara tersebut akan mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak. Selanjutnya, barulah dapat diketahui apakah memang kasus antara Penggugat dan Tergugat dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi. Dimana Hans Nieuwenhuis berpendapat bahwa: If a contract is not adequately fulfilled, the articles 6:74 and further apply, excluding the applicability of articles 6:162 and other (torts). Only when 10 Sri Soesilowati, Hukum Perdata;Suatu Pengantar, cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 143.

10 not adequately performing a contractual obligation constitutes a tort in itself, independent of the terms of the contract, can the articles about torts be applied to the execution of contracts. 11 Pendapat Hans Nieuwenhuis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. A dan B merupakan tetangga yang telah membuat sebuah perjanjian. Mengingat rumah A dan B saling bersebelahan dan akses jalan terdekat yang dapat B lalui agar dapat keluar dari wilayah rumahnya ialah dengan melewati pekarangan rumah A maka perjanjian yang mereka buat berisi larangan bagi A untuk mendirikan pagar di antara rumah A dan B. Akan tetapi, sebulan kemudian A justru mendirikan pagar di antara rumah A dan B sehingga B tidak dapat menikmati akses jalan terdekat untuk keluar dari wilayah rumahnya dan harus melalui akses jalan lain yang notabenenya berjarak lebih jauh. 2. A melakukan sewa terhadap rumah B. Setelah jangka waktu sewa rumah berakhir, B menemukan banyak kerusakan yang dibuat oleh A terhadap rumah sewa tersebut. Menurut Hans Nieuwenhuis, pada kasus 1 sebenarnya tidak ada aturan hukum yang melarang A untuk mendirikan pagar di sekitar rumah miliknya sehingga B hanya dapat menyatakan bahwa A telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan isi dari perjanjian yang mereka buat yang melarang A untuk mendirikan pagar di antara rumah A dan B. Sementara pada kasus 2, B dapat memilih apakah akan menyatakan bahwa A telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak bertindak sebagai seorang bapak rumah yang baik selayaknya seorang penyewa rumah seharusnya bertindak atau akan menyatakan bahwa A telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan isi dari perjanjian sewa menyewa yang melarang A untuk merusak rumah sewa. Pada kasus ini apabila dikaitkan dengan pendapat Hans Nieuwenhuis maka sebenarnya tidak terdapat aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mewajibkan Tergugat selaku pengangkut udara untuk mengangkut Penggugat selaku konsumen jasa penerbangan dalam penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta. Dimana kewajiban Tergugat 11 Hans Nieuwenhuis, Tort, (Februari, 2010): 1.

11 selaku pengangkut udara untuk mengangkut Penggugat selaku konsumen jasa penerbangan dalam penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta hanya lahir dari perjanjian pengangkutan udara yang telah disepakati antara Penggugat dan Tergugat. Dengan demikian, apabila kasus ini dikaitkan dengan pendapat dari Hans Neuwenhuis maka kasus ini digolongkan sebagai tindakan wanprestasi dan Penggugat hanya dapat menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi karena telah tidak melaksanakan isi perjanjian pengangkutan udara dengan tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta. Meskipun demikian, pada prakteknya adanya hubungan kontraktual tidak menghalangi diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum. Pada mulanya hal ini tidak terlepas dari keberadaan kasus Lindenbaum melawan Cohen. Keberadaan kasus Lindenbaum melawan Cohen telah memperluas pengertian perbuatan melawan hukum. Dimana kasus Lindenbaum melawan Cohen telah mempengaruhi berbagai kasus di Indonesia sehingga pada prakteknya di Indonesia adanya hubungan kontraktual tidak lagi menghalangi seseorang untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Di Indonesia hal tersebut dimungkinkan sejak adanya kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd. Dimana Lee Kum Kee Co Ltd dianggap melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak sehingga PT. Dua Berlian menganggap Lee Kum Kee Co Ltd telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mengakhiri perjanjian secara sepihak dan menunjuk distributor lain, tetapi putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Menurut Mahkamah Agung tindakan Tergugat bertentangan dengan asas kepatutan dan moral serta bertentangan dengan kewajiban hukum Tergugat. Tindakan Tergugat telah merugikan Penggugat yang beritikad baik. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd dapat terlihat bahwa adanya hubungan kontraktual tidak menjadikan tertutupnya kemungkinan salah satu pihak untuk menyatakan pihak lainnya telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian,

12 pada kasus antara Budi Santoso selaku Penggugat dengan PT. Lion Mentari Airlines selaku Tergugat apabila dikaitkan dengan pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd maka tindakan PT. Lion Mentari Airlines selaku Tergugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dapat terjadi karena tindakan Tergugat yang telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 tujuan Manado ke Jakarta dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara merupakan perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian karena seharusnya Tergugat telah mengetahui bahwa pesawat yang akan diterbangkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi, tetapi tiket yang diperjualbelikan oleh Tergugat justru sebanyak 215 buah, yang mana salah satu tiket yang diperjualbelikan tersebut telah dibeli Penggugat pada tanggal 13 Oktober 2011 atau 6 hari sebelum jadwal penerbangan. Dengan kata lain, Tergugat tidak seharusnya menjual tiket penerbangan kepada Penggugat selaku pengguna jasa penerbangan ketika Tergugat telah mengetahui bahwa tiket yang diperjualbelikan melebihi kapasitas kursi yang terdapat di dalam pesawat. Tindakan Tergugat tersebut dapat pula dianggap sebagai itikad buruk. Selanjutnya, penting untuk diketahui apakah tindakan Tergugat telah memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata sehingga dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Penjelasannya sebagai berikut: 1. Adanya suatu perbuatan Perbuatan yang dimaksud disini ialah perbuatan secara aktif maupun perbuatan secara pasif. Pada kasus ini tindakan Tergugat yang telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya merupakan perbuatan pasif karena Tergugat dianggap telah melakukan perbuatan diam atau tidak berbuat sesuatu, sedangkan tindakan Tergugat yang menjual tiket penerbangan melebihi kapasitas fisik pesawat merupakan perbuatan aktif yang telah merugikan orang lain.

13 2. Perbuatan tersebut melawan hukum Secara luas, definisi melawan hukum mencakup empat kriteria perbuatan yang melawan hukum antara lain a) Melanggar hak subjektif orang lain; b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; c) Bertentangan dengan kaedah kesusilaan; d) Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. 12 Pada kasus ini tindakan Tergugat dianggap bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehatian-hatian yang seharusnya dimiliki Tergugat selaku pengangkut udara dalam hubungannya dengan Penggugat selaku pengguna jasa penerbangan karena seharusnya Tergugat telah mengetahui bahwa pesawat yang akan diterbangkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi, tetapi tiket yang diperjualbelikan oleh Tergugat justru pesawat yang berkapasitas 215 kursi, yang mana salah satu tiket yang diperjualbelikan tersebut telah dibeli Penggugat pada tanggal 13 Oktober 2011 atau 6 hari sebelum jadwal penerbangan. Hal ini terjadi tidak terlepas karena kriteria bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian merupakan kriteria perbuatan yang melawan hukum yang paling luas dan paling banyak dipergunakan dalam yurisprudensi Adanya kesalahan dari pihak pelaku Kesalahan dapat berarti kesalahan dalam arti luas dimana terdapat kealpaan dan kesengajaan serta kesalahan dalam arti sempit yang hanya berupa kesengajaan. 14 Pada kasus ini, Tergugat dianggap telah melakukan kesengajaan karena Tergugat mengetahui bahwa pesawat yang akan diberangkatkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi, tetapi tiket yang diperjualbelikan justru pesawat yang berkapasitas 215 kursi. Hal ini seyogyanya telah disadari oleh 12 Setiawan (a), Empat Kriteria Melawan Hukum dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. dalam Varia Peradilan No.16 Th II, (Jakarta: 1987), hlm Setiawan (b), Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 66.

14 Tergugat bahwa akan menimbulkan konsekuensi tertentu, baik terhadap fisik dan/atau mental maupun harta benda 10 penumpang, termasuk didalamnya Penggugat, yang nyatanya tidak akan dapat diangkut pada penerbangan JT. 743 karena melebihi kapasitas pesawat udara. 4. Adanya kerugian korban Dalam perbuatan melawan hukum dikenal dua jenis kerugian yakni kerugian materiil dan kerugian immateril. 15 Pada kasus ini, Penggugat telah dirugikan, baik secara material maupun immaterial. Secara material, kerugian Penggugat meliputi tiket Lion Air yang tidak memberangkatkan dirinya, tiket Garuda sebagai tiket pengganti, biaya pulsa, biaya makan, biaya transportasi, dan biaya konsumsi ulang tahun. Secara immaterial, Penggugat menyatakan bahwa kerugian yang dideritanya meliputi hilangnya waktu, tersitanya tenaga dan pikiran selama Penggugat bermalam di bandara, hilangnya kebersamaan dan nilai-nilai spiritual dengan keluarga untuk berkumpul bersama pada saat menjelang perayaan hari ulang tahunnya, serta perubahan jadwal untuk bertemu rekan bisnis, yang telah membuat kepercayaan rekan bisnis terhadap Penggugat menjadi dipertaruhkan dan menjadikan terbengkalainya pekerjaan. 5. Adanya kausalitas antara perbuatan dengan kerugian Yang dimaksud dengan kausalitas ialah adanya hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya tersebut. Pada kasus ini, kausalitas antara perbuatan dengan kerugian jelas ada dimana tindakan tergugat yang telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya karena alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya dimana Tergugat telah menjual tiket penerbangan melebihi kapasitas fisik pesawat telah menyebabkan Penggugat mengalami kerugian, baik secara material maupun secara immaterial. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tindakan Tergugat telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat pada Pasal Munir Fuadi, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Mandiri, 2002), hlm. 13.

15 KUHPerdata sehingga pada kasus ini, tindakan Tergugat dapat pula digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Selanjutnya, pada kasus ini, Tergugat telah tidak mengangkut Penggugat pada penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan tujuan Manado ke Jakarta karena pesawat telah melebihi kapasitasnya. Pasal 147 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 merupakan salah satu pasal yang mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang atas tidak terangkutnya penumpang karena alasan kapasitas pesawat udara. Pasal tersebut berbunyi: Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka pada kasus ini, Tergugat selaku pengangkut udara dianggap bertanggung jawab atas tidak diangkutnya Penggugat selaku penumpang pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 mengatur mengenai ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh pengangkut kepada penumpang atas tidak diangkutnya penumpang karena alasan kapasitas pesawat udara. Pasal tersebut berbunyi: Terhadap tidak terangkutnya penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian berupa: a. Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau b. Memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka pada kasus ini, Tergugat diwajibkan untuk memberi ganti rugi terhadap Penggugat atas tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Ganti rugi yang diberikan berupa pengalihan Penggugat ke penerbangan lain tanpa kewajiban

16 membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak dimungkinkan untuk mengalihkan Penggugat ke penerbangan lain. Melalui kesaksian beberapa orang saksi, yang notabenenya merupakan penumpang yang juga tidak diangkut pada penerbangan JT. 743, diketahui bahwa Tergugat telah menawari kompensasi berupa penginapan, transportasi, makan, dan pengalihan ke penerbangan lain pada keesokan harinya atau pada tanggal 20 Oktober 2011, tetapi Penggugat menolak untuk menerima kompensasi tersebut. Penulis berpendapat bahwa alasan Penggugat menolak pemberian kompensasi yang ditawarkan oleh Tergugat ialah karena Penggugat khawatir akan terjadi pelepasan hak (rechtsverwerking). Yang dimaksud dengan pelepasan hak (rechtsverwerking) ialah suatu sikap dari pihak kreditur yang dapat disimpulkan oleh pihak debitur bahwa pihak kreditur tidak akan menuntut ganti rugi kepada pihak debitur. 16 Dengan demikian, dikhawatirkan apabila Penggugat menerima kompensasi yang ditawarkan oleh Tergugat maka Tergugat akan menyimpulkan bahwa Penggugat tidak lagi memperdulikan haknya untuk memperoleh ganti rugi selain yang ditawarkan oleh pihak Tergugat sehingga apabila kemudian Penggugat menuntut ganti rugi maka dikhawatirkan hakim tidak akan menerima tuntutan ganti rugi tersebut. Dimana pada nyatanya dalam hal penumpang yang dirugikan merasa tidak puas atas besaran ganti rugi yang di atur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 maka penumpang dapat menuntut ganti rugi lainnya melalui pengadilan, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun Adapun prinsip tanggung jawab yang digunakan atas peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara ialah prinsip tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) sehingga pada kasus ini Tergugat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul pada diri 16 diunduh pada 5 Juli /bagaimana-cara-menuntut-ganti-kerugian-dari-maskapai-penerbangan?-, diunduh pada 5 Juli 2014.

17 Penggugat atas peristiwa tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Menurut prinsip ini, Tergugat hanya terikat memberi ganti rugi sebesar jumlah yang telah ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011, yakni ganti rugi berupa pengalihan Penggugat ke penerbangan lain tanpa kewajiban membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak dimungkinkan untuk mengalihkan Penggugat ke penerbangan lain. Akan tetapi, dikarenakan Tergugat terbukti telah melakukan kesalahan yang disengaja dimana tiket yang diperjualbelikan ialah sebanyak 215 buah padahal Tergugat mengetahui bahwa pesawat yang akan diberangkatkan dari Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011 berkapasitas 205 kursi maka Tergugat harus bertanggung jawab secara tidak terbatas terhadap kerugian yang dialami Penggugat, baik material maupun immaterial. Dengan kata lain, Tergugat tidak lagi terikat dengan jumlah ganti rugi yang ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi utamanya apabila dikaitkan dengan pendapat dari Nieuwenhuis dan dapat pula digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum apabila dikaitkan dengan pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus PT. Dua Berlian melawan Lee Kum Kee Co Ltd yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun terdapat hubungan kontraktual di antara para pihak, tetapi apabila tindakan salah satu pihak terbukti bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian maka salah satu pihak tersebut dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Lebih jauh lagi, tindakan Tergugat juga telah

18 memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata. 2. Berdasarkan Pasal 147 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, Tergugat dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 sesuai dengan jadwal penerbangan yang seharusnya dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara dimana menurut Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun 2011 Tergugat wajib untuk memberi ganti rugi berupa pengalihan Penggugat ke penerbangan lain tanpa kewajiban membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak dimungkinkan untuk mengalihkan Penggugat ke penerbangan lain. Sementara implementasi prinsip tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) pada kasus ini ialah Tergugat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul pada diri Penggugat atas peristiwa tidak diangkutnya Penggugat pada penerbangan JT. 743 dengan alasan pesawat telah melebihi kapasitasnya. Dimana Tergugat hanya terikat memberi ganti rugi sebesar jumlah yang telah ditetapkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 Jo. Peraturan Menteri Perhubungan No. 92 Tahun Akan tetapi, dikarenakan pada kasus ini Tergugat telah terbukti melakukan kesalahan yang disengaja dengan menjual tiket melebihi kapasitas fisik pesawat udara maka Tergugat harus bertanggung jawab secara tidak terbatas terhadap kerugian yang dialami Penggugat, baik secara material maupun secara immaterial. Saran Beberapa saran yang dapat penulis berikan terkait penelitian ini antara lain: 1. Perlu adanya definisi serta pengaturan yang lebih jelas terkait peristiwa tidak diangkutnya penumpang dengan alasan melebihi kapasitas pesawat udara sehingga kepastian hukum bagi penumpang dapat lebih

19 terjamin, mengingat peristiwa ini berbeda dengan peristiwa keterlambatan penerbangan dan peristiwa pembatalan penerbangan. 2. Perlu kecermatan hakim dalam memutus setiap perkara sehingga hakim dapat menghindari kesalahan sebagaimana yang terjadi pada kasus ini dimana Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan ultra petita dengan tetap mengabulkan gugatan Penggugat, tetapi dengan melakukan perubahan redaksi dari perbuatan melawan hukum menjadi wanprestasi. Daftar Referensi Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Jakarta: CV. Gitama Jaya, Djojodirdjo, Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, Fuadi, Munir. Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Mandiri, Nieuwenhuis, Hans. Tort. (Februari, 2010): 1. Diunduh 3 Juli /bagaimana-cara-menuntut-ganti-kerugian-dari-maskapaipenerbangan?-. Diunduh 5 Juli Diunduh 5 Juli 2014.

20 Indonesia, Undang-undang Penerbangan. UU No. 1 Tahun LN No. 1 Tahun Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional. Cet. 1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia. Bandung: Mandar Madju, Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Cet. 2. Yogyakarta: Liberty, Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, Setiawan. Empat Kriteria Melawan Hukum dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Dalam Varia Peradilan No. 16 Th II. Jakarta: Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. 14. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Soesilawati, Sri. Hukum Perdata; Suatu Pengantar. Cet. 1. Jakarta: Gitama Jaya, Wiradipradja, E. Saefullah. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Indonesia. Jakarta: 2006.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan dan pihak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan penulis tentang permasalahan mengenai maskapai penerbangan, penulis memberikan kesimpulan atas identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Hubungan hukum

Lebih terperinci

Oleh : Ari Agung Satrianingsih I Gusti Ayu Puspawati Dewa Gde Rudy Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Oleh : Ari Agung Satrianingsih I Gusti Ayu Puspawati Dewa Gde Rudy Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana. TANGGUNG JAWAB PT. LION MENTARI AIRLINES SEBAGAI PENYEDIA JASA PENERBANGAN KEPADA KONSUMEN AKIBAT ADANYA KETERLAMBATAN ATAU PEMBATALAN JADWAL PENERBANGAN (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR 641/PDT.G/2011/PN.DPS)

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM ATAS HILANGNYA BAGASI TERCATAT ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM ATAS HILANGNYA BAGASI TERCATAT ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM ATAS HILANGNYA BAGASI TERCATAT ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 820 K/PDT/2013) Oleh: Lina Liling Fakultas Hukum Universitas Slamet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN.  hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dalam era globalisasi ini semakin menuntut tiap negara untuk meningkatkan kualitas keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka agar

Lebih terperinci

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH MASKAPAI PENERBANGAN TERKAIT PEMBATALAN DAN KETERLAMBATAN PENGANGKUTAN

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH MASKAPAI PENERBANGAN TERKAIT PEMBATALAN DAN KETERLAMBATAN PENGANGKUTAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH MASKAPAI PENERBANGAN TERKAIT PEMBATALAN DAN KETERLAMBATAN PENGANGKUTAN ABSTRACT Oleh: Ida Bagus Bayu Mahardika I Ketut Sandhi Sudarsana Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan yang diukur dari pertumbuhan penumpang udara.1

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan yang diukur dari pertumbuhan penumpang udara.1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi udara sekarang ini mengalami perkembangan pesat, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya perusahaan atau maskapai penerbangan yang melayani jasa penerbangan

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3)

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3) TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG MASKAPAI GARUDA INDONESIA YANG MENGALAMI KETERLAMBATAN PENERBANGAN DI BANDARA UDARA INTERNASIONAL ADI SOEMARMO SOLO Sri Sutarwati 1), Hardiyana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan ketepatan, maka jasa angkutan udara sangatlah tepat karena ia merupakan salah satu transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat pada era modern saat ini di dalam aktivitasnya dituntut untuk memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id 43 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Keperdataan atas Keterlambatan Jadwal Penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pengangkutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang didapat oleh penulis dari penyelesaian sengketa pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). 1 Pernyataan tersebut secara

Lebih terperinci

Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni

Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni TANGGUNG JAWAB KEPERDATAAN DALAM PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN UDARA ATAS KETERLAMBATAN JADWAL PENERBANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN Shinta Nuraini Snuraini@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyelenggaraan ibadah haji dan umroh merupakan tugas nasional karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyelenggaraan ibadah haji dan umroh merupakan tugas nasional karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan ibadah haji dan umroh merupakan tugas nasional karena jumlah jemaah haji dan umroh Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini masyarakat memiliki mobilitas yang tinggi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Untuk mendukung mobilitas tersebut dibutuhkan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Listrik merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Sejak adanya listrik manusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, yang menonjol adalah

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI Oleh Fery Bernando Sebayang I Nyoman Wita Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Sales Returns

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website : ANALISA YURIDIS KASUS GUGATAN WANPRESTASI TERHADAP PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ( PPJB ) TANAH ( STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 280 K /Pdt/2006 ) Andhita Mitza Dwitama*, Suradi, Herni Widanarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain

Lebih terperinci

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia pembangunan meningkat setiap harinya, masyarakat pun menganggap kebutuhan yang ada baik diri maupun hubungan dengan orang lain tidak dapat dihindarkan.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian 19 BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatanperikatan

Lebih terperinci

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI Harumi Chandraresmi (haharumi18@yahoo.com) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pranoto (maspran7@gmail.com) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan kegiatan pendukung bagi aktivitas masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 17 Juni 2013 menjatuhkan putusan batal demi hukum atas perjanjian yang dibuat tidak menggunakan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memegang peranan penting dalam pembangunan. Teknologi. menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (bordeless) dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. yang memegang peranan penting dalam pembangunan. Teknologi. menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (bordeless) dan menyebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era teknologi telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan, termasuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memegang peranan penting

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN APABILA TERJADI KECELAKAAN AKIBAT PILOT MEMAKAI OBAT TERLARANG

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN APABILA TERJADI KECELAKAAN AKIBAT PILOT MEMAKAI OBAT TERLARANG TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN APABILA TERJADI KECELAKAAN AKIBAT PILOT MEMAKAI OBAT TERLARANG Oleh Cok Istri Ida Andriani I Wayan Parsa Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Konsumen memerlukan barang dan jasa dari pelaku usaha guna memenuhi keperluannya. Sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kuota jemaah haji dan umrah terbanyak yang diberikan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dengan kuota jemaah haji dan umrah terbanyak yang diberikan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hingga tahun 2016, tercatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kuota jemaah haji dan umrah terbanyak yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi. Setiap tahunnya,

Lebih terperinci

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI ELECTRONIC BILL PRESENTMENT AND PAYMENT DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Perlindungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perlindungan Konsumen Penumpang Pesawat Terbang. a. Pengertian Pelindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perlindungan Konsumen Penumpang Pesawat Terbang. a. Pengertian Pelindungan Konsumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Perlindungan Konsumen Penumpang Pesawat Terbang a. Pengertian Pelindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan hubungan tersebut tentunya berbagai macam cara dan kondisi dapat saja

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan hubungan tersebut tentunya berbagai macam cara dan kondisi dapat saja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam kehidupannya pasti mengadakan hubungan dengan orang lain, baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan masyarakat atau tempat bekerja.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB OPERATOR SELULER TERHADAP PELANGGAN SELULER TERKAIT SPAM SMS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB OPERATOR SELULER TERHADAP PELANGGAN SELULER TERKAIT SPAM SMS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB OPERATOR SELULER TERHADAP PELANGGAN SELULER TERKAIT SPAM SMS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut juga berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut juga berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi telah mendorong berbagai perubahan pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut juga berpengaruh terhadap meningkatnya perdagangan barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhannya adalah transportasi udara. Transportasi udara merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhannya adalah transportasi udara. Transportasi udara merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis transportasi yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah transportasi udara. Transportasi udara merupakan alat transportasi

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, perkembangan aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan

Lebih terperinci

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps )

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps ) WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps ) Oleh: Ayu Septiari Ni Gst. Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara 1 merupakan sarana perhubungan yang cepat dan efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. Pesawat udara memiliki karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kata rumah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mahal, padahal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, serta analisis yang telah penulis lakukan, berikut disajikan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN

PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN I Made Milan Diasta, Suharnoko, Abdul Salam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 E-mail:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN ATAS PENUNDAAN PENERBANGAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN PADA PENUMPANG (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 42/PDT.G/2012/PNJKT.PST ANTARA ROLAS BUDIMAN SITANJAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan hidup yang tidak kalah penting di era globalisasi ini adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling mengirim barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan dan kesatuan serta mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN. SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.Klt) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN Oleh: Yulia Dewitasari Putu Tuni Cakabawa L. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This

Lebih terperinci

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan Pemasok Dalam kamus istilah keuangan dan perbankan disebutkan bahwa : Consgnment

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hakhak, dan kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya lembaga keuangan di Indonesia dibedakan atas dua bagian, yakni lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank, namun dalam praktek sehari-hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat

BAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gamelan merupakan alat musik tradisional yang berasal dari daerah jawa, kemudian alat musik ini digunakan sebagai hiburan seperti acara perkawinan maupun acara-acara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci