BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional dalam perkembangannya bergerak secara dinamis sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum internasional telah melahirkan suatu organisasi internasional yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lembaga yang lahir pada 24 Oktober 1945 di San Fransisco merupakan organisasi internasional yang sangat dominan dalam halnya menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Organisasi internasional diakui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Advisory Opinion 1 Mahkamah Internasional berkaitan dengan status PBB. 2 PBB telah meletakkan framework konstitusionalnya pada instrumen pokok yaitu Piagam dengan tekad semua anggota PBB menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia. 3 1 Advisory Opinion merupakan kewenangan dari Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat hukum atas suatu permasalahan hukum yang dihadapi. Dasar kewenangan memberikan pendapat hukum ada pada Pasal 96 Piagam PBB yang menentukan: (1) The General Assembly or the Security Council may request the Internastional Court of Justice to give an advisory opinion on any legal question. (2) Others organs of the United Nations and specialized agencies, which may at any time be authorized by the General Assembly, may also request advisory opinions of the Court on legal questions arising within the scope of their activities. 2 Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm Sumaryo Suryokusumo, 1987, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, hlm. 1. 1

2 PBB memiliki enam organ utama, yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Sekretaris Jenderal. Organ utama PBB yang mendapat mandat untuk menjalankan perdamaian dan keamanan internasional adalah Dewan Keamanan. Mandat tersebut secara tertulis terdapat pada Pasal 24 Piagam PBB yang menetapkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka negara-negara anggota menyerahkan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab yang utama, yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan juga menyetujui bahwa Dewan Keamanan bertindak atas nama negara-negara anggota PBB. Dalam menjalankan kewajiban tersebut, Dewan Keamanan harus bertindak sesuai dengan tujuan didirikannya PBB. Adapun tanggung jawab Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VI dan Bab VII Piagam PBB, adalah menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai, yaitu dengan cara yang didasarkan atas persetujuan sukarela atau paksaan hukum dalam menjalankan persetujuan, menentukan adanya ancaman perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, dan tindakan agresi serta mengambil tindakan-tindakan terhadap ancaman perdamaian. Dalam sistem PBB, organ utama seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan dapat mengeluarkan resolusi yang masing-masing organ memiliki sifat resolusi yang berbeda. Resolusi Majelis Umum ada yang bersifat rekomendatif namun ada pula yang bersifat mengikat seperti resolusi mengenai penerimaan anggota PBB, sedangkan resolusi 2

3 Dewan Keamanan memiliki kekuatan mengikat (legally binding) sebagaimana yang diatur pada Pasal 25 Piagam PBB. Kemudian kekuatan mengikat Resolusi Dewan Keamanan PBB diperluas dengan ketentuan Pasal 2 ayat (6) yang menetapkan bahwa resolusi Dewan Keamanan selain mengikat negara anggota juga non anggota, mengikat bagi non anggota jika resolusi berisi aturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Pada penulisan ini akan dibahas mengenai Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 yang memberikan beberapa mandat yang salah satunya adalah mengenai jaminan perlindungan hak-hak pengungsi Timor Timur yang direlokasi. Dalam resolusi ini disebutkan bahwa Dewan Keamanan menyambut dengan baik komitmen pemerintah Indonesia untuk memberikan pilihan kepada pengungsi dan rakyat yang direlokasi di Timor Barat dan tempat-tempat lain di wilayah Indonesia untuk memilih apakah mereka ingin kembali ke wilayah Timor Timur, tetap tinggal di lokasi sekarang atau direlokasi ke tempat lain di Indonesia serta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah langsung dan efektif supaya menjaminkan pulang kembalinya pengungsi di Timor Barat dan di tempat-tempat lain di wilayah Indonesia ke wilayah Timor Timur, keamanan para pengungsi, suasana sipil dan kemanusiaan pos-pos pengungsi dan tempat kediamannya. Timor-Timur yang sekarang dikenal dengan Timor Leste merupakan wilayah jajahan Portugis. Orang Portugis mulai berdagang di pulau Timor pada 3

4 awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuatlah perjanjian pada tahun 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu kepada Belanda. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya. Pada tahun 1975, terjadi Revolusi Bunga di Portugal. Pada saat itu, Timor Timur juga sedang bergejolak akibat perang saudara. Gubernur Portugal yang 5 terakhir di Timor Timur, Lemos Pires, meminta Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Timur. 4 Pada 28 November 1975, Frente Revolucionária de Timor Leste Independente (Fretilin) menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Timur sebagai Republik Demokratik Timor Leste. Namun, deklarasi itu tidak mewakili semua suara rakyat Timor Timur. Mereka menolak konsep kemerdekaan yang disuarakan oleh Fretilin dengan alasan bahwa Fretilin merupakan partai yang berhaluan komunis. Selain itu, aktor-aktor utama Fretilin adalah orang-orang Portugis. 5 Oleh karena itu, tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan oleh Fretilin, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Kelompok pro-integrasi meminta dukungan pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari 4 East Timor Government, History of East Timor, diakses pada tanggal 22 Januari Ibid. 4

5 kekuasaan Fretilin. Indonesia masuk ke Timor Timur dengan alasan yang cukup kuat, dimana beberapa bulan sebelumnya Vietnam dan Kamboja baru saja jatuh ke tangan komunis dan dengan berdirinya Republik Demokratik Timor Leste yang beraliran komunis dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi Indonesia. Terintegrasinya Timor Timur dengan Indonesia pada waktu itu mendapat dukungan dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Akan tetapi, PBB tidak pernah mengakui integrasi tersebut sampai dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Bahkan PBB memberikan status non-self governing territory atas Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dengan dua opsi, yaitu tetap bergabung dengan Indonesia dengan hak otonomi khusus atau lepas dari Indonesia dan menjadi sebuah negara baru. Referendum ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga hasil bentukan dari Resolusi Dewan Keamanan, yaitu United Nations Mission for East Timor (UNAMET) dan United Nations Transition Administrative in East Timor (UNTAET). PBB mengumumkan hasil referendum tersebut pada 4 September 1999, yakni 78,5% menginginkan Timor Timur berdiri menjadi negara baru yang merdeka dan 21,5% ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia. 6 Arus pengungsi Timor Timur bertambah setelah hasil jajak pendapat diumumkan. Masalah pengungsi ini hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya masih banyak pengungsi Timor Timur yang berada di Indonesia belum memiliki hidup yang 6 Anwar, 2004, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm

6 layak. 7 Misalnya saja di kamp pengungsi Oebelo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, setelah 13 tahun berada dalam kamp tersebut masih menghadapi kesulitan pemulangan pengungsi ke Timor Leste. Kendala pendanaan untuk hidup yang layak dan transportasi pemulangan ke negara asal yang susah menjadikan para pengungsi semakin tidak jelas nasibnya. 8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemenuhan mandat tentang relokasi dan pemulangan kembali pengungsi dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 oleh Indonesia? 2. Mengapa Indonesia hingga saat ini belum melaksanakan pemenuhan hak bagi pengungsi yang masih ada di kamp pengungsi? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Penelitian ini secara objektif bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, menelaah, dan memahami pemenuhan mandat tentang pengungsi dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 7 Lukman Hakim Suhdi, Eurico Guterres: Nasib Warga Eks Timor Timur Lebih Buruk Ketimbang Pemberontak, diakses pada 6 Juli Jemris Fointuna, 15 Eks Pengungsi Pulang ke Timor Leste, diakses pada 6 Juli

7 1999 oleh Indonesia serta mengetahui alasan belum terpenuhinya hak para pengungsi yang ada di kamp pengungsi. 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, adanya penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kajian ilmu hukum khususnya di bidang hukum internasional. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi khususnya dalam hukum internasional. E. Keaslian Penelitian Penelusuran terhadap penelitian dan karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini telah dilakukan. 7

8 Berdasarkan hasil penelusuran dan telaah pustaka, belum ditemukan permasalahan yang sama dengan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini. Adapun penelitian yang mempunyai persamaan variabel penelitian adalah sebagai berikut. 1. Yohanes Bernando Seran, Tanggung Jawab Negara Indonesia Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Untuk Penduduk Bekas Provinsi Timor Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penulisan disertasi ini mengangkat tiga permasalahan terkait penduduk bekas Timor Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur. Rumusan masalah tersebut yaitu mengenai status hukum penduduk bekas provinsi Timor Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur, mengenai tanggung jawab negara Indonesia terhadap penduduk bekas Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, dan mengenai norma hukum organisasi internasional dalam penyelesaian masalah penduduk bekas Timor Timur di Nusa Tenggara Timur. Pembahasan dalam disertasi ini memiliki banyak persamaan dan perbedaan dengan pembahasan yang diuraikan dalam penulisan tesis ini. Persamaan tersebut ada pada kesamaan obyek penelitian yaitu para pengungsi Timor Timur dengan perbedaan istilah di masing-masing penulisan, kemudian persamaan pembahasan 8

9 mengenai perlindungan hukum oleh pemerintah Indonesia dan peran organisasi internasional dalam menangani masalah ini. Perbedaan mendasar dengan penulisan ini adalah dasar analisis yang digunakan. Dalam disertasi tersebut analisis yang digunakan adalah mengenai tanggung jawab negara sebagai subjek hukum iternasional, sedangkan dalam tesis ini yang digunakan adalah kekuatan mengikatnya suatu resolusi Dewan Keamanan terhadap negara anggota PBB. 2. Pricilia Prisca, The Implementation of Non-Refoulement Principle by Indonesia As a Non-State Party of The 1951 Geneva Convention Relating to The Status of Refugees. Tesis tersebut menguraikan penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia. Penerapan asas tersebut diulas secara komprehensif oleh penulis, dimulai dengan menguraikan instrumen-instrumen baik nasional maupun internasional terkait dengan pengungsi. Dalam uraian tesis ini disebutkan bagaimana Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia belum meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol Meski demikian penerapan dari prinsip non-refoulement yang merupakan prinsip yang menegakkan perikemanusiaan ini tetap dijalankan oleh Indonesia. 9

10 Penerapan prinsip non-refoulement ini tampak pada beberapa peristiwa yang mana Indonesia melaksanakan prinsip tersebut, yaitu pada 1979 pada peristiwa Galang islands dan yang baru-baru ini dilakukan oleh Indonesia terhadap pengungsi Rohingya di Aceh. Pada kesimpulan tesis ini disimpulkan bahwa Indonesia telah menerapkan prinsip non-refoulement demi perikemanusiaan. Perbedaan dengan pembahasan penulisan pada bab selanjutnya pada tesis ini adalah obyek pembahasan yang mana berfokus pada penerapan prinsip non-refoulement di Indonesia, sedangkan tesis ini membahas mengenai pemenuhan mandat relokasi dan pemulangan kembali pengungsi Timor Timur. 3. A. Yuan Anggito, Upaya Pembatalan Pemberian Visa Perlindungan (Protection Visa) oleh Pemerintah Australia Terhadap Pengungsi Asal Sri Lanka Ditinjau Dari Aspek Hukum Pengungsi Internasional. Dalam penulisan skripsi tersebut, pokok permasalahannya adalah mengenai prosedur pemberian temporary protection visa bagi pengungsi di Australia dan mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Australia tanggal 5 Oktober 2012 terhadap pengungsi asal Sri Lanka tentang pembatalan pemberian visa perlindungan telah 10

11 memenuhi standar perlindungan hak terhadap pengungsi berdasarkan hukum pengungsi internasional. Penulis skripsi tersebut menyimpulkan bahwa Australia mewujudkan penegakan hukum pengungsi internasional dalam hukum nasionalnya dengan menentukan kriteria-kriteria mengenai pembatalan dan penolakan visa perlindungan. Australia membagi kriteria tersebut menjadi dua yaitu kriteria umum dan kriteria khusus. Menurut penulis skripsi ini, sebagai negara yang berdaulat, Austalia berhak untuk menerapkan kebijakannya di wilayah yurisdiksinya yang dalam hal ini adalah mengenai penanganan orang asing. Namun dalam perspektif internasional, Australia dianggap melanggar beberapa pasal dalam Konvensi 1951 dan Protocol Jacinta Lucia Paulo Cardoso, Pilihan Pengungsi Timor Timur Menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Skripsi yang ditulis oleh mahasiswa jurusan hubungan internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta ini mengangkat satu rumusan masalah, yaitu mengapa pengungsi Timor Timur memilih untuk menjadi warga negara Indonesia. Pembahasan atas rumusan masalah tersebut dimulai dengan diuraikannya dinamika sosial politik di Timor Timur kemudian alasan para pengungsi memilih menjadi warga negara Indonesia. Dalam 11

12 pembahasan skripsi ini rumusan masalah dijawab dengan adanya dua alasan pengungsi Timor Timur memilih untuk jadi warga negara Indonesia karena pertimbangan rasional berdasarkan fakta keamanan di Timor Timur dan pertimbangan fakta sosial ekonomi di Timor Timur dan Indonesia. Perbedaan tulisan tersebut dengan penulisan ini adalah masalah yang diulas oleh masing-masing penulis. Meskipun dengan obyek yang sama yaitu pengungsi Timor Timur, namun pokok permasalahan yang dibahas berbeda sehingga analisis yang digunakan pun berbeda. 5. Cesar Antonio Munthe, Penerapan Asas Non Refoulement Dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan Dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia (Pasca Referendum Tahun 1999). Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta ini menulis skripsi dengan judul tersebut pada tahun 2011 dengan pokok permasalahan mengenai penerapan asas non refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 terkait pengungsi Timor Leste di Indonesia pasca referendum Skripsi ini membahas mengenai asas non refoulement secara umum dan juga penerapan serta upaya pemerintah Indonesia dalam menerapkan asas non refoulement dan dalam penanganan pengungsi Timor Leste. 12

13 Meskipun memiliki persamaan pada variabel bebas penelitian yaitu mengenai pengungsi Timor Timur, namun variabel terikat penelitian masing-masing penulis memiliki perbedaan. Sama seperti yang ditulis oleh Pricilia Prisca, yaitu mengenai non refoulement, meksi sama namun kedua penulisan ini berbeda. Skripsi ini fokus pada penerapan asa non refoulement pada pengungsi Timor Timur sedangkan Pricilia Prisca penerapan asas non refoulement di Indonesia. 6. Gloria Exoudianta Barus, Proses Integrasi Nasional Warga Eks Pengungsi Timor Timur di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Mahasiswa jurusan ilmu hubungan internasional universitas Gadjah Mada ini membahas satu permasalahan yaitu mengenai proses integrasi nasional warga eks pengungsi Timor Timur di Atambua. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis skripsi ini menggunakan landasan konseptual terkait pola integrasi nasional multi arah, argumen utama dalam skripsi ini menyebutkan bahwa integrasi warga eks Timor Timur belum maksimal. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai proses relokasi warga eks Timor Timur, faktor pendorong, aktor yang terlibat, serta kondisi selama pengungsian. Penulis skripsi menjabarkan beberapa proses integrasi warga eks Timor Timur, seperti integrasi sosial, integrasi ekonomi, integrasi 13

14 politik, dan integrasi budaya. Kemudian pada bagian penutup skripsi ini, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga aktor utama yang terlibat dalam proses integrasi. Proses integrasi nasional warga eks Timor Timur berlangsung dalam berbagai aspek yang salah satunya adalah dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Namun, minimnya interaksi antara warga eks Timor Timur dan warga lokal mengakibatkan integrasi tidak berjalan secara maksimal. Perbedaan dengan tesis ini adalah penulis skripsi dengan judul Proses Integrasi Nasional Warga Eks Pengungsi Timor Timur di Atambua, Nusa Tenggara Timur tidak secara khusus menjelaskan mengenai relokasi dan repatriasi tetapi lebih kepada integrasi nasional warga eks Timor Timur. Meskipun ada bagian sama terkait pembahasan mengenai relokasi, namun penjabaran antara skripsi dan tesis ini berbeda. 7. Theopilus Yanuarto, Strategi Bertahan Hidup Eks-Pengungsi Timor Timur Pasca Penghentian Durable Solutions (Studi di Barak Tuapukan, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur). Dalam tesis dengan judul tersebut, permasalahan yang dibahas adalah bagaimana strategi bertahan hidup khususnya dalam mencukupi kebutuhan dasar yang diterapkan oleh eks-pengungsi Timor Timur yang ada di barak Tuapukan pasca penghentian durable 14

15 solutions dari Pemerintah Indonesia dan PBB pada akhir Desember Pada tesis ini dijabarkan mengenai sejarah munculnya konsentrasi barak pengungsian, keadaan para eks-pengungsi di barak pengungsian Tuapukan, kebijakan pemerintah terkait eks-pengungsi Timor Timur, dan penjabaran mengenai strategi bertahan hidup mereka pasca pemberhentian bantuan dari pemerintah dan PBB. Jawaban dari permasalahan yang diangkat oleh penulis tesis ini, strategi yang dilakukan oleh para pengungsi adalah dengan melakukan subsistensi pangan, kemandirian yang dalam hal ini terkait mata pencaharian dan pemanfaatan sumber daya alam di sekitar barak Tuapukan, dan menggantungkan diri pada bantuan dari kerabat, pemerintah, dan masyarakat lokal. Perbedaan dengan tesis ini adalah pada pokok bahasan yang menjadi fokus bahasan masing-masing penulis. 8. Intan Pelangi, Pengaruh The United Nation Declaration On The Territorial Asylum 1967 Terhadap Para Pencari Suaka Di Indonesia. Permasalahan yang diangkat pada skripsi ini adalah mengenai peranan pemerintah Indonesia dalam memberikan suaka teritorial kepada pencari suaka asal Afganistan dalam kaitannya bekerja sama dengan UNHCR menuju pemberian suaka permanen. Skripsi ini menyimpulkan uraian pembahasan permasalahan tersebut dengan 15

16 menyebutkan bahwa pencari suaka merupakan persoalan berkepanjangan. Meski Indonesia bukan merupakan negara pihak dalam Konvensi 1951 dan Protocol 1967 tetap Indonesia harus serius dalam menanggapi kehadiran para pengungsi. Keseriusan tersebut nampak pada instrumen nasional yang memasukkan penanganan pencari suaka dan/atau pengungsi. Dalam kaitannya dengan pengungsi Afganistan, Indonesia tidak menolak mereka melainkan melakukan kerja sama dengan UNHCR dalam memberikan tempat penampungan sementara hingga ada negara lain yang bersedia mereka secara permanen. Berdasarkan hasil penelaahan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar mengenai penelitian yang diajukan oleh penulis dan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian yang sudah ada mengkaji mengenai peranan UNHCR dan pengungsi sedangkan Penulis mengkaji mengenai pengungsi Timor Timur yang dalam Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1272 Tahun 1999 dimandatkan untuk dilindungi. Adapun persamaan penelitian ada pada instrumen hukum yang digunakan, yaitu Konvensi 1951 dan Protocol

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) adalah salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi internasional yang bersifat universal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernyataan ini tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

BAB I PENDAHULUAN. Pernyataan ini tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak bagi semua manusia dianggap sebagai dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia, sehingga hak

Lebih terperinci

Pendahuluan. Utama, Jakarta, 2000, p Hadi, dkk., pp

Pendahuluan. Utama, Jakarta, 2000, p Hadi, dkk., pp Pendahuluan Timor Timur berada di bawah penjajahan Portugal selama lebih dari empat abad sebelum akhirnya Revolusi Anyelir di tahun 1974 membuka jalan bagi kemerdekaan negaranegara koloninya. Setelah keluarnya

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni. DAFTAR PUSTAKA Buku, 2005, Pengenalan Tentang Perlindungan Internasional (Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian UNHCR) Modul Pembelajaran Mandiri, Geneva: Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganda, sementara itu terdapat juga negara-negara yang menerapkan sistem

BAB I PENDAHULUAN. ganda, sementara itu terdapat juga negara-negara yang menerapkan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keanggotaan seseorang dari suatu komunitas bangsa biasanya berhubungan dengan hukum terkait kelahirannya, karena adanya hubungan darah ataupun karena imigrasi

Lebih terperinci

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA JURNAL STATUS KEWARGANEGARAAN MASYARAKAT YANG BERDOMISILI DI KAWASAN PERBATASAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE KHUSUSNYA YANG BERDOMISILI DI WILAYAH KABUPATEN BELU ( Studi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sejak awal integrasi ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1976, Timor Timur selalu berhadapan dengan konflik, baik vertikal maupun

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebelum Timor Timur berintegarasi dengan Indonesia, Timor Timur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebelum Timor Timur berintegarasi dengan Indonesia, Timor Timur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum Timor Timur berintegarasi dengan Indonesia, Timor Timur telah terpecah belah akibat politik devide at impera. Pada 1910 terjadi pemberontakan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timor Leste atau Timor Timur (sebelum merdeka) yang bernama resmi Republik

BAB I PENDAHULUAN. Timor Leste atau Timor Timur (sebelum merdeka) yang bernama resmi Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Timor Leste atau Timor Timur (sebelum merdeka) yang bernama resmi Republik Demokratik de Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa e) adalah sebuah negara di Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. federal/serikat. Pemerintah pusat memegang kekuasaan penuh tetapi. etnis, golongan dan ras yang berbeda-beda maka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. federal/serikat. Pemerintah pusat memegang kekuasaan penuh tetapi. etnis, golongan dan ras yang berbeda-beda maka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara kesatuan maka kedaulatan Negara adalah tunggal, tidak tersebar pada Negara-negara bagian seperti pada Negara federal/serikat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Selama 24 (dua puluh empat) tahun rakyat Timor Leste berjuang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pengungsi bukanlah isu yang baru, baik bagi negara Indonesia maupun masyarakat internasional. Masalah pengungsi ini semakin mengemuka seiring terjadinya

Lebih terperinci

Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI FISIP UNJANI

Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI FISIP UNJANI ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU: STUDI KASUS OPERASI SEROJA / INTEGRASI TIMOR-TIMUR KE WILAYAH NKRI TINGKAT ANALISIS SISTEM GLOBAL Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI Organisasi internasional atau lembaga internasional memiliki peran sebagai pengatur pengungsi. Eksistensi lembaga

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL NPM : 100510366 Diajukan Oleh: ARCANJO JUVIANO SAVIO Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D 101 09 550 ABSTRAK Pada hakikatnya negara/pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap warga negaranya.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian.

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Meskipun dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan informasi terkait permasalahan pengungsi karena keterbatasan peneliti dalam menemukan data-data yang terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia 1 KEPEDULIAN INTERNASIONAL TERHADAP HAK ASASI MANUSIA Kepedulian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap kemajuan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI. Lembar Fakta No. 20. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI. Lembar Fakta No. 20. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI Lembar Fakta No. 20 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PENDAHULUAN Masalah pengungsi dan pemindahan orang di dalam negeri merupakan persoalan yang paling pelik yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungsi menjadi salah satu isu global yang banyak dibicarakan oleh masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus dari dunia internasional

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komputer dalam suatu pekerjaan. Teknologi komputer sangat membantu user dalam

BAB I PENDAHULUAN. komputer dalam suatu pekerjaan. Teknologi komputer sangat membantu user dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada jaman moderen ini dunia teknologi berperan sangat penting di bidang komputer dalam suatu pekerjaan. Teknologi komputer sangat membantu user dalam melakukan pekerjaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan jumlah dan kebutuhan hidup manusia sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan jumlah dan kebutuhan hidup manusia sejalan dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pertumbuhan jumlah dan kebutuhan hidup manusia sejalan dengan perkembangan teknologi modern yang begitu cepat membuat jumlah aktifitas dan cara manusia tersebut beraktifitas

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni Basic Fact: Diawali oleh Liga Bangsa-bangsa (LBB) 1919-1946. Didirikan di San Fransisco, 24-10-45, setelah Konfrensi Dumbatan Oaks. Anggota terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam BAB V KESIMPULAN Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam peneltian ini peneliti dapat melihat bahwa, Menteri Luar Negeri Ali Alatas melihat Timor Timur sebagai bagian

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dibuktikkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dibuktikkan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dibuktikkan dengan adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka.

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 91 DAFTAR PUSTAKA Buku: Ali, Mahrus dan Bayu Aji Pramono, (2011), Perdagangan Orang : Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Budi, Winarno, (2001),

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 10 TAHUN 1969 (10/1969) Tanggal: 1 AGUSTUS 1969 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 10 TAHUN 1969 (10/1969) Tanggal: 1 AGUSTUS 1969 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 10 TAHUN 1969 (10/1969) Tanggal: 1 AGUSTUS 1969 (JAKARTA) Sumber: LN 1969/41; TLN NO. 2905 Tentang: KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. Keterkaitannya selalu menjadi bagian dari perilaku umat manusia dan setua dengan sejarah fenomena

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1969 TENTANG KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION UNION DI MONTREUX 1965

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1969 TENTANG KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION UNION DI MONTREUX 1965 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1969 TENTANG KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION UNION DI MONTREUX 1965 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan K o n v e n s i 1 9 5 4 t e n t a n g S t a t u s O r a n g - O r a n g T a n p a k e w a r g a n e g a r a a n SERUAN PRIBADI DARI KOMISIONER TINGGI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN Minggu I, Pertemuan ke-1 I. Pendahuluan a. Tujuan Instmksional Khusus: b. Penjelasan singkat materi kuliah:

BAB PENDAHULUAN Minggu I, Pertemuan ke-1 I. Pendahuluan a. Tujuan Instmksional Khusus: b. Penjelasan singkat materi kuliah: BAB I PENDAHULUAN Minggu I, Pertemuan ke-1 I. Pendahuluan a. Tujuan Instmksional Khusus: Tujuan Instruksi Khusus (TIK) : 1. Membuat mahasiswa tertarik mempelajari Hukum Internasional yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam

BAB I PENDAHULUAN. Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara. Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini menarik perhatian masyarakat Indonesia yang notabene negara

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini menarik perhatian masyarakat Indonesia yang notabene negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri dunia paling mengglobal saat ini adalah migrasi internasional. Hal ini disebabkan pengangguran pada saat sekarang sudah sangat banyak, dan banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan

BAB I PENDAHULUAN. program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Pengantar Pembahasan pada bab ini tentang sejarah singkat pemerintahan Timor Leste dan pra kondisi penyelenggaraan desentralisasi di Timor Leste. Hal ini diperlukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR-LESTE TENTANG KEGIATAN KERJA SAMA DI BIDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah di Negara sendiri membuat penduduk menjadi tidak nyaman dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah di Negara sendiri membuat penduduk menjadi tidak nyaman dan BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Perebutan wilayah kekuasaan, perang saudara dan pemberotakan terhadap pemerintah di Negara sendiri membuat penduduk menjadi tidak nyaman dan aman, menjadi sasaran

Lebih terperinci