BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Polres Kabupaten Pohuwato

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Polres Kabupaten Pohuwato"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Singkat Polres Kabupaten Pohuwato Polres Pohuwato merupakan satuan kepolisian tingkat kewilayaan dibawah Polda Gorontalo, yang terletak dijalur utama wilayah Provinsi Gorontalo tepatnya ditengah-tengah Kabupaten Pohuwato, berdasarkan letak geografisnya, wilayah Polres Pohuwato berbatasan langsung dengan kabupaten parigi moutong (parimo) provinsi sulawesi tengah, sehinggah merupakan salah satu daerah penyangga Provinsi Gorontalo yang tentunya memiliki peranan sangat strategis bagi terciptanya situasi keamanan dan ketertiban masyarakat serta keamanan lalu lintas yang kondusif di wilayah provinsi gorontalo. Polres Pohuwato yang berada dikecamatan marisa Kabupaten Pohuwato mempunyai luas wilayah 4.244,31 Km 2, yang meliputi 13 kecamatan, 100 desa, 3 kelurahan dan 2 UPT (unit pemukiman transmigrasi) dengan jumlah penduduk Kabupaten Pohuwato jiwa, laki-laki : jiwa dan perempuan jiwa. Sebelum berdirinya Polres Pohuwato, yaitu bergabung dengan polres boalemo dan kemudian ada pemisahan yaitu polres pohuwato pada tanggal 23 april Kabupaten Pohuwato juga memiliki beberapa paguyuban etnis antara lain adalah, suku jawa, suku bugis, suku minahasa, suku bali, suku tomini, suku cina, suku arab, dan lain-lain, untuk agama kabupaten pohuwato memiliki beberapa agama yaitu islam, kristen, hindu, budha. Polrea Pohuwato memiliki jumlah personil sebanyak 377 personil, yang dipimpin oleh Kapolres AKBP 47

2 SUHERI, SIK, Polres Pohuwato sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat juga memberikan semua yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tabel 1 DATA PERSONEL POLRES POHUWATO No. Personel Jumlah Ket AJUDAN KOMISARIS BESAR POLISI KOMISARIS POLISI AJUDAN KOMISARIS POLISI INPEKTUR POLISI SATU INPEKTUR POLISI DUA AJUDAN INPEKTUR POLISI SATU AJUDAN INPEKTUR POLISI DUA BRIGADIR POLISI KEPALA BRIGADIR BRIGADIR POLISI SATU BRIGADIR POLISI DUA PENGATUR /II C PENATA MUDA TK I / II B PENATA MUDA / II A Sumber: Kantor Polres Pohuwato Kab. Pohuwato tahun

3 4.1.1 Visi Misi Polres Kabupaten Pohuwato 1 Setiap instansi atau organisasi memiliki tujuan dan hasil yang akan dicapai karena memiliki adat istiadat dan norma tersendiri yang berlaku secara umum begitupun dengan intansi atau organisasi-organisasi lainnya jadi setiap instansi memiliki visi dan misi yang berbeda. Setiap Polres memiiki visi misi yang berbeda akan tetapi semua misi visi harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polisi Republik Indonesia. Adapun Visi dan Misi Polres Pohuwato sebagai berikut; Visi Polres Pohuwato Visi Polres Pohuwato adalah terwujudnya kinerja dan prilaku anggota polri yang bermoral, modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat dan bersama-sama masyarakat mewujudkan kepastian hukum, tertib hukum, dan supermasi hukum, sehingga terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Misi Polres Pohuwato Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, Tanggap/ responsif dan tidak diskriminatif agar masyarakat bebas dari segala bentuk gangguan fisik dan psikhis, Mengembangkan perpolisian masyarakat (Comunity policying) yang berbasis pada masyarakat patuh hukum (Law Abiding Zitizen), Menegakkan hukum secara profesional, objektif, proporsional, transparan dan akuntabel untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan, Berupaya mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. 1 Dokumen Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo Resor Pohuwato. PROFIL POLRES POHUWATO. Hlm 1. 49

4 4.2.Analisis Pengaturan Protap Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarki Dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum Dalam Protap Nomor /1 /X /2010 tentang Penanggulangan Anarki, yang dimaksud dengan Anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang terangan oleh seseorang atau kelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan. membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Pelaksanaan protap ini tidak semata-mata menjadi pedoman utama karena setiap anggota Polri juga harus memperhatikan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tugas Kepolisian serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri. Untuk menerapkan Protap tersebut, anggota Polri tetap harus dibekali dengan pelatihanpelatihan cara menangani aksi anarkis dan sporadis sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan disalahgunakan oleh anggota Polri itu sendiri untuk berlawanan dengan masyarakat. Dalam menerapkan tugas dan perlindungan terhadap warga masyarakat sesuai dengan Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang penanggulan anarki setiap anggota Polri wajib memperhatikan: a. Asas Legalitas, yaitu setiap anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku, baik di dalam perundangundungan nasional maupun internasional; 50

5 b. Asas Nesesitas, yaitu setiap anggota Polri yang dalam melakukan tindakan harus didasari oleh suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan penegakan hukum, yang mengharuskan anggota Polri melakukan suatu tindakan yang membatasi kebebasan seseorang ketika menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan; c. Asas Proporsionalitas, yaitu setiap aggota Polri yang melakukan tugas harus senantiasa menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam penegakan hukum; dan d. Asas Akuntabilitas, yaitu setiap anggota Polri yang melakuka tugas senantiasa harus bertanggug jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan adanya asas tersebut, anggota Polri diharapkan dapat melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan represif sekaligus melindungi anggota Polri itu sendiri. Selain itu, asas tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang penggunaan kekuatan Polri dalam menghadapi aksi-aksi anarkis dan sporadis. Konsekuensi dari unsur-unsur negara hukum mengharuskan setiap penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan penyampaian pendapat dan yang berkaitan dengan hal tersebut harus didasarkan atas hukum (undang-undang) yang berlaku, hal mana juga ditegaskan dalam Pasal 28 Undangundang Dasar 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undangundang. Ketentuan sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945 tersebut, tentu dengan tujuan agar negara mampu memberikan perlindungan 51

6 hukum (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia) atas setiap hak warga negaranya, sehingga dengan demikian kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Berkaitan dengan penyampaian pendapat sebagaimana yang di tuangkan dalam Undang-undang Dasar 1945 maka lahirlah undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 mengatur tentang kemerdekaan menyampaian pendapat di muka umum. Namun demikian, tampaknya terjadi penurunan kualitas dalam penyampaian pendapat di muka umum, di mana penyampain pendapat tersebut tidak jarang dilakukan secara anarki. Hal ini kemudian ditangkap oleh Polri sebagai suatu kondisi yang memprihatinkan dan dapat membahayakan kepentingan Umum, yang akhirnya melahirkan suatu Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki. Permasalahan yang muncul dalam setiap menyampaikan pendapat di muka umum, utamanya dalam bentuk demonstrasi sering menimbulkan persoalan yaitu penurunan kualitas menyampaikan pendapat di muka umum, yakni munculnya ketidaktertiban umum dan berubah menjadi anarki yang kemudian memunculkan sebuah diskresi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum oleh lembaga kepolisian melalui Protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki. Diskresi, discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat 52

7 sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Philipus M. Hadjon lebih lanjut menyimpulkan bahwa kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi dua kewenangan, yakni : 1) Kewenagan untuk memutuskan secara mandiri 2) Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm) Secara praktis, kewenagan freies ermessen pemerintahan yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk kebijaksanaan memiliki dua aspek penting dan sebagai aspek pokok, yakni : 1) Kebebasan untuk menafsirkan yang berkaitan dengan ruang lingkup dan batas-batas wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar pemberian wewenang, dimana kebebasan tersebut disebut dengan kebebasan untuk menilai berdasarkan sifat yang obyektif, jujur, benar dan adil. 2) Kebebasan untuk menentukan sikap tindak, artinya bertindak atau tidak berdasarkan penilaian sendiri dengan cara begaimana dan kapan wewenang yang dimiliki tersebut dilaksanakan, penilaian ini memiliki sifat subyektif, yakni berdasarkan nuraninya sendiri dalam pengambilan keputusan. 2 Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur diskresi atau freies ermessen dalam suatu negara hukum, yaitu: 1) Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik, 2) Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara, 3) Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum, 4) Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri, 5) Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba, 2 Philipus, M Hadjon Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm

8 6) Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. 3 Didalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, diskresi dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut: 1) Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in konkrito terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera, 2) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya, 3) Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. 4 Menurut Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu : 1) Apabila terjadi kekosongan hukum 2) Adanya kebebasan interpretasi 3) Adanya delegasi perundang-undangan 4) Demi pemenuhan kepentingan umum. 5 Dalam pengambilan diskresi ini seorang kepala kepolisianlah yang berhak karena pemegang kekuasan tertinggi di Polres, Seorang Kapolres ketika dalam pengambilan diskresi harus melihat keadaan yang terjadi dilapangan dan harus melakukan musyawarah bersama jajaran anggota Polri yang melakukan pengawalan dalan kejadian tersebut, karena yang ditakutkan ketika pengambilan diskresi tidak ada musyawarah akan muncul konflik karena tidak sesuainya keadaan yang terjadi dilapangan. 3 Ridwan, HR Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm Ibid. Hllm Muchsan Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan administrasi di Indonesa. Yogyakarta: Liberty. hlm

9 Pengertian anarki berdasarkan Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang penanggulan anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terangterangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan kepentingan umum, mengancam keselamatan jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Jika dipahami pengertian dan batasan-batasan mengenai anarki tersebut, adalah yang hendak dibatasi oleh protap adalah akibat dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam menyampaikan aspirasinya atau pendapatnya, bukan pembatasan atau pengekangan terhadap menyampaikan pendapat di muka umum. Hal ini dapat dimengerti karena menyampaikan pendapat yang merupakan hak seseorang atau hak setiap warga negara tidak boleh bertentangan atau mengganggu atau merusak hak-hak orang lain, intinya adalah hak seseorang dibatasi oleh orang lain, sehingga menyampaikan pendapat harus sesuai dengan aturan hukum sehingga tercipta ketertiban umum. Peluang Penyalahgunaan Protap Sebagai lembaga penegak hukum yang berada dalam garis terdepan, polisi sering dihadapkan pada kondisi dilematik antara penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Pekerjaan polisi itu tidaklah sederhana, Polisi bukan hanya menegakan atau menjalankan peraturan hukum dan memburu kejahatan, melainkan jauh lebih luas daripada itu. Polisi menjadi sasaran kritik masyarakat pada waktu muncul masalah pelarangan bicara, sampai ke penggunaan kekuatan untuk membubarkan demonstran. Menghadapi dilematika tersebut, polisi 55

10 diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi atau kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Penegakkan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi atau kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. 6 Landasan hukum atau yang menjadi dasar kewenangan diskresi yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 18 bahwa : 1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. 2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 7 Diskresi atau kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia, kemudian berlandaskan Protap Nomor 1/X2010 tentang Penanggulan Anarki. Sehingga penggunaan wewenang diskresi ini harus dilakukan secara hati-hati, sebab jika tidak hal ini akan menimbulkan 6 Soerjono Soekanto Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm 7. 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 18 (1-20). 56

11 guncangan pada tujuan hukum pidana yang harus dilakukan dengan mendasarkan pada tiga aspek dasar yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Kehati-hatian dan pertimbangan yang rasional tersebut merupakan satu kendali agar penggunaan diskresi tidak melanggar aturan hukum dan hak asasi manusia. Perlunya pertimbangan yang rasional diperlukan mengingat batasan yang demikian tipis antara diskresi dan diskriminasi, terlebih polisi merupakan suatu institusi yang paling mendapat sorotan tajam dalam penegakan hukum. Stigma negatif masyarakat terhadap aparat penegak hukum di Indonesia sekarang ini merupakan suatu situasi yang sangat menyedihkan semua pihak. Hukum di Indonesia seolah telah mencapai titik nadi, telah mendapat sorotan yang luar biasa, dari dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum sering dipandang bersifat membeda-bedakan, ketidaktaatan dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Kondisi demikian juga diperparah karena secara hierarki Polisi berada langsung di bawah Presiden, sehingga hal ini dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan politik dan kepentingan warga negara, dalam situasi yang demikian kepentingan politik akan dominan mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar yang menempatkan hukum sebagai subordinasi, yang pada akhirnya melahirkan penegakan hukum yang represif atau menekan. Pengambilan keputusan di lapangan dengan menyandarkan pada pertimbangan sendiri akan menimbulkan peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, termasuk dalam penanganan masalah demonstrasi, terlebih dalam satu ketentuan yang dimuat dalam Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang 57

12 Penanggulangan Anarki memasukan melawan/menghina dengan menggunakan atau tanpa menggunakan alat dan/atau senjata sebagai Gangguan nyata anarki. Hal ini akan sangat berisiko, karena jika petugas kemudian melakukan tindakan secara tegas dengan bentuk tembak di tempat atau di halau dengan menggunakan sejata lain/tumpul, maka asas proporsionalitas yang dijadikan landasan dalam protap tidak akan terpenuhi, karena penghinaan terhadap petugas tidaklah dapat dipersamakan dengan bentuk kekerasan fisik dalam hukum pidana, di sini terlihat adanya ketidakseimbangan antara kewajiban hukum yang harus dijalankan dengan kepentingan hukum yang seharusnya di lindungi. Penempatan pembelaan diri secara terpaksa sebagaimana yang diatur dalam Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulan Anarki sebagai dasar pembenaran atas tindakan tegas dalam penanggulan anarki tidaklah tepat, dengan mendasarkan pada Pasal-Pasal KUHP seperti Pasal 48 yang berbunyi barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana, dan Pasal 49 yaitu ayat (1) bahwa tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum, ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampau batas, yang langsung disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman itu, tidak dipidana. 8 Dan karena pengaruh daya paksa harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat 8 KUHAP dan KUHP. Bab III Hal-Hal Yang Menghapuskan, Mengurangi Atau Memberatkan pidana. Pasal 48 dan 49 ayat (1-2). 58

13 dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang. Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam seperti di bawah ini: 1) Yang bersifat mutlak, dalam hal ini, orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. Orang inilah yang berbuat dan dialah pula yang harus dihukum. 2) Yang bersifat relatif, dalam hal ini, kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat 59

14 semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan. 3) Yang merupakan suatu keadaan darurat, bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurai ini orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan., sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif) orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa. 9 Dengan demikian, penggunaan Pasal-Pasal penghapusan pidana sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 48 maupun Pasal 49 KUHP harus digunakan secara hati-hati dengan memperhatikan batasan-batasan tersebut. Sebab jika tidak maka hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum dengan dalih penegakan hukum. Selain pengambilan diskresi yang ditakutkan dalam Protap nomor 1 tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki, juga tidak diatur masalah penggunaan senjata api melainkan hanya cara bertindak terhadap sasaran apabila sudah amuk massa, seharusnya diatur bagaimana cara menggunakan senjata api agar tidak terjadi kesewenang-wenangan atau terjadi penembakan yang melukai orang-orang yang tidak bersalah atau masyarakat dalam penggunaan senjata api dalam menangani aksi massa demonstrasi. Sehingganya harus ada evaluasi dalam penggunaan senjata api oleh pihak kepolisian dalam penanganan aksi massa sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. 9 alasan-penghapus-pidana 60

15 Penjealasan Protap nomor 1 tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki sudah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 mengatur tentang kemerdekaan menyampaian pendapat di muka umum dan tidak bertentangan karena yang diatur dalam Protap adalah pembatasan akibat dari penyampaian pendapat yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan anarki yang dapat menciptakan kerugian bagi masyarakat dan menimbulkan ketidaktertiban umum. Namun demikian Protap, ini jika ditelaah, masih terdapat persoalan-persoalan yang krusial dan perlu dilakukan pembenahan, jika tidak peluang penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan senjata api akan terjadi, yang pada akhirnya terjadi pelanggaran hukum dengan dalih penegakan hukum terutama pada tingkat diskresi dan penggunaan senjata api serta pemahaman landasan hukum yang dijadikan sebagai alasan penghapus pidana. Untuk membatasi, agar penggunaan Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang penanggulan anarki tersebut tidak disalahgunakan, maka harus ada beberapa hal diantaranya: 1) Tingkat pemahaman hukum yang baik oleh aparat kepolisian, sebab pemahaman hukum yang baik akan menghindarkan kesalahan pada penegakan hukum, hukum bukan hanya persoalan undang-undang tetapi meliputi pengertian yang lebih luas yaitu hukum tertulis dan tidak tertulis. Pemahaman yang hukum yang demikian akan menghindari diskresi yang salah arah karena mendasarkan pada penilaian sendiri. 61

16 2) Perlu perubahan terhadap Protap, terutama dalam hal penghinaan terhadap petugas, hal tersebut agar terdapat keseimbangan antara kepentingan dan kewajiban hukum. Guna memahami hukum yang baik, penegak hukum tidak hanya dituntut memahami undang-undang semata-mata, oleh karenanya dibutuhkan SDM penegak hukum yang memilki kualitas. Peningkatan kualitas SDM penegak hukum akan menciptakan penegak hukum yang bersih dan berwibawa, yang jujur dan bermoral, tidak korup dan dapat dipercaya menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, peningkatan kualitas pendidikan akan menciptakan penegakpenegak hukum yang al-amin (dapat dipercaya), dan juga memiliki etika/moral. Oleh karena itu menegakkan wibawa hukum pada hakikatnya menegakan nilai kepercayaan di dalam masyarakat. Dengan demikian penerapan Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki, perlu didukung oleh aparat penegak hukum (polisi) yang memilik kualitas, sehingga penyalahgunaan kekuasaan yang diakibatkan oleh penafsiran yang salah, akan dapat dihindari. Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalampasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : "kemerdekaan beerserikatdan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainyaditetapkan dengan undang-undang, " Kemerdekaan menyampaikan pendapattersebut sejalan dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yangberbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkanpendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima danmenyampaikan keterangan dan pendapat dengan 62

17 cara apapun juga dan dengan tidakmemandang batas-batas. " Perwujudan kehendak warga negara secara bebasdalam menyampaikan pikiran secara lisan, tulisan, dan sebagainya tetap harus dipelihara agar seluruh tatanan sosial kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaan hukum yangbertentangan dengan maksud, tujuan, dan arah dari proses keterbukaan dalampembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintregasi sosial,tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat. Dengandemikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harusdilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimanatercantum dalam pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut: 1. Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh. 2. Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagimoralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; 3. Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan dan asas perserikatan Bangsa-Bangsa. 63

18 Menyampaikan pendapat dimuka umum oleh masyarakat hakikatnya merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi, penyelenggaraan sebuah negara seperti negara Indonesia yang telah memilih sistem demokrasi telah menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Penekanan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat mengharuskan negara memperhatikan apa yang menjadi keinginan atau harapan warga negaranya.menyampaikan pendapat dimuka umum, baik menurut kedaulatan negara sebagaimana yang dijelaskan dalam konstitusi, maupun berdasarkan kedaulatan Tuhan sebagaimana yang ditegaskan dalam Alqur an merupakan hal yang perlu ada dalam sebuah penyelenggaraan negara. Alqur an sebagai landasan kedaulatan Tuhan memberikan hak untuk memprotes kezaliman termasuk kezaliman yang dilakukan oleh penguasa sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-A raf ayat 165 bahwa kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Menyampaikan pendapat dimuka umum, harus dilakukan secara arif dan bijaksana, sehingga tidak terjadi benturan-benturan terhadap kehidupan sosial setiap warga negara, oleh karenanya sudah cukup tepat ketika para pembentuk Undang-undang merumuskan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaian pendapat di muka umum. Penyampaikan pendapat dimuka umum dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara 64

19 kepastian hukum dan keadilan, sehingga penyampaian tersebut memiliki manfaat bagi seluruh elemen bangsa Mekanisme Pengawalan Kepolisian Terhadap Aksi Demonstrasi Kabupaten Pohuwato Dalam hal mekanisme pengawalan kepolisian terhadap aksi demonstrasi dikabupaten pohuwato yaitu sesuai dengan Standar Operasional Prosedur Sistem Pengamanan Kota Kabupaten Pohuwato dalam penanganannya terdiri dari : Aksi Massa Damai Cara Bertindak a. Prinsif dalam pergerakan kekuatan: Persuasif, massa adalah Mitra, b. Massa dihadapapi oleh tim negosiator dan pengamanan dilakukan oleh Rayonisasi Polsek sesuai pembagian tugas dan tanggung jawabnya, c. Tim Negosiator bernegosiasi dengan Pimpinan atau tokoh massa agar massa tetap dalam keadaan tertib dan teratur, mulai berkumpulnya massa, penyampaian aspirasi sampai dengan bubarnya aspirasi, d. Satuan pengamanan Polsek sesuai Rayonisasi di terjunkan guna mengantisipasi aksi massa bertindak rusuh dan kekuatan pengamanan disesuaikan dengan jumlah massa. Satuan pengamanan bertugas mengamankan agar massa tetap tertib dan teratur tidak diganggu dan tidak mengganggu pihak lain, sehingga penyampaian aspirasi dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib dan damai, 10 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo Resor Pohuwato.Dokumen SOP Bagian Operasi Polres Pohuwato, Lampran A SISPAM KOTA KABUPATEN POHUWATO. Penanganan Terhadap Massa Damai. Rahasia. 65

20 e. Tim dokumentasi mengambil dokumentasi kegiatan massa dengan handycame maupun tustel / kamera, f. Melaporkan setiap perkembangan situasi kepada atasan melalui sarana komunikasi yang ada kepada Kapolres Pohuwato selaku pengendali, g. Tugas terakhir apabila massa bubar dinyatakan dan penugasan dicabut oleh pengendali/ Kapolres Pohuwato serta bergerak menuju Mapolres guna dilakukan pengecekan kekuatan, h. Laporkan secara lisan dan tertulis pelaksanaan tugas pengamanan tugas kepada atasan. 2. Pelibatan Satuan Cukup ditangani oleh Polsek sesuai Rayonisasi dan di back up dari Polres dengan kekuatan sebagai berikut : a. 1 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Gabungan Polsek atau kekuatan desesuaikan jumlah massa yang dihadapi, b. 1 Unit Operasional Intelijen dan Keamanan, c. 1 Unit Operasional Reserce Kriminal, d. 2 Unit Operasional Lantas, e. 1 Unit Bimbingan Masyarakat Aksi Massa Kurang Tertib Cara Bertindak a. Prinsif pengerahan kekuatan : Preventif, Power diberiakan seimbang dengan hakikat ancaman dalam rangka mengendalikaan massa agar tetap 11 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo Resor Pohuwato.Dokumen SOP Bagian Operasi Polres Pohuwato, Lampran B SISPAM KOTA KABUPATEN POHUWATO. Penanganan Massa Kurang Tertib. Rahasia. 66

21 tertib, contoh massa mendorong pengendalian massa menahan, massa melempar (dengan benda yang tidak berbahaya) pengendalian massa berlindung dibawah tameng dan helm, b. Pengendalian Massa Gabungan Rayonisasi Polsek sesuai pembagian tugas dan tanggung jawabnya diterjunkan untuk mengamankan massa, c. Tim negosiator mengadakan negosiasi dengan pimpinan massa agar berlaku tertib dengan teratur serta tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, melakukan negosiasi berulang kali secara bertahap, d. Apabila massa tetap tidak tertib dan tidak teratur, maka satuan dalmas gabungan memberikan peringatan dangan megaphone, peringatan dilakukan minimal tiga kali, e. Apabila peringatan masih tidak diindahkan, dalmas gabungan dapat melakukan tindakan penertipan dengan menggunakan tingkat polri, f. Setelah massa telah teratur dan tertib tim dalmas tetap melakukan pengendalian dan pengawasan sampai dengan bubarnya massa, g. Tim dokumentasi mengambil dokumentasi kegiatan massa dengan handycame dan tustel/ kamera, h. Upayakan mengetahui pimpinan massa dan provokator untuk diinformasikan kepada fungsi reskrim dan intelkam, i. Laporkan setiap perkembangan kepada atasan melalui saran komunikasi yang ada, j. Tugas terkhir atau apabila massa sudah bubar dan tidak terdapat konsentrasi massa lagi dan penugasan dicabut oleh pejabat yang ditetukan, 67

22 k. Laporkan secara lisan dan tertulis pelaksanaan tugas kepada atasan sebagai pertanggung jawaban. 2. Kekuatan Satuan a. Satuan pelaksanaan gabungan Polsek sesuai Rayonisasi dan di back up oleh Polres yaitu : 1) 1 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Gabungan Polsek, 2) 2 Unit Operasional Intelijen dan Keamanan, 3) 2 Unit Operasional Reserce Kriminal, 4) 2 Unit Operasional Lantas, 5) 1 Unit Fungsi Bimbingan Masyarakat. b. Kekuatan yang disiagakan / stand by dan kenderaan di Mapolres adalah: 1) 1 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Polres, 2) 1 Unit Pengendalian Massa Rangka, 3) 3 Unit Operasional Intelijen dan Keamanan, 4) 3 Unit Operasional Reserce Kriminal, 5) 2 Unit Operasional Lantas, 6) 1 Unit Fungsi Bimbingan Masyarakat, 7) 2 Unit Mobil Pengendalian Massa, 8) 6 Unit Patroli motor pemecah massa Satuan Samapta Bhayangkara Polres, 9) 1 Satuan Setingkat Kompi Satuan Brigade mobil stand by (On Call). c. Kekuatan bantuan yang dapat diperbantukan, masih sebatas Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan setempat. 68

23 Aksi Massa Rusuh Cara Bertindak a. Prinsif pengerahan kekuatan adalah penegakan hukum untuk prefentif, Pengendalian Massa Gabungan Rayonisasi Polsek sesuai pembagian tugas dan tanggung jawabnya diterjunkan untuk mengamankan massa, b. Tim negosiator mengadakan negosiasi dengan pimpinan massa agar berlaku tertib dan teratur serta tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, melakukan negosiasi berulang kali secara bertahap, c. Apabila massa masih tetap tidak tertib dan tidak teratur serta mengarah ketindakan rusuh, maka satuan pengendalian massa gabungan memberikan peringatan dengan megaphone peringatan dilakukan minimal tiga kali. Peringatan-peringatan melalui pengeras suara tetap diberikan bersamaan dengan tindakan penertiban yang dilakukan. Dan apabila peringatan tetap tidak diindahkan lakukan dengan penyemprotan gas air mata, d. Apabila penyempropatan air dan gas air mata tetap tidak diindahkan, malahn massa menjurus ke arah rusuh maka ke Rayonisasi meminta bantuan personil pengendalian massa Polres kepada Kapolres untuk membantu pengamanan, e. Setelah Pengendalian Massa Polres tiba dilokasi langsung melakukan lintas ganti dengan pengendalian massa Rayonisasi dan mengambil tindakantindakan namun harus seimbang dengan tingkah laku massa dalam rangka penertiban massa yang mengarah rusuh, contoh : 12 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo Resor Pohuwato.Dokumen SOP Bagian Operasi Polres Pohuwato, Lampran C tentang SISPAM KOTA KABUPATEN POHUWATO. Penangan Terhadap Massa Rusuh. Rahasia. 69

24 1) Massa memukul dengan pentungan, Pengendalian Massa menangkis dan memukul dengan petungan dalam rangka penertiban, 2) Massa melempar dengan benda keras, Pengendalian Massa menyemprot dengan air/ gas air mata, 3) Massa tetap tidak mengindahkan, melakukan peringatan tembakan dengan peluru hampa sampai dengan karet diarahkan kepada kaki. Tindakan tersebut dilakukan setelah tindakan pada tahap sebelumnya mengalami kegagalan dan semua langkah petugas harus terpimpin dan sudah didokumentasikan. f. Dalam fase ini jika massa tetap melakukan tindakan menjurus rusuh dan semakin bringas serta tidak mengindahkan peringatan-peringatan maka lepaskan tembakan kembali gas air mata secara terus menerus sampai massa terpecah-pecah/ kocar-kacir, g. Tim dokumentasi Pengendalian Massa mengambil dokumentasi kegiatan massa dan semua langkah petugas dengan handycamenya dan tuste/ kamera, h. Upayakan mengetahui pimpinan massa dan provokator untuk melakukan penangkapan (termasuk tindakan kriminal lainnya seperti membakar, merusak foto/ gambar presiden dan wakil presiden, tersangka yang merusak fasilitas umum, tersangka yang melakukan penganiayaan kepada petugas, berikut barang bukti untuk diserahkan kepada fungsi teknis Reskrim, i. Setelah massa tertib lakukan upaya-upaya pembubaran massa sesuai dengan teknis dan taktik Pengendalian Massa, 70

25 j. Dalam hal penangkapan terhadap provokator / pelaku tindak pidana tidak dapat ditangkap di Tempat Kejadian Perkara, ambil fotonya dan adakan pembuntuhan sampai di suatu tempat yang memungkinkan dilakukan penangkapan atau dirumah tersangka, k. Cek apakah ada korban, dan berikan pertolongan kepada koraban baik petugas maupun massa pengunjuk rasa, dan apabila kondisinya parah supaya dikirim kerumah sakit terdekat, l. Laporkan setiap perkembangan melalui alat komunikasi yang ada kepada atasan, m. Tugas terakhir apabila massa sudah bubar dan tidak ada lagi konsentrasi massa dan dinyatakan berakhir oleh pejabat yang ditunjuk selaku pengendali, n. Laporkan secara lisan dan tertulis pelaksanaan tugas kepada atasan sebagai pertanggung jawaban. 2. Pelibatan Satuan a. Satuan Pelaksana Rayonisasi Polsek terdiri dari: 1) 1 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Gabungan Polsek, 2) 1 Unit Operasional Intelijen Keamanan, 3) 1 Unit Operasional Reserce Kriminal. b. Back up kekuatan dari Mapolres Pohuwato yang dapat digerakan 1) 1 Satuan Setingkat Kompi Pasukan Anti Hura-Hura Satuan Brigade Mobil Daerah Gorontalo dan team Jihandak ( On Call), 2) 1 Pleton Gabungan Staf, 71

26 3) 2 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Samapta Bhayangkara Polres, 4) 3 Unit Operasional Intelijen dan Keamanan, 5) 3 Unit Reserce Kriminal, 6) 3 Fungsi Lantas, 7) 1 Unit Bimbingan Masyarakat, 8) 1 Unit Satuan Narkoba, 9) 1 SST Satuan Polisi Air Polres, 10) 1 Unit Kesehatan, 11) 1 Unit Logistik dan Telematika, 12) 6 Unit Kendaraan Bermotor Pemecah Massa. c. Kekuatan Bantuan 1) Dinas kebakaran berikut mobil kebakaran dan operatornya, 2) Petugas Lalu Lintas dan Angkatan Jalan, 3) Satuan Polisi Pamong Praja setempat, 4) Petugas dari dinas kesehatan setempat. d. Kekuatan bantuan lainnya ( Unsur Tentara Nasional Indonesia) stand bay On call Aksi Massa Anarkis dan Brutal Berbahaya Cara Bertindak a. Prinsif pengerahan kekuatan : Penegakan hukum penuh dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mengurangi bertambahnya korban 13 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo Resor Pohuwato.Dokumen SOP Bagian Operasi Polres Pohuwato, Lampran B tentang SISPAM KOTA KABUPATEN POHUWATO. Penanganan Terhadap Massa Anarkis dan Brutal Berbahaya. Rahasia. 72

27 dan kerugian material, setelah tahap-tahap cara bertindak sebelumya telah dilakukan Tindakan Represif penuh, b. Tim negosiator mengadakan negosiasi dengan pimpinan massa agar berlaku tertib dan teratur serta tidak melanggar ketertiban hukum yang berlaku, melakukan negosiasi berulang kali secara bertahap, c. Apabila massa masih tetap bertindak anarkis serta mengarah ketindakan brutal berbahaya, maka satuan Pengendalian Massa gabungan memberikan peringatan dengan megaphone, peringatan dilakukan minimal tiga kali. Peringatan-peringatan melalui pengeras suara tetap diberikan bersamaan dengan tindakan penertiban yang dilakukan. Dan apabila peringatan tetap tidak diindahkan, lakukan dengan penyemprotan gas air mata, d. Apabila penyempropatan air dan gas air mata tetap tidak diindahkan, malahn massa menjurus ke arah rusuh maka ke Rayonisasi meminta bantuan personil Pengendalian Massa Polres kepada Kapolres untuk membantu pengamanan, e. Setelah Pengendalian Massa Polres tiba dilokasi langsung melakukan lintas ganti dengan Pengendalian Massa Rayonisasi dan mengambil tindakantindakan namun harus seimbang dengan tingkah laku massa dalam rangka penertiban massa yang mengarah rusuh, contoh : 1) Massa menyerang dengan senjata tajam, lakukan dengan tindakan penembakan dengan peluru karet diarahkan ke kaki untuk melumpuhkan, 73

28 2) Massa brutal menyerang dengan panah/ bom molotop, lakukan penindakan dengan peluru karet diarahkan kepada kaki untuk melumpuhkan, 3) Peringatan lewat pengeras suara tetap dilaksanakan dan tindakan represif dilakukan untuk membubarkan massa. Sebelumnya diberikan tembakan gas air mata, 4) Apabila massa masih tetap brutal lakukan tindakan penembakan dengan peluru karet diarahkan pada kaki ( seluruh rangkaian tindakan petugas mulai dari tahap negosiasi, peringatan hingga penindakan tetap didokumentasikan dengan baik), 5) Apabila massa brutal masih tidak membubarkan diri walaupun sudah dilakukan penembakan dengan peluru karet ( batas tindakan tegas dan terukur Fungsi Samapta). f. Mengingat massa semakin brutal dan melakukan tindakan anarkis Danton Pengendalian Massa Polres melaporkan kepada Kapolres agar dikirimkan tambahan bantuan pengamanan maka Kapolres segera memerintahkan lintas ganti dengan satuan PHH Brimob, g. Satuan PHH Brimob langsung melakukan lintas ganti berada didepan pasukan Pengendalian Massa Polres dan melakukan tindakan tegas terukur dengan penembakan menggunakan peluru karet diarahkan pada kaki ( pinggang ke bawah), h. Penembakan dengan peluru tajam diarahkan ke kaki ( pinggang ke bawah) hanya dilakukan apabila jiwa petugas dan orang lain terancam, 74

29 i. Lakukan pembubaran massa sesuai dengan taktik dan teknik pengendalian massa, j. Lakukan penangkapan terhadap pimpinan massa atau provokator, atau tersangka lainnya dan kumpulkan, amankan barang bukti untuk kemudian diserahkan kepada fungsi tehnis Reskrim, k. Berikan pertolongan pengobatan terhadap korban massa maupun petugas bila perlu dikirim ke rumah sakit terdekat, l. Laporkan setiap perkembangan melalui alat komunikasi yang ada kepada atasan, m. Tugas terakhir apabila massa brutal sudah bubar dan tidak terdapat lagi konsentrasi massa, n. Laporkan secara lisan dan tertulis pelaksanaan tugas kepada atasan sebagai pertanggung jawaban. Catatan : 1) Cara bertindak masing-masing fungsi / petugas dilapangan terhadap massa anarkis brutal dan berbahaya pada prinsifnya sama dengan cara bertindak pada penanganan massa yang sudah mengarah kepada rusuh, namun lebih ditekankan adanya lintas ganti dari Dalmas kepada PHH Brimob guna penindakan secara tegas oleh PHH Brimob, ataupun permintaan bantuan kepada satuan Tentara Nasional Indonesia atas pertimbangan dari pimpinan, sehingga unsur bantuan Tentara Nasional Indonesia disiagakan di Markas Komando masing-masing satuan, 75

30 2) Apabila keseluruhan langkah tersebut mangalami kegagalan, sementara itu kerusuhan semakin meluas dan satuan Polri mengalami kesulitan, hambatan dalam menangani kerusuhan, maka pimpinan kesatuan kewilayaan dapat meminta bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia guna memberikan Back up penanganan aksi massa maupun pengamanan obyek vital, sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, 3) Kodal masih tetap berda dibawah Pimpinan Kapolres atau beralih kepada Kapolda atas penilaian dan keputusan pimpina. 2. Pelibatan Satuan a. Satuan Polres dan Polsek sesuai Rayonisasi masing-masing : 1) 1 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Gabungan Polsek, 2) 1 Peton Gabungan staf, 3) 2 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Samapta Bhayangkara Polres, 4) 4 Unin Operasional Intelijen dan Keamanan, 5) 4 Unit Reserce Kriminal, 6) 4 Fungsi Lantas, 7) 1 Unit Bimbingan Masyarakat, 8) 1 Unit Satuan Narkoba, 9) 1 SST Satuan Polisi Air Polres, 10) 1 Unit Kesehatan, 11) 1 Unit Logistik dan Telematika, 12) 6 Unit Kendaraan Bermotor Pemecah Massa. 76

31 b. Back up kekuatan dari Mapolda Gorontalo yang dapat digerakan yaitu : 1) 3 Satuan Setingkat Kompi Pasukan Anti Hura-Hura Satuan Brigade mobil dan team Jihandak Polda Gorontalo, 2) 2 Satuan Setingkat Kompi Pengendalian Massa Polda, 3) 2 Unit Patroli Motor Polda, 4) 1 Unit Kendaraan Taktis Polda, 5) 2 Unit Water Canon Polda, 6) 4 Unit Operasional Intelijen dan Keamanan, 7) 4 Unit Reserce Kriminal, 8) 4 Fungsi Lantas, 9) 2 Unit Bimbingan Masyarakat, 10) 1 Tim Negosiasi ( Gabungan staf Polwan), 11) 2 Peleton staf gabungan Mapolda, 12) 2 Unit Kesehatan beserta ambulance Polda, 13) 2 Unit Logistik dan Telematika. c. Kekuatan Bantuan 1) Dinas kebakaran berikut mobil kebakaran dan operatonya, 2) Petugas Lalu Lintas dan Angkatan Jalan, 3) Satuan Polisi Pamong Praja setempat, 4) Petugas dari Dinas kesehatan. d. Kekuatan bantuan lainnya (Unsur Tentara Nasional Indonesia) Siaga On Call dan sewaktu waktu siap digerakan atas permintaan bantuan dari Kapolres atau Kapolda Gorontalo. 77

32 Sesuai dengan Standar Operasional Prosedur Sistem Pengamanan Kota Kabupaten Pohuwato dalam penanganannya diatas dapat disimpulkan bahwa Polres Pohuwato melakukan pengawalan aksi demonstrasi sesuai dengan Sispam kota kabupaten pohuwato yang telah disesuaikan dengan keadaan lingkungan yang ada dikabupaten pohuwato. Karena sistem pengamanan kota merupakan suatu cara untuk melakukan pengamanan dilingkungan kota terhadap ancaman dan gangguan nyata pada daerah yang luas baik berupa kejahatan kelompok, bersenjata, bencana alam,aksi demonstrasi, rusuh massal yang muncul tiba-tiba yang harus memerlukan keterpaduan dan cara bertindak yang tepat. Tabel 2 Tanggapan Responden Terhadap Mekanisme Pengawalan Kepolisian Terhadap Aksi Demonstrasi Di Kabupaten Pohuwato No. Indikator Frekuensi Presentase 1. Sangat Baik Baik 4 33,33 3. Kurang Baik 8 66,67 4. Tidak Baik 0 0 Jumlah % Sumber Data : Data Primer diolah, Dari tabel diatas, menunjukan bahwa dari 12 responden yang menjawab mekanisme pengawalan kepolisian terhadap aksi demonstrasi dikabupaten pohuwato sangat baik tidak ada, kemudian yang menjawab baik sebanyak 4 orang 78

33 (33,33), dan yang menjawab kurang baik 8 orang (66,67), serta yang menjawab tidak baik tidak ada, maka dengan demikian, pelaksanaan tugas kepolisian dalam pengawalan kepolisian terhadap aksi demonstrasi dikabupaten pohuwato dikategorikan kurang baik. Sesuai yang diungkapkan bapak kapolres kabupaten pohuwato AKBP Seheri, S.ik bahwa Mekanisme pengawalan kepolisian terhadap aksi demontrasi dikabupaten pohuwato dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada, yaitu sesuai aturan-aturan yang berlaku dalam pelaksanaan aksi demonstrasi atau penyampaian pendapat dimuka umum. 14 Hal senada diungkapkan oleh kepala bagian operasional prosedur sispam kota kabupen pohuwato Bapak H. Zailani Dalam mekanisme pengawalan kepolisian dalam aksi demonstrasi yaitu berdasarka pada sisten pengaman kota yang merupakan suatu cara pengamanan diingkungan kota terhadap ancaman dan gangguan anyata pada daerah yang luas baik berupa kejahatan kelompok, bersenjata, bencana alam, rusuh massal yang muncul tiba-tiba serta unjuk rasa yang memerlukan keterpaduan dan cara bertindak yang tepat serta berdasrkan aturan-aturan yang mengatur dalam aksi demonstrasi. 15 Menurut Bapak Wanto (Intel) Bahwa dalam proses pengawalan aksi demonstrasi disesuaikan dengan surat izin oleh peserta aksi demonstrasi yang diberikan kepada pihak kepolisian dan kemudian dilakukan pengawalan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku Wawancara Bapak Kapolres Pohuwato AKBP Suheri, S.ik. pada hari rabu tanggal 3 april Wawancara KABAG OPS Bapak H. Zailani. Pada hari rabu tanggal 3 april Wawancara Bapak Wanto (Intel). Pada hari rabu tanggal 3 april

34 Tabel 3 Tanggapan Responden Terhadap Tugas dan Fungsi Kepolisian Dalam Pengawalan Kepolisian Terhadap Aksi Demonstrasi Di Kabupaten Pohuwato No. Indikator Frekuensi Presentase 1. Sangat Mendukung 2 16,67 2. Mendukung 5 41,67 3. Kurang Mendukung 4 33,33 4. Tidak Mendukung 1 8,33 Jumlah % Sumber Data : Data Primer diolah, Dari tabel diatas, menunjukan bahwa dari 12 responden yang menjawab Tugas dan Fungsi Kepolisian Dalam Pengawalan Kepolisian Terhadap Aksi Demonstrasi Di Kabupaten Pohuwato sangat mendukung sebanyak 2 orang (16,67), kemudian yang menjawab mendukung sebanyak 5orang (41,67), dan yang menjawab kurang mendukung 4 orang (33,33), serta yang menjawab tidak mendukung senayak 1 orang (8,33), maka dengan demikian, pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian dalam pengawalan kepolisian terhadap aksi demonstrasi dikabupaten pohuwato dikategorikan mendukung. 80

35 4.4. Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Pengawalan Kepolisian Terhadap Aksi Demonstrasi Kabupeten Pohuwato Struktur Hukum Struktur hukum mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpannya mencakup lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga hukum tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. 17 Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Menurut Abdul Irsak (Ketua KPMIP-G) Bahwa kepolisian dalam pengawalan aksi demonstrasi belum maksimal, serta baik-buruknya hukum tergantung oleh perilaku hukum penegakan hukum yang terdapat dalam strukturan kelembagaan hukum tersebut. 18 Menurut Lawrence M. Friedman struktur hukum yaitu yang berkaitan dengan bentuk atau format yang mencakup unsur-unsur kelxembagaan, pembentukan, penegakan, pelayanan, pengelolaan, peradilan, kepolisian, administrasi yang mengelola pembentukan atau pemberian pelayanan hukum dan sebagainnya. Dan hukum memiliki elemen pertama dari sistem hukum adalah struktur hukum, tatanan kelembagaan, dan kinerja lembaga Soerjono Soekanto Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm Wawancara Abdul Irsak (Ketua KPMIP-G). Pada hari Rabu tanggal 10 april Abd muhaimin Doholio Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati No 9 Tahun 2010 tentang Tugas dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja Dalam Rangka Penegakan Perda Dikecamatan lemito Kabupaten Pohuwato. Gorontalo: Universitas Icsan Gorontalo.hlm

36 4.5.2 Substansi Hukum Substansi hukum mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk menegakannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. 20 Menurut Yopin Polutu (Sekjen BEM Unisan) Bahwa yang sangat mempengaruhi dalam proses pengawalan kepolisian dalam aksi demonstrasi adalah substansi hukum karena dalam proses penerapan hukum tidak sesuai dengan dilapangan khususnya dalam dalam pengawasan aksi demonstrasi, jadi substansi hukum harus ada pembenahan, penguatan moral, etika terkait penegakan hukum. 21 Menurut Lawrence M. Friedman yang dimaksud dengan substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilakan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atauran baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya atauran yang ada dalam kitab Undang- Undang atau law in books. 22 Atas dasar uraian dapat disimpulkan bahwa gangguan ataupun faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum khususnya dalam pengawalan kepolisian 19 Soerjono Soekanto Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm Soerjono Soekanto Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm Wawancara Yopin Polutu (Sekjen BEM Unisan). Pada hari Rabu tanggal 10 april Abd muhaimin Doholio Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati No 9 Tahun 2010 tentang Tugas dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja Dalam Rangka Penegakan Perda Dikecamatan lemito Kabupaten Pohuwato. Gorontalo: Universitas Icsan Gorontalo.hlm

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah dapat

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah dapat BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah dapat disimpulkan, sebagai berikut : 1. Pengaturan Protap Nomor 01 tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarki,

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) SATUAN SABHARA POLRES MATARAM DALAM PENANGANAN UNJUK RASA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) SATUAN SABHARA POLRES MATARAM DALAM PENANGANAN UNJUK RASA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESORT MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) SATUAN SABHARA POLRES MATARAM DALAM PENANGANAN UNJUK RASA I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PROTAP/ 1 / X / 2010 TENTANG PENAGGULANGAN ANARKI

PROSEDUR TETAP KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PROTAP/ 1 / X / 2010 TENTANG PENAGGULANGAN ANARKI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MARKAS BESAR PROSEDUR TETAP KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PROTAP/ 1 / X / 2010 TENTANG PENAGGULANGAN ANARKI JAKARTA, 8 OKTOBER 2010 KEPOLISIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. HASIL WAWANCARA DENGAN KOMPOL R. SITUMORANG, KASI. OPS. LAT. DIT. SAMAPTA POLDASU

LAMPIRAN 1. HASIL WAWANCARA DENGAN KOMPOL R. SITUMORANG, KASI. OPS. LAT. DIT. SAMAPTA POLDASU LAMPIRAN 1. HASIL WAWANCARA DENGAN KOMPOL R. SITUMORANG, KASI. OPS. LAT. DIT. SAMAPTA POLDASU Pertanyaan : Apa sebenarnya faktor faktor penyebab terjadinya kerusuhan pada waktu melakukan demonstrasi? Jawaban

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR TETAP OPERASIONAL PELAKSANAAN PENANGANAN UNJUK RASA DAN KERUSUHAN MASSA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH SUMATERA BARAT RESOR PARIAMAN Jalan Imam Bonjol 37 Pariaman 25519 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN Pariaman, 02 Januari 2012 2 KEPOLISIAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MARKAS BESAR PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO.POL. : 1 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN TINDAKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA PENEGAKAN

Lebih terperinci

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RESOR PANGKALPINANG STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING I. PENDAHULUAN 1. UMUM a. Polri sebagai aparat negara yang bertugas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG TEKNIS PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG TEKNIS PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG TEKNIS PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PEDOMAN TINDAKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PEDOMAN TINDAKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PEDOMAN TINDAKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1 2 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA LINTAS GANTI DAN CARA BERTINDAK

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA LINTAS GANTI DAN CARA BERTINDAK Hsl rpt tgl 24 Maret 2009 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA LINTAS GANTI DAN CARA BERTINDAK DALAM PENANGGULANGAN HURU-HARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HSL RPT TGL 5 MART 09 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH A. Prinsip-Prinsip Penggunaan Senjata Api Dalam Tugas Kepolisian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLRI. Tindakan. Penggunaan Kekuatan. Pencabutan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLRI. Tindakan. Penggunaan Kekuatan. Pencabutan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6, 2009 POLRI. Tindakan. Penggunaan Kekuatan. Pencabutan PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam kehidupan negara demokratis, dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELETON PENGURAI MASSA

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELETON PENGURAI MASSA PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELETON PENGURAI MASSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN

Lebih terperinci

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te No.1133, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Penggunaan Senjata Api Dinas. Ditjen Bea dan Cukai. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. Persoalan lalu lintas yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain, yaitu kemacetan,

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR BIMA KOTA STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA T ENT ANG TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) DI W ILAYAH HUKUM POL R E S

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA HASIL FINAL 26 Mei 2011 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) tentang SISTEM PENGAMANAN KANTOR KPUD LOMBOK BARAT

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) tentang SISTEM PENGAMANAN KANTOR KPUD LOMBOK BARAT KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESORT LOMBOK BARAT STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) tentang SISTEM PENGAMANAN KANTOR KPUD LOMBOK BARAT Gerung, Januari 2017 - 2 - KEPOLISIAN

Lebih terperinci

2017, No tentang Kode Etik Pegawai Badan Keamanan Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembara

2017, No tentang Kode Etik Pegawai Badan Keamanan Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembara No.1352, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAKAMLA. Kode Etik Pegawai. PERATURAN KEPALA BADAN KEAMANAN LAUT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN KEAMANAN LAUT DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang peranan Bidang Pembinaan Hukum Polda Jawa Tengah terhadap Provos dalam menangani tindak pidana kekerasan dalam rumah

Lebih terperinci

NASKAH SEMENTARA STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR KEGIATAN PENGENDALIAN MASSA SAT SABHARA POLRES SUMBAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN

NASKAH SEMENTARA STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR KEGIATAN PENGENDALIAN MASSA SAT SABHARA POLRES SUMBAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESORT SUMBAWA BARAT Jalan Telaga Baru - Taliwang 84355 NASKAH SEMENTARA STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR KEGIATAN PENGENDALIAN MASSA SAT SABHARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998,

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998, Polri sebagai salah satu organ pemerintahan dan alat negara penegak hukum mengalami beberapa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 9 Tahun Tentang. Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 9 Tahun Tentang. Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kekuatan mutlak untuk mempertahankan sebuah negara adalah kekuatan militer, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan bagian dari birokrasi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 28-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PENGENDALIAN DAN CARA BERTINDAK TERHADAP AKSI UNJUK RASA

PENGENDALIAN DAN CARA BERTINDAK TERHADAP AKSI UNJUK RASA MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA S D E O P S PENGENDALIAN DAN CARA BERTINDAK TERHADAP AKSI UNJUK RASA 1. REFERENSI : a. UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri. b. UU No. 9 tahun 1998 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA API DINAS DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR LOMBOK TIMUR PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA HASIL FINAL 26 Mei 2011 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05 MAKALAH ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK Menganalisis pelanggaran AAUPB terhadap Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL, Menimbang : bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan masyarakat.

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJARMASIN

WALIKOTA BANJARMASIN ! WALIKOTA BANJARMASIN PERATURAN WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 3$ TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Hsl Rpt (12) Tgl 19-05-06 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepentingan orang yang melaksanakan hak-haknya, misalnya hak untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepentingan orang yang melaksanakan hak-haknya, misalnya hak untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polisi adalah aparat penegak hukum yang memiliki tugas dalam menjaga ketertiban masyarakat dan berperan sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota, terutama di kota besar yang memiliki banyak aktivitas dan banyak penduduk. Selain itu sistem

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN PERTAMA DI TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TPTKP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SISTEM PENGAMANAN MAKO KEPOLISIAN RESORT MATARAM TAHUN 2016

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SISTEM PENGAMANAN MAKO KEPOLISIAN RESORT MATARAM TAHUN 2016 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SISTEM PENGAMANAN MAKO KEPOLISIAN RESORT MATARAM TAHUN 2016 I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengantisipasi

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In No.1421, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU. Kode Etik Pegawai. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN PENGAWAS PEMILIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG Hasil rapat 7-7-05 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG TEKNIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, HAKIM DAN KELUARGANYA DALAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENGAWASAN KEGIATAN KERAMAIAN UMUM, KEGIATAN MASYARAKAT LAINNYA, DAN PEMBERITAHUAN KEGIATAN POLITIK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Bernadus Ardian Ricky M (105010100111087) KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan

I. PENDAHULUAN. masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA 20 PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BARITO UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP.05.02 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam upaya menciptakan kehidupan bangsa Indonesia yang aman, damai dan sejahtera. Tanpa adanya penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemaslahatan bersama, dan juga untuk mewujudkan masyarakat yang damai

BAB I PENDAHULUAN. kemaslahatan bersama, dan juga untuk mewujudkan masyarakat yang damai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga kepolisian adalah sebagai salah satu penegak hukum di Indonesia dan menjadi lembaga yang keberadaannya bersinggungan langsung dengan masyarakat. Setiap

Lebih terperinci

2011, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

2011, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas No.605, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kode Etik. Pegawai Pemasyarakatan. Majelis Kehormatan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK I. UMUM Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita tentang peristiwa pidana, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA DIVISI HUBUNGAN MASYARAKAT POLRI NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA DAN DOKUMEN INFORMASI

PERATURAN KEPALA DIVISI HUBUNGAN MASYARAKAT POLRI NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA DAN DOKUMEN INFORMASI PERATURAN KEPALA DIVISI HUBUNGAN MASYARAKAT POLRI NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA DAN DOKUMEN INFORMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DIVISI HUBUNGAN MASYARAKAT POLRI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 3-2002 lihat: UU 1-1988 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 51, 1982 (HANKAM. POLITIK. ABRI. Warga negara. Wawasan Nusantara. Penjelasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat berbeda dalam sifat dan substansinya (Rahardjo, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. sangat berbeda dalam sifat dan substansinya (Rahardjo, 2010) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polisi adalah profesi yang unik dan rumit. Dikatakan unik karena untuk merumuskan masalah secara tuntas adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Polisi merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kepolisian negara lainnya, namun secara universal terdapat adanya

BAB I PENDAHULUAN. dengan kepolisian negara lainnya, namun secara universal terdapat adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara mempunyai aparat kepolisian yang berbeda-beda dengan kepolisian negara lainnya, namun secara universal terdapat adanya hal-hal yang sama dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK I. UMUM Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 merupakan salah satu wujud

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.263, 2015 LIPI. Pegawai. Kode Etik. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK Bagian Organisasi - 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 2004 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi dan perubahan sosial, tidak hanya perubahan-perubahan yang berlangsung dengan intensif ditingkat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 47 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 47 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 47 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus diatur oleh hukum. Secara tegas dinyatakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR SUMBAWA Nomor : SOP - 6 / I / 2016 / Sat.Intelkam STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL I. PENDAHULUAN Bangsa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang menjalankan tugas kepolisian sebagai profesi, maka membawa konsekuensi adanya kode etik profesi maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 2004 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI JAWA TIMUR PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA LINTAS GANTI DAN CARA BERTINDAK

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA LINTAS GANTI DAN CARA BERTINDAK Hsl rpt tgl 24 Maret 2009 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA LINTAS GANTI DAN CARA BERTINDAK DALAM PENANGGULANGAN HURU-HARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1528, 2015 KEMENKUMHAM. Lembaga Pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara. Pengamanan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam

Lebih terperinci