BAB II. Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TANPA IZIN ORANG TUA DALAM FIQIH ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Asas-Asas Hukum Perkawinan Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasarkan adanya sesuatu norma hukum. 67 Sedangkan prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir. 68 Berdasarkan kedua pengertian ini pada hakikatnya asas dan prinsip adalah sama saja tetapi asas lebih tinggi daripada prinsip, misalnya ketika disebut asas legalitas, maka prinsipnya adalah penundukan pada suatu aturan tertentu. Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan hukum kongkrit melainkan merupakan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari perumusan aturan hukum kongkrit. 69 Oleh karena itu asas dan prinsip adalah sama, bedanya hanya pada tingkatan penyebutannya saja. Mahadi, mengatakan bahwa asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan hal M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal Ibid., hal Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), 37

2 38 sesuatu hal yang hendak dijelaskan. 70 Pandangan ini juga mengatakan bahwa asas sama dengan prinsip karena dihubungkannya dengan kata atau. Satjipto Rahardjo, mengatakan, asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, sehingga asas-asas tersebut menjadi jembatan antara peraturanperaturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya, melalui asas hukum peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. 71 Dari pandangan ini tampaklah bahwa asas itu lebih tinggi daripada prinsip di mana bahwa aspek yang terkandung di dalam asas adalah nilai-nilai etika. Ronald Dworkin mengatakan, asas-asas hukum diperlukan guna menafsirkan aturan-aturan sejalan dengan asas-asas yang mendasari aturan-aturan hukum. 72 Asasasas sangat penting peranannya dalam menafsirkan dan memaknai aturan-aturan yang tidak pernah dapat secara lengkap melingkupi semua masalah yang mungkin muncul. Asas hukum turut berperan, tidak saja tatkala menghadapi penerapan aturan pada umumnya, sekalipun hanya untuk sekedar menegaskan kembali makna yang terkait pada aturan tersebut. Suatu kriterium harus dapat ditemukan, beranjak dari mana fakta dapat diuji relavansinya terhadap hukum. 73 Sehingga esensi dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mesti dilaksanakan berdasarkan asas-asas perkawinan. 70 Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal Satjipto Rahardjo, Op. cit., hal Ronald Dworkin dalam Efemia Surjawati Salim, Kedewasaan Sebagai Salah Satu Faktor Penentu Keabsahan Perjanjian Dalam Bidang Bisnis Serta Pengaturannya Dalam Sistim Hukum Nasional, (Bandung: Tesis Magister, 1997), hal Ibid., hal. 33.

3 39 Asas-asas atau prinsi-prinsip perkawinan Islam yang dimaksud sebagai ketentuan perkawinan yang menjadi dasar berpijak dalam berbuat atau tidak berbuat berdasarkan syaria t Islam khususnya tentang perkawinan. 74 Asas-asas hukum perkawinan Islam menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia terdiri dari 7 (tujuh) asas yaitu: asas personalitas, asas persetujuan, asas kebebasan memilih pasangan, asas kesukarelaan, asas kemitraan suami istri, asas monogami terbuka, dan asas untuk selama-lamanya. 75 Kata perkawinan disamakan dengan pernikahan. Dalam istilah hukum Islam kata nikah sama kawin, atau nikah dengan kata zawaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya yaitu dham yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Nikah memiliki arti kiasan yakni wathaa artinya setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak dipakai sedangkan dalam arti sebenarnya jarang digunakan Asas-Asas Hukum Perkawinan Islam Banyak asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum perkawinan dalam Islam, di antara banyak asas tersebut, beberapa asas penting sehubungan dengan penelitian, diuraikan sebagai berikut. 74 Mardani, Op. Cit., hal Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal

4 40 a. Asas personalitas keislaman Asas personalitas keislaman memandang bahwa perkawinan hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada syaria t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam. 77 Asas ini jelas sekali difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa MUI Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Dalam fatwa ini, jika terjadi perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam, maka perkawinan itu haram dan tidak sah. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Jika tidak sah, maka anak hasil perkawinan yang dilahirkan merupakan anak hasil zina yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Jika asas-asas hukum perkawinan (asas-asas yang lain) tidak terpenuhi, yaitu asas persetujuan, asas kesukarelaan, asas kebebasan memilih, asas kemitraan suami istri, atau asas monogami terbuka, maka akibat hukum perkawinan tersebut dapat dibatalkan. 78 Asas personalitas keislaman merupakan salah satu asas hukum perkawinan Islam dan juga menjadi asas yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UU 2008), hal Neng Djubaidah, Op. cit., hal Asroun Ni am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elasas,

5 41 Perkawinan) dan Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (disingkat KHI). 79 Pasal 1 UU Perkawinan menentukan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar penentuan asas ini terkandung di dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari rumusan ini berarti bahwa perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hukum agama yang dipeluk oleh orang yang melakukan perkawinan berarti perkawinan itu tidak sesuai dengan asas personalitas dalam UU Perkawinan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka asas ini menghendaki bahwa masalah perkawinan lebih menjurus pada urusan yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada syaria t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam. 80 Dikatakan asas ini sebagai asas personalitas keislaman sehubungan dengan masalah perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa sahnya perkawinan jika dilakukan menurut 79 Neng Djubaidah, Ibid., hal Ibid., hal. 93.

6 42 hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Jadi, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan masing-masing orang. Menurut Hazairin, tidak ada kemungkinan bagi orang Islam untuk melakukan perkawinan dengan melanggar hukum agamanya sendiri, termasuk untuk semua agama (Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu di Indonesia. 81 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berlaku khusus bagi warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam. Pasal 40 huruf c KHI melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Pasal 44 KHI melarang perkawinan antara wanita Islam dengan laki-laki non muslim. Dengan demikian asas personalitas keislaman di bidang hukum perkawinan di Indonesia dianut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan junto Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 KHI. Asas personalitas keislaman sebagai satu di antara banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum yang berperkara di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat UU Peradilan Agama) terdapat dasar berlakunya asas personalitas keislaman. Asas personalitas keislaman dalam UU Peradilan Agama terdapat pada Pasal 1 angka 1, 81 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor: , (Jakarta: Tintamas, 1986), hal, Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 96.

7 43 Pasal 2, Pasal 13, Pasal 27, Pasal 39, Pasal 49, Pasal 66 ayat (1) UU Peradilan Agama. Pasal 1 angka 1 UU Peradilan Agama, menentukan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kewenangan peradilan agama dimaksud di sini menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam menganut asas personalitas keislaman. Selanjutnya pada Pasal 2 UU Peradilan Agama diatur fungsi Peradilan Agama sebagai suatu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam. Kemudian dalam Pasal 13 UU Peradilan Agama diatur syarat sebagai hakim Peradilan Agama wajib beragama Islam. Selanjutnya Pasal 27 UU Peradilan Agama mengatur syarat bagi panitera Peradilan Agama juga wajib beragama Islam. Dalam Pasal 39 UU Peradilan Agama terdapat ketentuan syarat bagi juru sita di Pengadilan Agama wajib beragama Islam, syarat bagi sekretaris dan wakil sekretaris Pengadilan Agama wajib beragama Islam sebagaimana ditentukan pada Pasal 45 UU Peradilan Agama. Pada Pasal 49 UU Peradilan Agama, ditentukan kompetensi absolut bagi peradilan agama bertugas, berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan dan bidang-bidang lainnya. 83 Bahkan untuk perceraian ditentukan pada Pasal 66 UU Peradilan Agama 83 Bidang-bidang lainnya seperti: waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari ah.

8 44 bagi orang yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Peradilan Agama untuk sidang ikrar talak. Asas personalitas keislaman ini hematnya dapat dikatakan sebagai asas pemenuhan atau pelaksanaan perintah agama Islam yang menurut Abdul Rahman Ghozali, bahwa melaksanakan perkawinan itu merupakan perintah agama dalam hal ini agama Islam. Oleh sebabnya, jika perkawinan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam, maka pernikahan tersebut adalah haram atau batal atau tidak sah secara Islam. 84 Berdasarkan beberpara pendapat para pakar, dan fatwa MUI, KHI, serta ketentuan-ketentuan dalam UU Peradilan Agama, jelas sekali terkandung didalamnya terdapat asas personalitas keislaman dalam hal perkawinan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan dan perceraian yang diharamkan oleh agama Islam. Secara hukum nasional jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, dapat dibenarkan, akan tetapi jika tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan Allah SWT dalam Al-Qur an dan ketentuan dalam Hadits Rasulullah SAW bisa berpotensi menimbulkan dosa dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di hari pembalasan (hari akhirat). b. Asas kesukarelaan Asas kesukarelaan dipandang sebagai wujud dari itikad baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Asas suka rela tidak hanya dipenuhi oleh kedua calon mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kedua belah pihak orang tua si calon 84 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 32.

9 45 mempelai tersebut. 85 Orang tua para pihak merupakan salah satu rukun nikah dalam Islam. Oleh karena itu, kesukarelaan wali pihak perempuan merupakan hal yang sangat wajib dan terpenting, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 KHI bahwa yang menentukan rukun nikah terdiri atas: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi laki-laki, dan adanya ijab kabul. Kewajiban adanya wali nikah didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW (Rasullah SAW) yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Aisyah bahwa: Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Kemudian jika mereka berselisih, maka penguasalah yang menjadi wali bagi mereka yang tidak ada walinya. 86 Selain itu, terdapat Hadits lain yang menentukan kedudukan wali merupakan unsur terpenting dalam pernikahan Islam yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali Nasai, dari Sulaiman bin Musa dan Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa: Siapa saja perempuan yang kawin tanpa izin walinya, maka perkawinannya batal. Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, bagi perempuan itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah ia anggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya. 87 Berdasarkan Hadits tersebut di atas, demikian pentingnya peran wali perempuan dalam perkawinan Islam, oleh sebab itu, diperlukan asas kesukarelaan bagi wali dalam menikahkan anak-anaknya. Wali tidak dibenarkan maksa diri untuk 85 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal Neng Djubaidah, Op. cit., hal Ibid., hal. 101.

10 46 menikahkan anaknya, dan juga sebaliknya bagi anak tidak boleh dipaksakan oleh orang tua untuk menikah, atau orang tua (wali) tidak dibenarkan untuk menghalanghalangi anaknya untuk menikah jika telah memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam. c. Asas persetujuan Asas persetujuan identik dengan asas kesukarelaan. 88 Segala syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melakukan perkawinan itu tidak dipaksa atau harus dibarengi dengan kerelaan dari calon suami dan istri. Oleh sebab asas persetujuan inilah makanya diadakan peminangan (khitbah) suatu upaya untuk memberikan pertimbangan bagi pihak yang dipinang (pihak istri). 89 Asas kesukarelaan menghendaki adanya itikad baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun, demikian pula asas persetujuan dibarengi dengan itikad baik bersamaan dengan persetujuan dari masing-masing pihak dan walinya. Sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari, Ahmad, Nasa i, Muslim, dan Abu Daud dari Ibnu Abbas bahwa Rasullah SAW bersabda: Perempuan janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya. 90 Kemudian dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa I, Muslim dan Abu Daud, yaitu: Dan gadis hendaknya ayahnya meminta izin kepadanya (maksudnya sebelum dilangsungkan akad nikah, ia ditanya persetujuannya terlebih 88 Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal Ibid., hal Neng Djubaidah, Loc. cit.

11 47 dahulu). Berdasarkan kedua Hadits tersebut jelaslah bahwa asas persetujuan menempati peranan yang sangat penting dalam perkawinan seseorang laki-laki dan perempuan dalam hukum Islam. Persetujuan dalam hukum Islam diartikan dalam makna ijab. Menurut hukum Islam yang sesungguhnya perkawinan itu harus didasarkan pada adanya persetujuan calon mempelai wanita, jika wanita itu masih gadis, maka seharusnya yang menyampaikan ijab itu adalah bapak kandung atau walinya, jika wanita itu janda atau tidak gadis lagi, maka ijabnya diserahkan kepada walinya. 91 d. Asas kebebasan memilih pasangan Asas kebebasan memilih pasangan merupakan rangkaian dari asas persetujuan dan kesukarelaan. Hal ini dapat dilihat dari Hadits yang diriwayatkan Jamaah kecuali Muslim dari Khansa binti Khidman Al-Anshariyah, sebagaimana telah disebutkan pada asas persetujuan bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia janda, tetapi ia tidak menyukai perkawinan itu, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW, akhirnya Rasulullah membatalkan pernikahan itu. 92 Selain itu, dalam Hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Daruquthni, sebagaimana telah dikemukakan juga pada asas persetujuan, yaitu Hadits dari Ibnu Abbas bahwa seseorang gadis datang kepada Rasulullah SAW, lalu gadis tersebut menceritakan kepada Rasulullah SAW tentang ayahnya yang 91 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Negara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 102.

12 48 mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak disukai oleh gadis tersebut, maka Rasulullah menyuruh gadis tersebut memilih, menerima atau menolaknya. 93 Dalam kedua Hadits tersebut di atas, terkandung asas kebebasan memilih pasangan hidup dalam perkawinan, setiap orang berhak untuk memilih pasangan perkawinannya secara bebas asalkan sesuai dengan syari at Islam yakni tidak melanggar larangan perkawinan dalam Islam karena perkawinan merupakan lembaga yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai sendi pokok masyarakat dan bangsa. e. Asas kemitraan Asas kemitraan dalam perkawinan Islam menghendaki pasangan tersebut layaknya sebuah bangunan utuh yang tidak dapat dipisahkan antara suami istri beserta anak-anaknya ibarat bangunan yang kokoh. Dalam pergaulan hidup rumah tangga tersebut, suami dan istri dituntut bekerja sama dalam saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui bahwa makna mitra identik dengan teman bekerja atau teman satu profesi. Sehingga selain statusnya sebagai suami, maka suami tersebut juga berperan sebagai teman dari istri, demikian sebaliknya, selain statusnya sebagai istri, sang istri tersebut sekaligus menjadi teman bagi suami. Asas kemitraan ini menurut Ahmad Rofiq diletakkan pada tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suami istri harus 93 Sayyid Sabiq, Fiqih Islam (Fiqhussunnah), diterjemahkan oleh Muhammad Nabhan Husein, (Bandung: Al-Ma arif, 1981), hal. 16.

13 49 saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan mental. 94 Beliau mendasarkan asas kemitraan ini pada Alqur an Surat Ar-Rum ayat 21 yang pada intinya bahwa esensi dari perkawinan untuk saling berkasih sayang. 95 Untuk memperkuat argumentasi asas kemitraan ini, terutama penting untuk diperhatikan dari subjek hukum atau orang yang akan berakad nikah tersebut (calon suami dan calon istri), dan halalnya hubungan yang diakadkan dalam perkawinan serta segala hal yang diakibatkan dari hasil perkawinan seperti keturunan dan harta kekayaan setelah perkawinan. Kedua hal tersebut merupakan wujud kemitraan sehubungan dengan perkawinan dalam Islam adalah sebagai ibadah dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang terlebih dahulu diikat dengan sighat berupa ijab dan kabul. 96 Bertolak dari sighat ijab kabul ini tersirat sebuah asas kemitraan yang berarti bahwa setelah ijab kabul bukan berarti terjadinya penguasaan sewenang-wenang suami terhadap istri atau sebaliknya, istri yang menguasai suami. 97 Dengan kata lain tanggung jawab tetap berada pada suami kendatipun istri lebih banyak membawa harta yang direlakan dalam keluarga, tetapi suami tetap bertanggung jawab atas segala urusan dalam rumah tangga, tanpa kesewenang-wenangannya terhadap istri. 98 Makna lain bahwa dalam akad tersebut terkandung amanah dari Allah SWT dan 94 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hal Ibid., hal Neng Djubaidah, Op. cit., hal Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 43.

14 50 kedua orang tua mempelai perempuan (istri) kepada mempelai laki-laki (suami) agar dalam penyelenggaraan rumah tangga dan dalam pembinaan rumah tangga dihindari dari kesengsaraan lahir dan batin selama di dunia dan terhindar pula dari api neraka. Sebagaimana dalam Al-Qur an Surat At-Tahrim disebutkan: Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka. Kemudian dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Muslim berkata bahwa: Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah SWT dalam menggauli wanita (istri) sesungguhnya kamu mengawininya dengan amanat Allah SWT dan kamu menghalalkan kehormatannya dengan kalimat Allah SWT (ijab kabul). 99 Berdasarkan amanah dalam Al-Qur an dan Hadits tersebut di atas, maka sesungguhnya dalam ajaran Islam, pembagian tugas antara suami dan istri, bukan dalam makna yang satu menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah agar terwujud keturunan yang soleh dan solihah sebagai penerus amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. f. Asas monogami terbuka Sebagaimana arti monogami adalah suami beristri satu orang perempuan sedangkan poligami, suami yang beristrikan lebih dari satu orang perempuan. 100 Hukum perkawinan Islam menganut monogami terbuka, artinya Islam memberikan kesempatan kepada para suami untuk berpoligami dan paling banyak 4 (empat) orang 99 Neng Djubaidah, Loc. cit. 100 T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Mestika, 2006), hal. 247.

15 51 istri. Asas monogami terbuka ini terkandung di dalam Al-Qur an Surat An-Nisa ayat (4) dan ayat (3), yaitu: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anakanak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Asas monogami terbuka atau dibolehkannya melakukan poligami dalam Islam konsekuensi bagi suami dalam hal ini adalah dalam kondisi darurat, artinya ada halhal menjadi pertimbangan suami untuk melakukan poligami bukan untuk kesenangan semata melainkan pertimbangan-pertimbangan yang disyaratkan dalam ajaran Islam misalnya untuk membantu perempuan dari kesengsaraan, dan lain-lain. Hal ini didasarkan bahwa poligami dalam perkawinan Islam bukanlah sebuah asas perkawinan, bahwa dalam KHI telah diatur sebagai syarat alternatif dan kumulatif bagi suami yang akan melakukan poligami. Sedangkan dalam Pasal 27 KUH Perdata sangat bertentangan dengan asas poligami, yakni memberlakukan asas monogami mutlak dalam pasal ini. Tentu saja pemberlakuan asas monogami mutlak bertentangan dengan hukum Islam. 101 Perlu diketahui dan digaris bawahi di sini adalah bahwa poligami bukanlah bertujuan untuk menyakiti kaum wanita atau membuat derita bagi istri-istri yang satu dengan yang lain, itu sebabnya dalam Al-Qur an Surat An-Nisa ayat (3) disebutkan sebagai sebagai alternatif jika dapat dilakukan berbuat adil. Satu hal menjadi pertimbangan diberlakukannya poligami dalam Islam untuk mencegah perbuatan 101 Neng Djubaidah, Loc. cit.

16 52 maksiat suami yang jauh lebih banyak membawa kemudaratan. 102 Adil dimaksud berarti suami dapat memenuhi segala kebutuhan rohaniah maupun jasmaniah, lahir dan batin istri-istri dan anak-anaknya. 103 Asas monogami terbuka ini ternyata dianut juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat (1) menganut asas monogami tertutup, Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Sedangkan pada ayat (2) menganut asas monogami terbuka yakni, Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 104 g. Asas untuk selama-lamanya Asas untuk selama-lamanya dalam hal ini identik dengan perkawinan yang abadi. Hal ini sebagai konsekuensi dari tujuan perkawinan itu sendiri untuk selamlamanya, bukan untuk sementara waktu atau untuk bersenang-senang atau rekreasi semata. Sebagaimana asas ini terkandung dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, berkata: perkara halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak (cerai). 105 Asas untuk selama-lamanya dalam konteks ini dengan demikian dikenal pula degan asas perceraian dipersulit Ibid., hal Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal Ibid., hal Neng Djubaidah, Op. cit., hal Ahmad Rofiq, Op. cit., hal. 57 dan hal. 59.

17 53 Argumentasi asas selama-lamanya ini dianut dalam perkawinan Islam didasarkan pada tujuan perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan dalam Islam antara lain untuk memperoleh keturunan, ketenangan, ketenteraman, cita kasih dan sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip perkawinan yang bertahan lama atau selama-lamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Hanya karena atas dasar kerelaan hati, prinsip ini dapat dilaksanakan. Peminangan juga turut berperan penting di sini agar tidak ada penyelesalan di kemudian hari, maka seharusnya dilakukan peminangan dalam rangka meminta pertimbangan pihak wanita. 107 Asas untuk selama-lamanya juga terkandung di dalam Al-Qur an Surat Al- Baqarah ayat (2) tentang larangan menikah kembali setelah dilakukan perceraian yang ketiga kalinya (talak ba in qubra). Larangan ini berarti Islam sama sekali tidak menghendaki perkawinan yang berlangsung secara putus-sambung atau cerai-rujuk, hanya sampai tiga kali syarat cerai-rujuk dibenarkan dalam Islam. Asas selama-lamanya sangat bertentangan dengan perkawinan sementara (mut ah) atau sering dikenal dengan perkawinan satu hari, dua hari, atau satu minggu, atau satu bulan. Perkawinan sementara semata-mata bertujuan untuk kesenangan, atau rekreasi belaka, dan mut ah sebenarnya melecehkan kaum perempuan karena perempuan dinilai sebagai barang yang dapat diperjualbelikan. Dengan demikian perkawinan sementara adalah haram, jelas sangat tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagai ibadah, dan ibadah itu dilaksanakan selama-lamanya. 107 Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal

18 54 Dalam dunia Islam modern karangan Mardani dikenal beberapa asas-asas hukum perkawinan Islam menurut hukum Islam diantaranya asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat, kematangan calon mempelai, memperbaiki derajat kaum wanita. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perkawinan Islam antara lain: kebebasan dalam memilih jodoh, prinsip saling melengkapi, prinsip memperlakukan istri dengan cara-cara yang baik, dan prinsip mawaddah, warahmah, dan sakinah. 108 Pandangan lain menyebutkan ada 3 (tiga) asas dalam perkawinan Islam antara lain adalah: asas absolut abstrak, asas selektivitas, dan asas legalitas. Asas absolut abstrak maksudnya adalah suatu asas dalam hukum perkawinan Islam di mana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah SWT atas permintaan manusia yang bersangkutan ketika masih di dalam alam rahim. Sedangkan asas selektivitas maksudnya adalah suatu asas perkawinan dalam Islam di mana yang hendak menikah tersebut harus telebih dahulu meyeleksi dengan siapa dirinya akan menikah apakah dilarang atau tidak, dan terakhir asas legalitas yang maksdunya adalah suatu asas perkawinan Islam yang menghendaki perkawinan itu harus dicatatkan Asas-Asas Hukum Perkawinan Nasional Adakalanya asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan dalam hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas, juga dianut dalam hukum nasional khususnya dalam 108 Mardani, Op. cit., hal Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 34.

19 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana ditentukan dalam Intstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tetapi ada pula asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut hanya dianut dalam hukum nasional saja yang berarti hukum Islam tentang perkawinan yang berlaku khusus bagi umat Islam diatur pula oleh negara sebagai tugas dan tanggung jawab negara dalam mengatur warga negaranya. a. Asas personalitas untuk setiap agama Selain asas personalitas keislaman, asas personalitas untuk setiap agama juga dianut dalam hukum Islam, juga ternyata dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Asas ini terdapat di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan serta terdapat dalam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 KHI. Sebagaimana bahwa asas personalitas keislaman memandang bahwa perkawinan hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada syaria t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam. 110 Asas personalitas untuk setiap 5 (lima) agama (Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Kristen Katolik terdapat pada muatan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama. Berarti perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agamanya masingmasing atau sesuai dengan ajaran agama yang dianut calon mempelai adalah sah 110 Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 93.

20 56 menurut agamanya, tetapi diperlukan oleh negara untuk dicatatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. b. Asas emansipasi kaum wanita UU Perkawinan tidak menempatkan kaum wanita pada posisi yang lemah dalam hal perkawinan, di mana bahwa UU Perkawinan tidak mengenal perkawinan di bawah tangan, karena perkawinan di bawah tangan dinilai memposisikan kaum wanita kurang dihargai jika terjadi masalah dalam perceraian. Ketentuan pencatatan dalam UU Perkawinan menandakan bahwa dengan pencatatan perkawinan pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil berarti perkawinan itu dianggap ada dan diakui oleh negara. 111 Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tetapi sahnya perkawinan boleh saja diakui secara agama masing-masing, oleh sebabnya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menentukan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Asas saling membantu/kemitraan/keseimbangan Suami istri diharuskan berperan sebagai mitra, saling membantu satu sama lain, serta saling melengkapi. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itulah makanya esensi dari perkawinan diharuskan saling bantu-membantu. Dasar pertimbangan ini berpedoman pada tujuan 1975), hal M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan,

21 57 perkawinan, sesungguhnya yang dikejar dari perkawinan adalah keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material. 112 Hakikat tujuan perkawinan sesungguhnya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil. 113 Dalam spritual dan materil tercakup fitrah kemanusiaan, baik dari segi batin kerohaniaan manusia sebagai makhluk Tuhan maupun manusia itu dari segi psikhis dan bilogis. 114 Asas saling membantu identik dengan dengan asas kemitraan dan asas keseimbangan (equilibrium) 115 antara hak-hak istri dan hak suami tanpa mengenyampingkan hak suami sebagai pimpinan dalam rumah tangga. Walaupun asas ini tidak terkandung di dalam UU Perkawinan, tetapi pada norma dasar yakni pada falsafah Pancasila terkandung nilai saling tolong menolong, bekerjasama, dan bermusyawarah sebagai ciri kepribadian bangsa Indonesia, termasuk dalam hal membenahi kehidupan dalam rumah tangga, nilai-nilai ini dapat diterapkan. Kedudukan suami dan istri di dalam rumah tangga dikehendaki oleh undangundang secara berimbang atau sederajat tanpa menghilangkan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam konteks ini dikatakan berimbang dalam konteks pengambilan keputusan atau kebijakan rumah tangga harus didudukkan atau 112 Ibid., hal Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal M. Yahya Harahap, Loc. Cit. 115 Ibid.

22 58 dimusyawarahkan bersama. Selain itu, walaupun statusnya sebagai istri, tetapi istri berhak mencapai kedudukan sosial di luar lingkungan rumah tangganya misalnya berkarir bagi istri tidak bisa dihalang-halangi oleh suami dalam perspektif UU Perkawinan. 116 d. Asas perkawinan dicatatkan Asas perkawinan dicatatkan maksudnya adalah bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan harus dicatatkan atau didaftarkan pada lembaga yang berwenang seperti KUA atau pada KCS. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan terkandung asas ini yang mengharuskan setiap perkawinan harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi syarat administratif Pemerintah dan pencatatan itu sebagai akta resmi yang termuat di dalam daftar catatan resmi Pemerintah. 117 Pencatatan atau pendaftaran perkawinan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tersebut akan memperoleh legalisasi dari Pemerintah, baru kemudian perkawinan itu dapat dianggap ada, sebab konsekuensi dengan pencatatan ini berarti diperolehnya akta perkawinan (akta nikah) dari KUA atau KCS sebagai bukti otentik bahwa perkawinan itu benar adanya, bukan dibuat-buat Ibid., hal Ibid., hal Sudarsono, Op. cit., hal. 9.

23 59 e. Asas monogami, monoandri tertutup, dan monogami terbuka Asas monogami menghendaki bahwa suami hanya boleh menikahi seorang perempuan saja. Asas ini terkandung dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, demikian pula asas monoandri terdapat di dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang mana seorang istri hanya dibolehkan memiliki satu orang suami. Asas bersuami satu orang saja diatur secara ketat dan tertutup dalam UU Perkawinan, sebab dalam pasal lain tidak ditemukan ketentuan alternatif bagi istri untuk melakukan poliandri (bersuami banyak). Asas monogami terbuka terkandung dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, dengan ketentuan bahwa Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Asas monogami berlaku bagi warga negara yang beragama Islam sedangkan asas monogami tertutup dianut dalam agama kristen. f. Asas kematangan jiwa Asas keseimbangan jiwa menurut UU Perkawinan menghendaki bagi laki-laki dan perempuan calon suami istri harus memenuhi syarat kematangan jiwa dipandang dari sisi usianya. 119 Asas ini sangat berbeda dengan asas baligh dalam hukum Islam yang memandang bahwa kedewasaan bukan diukur dari usia, tetapi diukur dengan baligh. Makna baligh itu sendiri diartikan bagi laki-laki telah pernah mimpi basah 119 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 9.

24 60 (keluarnya sperma tanpa disengaja) sedangkan perempuan ditandai dengan keluarnya haid, menstruasi, dan beberapa organ tubuhnya yang menunjukkan perkembangan. 120 g. Asas dispensasi kawin (pengecualian) Sebagai wujud pelaksanaan asas personalitas keislaman, sehubungan dengan ajaran Islam yang mengharuskan hukum perkawinan orang Islam hanya berlaku bagi umat Islam, maka UU Perkawinan memberikan peluang sebagai pengecualian pembatasan usia perkawinan. Sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, pembatasan usia kawin dapat dikecualikan dengan cara minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Pada asas dispensasi atau asas pengecualian ini dibolehkan bagi calon suami dan istri untuk menikah pada usia muda jika masing-masing pihak dapat mengajukan alasan-alasan yang sangat penting untuk melangsungkan perkawinan meskipun belum mencapai usia bagi laki-laki harus sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Beberapa pertimbangan dalam hal ini misalnya, karena soal tanggung jawab atas hamil di luar nikah padahal keduanya masih di bawah umur, atau karena salah satu calon mempelai akan pergi ke 120 Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage) Perspektif Fiqih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 20. istilah yang lazim digunakan dalam keilmuan fikih Islam untuk menyebutkan orang dewasa atau fase kedewasaan adalah bulugh atau baligh, ukuran yang dipakai adalah mimpi basah. Sebagaimana Al- Qur an Surat An-Nur ayat 59: Jika anak-anak kalian telah mencapai (usia kedewasaan dengan) mimpi basah.

25 61 luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian ini dimungkinkan untuk berlakunya asas dispensasi dari pengadilan yang berwenang. 121 B. Pengaturan Perkawinan Anak di Bawah Umur Tanpa Izin Orang Tua 1. Pengaturan Berdasarkan Fiqih Islam Sebagaimana yang telah diuraikan pada sub bab pertama dalam bab ini, maka fiqih Islam yang dimaksud adalah fiqih munakahat (fiqh munakahat) atau fiqih tentang perkawinan dalam Islam. Dalam hal ini dibahas khusus mengenai dasar hukum atau pengaturan yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam. Dalam Fiqih Islam tidak ditemukan kaidah atau aturan hukum yang sifatnya menentukan batasan usia kawin. Karenanya, menurut Fiqih Islam semua tingkatan umur (usia) dapat melangsungkan perkawinan. 122 Dikatakan anak dewasa atau tidak di bawah umur dalam Islam tidak didasarkan pada batasan usia tetapi berdasarkan baligh-nya seorang anak tersebut. Makna baligh atau bulugh dalam Fiqih Islam untuk menyebut fase kedewasaan seseorang tidak berdasarkan usia, tetapi didasarkan pada mimpi basah (hulum) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Jadi, tidak dapat diprediksi pada usia kapan seseorang itu dikatakan dewasa atau datangnya mimpi basahnya Sudarsono, Op. cit., hal Yusuf Hanafi, Op. cit., hal Ibid., hal. 20.

26 62 Secara lebih spesifik, dewasa (baligh) bagi anak laki-laki ditandai dengan datangnya mimpi basah. Sebagaimana dalam Al-Qur an Surat An-Nur ayat 59 menentukan: Jika anak-anak kalian telah mencapai (usia kedewasaan dengan) mimpi basa. Ketentuan mimpi basah ini khususnya bagi anak laki-laki, yang kemudian ditandai dengan bentuk fisiknya mulai tumbuh jakun pada lehernya serta perilakunya yang semakin menunjukkan puberitas. Berdasarkan Al-qur an Surat An-Nisa ayat (6),..sampai mereka cukup umur untuk kawin. Ibun Syubramah, Abu Bakar al-ashamm, dan Utsman al-bukti berpendapat tentang ayat ini, bahwa anak kecil laki-laki dan perempuan tidak boleh kawin sampai keduanya mencapai umur baligh. Pandangan ini dapat diterima sebab jika dibolehkan kawin sebelum mencapai umur baligh, maka tidak ada manfaatnya ayat ini, di mana keduanya tidak membutuhkan pernikahan pada umur baligh. 124 Kemudian Al-qur an Surat Al-Isra ayat 34, ditentukan, janganlah kamu mendekati (mempergunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik, sampai ia mencapai usia kedewasaan. Tetapi kedewasaan itu sama sekali tidak ditentukan karena batasan usia (umur) seseorang melainkan dewasa itu adalah balighnya seseorang anak perempuan. Khusus untuk gadis (anak perempuan), dikatakan dewasa selain ditandai dengan mimpi basah, juga diidentikkan dengan menstruasi. Para pakar hukum Islam (Fuqaha ) sepakat menyatakan bahwa mimpi basah merupakan indikator yang paling 124 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Pernikahan, Talak, khulu, Meng-iila Istri Li an, Zhihar, Masa Iddah, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir, 2011), hal. 172.

27 63 jelas bahwa seseorang anak laki-laki (ghulam) maupun anak perempuan (jariyah) telah mencapai wajib menjalankan hukum agama (taklif) termasuk dalam urusan perkawinan. 125 Banyak pendapat dari para ahli agama maupun aliran (mazhab) memandang masalah kedewasaan anak dalam hal melaksanakan perkawinan, tetapi dari semua itu, Al-Qur an sendiri dan Hadits tidak pula menentukan batasan usia dewasa bagi anak berdasarkan usianya kecuali baligh-nya si anak tersebut. Hal itu menandakan bahwa berdasarkan hukum Islam dan fiqih Islam, syarat baligh untuk melaksanakan pernikahan merupakan syarat mutlak. Jadi bukan berdasarkan usia. Dewasa bagi wanita hendaknya jangan diartikan berdasarkan hanya pada konteks berakal sehat saja. Memang benar bahwa seorang wanita yang belum berakal sehat tidak dapat menentukan pendapatnya dalam persoalan perkawinan 126, akan tetapi masalah kedewasaan bagi wanita harus dilihat dari sisi baligh-nya wanita tersebut. Sebab terdapat kecenderungan bahwa terkadang ada wanita yang telah memiliki akan sehat tetapi sebenarnya wanita atau gadis tersebut belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya sudah baligh misalnya datangnya haidh atau menstruasi pada dirinya. Rasulullah SAW menikahi Aisyah pada usia 6 (enam) tahun dan baru mulai mencampurinya (tinggal serumah) setelah Aisyah berusia 9 (sembilan) tahun. 127 Hadits yang menentukan usia Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW dinyatakan 125 Yusuf Hanafi, Op. cit., hal T. Jatifzhan, Op. Cit., hal Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 11, hal

28 64 cukup sahih sebab diucapkan oleh Aisyah itu sendiri. Dijelaskan dalam Hadits tersebut adalah: Rasulullah SAW menikahiku ketika diriku berusia 6 tahun, dan mulai hidup serumah denganku saat aku telah berumur 9 tahun. Hadits ini dikatakan shaih karena diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, 128 dan termasuk kesepakatan para ahli Hadits. 129 a. Pandangan para mazhab dalam menentukan dewasa Semua mazhab (Hanafi, Safi i, Hambali, dan Maliki) atau disebut dengan Jumhur Fuqaha, berpendapat boleh menikahkan anak kecil perempuan. Keempat mazhab sunni ini hanya berbeda paham masalah siapa yang berhak menikahkan anak kecil. Keempat mazhab ini hanya saling berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak mengawinkan anak perempuan yang masih kecil tersebut. 130 Dalam menentukan dewasa (baligh) tersebut, umumnya seluruh ulama mazhab berpendapat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki. 131 Tetapi empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi i) dan satu mazhab Ja fari (Imamiyah) 132 berbeda pandangan dalam menentukan baligh tersebut. Maliki, Syafi i, dan Hambali, mengatakan, baligh ditandai dengan tumbuhnya bulu-bulu ketiak, merupakan bukti dewasanya seseorang. Sedangkan Hanafi 128 Ibid., hal Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal. hal Wahbah Az-Zuhaili, Op. cit., hal Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Ja fari, Hanafi, Maliki, Syafi I, dan Hambali), (Jakarta: Lentera, 2011), hal Ibid., hal. xxi-xxii.

29 65 menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi i dan Hambali mengatakan, usia baligh untuk anak lakilaki dan perempuan adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 (tujuh belas) tahun, sedangkan Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan anak perempuan 17 (tujuh belas) tahun. 133 Adapun pandangan dari mazhab Ja fari (Imamiyah) menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan anak perempuan adalah 9 (sembilan) tahun, yang didasarkannya pada Hadits Ibnu Sinan berikut: Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka hartanya diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya secara penuh. Sementara Muhammad Jawad Mughniyah, berdasarkan pengalaman membuktikan bahwa kehamilan bisa terjadi pada anak gadis pada usia 9 (sembilan) tahun, sedangkan kemampuan untuk hamil dipandang sepenuhnya sama dengan hamil itu sendiri. 134 Sebagaimana pandangan Hanafi di atas yang menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan anak perempuan 17 (tujuh belas) tahun merupakan batas usia maksimal. Sedangkan usia minimalnya adalah 12 (dua belas) tahun untuk anak laki-laki dan 9 (sembilan) tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengalami mimpi basah (mimpi mengeluarkan sperma) atau sudah mampu menghamili, atau mengeluarkan 133 Ibid., hal Ibid., hal. 318.

30 66 mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan sudah mengalami haidh, atau menstruasi, dan sudah bisa hamil. 135 b. Pandangan para mazhab dalam menentukan boleh tidaknya izin orang tua Pandangan para mazhab dalam menentukan boleh tidaknya izin orang tua bagi anak perempuan untuk melangsungkan pernikahan, berbeda-beda satu sama lain. Para ulama mazhab sependapat bahwa wali untuk anak gadis (anak kecil) adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak memiliki hak perwalian (sebagai wali) kecuali menurut mazhab Syafi i. Selanjutnya para ulama mazhab hanya berbeda pendapat dalam menentukan wali yang bukan ayah (selain ayah). 136 Menurut pandangan Syafi i dan Hambali bagi ayah boleh menikahkan anaknya atau cucunya yang masih gadis tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu dari gadis tersebut, baik gadis itu sudah dewasa maupun masih kecil, dan pendapat ini satu pandangan dengan mazhab Hambali. 137 Tetapi Syafi i dan Maliki hanya sependapat untuk wali ayah saja, sedangkan untuk wali seorang kakek, Hambali dan Maliki berpendapat bahwa kakek tidak memiliki hak untuk memaksa. Berarti selain ayah tidak diperbolehkan menikahkan perempuan yang masih kecil hingga anak tersebut baligh dan memberi izin. Sedangkan Hanafi berpendapat, bagi semua ashabah (ahli waris) diperbolehkan untuk menikahkan anak masih kecil (belum baligh), tetapi anak tersebut baru 135 Ibid. 136 Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab, (Bandung; Hasyimi Press, 2010), hal. 341.

31 67 memiliki hak pilih jika ia sudah dewasa antara meneruskan atau membatalkan pernikahan tersebut. 138 Sedangkan Hanafi berpendapat, menikahkan gadis yang sudah baligh dan berakal tanpa ada kerelaan si gadis tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi siapapun. Sedangkan Hambali berpendapat, jika gadis tersebut sudah berumur 9 (sembilan) tahun, maka sah izinnya, baik yang ada hubungannya dengan pernikahan, maupun dengan yang lainnya. 139 Sehubungan dengan batas usia kawin dan masalah pemberian izin dari orang tua (wali) bagi anak perempuan, dalam Fiqih Islam tidak ditemukan pengaturan yang menentukan batas usia kawin. Kendatipun berpendapat berbeda-beda dan ada yang menentukan berdasarkan usia dan berdasarkan baligh, akan tetapi dalam Al-Qur an sendiri sebagai sumber hukum yang utama bagi umat Islam tidak menentukan hal itu. Berdasarkan pendapat para mazhab (jumhur ulama) tersebut di atas, para Fuqaha hanya menyatakan bahwa tolak ukur kebolehan untuk menggauli atau digauli (saghirah) adalah terletak pada kesiapannya untuk melakukan aktivitas seksual. Islam memandang aktivitas seksual bagi laki-laki dan perempuan baru dapat terjadi jika ia telah baligh yang diartikan hingga si gadis tersebut harus mencapai kesempurnaan dan kematangan fisik Ibid., hal , 139 Ibid., hal Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 12.

32 68 2. Pengaturan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak/perjanjian keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan dalam konsep Islam lebih diarahkan pada pelaksanaan nilai-nilai ibadah yang berkonsekuensi pada pahala di sisi Allah SWT, maka dengan itu, amatlah tepat jika kompilasi (Kompilasi Hukum Islam) menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqaan gholiidhan) yang semata-mata mentaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah. 141 Syarat bagi kedua calon mempelai pada Pasal 15 ayat (1) KHI ditentukan, untuk calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini dimaksudkan dengan pertimbangan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, sehingga perkawinan hanya boleh dilakukan oleh kedua calon mempelai (laki-laki dan perempuan) jika telah mencapai umur sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 UU Perkawinan. 142 Ketentuan dalam KHI mengenal batasan umur untuk melaksanakan perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 KHI ini, dikatakan anak di bawah umur berarti laki-laki (calon suami) yang usianya berada di bawah 19 (sembilan belas) 141 Ahmad Rofiq, Op. cit., hal Tim Pustaka Yustisia, Hukum Keluarga, Kumpulan Perundang-Undangan Tentang Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT, dan Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 237.

33 69 tahun dan usia calon istri berada di bawah 16 (enam belas) tahun. 143 Untuk semua usia anak di bawah tahun ini adalah dikatakan sebagai anak di bawah umur. Oleh sebabnya menurut KHI tidak boleh melaksanakan perkawinan. Jika dari usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan usia 16 (enam belas) tahun untuk perempuan hingga mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka tahap usia ini diperbolehkannya kawin, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) KHI harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya. Pada Pasal 15 ayat (2) KHI ditetapkan syarat izin kedua orang tua. 144 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Perkawinan. Pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur, jika tidak ada kedua orang tua khususnya orang tua calon istri, maka yang berwenang untuk memberi izin pernikahannya adalah wali nasab (kelompok kerabat) yang kedua, ketiga, dan keempat. Jika wali nasab tidak terpenuhi, maka yang memberikan izin pernikahan bagi calon istri adalah wali hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 KHI Mohd. Idris Ramulyo, Op. cit., hal Tim Pustaka Yustisia, Loc. cit. 145 Pasal 20 ayat (2) KHI menentukan yang berhak menjadi wali nikah adalah wani nasab dan wali hakim. Selanjutnya pada Pasal 21 ayat (1) KHI ditentukan empat kelompok pembagaian wali nasab: kelompok pertama adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kelompok kedua adalah kelompok kerabat yang terdiri dari saudara lakilaki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok ketiga adalah kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok keempat adalah kelompok kerabat yang terdiri dari saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Syariat Islam telah menjadikan pernikahan menjadi salah

Lebih terperinci

PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TANPA IZIN ORANG TUA MENURUT FIQIH ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TANPA IZIN ORANG TUA MENURUT FIQIH ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TANPA IZIN ORANG TUA MENURUT FIQIH ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN EVY SUSANTY ABSTRACT The conclusion is that, first,

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Wasiat Kepada Non Muslim Perspektif Hukum Islam. 1. Syarat-syarat Mushii a. Mukallaf (baligh dan berakal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal

Lebih terperinci

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA 3 IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA Oleh : Alip No. Mhs : 03410369 Program Studi : Ilmu Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Lebih terperinci

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN BAB IV ANALISIS 4 MADZAB FIQIH TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR 0034/Pdt.P/2016/PA.NGJ TENTANG WALI AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN KHAWATIR KEMBALI KEAGAMANYA SEMULA.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Mencapai Derajad Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA 59 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA A. Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perkawinan di bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan

Lebih terperinci

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI 1) TITIN APRIANI, 2) RAMLI, 3) MUHAMMAD AFZAL 1),2) Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung

Lebih terperinci

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik BAB IV ANALISIS TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM NO.0255/Pdt.G/2013/PA.Pas. di PENGADILAN AGAMA PASURUAN A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN 1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan 1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr A. Analisis terhadap proses penyelesaian wali adhal di Pengadilan Agama Singaraja Nomor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM 40 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM Eksistensi perwalian dalam Islam memiliki dasar hukum yang sangat jelas dan kuat. Hal ini dapat dipahami sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA KECAMATAN SUKODONO MENURUT KHI DAN FIQIH MADZHAB SYAFI I 1. Analisis Implikasi Hukum perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN 55 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Analisis Tentang Praktik Penjatuhan Talak Seorang Suami Melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN A. Analisis Latar Belakang Terjadinya Pernikahan Sirri Seorang Istri yang Masih dalam Proses

Lebih terperinci

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Pertanyaan Dari: Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H /

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni ** Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 1 Maret 2017 Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Dan Anak ( Sukma Rochayat) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1994), hlm 453 Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Allah SWT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu amalan sunah yang disyari atkan oleh Al- Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH 75 BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Pendapat Hakim Tentang Status Istri Setelah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan tentang pembahasan dan analisis sesuai dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, yang berjudul Pendapat Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan seorang wanita dan seorang laki-laki, ada rasa saling tertarik antara satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO MENGENAI PENOLAKAN GUGATAN NAFKAH MAD{IYAH DALAM PERMOHONAN CERAI TALAK NOMOR : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda A. Analisis Undang-Undang Perkawinan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa 53 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG IKRAR TALAK BAGI SUAMI ISTRI PASCA PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP Ketika tidak ada peraturan yang tegas mengatur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Analisis Status Anak Dari Pembatalan Perkawinan No: 1433/Pdt.G/2008/PA.Jombang Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Menurut

Lebih terperinci

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar 29 BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR A. Pengertian Ijbar Ijbar berarti paksaan, 1 yaitu memaksakan sesuatu dan mewajibkan melakukan sesuatu. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan.

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON A. Analisis Hukum Islam terhadap Alasan KUA Melaksanakan Pernikahan dengan Menggunakan Taukil Wali Nikah via Telepon Setelah mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH. Dispensasi Nikah Bagi Wanita Hamil Diluar Nikah

BAB IV HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH. Dispensasi Nikah Bagi Wanita Hamil Diluar Nikah BAB IV ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH A. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

Perkawinan dengan Wali Muhakkam FIQIH MUNAKAHAT Perkawinan dengan Wali Muhakkam Jl. KH. Abdurrahman Wahid Kel. Talang Bakung Kec. Jambi Selatan Kota Jambi Kode Pos. 36135 Telp./Fax. 0741-570298 Cp. 082136949568 Email : sumarto.manajemeno@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci