V. KESENJANGAN (GAP) ANTARA KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. KESENJANGAN (GAP) ANTARA KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN"

Transkripsi

1 V. KESENJANGAN (GAP) ANTARA KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN Kebijakan dan implementasinya merupakan dua fungsi yang berlainan dan dapat dibedakan, namun keduanya erat berhubungan dengan satu sama lain sehingga sulit untuk dipisahkan. Kebijakan yang baik harus mengandung langkah-langkah kongkrit untuk implementasinya. Implementasi kebijakan itu sendiri mengandung implikasi kebijakan, cara bagaimana garis-garis besar kebijakan diterjemahkan ke dalam tindakan atau program-program kongkrit, aturan-aturan untuk implementasinya dirumuskan serta penafsiran yang diberikan terhadap kebijakan tersebut (Wahab, 1990). Dampak paling buruk terpisahnya antara kebijakan dan implementasinya adalah hilangnya tanggungjawab pembuat kebijakan terhadap hasil dari implementasi kebijakan. Keterpisahan tersebut dapat membuka pintu darurat (escape hatches), yaitu pembuat kebijakan keluar dari tanggungjawabnya terhadap implementasi kebijakan yang dibuatnya (Sutton, 1999). Banyak anggapan bahwa jika pemerintah membuat kebijakan maka implementasinya seperti yang diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut, namun banyak kepustakaan menyebutkan banyak hambatan dalam implementasi suatu kebijakan, sehingga kebijakan tersebut tidak efektif (Wahab, 1990). Analisis asumsi dipakai untuk mengetahui kesenjangan (gap) antara kebijakan dan implementasinya. Menurut Dunn (2003), analisis asumsi merupakan analisis yang paling komprehesif dari semua metode perumusan masalah. Analisis asumsi diciptakan untuk mengurusi masalah yang rumit, dimana para analis, pembuat, pelaku kebijakan tidak dapat sepakat tentang bagimana merumuskan masalah. Analisis asumsi diciptakan untuk mengatasi empat kelemahan utama analisis kebijakan : a. Analisis kebijakan seringkali didasarkan pada asumsi dari satu pembuat keputusan dengan nilai-nilai yang ditata secara jelas dan dapat direalisasikan pada suatu titik waktu.

2 88 b. Analisis kebijakan biasanya gagal mempertimbangkan secara sistematis dan eksplisit pandangan-pandangan yang sangat berlawanan mengenai sifat masalah dan potensi pemecahannya c. Kebanyakan analisis kebijakan dilakukan dalam organisasi dimana sifat self sealing-nya membuat sulit atau tidak mungkin untuk menghadapi rumusan masalah yang besar d. Kriteria yang digunakan untuk menilai kecukupan masalah dan solusinya seringkali hanya menyentuh karakteristik permukaan (misalnya konsistensi logis) daripada dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasi konseptualisasi masalah. Kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya didekati dengan menganalisis peran stakeholder berdasarkan aturan perundangan dibandingkan dengan implementasi peran stakeholder di lapangan. Berdasarkan Dewar et al (1993) dan Dunn (2003), tahapan asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah: a. Identifikasi stakeholder yang terkait dengan desentralisasi pengelolaan hutan lindung b. Identifikasi peran stakeholder berdasarkan peraturan perundang-undangan c. Identifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi. d. Mempertentangkan asumsi yang tertulis dalam peraturan peruundangan dengan asumsi pelaksanaan peraturan perundangan di lokasi studi, dan dianalisis sejauhmana gap antara keduanya. e. Mensintesis rumusan masalah 5.1. Identifikasi Stakeholder Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan desentralisasi pengelolaan hutan lindung dilakukan dengan analisis stakeholder. Stakeholder dalam pengelolaan hutan lindung bisa dipilahkan menjadi stakeholder utama, stakeholder kunci dan stakeholder pendukung (Reitbergen et al, 1998 dan ODA, 1995).

3 Stakeholder Utama Stakeholder utama (primer), yaitu stakeholder yang terkena dampak langsung, baik positif maupun negatif oleh suatu program atau proyek serta mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, masyarakat sekitar hutan masuk dalam kategori stakeholder utama. Dampak pengelolaan hutan lindung sangat dirasakan oleh masyarakat di sekitar hutan lindung. Masyarakat sekitar hutan lindung menggantungkan sebagian hidupnya pada kawasan tersebut dalam bentuk hasil hutan bukan kayu, kayu dan lahan untuk berkebun. Stakeholder ini seharusnya ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan Stakeholder kunci Stakeholder kunci adalah stakeholder yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis 69 peraturan perundangan (Lampiran 5) ada empat stakeholder kunci yang terlibat dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung, yaitu Kementerian Kehutanan baik yang ada di pusat maupun daerah, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten dan DPRD. a. Kementerian Kehutanan Kementerian Kehutanan berperan dalam menetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) beberapa kewenangan pengelolaan hutan yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten. Kementerian Kehutanan mempunyai beberapa unit pelaksana teknis pusat di daerah yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, yaitu : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). BPDAS berperan dalam penyusunan rencana, penyajian informasi, pengembangan model pengelolaan dan kelembagaan DAS serta monev DAS. Peran BPDAS dalam pengelolaan hutan lindung adalah penyusun rencana, monitoring, evaluasi dan pembinaan rehabilitasi. BKSDA berperan penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan kawasan konservasi dan koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung. BPKH berperan sebagai

4 90 identifikasi potensi, pelaksanaan penataan batas, penatagunaan, penetapan, perubahan status, pemetaan dan pengelola sistem informasi geografis dan perpetaan kehutanan. b. Dinas Kehutanan Provinsi Institusi yang mengurusi pengelolaan hutan di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat adalah Dinas Kehutanan. Kedua provinsi tersebut masih menaruh perhatian besar terhadap sektor kehutanan, hal tersebut dapat dilihat dari masih adanya dinas kehutanan dalam susunan organisasi perangkat daerah di provinsi. Kedua Dinas Kehutanan tersebut berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas Kehutanan Provinsi keberadaannya sangat relevan sebagai jembatan antara kepentingan Pusat dan Daerah. Dinas Kehutanan Provinsi berperan sebagai koordinator program antara UPT (Unit Pelaksana Teknis) Departemen Kehutanan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. c. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasal 7 dari PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan bahwa Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas Daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya c. pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya Perangkat daerah yang ada di lokasi penelitian adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

5 91 d. DPRD Menurut pasal 41 dan 40 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam konteks pengelolaan hutan lindung, DPRD membahas rancangan, menyetujui dan pengawasi pelaksanaan perda tersebut. Di bidang anggaran, kewenangan DPRD adalah membahas dan penyetujui anggaran Stakeholder pendukung Stakeholder pendukung (sekunder), yaitu stakeholder yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan tersebut, tetapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Stakeholder pendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Lembaga Swadaya Masyarat LSM secara legal formal tidak mempunyai kewenangan maupun hak veto dalam pengambilan keputusan, tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk mempengaruhi pendapat masyarakat, karena LSM cukup dekat berinteraksi dengan masyarakat. Terbentuknya Inisiasi Pembentukan Dan Penguatan Jaringan Anti Kejahatan Kehutanan merupakan salah satu forum yang diinisiasi oleh FLEGT. KKI-WARSI menginisiasi Forum Penyelamatan DAS Batanghari. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya tersebut, stakeholder ini perlu dilibatkan minimal dalam pengumpulan informasi dan konsultasi. Berdasarkan hasil observasi dan penelusuran literatur, setidaknya ada tiga LSM yang beraktivitas di lokasi studi, yaitu FLEGT, WARSI dan Qbar. 1. KKI WARSI Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI merupakan forum aliansi 20 LSM dari 4 propinsi di Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, dan Bengkulu) yang peduli pada masalah konservasi sumberdaya alam dan pengembangan masyarakat (community development). Warsi berdiri sejak tahun 1992, dengan sekretariat di kota Jambi. KKI WARSI melakukan

6 92 inventarisasi/pendataan dan identifikasi sistim hutan kerakyatan baik hutan adat, hutan lindung dan lubuk larangan desa yang tersebar di Propinsi Jambi kerjasama dengan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) dan pendampingan masyarakat. KKI WARSI juga mendukung pendekatan bioregion dalam pengelolaan sumber daya alam di DAS Batanghari. Kegiatan ini diharapkan terbangun komitmen bersama (adanya nota kesepahaman bersama para pihak) untuk memulai penyusunan rencana pengelolaan bersama sumberdaya alam pada Daerah Aliran Sungai Batanghari di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. 2. FLEGT EC-Indonesia FLEGT Support Project (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) merupakan program bantuan teknis Uni Eropa untuk Indonesia dalam hal penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan bidang kehutanan. Proyek FLEGT untuk Indonesia mulai bekerja sejak Maret 2006 sampai dengan 28 Februari Lokasi proyek ini di Jakarta, Kalimantan Barat dan Jambi. Lokasi proyek FLEGT di Jambi berada di Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Tebo. Beberapa kegiatan yang dilakukan FLEGT di lokasi kajian adalah : 1) Pertemuan antar instansi terkait untuk penguatan penegakan hukum kehutanan di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2) Lokakarya menuju tata kelola kehutanan yang efektif dan terbuka, 3) Laporan operasi gabungan pengamanan hutan terpadu, 4) Potensi dan pengembangan HHBK di kawasan hutan Bukit Bulan dan 5) Studi kebutuhan kayu lokal. 3. Qbar Qbar didirikan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 4 Januari Kata Qbar berasal dari dua suku kata, yaitu Q (equilibrium: keseimbangan) dan bar (line: garis). Jadi, Qbar berarti garis keseimbangan. Pilihan nama ini diambil atas kesadaran bahwa untuk mewujudkan sebuah sistem yang demokratis dan adil, perlu adanya keseimbangan. Alam secara arif telah mengajarkan untuk menciptakan suatu keharmonisan sistem alam semesta. Visi organisasi ini adalah

7 93 terwujudnya tatanan kehidupan kebangsaan dan kerakyatan yang adil dan demokratis untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Misi organisasi adalah lahirnya hukum dan kebijakan untuk memenuhi keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Visi dan misi dicapai melalui (1) fasilitasi proses penumbuhan dan peningkatan kapasitas pemerintah dalam pembuatan hukum dan kebijakan yang responsif dalam memenuhi keadilan dan kesejahteraan; (2) fasilitasi penguatan basis (rakyat) untuk memenuhi keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan (3) pengembangan dan penguatan institusi Qbar. Di bidang kehutanan Qbar terlibat dalam pendampingan masyarakat sekitar hutan dalam program hutan desa. b. Perguruan Tinggi Hutan di ketiga kabupaten menjadi lokasi penelitian bagi mahasiswa, peneliti dan pendidik beberapa universitas seperti Universitas Jambi, Universitas Andalas, UNDIP, IPB, CIFOR, ICRAF. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi diantaranya: 1) Inisiatif kebijakan daerah dalam pengamanan kawasan hutan menjamin hak-hak lingkungan dan peran warga dalam adaptasi dan mitigasi iklim, 2) Strategi kebijakan pengelolaan mangrove berkelanjutan di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan 3) Kearifan lokal masyarakat sekitar hutan. Stakeholder ini tidak memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan, tetapi beberapa hasil penelitiannya bisa menjadi masukan untuk memperbaiki kinerja pengelolaan hutan lindung. Stakeholder ini sebaiknya dilibatkan minimal pada tahap informasi dan konsultasi. c. Swasta Ada beberapa perusahaan swasta yang terkait dengan hutan lindung di lokasi kajian, yaitu saluran pipa PT Petro China yang berada di Hutan Lindung Sei Buluh, Kabupaten Jabung Timur dan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan PT AIMA yang mengambil air dari kawasan hutan lindung di Solok Selatan. PT Petro China berencana menggali sumber minyak yang berada di dalam kawasan Hutan lindung Gambut (HGL) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tetapi mendapat penolakan dari Komisi IV DPR RI. Sebagai lembaga swasta kedua perusahaan tersebut tidak mempunyai hak veto terhadap kebijakan yang dibuat

8 94 oleh negara, tetapi dengan kemampuan modal yang dimiliki bisa mempengaruhi negara dalam pengambilan keputusan Identifikasi Peran Stakeholder Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Asumsi peran para pelaku diidentifikasi dari 69 (lima puluh sembilan) peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi pedoman pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan lindung (Lampiran 5 no 1 sampai dengan 69). Variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi peran stakeholder dalam pengelolaan hutan lindung diambil dari pengertian pengelolaan hutan yang terdapat dalam pasal 21 UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan 36 dan lampiran PP No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten bidang kehutanan. Berdasarkan kedua perundangan tersebut desentralisasi pengelolaan hutan lindung ke pemerintah kabupaten meliputi kegiatan : inventarisasi hutan 37, rehabilitasi hutan 38, pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan 39, pemungutan hasil hutan bukan kayu 40 yang tidak dilindungi dan tidak termasuk appendix CITES, pemanfaatan jasa lingkungan 41 skala kabupaten dan perlindungan hutan 42 Berdasarkan identifikasi variabel pengelolaan hutan terhadap 69 dokumen kebijakan, diperoleh distribusi dokumen yang membahas masing-masing 36 Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam. 37 Inventarisasi hutan adalah rangkaian kegiatan pengumpulan data untuk mengetahui keadaan dan potensi sumberdaya hutanserta lingkungan secara lengkap (pasal 1 Permenhut No P.6/Menhut-II/2010). 38 Rehabilitasi hutan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga lengkap (pasal 1 Permenhut No P.6/Menhut-II/2010). 39 Ijin usaha pemanfaatan kawasan adalah ijin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi (pasal 1 PP no 6 Tahun 2007). 40 Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getahgetahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu (pasal 1 PP no 6 Tahun 2007). 41 Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi (pasal 1 PP No 6 Tahun 2007). 42 Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (lengkap (pasal 1 Permenhut No P.6/Menhut-II/2010).

9 95 variabel, seperti disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa total frekuensi peran dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung ada sekitar 207 kali. Kegiatan rehabilitasi merupakan kegiatan yang paling banyak diatur dalam dokumen kebijakan (34,78 %), kemudian diikuti kegiatan ijin pemanfaatan kawasan (18,84 %) dan perlindungan hutan (18,36 %). Kegiatan yang paling sedikit diatur adalah kegiatan inventarisasi hutan (7,73 %). Stakeholder yang paling banyak disebut dalam pengelolaan hutan lindung adalah pemerintah kabupaten sebanyak 31,40 % atau 65 kali, sedangkan stakeholder yang paling sedikit disebut adalah stakeholder pendukung, yaitu sebanyak 5,80% atau 12 kali. Masyarakat sebagai stakeholder utama pengelolaan hutan lindung juga mempunyai frekuensi yang kecil dalam kebijakan pengelolaan hutan, yaitu 7,25 % (15 kali). Frekuensi masing-masing kegiatan atau masing-masing stakeholder yang tertulis dalam kebijakan perundangan mencerminkan seberapa besar perhatian pemerintah terhadap kegiatan atau stakeholder tersebut, walaupun frekuensi tersebut tidak selalu mencerminkan besarnya peran. Peran masingmasing stakeholder dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan pada hasil identifikasi di atas nampak bahwa sebenarnya distribusi peran antar tingkat pemerintahan dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung sudah berimbang. Peran masyarakat perlu diperkuat, karena masyarakat adalah utama dalam pengelolaan hutan lindung. Tabel 20 Distribusi peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung Stakeholde r Peran (kali) Inventarisas i Rehabilitas i Perlindunga n Ijin pemanfaata n kawasan Ijin Pemunguta n HHBK Ijin jasa lingkunga n Jumla h % ,25 Masyaraka t Pemerintah ,76 desa Pemerintah ,4 Kabupaten 0 Pemerintah ,2 Provinsi 9 Pemerintah ,5 Pusat 0 Pendukung ,80 Jumlah Persen (%) 7,73 34,78 18,36 18,84 8,21 12, Sumber : hasil analisis dari 69 dokumen peraturan perundangan (lampiran 1 no 1 s/d 69) Berikut ini uraian peran stakeholder dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung berdasarkan aturan perundang-undangan di pusat.

10 96 1. Inventarisasi Hutan Pada tahap inventarisasi hanya ada tiga stakeholder yang berperan, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Ada tiga stakeholder yang tidak punya peran, yaitu Pemerintah Desa, stakeholder pendukung dan masyarakat. Pemerintah Pusat berperan dalam :1)pembuatan Norma, Standart, Prosedur dan Kriteria (NSPK), 2) penyelenggara inventarisasi hutan tingkat nasional, 3) pembinaan dan dan 4) supervisi dan fasilitasi. Pemerintah Provinsi berperan dalam : 1) penyusunan pedoman, 2) menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat provinsi dan 3) pembinaan dan. Pemerintah Kabupaten berperan dalam: 1) menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten/kota serta 2) pembinaan dan. 2. Rehabilitasi hutan Pada kegiatan rehabilitasi semua stakeholder mempunyai peran. Pemerintah Kabupaten menduduki frekuensi peran paling banyak (25 kali) dibanding stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat berperan dalam: 1)penetapan NSPK, 2) penetapan lahan kritis skala nasional, 3)penyusun dan penetapan rencana RHL DAS/Sub DAS dan 4) pembinaan, monitoring, evaluasi. Pemerintah Provinsi berperan dalam : 1)penyelenggara rehabilitasi skala provinsi, 2)Penetapan lahan kritis skala provinsi, 3) pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS dan penetapan rencana pengelolaan, 4) rencana tahunan dan rancangan RHL skala provinsi dan 5) mengkoordinir pengusulan kegiatan rehabilitasi dari kabupaten/kota untuk mendapatkan alokasi DAK DR dan 6) pembinaan, monitoring dan evaluasi. Pemerintah Kabupaten berperan sebagai :1)penyelenggara rehabilitasi skala kabupaten, 2)penetapan lahan kritis skala kabupaten, 3) pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS, 4) penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala kabupaten dan 5) pembinaan, monitoring dan evaluasi. Pemerintah desa, masyarakat dan pendukung berperan sebagai penyelenggara rehabilitasi. 3. Perlindungan hutan

11 97 Pada kegiatan perlindungan hutan semua stakeholder mempunyai peran. Pemerintah Kabupaten menduduki frekuensi peran paling banyak (12 peran) dibanding stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat berperan dalam: 1) penetapan NSPK, 2) penyelenggara perlindungan hutan skala nasional, 3) fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan, 4) kebakaran hutan tingkat nasional, 5) membentuk lembaga kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan hutan.. Pemerintah Provinsi berperan dalam : 1) penyelenggara perlindungan hutan skala provinsi, 2) fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dan 3) kebakaran hutan tingkat povinsi. Pemerintah Kabupaten berperan dalam : 1)penyelenggara perlindungan hutan skala kabupaten, 2) fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dan 3) kebakaran hutan tingkat kabupaten. Pemerintah desa, masyarakat dan stakeholder pendukung berperan dalam penyelenggaraan perlindungan hutan. 4. Ijin pemanfaatan kawasan Semua stakeholder mempunyai peran dalam ijin pemanfaatan kawasan. Pemerintah Pusat menempati frekuensi peran paling banyak (16 kali) dibanding stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat berperan dalam :1) penetapan NSPK, 2) penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala nasional, 3)penetapan areal kerja, 4) fasilitasi, 4)pembinaan dan dan 5)verifikasi pengajuan ijin. Pemerintah Provinsi berperan dalam :1) fasilitasi, 2) penyelenggaran ijin pemanfaatan hutan skala provinsi, 3)IUPHKm lintas kabupaten, 4)pemberi hak pengelolaan hutan desa dan 5) pembinaan dan. Pemerintah kabupaten berperan dalam : 1)penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala kabupaten, 2) fasilitasi, 3)IUPHKm dalam kabupaten, dan 4) pembinaan dan. Pemerintah Desa berperan dalam sosialisasi dan pembentukan lembaga desa, masyarakat berperan untuk mengajukan permohonan ijin pemanfaatan kawasan, stakeholder pendukung berperan dalam fasilitasi. 5. Ijin pemungutan HHBK Semua stakeholder mempunyai peran dalam ijin pemungutan HHBK. Frekuensi peran pada masing-masing stakeholder seimbang. Pemerintah Pusat berperan dalam :1) penetapan NSPK, 2) IUHHBK lintas provinsi dan

12 98 3)pembinaan dan. Pemerintah Provinsi berperan dalam: 1) IUHHBK lintas kabupaten dan 2)pembinaan dan. Pemerintah Kabupaten berperan dalam: 1) IUHHBK dalam kabupaten dan 2)pembinaan dan.. Pemerintah Desa, masyarakat dan stakeholder pendukung juga berperan sebagai pemungut HHBK. 6. Ijin Jasa lingkungan Pada ijin jasa lingkungan ada beberapa stakeholder yang berperan, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Ada tiga stakeholder yang tidak punya peran, yaitu Pemerintah Desa, stakeholder pendukung dan masyarakat. Pemerintah Pusat berperan dalam :1)NSPK, 2) verifikasi ijin, 3) pembinaan dan dan 3)IUPJL lintas provinsi. Pemerintah Provinsi berperan :1) pembinaan dan dan IUPJL lintas kabupaten. Pemerintah Kabupaten berperan dalam :1)pemberi ijin, 2)pelaksana, 3)rekomendasi dan 4) pembinaan dan dan IUPJL dalam satu kabupaten. Masyarakat dan stakeholder pendukung (koperasi, BUMN/BUMS) berperan sebagai pengusul ijin.

13 99 Tabel 21 Analisis peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung berdasarkan peraturan perundang-undangan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 43 1 Inventarisasi hutan NSPK Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat nasional Supervisi dan fasilitasi 45 Peran stakeholder 44 Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Masyarakat Pendukung Pemerintah Desa Pedoman inventarisasi hutan Menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat provinsi Menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten/kota Rehabilitasi hutan NSPK Penetapan lahan kritis skala nasional Penyusun dan penetapan rencana RHL DAS/Sub DAS pembinaan,monitoring, evaluasi Penyelenggara rehabilitasi skala provinsi Penetapan lahan kritis skala provinsi Pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala provinsi Mengkoordinir pengusulan kegiatan rehabilitasi dari kabupaten/kota untuk mendapatkan alokasi DAK DR pembinaan, monitoring dan evaluasi Penyelenggara rehabilitasi skala kabupaten Penetapan lahan kritis skala kabupaten Pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala kabupaten pembinaan, monitoring dan evaluasi Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara 43 Disusun berdasarkan lampiran z PP No 38 Tahun Diidentifikasi dari 69 Peraturan perundangan terkait (Lampiran 1 nomor 1 s/d 69) 45 Fasilitasi merurut PP No 6 Tahun 2007 meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar serta pembinaan dan. 99

14 100 Tabel 21 Lanjutan 100 N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 3 Perlindungan hutan NSPK Penyelenggara perlindungan hutan skala nasional fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan kebakaran hutan tingkat nasional membentuk lembaga kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan hutan. Peran stakeholder Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Masyarakat Pendukung Pemerintah Desa Penyelenggara perlindungan hutan skala provinsi fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan kebakaran hutan tingkat povinsi Penyelenggara perlindungan hutan skala kabupaten fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan kebakaran hutan tingkat kabupaten Memelihara, menjaga Melaporkan membantu pemadaman Penyelenggara Penyelenggara 4 Ijin pemanfaatan kawasan NSPK Penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala nasional Penetapan areal kerja Fasilitasi pembinaan dan 46 verifikasi pengajuan ijin Fasilitasi Penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala provinsi IUPHKm lintas kabupaten Pemberi hak pengelolaan hutan desa 47 Penyelenggara ijin pemanfaatan hutan skala kabupaten Fasilitasi IUPHKm dalam kabupaten 48 Permohonan Fasilitasi Sosialisasi Membentuk lembaga desa 46 Menteri menyusun pedoman pengelolaan hutan desa, monitoring, dan evaluasi; 47 Gubernur memberikan bimbingan, arahan dan supervisi, monitoring, dan evaluasi 48 Bupati/Walikota melakukan pelatihan, monitoring, dan evaluasi

15 101 Tabel 21 Lanjutan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 5 Ijin pemungutan HHBK Peran stakeholder Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Masyarakat Pendukung Pemerintah Desa Penetapan NSPK IUHHBK lintas provinsi pembinaan dan 6 Ijin jasa lingkungan Penetapan NSPK Verifikasi ijin pembinaan dan IUPJL lintas provinsi Sumber : Analisis data primer, 2010 pembinaan dan IUHHBK lintas kabupaten IUPJL hutan lintas kabupaten IUHHBK dalam satu kabupaten Pemberi ijin Pelaksana ijin Rekomendasi IUPJL hutan dalam satu kabupaten Pemungutan HHBK Pemungut HHBK Pemungut HHBK Pengusul Pengusul - 101

16 Identifikasi Realisasi Peran di Lokasi Studi (Implementatif) Implementasi peran stakeholder di lokasi studi dilakukan dengan mengidentifikasi terhadap 27 dokumen kebijakan di tingkat lokal (lampiran 5 no 70 sampai dengan 96), observasi lapangan dan wawancara (seperti terlihat pada Tabel 22). Implementasi peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung adalah sebagai berikut: 1. Inventarisasi Pemerintah Pusat belum menetapkan NSPK inventarisasi hutan secara umum. Pedoman inventarisasi hutan yang ada adalah inventarisasi hutan produksi, yang tertuang dalam P10/menhut-II/2006 tentang Inventarisasi Hutan Produksi Tingkat Unit Pengelolaan dan P. 34/Menhut-II/2007 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Sebenarnya Pemerintah Pusat membentuk BPKH untuk melakukan fungsi identifikasi lokasi dan potensi kawasan hutan yang akan ditunjuk. Provinsi Jambi pernah melakukan kegiatan inventarisasi flora dan fauna, sedangkan di Provinsi Sumbar pernah melakukan inventarisasi Hasil Hutan Bukan Kayu (manau, rotan, getah, gambir) dan jasa lingkungan. Ketentuan perundangan yang ada menyatakan bahwa kegiatan inventarisasi hutan dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun, tetapi karena keterbatasan pendanaan pemerintah provinsi tidak melakukan kegiatan inventarisasi sesuai periode tersebut. Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah melakukan inventarisasi batas hutan, inventarisasi perambahan hutan dan inventarisasi flora dan fauna. Kabupaten Solok Selatan melakukan inventarisasi perambah hutan. Kabupaten belum Sarolangun belum melakukan inventarisasi hutan. Beberapa kegiatan inventarisasi yang dilakukan belum bisa menghasilkan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap, sehingga kurang mendukung sebagai bahan untuk penyusunan rencana pengelolaan hutan. Data yang dipakai selama ini hanya berdasarkan data lama hasil inventarisasi hutan yang

17 103 dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Pengajuan pendanaan untuk kegiatan inventarisasi hutan di provinsi kurang begitu mendapat prioritas. 2. Rehabilitasi hutan Pemerintah Pusat sudah melakukan perannnya (penetapan NSPK, penetapan lahan kritis skala nasional, penyusun dan penetapan rencana RHL DAS/Sub DAS dan pembinaan,monitoring serta evaluasi). Pemerintah Provinsi sudah melakukan penetapan, rekomendasi teknis, koordinasi DAK, pembinaan dan monev, tetapi belum melakukan rehabilitasi dan menyusun rancangan RHL skala provinsi. Pemerintah kabupaten sudah melakukan perannya (penyelenggara rehabilitasi skala kabupaten, penetapan lahan kritis skala kabupaten, pertimbangan teknis rencana RHL DAS/Sub DAS, penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan RHL skala kabupaten, pembinaan, monitoring dan evaluasi). Masyarakat, pemerintah desa dan stakeholder pendukung juga sudah melakukan perannya. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur kendala yang dihadapi Pemda setempat dalam penyelenggaraan rehabilitasi adalah kurang sesuainya pedoman teknis yang disusun oleh Pemerintah Pusat dengan karakteristik lokasi setempat (hutan lindung gambut). 3. Perlindungan hutan Semua stakeholder sudah melakukan perannya masing-masing, tetapi belum maksimal, karena keterbatasan pendanaan dan SDM yang ada. Fasilitasi dan sosialisasi Pemda pada masyarakat sekitar hutan juga sangat terbatas, karena pengajuan anggaran kurang diprioritaskan oleh DPRD setempat. 4. Ijin pemanfaatan kawasan Pemerintah Pusat sudah menetapkan NSPK ijin pemanfaatan kawasan, penetapan areal kerja dan verifikasi pengajuan ijin. NSPK yang disusun Pemerintah Pusat dalam pemanfaatan hutan (Permenhut tentang HKm dan Hutan Desa) sulit untuk diimplementasikan. Kegiatan fasilitasi yang dilakukan Pemerintah Pusat sangat kurang, sedangkan kapabilitas masyarakat sekitar hutan dan Pemda setempat terbatas.

18 104 Pembinaan sudah dilakukan oleh UPT Pusat (BPDAS) dalam bentuk pelatihan, tetapi masih sangat terbatas. Peran yang dijalankan Pemerintah provinsi (fasilitasi, pembinaan dan ) masih kurang, karena keterbatasan anggaran. Belum ada penyelenggara ijin lintas kabupaten. Belum ada pengajuan ijin pemanfaatan kawasan (Hutan Desa, HKm) di ketiga lokasi penelitian. 5. Ijin pemungutan HHBK Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten belum menerbit ijin pemungutan HHBK. Pemerintah Kabupaten dulu pernah mengeluarkan ijin pemungutan rotan, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi masyarakat/perusahaan yang mengajukan ijin. Ijin pemungutan HHBK terkendala oleh tata usaha HHBK yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Masyarakat sekitar hutan sebenarnya sudah melakukan pemungutan HHBK, walaupun belum mengajukan ijin. dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuten masih kurang. HHBK belum menjadi prioritas unggulan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, padahal HHBK mempunyai potensi yang besar dalam mengembangkan pengelolaan hutan lindung. 6. Ijin jasa lingkungan Pemerintah belum membuat NSPK tentang ijin jasa lingkungan, NSPK yang sudah ada adalah ijin wisata alam di hutan konservasi. Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten belum menerbitkan ijin jasa lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung dalam bentuk perdagangan karbon sudah diatur dalam permenhut, tetapi belum bisa diimplementasikan di tingkat kabupaten. Masyarakat sekitar hutan sebenarnya sudah mengambil manfaat jasa lingkungan dari hutan lindung dalam bentuk PLTMH, jasa aliran air untuk pengairan sawah dan air untuk kebutuhan rumah tangga. dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuten masih kurang. Hutan lindung mempunyai potensi wisata yang bisa dikembangkan, tetapi wisata di hutan lindung di lokasi penelitian kurang berkembang karena aksesbilitas yang jauh. Hutan lindung

19 105 dimasa mendatang memiliki potensi yang besar dalam era perdagangan karbon. Isu tersebut bisa menjadi insentif bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjaga kelestarian hutan lindung di wilayahnya.

20 106 Tabel 22 Analisis peran stakeholder dalam proses desentralisasi pengelolaan hutan lindung (implementatif) 106 N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 49 1 Inventarisasi hutan 2 Rehabilitasi hutan Peran stakeholder 50 Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Sarolangun Kabupaten Solok Sealatan NSPK belum ada Belum menyusun Sudah melakukan Sama sekali belum Sudah melakukan pedoman inventarisasi, tapi ada kegiatan inventarisasi, tapi, Inventarisasi hutan belum lengkap inventarisasi belum lengkap supervisi serta tingkat provinsi sudah fasilitasi belum jalan dilakukan tetapi tidak lengkap dan tidak diberbaharui Belum ada pembinaan NSPK sudah ada Penetapan lahan kritis skala nasional Disusun dan ditetapan rencana RHL DAS/Sub DAS Pembinaan,monitori ng, evaluasi dan Penetapan rencana Pertimbangan teknis Penyusunan rancangan RHL skala provinsi belum Koordinasi DAK Pembinaan, monitoring Penyelenggaraan sudah dilakukan, kendala pedoman teknis pusat yang kurang sesuai dengan kondisi daerah (gambut) Penyenggaraan Penyelenggaraan Penyenggaraan Penyenggaraan Penyenggaraan 49 Disusun berdasarkan lampiran z PP No 38 Tahun Diidentifikasi dari 27 dokumen kebijakan terkait (Lampiran 5 nomor 70 s/d 96)

21 107 Tabel 22 Lanjutan N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 3 Perlindungan hutan Peran stakeholder Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Sarolangun Kabupaten Solok Sealatan NSPK sudah ada Penyelenggara tetapi Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara Penyelenggara kurang maksimal dengan tetapi kurang dengan fasilitasi, bimbingan, fasilitasi, bimbingan, melakukan maksimal membentuk pembinaan, pembinaan, operasi gabungan, fasilitasi, polisi nagari, pengawasan pengawasan tapi belum bimbingan, tapi belum membentuk lembaga maksimal pembinaan, maksimal kebakaran fasilitasi, pengawasan, tapi fasilitasi, kebakaran hutan bimbingan, kurang maksimal bimbingan, pembinaan, pembinaan, pengawasan, tapi kebakaran pengawasan, kurang maksimal tapi kurang maksimal kebakaran 4 Ijin pemanfaatan kawasan NSPK Penetapan areal kerja Fasilitasi kurang pembinaan dan kurang verifikasi pengajuan ijin Fasilitasi kurang Penyelenggara ijin lintas kabupaten belum ada Pemberi hak pengelolaan hutan desa kurang Penyelenggara ijin pemanfaatan kawasan hutan belum ada Fasilitasi belum dilakukan Penyelenggara ijin pemanfaatan kawasan hutan belum ada Fasilitasi belum dilakukan Penyelenggara ijin pemanfaatan kawasan hutan belum ada Fasilitasi belum dilakukan Belum mengajukan permohonan ijin Fasilitasi Belum ada sosialisasi dan pembentukan lembaga desa 107

22 108 Tabel 22 Lanjutan 108 N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 5 Ijin pemungutan HHBK 6 Ijin jasa lingkungan Sumber : Analisis data primer, 2010 Peran stakeholder Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Sarolangun Kabupaten Solok Sealatan NSPK Tidak Pemungutan - kurang melakukan HHBK kurang Belum ada ijin kurang kurang kurang pemungutan Belum ada ijin pemungutan HHBK Belum ada ijin Belum ada ijin Belum ada ijin HHBK pemungutan HHBK skala provinsi pemungutan pemungutan pemungutan skala nasional HHBK skala HHBK skala HHBK skala kabupaten kabupaten kabupaten NSPK belum ada (wisata alam) NSPK yang ada belum bisa diiimplemen-tasikan (ijin penyerapan/ penyimpanan karbon kurang Belum ada ijin jasa lingkungan lintas provinsi Belum ada ijin jasa lingkungan lintas kabupaten kurang Belum ada ijin jasa lingkungan skala kabupaten kurang Belum ada ijin jasa lingkungan skala kabupaten kurang Belum ada ijin jasa lingkungan skala kabupaten kurang - Pengambil manfaat jasa lingkungan -

23 Kesenjangan Peran Stakeholder (antara Peraturan Perundangan dan Implementasinya) Kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya didekati dengan membandingkan peran stakeholder berdasarkan peraturan undang-undang dan implementasinya di lapangan. Hasil analisis asumsi kebijakan (identifikasi pada Tabel 21 dan Tabel 22) dirangkum dan disajikan pada Tabel 23. Dari hasil analisis asumsi dapat disimpulkan bahwa beberapa stakeholders belum menjalankan perannya secara optimal, sebagai contoh : a. Pemerintah Pusat belum membuat beberapa NSPK pengelolaan hutan lindung (seperti inventarisasi hutan, ijin wisata alam dan ijin pemanfaatan air), beberapa NSPK yang dibuat juga sulit diimplementasikan di lapangan (NSPK ijin pemanfaatan kawasan) atau belum bisa diimplementasikan (NSPK ijin penyimpanan/penyerapan karbon). Peran pemerintah pusat dalam fasilitasi, pembinaan, monev masih kurang. Desentralisasi pengelolaan hutan memerlukan mekanisme pembinaan dan monev yang intensif dari pemerintah pusat agar pemerintah daerah mampu menjalankan kewenangannya. b. Pemerintah Provinsi belum membuat pedoman inventarisasi hutan dan penyelenggaran inventarisasi tingkat provinsi juga tidak dijalankan secara periodik sesuai ketentuan perundangan (setiap 5 tahun diperbaharui). Pemerintah provinsi kurang menjalankan fungsi fasilitasi dalam pengelolaan hutan karena keterbatasan anggaran.), padahal Pemerintah Provinsi sebenarnya mengembang peran melaksanakan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan di bidang kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya. Beberapa kegiatan penyelenggaraan pengelolaan hutan maupun ijin pemanfaatan hutan lintas kabupaten juga tidak bisa diimplementasikan. c. Pemerintah kabupaten belum melakukan peran inventarisasi atau sudah melakukan peran inventarisasi tetapi masih parsial. Beberapa peran penyelenggaraan pengelolaan hutan sudah dilakukan oleh pemerintah kabupaten (seperti rehabilitasi, perlindungan) tetapi belum maksimal, karena beberapa kendala (keterbatasan anggaran, SDM dan NSPK pusat yang tidak sesuai dengan kondisi

24 110 lapangan). Peran ijin pemanfaatan kawasan belum bisa diimplementasikan, padahal ijin tersebut memberi manfaat langsung bagi masyarakat dan Pemda setempat, sehingga pemanfaatan hutan oleh pemerintah kabupaten belum optimal dilakukan. Selama ini belum ada mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan hutan lindung. d. Pemerintah Desa mempunyai sedikit peran dalam pengelolaan hutan lindung, tetapi beberapa peran tersebut belum bisa diimplementasikan. e. Masyarakat meskipun mendapat beberapa peran dalam pengelolaan hutan lindung, namun perannya masih pasif (penerima), padahal masyarakat merupakan stakeholder utama dalam pengelolaan hutan lindung. Masyarakat tidak mempunyai tempat dalam pengambilan keputusan, biasanya hanya dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengumpulan informasi. f. Di lokasi penelitian stakeholder pendukung (LSM) yang menonjol adalah FLEGT, WARSI dan Qbar. LSM tersebut menjalankan fungsi fasilitasi dalam bentuk pendampingan kepada masyarakat sekitar hutan. Stakeholder pendukung (swasta) yang cukup menonjol adalah PT Petro China, sudah melakukan peran reklamasi. Perusahaan swasta yang memanfaatkan jasa dari hutan lindung belum begitu banyak. Perusahaan tersebut bisa diarahkan supaya bisa memberikan kompensasi kepada Pemda dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung. Berdasarkan kesenjangan antara peran yang terdapat dalam aturan perundangan-undangan dan implementasi peran di ketiga kabupaten penelitian, dapat disimpulkan masing-masing stakeholder belum menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan yang tertulis dalam aturan perundangan. Pemerintah pusat perlu menjalankan beberapa perannya, agar desentralisasikan pengelolaan hutan lindung dapat berjalan. Beberapa peran yang belum dijalankan oleh pemerintah pusat yang sangat mempengaruhi kinerja pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Belum terimplementasinya beberapa kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten (seperti inventarisasi, perlindungan, ijin pemanfaatan hutan) juga disebabkan oleh belum terpenuhinya beberapa syarat administratif pelaksanaan desentralisasi yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat. Menurut

25 111 Bappenas dan UNDP (2009), pemerintah provinsi juga belum bisa menjalankan perannya dengan baik karena ketidakjelasan pengaturan fiskal di level pemerintah provinsi. Banyaknya peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten yang belum diimplementasikan sejalan dengan hasil penelitian Ngakan et al (2007) tentang Implikasi Perubahan Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Beberapa Aspek di Sektor Kehutanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat belum secara jelas menunjukkan komitmennya mendorong otonomi secara bertahap di bidang kehutanan, di sisi lain Pemerintah Kabupaten belum dapat menunjukkan komitmen dan kemampuannya untuk mengurus hutan yang ada di wilayahnya secara baik dan bertanggungjawab.

26 112 Tabel 23 Analisis Asumsi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 112 N o Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung 1 Berdasarkan aturan perundangundangan di pusat 51 2 Implementasi desentralisasi pengelolaan hutan lindung 52 Peran stakeholder Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Pemerintah Desa Masyarakat Pendukung - Pembuat - Pembuat - Penyelenggara - Penyelenggara - Penyelenggara - Penyelenggara Kebijakan kebijakan, - Fasilitasi - Pengajuan ijin - Pengajuan ijin - Pengajuan ijin - Penyelenggara pedoman - Pembinaan - Penyelenggara pengendalain - Fasilitasi, dan monev pembinaan dan - Pembuatan kebijakan (belum dibuat, tidak implementatif) - Penyelenggara - Pembinaan, dan monev kurang - Pedoman inventarisasi belum dibuat - Penyelenggara (inventarisasi tidak di-up date) - Fasilitasi, pembinaan dan kurang Keterangan : kata yang digaris bawah menunjukkan bahwa peran tersebut belum diimplementasikan Sumber : hasil analisis data sekunder, wawancara dan observasi lapangan, Penyelenggaraan sudah dilakukan tapi belum optimal) - Penyelenggaraan belum dilakukan (ijin pemanfaatan kawasan) - Fasilitasi kurang - Penyelenggara - Belum mengajukan ijin - Penyelenggara - Belum mengajukan ijin - Penyelenggara - Belum mengajukan ijin 51 Diidentifikasi dari 69 Peraturan perundangan terkait (Lampiran 1 nomor 1 s/d 69) 52 Diidentifikasi dari 27 Dokumen kebijakan terkait (Lampiran 1 nomor 70 s/d 96)

VI. KECUKUPAN SYARAT ADMINISTRATIF YANG HARUS DIPENUHI UNTUK BERJALANNYA DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

VI. KECUKUPAN SYARAT ADMINISTRATIF YANG HARUS DIPENUHI UNTUK BERJALANNYA DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG VI. KECUKUPAN SYARAT ADMINISTRATIF YANG HARUS DIPENUHI UNTUK BERJALANNYA DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG Syarat admnistratif yang harus dipenuhi untuk berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Perintah, Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS, Menimbang : a.

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES PEMBUATAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari)

ANALISIS PROSES PEMBUATAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari) ANALISIS PROSES PEMBUATAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari) Oleh : SULISTYA EKAWATI. HARIADI KARTODIHARDJO, DODIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) Page 1 of 6 Penjelasan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN Pangkal Pinang 16-17 April 2014 BAGIAN DATA DAN INFORMASI BIRO PERENCANAAN KEMENHUT email: datin_rocan@dephut.go.id PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 58 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Oleh : Ir. HENDRI OCTAVIA, M.Si KEPALA DINAS KEHUTANAN PROPINSI SUMATERA BARAT OUTLINE Latar Belakang kondisi kekinian kawasan

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

2. Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia; 3. Seksi Penerapan Teknologi g. Unit Pelaksana Teknis Dinas; h. Jabatan Fungsional.

2. Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia; 3. Seksi Penerapan Teknologi g. Unit Pelaksana Teknis Dinas; h. Jabatan Fungsional. BAB XVII DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 334 Susunan organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan terdiri dari: a. Kepala Dinas; b. Sekretaris, membawahkan: 1. Sub Bagian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2015. TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI DI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR RIMBA

PENATAAN KORIDOR RIMBA PENATAAN KORIDOR RIMBA Disampaikan Oleh: Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Dalam acara Peluncuran Sustainable Rural and Regional Development-Forum Indonesia DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNGJAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa keberadaan dunia usaha seyogyanya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan - 130-27. BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah daerah. 2. Penunjukan,,, Pelestarian Alam, Suaka Alam dan Taman Buru

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG :

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKAMARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan BB. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan 2. Pengukuhan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Suaka Alam dan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 6 TAHUN

PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 6 TAHUN SALINAN BUPATI TOLITOLI PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG Hasil Pemba hasan d PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.18/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN LINDUNG, HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR. BAB I KETENTUAN UMUM.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR. BAB I KETENTUAN UMUM. Menimbang : BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2012 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 19 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR DENGAN RAKHMAT

Lebih terperinci

GubernurJawaBarat. Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon : (022) Faks. (022) BANDUNG

GubernurJawaBarat. Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon : (022) Faks. (022) BANDUNG GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, RINCIAN TUGAS UNIT DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI JAWA BARAT Menimbang

Lebih terperinci

- Saudara Kepala Dinas/Badan Lingkup Pemerintah

- Saudara Kepala Dinas/Badan Lingkup Pemerintah - Saudara Kepala Dinas/Badan Lingkup Pemerintah SAMBUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PADA LOKAKARYA MENYIAPKAN SKEMA PENGELOLAAN HUTAN BERBASISKAN MASYARAKAT SEBAGAI PENERIMA MANFAAT UTAMA PENDANAAN KARBON

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind No.68, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Bidang Kehutanan. 9PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9/Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1938, 2017 KEMEN-LHK. Penugasan bidang LHK kepada 33 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.66/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 9 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN

Lebih terperinci

A. Bidang. No Nama Bidang Nama Seksi. 1. Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan. - Seksi Perencanaan dan Penatagunaan Hutan

A. Bidang. No Nama Bidang Nama Seksi. 1. Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan. - Seksi Perencanaan dan Penatagunaan Hutan Lampiran Surat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten Nomor : 522/ /Hutbun.1/2016 Tanggal : Nopember 2016 Perihal : Kajian Pembentukan UPTD Urusan Kehutanan pada Dinas Lingkungan Hidup dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci