BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Ada beberapa pendapat dalam metafisika. Salah satu pendapat metafisik yang menyusun suatu sistem adalah pendapat yang menerima suatu prinsip pertama di belakang gejala-gejala, prinsip-prinsip inilah yang memberi makna dan hukum kenyataan. Prinsip azali, dalam hal ini dianggap sebagai kenyataan yang sesungguhnya, pada umumnya di ambil dari skema tradisional. Prinsip pertama atau azali ini ada yang-material, ada yang-hidup, ada yang-rohani dan ada yang-ilahi (Siswanto, 1998: 4). Manusia, menurut asumsi ini pasti memiliki pandangan ontologis tertentu, walaupun masih dalam bentuk yang paling sederhana. Filsafat pada tataran non-akademis (ordinary philosophy) juga berbicara tentang persoalan-persoalan yang serupa dengan filsafat pada tataran akademis. Hal ini menyiratkan bahwa manusia senantiasa haus akan penjelasan-penjelasan yang mengatasi kenyataan yang dijalaninya sehari-hari. Titus (1984: 5-11) menjelaskan suatu fakta bahwa manusia yang mempertanyakan persoalan-persoalan yang luar biasa jauh dalam scope-nya dan persepsinya menunjukkan rasa kehausan bagi tiap manusia untuk mendapatkan penjelasan, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang telah berfilsafat walaupun dengan sebuah pertanyaan yang paling sederhana. Setiap 1

2 orang memiliki filsafat walaupun orang mungkin tidak sadar akan hal tersebut. In general sense, a person s philosophy is the sum of his fundamental beliefs and convictions. In this sense every one has a philosophy, even though he does nort realize it. All people have some ideas concerning physical objects, man, the meaning of life, nature, death, God, right and wrong, and beauty and ugliness. Of course, these ideas are acquired in variety of ways (Titus, 1964: 5). Manusia membutuhkan a unified view of things, yakni metafisika. Manusia dan kebudayaannya berdiri di atas ajaran ontologi tertentu yang mendasari segala aspek kehidupannya, baik pada aspek sosial, moral, sistem kebudayaan, budaya, ritual dan sebagainya (Ulumi, 2004: 1). Whiteley mengatakan bahwa:...there are wide differences of opinion, especially between the professional philoshopher and the intellegent man in the street. The latter, when he turns to philosophy, usually expects it to provide him with an enlightening and satisfying interpretation of the universe. He wants to be instructed as to the meaning of life and the nature of ultimate reality. He wants a firm basis for his thinking and his scheme of living, a unified view of things which will make him feel at home in the world (Whiteley, 1950: 1). Provinsi Banten menentukan bentuknya yang sekarang melalui perkembangan sejarah yang panjang, berbagai pengaruh telah ikut mewarnai kehidupan dan budaya masyarakat, mulai dari pola kepercayaan, teknologi sampai kepada berbagai jenis seni dan budaya yang muncul dan berkembang di berbagai wilayah yang ada di Banten. Seni dan budaya Banten, dalam perkembangannya ada yang khas mencerminkan kepercayaan dan budaya masyarakat setempat seperti: Angklung Buhun, Dogdog Lojor dan Bendrong Lesung. Seni khas masyarakat 2

3 Banten di sisi lain ada yang merupakan penetrasi dari keyakinan agama seperti Debus, Rudat, Silat Patingtung dan Beluk. Berbagai jenis seni dan budaya lain tumbuh merupakan warisan agama Islam yang kental mewarnai masyarakat Banten dan memang awalnya disiapkan sebagai wahana penyebaran agama Islam seperti: Dzikir Saman, terebang Gede, Seni Beduk, Qasidahan, Yalail dan Marhabaan. Ada juga seni dan budaya masyarakat Banten yang merupakan hasil akulturasi dari budaya luar dan berkembang di wilayah tertentu dalam bentuk asalnya, seperti: Topeng Banjet, Gambang Kromong, Cokek dan Tayuban. Semua seni dan budaya tersebut merupakan bagian dari identitas daerah yang masih perlu dikembangkan dan dikaji lagi untuk menemukan makna dan esensi terdalam dari masing-masing seni atau kebudayaan. Debus pada awalnya hanya dimiliki oleh sekumpulan orang Banten yang tergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan Islam, yakni Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Rifaiyah. Kehadiran dan perkembangan kedua tarekat ini berhubungan dengan munculnya fenomena debus di daerah Banten. Debus, dalam hubungan itu tampak bahwa debus dan tarekat merupakan dua hal yang saling berkaitan. Terdapat seorang pimpinan di dalam tarekat yang biasa dikenal dengan sebutan syeikh atau kiyai. Ketiga hal tersebut, yaitu debus, Islam dan kiyai merupakan persoalan yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian ontologi tesis ini, dengan memfokuskan pada studi kasus di Walantaka, Kota Serang, Propinsi Banten. 3

4 Tarekat-tarekat yang populer ini sering kali disertai dengan praktikpraktik magis, sehingga Banten merupakan daerah yang terkenal dengan praktik-praktik magis. Masyarakat Banten yang gemar mengamalkan berbagai macam praktik ilmu magis sering menggunakan cara-cara dan doadoa yang diambil dari berbagai tarekat yang telah dikenal, walaupun secara dangkal. Banten mempunyai reputasi yang kokoh sebagai tempat bersemayamnya ilmu-ilmu gaib, tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan dan perlindungan supernatural serta kedamaian jiwa (Hudaeri, 2010: 3). Teknik-teknik yang berkaitan dengan tarekat hanyalah salah satu bagian dari debus, sebab para guru debus tidak lazim dikenal juga sebagai guru tarekat. Sebagian dari para guru debus memang memimpin wiridan berjamaah yang sejenis dengan tarekat, tetapi tidak seorang pun dari para guru debus yang merupakan pemimpin tarekat yang sebenarnya. Sebagian lainnya pada umumnya adalah guru-guru silat dan sama sekali tidak dikenal sebagai dzikir dan ratib. Bacaan-bacaan Islam yang digunakan agar menjadi efektif juga harus diisi atau dibayar dengan berpuasa. Hasil yang sama terkadang dapat dicapai dengan cara yang berbeda-beda, misalnya seseorang mungkin membaca suatu formula yang dibayar terlebih dahulu, membaca jimat yang sudah diisi sementara meminjam kekuatan gurunya yang dipindahkan melalui sebuah praktik jiyad (Hudaeri, 2010: 4). 4

5 Debus, mengacu pada persoalan di atas, mengandung beberapa pandangan ontologis, debus mengandung kuat unsur religi karena sangat berhubungan dengan Yang-Transendental, pada setiap pertunjukkan selalu ada ritual-ritual tertentu yang menandakan bahwa pelaksanaan debus tidak dapat terlepaskan dari peran Yang Transendental, ada prinsip keyakinan bagi para pelaku debus dan beberapa persoalan dalam kajian ontologi yang juga terkandung di dalam debus. Ada beberapa alasan mengapa debus Banten menjadi objek material dalam penelitian ini. Pertama, debus bagi orang Banten mengandung unsur magi sehingga menjadi hal yang tidak terpisahkan dari agama, karena agama (Islam) bagi orang Banten merupakan hal yang wajib diimani tanpa syarat, dijalani, mampu menuntun hidup manusia dan membawa konsekuensikonsekuensi (manfaat) praktis (Tihami, 1992: 119 dalam Ulumi, 2004: 3). Kebanyakan keahlian magis yang berkembang di Banten secara dekat berhubungan dengan keahlian bermain silat dan dunia kejawaraan. Debus yang merupakan praktik penanaman kekebalan tubuh terhadap api dan benda-benda tajam adalah bagian yang sangat mencolok dari teknik-teknik ini. Para guru debus umumnya menggunakan semua jenis praktik magis. Teknik-teknik debus merupakan campuran eklektik dari magi Islam dan tradisi lokal yang berasal dari kepercayaan pra-islam. Bacaan-bacaan saktinya yang terdiri dari doa-doa Islam yang berbahasa Arab disamping bacaan-bacaan berbahasa Jawa dan Sunda (Hudaeri, 2010: 3). Kedua, debus dan kesenian lain yang hidup di daerah Banten sebagian besar mengandung unsur kebatinan, misalnya seni beladiri Pencak Silat, seni pertunjukkan kebatinan seperti Taraje (tangga) Golok, Taraje Cau Ambon, tarian mistik dan magis Syaman, Patingtung, Gatele dan sebagainya. Debus, dalam hal ini merupakan salah satu seni pertunjukkan kebatinan. Ketiga, 5

6 debus Banten masih berlaku dan lestari hingga saat ini. Debus dilestarikan oleh Jawara (ahli beladiri kebatinan) dan beberapa Padepokan Debus di berbagai daerah di Banten. Keempat, debus merupakan salah satu kebudayaan yang melekat dan tidak dapat terpisahkan bagi masyarakat Banten. Alasan lain yang mendorong penelitian ini menggunakan objek material debus adalah karena hingga saat ini, sejauh penelusuran penulis belum ada kajian filosofis terhadap debus, khususnya pada dimensi ontologis. Tulisantulisan yang pernah ada tentang debus hanya berkisar pada kajian budaya, ilmu antropologi dan religi tetap masih bersifat antropologis yang lebih difokuskan pada persoalan ritual-ritual. Kajian tentang debus, meskipun juga ada kajian yang mengandung unsur filosofis debus, namun hanya dibahas dalam kerangka filsafat kebudayaan, sehingga belum menyentuh aspek ontologis. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem debus maupun di luar lingkungan debus yang disebabkan karena perkembangan zaman dan arus globalisasi juga merupakan salah satu persoalan ontologis yang perlu dikaji lebih dalam. Globalisasi mengimplikasikan bahwa telah terjadi pergeseran makna di seluruh bidang kehidupan, termasuk juga seni dan budaya debus di Banten, sehingga mempengaruhi makna esensial dari identitas budaya masyarakat Banten secara keseluruhan. Krisis identitas budaya, seiring dengan perkembangan yang terjadi di daerah Banten menjadi persoalan ontologis karena menyinggung struktur manusia yang paling dasar, sehingga masih sangat relevan bila dikaji secara ontologis. 6

7 2. Rumusan Masalah Penelitian yang berjudul Dimensi Ontologis Debus; Sumbangannya Bagi Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di Walantaka, Kota Serang, Propinsi Banten), objek materialnya adalah debus dan problema utama tentang makna hakikat debus dengan objek formalnya Ontologi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan sekaligus mengungkapkan hakikat yang ada dalam debus. Fokus utama penelitian ini adalah konsep tentang hakikat debus dilihat dari perspektif Ontologi. Objek material dan objek formal yang dikemukakan di atas, membawa konsekuensi permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut: a. Apa hakikat debus Banten? b. Apa dimensi ontologis debus Banten? c. Bagaimana sumbangan ontologi debus bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten? 3. Keaslian Penelitian Makmun Muzakki R dalam skripsinya yang berjudul Tarekat dan Debus Rifa iyah di Banten tahun 1990 yang ditemukan di perpustakaan Universitas Indonesia meneliti dan menyelidiki keberadaan dari perkembangan serta pengaruh Tarekat Rifa iyah dan debus tersebut. Tarekat Rifa iyah dan debusnya, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa keduanya tidak begitu banyak berkembang dibanding dengan aliran tarekat yang lain seperti misalnya tarekat Qadiriyah. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tarekat Rifa iyah telah berkembang menjadi tiga versi. Pertama tetap sebagai Tarekat 7

8 dan yang kedua menjadi seni debus dan yang terakhir wirid-wirid dan amalan yang sedianya dipakai untuk tarekat, dikembangkan menjadi tradisi kekebalan (kesaktian). Isman Pratama Nasution dalam tesisnya yang ada di perpustakaan Universitas Indonesia dengan judul Debus, Islam dan Kiyai: studi kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat tahun 1995 merupakan penelitian kualitatif bidang antropologi yang memfokuskan penelitiannya tentang keterkaitan antara debus, Islam dan kiyai serta perkembangannya di daerah Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Peneltitian ini dilakukan sebelum terbentuknya Provinsi Banten sekitar tahun 1990an. Soraya Muhammad Syamlan dalam skripsinya di perpustakaan IAIN Sunan Maulana Hasanudin Banten, Serang tahun 2001 dengan judul Seni Debus Surosowan Banten dalam Perspektif Sejarah di Serang Abad XXI. Skripsi ini menjelaskan secara spesifik tentang gambaran umum Debus Surosoan Banten, dilengkapi dengan sejarah perkembangannya dalam lingkup kajian sejarah. Kajian tentang debus, sebagai salah satu jenis budaya kebatinan Banten yang masih bertahan dan terus dilestarikan pernah diteliti oleh Tim Peneliti dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten. Penelitian tentang debus tersebut dituangkan dalam bentuk Laporan Penelitian yang berjudul Debus di Masyarakat Banten pada tahun Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Studi Budaya. Debus, dalam laporan 8

9 penelitian tersebut dikupas mulai dari sejarah, formula-formula pendukung hingga prosesi dan tata panggung pagelaran. Laporan penelitian tersebut di dalamnya tidak terdapat pembahasan tentang aspek ontologis dari debus. Helmy Faizi Bahrul Ulumi dalam tesisnya yang berjudul Magi Orang Banten dalam Perspektif Ontologi (Studi Kasus di Kecamatan Ciomas Serang-Banten) tahun 2004 menyelidiki ontologi yang terkandung dalam magi Orang Banten. Pengungkapan ontologi yang terlandung di dalamnya dibatasi pada persoalan-persoalan ontologi dalam magi. Meskipun magi merupakan salah satu unsur yang terkandung di dalam debus, tetapi Ulumi tidak sedikitpun menyinggung persoalan tentang debus. Penelitian dengan judul Dimensi Ontologis Debus; Sumbangannya Bagi Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di Walantaka, Kota Serang, Provinsi Banten), jika dilihat dari objek formalnya, yakni ontologi, ini orisinil sehingga dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Bahkan jika objek material dalam penelitian ini diperluas lagi hanya persoalan tentang debus, penelitian ini dapat dikatakan baru, karena penulis belum menemukan satu karya pun yang membahas tentang dimensi ontologis debus. 4. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu proses perkembangan debus sebagai salah satu budaya daerah Banten yang 9

10 bersentuhan secara langsung dengan kehidupan masyarakat dalam perspektif filosofis, yakni ontologi. b. Bagi Perkembangan Filsafat Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi, khususnya pemikiran ontologi yang terkait dengan pengembangan wacana baru dalam menelaah hakikat debus yang ada di sekitar kehidupan masyarakat Banten khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sehingga dapat memperkaya pembendaharaan informasi tentang kajian ontologi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sumbangan bagi perkembangan filsafat bahwa masih banyak sumber kajian filosofis yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan. c. Bagi Masyarakat Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, karena disaat kehidupan manusia dikuasai oleh gaya hidup globalisasi yang cenderung melupakan kelestarian budaya, maka pemahaman atas ontologi debus merupakan kebutuhan intelektualitas sekaligus spiritualitas untuk mengisi kekosongan jiwa manusia. d. Bagi Pembangunan Bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan bangsa dan negara, karena penelitian ini dapat memperkaya khazanah filosofis sehingga mampu menganalisis persoalan ontologi dalam debus pada kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh, berbangsa dan bernegara. 10

11 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini berobjek material debus Banten, sedangkan objek formalnya adalah ontologi, dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengungkap dan mendeskripsikan hakikat debus Banten. 2. Menemukan dimensi ontologis dalam debus Banten. 3. Merefleksikan dan menemukan secara kritis dan heuristik sumbangan ontologi debus bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten. C. Tinjauan Pustaka Kesenian tradisional yang berkembang pesat di Serang maupun di Banten secara umum erat kaitannya dengan penyebaran agama. Jika di kalangan masyarakat Tionghoa dikenal kesenian Barongsay, maka di kalangan penduduk yang beragama Islam mengenal bermacam-macam kesenian daerah. Tercatat sekitar 35 jenis kesenian rakyat yang sebagian besar masih bertahan di daerah Serang, Banten, seperti: Debus, Saman, Angklung Buhun, Ubrug, Beluk, Terebang Gede, Wawacan Syekh dan sebagainya (Hakim, 2006: 209). Kesenian tradisional yang ada di Banten pada umumnya berkembang secara turun temurun yang tidak terlepas dari nafas keagamaan yang ada di daerah Banten (Aminudin, 1993: 3). Kesenian tradisional debus tidak terlepas dari perkembangan agama Islam di pulau Jawa khususnya di Banten. Pertumbuhan debus di Banten bersamaan dengan bangkitnya perlawanan masyarakat Banten terhadap kekuasaan Belanda yang ingin menguasai Banten pada abad ke-16 (Hadiningrat, 1982: 9). 11

12 Debus merupakan salah satu kesenian yang ada di Banten yang hingga saat ini masih ada dan dilestarikan serta sudah sangat dikenal di seluruh nusantara bahkan di mancanegara. Pengertian debus pada awalnya sesuai dengan asal kata dari bahasa Arab dabbus yang berarti jarum. Pengertian ini muncul dilihat dari alat yang digunakan pada saat permainan debus dilakukan yang berbentuk seperti jarum besar, yang kemudian disebut gada dengan alat pemukulnya yang terbuat dari kayu yang berbentuk palu. Permainan debus awalnya memang hanya berkisar pada permainan gada tersebut, tetapi debus dari masa ke masa terus berkembang dan debus pada masa sekarang ini sudah terdapat puluhan macam perguruan yang terdiri dari berbagai aliran. Semua aliran itu mengatasnamakan debus (Ibrahim, kutipan konferensi pers tentang debus pada 19 Agustus 2009). Meskipun kata debus sangat akrab dan populer dikalangan penduduk Banten, bahkan Indonesia, namun asal-usul dan arti dasar dari kata debus tidak dikenal secara luas. Bahkan para pemain debus sendiri banyak yang tidak mengetahui artinya, sehingga pemberian arti debus banyak dilakukan secara serampangan dan tidak diketahui secara pasti. Debus berdasarkan dari penuturan responden dan beberapa referensi yang ada sering dimaknai sebagai tembus, ora tembus dan dada tembus, bahkan ada yang mengatakan bahwa debus itu kependekan dari Dzikiran, Batin dan Shalawat (Hudaeri, 2010: 12). Kesenian debus merupakan salah satu seni kekebalan pada diri seseorang terhadap sepotong besi tajam untuk melukai diri sendiri. Makna kata debus, 12

13 oleh sebagian ahli berasal dari bahasa Arab yang berarti sepotong besi tajam (Arifin, 1993: 1). Ada beberapa pendapat yang berbeda tentang debus. Pertama, debus merupakan pencak silat yang berhubungan dengan ilmu kekebalan sebagai refleksi sikap masyarakat Banten untuk mempertahankan diri. Debus sejenis kekebalan yang dimiliki oleh seseorang terhadap benda tajam. Kedua, debus merupakan kekuatan gaib atau ajaib yang tahan terhadap benda tajam, tusukan, pukulan dan dibakar oleh api. Ketiga, ada orang yang berpendapat bahwa debus sama dengan permainan sulap, yaitu karena kepandaian pemain debus dalam melakukan trik-trik untuk mengelabui penonton terhadap atraksi orang yang ditusuk tidak mengakibatkan luka (Tim Penyusun, 2002: 7). Beberapa literatur yang ditulis oleh orang asing seperti Vredenbregt (1973), Bruinesseen (1984, 1995) dan yang ditulis oleh orang Indonesia seperti Aminuddin (1993) dan Tim Studi Pengembangan Kesenian Tradisional Serang (1989), memperlihatkan bahwa debus adalah suatu permainan yang telah berkembang sejak masa Kesultanan Banten Sultan Ageng Tirtayasa (abad 17), dengan tujuan membangkitkan semangat juang pasukan Banten dalam melawan penjajah Belanda. Kesenian debus Banten tercipta pada masa Kesultanan Maulana Hasanudin Banten. Debus, pada masa itu dimanfaatkan untuk alat berdakwah dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Banten yang kala itu masih menganut agama Hindu dan Budha atau bahkan masih banyak yang menganut kepercayaan-kepercayaan tradisional (Mashuri, 1998: 15). 13

14 Ibrahim (1997: 156) menuliskan hal senada bahwa debus pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17 ( ) difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu kesenian debus lebih bersifat kesenian beladiri dan pemupukan rasa percaya diri. Sultan Ageng Tirtayasa, dalam rangka mempertebal semangat prajurit dan pejuang-pejuang Banten, memberikan suatu pengetahuan tentang ilmu kekebalan tubuh kepada para pengikutnya dengan memberikan pelajaran ayat-ayat suci Al-Quran. Ayatayat tersebut dihafalkan dan diresapi secara mendalam sehingga dapat mempertebal semangat moral dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu lahirnya debus di daerah Banten adalah sebagai akibat adanya perlawanan rakyat Banten terhadap Belanda yang dilandasi oleh ajaran agama Islam sebagai pembentuk semangat dan keyakinan dalam melakukan perjuangan. Pengaruh Islam cukup kuat dalam masa kesultanan Banten, sehingga berpengaruh dalam perkembangan kesenian tradisional di Serang, Banten. Kesenian tradisional Banten sedikit demi sedikit disisipkan ajaran Islam, hal ini karena merupakan salah satu sarana yang cukup potensial dalam kesenian tradisional. Debus merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di sebagian besar wilayah Banten, seperti Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Debus, khusus di Kabupaten Serang berkembang di wilayah Kecamatan Walantaka, Kecamatan Cikeusal, Kecamatan Cikande dan Kecamatan Ciruas (Aminudin, 1993: 3). 14

15 Debus sekarang ini telah menjadi hiburan rakyat yang menjadi tontonan pada acara-acara tertentu seperti resepsi pernikahan dan khitanan. Debus kini seolah menjadi simbol dari kesenian rakyat Banten, yang sering dipertunjukkan pada acara-acara formal pemerintah Banten, seperti pada penyambutan tamu-tamu penting dari dalam maupun luar negeri (Hudaeri, 2010: 5). D. Landasan Teori Maksud ontologi adalah menyatukan seluruh kenyataan dalam satu visi menyeluruh, menurut intinya yang paling mutlak (Bakker, 1992: 15). Ontologi atau metafisika, dalam bahasa yang lain menurut Bakker adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum (Siswanto, 2004: 2-7). Untuk sampai kepada pemahaman yang demikian, maka berpikir secara ontologis menurut Taylor ( 1874) harus menghindari sikap yang arbitarianisme dan dogmatisme terhadap problem-problem dasar yang fundamental. Oleh karena itu untuk menemukan suatu visi yang menyeluruh harus dihindari suatu pemikiran yang menjurus kepada bentuk ekstrimitas (Siswanto, 2010: 6). Ontologi merupakan dasar filsafat, oleh karena itu ontologi mempertanyakan prinsip-prinsip pertama. Seseorang harus menjaga dua sikap sekaligus apabila manusia menginginkan untuk bermetafisika, yaitu mencoba menjawab pertanyaan itu sendiri, kemudian menemukan beberapa asumsi tersembunyi dibalik pertanyaan tersebut (Sontag, 2002: 1-15). 15

16 Ada tiga persoalan yang merujuk pada hal yang sama, yaitu filsafat pertama, metafisika umum dan ontologi. Filsafat pertama menyelidiki pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan manusia, yang mendasari segala macam pengetahuan dan segala usaha filsafat lainnya. Metafisika umum adalah usaha untuk menyatukan seluruh kenyataan ke dalam satu visi menyeluruh menurut intinya yang paling mutlak. Ontologi adalah usaha mengkaji yang-ada sebagai yang-ada, dengan seada-adanya (a being as being, pengada sekedar pengada). Ketiga term ini dapat digunakan tanpa dibedakan, kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan tepat salah satu segi tertentu (Bakker: 1992: 14-16). Christian Wolff, salah satu tokoh penting rasionalisme pada abad ke-17, memperkenalkan istilah ontologi. Wolff membagi metafisika kedalam dua cabang besar. Pertama, metafisika umum yang kemudian disebut ontologi. Metafisika dalam hal ini menyelidiki yang-ada sebagai yang-ada (being just that-being) dengan perspektif yang lebih luas, oleh karena itu kemudian disebut dengan metafisika umum. Kedua, metafisika khusus yang terdiri atas kosmologi metafisik, psikologi rasional dan teologi natural (Siswanto, 2004:5). Crusius menegaskan bahwa metafisika menyangkut kebenaran yang niscaya. Crusius mengecualikan filsafat praktis dari metafisika karena dalam filsafat praktis tidak begitu dipisahkan antara kebenaran niscaya dan kebenaran yang bersifat kontingen. Crusius mengikuti pembagian Wolff, tetapi dengan urutan yang sedikit berbeda, yakni ontologi, teologi, kosmologi 16

17 dan pneumatologi. Metafisika dapat dikatakan sebagai sebuah usaha sistematis, reflektif dalam mencari hal yang ada dibelakang hal-hal yang fisik dan bersifat partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal. Yang-ada merupakan prinsip dasar yang dapat ditemukan pada semua hal. Metafisika adalah ilmu tentang yang-ada yang bersifat universal atau ilmu tentang yang-ada qua yang-ada (Bagus, 1991: 20). Ontologi bergerak diantara dua kutub, yakni kutub pengalaman akan kenyataan konkrit dan kutub pra-pengertian mengada yang paling umum. Pra-pengetahuan itu timbul karena kemustahilan akan ketidak-dapatdipertanyakan-nya segala sesuatu, dengan kata lain, jika suatu (kenyataan konkrit) itu sama sekali tidak dikenal, maka mustahil ia akan dipertanyakan. Kedua kutub tersebut, dalam refleksi ontologis saling menjelaskan. Atas dasar pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dan dieksplisitasikan arti dan hakikat mengada. Sebaliknya, pra-pemahaman tentang cakrawala mengada akan semakin menyoroti pengalaman konkrit itu dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh (Bakker, 1992: 21). Bakker (1992) dalam bukunya yang berjudul Ontologi atau Metafisika Umum menjelaskan bahwa ontologi atau metafisika sebagai filsafat pengada atau dasar-dasar kenyataan. Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang yang-ada atau pengada. Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah pengada itu banyak atau satu? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang bersifat transendental? Apakah pengada memiliki permanensi atau kebaharuan? Apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani? Apakah 17

18 kehadiran pengada itu bernilai atau tidak? Apakah dalam pengada ditemukan norma ontologis transendental yang berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004: 23). Dimensi ontologis debus akan dikupas berdasarkan fokus persoalanpersoalan ontologi dari Bakker, namun tidak semua persoalan bisa digunakan, karena dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan beberapa persoalan ontologi yang relevan dengan debus. E. Metode Penelitian 1. Bahan atau Materi Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku-buku yang berkaitan dengan debus Banten dan ontologi. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi dua yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. a. Bahan Primer Kepustakaan primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Buku karya Mohamad Hudaeri dengan judul Debus dalam Tradisi Masyarakat Banten FUD Press. Banten 2) Buku karya K.Hadiningrat dengan judul Kesenian Tradisional Debus Depdikbud. Jakarta 3) Buku Karya Lukman Hakim dengan judul Banten dalam Perjalanan Jurnalistik Banten Heritage. Banten 18

19 4) Data yang diperoleh dari penelitian lapangan b. Bahan Sekunder Kepustakaan sekunder merupakan sumber-sumber tambahan yang berhubungan dengan tema dalam penelitian ini. Kepustakaan sekunder berasal dari data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan berbagai informasi terkait dari beberapa media yang mencakup, buku, majalah, jurnal, dokumen, data internet dan sumber-sumber lainnya yang penulis temukan dalam proses penelitian tesis ini. Data sekunder berupa pustaka buku adalah sebagai berikut: 1) Buku karya Anton Bakker yang berjudul Ontologi atau Metafisika Umum; Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan Kanisius. Yogyakarta 2) Buku karya Federick Sontag yang berjudul Problems of Metaphysics Chandler Publishing Company. Pennsylvania 3) Buku karya C.H. Whiteley, M.A yang berjudul An Introduction to Metaphysics Methuen & CO. Ltd. London 4) Buku karya Lorens Bagus yang berjudul Metafisika Gramedia. Jakarta 5) Buku karya W.H. Walsh yang berjudul Metaphysics. Hutchinson University Library. London 6) Buku karya Alan R. White yang berjudul Methods of Metaphysics. Croom Helm. London 19

20 2. Jalannya Penelitian Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian penulis akan menganalisisnya menggunakan objek formal dan menyampaikannya kembali. Langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut: a. Inventarisasi Data Inventarisasi data; data tentang ontologi dan debus Banten yang telah dikumpulkan dari penelitian kepustakaan dan lapangan itu kemudian diseleksi dan direduksi untuk mendapatkan maknanya yang esensial sesuai dengan ciri objek material debus dan ciri objek formal ontologi. b. Sistematisasi Data Data yang telah diinventarisasi kemudian disistematisasi berdasarkan sifat dan kedalaman materi yang berhubungan dengan objek materi dan objek formal agar penggunaan data bisa lebih efektif dan efisien. c. Klasifikasi Data Klasifikasi data; yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian data dikelompokkan berdasarkan objek formal penelitian berupa landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis ontologi, serta objek material penelitian berupa hakikat debus. 20

21 d. Analisis Data Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. e. Penyajian Data Memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukan sebelumnya. Penyajian data diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pokok pembahasan yang lebih kompleks. 3. Analisis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode dan unsur-unsur metodis yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1990: ), yaitu sebagai berikut: a. Metode hermeneutika, yakni proses interpretasi dilanjutkan dengan proses analisis hermeneutika untuk menangkap makna esensial dengan melakukan penafsiran terhadap debus sehingga esensi dan hakikat dalam debus dapat dipahami sesuai dengan waktu dan konteks keadaan sekarang dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut: 1) Deskripsi, penulis melakukan deskripsi dan penguraian secara rinci tentang debus mulai dari pengertian, sejarah, komponen, unsur-unsur dan nilai-nilai yang terangkum dalam praktik pagelaran debus sehingga didapatkan pemahaman tentang hakikat debus secara jelas. 21

22 2) Analisis, usaha menguraikan fenomena umum dalam debus untuk mengetahui unsur-unsur yang lebih bersifat khusus sehingga diperoleh pengertian tentang hakikat debus yang komprehensif. 3) Refleksi, data yang telah dikomparasikan kemudian diberi interpretasi baru sehingga memunculkan pemahaman baru tentang debus Banten dari aspek ontologi. b. Metode heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru dari persoalan seni debus Banten yang kemudian diharapkan dapat berperan bagi budaya kontemporer yang semakin kompleks dan heterogenitas di Indonesia F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam enam bab, yaitu sebagai berikut: Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori dan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini. Bab kedua berisi tentang lingkup kajian ontologi lengkap dengan pembahasan terperinci tentang konsep dasar tentang istilah filsafat pertama, ontologi dan metafisika, terminologi ontologi dan metafisika, penjelasan tentang ontologi; sebuah kajian tentang hakikat, pemaparan persoalan-persoalan dalam ontologi menurut pandangan Anton Bakker dan pandangan Frederick Sontag, Aliran-aliran utama ontologi seperti Monisme, Pluralisme, Idealisme, Realisme, Materialisme, Vitalisme, Pragmatisme dan Eksistensialisme. 22

23 Bab ketiga berisi tentang uraian tentang lingkup kebudayaan dan kesenian debus Banten yang disertai pembahasan secara terperinci tentang dimulainya uraian singkat dan sistematis tentang sejarah Banten, pengertian debus, sejarah perkembangan debus, unsur-unsur dalam debus seperti religiusitas debus, prinsip keyakinan dalam debus, instrumen, tahapan-tahapan dalam proses ritual pada pelaksanaan debus Banten dan keanggotaan debus dan bab ini diakhiri dengan pemaparan tentang jenis-jenis atraksi pada pagelaran debus Banten. Bab keempat merupakan uraian dan inti pembahasan dalam penelitian serta analisis kritis yang diawali tentang identitas budaya masyarakat Banten, pandangan pemain debus tentang Tuhan, manusia dan alam, pokok-pokok Ontologi dalam debus Banten, seperti persoalan prinsip pertama menurut pandangan pemain debus, kuantitas pengada, apakah pengada memiliki permanensi atau kebaruan?, apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani?, norma ontologis dalam debus, tinjauan kritis yang berisi pembahasan tentang, ontologi debus; yang-ada berhubungan dengan yang-transenden, debus sebagai suatu bentuk kekuatan supernatural atau kekuatan manusia dan prinsip keyakinan sebagai landasan kekebalan dalam ontologi debus dan diakhiri dengan kritik ontologis terhadap debus. Analisis kritis akan berusaha ditampilkan seperti yang diharapkan dalam analisis hasil, yaitu deskripsi, analisis, kesinambungan historis, refleksi dan hermeneutika. Bab kelima berisi tentang relevansi ontologi debus Banten dengan pembentukan identitas budaya masyarakat Banten, dengan pembahasan lebih rinci yang diawali dengan krisis identitas budaya masyarakat Banten di era globalisasi, 23

24 kesenian dan kebudayaan debus dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Banten, fungsi pandangan ontologis debus dalam kehidupan masyarakat Banten, peran dan posisi ontologi debus bagi perkembangan seni dan budaya debus di Banten. Bab keenam berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis singkat atas fenomena dalam debus yang mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga sedapat mungkin akan ditemukan kesesuaian antara rumusan masalah, tujuan, analisis pembahasan dan hasilnya serta untuk melihat benang merah hakikat debus dalam perspektif ontologi dan relevansinya bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten. 24

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

Debus. Maksud dan Pengertian Debus

Debus. Maksud dan Pengertian Debus Debus Maksud dan Pengertian Debus Debus merupakan pencak silat yang berhubungan dengan ilmu kekebalan sebagai refleksi sikap masyarakat Banten untuk mempertahankan diri. Debus juga merupakan sejenis kekebalan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Purnomo, 2003: 2), seperti halnya seks, terlalu penting untuk dikacaukan dengan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Purnomo, 2003: 2), seperti halnya seks, terlalu penting untuk dikacaukan dengan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124) dalam (Purnomo, 2003: 2), seperti halnya seks, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI. transformatif nilai-nilai religi dan budaya dalam pendidikan sejarah di Sekolah

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI. transformatif nilai-nilai religi dan budaya dalam pendidikan sejarah di Sekolah BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap implementasi pembelajaran sejarah yang berbasis religi dan budaya di kawasan Banten Lama yang merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Innez Miany Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Innez Miany Putri, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni pertunjukan merupakan aktivitas yang mencakup sosial, hiburan, juga kepercayaan atau adat istiadat yang tidak berwujud sebagai benda. Seni pertunjukan tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari banyaknya kesenian yang diungkapkan para pakar, salah satunya adalah sebagimana diungkapkan Koentjaraningrat : Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang NURUL HIDAYAH, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang NURUL HIDAYAH, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian Rebana banyak berkembang di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan perkembangannya, kesenian yang menggunakan alat musik rebana mengalami perubahan baik dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kesenian pada dasarnya muncul dari suatu ide (gagasan) dihasilkan oleh manusia yang mengarah kepada nilai-nilai estetis, sehingga dengan inilah manusia didorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kenyataannya pada saat ini, perkembangan praktik-praktik pengobatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kenyataannya pada saat ini, perkembangan praktik-praktik pengobatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pengobatan modern telah berkembang pesat di masa sekarang ini dan telah menyentuh hampir semua lapisan masyarakat seiring dengan majunya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal memiliki warisan budaya yang beranekaragam. Keanekaragaman budayanya itu tercermin

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Metode penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar, pandangan-pandangan filosofis

Lebih terperinci

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) A. Latar Belakang Masalah Setiap agama bagi para pemeluknya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, dimana kenekaragaman tersebut merupakan kekayaan bagi bangsa Indonesia. Saat ini, keanekaragaman budaya tersebut beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan Filsafat merupakan disiplin ilmu yang terkait dengan masalah kebijaksanaan. Hal yang ideal bagi hidup manusia adalah ketika manusia berpikir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan bentuk dan ragam kebudayaan. Kebudayaan yang hidup pada berbagai suku bangsa menyumbangkan kekayaan melimpah bagi kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Eksistensi budaya dalam kehidupan sosial masyarakat suatu bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Eksistensi budaya dalam kehidupan sosial masyarakat suatu bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi budaya dalam kehidupan sosial masyarakat suatu bangsa memiliki peran penting bagi perkembangan bangsa itu sendiri. Hal ini menunjukkan pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. isu kemanusiaan dapat diangkat menjadi cerita film. dokumenter yang menarik. Dalam karya tugas akhir ini, penulis memproduksi

BAB I PENDAHULUAN. isu kemanusiaan dapat diangkat menjadi cerita film. dokumenter yang menarik. Dalam karya tugas akhir ini, penulis memproduksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film dokumenter merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian nyata. Berbagai isu yang terkait dengan kehidupan manusia seperti isu sosial, seni, budaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kebenaran selalu aktual di zaman yang dipengaruhi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Berbagai perkembangan yang terjadi di dunia memungkinkan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Asmoro, 2005, Filsafat Umum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Alam, Guntur dkk, 2012, Antologi Cerpen; Banten Suatu Ketika,

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Asmoro, 2005, Filsafat Umum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Alam, Guntur dkk, 2012, Antologi Cerpen; Banten Suatu Ketika, DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Asmoro, 2005, Filsafat Umum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Alam, Guntur dkk, 2012, Antologi Cerpen; Banten Suatu Ketika, Banten Muda Community, Yogyakarta Aminudin, Sandjin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan suatu sarana untuk memilih orang agar dapat mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik

Lebih terperinci

BAB VI RANCANGAN PENELITIAN KONSEP SEPANJANG SEJARAH

BAB VI RANCANGAN PENELITIAN KONSEP SEPANJANG SEJARAH BAB VI RANCANGAN PENELITIAN KONSEP SEPANJANG SEJARAH 6.1. PENDAHULUAN Bab VI ini menguraikan rancangan penelitian mengenai suatu konsep sepanjang sejarah, dan pikiran-pikiran para filsuf tersebut banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

M. Hamid Anwar, M. Phil.

M. Hamid Anwar, M. Phil. M. Hamid Anwar, M. Phil. Email: m_hamid@uny.ac.id Objek material Objek Formal : Pendidikan : Filsafat Philein/ Philos : Cinta Shopos/ Shopia : Kebijaksanaan Sebuah Upaya untuk mencapai kebijaksanaan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimasa globalisasi ini seni dan budaya banyak mengalami pergeseran atas nilainilai seni dan budaya kita sendiri, itu disebabkan karena masuknya kebudayaan luar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah suasana kehidupan sekarang ini, manusia mengalami kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah suasana kehidupan sekarang ini, manusia mengalami kemajuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di tengah suasana kehidupan sekarang ini, manusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB IV MODEL PENELITIAN FILSAFAT

BAB IV MODEL PENELITIAN FILSAFAT BAB IV MODEL PENELITIAN FILSAFAT 4.1 PENDAHULUAN Bab IV ini menjelaskan tentang model-model penelitian filsafat. Mengapa penelitian filsafat memerlukan model? Bab IV ini memerlukan wawasan mahasiswa tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sri Ayu Yunuarti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sri Ayu Yunuarti, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku bangsa, bahasa dan budaya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kesenian yang lahir dan berkembang di setiap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Pembahasan masalah nilai etika dalam kaitannya dengan naskah ADK menjadi topik penting yang selalu dibicarakan, karena masalah ini menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan bangsanya. Sebagai bangsa yang heterogen, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI, BAB IV. PENUTUP 4. 1. Kesimpulan Pada bab-bab terdahulu, kita ketahui bahwa dalam konteks pencerahan, di dalamnya berbicara tentang estetika dan logika, merupakan sesuatu yang saling berhubungan, estetika

Lebih terperinci

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Modul ke: Pendidikan Pancasila Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk ungkapan kehidupan atau pernyataan diri masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk ungkapan kehidupan atau pernyataan diri masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seni tradisional merupakan hasil ekspresi jiwa yang bersifat indah, yang merupakan bentuk ungkapan kehidupan atau pernyataan diri masyarakat pendukungnya. Dalam

Lebih terperinci

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi Modul ke: 12 Shely Fakultas PSIKOLOGI Materi Penutup Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Rangkuman Perkuliahan Filsafat Manusia Kompetensi Mahasiswa dapat memahami mengenai manusia

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT Aku Bisa 2015), p

BAB I PENDAHULUAN. PT Aku Bisa 2015), p BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencak silat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia berkembang sejalan dengan sejarah Indonesia. Dengan aneka ragam situasi geografis dan etnologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan lagi, dimana arus modernisasi tidak mengenal batasan antar kebudayaan baik regional, nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Sunda dan bambu (awi) adalah dua hal yang sangat erat kaitannya. Mulai dari rumah, perkakas, bahkan hingga alat-alat kesenian dan ritual pun banyak yang

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan salah satu potensi bagi sebuah negara dimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan salah satu potensi bagi sebuah negara dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan salah satu potensi bagi sebuah negara dimana potensi tersebut harus terus diasah, dibina dan dikembangkan sehingga potensi tersebut dapat

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU OLEH SYIHABUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

FILSAFAT ILMU OLEH SYIHABUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FILSAFAT ILMU OLEH SYIHABUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FILSAFAT ILMU Filsafat: upaya sungguh-sungguh dlm menyingkapkan segala sesuatu, sehingga pelakunya menemukan inti dari

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai

Lebih terperinci

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peranan filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana perkembangan ilmu geografi? 3. Apa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat mempersatukan dan mempertahankan spiritualitas hingga nilai-nilai moral yang menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang akan diteliti. Metode penelitian merupakan suatu

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Provinsi Banten berdiri pada tahun 2000 berdasarkan Undang Undang No. 23 tahun 2009 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Saat ini Provinsi Banten terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lagi bahasa tercakup dalam kebudayaan. Bahasa menggambarkan cara berfikir

BAB I PENDAHULUAN. dalam lagi bahasa tercakup dalam kebudayaan. Bahasa menggambarkan cara berfikir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Bahasa selalu menggambarkan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan; lebih dalam lagi bahasa

Lebih terperinci

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan beraneka ragam macam budaya. Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubagus Arief Rachman Fauzi, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubagus Arief Rachman Fauzi, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Pandeglang terletak di wilayah Provinsi Banten, merupakan kawasan sebagian besar wilayahnya masih pedesaan. Luas wilayahnya 2.193,58 KM 2. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah unsur kebudayaan yang bersumber pada aspek perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi daya manusia untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada manusia tanpa kebudayaan. Kebudayaan memiliki nilai- nilai yang harus tetap di pertahankan. Sebagai penerus bangsa seharusnya melestarikan kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan panca inderanya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya terbentuk dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di suatu tempat. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengutip Laswell, dalam bukunya yang berjudul Manusia Komunikasi,

BAB I PENDAHULUAN. Mengutip Laswell, dalam bukunya yang berjudul Manusia Komunikasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mengutip Laswell, dalam bukunya yang berjudul Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia (2008:461), Dahlan mengungkapkan akan salah satu fungsi media massa sebagai alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prastyca Ries Navy Triesnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prastyca Ries Navy Triesnawati, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seni tidak bisa lepas dari produknya yaitu karya seni, karena kita baru bisa menikmati seni setelah seni tersebut diwujudkan dalam suatu karya konkrit,

Lebih terperinci

DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN

DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA Pentingnya Filsafat Perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat memerlukan filsafat pendidikan jasmani yang kokoh bagi profesi agar tetap dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat keindahan dan dapat diekspresikan melalui suara, gerak ataupun ekspresi lainnya. Dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama. terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama. terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan

Lebih terperinci

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki jenis yang beragam. Keanekaragaman jenis kesenian tradisional itu dalam perkembangannya

Lebih terperinci

2015 TARI KREASI DOGDOG LOJOR DI SANGGAR MUTIARA PAWESTRI PELABUHAN RATU KABUPATEN SUKABUMI

2015 TARI KREASI DOGDOG LOJOR DI SANGGAR MUTIARA PAWESTRI PELABUHAN RATU KABUPATEN SUKABUMI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seni pertunjukan merupakan ekspresi dan kreasi seniman serta masyarakat pemiliknya yang senantiasa hidup dan berkembang seiring dinamika atau perubahan zaman. Mengingat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang

METODE PENELITIAN. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang 23 III. METODE PENELITIAN A. Metode yang Digunakan Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode hermeneutik. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

Lebih terperinci

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai

Lebih terperinci

2015 EKSISTENSI KESENIAN HADRO DI KECAMATAN BUNGBULANG KABUPATEN GARUT

2015 EKSISTENSI KESENIAN HADRO DI KECAMATAN BUNGBULANG KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional lahir dari budaya masyarakat terdahulu di suatu daerah tertentu yang terus berkembang secara turun temurun, dan terus dinikmati oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian

BAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian bahwa Islam tidak hanya tentang sistem nilai, tetapi juga memuat sistem politik. Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena daerah Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta (Betawi) dan

BAB I PENDAHULUAN. karena daerah Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta (Betawi) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Bekasi adalah salah satu kabupaten yang termasuk dalam Propinsi Jawa Barat, sebuah kabupaten dengan masyarakat yang khas dan heterogen karena daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, musik merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan peribadatan. Pada masa sekarang ini sangat jarang dijumpai ada suatu

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU. Irnin Agustina D.A.,M.Pd

FILSAFAT ILMU. Irnin Agustina D.A.,M.Pd FILSAFAT ILMU Irnin Agustina D.A.,M.Pd am_nien@yahoo.co.id Definisi Filsafat Ilmu Lewis White Beck Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jawa Barat atau yang lebih dikenal dengan etnis Sunda sangat kaya dengan berbagai jenis kesenian. Kesenian itu sendiri lahir dari jiwa manusia dan gambaran masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam catatan sejarah maupun tidak, baik yang diberitakan oleh media masa maupun yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya tertentu. Sebuah pernyataan tentang kesenian Jawa, kesenian Bali, dan kesenian flores, semuanya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditemui hal-hal

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditemui hal-hal BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditemui hal-hal berkenaan dengan bentuk, simbol serta sekilas tentang pertunjukan dari topeng Bangbarongan Ujungberung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah suatu peristiwa sosial yang mempunyai tenaga kuat sebagai sarana kontribusi antara seniman dan penghayatnya, ia dapat mengingatnya, menyarankan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan cara mengumpulkan, menyusun dan menginterpretasikan data.

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan cara mengumpulkan, menyusun dan menginterpretasikan data. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Agar mencapai hasil yang maksimal, perlu metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Logo adalah tanda, lambang, ataupun simbol yang mengandung makna dan digunakan sebagai identitas sebuah organisasi, perusahaan atau individu agar mudah diingat

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

2015 KREASI TARI RONGGENG LENCO DI DESA CURUG RENDENG KECAMATAN JALAN CAGAK KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT

2015 KREASI TARI RONGGENG LENCO DI DESA CURUG RENDENG KECAMATAN JALAN CAGAK KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah yang kaya akan ragam kesenian tradisional. Subang dikenal dengan kesenian Sisingaan yang menjadi ikon kota Subang. Kesenian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pandeglang adalah sebuah Kabupaten bagian dari Provinsi Banten yang dinyatakan berdiri pada tahun 1874, secara administratif kabupaten ini terbagi atas 35

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009 BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Berangkat dari sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Estetika sebagai logika, mengantarkan saya untuk mencoba mendalami dan menelusuri tentang keduanya, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan pendakwah atau da i kepada khalayak atau mad u. Dakwah yang. diperhatikan oleh para penggerak adalah strategi dakwah.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan pendakwah atau da i kepada khalayak atau mad u. Dakwah yang. diperhatikan oleh para penggerak adalah strategi dakwah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dakwah merupakan proses penyampaian ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur an dan Sunnah secara berkesinambungan. Dakwah seringkali diartikan sebagai proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar pemeluk agama, misalnya Hindu, Islam, dan Sikh di India, Islam, Kristen dan Yahudi di Palestina,

Lebih terperinci

PENCAK SILAT GAYA BOJONG PADA PAGURON MEDALSARI DESA BOJONG KECAMATAN KARANG TENGAH DI KABUPATEN CIANJUR

PENCAK SILAT GAYA BOJONG PADA PAGURON MEDALSARI DESA BOJONG KECAMATAN KARANG TENGAH DI KABUPATEN CIANJUR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian terlahir dari ekspresi dan kreativitas masyarakat yang dilatarbelakangi oleh keadaan sosial budaya, ekonomi, letak geografis, pola kegiatan keseharian.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out Indonesia menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pada

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) JURNAL SKRIPSI MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) SKRIPSI Oleh: DESI WIDYASTUTI K8409015 FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci