BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Program Dana pinjaman Bergulir merupakan sebuah kebijakan dari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Program Dana pinjaman Bergulir merupakan sebuah kebijakan dari"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Program Dana pinjaman Bergulir merupakan sebuah kebijakan dari pemerintah untuk menyalurkan sejumlah dana untuk menunjang masalah permodalan yang dihadapi oleh koperasi di Indonesia. Dana disalurkan melalui sejumlah perbankan yang kemudian diberikan kepada koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam-koperasi. Dana tersebut kemudian nantinya harus dipertanggungjawabkan oleh koperasi yang menerima dana, dimana dana tersebut dikembalikan kepada pengelola yang ditunjuk sebelumnya untuk kemudian digulirkan kembali kepada koperasi yang belum pernah memperoleh dana tersebut. Kementerian Koperasi dan UKM sebagai penyelenggara Program Dana Pinjaman Bergulir, pada tahun anggaran 2000 alokasi dana sebesar Rp350 miliar untuk koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam (KSP/USP) dan lembaga keuangan mikro (LKM) terpilih di 341 kabupaten, dan untuk tahun 2001, dana yang dialokasikan sebesar Rp55 miliar untuk LKM pada 175 kabupaten/kota, sedangkan pada tahun 2002 telah menyalurkan sebesar Rp. 90,0 milyar. Jumlah koperasi yang menerima sebanyak 784 Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam-Koperasi (USP-Kop), yang masing-masing terdiri dari 53 KSP dan 731 USP-Kop dengan dana masing-masing menerima Rp. 100 juta. Sedangkan tahun 2005, dana yang disalurkan sebesar Rp. 480 milyar kepada koperasi ( 2002/ 09/12/brk, ,id.html).

2 Koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional disamping BUMN dan swasta, memiliki landasan idealisme yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat melalui para anggotanya. Hal ini terutama tersirat dalam pasal 33 UUD 1945 dimana penjelasannya menyatakan: dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Oleh karena itu,pemerintah merasa perlu dan memang harus untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh koperasi karena dengan terbantunya koperasi maka pemerintah juga secara otomatis turut serta dalam mensejahterakan masyarakat umum. Terdapat banyak definisi dari koperasi sejalan dengan perkembangan zaman. Definisi awal umumnya menekankan bahwa koperasi adalah wadah bagi golongan ekonomi lemah, seperti definisi yang dikemukakan oleh Fay, yang menyatakan bahwa koperasi adalah suatu perserikatan dengan tujuan berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan diri sendiri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap organisasi (Firdaus dan Susanto, 2002: 38-39). Koperasi juga adalah sebuah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

3 Suatu badan usaha apapun bentuknya, untuk dapat tumbuh dan berkembang maka memerlukan modal sebagai salah satu faktor produksi, tidak terkecuali juga untuk koperasi. Meskipun koperasi bukan merupakan bentuk kumpulan modal, namun sebagai suatu badan usaha maka di dalam menjalankan usahanya koperasi memerlukan modal pula. Akan tetapi, pengaruh modal dan penggunaannya dalam koperasi tidak boleh mengaburkan dan mengurangi makna koperasi, yang lebih menekankan kepentingan kemanusiaan daripada kepentingan kebendaan. Jumlah modal yang diperlukan oleh suatu koperasi sudah harus ditentukan dalam proses pengorganisasian atau pada waktu pendiriannya dengan rincian berapa modal tetap dan berapa modal kerja yang diperlukan. Modal tetap atau disebut juga modal jangka panjang diperlukan untuk menyediakan fasilitas fisik koperasi, seperti untuk pembelian tanah, gedung, mesin dan kendaraan. Modal kerja yang disebut juga modal jangka pendek diperlukan untuk membiayai kegiatan operasional koperasi seperti gaji, pembelian bahan baku, pembayaran pajak dan premi asuransi, dan sebagainya. Jika koperasi itu, adalah koperasi simpan pinjam, maka modal ini diperlukan untuk pemberian pinjaman kepada para anggota (Firdaus dan Susanto, 2002:70). Dilihat dari keperluan-keperluan tersebut di atas, jelaslah bahwa modal merupakan sarana untuk melaksanakan usaha-usaha koperasi. Namun kenyataannya, banyak koperasi yang terpaksa tidak beroperasi bahkan tutup dikarenakan tidak memiliki modal yang cukup untuk menjalankan usahanya. Sulitnya mendapatkan kredit bank dengan bunga murah dan banyaknya syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kredit dari bank tersebut seperti keharusan adanya agunan dan kelengkapan ijin usaha, merupakan

4 contoh persoalan yang umum dihadapi oleh koperasi-koperasi primer khususnya koperasi simpan pinjam. Maka untuk mengatasi masalah permodalan tersebut, salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyelenggarakan Program Dana Pinjaman Bergulir seperti yang telah dijelaskan di depan. Namun, kebijakan ini juga tidak lepas dari masalah dan kendala. Di Bandung misalnya, dana yang disalurkan telah terserap 100 persen ke masyarakat, namun bagaimana dana itu dikelola dan dampaknya belumlah dapat diketahui secara akurat dan komprehensif. Banyak timbul masalah yaitu konsultan pendamping yang hanya 7-9 bulan di lapangan dan tidak ada kader pengganti, fasilitator yang kurang profesional, kalangan pejabat di daerah yang kurang paham mekanisme Program Dana Pinjaman Bergulir, sampai kesalahan penggunaan dana yang seharusnya dipergunakan untuk usaha produktif malah dipergunakan untuk kepentingan konsumtif oleh penerima dana, dan lain sebagainya ( Di Sumatera Utara sendiri, masalah yang timbul adalah kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pengelola dana kepada koperasi menyebabkan timbulnya anggapan dari koperasi bahwa dana yang disalurkan adalah dana hibah karena berasal dari pemerintah dan karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan atau dikembalikan. Selain itu, tidak adanya kontrol pengawasan dari pengelola dana terhadap koperasi penerima dana, juga merupakan satu masalah tersendiri. Di Toba Samosir misalnya, karena kurangnya monitoring dari pengelola dana menyebabkan macetnya pengembalian dana pinjaman oleh koperasi penerima dana. Sedangkan di kabupaten lain terjadi ketidaksesuaian antara koperasi penerima dana dengan kriteria koperasi yang seharusnya mendapatkan dana pinjaman (sumber: Tim Pokja Kab. Deli Serdang).

5 Dari uraian permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelola dana memiliki peran yang sangat penting untuk terselenggaranya Program Dana Pinjaman Bergulir yang lancar, mulai dari tepat penyaluran, pemanfaatan dan pengembalian. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk mengkaji peranan pengelola Dana Pinjaman Bergulir, apa tugas dan tanggung jawab dari pengelola tersebut karena dengan uraian tugas dan tanggung jawab yang jelas akan menjadi landasan kuat untuk menyelesaikan dan mengatasi permasalahan yang menyangkut Program Dana Pinjaman Bergulir. Selain itu, dengan teratasinya masalah-masalah yang timbul diharapkan pada akhirnya program ini akan dapat mencapai tujuannya yaitu mengembangkan koperasi melalui perkuatan modal usaha simpan pinjam, mengembangkan usaha-usaha anggota koperasi yang bergerak pada sektor riil, dan yang utama adalah mengurangi ketergantungan anggota koperasi/ masyarakat dari jeratan rentenir karena pada dasarnya menurut Kartasapoetra, koperasi simpan pinjam bertujuan untuk mencegah para anggotanya terlibat dalam jeratan rentenir (Kartasapoetra, 2001: 133). Adapun di Kabupaten Deli Serdang, Program Dana Pinjaman Bergulir ini dikelola oleh Dinas Penanaman Modal, Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (PMK dan PKM), yang kemudian dirumuskanlah Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang No. 3 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Dana Pinjaman Bergulir Perkuatan modal KSP/ USP- Koperasi yang Bersumber Dari APBD Kabupaten Deli Serdang, sebagai pedoman bagi Dinas PMK dan PKM dalam pelaksanaan Program Dana Pinjaman Bergulir yang telah dilaksanakan mulai APBD tahun 2003, tahun 2005, tahun 2006, dan yang terbaru yang bersumber pada APBD 2007 yang digulirkan pada Januari 2008 lalu dengan total dana yang telah disalurkan adalah Rp ,-. Kewenangan tersebut didasari oleh PP

6 No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, dimana pada pasal 7 disebutkan bahwa salah satu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/ Kota adalah berkenaan dengan koperasi dan usaha kecil dan menengah. Dan hal ini dikuatkan oleh Peraturan Bupati Deli Serdang No.886 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan Perangkat Daerah Kabupaten Deli Serdang dimana untuk urusan pemerintahan yang berkenaan dengan koperasi dan usaha kecil dan menengah menjadi tugas pokok dari Dinas PMK dan PKM. Maka kemudian sesuai dengan perda yang disebutkan sebelumnya di atas, Dinas PMK dan PKM kemudian membentuk Tim Kelompok Kerja (Pokja) yang bertugas dan bertanggung jawab mulai dari penyaluran, pembinaan, monitoring, evaluasi sampai perguliran kembali pengembalian pokok kepada koperasi yang memenuhi persyaratan. Pembentukan Tim Pokja tersebut berdasarkan kepada Surat Keputusan Kepala Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang. Maka dengan begitu judul penelitian ini adalah sebagai berikut: Peranan Dinas Penanaman Modal, Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah dalam Pengelolaan Dana Pinjaman Bergulir di Kabupaten Deli Serdang. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Untuk mengarahkan penelitian dan memperlancar data dan fakta ke dalam bentuk penulisan, maka perlu dirumuskan masalah secara jelas sehingga dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan pedoman pada penelitian yang akan dilaksanakan.

7 Penyelenggaraan Program Dana Pinjaman Bergulir bagi KSP/ USP- Kop mengalami banyak kendala dan masalah. Hal yang menonjol adalah kurangnya sosialisasi dari pengelola dana kepada koperasi-koperasi sehingga menimbulkan persepsi bahwa dana yang dialirkan adalah dana hibah dan bukan dana pinjaman sehingga tidak perlu dikembalikan, macetnya pengembalian pinjaman pokok oleh penerima dana yang disebabkan tidak atau kurangnya monitoring, pengawasan dari pengelola dana, bahkan terjadi kesalahan pemberian dana kepada koperasi yang tidak memenuhi persyaratan. Karena timbulnya masalah-masalah tersebut, Penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan merumuskan permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu apa sebenarnya peran dari pengelola dana khususnya di Kabupaten Deli Serdang sebagai lokasi penelitian yaitu Dinas Penanaman Modal, Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah, tugas dan fungsinya, serta ingin melihat kendala yang dihadapi oleh Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang dalam rangka penyelenggaraan Program Dana Pinjaman Bergulir tersebut. 1.3 TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang Penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui peranan Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang sebagai pengelola Dana Pinjaman Bergulir dan bagaimana pelaksanaannya di lapangan. b. Untuk mengetahui masalah kendala yang dihadapi oleh Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang dalam pengelolaan Dana Pinjaman Bergulir.

8 1.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi Dinas Koperasi, Penanaman Modal dan Pengusaha Kecil Menengah Kabupaten Deli Serdang, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pengelolaan Dana Pinjaman Bergulir selanjutnya. b. Bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara, penelitian ini akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian lain dengan objek yang sama. c. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang Ilmu Administrasi Negara khususnya kebijakan Dana Pinjaman Bergulir. 1.5 KERANGKA TEORI Kebijakan Publik Konsep Kebijakan Publik Secara umum, istilah kebijakan atau policy dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya: seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat digunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Oleh karena itu diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.

9 Robert Eyestone mengatakan bahwa kebijakan publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sedangkan Thomas Dye berpendapat kebijakan publik adalah pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (dikutip dari Abidin, 2002: 20). Definisi yang lebih tepat dikemukakan oleh James Anderson. Ia mengemukakan: A purposive course of action followed by an actor or set of actors indealing with a problem or matter of concern. This concept of policy focuses attention on what is actually done as against what is proposed ar intended, and it differentiates a policy from a decision, which is a choice among competing alternatives (Anderson,1979: 4). Menurut Anderson, kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada. Secara umum kebijakan adalah keputusan yang dibuat pemerintah atau lembaga berwenang untuk memecahkan masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat. Maka dari itu Program Dana Pinjaman Bergulir adalah merupakan salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi masalah permodalan yang dialami oleh koperasi-koperasi di Indonesia terutama koperasi simpan pinjam. Ada beberapa ciri umum dari sebuah kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson (dalam Abidin, 2002: 41). Ciri ini diperlukan untuk membedakan kebijakan dengan keputusan biasa dalam birokrasi pemerintahan. Kebijakan adalah keputusan, namun tidak semua keputusan adalah kebijakan. Ciri-ciri tersebut antara lain:

10 1. Setiap kebijakan harus ada tujuannya. Artinya pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan maka tidak perlu ada kebijakan. 2. Kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum. 3. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah. 4. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan. 5. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya Jenis-Jenis Kebijakan Publik Secara tradisional, pakar ilmu politik mengategorikan kebijakan publik ke dalam kategori: 1) kebijakan substantif seperti kebijakan perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar negeri, 2) kelembagaan seperti kebijakan legislatif, judikatif, departemen, 3) kebijakan menurut kurun waktu tertentu seperti kebijakan masa Orde Baru, Reformasi dan Orde Lama. Sedangkan James Anderson mengelompokkan kebijakan publik sebagai berikut: 1. Kebijakan substantif vs kebijakan prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan yang menyangkut apa yang dilakukan oleh pemerintah, seperti kebijakan subsidi BBM, kebijakan Raskin. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan, misalnya kebijakan yang

11 berisi kriteria orang disebut miskin dan bagaimana prosedur untuk memperoleh raskin. 2. Kebijakan distributif vs kebijakan regulatori vs kebijakan re-distributif. Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau segmen masyarakat tertentu atau individu, seperti kebijakan subsidi BBM dan kebijakan obat Generik. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat, seperti kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan, kebijakan pemakaian helm bagi pengendara motor. Sedangkan kebijakan re-distributif adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat, seperti kebijakan pajak progresif, kebijakan asuransi kesehatan gratis bagi orang miskin. 3. Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran, misalnya kebijakan raskin. Sedangkan kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran, misalnya kebijakan libur hari besar agama. 4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum dan barang privat. Kebijakan barang umum adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik misalnya kebijakan membangun jalan, kebijakan pertahanan dan keamanan. Kebijakan barang privat adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas, misalnya pelayanan pos, parkir umum dan perumahan.

12 Dari jenis-jenis kebijakan publik yang dikemukakan oleh Anderson tersebut, maka Program Dana Pinjaman Bergulir merupakan contoh dari kebijakan substantif, kebijakan distributif dan kebijakan material. Sedangkan Peraturan Daerah yang mengatur tata cara pelaksanaan program merupakan contoh dari kebijakan prosedural Proses Kebijakan Publik Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

13 Gambar 1.1 Proses Kebijakan Publik Perumusan Penyusunan masalah Agenda forecasting Formulasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan Adopsi Kebijakan Monitoring kebijakan Implementasi Kebijakan Evaluasi kebijakan Penilaian Kebijakan (Sumber: Dunn, dikutip dari Subarsono, 2005: 9) Tahap Pertama, Penyusunan Agenda Yaitu suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula.

14 Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Namun merumuskan masalah publik yang benar dan tepat adalah tidak mudah karena sifat masalah publik yang sangat kompleks. Karena itu perlu diketahui karakteristik dari masalah publik yaitu: 1. Saling ketergantungan antara berbagai masalah. Suatu masalah publik bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait antara satu masalah dengan masalah yang lain. 2. Subyektifitas dari masalah kebijakan. Masalah kebijakan adalah hasil pemikiran dalam konteks lingkungan tertentu. Oleh karena itu, suatu fenomena yang dianggap masalah dalam lingkungan tertentu, bisa jadi bukan masalah untuk lingkungan yang lain. 3. Artificiality masalah, yakni suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk mengubah situasi. 4. Dinamika masalah kebijakan. Solusi terhadap masalah selalu berubah. Masalah yang sama belum tentu dapat dipecahkan dnegan kebijakan yang sama kalau konteks lingkungannya berbeda. Demikian juga masalah yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama kalau waktunya berbeda. Kemudian agar pembuat kebijakan dapat merumuskan masalahnya dengan benar dan tepat, maka ada tujuh tahap dalam merumuskan masalah yaitu pertama pikirkan

15 kenapa suatu gejala dianggap sebagai masalah, kemudian tetapkan batasan masalah yang akan dipecahkan, kumpulkan fakta dan informasi yang berhubungan dengan masalah yang telah ditetapkan, rumuskan tujuan dan sasaran yang akan dicapai identifikasi variabelvariabel yang memengaruhi masalah, tunjukkan biaya dan manfaat dari masalah yang hendak diatasi, dan terakhir rumuskan masalah kebijakannya dengan baik (Patton dan Sawicki dalam Subarsono, 2005: 32). Tahap Kedua, Formulasi Kebijakan Yaitu proses perumusan pilihan-pilihan atau alternatif kebijakan oleh pemerintah. Pada tahap ini yang terpenting adalah proses forecasting, yaitu kegiatan untuk menentukan informasi faktual tentang situasi di masa depan atas dasar informasi yang ada sekarang. Karena dari forecasting akan diketahui seperti apa kondisi sosial, ekonomi, dan politik di masa depan, kemudian dapat dilakukan intervensi melalui kebijakan pemerintah. Karena itu para pembuat kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan pada masa sekarang. Tujuan dari forecasting adalah memberikan informasi mengenai kebijakan di masa depan dan konsekuensinya, melakukan kontrol dan intervensi kebijakan guna memengaruhi perubahan, sehingga akan mengurangi resiko yang lebih besar. Pada tahap ini juga dilakukan pengembangan terhadap alternatif-alternatif kebijakan dan menentukan kriteria seleksi terhadap berbagai alternatif yang ditawarkan untuk kemudian dipilih dan ditetapkan sebagai kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan untuk tujuan memecahkan masalah yang bersangkutan. Dalam mengembangkan berbagai alternatif kebijakan, pembuat kebijakan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi.

16 Sedangkan kriteria seleksi untuk menetapkan satu kebijakan di antara alternatif yang ada, ada beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan yaitu kesesuaian dengan visi dan misi organisasi karena kebijakan berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai visi dan misi organisasi, kemudian applicable atau dapat diimplementasikan sesuai dengan sumber daya yang ada, mampu mempromosikan pemerataan dan keadilan pada masyarakat, dan mendasarkan pada kriteria penilaian yang jelas dan transparan sehingga dapat diverifikasi oleh publik. Tahap Ketiga, Adopsi Kebijakan Yaitu proses untuk melakukan pilihan terhadap berbagai alternatif kebijakan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses pemilihan alternatif kebijakan membutuhkan perhatian yang cermat agar para pembuat kebijakan tidak terjebak pada pilihan yang hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Aspek rasionalitas dan aseptabilitas dari sebuah alternatif merupakan pertimbangan yang utama dalam memilih alternatif kebijakan di samping pertimbangan lainnya. Tahap Keempat, Implementasi Kebijakan Setelah dipilih satu kebijakan dari berbagai alternatif yang direkomendasikan, tahap selanjutnya adalah mengimplementasikan kebijakan tersebut dalam kehidupan nyata. Karena tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Implementasi kebijakan adalah alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh empat faktor utama yaitu faktor utama internal dan faktor utama eksternal. Faktor utama internal meliputi

17 kebijakan yang akan dilaksanakan dan faktor-faktor pendukung, sedangkan faktor utama eksternal adalah kondisi lingkungan dan pihak-pihak terkait. Gambar 1.2 Keterkaitan Antar Faktor Faktor-Faktor Utama Internal Kebijakan Publik Faktor-Faktor Pendukung Pihak Terkait Kondisi Lingkungan Faktor-Faktor Utama Eksternal (Sumber: Abidin, 2004: 192) Kondisi kebijakan adalah faktor yang paling dominan dalam proses pelaksanaan, karena yang dilaksanakan justru kebijakan itu sendiri. Pada tingkat pertama, berhasil tidaknya pelaksanaan suatu kebijakan ditentukan oleh dua hal yaitu kualitas kebijakan dan ketepatan strategi pelaksanaan. Kemudian sumber daya yang merupakan faktor pendukung bagi kebijakan. Ada 6 faktor pendukung yaitu sumber daya manusia, keuangan, logistik, informasi, legitimasi dan partisipasi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, dan lain-lain. Dan pihak terkait adalah para stakeholder yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.

18 Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan monitoring agar kesalahan-kesalahan awal dapat segera diketahui dan dapat dilakukan tindakan perbaikan sehingga mengurangi resiko yang lebih besar. Adapun tujuan dari monitoring adalah menjaga agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi resiko yang lebih besar dan melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring mengharuskan untuk itu. Tahap Kelima, Penilaian Kebijakan Tahap terakhir dari proses kebijakan publik adalah penilaian kebijakan atau evaluasi. Evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, sejauhmana kebijakan tersebut mencapai sasaran dan tujuannya, juga berguna untuk memberikan input bagi kebijakan yang akan datang supaya lebih baik. Ada enam langkah yang dilakukan dalam evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh Suchman (dalam Winarno, 2002: 169) yaitu: mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi, analisis terhadap masalah, deskripsi dan standarisasi kegiatan, pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi, menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain, dan terakhir menetapkan beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak. Adapun indikator untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan ada 5 yang dikemukakan oleh Dunn (dalam Subarsono, 2005: 126), yaitu: 1. Efektivitas; apakah hasil yang diinginkan telah tercapai. 2. Kecukupan; seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah. 3. Pemerataan; apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok masyarakat yang berbeda?

19 4. Responsivitas; apakah hasil kebijakan memuat preferensi/ nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka? 5. Ketepatan; apakah hasil yang dicapai bermanfaat? Implementasi Kebijakan Tahap implementasi sangat penting dalam setiap pengambilan kebijakan. Suatu kebijakan yang telah dipilih dan ditetapkan tidak akan ada artinya, bila tidak diimplementasikan atau dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Selain itu juga tidak akan dapat dievaluasi apakah kebijakan tersebut sudah tepat atau belum untuk menyelesaikan masalah, karena pada dasarnya setiap kebijakan diambil untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Namun berhasil tidaknya sebuah kebijakan dalam pengimplementasiannya juga tidak terlepas dari banyak variabel yang mempengaruhinya dimana masing-masing variabel tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Ada beberapa teori dari para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan sebagai berikut. 1. Teori George C. Edwards III (1980) Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Faktor komunikasi penting karena apa yang menjadi tujuan dan sasaran dari kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Sedangkan sumber daya berfungsi dalam melaksanakan kebijakan, karena walaupun kebijakan telah dikomunikasikan, namun bila kekurangan sumber daya, implementasi tidak akan berjalan efektif. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran atau sifat demokratis. Bila implementor memiliki

20 disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Untuk struktur organisasi, salah satu aspeknya yang penting adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedurs atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Dan struktur organisasi yang terlalu panjang juga akan melemahkan pengawasan dan menimbulkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Gambar 1.3 Faktor Penentu Implementasi menurut Edward III Komunikasi Sumber Daya Impelementasi Disposisi 2. Teori Merilee S. Grindle (1980) Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh dua variabel besar yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, dan apakah letak suatu program sudah tepat, serta apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan terakhir apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup seberapa besar kekuasaan, kepentingan, strategi yang dimiliki oleh

21 para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa, tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Gambar 1.4 Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi Tujuan yang dicapai Tujuan Kebijakan Program aksi dan proyek individu yang didesain dan didanai Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh: A.Isi Kebijakan 1.Kepentingan kelompok sasaran 2.Tipe manfaat 3.Derajad perubahan yang diinginkan 4.Letak pengambilanm keputusan 5.Pelaksaan program 6.Sumber daya yang dilibatkan B.Lingkungan Implementasi 1.Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2.Karakteristik lembaga dan Hasil Kebijakan: 1Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok 2.Perubahan dan penerimaan masyarakat Program yang dilaksanakan sesuai Mengukur keberhasilan 3. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) Ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi menurut teori ini, yaitu karakteristik dari masalah, karakteristik kebijakan, dan variabel lingkungan, yang turunannya diuraikan pada gambar berikut.

22 Gambar 1.5 Variabel-variabel yang Memengaruhi Proses Implementasi Mudah/ tidaknya masalah dikendalikan 1.Kesulitan teknis 2.Keragaman perilaku kelompok sasaran 3.Prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah populasi 4.Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses implementasi 1.Kejelasan dan konsistensi tujuan 2.Digunakannya teori kausal yang memadai 3.Ketepatan alokasi sumber daya 4.Keterpaduan hierarki dalam dan di antara lembaga pelaksana 5.Rekruitmen pejabat pelaksana 6.Akses formal pihak luar Variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi 1.Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2.Dukungan publik 3.Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok pemilih 4.Dukungan dari pejabat atasan 5.Komitmen dan ketrampilan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana Tahap-tahap dalam proses implementasi Output kebijakan kepatuhan kelompok dampak nyata dampak output perbaikan dari badan-badan Sasaran terhadap output kebijakan kebijakan mendasar 4. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975) Teori ini mengemukakan lima variabel yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, dan kondisi sosial, ekonomi dan politik.

23 Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir, karena bila kabur maka akan menimbulkan multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi. Gambar 1.6 Model Implementasi Kebijakan menurut van Meter dan van Horn Komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan Ukuran dan tujuan Karakteristik badan pelaksana Disposisi pelaksana Kinerja impleme ntasi Sumberdaya Lingkungan ekonomi, sosial dan 5. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983) Teori Cheema dan Rondinelli digunakan untuk analisis implementasi program program pemerintah yang bersifat desentralisis, dengan empat kelompok variabel yangdapat memengaruhi kinerja dan dampak suatu program, sebagai berikut: a. Kondisi lingkungan; yang terdiri dari faktor tipe sistem politik, struktur pembuat kebijakan, karakteristik struktur politik lokal, kendala sumber daya, sosiokultural, derajat keterlibatan para penerima program, tersedianya infrastruktur fisik yang cukup. b. Hubungan antarorganisasi; terdiri dari kejelasan dan konsistensi sasaran program, pembagian fungsi antarinstansi yang pantas, standardisasi prosedur perencanaan,

24 anggaran, implementasi dan evaluasi, ketepatan, konsistensi dan kualitas komunikasi antarinstansi, efektivitas jejaring untuk mendukung program. c. Sumberdaya organisasi; terdiri dari kontrol terhadap sumber dana, keseimbangan antara pembagian anggarandan kegiatan program, ketepatan alokasi anggaran, pendapatan yang cukup untuk pengeluaran, dukungan pemimpin politik pusat dan lokal, komitmen birokrasi. d. Karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana; terdiri dari keterampilan teknis, manajerial dan politis petugas, kemampuan untuk mengkoordinasi, mengontrol dan mengintegrasikan keputusan, dukungan dan sumberdaya politik instansi, sifat komunikasi internal, hubungan yang baik antara instansi dan kelompok sasaran, hubungan yang baik antara instansi dengan pihak diluar pembuat dan NGO, kualitas pemimpin instansi yang bersangkutan, komitmen petugas terhadap program, kedudukan instansi dalam hirarki sistem administrasi. e. Kinerja dan dampak; yang terdiri dari tingakt sejauhmana program dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan, adanya perubahan kemampuan administrasi pada organisasi lokal, berbagai keluaran dan hasil yang lain. 6. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999) Dalam pandangan teori ini, ada tiga kelompok variabel dasar yang dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yakni logika kebijakan, lingkungan tempat kebijakan dioperasikan, dan kemampuan implementor kebijakan. Logika dari suatu kebijakan dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat dukungan teoritis. Ini berarti bahwa isi dari suatu kebijakan atau program harus mencakup berbagai aspek yang dapat memungkinkan

25 kebijakan atau program tersebut dapat diimplementasikan pada tataran praktis. Sedang variabel lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan karena di setiap tempat memiliki kondisi lingkungan yang berbeda yang mencakup kondisi sosial budaya, politik, hukum, ekonomi, hankam dan fisik atau geografis, sehingga kebijakan yang sama belum tentu menghasilkan dampak yang sama di tempat yang berbeda. Keberhasilan suatu kebijakan juga dipengaruhi oleh kemampuan implementor yaitu tingkat kompetensi dan keterampilan mereka Koperasi Karakteristik Koperasi di Indonesia Perkenalan bangsa Indonesia dengan koperasi di mulai pada penghujung abad ke-19, tepatnya pada tahun 16 Desember di tengah-tengah penderitaan masyarakat Indonesia, R. Aria Wiriaatmaja, seorang patih di Purwokerto, mempelopori berdirinya sebuah bank yang bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha ini mendapat dukungan penuh dari Residen Purwokerto E. Sieburg. Badan usahanya berbentuk Koperasi dan diberi nama Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank) (Baswir, 2000: 26). Inilah koperasi pertama yang didirikan di Indonesia. Ketika Jepang datang ke Indonesia tahun 1942 dan mengambil alih penjajahan dari Belanda, juga didirikanlah semacam koperasi yang disebut Kumiai oleh Pemerintah Jepang. Saat Indonesia kemudian merdeka, tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakanlah kongres gerakan koperasi se-jawa yang pertama di Tasikmalaya. Pada periode koperasi mengalami kemunduran. Sehingga untuk mengatasi situasi yang tidak menggembirakan tersebut, pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian yang kemudian pada pemerintahan

26 Orde Baru, UU No. 12 tahun 1967 tersebut disempurnakan dan diganti menjadi UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Menurut UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang berdasar atas azas kekeluargaan. Berdasarkan hal tersebut, Koperasi Indonesia mengandung lima unsur yaitu, koperasi sebagai badan usaha, koperasi adalah kumpulan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi, Koperasi Indonesia adalah koperasi yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip koperasi, juga sebagai Gerakan Ekonomi Rakyat, dan terakhir berdasarkan azas kekeluargaan. Definisi dari ILO menyebutkan bahwa koperasi adalah perkumpulan orang, yang biasanya memiliki kemampuan ekonomi terbatas, yang melalui suatu bentuk organisasi perusahaan yang diawasi secara demokratis, masing-masing memberikan sumbangan yang setara terhadap modal yang diperlukan, dan bersedia menanggung resiko serta menerima imbalan yang sesuai dengan usaha yang mereka lakukan (ILO, 1975 dikutip dari Sitio dan Tamba, 2001). Sedangkan menurut Hatta (1957:1) sebagai Bapak Koperasi Indonesia mengatakan bahwa koperasi adalah: Co-operatives are societies in which all are working together to accomplish the same purpose. In co-operatives there is no such thing as a nonactive member. (Koperasi adalah suatu perkumpulan dimana semua bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam koperasi tidak ada yang disebut sebagai anggota tidak aktif.)

27 Sebagai pedoman yang mengatur tentang perkoperasian, UU No. 25 tahun 1992 juga menetapkan landasan Koperasi Indonesia yaitu Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Sedangkan tujuan koperasi adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD Adapun fungsi dan peran koperasi antara lain membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya, berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi Manajemen Koperasi Menurut UURI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 21 dinyatakan bahwa perangkat organisasi koperasi terdiri dari: rapat anggota, pengurus dan pengawas. Dalam undang-undang ini, pengelola atau manajer tidak dimasukkan dalam perangkat organisasi koperasi. Hal ini, bisa dipahami mengingat adanya unsur demokrasi koperatif yang terkandung dalam koperasi yaitu bahwa kendali dan tanggung jawab dari pengelola koperasi itu adalah berada di tangan para anggotanya, sedangkan manajer bukan anggota koperasi. Tetapi, dengan menunjuk pada asas manajer bagi keberhasilan usaha, maka wajar jika manajer itu dimasukkan sebagai salah satu komponen dari manajemen koperasi.

28 Sebagai salah satu dari perangkat organisasi koperasi, rapat anggota merupakan suatu kesempatan bagi pengurus untuk melaporkan kepada para anggota tentang kegiatan selama tahun yang lalu. Bersama-sama dengan anggota menelaah rencana kerja tahun mendatang untuk meningkatkan kemajuan koperasi. Sedangkan pengurus merupakan perangkat organisasi koperasi setingkat di bawah rapat anggota. Pengurus memiliki kewenangan untuk mewakili koperasi sebagai badan hukum. Pengurus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota untuk masa jabatan paling lama 5 tahun. Anggota pengurus yang telah habis masa jabatannya dapat dipilih kembali. Pengawas koperasi merupakan perangkat organisasi koperasi yang dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota. Pengawas bertanggungjawab kepada rapat anggota. Peranan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas adalah memberikan bimbingan kepada pengurus, karyawan, keahlian dan keterampilan, mencegah pemborosan bahan, waktu, tenaga, dan biaya agar tercapai efisiensi perusahaan koperasi, menilai hasil kerja dengan rencana yang telah ditetapkan, mencegah terjadinya penyelewengan, menjaga tertib administrasi secara menyeluruh (Firdaus dan Susanto, 2002: 90). Untuk manajer, peranannya dikaitkan dengan volume usaha, modal, kerja dan fasilitas yang diatur oleh pengurus. Besar kecilnya volume usaha merupakan batasan dan ukuran perlu tidaknya digunakan tenaga manajer. Bagi koperasi yang sederhana penguruslah yang sekaligus bertindak sebagai manajer. Manajer adalah karyawan yang diangkat dan diberhentikan oleh pengurus. Manajer adalah pelaksana tugas pengurus sehari-hari di bidang usaha koperasi dan bertanggung jawab kepada pengurus (Anoraga dan Widiyanti, 1993: 117).

29 Tugas dan kewajiban manajer antara lain memimpin kegiatan usaha yang telah digariskan oleh pengurus, mengangkat/memberhentikan karyawan koperasi atas kuasa dan/atau persetujuan pengurus, membantu pengurus dalam menyusun anggaran belanja dan pendapatan koperasi, melaporkan secara teratur kepada pengurus tentang pelaksanaan tugas yang diberikan dan jika perlu dapat memberikan saran perbaikan /peningkatan usaha yang dilakukan, dan mempertanggungjawabkan mengenai pelaksanaan tugas kepada pengurus koperasi (Firdaus dan Susanto, 2002: 92-93) Permodalan Koperasi Koperasi merupakan perkumpulan orang dan bukan merupakan perkumpulan modal, karenanya masih banyak yang berpendapat bahwa dalam koperasi kedudukan modal tidaklah penting. Sebagai perkumpulan yang menjalankan usaha dalam bidang perekonomian, koperasi banyak memerlukan modal, jadi modal tetap sesuatu yang vital, namun walau demikian tidak boleh diberikan arti bahwa modal lebih penting daripada orang-orang yang menjadi anggota koperasi. Modal koperasi itu terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman, hal ini sesuai dengan yang tertera dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yaitu pada pasal 41. Modal sendiri pada koperasi bersumber dari: a. Simpanan Pokok, yaitu sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota. b. Simpanan Wajib, yaitu sejumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama yang wajib dibayar oleh anggota kepada koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu.

30 Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota. c. Dana Cadangan, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha, yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan. d. Hibah, yaitu suatu pemberian atau hadiah dari seseorang semasa hidupnya. Modal koperasi yang merupakan pemberian atau hibah ini adalah pemberian harta kekayaan dari seseorang yang berupa kebendaan, baik benda bergerak maupun benda tetap. Sedangkan modal pinjaman yang digunakan untuk pengembangan usaha koperasi dengan memperhatikan kelayakan dan kelangsungan usahanya, dapat berasal dari: a. Anggota, pinjaman yang diperoleh dari anggota, termasuk calon anggota yang memenuhi syarat. b. Koperasi lain/ atau anggotanya, yang didasari dengan perjanjian kerja sama antarkoperasi. c. Bank dan lembaga keuangan lainnya, yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya, yaitu dalam rangka mencari tambahan modal, koperasi dapat mengeluarkan obligasi yang dapat dijual ke masyarakat. Sebagai konsekuensinya, maka koperasi diharuskan membayar bunga atas pinjaman yang diterima secara tetap, baik besar maupun waktunya. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

31 e. Sumber lain yang sah, adalah pinjaman dari bukan anggota yang dilakukan tidak melalui penawaran secara hukum. Contoh, pemberian saham kepada koperasi oleh perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas, atau dana dari pemerintah dalam bentuk pinjaman Koperasi Simpan Pinjam Koperasi simpan pinjam merupakan salah satu jenis koperasi yang digolongkan berdasarkan aspek bidang usahanya. Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang anggota-anggotanya setiap orang yang mempunyai kepentingan langsung di bidang perkreditan (Firdaus dan Susanto, 2002: 68). Sedangkan Baswir (2000: 78) mengatakan koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit adalah koperasi yang bergerak dalam bidang pemupukan simpanan dari para anggotanya, untuk kemudian dipinjamkan kembali kepada para anggota yang memerlukan bantuan modal. Tujuan koperasi simpan pinjam menurut Tohir (1964: 115) adalah: 1. Memenuhi kebutuhan kredit dari anggota-anggotanya dengan jalan memberikan pinjaman dengan memakai bunga uang yang sederhana. 2. Memberantas riba. 3. Memajukan kemauan untuk menabung, dasar-dasar perdagangan dan menunjukkan kebaikan dari pembentukan modal dan memberikan pengertian tentang keuntungan. 4. Meminjamkan dana hanya kepada anggota-anggotanya saja. Pada dasarnya koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit berusaha untuk mencegah para anggotanya terlibat dalam jeratan rentenir pada waktu mereka memerlukan sejumlah uang. Hal tersebut dilakukan dengan cara menggiatkan tabungan dan mengatur

32 pemberian pinjaman uang atau barang dengan bunga yang serendah-rendahnya (Kartasapoetra dkk, 2001: 133). Pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun Berdasarkan peraturan ini, kegiatan usaha simpan pinjam adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya. Kegiatan usaha simpan pinjam ini dilakukan oleh koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam. Unit simpan pinjam adalah unit koperasi yang bergerak di bidang usaha simpan pinjam, sebagai bagian dari kegiatan usaha koperasi yang bersangkutan Program Dana Pinjaman Bergulir Program Dana Pinjaman Bergulir diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM dengan tujuan utama untuk membantu koperasi terutama koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam-koperasi dalam hal perkuatan modal. Dana tersebut disalurkan melalui pola bergulir dimana pinjaman pokok yang telah dikembalikan oleh penerima dana akan digulirkan atau disalurkan kembali kepada penerima lainnya yang belum pernah menikmati dana tersebut. Penyelenggaraan Program Dana Pinjaman Bergulir ini berdasarkan kepada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dimana pada pasal 41 tentang modal koperasi, disebutkan salah satu sumber modal koperasi adalah modal pinjaman yang dapat berasal dari sumber lain yang sah yang dalam hal ini adalah pemerintah. Tidak seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang melaksanakan Program Dana Pinjaman Bergulir yang bersumber dari APBN yang diatur

33 dalam Kepmen no. 23 tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Program Dana Bergulir Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro Melalui Perkuatan Struktur Keuangan KSP/ USP- Kop, di Kabupaten Deli Serdang sendiri dana berasal dari APBD dimana tata aturan pelaksanaan program tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang No. 3 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Dana Pinjaman Bergulir Perkuatan Modal KSP/ USP Koperasi yang bersumber dari APBD Kabupaten Deli Serdang yang ditetapkan pada tanggal 11 September Dalam perda tersebut yang dimaksud dengan Dana Pinjaman Bergulir adalah dana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk pinjaman kepada KSP/ USP- Koperasi dalam rangka perkuatan modal usaha simpan pinjam. Adapun tujuan dan sasaran dari program ini adalah: 1. Mengembangkan koperasi melalui perkuatan modal usaha simpan pinjam sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan koperasi kepada kebutuhan anggota/ masyarakat. 2. Mengurangi ketergantungan anggota koperasi/ masyarakat dari jeratan rentenir. 3. Membangun koperasi sebagai lembaga keuangan yang handal sehingga akan dapat sejajar dengan lembaga keuangan lainnya. 4. Mengembangkan usaha-usaha anggota koperasi yang bergerak pada sektor riil. Dan prosedur atau tahap-tahap penyaluran dilaksanakan sebagai berikut: 1. Sosialisasi Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Dana Pinjaman Bergulir Perkuatan Modal KSP/USP Koperasi kepada KSP/USP Koperasi kepada calon peserta program.

34 2. Penerimaan pengajuan permohonan/ proposal KSP/ USP Koperasi sebagai calon peserta program. 3. Seleksi penilaian atas pengajuan permohonan KSP/ USP-Kop secara administrasi dan survei lapangan dengan kriteria penilaian yang meliputi: aspek kelembagaan, organisasi dan usaha serta rencana penggunaan dana pinjaman bergulir yang akan diterima. 4. Seleksi penilaian dilaksanakan oleh Tim Pokja Dana Bergulir Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari unsur: Dinas PMK dan PKM Deli Serdang dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang koperasi dan UKM di Kabupaten Deli Serdang yang ditetapkan dengan surat keputusan Kepala Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang. 5. KSP/ USP-Kop yang lulus seleksi ditetapkan melalui rapat pembahasan berdasarkan hasil penilaian yang dilaksanakan oleh Tim Pokja terhadap pengajuan permohonan KSP/ USP-Kop yang dituangkan dalam bentuk berita acara. 6. Hasil penetapan KSP/ USP-Kop yang lulus seleksi kemudian dituangkan dalam surat keputusan Kepala Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang. 7. Pengumuman/ pemberitahuan kepada KSP/ USP-Kop yang lulus seleksi. 8. Penandatanganan kesepakatan bersama (MoU) antara Tim Pokja dengan KSP/ USP-Kop yang lulus seleksi yang diketahui oleh Kepala Dinas PMK dan PKM Kabupaten Deli Serdang. 9. Penyampaian nama-nama dan nomor rekening KSP/ USP-Kop yang lulus seleksi dilampiri dengan Naskah Kesepakatan Bersama (MoU) kepada Bupati Deli

BAB II URAIAN TEORITIS. KP. Telkom Padang. Pengaruh jumlah modal sendiri (X1) terhadap SHU adalah

BAB II URAIAN TEORITIS. KP. Telkom Padang. Pengaruh jumlah modal sendiri (X1) terhadap SHU adalah BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Lestari (2005:47) meneliti tentang: Pengaruh modal terhadap sisa hasil usaha KP. Telkom Padang. Pengaruh jumlah modal sendiri (X1) terhadap SHU adalah positif,

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Koperasi berasal dari perkataan co dan operation, yang mengandung arti

BAB II URAIAN TEORITIS. Koperasi berasal dari perkataan co dan operation, yang mengandung arti BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Koperasi Koperasi berasal dari perkataan co dan operation, yang mengandung arti kerja sama untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu defenisi koperasi adalah suatu perkumpulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Sejarah dan Definisi Koperasi 2.1.1 Sejarah Koperasi Menurut Amidipradja Talman (1985:22) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan koperasi adalah : Badan usaha yang berbeda dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Untuk memelihara kesinambungan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE SALINAN WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, BAB 1 PENDAHULUAN Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan. 1.1. Latar

Lebih terperinci

SARAS MITHA RAMADHAN

SARAS MITHA RAMADHAN PERANAN DINAS PENANAMAN MODAL, KOPERASI DAN PENGUSAHA KECIL MENENGAH DALAM PENGELOLAAN DANA PINJAMAN BERGULIR DI KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI D I S U S U N OLEH : SARAS MITHA RAMADHAN 040903051 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kata koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris

BAB II LANDASAN TEORI. Kata koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Koperasi Bagi Indonesia koperasi merupakan suatu badan usaha yang menerapkan sifat gotong royong dan cara bekerjanya bersifat kekeluargaan. Kata koperasi berasal dari

Lebih terperinci

2017, No Menengah Republik Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 15/PER/M.KUKM/IX/2015

2017, No Menengah Republik Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 15/PER/M.KUKM/IX/2015 No.257, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KUKM. USP oleh Koperasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 /PER/M.KUKM/ II /2017 TENTANG

Lebih terperinci

Koperasi. By :

Koperasi. By : Koperasi By : dhoni.yusra@indonusa.ac.id Dasar Hukum Landasan Yuridis ada Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Pengaturan pertama diatur dalam UU

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 116, 1992 (PEMBANGUNAN. EKONOMI. Warganegara. Kesejahteraan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dengan harga murah (tidak bermaksud mencari untung) 1.

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dengan harga murah (tidak bermaksud mencari untung) 1. BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian dan Dasar Hukum Koperasi Simpan Pinjam 1. Pengertian Koperasi, Simpanan dan Pinjaman Dalam kamus besar bahasa indonesia Koperasi adalah perserikatan yang bertujuan

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PADA KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 10 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 10 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA BERGULIR PADA KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 68 TAHUN 2008/434.013/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMPANG NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi. Berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 1992 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi. Berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 1992 tentang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Koperasi merupakan suatu badan usaha bersama yang berjuang dalam bidang ekonomi. Berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 1992 tentang pokok-pokok perkoperasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak kemerdekaan Negara Indonesia diproklamasikan telah ditetapkan dalam UUD 1945 bahwa perekonomian Indonesia dilaksanakan atas dasar demokrasi ekonomi, yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat

Lebih terperinci

Abstrak. Kualitas Pelayanan, Kemampuan Pengurus, Partisipasi Anggota, Sisa Hasil Usaha (SHU).

Abstrak. Kualitas Pelayanan, Kemampuan Pengurus, Partisipasi Anggota, Sisa Hasil Usaha (SHU). Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi Serba Usaha (KSU) di Kecamatan Denpasar Selatan Nama : I Gede Andika Miarta NIM : 1306105118 Abstrak Koperasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH I. UMUM Pembangunan Daerah bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2009 No. Urut: 05 LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

KOPERASI. Tujuan Pembelajaran

KOPERASI. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X ekonomi KOPERASI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami tentang konsep dasar koperasi. 2. Memahami perhitungan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR. Koperasi Primer Nasional MEDIA INDONESIA MERDEKA

ANGGARAN DASAR. Koperasi Primer Nasional MEDIA INDONESIA MERDEKA ANGGARAN DASAR Koperasi Primer Nasional MEDIA INDONESIA MERDEKA BAB I NAMA, TEMPAT KEDUDUKAN DAN JANGKA WAKTU Pasal 1 (1) Badan Usaha ini adalah koperasi Pekerja dan Pengusaha Media dengan nama Koperasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

, No Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19/Per/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi sudah ti

, No Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19/Per/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi sudah ti BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1494, 2015 KEMENKOP-UKM. Koperasi. Usaha. Simpan Pinjam. PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/Per/M.KUKM/IX/2015 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN...

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN... BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN, DAN PEMBINAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan tersebut adalah sektor negara, swasta dan koperasi. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan tersebut adalah sektor negara, swasta dan koperasi. Untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia mempunyai tiga sektor kekuatan ekonomi yang melaksanakan berbagai kegiatan usaha dalam tata kehidupan. Ketiga sektor kekuatan tersebut adalah

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS

TUGAS AKHIR MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS TUGAS AKHIR MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS Oleh : IBNU SURYO WIBOWO 10.12.4559 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Tugas karya ilmiah ekonomi koperasi ABSTRAK Karya Tulis mengenai Koperasi di Indonesia.. Karya Tulis mengenai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012 4 Oktober 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C 3/C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI PAKPAK BHARAT

BUPATI PAKPAK BHARAT BUPATI PAKPAK BHARAT PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN USAHA BAGI MASYARAKAT MELALUI KREDIT NDUMA PAKPAK BHARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG POLA KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33 ayat (1) menyatakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33 ayat (1) menyatakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Koperasi 2.1.1 Pengertian Koperasi Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam Kajian Pustaka ini akan dijelaskan mengenai pengertian-pengertian yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam Kajian Pustaka ini akan dijelaskan mengenai pengertian-pengertian yang BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian pustaka Dalam Kajian Pustaka ini akan dijelaskan mengenai pengertian-pengertian yang mendasari dalam prosedur laporan pelaksanaan simpan pinjam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pembangunan perekonomian nasional bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia melalui pengelolaan sumber daya ekonomi dalam suatu iklim pengembangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG Draft Htl Maharani 9 September 2008 PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena Reformasi Birokrasi yang bergulir menuntut perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena Reformasi Birokrasi yang bergulir menuntut perubahan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fenomena Reformasi Birokrasi yang bergulir menuntut perubahan dalam segala tatanan kehidupan kenegaraan. Dalam penyelenggaraannya pemerintah daerah, demokrasi,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas bersama antara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan perekonomian nasional bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan perekonomian nasional bertujuan

Lebih terperinci

DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DANA PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA bitheula.blogspot.com I. PENDAHULUAN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu alat negara untuk mendukung perekonomian nasional

Lebih terperinci

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM PERATURAN GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 83 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS BANTUAN PERKUATAN PERMODALAN BAGI KOPERASI, USAHA MIKRO DAN KECIL GUBERNUR NANGGROE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima,

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebijakan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUKM) dewasa ini telah diatur di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERDA KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 3 TAHUN 2015 Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat

Lebih terperinci

BUPATI LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH BUKIT SERELO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH BUKIT SERELO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH BUKIT SERELO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa untuk pemantapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kekokohannya dengan tetap menyerap jutaan lapangan pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kekokohannya dengan tetap menyerap jutaan lapangan pekerjaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor Koperasi dan UKM merupakan salah satu sektor yang mampu menunjukkan kekokohannya dengan tetap menyerap jutaan lapangan pekerjaan ditengah krisis global

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.212, 2012 PEMBANGUNAN. EKONOMI. Warga Negara. Kesejahteraan. Koperasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan bentuk analisis untuk membuat data-data tersebut mudah diatur. Semua

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan bentuk analisis untuk membuat data-data tersebut mudah diatur. Semua BAB II KAJIAN TEORI 1.1 Pengertian 1.1.1 Analisis Salah satu bentuk analisis adalah merangkum sejumlah data besar data yang masih mentah menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan. Kategorisasi atau

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 55 TAHUN 2016

- 1 - BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 55 TAHUN 2016 - 1 - SALINAN BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dalam berbagai bidang dewasa saat ini sangatlah cepat. Hal

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dalam berbagai bidang dewasa saat ini sangatlah cepat. Hal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dalam berbagai bidang dewasa saat ini sangatlah cepat. Hal ini dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi sekarang ini khususnya dalam bidang ekonomi.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KOPERASI, USAHA KECIL DAN MENENGAH PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14/Per/M.KUKM/VII/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14/Per/M.KUKM/VII/2006 TENTANG nis 2006 11-08-2006 1.2005Draft tanggal, 28 Juli 2006 PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14/Per/M.KUKM/VII/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS DANA PENJAMINAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA PINJAMAN BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga 22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. Akuntansi Perkoperasian Sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial, koperasi memiliki perbedaan dengan bentuk perusahaan lainnya. Namun apabila dilihat dari kebutuhannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian pemerintah menurut Siregar dalam buku yang berjudul Akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian pemerintah menurut Siregar dalam buku yang berjudul Akuntansi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pemerintah menurut Siregar dalam buku yang berjudul Akuntansi Sektor Publik (2015:2) merupakan organisasi sektor publik yang mengelola dana masyarakat. Berkaitan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR

BUPATI BLITAR PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR 1 BUPATI BLITAR PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asas demokrasi ekonomi. Jelas hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. asas demokrasi ekonomi. Jelas hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia konstitusi negara memberikan landasan bagi penyusunan dan pengelolaan ekonomi nasional dalam rangka memberikan kesejahteraan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan. usaha Lerperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang 'maju, adil dan

BABI PENDAHULUAN. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan. usaha Lerperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang 'maju, adil dan BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha Lerperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang 'maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG Draft Htl Maharani 9 September 2008 PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI, DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/Per/M.KUKM/XI/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang pekoperasian pada Pasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang pekoperasian pada Pasal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Badan Usaha Koperasi 1. Pengertian dan Dasar Hukum Koperasi Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang pekoperasian pada Pasal 1 Ayat 1, pengertian koperasi adalah badan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Oleh: Ny. Neti Budiwati Ukanda -Dosen pada Prodi Pend. Ekonomi & Koperasi UPI -Ketua Umum Koperasi Wanita Mekar Endah Kab. Bandung

Oleh: Ny. Neti Budiwati Ukanda -Dosen pada Prodi Pend. Ekonomi & Koperasi UPI -Ketua Umum Koperasi Wanita Mekar Endah Kab. Bandung APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA KOPERASI? (All about Cooperation) Oleh: Ny. Neti Budiwati Ukanda -Dosen pada Prodi Pend. Ekonomi & Koperasi UPI -Ketua Umum Koperasi Wanita Mekar Endah Kab. Bandung KONSEP DASAR

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOPERASI FORTUGA

ANGGARAN DASAR KOPERASI FORTUGA ANGGARAN DASAR KOPERASI FORTUGA ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- -----BAB I ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ----

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di kalangan masyarakat awam. Setiap saat

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA No.305, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6173) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN MODAL LEMBAGA KEUANGAN MIKRO MASYARAKAT DAN KOPERASI PEDESAAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) memiliki peran, dan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) memiliki peran, dan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keberadaan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) memiliki peran, dan fungsi yang strategis serta tanggung jawab terhadap sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahasa Inggris disebut cooperation dan cooperative. Koperasi berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahasa Inggris disebut cooperation dan cooperative. Koperasi berasal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Koperasi Kata koperasi berasal dari bahasa latin yaitu coopere yang dalam bahasa Inggris disebut cooperation dan cooperative. Koperasi berasal dari kata co dan operation

Lebih terperinci

3.2. Kebijakan Pengelolalan Keuangan Periode

3.2. Kebijakan Pengelolalan Keuangan Periode No. Rek Uraian Sebelum Perubahan Jumlah (Rp) Setelah Perubahan Bertambah / (Berkurang) 1 2 3 4 5 116,000,000,000 145,787,728,270 29,787,728,270 (Rp) 3.1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah Tahun Sebelumnya

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PENGUATAN PEMODALAN KOPERASI, USAHA MIKRO DAN KECIL POLA BERGULIR

PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PENGUATAN PEMODALAN KOPERASI, USAHA MIKRO DAN KECIL POLA BERGULIR PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PENGUATAN PEMODALAN KOPERASI, USAHA MIKRO DAN KECIL POLA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa koperasi, usaha

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. reaksi terhadap sistem perekonomian kapitalisme di Negara-negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. reaksi terhadap sistem perekonomian kapitalisme di Negara-negara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Koperasi dan Karakteristiknya Sejarah koperasi lahir pada permulaan abad ke-19 sebagai suatu reaksi terhadap sistem perekonomian kapitalisme di Negara-negara Eropa. Sistem ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

A. Kesimpulan BAB I PENDAHULUAN

A. Kesimpulan BAB I PENDAHULUAN 5. Berakhirnya Perjanjian Kredit...... 30 C. Tinjauan Umum Tentang Kredit Usaha Rakyat...37 1. Pengertian Kredit Usaha Rakyat...37 2. Tujuan dan Lembaga Penjamin Kredit Usaha Rakyat...37 BAB III PEMBAHASAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG DRAFT BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGANGGARAN, PELAKSANAAN DAN PENATAUSAHAAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAPORAN SERTA MONITORING DAN EVALUASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan struktural dalam bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1192, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Bantuan Sosial. Mikro dan Kecil. Pedoman

BERITA NEGARA. No.1192, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Bantuan Sosial. Mikro dan Kecil. Pedoman BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1192, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Bantuan Sosial. Mikro dan Kecil. Pedoman PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa dalam rangka penyusunan Rancangan APBD diperlukan penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keunggulan yang memiliki daya saing, mengembangkan sistem ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. keunggulan yang memiliki daya saing, mengembangkan sistem ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam bidang ekonomi, arah pembangunan ekonomi nasional meliputi hal-hal pokok seperti: mengembangkan perekonomian dengan membangun keunggulan yang memiliki

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO Jl. Imam Bonjol 13 Telp/Fax (0342) 801833,812549 Email : diskopum@blitarkab.go.id B L I T A R KEPUTUSAN KEPALA DINAS KOPERASI DAN UM KABUPATEN

Lebih terperinci

URAIAN MATERI. A. Pengertian Koperasi

URAIAN MATERI. A. Pengertian Koperasi URAIAN MATERI A. Pengertian Koperasi Kata Koperasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu co dan operation. Co berarti bersama, operation berarti usaha. Kalau kedua kata itu dirangkai, maka koperasi dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat laporan keuangan yang harus selesai dalam waktu 6 (enam) bulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat laporan keuangan yang harus selesai dalam waktu 6 (enam) bulan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rentabilitas 2.1.1 Pengertian Rentabilitas Koperasi tiap tahun diharuskan oleh undang-undang hukum dagang membuat laporan keuangan yang harus selesai dalam waktu 6 (enam) bulan

Lebih terperinci

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PENDAHULUAN Bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman maupun hibah luar negeri. Pinjaman luar negeri lebih mendesak dibahas

Lebih terperinci