BAB I PENDAHULUAN. informasi atau berita yang sedang berkembang. yang sama dengan Bahasa Inggris press namun jika ditelusuri lebih dalam maka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. informasi atau berita yang sedang berkembang. yang sama dengan Bahasa Inggris press namun jika ditelusuri lebih dalam maka"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pers merupakan salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Sebab pers merupakan lembaga yang tidak memihak kepada salah satu pihak dan bersifat netral. Berbicara mengenai pers maka tidak lepas berbicara tentang kebebasan pers. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis. Pers dengan masyarakat saling membutuhkan karena tanpa masyarakat, fungsi dan peranan pers tidak dapat berjalan dengan lancar. Sebaliknya, masyarakat tanpa pers akan tertinggal dalam informasi atau berita yang sedang berkembang. Secara etimologi, pers berasal dari Bahasa Belanda yang mempunyai arti yang sama dengan Bahasa Inggris press namun jika ditelusuri lebih dalam maka kata pers berasal dari istilah Latin pressare dari kata premere artinya "tekan" atau "cetak". 1 Sehingga secara harafiah pengertian pers adalah media komunikasi cetak seperti surat kabar ataupun majalah. Namun, pada saat ini seiring dengan perkembangan zaman, pers tidak hanya diartikan sebagai media cetak saja tetapi juga di dalamnya media elektronik seperti radio ataupun televisi yang berfungsi menyebarkan informasi, berita, gagasan ataupun pikiran seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Di samping fungsinya sebagai media 1 Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm.7 11

2 informasi dan komunikasi, pers juga merupakan refleksi diri masyarakat karena apa yang dituangkan dalam sajian pers hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada. Satu bagian penting dari keberadaan pers itu adalah pencermatannya dari sisi hukum. Ketika pers berada di tengah masyarakat, terjadilah interaksi antara pers (sebagai lembaga) dengan masyarakat konsumennya. Dalam melaksanakan tugas dan peranannya, pers sebagai komunikasi massa dalam mencari dan memberikan informasi juga harus menghormati hak asasi setiap orang. 2 Selain informasi ataupun berita sebagai komponen yang paling utama dari tugas dan peranan pers, keterangan narasumber juga merupakan hal yang penting sebagai orang (human sources) yang memberikan informasi ataupun keterangan mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Karena itu, pers diharapkan dapat menghormati segala kesepakatan dan hak-hak narasumber. Seperti hal Cerita di Balik Pelarian Nazaruddin yang menjadi salah satu judul item berita Laporan Utama majalah Tempo edisi Agustus Narasumber berita itu muncul sebagai, seorang anggota tim, sumber Tempo, seorang penjemput (mendengar dari polisi Kolombia), sumber yang lain, sumber itu, seorang sumber, sumber-sumber Tempo yang lain, dan seorang advokat. Informasi yang didapat Tempo dari beraneka narasumber anonim itu termuat baik dalam kalimat langsung maupun tidak langsung. Apabila dihitung, persentase frekuensi kemunculan narasumber anonim (yang identitas namanya tidak disebutkan) melebihi narasumber beridentitas jelas. 2 Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers 12

3 Dua hal yang memancing pertanyaan. Pertama, identitas sang sumber Tempo : siapakah dia, sedekat apakah dia dengan kasus itu, motivasi apa yang mendorongnya membeberkan informasi tersebut kepada media, dan alasan apa yang menyebabkan Tempo tidak memuat identitasnya. Kedua, kutipan langsung Tempo itu masih mengandung penafsiran dari sang, sumber Tempo sendiri. Kedua hal itu dapat menyulitkan pembaca untuk menimbang kredibilitas narasumber dan kadar kebenaran dari penafsiran seseorang yang tidak ia ketahui identitasnya. Selanjutnya, dalam sebuah berita warta kota Tebet, Jakarta Selatan dimana terdapat makanan dan minuman yang mengandung formalin dan boraks yang telah diuji di laboratorium oleh BBPOM (Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan), salah satu bahan berbahaya tersebut terdapat di dalam soto mie yang dijual oleh pedagang PKL di sekitar daerah tersebut. 3 Namun, pedagang itu tidak bersedia menyebutkan namanya ataupun identitasnya dalam memberikan informasi yang terkait dengan hal tersebut. Kemudian untuk menghargai dan menghormati hak dari pedagang tersebut maka pers hanya mencantumkan ;.yang tidak ingin disebutkan namanya. Salah satu cara insan pers dalam mencari dan memberikan informasi ataupun berita yang transparan kepada masyarakat adalah dengan melalui liputan investigasi sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data maupun informasi untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan dari sebuah fakta. Informasi yang kerap menarik banyak khalayak adalah mengenai liputan investigasi 3 diakses pada tanggal 21 Maret

4 kriminal untuk mengetahui kejahatan apa yang banyak terjadi dan mengantisipasi kejahatan tersebut. Sebagai media informasi, selain surat kabar, televisi juga memberikan kekuatan tersendiri dalam menyampaikan pesan atau informasi tersebut dalam bentuk tayangan-tayangan investigasi kriminal semisal mengenai pembuatan makanan yang dicampur dengan bahan berbahaya, pembuatan kosmetik palsu dan sebagainya. Namun, yang membedakan setiap liputan investigasi dengan liputan lainnya adalah dimana identitas pelaku dari kejahatan tersebut dirahasiakan. Dalam hasil liputan investigasinya, insan pers menyamarkan wajah, nama ataupun suara dari pelaku kejahatan tersebut. Tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber didasarkan pada Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 5 serta Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Pasal 4 ayat 4 UU Pers sebagai peraturan yang lex specialis menyatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. 4 Pers sebagai lembaga sosial dan wahana dan komunikasi massa diharapkan dapat mengolah dan menyampaikan informasi secara profesional sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Pedoman insan pers dalam melaksanakan profesinya yakni Undang- Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik diharapkan dapat memberikan pedoman yang cukup kuat bagi insan pers untuk melaksanakan tugasnya secara 4 Pasal 1 Angka 10 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers 14

5 bertanggung jawab serta untuk ditaati dan dijunjung tinggi dengan tujuan agar insan pers mencapai mutu yang tinggi dan bertanggung jawab. Tetapi, akan menjadi sebuah masalah apabila tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan seperti pada berita kriminal dalam surat kabar ataupun pada tayangan televisi yang dilakukan oleh insan pers tidak ditindaklanjuti dengan pemberitahuan kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan yang diatur dalam KUHP. 5 Dengan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan oleh insan pers, maka insan pers memberikan kesan bahwa mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri atau kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umum. Karena dengan mengetahui adanya suatu kejahatan atau tindak pidana, namun tidak ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada pihak yang berwenang, tentunya hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pedoman bagi insan pers dalam melaksanakan tugasnya belum dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi insan pers sendiri maupun bagi masyarakat. Salah satu celah yang sering dilakukan oleh insan pers adalah mengenai hak tolak atau tindakan merahasiakan identitas narasumber dalam hal ini pelaku kejahatan yang terdapat dalam Undang-Undang Pers namun tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP dimana merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaporkan kejahatan tersebut kepada pihak yang 5 Pasal 165 KUHP dan Pasal 221 ayat (1) KUHP 15

6 berwenang. Sehingga hal tersebut menimbulkan adanya dualisme penegakan hukum. Dimana di satu sisi, berdasarkan Undang-Undang Pers sebagai peraturan yang lex specialis tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan bukanlah merupakan suatu kesalahan tetapi disisi lain apabila dilihat dari ketentuan KUHP tindakan insan pers tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka penulis terinspirasi untuk mengangkat masalah ini dalam tulinsan skripsi dengan judul PERANAN KEPOLISIAN TERHADAP INSAN PERS DALAM MERAHASIAKAN IDENTITAS NARASUMBER SEBAGAI PELAKU KEJAHATAN MELALUI LIPUTAN INVESTIGASI BERDASARKAN KUHP DAN UNDANG-UNDANG NO.40 TAHUN 1999 TENTANG PERS B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi? 2. Bagaimana bentuk-bentuk, pelaksanaan dan faktor-faktor penyebab tindakan merahasiakan identitas narasumber oleh insan pers? 16

7 3. Bagaimana peranan aparat penegak hukum (kepolisian) terhadap insan pers dalam menindaklanjuti tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulinsan Adapun yang menjadi tujuan dari penulinsan skripsi ini adalah : 1. Mengetahui dan memahami tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi yang ditinjau dari KUHP dan Undang-Undang Pers. 2. Mengetahui bentuk-bentuk dan pelaksanaan serta faktor-faktor penyebab dari tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber. 3. Mengetahui peranan aparat penegak hukum (kepolisian) terhadap insan pers dalam menindaklanjuti tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan. Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulinsan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya tentang pemahaman mengenai tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan oleh insan pers. 2. Manfaat Praktis 17

8 Memberikan masukan kepada pihat terkait, diantaranya pers dalam menjalankan tugas dan profesinya sesuai dengan peraturan, kepada aparat penegak hukum (kepolisian) dan lembaga legislative dalam membentuk Undang-Undang. D. Keaslian Penulinsan Skripsi yang berjudul Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Narasumber Sebagai Pelaku Kejahatan Melalui Liputan Investigasi Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sepengetahuan penulis bahwa di lingkungan penulinsan tentang judul tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai tidak ada judul yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan diluar sepengetahuan penulis dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada penelusuran dari referensi media cetak maupun elektronik. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulinsan ini, maka dapaat penulis katakan bahwa skripsi ini merupakan karya penulis yang asli. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tinjauan Umum Mengenai Pers a. Pengertian Pers Istilah pers berasal dari kata persen bahasa Belanda atau press bahasa Inggris, yang berarti menekan yang merujuk pada mesin cetak kuno yang harus 18

9 ditekan dengan keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas. 6 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pers diartikan: a. Usaha percetakan dan penerbitan b. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita c. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio d. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita e. Medium penyiaran berita seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pengertian pers terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pers, yaitu: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulinsan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi sekarang, kata pers atau press ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media cetak maupun oleh wartawan media elektronik. Menyimak perkembangannya, istilah pers di Indonesia tidak diartikan secara mandiri akan tetapi senantiasa dikaitkan dengan pengertian lain seperti : 7 6 Edy Susanto, Hukum Pers di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm

10 1. Pers Nasional adalah pers pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD Pers pancasila adalah pers pembangunan dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam membangun berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk pembangunan pers itu sendiri. 3. Pers Asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing. 8 Berdasarkan uraian tersebut, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam kata luas. Pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas ialah yang menyangkut kegiatan komunikasi, baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi maupun internet. 9 Berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyatakan bahwa: Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam arti luas, profesi dalam bidang pers itu tidak hanya dilapangan media cetak tetapi juga meliputi usaha yang sah untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film. Mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar dan lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film disebut sebagai 8 Pasal 1 angka 7 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers 9 Edy Susanto, op.cit, hlm

11 wartawan. 10 Di sini tampak, kendati pun yang dimaksud dengan pers secara khusus adalah penertiban media cetak, tetapi pekerja pers di antaranya adalah wartawan tidak hanya orang-orang yang bekerja dalam bidang pers cetak semata tetapi juga para pekerja pers dalam media audio seperti radio dan media audiovisual seperti siaran televisi. 11 Dengan demikian jka akan diberikan arti terhadap istilah pers harus dipertegas terlebih dahulu pers dalam arti organisasi/lembaga ataukan dalam arti pekerjaannya yang dimaksud dengan wartawan. Jika yang dimaksud adalah pers dalam arti organisasi maka hal itu berarti media cetak sebagaimana dimaksud di atas. Sedangkan apabila dikaitkan dengan pekerjaannya mempunyai pengertian lebih luaus dalam arti bahwa yang tergabung di dalamnya bukan semata-mata pekerja dalam bidang media cetak tetapi juga di media elektronik yang melaksanakan tugasnya secara profesional. b. Pengertian Narasumber Sumber memang penting untuk mengembangkan suatu cerita dalam memberikan makna dan kedalaman suatu peristiwa atau keadaan. Mutu tulinsan wartawan tergantung dari mutu sumbernya. Semua sumber, baik itu orang (human sources) maupun informasi seperti catatan, dokumen, referensi, buu, kliping, dan sebagainya (phsycal sources), yang akan digunakan oleh wartawan haruslah 10 Berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan RI No. 02/Pers/Menpen/1969 Ketentuan- Ketentuan Mengenai Wartawan, yang dimaksukan dengan wartawan adalah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan secara kontinu. 11 Berdasarkan keputusan Menpen, anggota PWI diperluas meliputi pula wartawan elektronik. Hal ini berarti bahwa profesi jurnalistik itu juga meliputi para pekerja yang memuhi syarat dalam media elektronik yaitu wartawan radio dan televisi. 21

12 disebutkan asalnya (attributed). Karena bila tidak maka itu merupakan suatu tindakan plagiat. 12 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai pengertian narasumber adalah orang yang mengetahui dan memberikan secara jelas atau menjadi sumber informasi atau informan (orang yang memberikan sebuah informasi). Namun, dalam menggunakan sumber ini wartawan harus tetap skeptis. 13 Melvin Mencher dalam bukunya News Reporting and Writing, mengatakan bahwa sumber manusia ini terkadang kurang bisa dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber seperti dokumen, referensi, bukku, dan sebagainya. Orang ataupun pejabat yang terlibat dalam suatu peristiwa bisa mempunyai kepentingan untuk melindungi. 14 Mereka biasanya bukan pengamat yang terlatih dan terkadang menceritakan apa yang mereka pikir inginkan oleh wartawan. Bila ingin menggunakan orang sebagai narasumber, wartawan harus mencari sumber yang layak atau memenuhi syarat untuk bicara mengenai suatu peristiwa atau fakta tertentu. Sebaliknya, dalam menggunakan catatan atau kliping pun wartawan harus hati-hati karena mungkin saja sudah ada perkembangan baru, sementara berita kelanjutannya (follow up news) itu tidak pernah disiarkan. Misalnya dalam proses perkara kriminal, seseorang yang semula diduga bersalah terbukti di sidang pengadilan tidak bersalah. Berita awalnya disiarkan tetapi berita kelanjutannya tidak ada. 12 Luwi Ishwara, Jurnalisme Dasar, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hlm Ibid., hlm. 1 menekankan skeptis merupakan ciri khas wartawan. Bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuuatu, meragukan apa yang diterima dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. 14 Luwi Ishwara, op,cit, hlm

13 2. Kejahatan c. Pengertian Kejahatan dan Pelaku Kejahatan Tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan pasti terjadi dimana terdapat manusia yang mempunyai kepentingan berbeda-beda. Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada defenisi baku yang didalamnya mencakup semua aspek kejahatan secra komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dari aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis. Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan sangatlah beragam, disamping tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan. Departemen Pendidikan Nasional, memberikan batasan pengertian kejahatan sebagai perbuatan yang jahat yang melanggar hukum, perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang telah disahkan oleh hukum tertulis. 15 Definisi definisi kejahatan yang dikemukakan oleh ahli hukum ialah 16 : a. D. Laft, kejahatan ialah pelanggaran terhadap hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana berarti melanggar ketentuan ketentuan pidana yang telah dirumuskan. b. W.A Bonger, kejahatan ialah perbuatan yang anti sosial yang oleh Negara ditentang dengan sadar melalui penjatuhan hukuman. Kejahatan hanyalah yang melanggar hukum pidana. c. Van Bernmelen, menyatakan kejahatan ialah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak 15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm B.Simandjuntak, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984, hlm

14 ketidaktenangan dalam uatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan kepada kelakuan tersebut. d. Kempe, merumuskan definisi kejahatan ialah semua perbuatan yang oleh sebagian masyarakat menilai mengenai apa yang merugikan, tidak pantas dan tidak dibiarkan tertulis dalam hukum pidana. Baik kiranya menjadi objek kajian kriminologi. Berdasarkan defenisi tentang kejahatan diatas, maka dapat digolongkan dalam 2 (dua) jenis pengertian yaitu 17 : 1. Pengertian kejahatan secara yuridis yaitu dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap perbuatan atau pelalaian yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi pidana oleh negara. Sesuatu perbuatan diberi pidana diatur dalam KUHP dan perbuatan hukum yang mengacam pidana. Peraturan hukum yang mengancam pidana ini disebut pidana khusus seperti hukum pidana ekonomi, suversi. Tidak semua pasal-pasal KUHP mengatur tindak pidana, hanyalah pasal-pasal yang termuat dalam buku kedua saja. Dalam KUHP dibedakan antara Pelanggaran (buku ketiga) dan kejahatan (buku kedua). Perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan merupakan perbedaan antara delik undangundang dengan delik hukum. Kejahatan merupakan delik hukum sedangkan pelanggaran merupakan delik undang undang. 17 Ibid, hlm

15 2. Pengertian kejahatan secara praktis adalah pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, dan kesusilaan, yang hidup dalam masyarakat. Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan dalam hal ini adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yang biasa disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Pengertian tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli hukum adalah: 1. Simons Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab Van Hammel Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan Schaffmeister Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela Pompe Suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan 18 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, hlm Loc.cit 20 Ibid, hlm

16 Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum Indriyanto Seno Adji Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 22 Sedangkan pengertian pelaku tindak pidana terdiri atas : 1. Pelaku menurut doktrin Pelaku tindak pidana (Dader) adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaanatau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang- Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang- Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakan oleh pihak ketiga Pelaku menurut KUHP Pelaku tindak pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut : Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hlm Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1984, hlm Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm

17 a) Orang yang melakukan (plegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang secara langsung melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya orang tersebutlah yang melakukan tindak pidana sebenarnya. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana terbagi dua, yaitu pelaku dalam arti sempit (hanya orang yang melakukan tindak pidana) dan pelaku dalam arti luas (orang yang melakukan, orang yang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang membujuk melakukan tindak pidana tersebut). 25 b) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, orang tersebut tidak melaksanakan sendiri. Paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan secara langsung unsur-unsur dari suatu tindak pidana, tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Dan orang yang disuruh itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (orang yang dikecualikan dari hukuman). Dengan demikian, meskipun orang yang menyuruh ini tidak secara langsung melakukan tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruhnya tersebut Ibid, hlm Ibid, hlm

18 c) Orang yang turut serta melakukan (medeplegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang bersama-sama dengan orang lain melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang yang secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, mereka juga secara bersama-sama dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. 27 d) Orang yang membujuk melakukan (uitlokking) Pelaku tindak pidana ini adalah orang yang membujuk, menggerakkan orang lain untuk melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang pelaku tindak pidana, yaitu orang yang membujuk dan orang yang dibujuk untuk melakuan tindak pidana tertentu. Orang yang membujuk memberikan sarana atau cara-cara yang telah ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang (lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2) KUHP) kepada orang yang dibujuk agar mau melakukan tindak pidana tersebut. Dan orang yang dibujuk tersebut adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, orang yang dibujuklah yang secara langsung melakukan tindak pidana tersebut dan pertanggungjawaban orang yang membujuk/menggerakkan adalah pada apa yang digerakkannya, artinya apabila perbuatan tersebut melebihi apa 27 Ibid, hlm

19 yang digerakkan oleh orang yang membujuk, maka perbuatan tersebut dipertanggungjawabkan oleh orang yang dibujuk. 28 d. Unsur-Unsur Kejahatan Menurut Moeljatno, unsur atau elemen perbuatan pidana (tindak pidana) adalah: 29 a. Kelakuan dan akibat (perbuatan) b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif e. Unsur melawan hukum yang subjektif Unsur (a) kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya (b) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, dimana hal ikhwal dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku. Kemudian menurut Yulies Tiena, unsur-unsur tindak pidana dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi subjektif dan segi objektif: Dari segi objektif berkaitan dengan tindakan, peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum yang sedang berlaku, akibat perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman. 2. Dari segi subjektif, peristiwa pidana adalah perbuatan pidana yang dilakukan seseorang secara salah. Unsur-unsur kesalahan si pelaku itulah yang mengakibatkan terjadinya peristiwa pidana. Unsur kesalahan itu timbul dari niat atau kehendak si pelaku. Jadi, akibat dari perbuatan itu telah diketahui bahwa dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman. Jadi memang ada unsur kesengajaan. 28 Ibid, hlm Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. PT.Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm Yulies Tena, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm

20 Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suata kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. 2. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang. Pelakunya harus telah melakukan suatau kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. 3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. 4. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian tindak pidana (dari unsurunsur tindak pidana) merupakan suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab). 3. Liputan Investigasi e. Pengertian Liputan Investigasi Investigasi berasal dari kata vestigium, di mana kata vestigium dalam bahasa latin berarti jejak kaki. 31 Pada sisi ini hal itu menyiratkan berbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta, berbentuk data dan keterangan dari suatu peristiwa sehingga disebut sebagai liputan penyelidikan. Dalam kamus bahasa Indonesia : Investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta, melakukan peninjauan, percobaan dan sebagainya dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Maka liputan inestigasi (liputan penyelidikan) adalah informasi yang diperoleh dengan cara wartawan melakukan investigasi ke lapangan menemui 2003, hlm Septiawan Santana K, Jurnalisme Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, Ed.1, Jakarta, 30

21 narasumber yang merupakan pihak yang terlibat untuk mendapatkan fakta dan data akurat sekaligus. Dalam kaitannya dengan kegiatan pers, hal ini mengkonotasikan berbagai bukti, yang dijadikan fakta, bagi upaya menjelaskan adanya kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan seseorang atau pihak-pihak tertentu. Liputan investigasi memang merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat. Secara ringkas, liputan investigasi, yang oleh Atmakusumah diistilahkan dengan Laporan Penyidikan, dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya 32 : 1. Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang perlu mereka ketahui karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka. Dengan mengetahui informasi itu, masyarakat dapat ikut berpatisipasi dalam mengambil keputusan. Tanpa bantuan laporan penyidikan, informasi itu mungkin tidak dapat mereka ketahui, karena: a. pemilik atau penyimpan informasi tidak menyadari pentingnya informasi itu; b. Informasi itu sengaja disembunyikan. 2. Laporan penyidikan tidak hanya mengungkapkan hal-hal secara operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai kepada konsep yang keliru. 3. Laporan penyidikan itu beresiko tinggi, karena bisa menimbulkan kontroversi atau bahkan kontradiksi dan konflik. Untuk menghasilkan laporan yang seperti ini, seringkali harus menggali bahan-bahan informasi yang dirahasiakan. 4. Karena itu harus jauh-jauh hari dipikirkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya terhadap: a. Subjek laporannya (dengan menimbang-nimbang akibat negatif yang diderita subjek laporan dibandingkan dengan manfaat bagi umum); b. Penerbitan pers itu sendiri (baik reaksi dari lembaga resmi maupun dari pemasang iklan dan public pembaca). 32 Ibid, hlm

22 5. Untuk menghadapi dilemma ini diperlukan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat luas. Pada pokoknya, harus ada idealism, baik di dalam diri wartawan penyidikan (investigative reporter) itu sendiri maupun di sektor-sektor lain dalam struktur organisasi pemberitaan pers, sampai kepada anggota direksi dan pemegang sahamnya. Mereka semua perlu memiliki integritas pribadi, dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta bersikap tenang dan tidak emosional dalam menghadapi kemungkinan guncangan-guncangan akibat reaksi dari luar. f. Wartawan Investigasi Pekerjaan wartawan investigasi adalah untuk mengumpulkan informasi untuk membantu masyarakat memahami kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pada titik tertentu, wartawan investigasi berbeda dibandingkan wartawan harian. Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut 33 : 1. Inisiatif investigatif tidak menunggu masalah atau peristiwa diberitakan, tapi justru memunculkan masalah, sesuatu, atau berita baru. Wartawan harian mencari dan menghasilkan beberapa berita dalam sehari, mengejar informasi agar disiarkan lebih cepat daripada saingan. 2. Wartawan investigatif membutuhkan waktu lebih lama untuk mengungkapkan suatu isu. Wartawan harian menjalin hubungan ke sebanyak mungkin pejabat sumber berita. 3. Wartawan investigatif cenderung selektif, skeptis, dan kritis pada berita resmi, mengkritisi setiap pendapat, catatan, dan bocoran informasi resmi, tidak segera percaya. Reporter harian melaporkan apa yang terjadi. Sedangkan wartawan investigatif mengungkap alas an sesuatu yang terjadi, diumumkan, atau mengapa terjadi lagi. 33 Ibid, hlm

23 4. Pada tiap langkah liputannya, wartawan investigatif memiliki kecermatan yang begitu tinggi terhadap berbagai hal yang ditemuinya. Setiap informasi diperiksa dan diperiksa kembali (checked and rechecked) melalui berbagai sumber yang dapat dipercaya, dan mendapatkan keyakinan bahwa sumber informasi tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam kesediaan atau keterbukaannya memberikan keterangan, bahkan siap melindungi kerahasiaan sumber informasi jika dikehendaki. 5. Manakala reporter investigasi mengerjakan sebuah liputan investigatif, mereka melakukan penyamaran dan tidak mengungkapkan pada sumbersumber kisah bahwa mereka adalah reporter. Liputan beritanya bukan lagi berdasar agenda pemberitaan harian yang sudah terjadwal di ruang redaksi. Para wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan pengagendaan berita seperti dalam pemberitaan reguler. Mereka memasuki subjek pemberitaan tatkala mereka tertarik untuk mengetahui sesuatu. Di sisi lain, liputan investigasi menjadi sebuah kegiatan bagi pers yang hendak membongkar kejahatan. Nilai kemendalaman reportase investigasi terletak pada signifikasi kegunaan informasinya bagi kesejahtraan public (public welfare).investigasi menjadi sarana penting bagi pertanggungjawaban media dan pembuat berita (responsible newsmen), bahkan mutu jurnalisme kepada masyarakat. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 33

24 Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer, yang diperoleh dari: Data sekunder yaitu: a. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan meliputi KUHP, KUHAP, Undang-Undang Pers, dan Kode Etik sebagai landasan profesi serta Undang-Undang Kepolisian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisa bahan hukum primer, antara lain berupa buku, hasil-hasil penelitian, karya tulis ilmiah, koran, dan lain sebagainya. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan atau bahan rujukan di bidang hukum. Data primer diperoleh dengan cara mengumpulkan data secara langsung pada Polda Sumut melalui teknik wawancara. Dimana data primer dalam penelitian skripsi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang jelas, 34

25 lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni informan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah wawancara tersktruktur secara selektif dengan informan yaitu: Wawancara dengan Bapak AKBP MP Nainggolan selaku Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman, dengan maksud untuk memperoleh penjelasan dan klarifikasi dari informan. 3. Metode Pengumpulan Data Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data untuk penyusunan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelahaan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan Analisis Data Metode analisis yang akan digunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari analisis kualitatif ini ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi). 35 Data kualitatif adalah data yang non angka, yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan dan dokumen. Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di 34 M. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2012, hlm.87 35

26 lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. 36 G. Sistematika Penulinsan Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini kedalam 5 (lima) Bab. BAB I, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, keaslian penulinsan, metode penelitian, dan sistematika penulinsan. BAB II, berisi tentang sejarah pers di Indonesia, fungsi serta peranan pers dan pengaturan hukum mengenai tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber melalui liputan investigasi baik berdasarkan ketentuan KUHP maupun Undang-Undang Pers. BAB III, berisi tentang bentuk-bentuk, pelaksanaan serta faktor-faktor penyebab dari tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelau kejahatan serta akibat hukum dari penerapan tindakan merahasiakan identitas pelaku kejahatan tersebut. BAB IV, berisi tentang peranan aparat penegak hukum (kepolisian) dalam menindaklanjuti tindakan yang dilakukan oleh insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi. BAB V, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan skripsi ini dan saransaran yang berguna bagi siapa saja yang membaca skripsi ini. 36 Ibid, hlm

BAB I PENDAHULUAN. melalui media cetak tetapi juga media kominikasi elektronik. oleh masyarakat untuk mencari dan mengetahui informasi

BAB I PENDAHULUAN. melalui media cetak tetapi juga media kominikasi elektronik. oleh masyarakat untuk mencari dan mengetahui informasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan dibidang teknologi informasi semakin banyak digunakan didalam kehidupan sehari-hari. Bidang teknologi informasi merupakan salah satu bidang terpenting pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat meliputi aspek sosial, politik, agama, budaya, dan moralitas

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat meliputi aspek sosial, politik, agama, budaya, dan moralitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Media massa memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Internet masih menduduki tingkat teratas sebagai alat akses informasi termudah saat ini, namun dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak orang terutama kaum awam (karena tidak tahu) bahwa pers memiliki sesuatu kekhususan dalam menjalankan Profesi nya yaitu memiliki suatu Kemerdekaan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers

BAB I PENDAHULUAN. fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara yang baru saja selesai melalui fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers pada masa orde baru tidak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I KETENTUAN UMUM Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan manusia dalam berbagai hal, salah satunya kebutuhan akan informasi. Informasi adalah data yang dikumpulkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik tingkat kemajuan dan taraf berpikirnya dapat dicermati.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik tingkat kemajuan dan taraf berpikirnya dapat dicermati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen yang sangat vital dalam tatanan hidup bermasyarakat bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam undang-undang

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu keberhasilan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam peradilan pidana. Salah satu pembuka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI MODUL 14 UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN Hukum Pers OLEH : M. BATTLESON SH. MH. DESKRIPSI : Hukum Pers mengatur mengeni dunia pers di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berita cukup penting peranannya bagi kehidupan kita sehari-hari. Berita dapat digunakan sebagai sumber informasi atau sebagai hiburan bagi pembacanya. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik Polri dalam menjalankan tugasnya untuk membuat terang setiap tindak pidana yang terjadi di masyarakat adalah peran yang sangat penting terutama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strafbeerfeit dapat diartikan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat modern, banyak menimbulkan dampak positif dan juga dampak negatif bagi pembangunan nasional dan sumber daya manusia. Sesuai mengikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara ideal. Namun dalam dunia globalisasi, masyarakat internasional telah

BAB I PENDAHULUAN. secara ideal. Namun dalam dunia globalisasi, masyarakat internasional telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara demokrasi, yang mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Masyarakat bebas untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

Etika Jurnalistik dan UU Pers

Etika Jurnalistik dan UU Pers Etika Jurnalistik dan UU Pers 1 KHOLID A.HARRAS Kontrol Hukum Formal: KUHP, UU Pers, UU Penyiaran Tidak Formal: Kode Etik Wartawan Indonesia 2 Kode Etik Jurnalistik Kode Etik Jurnalistik dikembangkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS I. UMUM Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Cakupan pembagunan nasional ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat yang hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud disini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana didasari adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang mudah, jalan pintas serta mendapatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu I. PARA PEMOHON 1. H. Tarman Azzam. 2. Kristanto Hartadi. 3. Sasongko Tedjo. 4. Ratna Susilowati. 5. H.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara

BAB I PENDAHULUAN. digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Media massa biasa disingkat media berasal dari bahasa Latin sekaligus bentuk jamak dari kata medium. Istilah media massa atau pers mulai digunakan pada tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi permasalahan, banyaknya kasus yang ditemukan oleh aparat penegak hukum merupakan suatu bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negatif maupun positif. Pers dan media massa juga sangat beperan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. negatif maupun positif. Pers dan media massa juga sangat beperan sebagai 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan media massa saat ini sangat berkembang dengan pesat untuk diterima dan dikonsumsi oleh masyarakat luas, baik itu berita yang berbau negatif maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beragam peristiwa baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional. Salah

I. PENDAHULUAN. beragam peristiwa baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional. Salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada masa kini tidak terlepas dari kebutuhan untuk memperoleh informasi. Informasi yang tersaji di hadapan masyarakat haruslah memuat beragam peristiwa baik yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan dengan pertukaran antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia bisnis yang berskala kecil, menengah, maupun besar, orang -

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia bisnis yang berskala kecil, menengah, maupun besar, orang - BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia bisnis yang berskala kecil, menengah, maupun besar, orang - orang yang berkecimpung di dalamnya (para pelaku bisnis) tidak dapat terlepas dari kegiatan

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci