KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)"

Transkripsi

1 KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu) TIARA SUKRA DEWI E DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu) TIARA SUKRA DEWI E Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

3 Judul Skripsi : Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu). Nama : Tiara Sukra Dewi NRP : E Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua Anggota Dr. Ir Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.ScF Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal Lulus :

4 ABSTRAK TIARA SUKRA DEWI. Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu). Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan JARWADI BUDI HERNOWO. Burung merupakan satwaliar yang memiliki kemampuan hid up di hampir semua tipe habitat. Salah satu tipe ekosistem yang digunakan oleh burung adalah hutan tanaman pinus. Sehingga hutan tanaman diharapkan memiliki kemampuan untuk menampung keanekaragaman jenis burung. Kemampuan adaptasi burung terhadap hutan tanaman diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor lanskap. Pengaruh dari faktor-faktor lanskap tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung (termasuk jenis penting) di areal hutan tanaman pinus yang dipengaruhi oleh faktor -faktor lanskap. Penelitian dilakukan pada hutan tanaman Pinus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Bahan yang digunakan adalah burung, citra Ikonos tahun 2003 dan peta rupa bumi skala 1 : Alat yang digunakan antara lain alat tulis, kamera, Global Positioning System (GPS), binokuler, buku panduan pengenalan jenis burung, pencatat waktu, pita ukur, kompas serta tape recorder dan kaset. Pengambilan data burung di lapangan dilakukan inventarisasi dengan menggunakan metode IPA (Indices Ponctuels d Abondence). Dalam metode ini, pengamat berhenti pada suatu titik pada hutan pinus, dan menghitung semua burung yang terdeteksi selama selang waktu 20 menit. Pengamatan dimulai pada pagi hari pukul WIB. Pada setiap lokasi pengamatan di buat 6 titik pengamatan dan jarak antar titik adalah 200 m dengan pengulangan sebanyak 5 kali setiap lokasi. Hasil interpretasi pada citra Ikonos tahun 2003 dan hasil pengamatan langsung di lapangan dapat diketahui bahwa penutupan lahan pada ke 4 lokasi penelitian memiliki elemen penyusun lanskap yang berbeda. Pada lokasi A dan B terdiri dari 8 elemen penyusun lanskap, lokasi C disusun sebanyak 10 elemen, dan lokasi D tersusun atas 11 elemen lanskap.

5 Hasil pengamatan yang dilakukan di 4 lokasi dapat dijumpai sebanyak 35 jenis burung yang termasuk ke dalam 19 famili. Pada lokasi A dan B ditemukan sebanyak 16 jenis burung. Pada lokasi C ditemukan jenis paling banyak yaitu 27 jenis dan lokasi D dapat dijumpai sebanyak 22 jenis burung. Indeks keanekaragaman di lokasi A yaitu 2,13; lokasi B 2,33;lokasi C 2,98 dan di lokasi D 2,47. Tingginya keane karagaman jenis burung di lokasi C diduga karena adanya pengaruh dari faktor lanskap seperi bentuk patch, luas patch dan jarak lokasi pengamatan ke hutan alam. Lokasi C merupakan areal lanskap yang paling luas yaitu 294,82 ha. Bentuk lanskap yang memanjang dengan nilai Total Edge yaitu ,54 m. Jarak ke hutan alam diduga juga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung pada lokasi C yaitu 1100 m. Pada lokasi penelitian dijumpai 6 jenis burung dilindungi yaitu Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax), Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis), Raja-udang meninting (Alcedo meninting) dan Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis). Jenis burung endemik di Jawa dapat dijumpai sebanyak 3 jenis yaitu Ceka kak Jawa (Halcyon cyanoventris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax) dan Cinenen pisang (Orthotomus sutorius ). Pada lokasi penelitian dijumpai beberapa jenis burung yang dominan yaitu Kacamata gunung (Zosterops montanus ), Walet linci (Collocalia linchi), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax ), Cinenen Jawa (Ortothomus sepium), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Gelatik-batu kelabu (Parus major), dan Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus). Jenis-jenis yang jarang dijumpai di lokasi penelitian adalah Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum), Remetuk laut (Gerygone sulphurea), Burung-gereja Erasia (Passer montanus), Gemak loreng (Turnix suscitator), Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis ), Jingjing batu (Hemipus hirundinaceus) dan Cinenen pisang (Orthotomus sutorius ).

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu). Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain : 1. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Ir. Jarwadi Budi Hernowo MSc.F sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 2. Ir. M. Chamim Mashar, MM dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan. 3. Ayah, Ibu, Uda Al, Deded, Yayat, Muhdian Prasetya Darmawan dan keluarga besar di Pasaman yang telah banyak membantu penulis dalam hal materiil, moril dan terutama atas doa-doanya. 4. Semua keluarga di Sukagalih, Safari dan Tugu atas kesediaannya membantu penulis selama berada di lapangan. 5. Keluarga Marhamah atas canda dan tawanya terutama atas nasihat dan tausiyahnya yang dapat membangkitkan semangat. 6. Keluarga besar KSH Ceria 38 yang telah menemani hari-hari penulis selama menjalani perkuliahan di kampus Fahutan yang ASIK. 7. Teman-teman seperjuangan di Lab Spatial Database and Analysis Facilities (SDAF) atas semua bantuan, semangat dan canda tawanya. Bogor, November 2005 Tiara Sukra Dewi

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukamenanti pada tanggal 9 Januari 1983 dari ayah Sukarman, SP dan ibu Rasinah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMUN 1 Pasaman sampai pada tahun ajaran 1998/1999. Pada tahun ajaran 1999/2000 penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMUN 5 Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi pengurus DKM Ibadurrahman (2001/2002) bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Selama menjalani perkuliahan, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (Himakova). Pada bulan Juni 2004 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam serta Taman Wisata Alam Kamojang. Penulis juga melakukan Praktek Pengelolaan Hutan pada bulan Juli-Agustus 2004 di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, KPH Kuningan. Kemudian pada bulan Februari-April 2005 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu) di bimbing oleh: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran sangat pe nulis harapkan sebagai masukan yang berharga untuk menyempurnakannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

8 PENDAHULUAN Latar Belakang Burung merupakan satwaliar yang memiliki kemampuan hidup di hampir semua tipe habitat, dari kutub sampai gurun, dari hutan kornifer sampai hutan tropis, dari sungai, rawa-rawa sampai lautan. Burung mempunyai mobilitas yang tinggi dan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai tipe habitat yang luas (Welty 1982). Salah satu tipe ekosistem yang digunakan oleh burung adalah hutan tanaman (Alikodra 2002) yang merupakan bentuk habitat baru yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Hutan tanaman hanya berupa tegakan vegetasi tanaman sejenis (monokultur), dan adanya dominasi campur tangan manusia di dalamnya menyebabkan keadaan tingkat keragaman jenis yang rendah dan ketidakseimbangan keadaan faktor-faktor lingkungan di hutan tanaman (Djunaidah 1994). Berbeda dengan hutan alam yang terdiri atas berbagai jenis vegetasi dan strata sehingga hutan alam memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Hutan tanaman merupakan salah satu kawasan budidaya yang umumnya memiliki keanekaragaman yang rendah dan seragam (Gani 1993). Burung adalah bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariaannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya. Burung memiliki banyak manfaat dan fungsi bagi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat dan fungsi burung secara garis besar dapat digolongkan dalam nilai budaya, estetik, ekologis, ilmu pengetahuan dan ekonomis (Yuda 1995). Alikodra (2002) dan Ontario et al. (1990) menambahkan bahwa burung memiliki peranan penting dari segi penelitian, pendidikan, dan untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata. Manfaat dan fungsi burung yang begitu besar bagi kehidupan manusia, sehingga mendorong upaya untuk menjaga kelestarian dan keanekaragamannya. Namun akhir-akhir ini kehidupan burung semakin lama semakin terdesak yang sebagian besar disebabkan oleh manusia dengan merusak dan mengubah fungsi habitat burung. Ke giatan tersebut antara lain dengan konversi lahan untuk pemukiman, peternakan, perkebunan, perindustrian, pertambangan dan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut membutuhkan lahan yang cukup luas, sehingga habitat

9 burung semakin berkurang dengan bertambahnya kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menyebabkan kepunahan yang melampaui tingkat pengembaliannya (Primack et al. 1998). Selama ini konservasi burung di Indonesia masih terpusat pada kawasankawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah, seperti di dalam cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Namun demikian, terdapat burung-burung yang hidup di luar kawasan konservasi seperti hutan tanaman, perkebunan, pemukiman, areal persawahan dan lainnya. Dari faktor tersebut perlu dikaji peranan hutan tanaman terhadap pelestarian burung terutama kemampuan untuk menampung keanekaragaman jenis burung. Perhatian terhadap konservasi burung tidak hanya semata-mata tertuju pada habitat-habitat alam, sebab pengurangan jenis tidak hanya akan terjadi di dalam habitat alam saja tetapi juga di luar habitat alaminya seperti di hutan tanaman. Pada masa yang akan datang diperkirakan luas hutan tanaman akan semakin bertambah dan konversi hutan ala m meningkat sehingga hutan alam mengalami kerusakan dan pengurangan luasannya. Oleh karena itu pengelolaan pada hutan tanaman perlu diperhatikan, agar kelestarian burung tetap terjaga. Perubahan dan penurunan jenis burung pada akhirnya menyebabkan terja dinya kepunahan secara lokal terhadap berbagai jenis burung. Oleh karena itu hutan tanaman diharapkan memiliki kemampuan untuk menampung keanekaragaman jenis burung. Walaupun tingkat keanekaragaman burung pada hutan tanaman lebih rendah dari pada hutan alam (Fraser 1995). Kemampuan adaptasi burung terhadap hutan tanaman akan dipengaruhi oleh beberapa faktor lanskap. Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman spesies interior dan akan meningkatkan keragaman edge spesies (Forman & Godron 1986). Diperkirakan bentuk patch, luas patch, penggunaan lahan di sekitar hutan tanaman dan jarak hutan tanaman ke hutan alam dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung yang ada di hutan tanaman tersebut. Pengaruh dari faktor-faktor lanskap tersebut dapat diketahui dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

10 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung (termasuk jenis penting) di areal hutan tanaman pinus yang dipengaruhi oleh faktorfaktor lanskap (bentuk patch, luas patch, penggunaan lahan di sekitar hutan tanaman dan jarak hutan tanaman ke hutan alam) terhadap keanekaragaman jenis burung.

11 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Lanskap Sudut pandang ekologi menyatakan bahwa lanskap merupakan sebuah areal heterogen yang tersusun dari ekosistem yang saling berinteraksi dan memiliki pola semacam yang berulang-ulang (Forman & Godron 1986). Ekologi lanskap penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati, karena banyak spesies yang hidupnya tidak hanya pada suatu habitat tunggal saja, melainkan berpindah-pindah antara beberapa habitat atau hidup di perbatasan antara dua tipe habitat. Keberadaan dan kerapatan berbagai spesies mungkin akan dipengaruhi oleh ukuran-ukuran dari kepingan habitat dan dipengaruhi pula oleh seberapa jauh hubungan antara habitat tersebut. Dalam rangka meningkatkan jumlah dan keanekaragaman satwa, maka diusahakan untuk menciptakan variasi lanskap yang terbesar yang dapat dicapai (Yanher, 1988 dalam Primack et al. 1998). Penggunaan lanskap oleh manusia merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam merancang kawasan perlindungan (Primack et al. 1998) dalam rangka menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati perlu dikelola pada tingkat lanskap regional misalnya pada selurus daerah aliran sungai atau barisan pegunungan, dimana ukuran dari satuan lanskapnya akan lebih mendekati keutuhan satuan sebelum terjadinya gangguan oleh manusia (Grumbina 1994b; Noss & Cooprrider 1994 diacu dalam Primack et al. 1998). Pengertian lanskap tersebut menyimpulkan bahwa lanskap disusun dari sebuah unit-unit spasial yang relatif homogen. Unit-unit tersebut berupa penutupan lahan (landcover ) yang berbeda misalnya : hutan, belukar, tanah pertanian, perkotaan dan sebagainya. Penutupan lahan yang berbeda -beda dan saling berinteraksi disebut dengan elemen lanskap. Elemen lanskap sering disamakan dengan sebuah tipe ekosistem. Pada setiap elemen pembentuk lanskap bisa dirinci menjadi elemen yang lebih homogen. Misalnya, tanah pertanian bisa dirinci menjadi sawah, ladang, dan pekarangan. Hutan bisa dibagi menjadi hutan payau, hutan campuran ataupun hutan mangrove. Elemen yang relatif lebih seragam bisa disebut tesera (tessera) (Forman & Godron 1986).

12 Menurut Forman & Godron (1986) ada tiga karakteristik yang difokuskan dalam mempelajari lanskap ekologi, yaitu : a) Struktur, yaitu hubungan spasial antara ekositem yang berbeda (atau elemen lanskap yang ada. b) Fungsi, yaitu interaksi diantara elemen spasial, yaitu aliran energi, materi, dan spesies diantara komponen elemen lanskap. c) Perubahan, yaitu perubahan struktur dan fungsi dari lanskap. Forman & Godron (1986) membagi prinsip-prinsip umum ekologi lanskap menjadi : 1) Prinsip struktur dan fungsi lanskap Struktur pembentuk lanskap adalah heterogen/beragam baik dalam tipe, ukuran dan bentuknya, karena itu memiliki perbedaan dalam distribusi spesies, energi, materi diantara patch, koridor dan matriks yang ada. Sebagai konsekuensinya, fungsi lanskap akan berbeda dalam hal aliran spesies, energi dan materi diantara elemen pembentuknya. 2) Prinsip keanekaragaman hayati Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman spesies interior, sebaliknya akan meningkatkan keragaman edge dan spesies yang membutuhkan dua atau lebih elemen lanskap. Selain dari itu akan meningkatkan total potensi keberadaan spesies. 3) Prinsip pergerakan spesies Ekspansi dan kontraksi spesies diantara elemen lanskap mempengaruhi dan dipengaruhi oleh heterogenitas lanskap. 4) Prinsip trans por hara mineral/nutrien Laju distribusi/perpindahan hara mineral diantara elemen lanskap meningkat dengan adanya peningkatan intensitas gangguan (disturbance). 5) Prinsip perpindahan energi Perpindahan energi panas dan perpindahan biomassa antara elemen lanskap meningkat dengan meningkatnya heterogenitas lanskap. 6) Prinsip perubahan lanskap Bila tidak terganggu, horizontal lanskap mempunyai kecenderungan untuk menjadi lebih homogen. Sedangkan bila ada gangguan yang moderat, maka akan menjadi lebih heterogen, dan bila terjadi gangguan yang sangat besar maka akan dapat meningkatkan/menurunkan heterogenitas. Menurut Forman & Godron (1986), tingkat stabilitas lanskap dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a) Sistem yang secara fisik sangat stabil, dicirikan dengan ketiadaan biomassa, gurun pasir, jalan, perkotaan.

13 b) Sistem dengan recovery yang cepat, dicirikan dengan keberadaan tingkat biomassa yang rendah, padang alang-alang, daerah pertanian. c) Sistem dengan tingkat resistensi yang tinggi terhadap ganggua n, dicirikan dengan keberadaan biomassa yang sangat besar, misal hutan. Patch Terbentuknya Patch Bentuk/struktur lanskap merupakan akibat adanya proses alam/geologi dan gangguan. Gangguan ini bisa dibedakan menjadi gangguan alami dan gangguan manusia. Gangguan alami misalnya bencana alam (banjir, gunung meletus, penyakit), sedangkan gangguan manusia bisa berupa eksploitasi hutan, peladang berpindah dan lain-lain. Interaksi ini menimbulkan beragam bentuk, ukuran tipe dan luasan elemen lanskap (Forman & Godron 1986). Dalam konsep ekologi lanskap, habitat berdasarkan luasannya (dominansi) dibedakan menjadi matriks dan patch. Matriks adalah habitat homogen yang paling berbeda dalam suatu lanskap. Sedangkan patch adalah habitat homogen yang berbeda dengan habitat sekelilingnya. Terjadinya patch dapat dibagi menjadi tiga yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch (Forman & Godron 1986). Disturbance patch dan remnant patch berdasarkan gangguannya dapat dibagi lagi menjadi cronic disturbance yaitu gangguan yang terjadi cukup lama dan terus menerus. Single disturbance yaitu gangguan yang hanya terjadi sementara dan tidak menganggu aktifitas ekologi. Bentuk Patch Ukuran dan bentuk patch beragam, ada yang membulat (isodiametric) dan memanjang (elongated). Isodiametric patch memiliki areal interior yang lebih besar daripada edge-nya, sebaliknya elongated patch memiliki edge area yang lebih luas. Dengan kata lain isodiametric patch menampung fauna interior lebih banyak. Sebaliknya elongated patch akan memiliki keunggulan dari keanekaragaman spesies eksteriornya. Untuk mengukur bentuk patch ini, biasanya digunakan perhitungan interior-to-edge-ratio. Semakin besar nilai perhitungan interior -to-edge-ratio nya maka bentuk patch tersebut semakin mendekati lingkaran/membulat. Luas dan

14 jumlah patch/habitat juga berpengaruh pada kelestarian keanekaragaman hayati. Berdasarkan teori biogeografi bentuk habitat/kawasan konservasi yang paling bagus adalah sebuah areal isodiametric tunggal yang seluas mungkin. Daerah konservasi dengan bentuk membulat akan meminimalkan rasio atau perbandingan edge-to-area (antara pinggir dengan luas keseluruhan), lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain. Kawasan yang demikian mempunyai pusat yang berada relatif lebih jauh dari tepi. Kawasan yang mempunyai bentuk memanjang akan memiliki tepi atau pinggir yang luas, dan seluruh lokasi di kawasan tersebut akan berada dekat tepi. Kebanyakan kawasan mempunyai bentuk yang tidak beraturan karena lahan konservasi biasanya diperoleh secara kebetulan (Primack et al. 1998). Koridor habitat adalah salah satu struktur lanskap yang merupakan jalur-jalur lahan yang dilindungi yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan lainnya (Simberlof f et al 1992 diacu dalam Primack et al 1998). Koridor habitat mempunyai fungsi untuk menghubungkan kawasan dilindungi sehingga membentuk suatu sistem yang besar. Koridor tersebut memungkinkan satwa untuk menyebar dari satu cagar ke cagar yang lain. Selain itu koridor tidak hanya memberikan lebih dari sekedar perlindungan saja, tetapi juga menyediakan sumberdaya bagi burung (Forman & Godron 1986). Hutan merupakan koridor yang paling efektif untuk menunjang keanekaragaman jenis burung (Alikodra 2002). Hubungan Antara Bentuk Patch dan Keanekaragaman Burung Primack et al. (1998) menyatakan bahwa cagar alam yang besar dapat mengurangi edge effects (efek tepi), serta dapat mencakup lebih banyak spesies dan mempunyai keanekaragaman yang lebih besar dibandingkan cagar alam yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena cagar alam yang berukuran besar akan lebih mampu menampung banyak spesies, karena mampu menampung lebih banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam. Antara lingkungan dengan kehidupan satwaliar baik dalam areal yang sempit maupun areal yang luas selalu terjadi hubungan yang bersifat timbal balik (Alikodra 2002). Suatu wilayah bisa dibandingkan dan dinilai berdasarkan luasnya, karena pada umumnya wilayah yang lebih besar dapat menampung spesies yang lebih banyak.

15 Tetapi luas wilayah tidak begitu berarti bila dibandingkan dengan jumlah habitat dan sumberdaya yang ditampungnya. Pulau-pulau yang luas memiliki jumlah spesies yang lebih besar dari pada pulau-pulau yang sempit (Wolf 1991). Karena pulaupulau yang luas biasanya memiliki tipe lingkungan dan komunitas yang lebih banyak dari pulau-pulau yang kecil. Pulau-pulau yang besar menyediakan kemungkinan isolasi geografis yang lebih sedikit dan jumlah populasi yang lebih besar untuk tiaptiap spesies sehingga memperbesar kemungkinan spesiasi dan memperkecil kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies yang baru datang. Diasumsikan bahwa penyempitan habitat alami pada suatu pulau yang memiliki sejumlah spesies akan menyebabkan berkurangnya jumlah spesiesnya (Primack et al. 1998). Mengembangkan sebanyak mungkin tepian karena hidupan liar adalah hasil dimana dua habitat bertemu (Yoakum & Dasmann 1971 diacu dalam Primack et al. 1998). Cagar kecil yang terpecah-pecah menjadi satuan-satuan habitat berukuran kecil mungkin mempunyai jumlah spesies yang tinggi, namun kemungkinan spesiesspesies tersebut pada dasarnya merupakan spesies gulma, yaitu spesies yang keberadaannya tergantung pada dampak kegiatan manusia. Struktur lanskap dapat mempengaruhi pergerakan satwa (Forman & Godron 1986), karena fragmentasi lanskap yang terjadi menyebabkan gap yang memisahkan populasi satwa ke dalam patch-patch habitat dan menghalangi pergerakan satwa. Pergerakan satwa melintasi gap antar patch akan bervariasi antar tiap spesies, tipe patch habitat, tipe matrik, dan faktor lain seperti variasi cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi predator dan jarak perjalanan (St. Clair et al. diacu dalam Cahyadi 2003). Keterhubungan lanskap ditentukan oleh konfigurasi lanskap yang menyokong keterhubungan habitat dalam bentuk habitat koridor (Bennet 1999 diacu dalam Cahyadi 2003). Wiens (1989) menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis burung makin tinggi pada habitat yang makin luas. Area yang lebih kecil memiliki daya dukung yang lebih rendah untuk populasi burung dan meningkatkan isolasi yang membatasi pergerakan individu antara fragmen (Beeby 1993 diacu dalam Jati 1998). Fragmenfragmen kecil memiliki div ersitas burung yang lebih kecil dari pada fragmen besar. Komposisi spesies dalam fragmen kecil biasanya merupakan subset dari kumpulan

16 spesies-spesies pada fragmen besar. Pada fragmen yang luas sering dihuni oleh banyak spesies, sedang pada fragmen yang lebih kecil dihuni oleh sejumlah kecil spesies burung (Jati 1998). Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen (Wilcove et al 1986; Shafer 1990 diacu dalam Primack et al. 1998). Primack et al. (1998) juga menyatakan bahwa fragmentasi habitat dapat mengurangi atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas. Hal ini disebabkan karena fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan melakukan kolonisasi serta fragmentasi habitat dapat mengurangi daerah jelajah dari hewan asli. Kemudian Wiens (1989) menyatakan bahwa dengan adanya fragmentasi maka merupakan salah satu faktor terjadinya pengelompokan suatu jenis burung. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa suatu habitat yang luas dapat mendukung satu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen mungkin saja tidak ada satu fragmen pun yang dapat mendukung sub populasi yang cukup untuk bertahan. Habitat yang telah terfragmentasi, berbeda dari habitat asalnya karena fragmen memiliki daerah tepi yang lebih luas dari pada habitat asal dan daerah tengah (pusat) lebih dekat ke daerah tepi sehingga lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Efek Tepi (Edge Effect) Fragmentasi habitat dapat menambah luas daerah tepi. Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 m ke dalam hutan (Laurance 1991 diacu dalam Primack et al. 1998). Primack et al menyatakan bahwa daerah tepi hutan memegang peranan penting untuk menjaga komposisi spesies dari fragmen hutan, tetapi dalam proses selanjutnya, komposisi spesies dari daerah tepi hutan akan berubah sehingga daerah sebelah dalam akan semakin berkurang. Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies penganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke dalam fragmen hutan (Paton 1994 diacu dalam Primack et al. 1998).

17 Bio-ekologi Burung Penyebaran Burung Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat bukan hutan seperti tanaman perkebunan, tanaman pertanian, pekarangan, gua, padang rumput, savana dan habitat perairan (Alikodra 2002). Secara umum, burung memanfaatkan habitat tersebut sebagai tempat mencari makan, beraktifitas, berkembangbiak dan berlindung. Hernowo (1985) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyebaran jenis burung dengan tingkat dominasi burung, dimana jenis yang memiliki penyebaran dan dominasi yang tinggi maka jenis tersebut lebih survival terhadap perubahan lingkungan yang akan terjadi dan akan lebih sering dijumpai. Penyebaran burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan seleksi alam (Welty 1982). Penyebaran burung sangat erat kaitannya dengan ketersediaan pakan, sehingga habitat burung berbeda antara jenis satu dengan yang lainnya, dikarenakan jenis makanan yang berbeda pula (Peterson 1980 diacu dalam Mulyani 1985). Banyak spesies burung yang hanya menempati habitat tertentu atau tahapan tertentu dari suatu habitat (Primack et al. 1998). Ada burung yang hidup di hutan lebat, hutan kurang lebat, semak-semak, dan rerumputan. Sebaliknya ada juga burung yang hidup di lapangan terbuka tanpa atau dengan sedikit tumbuhan. Kebanyakan burung-burung ini menemukan makanannya pada tumbuhan atau di tanah. Ada burung yang menangkap burung yang lebih kecil atau serangga sebagai makanannya (Ensiklopedi Indonesia 1992). Pergerakan satwaliar baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Dalam membantu pergerakan tersebut maka diperlukan suatu koridor yang dapat menghubungkan dengan sumber keanekaragaman (Alikodra 2002). Alikodra (2002) menyatakan bahwa penyebaran suatu jenis burung disesuaikan dengan kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan sepe rti pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis. Burung merupakan kelompok satwaliar yang paling merata penyebarannya, yang disebabkan karena kemampuan terbang yang dimilikinya.

18 Keanekaragaman Habitat Burung sebagai salah satu komponen ekosistem memerlukan tempat atau ruang untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak, tempat yang menyediakan kebutuhan tersebut membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat (Alikodra 2002). Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar (Alikodra 2002). Habitat secara sederhana dapat dikatakan sebagai tempat hidup burung itu berada. Pada prinsipnya burung memerlukan tempat untuk mencari makan, berlindung, berkembang biak dan bermain. Tempat yang menyediakan keadaan yang sesuai dengan kepentingan diatas disebut dengan habitat (Odum 1993), karena habitat merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung (Bibby et al. 2000). Habitat juga berfungsi sebagai tempat untuk bersembunyi dari musuh yang akan menyerang dan mengganggunya (Endah 2002). Dasman (1964) diacu dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat itu terdiri dari elemen-elemen pembentuk sistem yang kompleks disebut ekosistem yang di dalamnya berbagai spesies selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Pengertian lain dari habitat yang dinyatakan Alikodra (2002) yaitu suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari populasi yang ada di dalamnya. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002). Dasman (1964), Wiersum (1973), Alikodra (1983), dan Bailey (1984) diacu dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Menurut Alikodra (2002) keanekaragaman habitat dapat dibagi menjadi : 1. Hutan hujan tropis Di dalam hutan hujan tropis terdapat berbagai jenis burung. Jumlah jenis burung yang tinggi di hutan dataran rendah umumnya berkaitan erat dengan perbedaan struktur dan keanekar agaman habitatnya. 2. Hutan gambut Hutan gambut biasanya tersebar di antara hutan hujan dengan hutan rawa. Pada hutan gambut ini jenis satwaliar sangat terbatas.

19 3. Hutan rawa air tawar Hutan ini berbatasan dengan hutan mangrove, kadang-kadang tergantung air tawar yang kaya akan mineral dengan ph 6 atau lebih, permukaan airnya turun naik sehingga dapat terjadi pengeringan tanah secara periodik. Umumnya jenis burung yang menghuni hutan rawa adalah burung pemakan buah yang khas serta dilindungi yaitu dari famili Bucerotidae. Khususnya di Way Kambas, hutan rawa digunakan sebagai tempat hidup dari berbagai jenis bangau dan kuntul, dan kadang-kadang bebek hutan bersayap putih atau bebek serati. 4. Hutan pantai Hutan ini terdapat di daerah pantai berpasir kering. Vegetasi pada hutan pantai ini toleran terhadap siraman air asin, dan tanah yang miskin hara serta mengalami kering secara musiman. Jenis satwaliar pada hutan ini sangat terbatas. Berbagai jenis burung migrasi seperti Tringa spp., Scolopax spp., sering dijumpai sedang mencari makanan di daerah pantai. 5. Hutan mangrove Hutan ini terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut. Lapisan tajuknya hanya terdiri dari satu lapis. Pada musim berkembang biak berbagai jenis pohon di hutan mangrove digunakan sebagai tempat bersarang burung-burung merandai (Egretta spp. dan Ardea spp.). 6. Hutan produksi Hutan produksi dapat dibedakan menjadi hutan tanaman dan hutan alam. Hutan produksi pada hutan alam umumnya merupakan habitat berbagai jenis burung. Berbeda dengan hutan produksi di hutan alam, jenis pohon pada hutan tanaman lebih terbatas sehingga jenis burung yang ada juga terbatas. 7. Gua karst Gua karst merupakan ekosistem yang khas yang terjadi karena proses kimiawi dan daya erosi. Gua juga merupakan habitat bagi burung seperti walet. Walet bersarang dan berkembangbiak di dalam gua, tetapi mencari makan di luar gua. Burung walet merupakan penghuni beberapa gua di Indonesia. Dari Sulawesi dikenal tiga jenis burung walet, yang semuanya menghuni gua. 8. Daerah persawahan Daerah persawahan merupakan habitat berbagai jenis burung. Burung-burung pemakan ikan, serangga, cacing, dan katak berada di sawah-sawah setelah turun hujan. Sedangkan burung pemakan biji-bijian (bulir padi) datang pada saat tanaman padi berbuah. Jenis burung pemakan biji-bijian yang sering ditemui di areal persawahan antara lain gelatik (Padda oryzivora), bondol (Lonchura maya), bondol peking (Lonchura punctulata) dan manyar (Ploceus m. Manyar). Di samping jenis burung pemakan biji-bijian, di habitat persawahan sering ditemui jenis burung pemakan ikan, ular ataupun katak seperti kuntul (Egretta i. Intermedia) dan blekok (Ardeola speciosa). Daerah persawahan di tepi pantai, juga dipergunakan sebagai habitat beberapa jenis burung migrasi dari kelompok burung wader (berkaki panjang).

20 9. Pekarangan Pekarangan yang ditanami dengan tanaman buah-buahan, akan mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan burung. Daerah pemukiman penduduk dengan pola pekarangan yang banyak terdapat tanaman buah-buahan dapat menjadi suatu pertahanan yang kokoh untuk pelestarian burung. Umumnya burung pemakan buah datang untuk mencari buah-buahan di pekarangan. Selain untuk mencari makanan, pohon-pohon di pekarangan juga digunakan untuk tempat tidur dan bersarang. Komposisi jenis tanaman pekarangan dapat menentukan komposisi jenis burung. Keanekaragaman tanaman pekarangan mempengaruhi kehadiran berbagai jenis burung. Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan maka nan, tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung. Kemampuan areal menampung burung yang ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo 1985). Kelengkapan komponen habitat mempengaruhi banyaknya jenis burung di habitat tersebut (Mulyani 1985). Kelangsungan hidup burung tidak ha nya ditentukan oleh jumlahnya saja, melainkan harus didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok (Alikodra 2002). Suatu wilayah yang sering dikunjungi burung disebabkan karena habitat tersebut dapat mensuplai makanan, minuman serta berfungsi sebagai tempat berlindung/sembunyi, tempat tidur dan tempat kawin (Boughey 1973; Pyke 1983; Van Noordwijk 1985 diacu dalam Alikodra 2002). Keanekaragaman struktur habitat berpengaruh pada keanekaragaman jenis burung (Bibby et al. 2000). Struktur hutan memberikan penga ruh nyata terhadap burung yang tinggal di dalam habitat tersebut. Makin beranekaragam struktur habitat, makin besar keanekaragaman burung (Rohman 1997). Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Secara umum berbagai jenis burung memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 2002). Welty (1982) menambahkan bahwa penutupan tajuk, ketinggian tajuk dan keanekaragaman jenis pohon menentukan keanekaragaman jenis burung di suatu tempat. Hubungan burung dengan habitatnya dapat diketahui dengan melakukan pengamatan pemanfaatan burung terhadap habitatnya, yaitu dengan melihat sejauh mana burung tersebut menggunakan fungsi habitat sebagai tempat istirahat, berlindung, mencari pakan dan berkembang biak (Yuda 1995).

21 Keanekaragaman Jenis Keragaman merupakan sifat komunitas yang menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Menurut Krebs (1978) keragaman (diversity) yaitu banyaknya jenis yang biasanya diberi istilah kekayaan jenis (species richnes). Odum (1971) diacu dalam Djunaidah (1994) mengatakan bahwa keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan individu tiap jenis. Krebs (1978) menyebutkan ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas yaitu : waktu, heterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas. Selain ke enam faktor tersebut, Soerianegara (1996) menambahkan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi ditentukan juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Keanekaragaman merupakan khas bagi suatu komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis sebagai komponen penyusun komunitas (Helvoort 1981). Keanekaragaman jenis menyangkut dua hal yaitu kekayaan dan sebaran keseragaman. Indeks keanekaragaman merupakan tinggi rendahnya suatu nilai yang menunjukkan tinggi rendahnya keanekaragaman dan kemantapan komunitas. Komunitas yang memiliki nilai keanekaragaman semakin tinggi maka hubungan antar komponen dalam komunitas akan semakin kompleks. Seorianegara (1996) mengatakan bahwa untuk nilai indeks keanekaragaman di Indonesia dapat dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 3,5.

22 Kelimpahan Burung Kelimpahan adalah istilah umum yang digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan naik turunnya populasi atau keduanya (Shaw 1985 diacu dalam Mahmud 1991). Kelimpahan erat kaitannya dengan distribusi, sehingga biasanya kedua istilah ini seringkali digunakan bersamasama (Andrewartha & Birch 1954 diacu dalam Mahmud 1991). Kelimpahan dapat dinyatakan juga sebagai jumlah organisme per unit area (kepadatan absolut), atau sebagai kepadatan relatif, yaitu kepadatan dari satu populasi terhadap populasi lainnya (Krebs 1978). Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan (jumlah) seluruh individu dalam suatu komunitas (Krebs 1978). Kelimpahan burung pemakan buah mungkin dapat dihubungkan dengan kelimpahan pohon yang sedang berbuah (Bibby et al. 2000). Welty (1982) mengemukakan bahwa modifikasi lingkungan alami menjadi lahan pertanian, perkebunan, kota, jalan raya dan kawasan industri berakibat buruk bagi burung. Walaupun modifikasi tertentu habitat alami dapat membawa keberuntungan bagi spesies-spesies tertentu, namun secara keseluruhan berakibat merusak kehidupan burung. Faktor sejarah juga penting dalam menentukan pola kekayaan spesies, wilayah de ngan geologi lebih tua memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada wilayah yang lebih muda. Wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyak waktu menerima spesies yang tersebar dari bagian dunia dan lebih banyak waktu bagi spesies yang ada untuk menjalani radiasi adaptif pada kondisi lokal. Pola kekayaan spesies juga dipengaruhi oleh variasi lokal seperti topografi, iklim dan lingkungan. Pada komunitas darat, kekayaan spesies cenderung meningkat pada daerah yang lebih rendah, radiasi matahari yang lebih banyak, dan curah hujan. Kekayaan spesies juga lebih besar dimana tidak ada topografi yang rumit yang memungkinkan isolasi genetik, adaptasi lokal, dan spesiasi untuk timbul (Primack et al. 1998). Burung Sebagai Indikator Lingkungan Keanekaragaman burung telah dapat diterima sebagai indikator yang baik bagi keanekaragaman suatu komunitas secara keseluruhan. Burung dapat menjadi indikator yang baik bagi keanekaragaman hayati dan perubahan lingkungan (Bibby

23 et al. 2000). Hal tersebut disebabkan karena satwa burung terdapat hampir di seluruh habitat daratan pada permukaan bumi ini dan bersifat sensitif pada kerusakan lingkungan. Pengetahuan taksonomi dan sebaran burung relatif banyak diketahui, dan lebih baik dibandingkan biota yang berukuran besar dan ke las-kelas lainnya. Penggunaan burung sebagai indikator nilai keanekaragaman hayati merupakan satu jalan tengah yang terbaik antara akan kebutuhan informasi ilmiah yang akurat dengan keterbatasan waktu yang yang ada bagi aksi konservasi (Indrawan & Ermayanti 1997 diacu dalam Primack et al. 1998). Ada beberapa jenis burung yang memiliki kepekaan tertentu terhadap kesehatan lingkungan habitatnya, salah satu diantaranya sebangsa burung raja udang (Sozer et al. 1999). Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem penanganan dan pengolahan data geografi, yaitu data dan informasi yang terpaut pada bentangan bumi. Dalam hal ini istilah SIG dikaitkan dengan penerapan komputer dalam menangani data dan informasi. Kemudian ada yang mendefinisikan bahwa SIG adalah suatu sistem perangkat lunak, perangkat keras, prosedur yang dirancang untuk mendukung pemasukan, pengelolaan, analisis, modeling, dan presentasi data spasial/keruangan untuk perencanaan dan praktek-praktek pengelolaan. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa SIG merupakan suatu perkembangan terbaru dalam gap analisis, yang menggunakan komunitas untuk menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spesies. Fungsi Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografi mempunyai tiga fungsi utama, yaitu : 1) Menyimpan, mengelola dan mengintegrasikan sejumlah data spasial yang telah terambil. 2) Mengartikan dan menganalisis data komponen geografis yang berhubungan secara khusus. 3) Mengorganisasikan dan mengelola sejumlah data dengan berbagai cara sehingga informasi dapat diperoleh dengan mudah oleh para pengguna. Hasil

24 dalam SIG tidak hanya berisi peta-peta atau gambar, tetapi juga konsep pangkalan data (database) yang merupakan input dari SIG ( ESRI 1990). Tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari ESRI (1990), Primack et al. (1998) juga menyatakan bahwa pada dasarnya pendekatan SIG meliputi penyimpanan, penampilan dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam, seperti tipetipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi-distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara elemen-elemen biotik dan abiotik dalam lanskap. Komponen Dasar Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis mempunyai empat komponen dasar, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data serta operator/sumberdaya manusia. Komponen tersebut saling berhubungan. Perangkat keras berupa komputer yang dilengkapi dengan alat masukan (digitizer, keyboard), alat penyimpan (hard disk, CD Rom), alat untuk memproses atau processor dan alat untuk pengeluaran (printer, plotter). Perangkat lunak merupakan komponen untuk mengintegrasikan berbagai macam data masukan yang akan diproses dalam SIG. Data merupakan komponen utama yang akan diproses dengan menggunakan SIG sesuai dengan kebutuhannya. Sumberdaya manusia merupakan pengguna sistem dan yang mengoperasikan perangkat lunak maupun perangkat keras. Sistem Informasi Geografis mempunyai lima komponen sub-sistem, yaitu proses pemasukan data dan pembetulan, penyimpan data dan pengolah data dasar, keluaran data dan penyajian, transformasi data, dan interaksi dengan pengguna (Purwadhi 1999). Pangkalan Data (Data base) Data dan informasi dalam SIG ditetapkan oleh dua unsur pokok, yaitu: 1. Data Spasial (lokasional atau kartografik), yaitu posisi yang berhubungan dengan tempat dan kedudukan obyek dalam ruang, dimana dalam suatu peta disajikan dalam bentuk titik, garis dan poligon tersebar pada kerangka geografis. 2. Data Atribut (deskriptif atau tematik), yaitu ciri dasar yang menguraikan perbedaan obyek satu dengan yang lain untuk tujuan pengenalan (Burrough 1986 diacu dalam Prasetyo 1998). Sistem Informasi Geografis mendeskripsikan obyekobyek dipermukaan bumi dalam tiga hal, yaitu (1) data spasial yang berkaitan

25 dengan koordinat geografis (lintang, bujur, ketinggian), (2) data atribut yang tidak berkaitan dengan posisi geografis (iklim, jenis tanah, dan sebagainya), (3) hubungan data spasial, atribut dan waktu (Widjojo 1993). Pada umumnya, model pangkalan data dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu : (1) model hierarki, yaitu menghimpun data untuk area yang lebih kecil sehingga area tersebut terkelompok dipadukan menjadi area yang lebih besar, (2) model jaringan (eksak), yaitu membuat jaringan dimana informasi pada satu file komputer terdiri dari banyak feature geografi dan informasi tambahan pada file lainnya tentang kumpulan feature yang sama, (3) model relasional (fuzzy ), yaitu mengga bungkan dua kumpulan data dan mencatat kombinasinya (ESRI 1990). Perangkat Lunak ( Software) Arc/Info ARC/INFO merupakan suatu SIG berbasis vektor yang dikembangkan oleh Environment System Research Institute (ESRI). ARC/INFO adalah perangkat lunak yang digunakan untuk otomatisasi, manipulasi, analisis dan menampilkan data geografi dalam bentuk digital. Sebagai SIG, ARC/INFO dapat menampung data mengenai obyek-obyek spasial beserta atributnya dalam pangkalan data sebagai abstraksi dari obyek-obyek geografi, serta memanipulasinya sesuai sudut pandang dan kepentingan pemakai (ESRI 1990).

26 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu terletak pada koordinat geografis 106 o o Bujur Timur dan 6 o o Lintang Selatan. Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu berada di wilayah administrasi Pemerintah Daerah Bogor, Propinsi Jawa Barat. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kotamadya Bogor (Kecamatan Bogor Timur dan Bogor Selatan). yaitu: Luas DAS Ciliwung Hulu adalah ± 14,876 ha yang terdiri dari empat sub DAS, a. Sub DAS Ciesek seluas 2452,78 ha b. Sub DAS Hulu Ciliwung seluas 4593,03 ha c. Sub DAS Cibogo Cisarua seluas 4110,34 ha d. Sub DAS Ciseuseupan Cisukabirus seluas 3719,85 ha Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 14,876 ha yang merupakan daerah pegunungan (Tabel 1). Pada bagian hulu paling sedikit terdapat tujuh sub DAS yaitu Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan dan Katulampa (Prasetyo et al. 2004). Tabel 1. Luas wilayah berdasarkan perbatasan sub-sub DAS Ciliwung Hulu Kecamatan Sub DAS Ciesek (Ha) Sub DAS Hulu Ciliwung (Ha) Sub DAS Cibogo Cisarua (Ha) Sub Das Ciseuseupan Cisukabirus (Ha) Total (ha) Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Bogor timur Jumlah Sumber : BRLKT (2001) Iklim Unsur iklim yang dapat mempengaruhi DAS adalah curah hujan dan lamanya hari hujan. Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu mempunyai curah hujan rata-rata mm/tahun. Perbedaan bulan basah dan bulan kering sangat mencolok, yaitu 10,9 bulan basah per tahun dan hanya 0,6 bulan kering per tahun. Tipe iklim

27 DAS Ciliwung Hulu menurut sistem klasifikasi Smith & Ferguson yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu bulan basah (> 200 mm) dan bulan kering (< 100 mm) adalah termasuk kedalam tipe curah hujan A (BRLKT 2001). Prasetyo et al. (2004) menyatakan bahwa rata-rata curah hujan tahunan berkisar dari 1000 mm di hilir sampai 4500 mm di bagian hulu. Tanah dan Geologi Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah DAS Ciliwung Hulu meliputi jenis komplek Aluvial kelabu, Andosol coklat dan Regosol coklat, Latosol coklat, dan Latosol coklat kemerahan. Jenis tanah yang tersebar secara luas di sub DAS Ciliwung Hulu adalah Latosol coklat kemerahan dan Latosol coklat sebesar 32,89% dari total luas areal sub DAS. Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dibangun oleh formasi geologi volkanik, yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Wilayah ini merupakan daerah pengunungan dengan elevasi antara 300 sampai 3000 mdpl. Bahan induk yang terdapat pada DAS Ciliwung Hulu adalah berupa tufa volkanik dan merupakan dasar pembentuk tanah jenis Latosol. Adanya pencampuran bahan volkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol adalah Regosol dan Andosol. Jenis tanah Latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 cm, dan agak tahan terhadap erosi, serta ph tanah yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang. Geomorfologi, Topografi dan Bentuk wilayah Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran vulkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung seluas 3767,76 ha dan sebagian kecil merupakan aluvial sungai seluas 255,33 ha. Berdasarkan toporafinya DAS Ciliwung Hulu bervariasi antara datar, landai, agak curam dan sangat curam. Wilayah dengan kelerengan 15% dan 40% sangat menyebar luas dan mendominasi wilayah DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan data dari Prasetyo et al. (2004), bahwa daerah hulu didominasi oleh hutan, belukar dan perkebunan teh (Tabel 2).

28 Tabel 2. Pola penutupan lahan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu Jenis Penutupan Lahan di Luas DAS Ciliwung Hulu Ha % 1. Hutan 5183,5 33,8 2. Kebun campuran 5136,2 33,5 3. Semak belukar 365,3 2,4 4. Ladang 595,9 3,9 5. Sawah 165,2 1,1 6. Kebun teh 1180,9 7,7 7. Daerah terbangun 1336,2 8,7 8. Situ/sungai 115,2 0,8 9. Tidak ada data 1244,1 8,1 Sumber : Prasetyo et al. (2004) Hidrologi Kondisi tata air di DAS Ciliwung Hulu dibentuk dari beberapa aliran air dari berbagai hulu sungai yang mengalir melalui anak-anak sungai dan selanjutnya bergabung kedalam suatu tangkapan sungai utama yaitu Sunga i Ciliwung. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kemiringan yang tinggi. Pada bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.

KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)

KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu) KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu) TIARA SUKRA DEWI E 34101056 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini akan memberikan gambaran wilayah studi yang diambil yaitu meliputi batas wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, kondisi fisik DAS, keadaan sosial dan ekonomi penduduk, serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi ABSTRAK... xiii ABSTRACT... xiv BAB

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MODEL HIDROLOGI ANSWERS DALAM MEMPREDIKSI EROSI DAN SEDIMENTASI (Studi Kasus: DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir

LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir Faktor Penyebab Banjir ta 1 ta 2 ta 3 ta 4 RG VP Curah hujan 0.315 0.057 0.344 0.359 0.217 0.261 Jenis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

Secara umum pembagian wilayah berdasarkan pada keadaan alam (natural region) dan tingkat kebudayaan penduduknya (cultural region).

Secara umum pembagian wilayah berdasarkan pada keadaan alam (natural region) dan tingkat kebudayaan penduduknya (cultural region). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 20 Sesi NGAN WILAYAH, PERWILAYAHAN, DAN PUSAT PERTUMBUHAN : 1 A. PENGERTIAN WILAYAH Wilayah adalah suatu area yang memiliki karakteristik tertentu atau sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan dan daratan yang dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA, BANDUNG

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA, BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada suatu kawasan strategis. Letak astronomis negara Indonesia adalah antara 6º LU 11º LS dan 95º BT 141º BT. Berdasarkan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, daerah aliran sungai (DAS), iklim, tanaman lokal serta hewan, yang unik dan memiliki nilai intrinsik

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si Apa yang dimaksud biodiversitas? Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah : keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci