DIVERSITAS DAN DISTRIBUSI AMBLYPYGI (ARACHNIDA) DI GUA SIPARAT DAN SIPAHANG BOGOR LASTI FARDILLA NOOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DIVERSITAS DAN DISTRIBUSI AMBLYPYGI (ARACHNIDA) DI GUA SIPARAT DAN SIPAHANG BOGOR LASTI FARDILLA NOOR"

Transkripsi

1 DIVERSITAS DAN DISTRIBUSI AMBLYPYGI (ARACHNIDA) DI GUA SIPARAT DAN SIPAHANG BOGOR LASTI FARDILLA NOOR DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Diversitas dan Distribusi Amblypygi (Arachnida) di Gua Siparat dan Sipahang, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Lasti fardilla Noor NIM G

4 ABSTRAK LASTI FARDILLA NOOR. Diversitas dan Distribusi Amblypygi (Arachnida) di Gua Siparat dan Sipahang, Bogor. Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI dan CAHYO RAHMADI. Amblypygi merupakan ordo dari kelas Arachnida yang banyak ditemukan di dalam gua di kawasan karst. Sepertiga spesies Amblypygi yang telah diketahui merupakan hypogean dari gua. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman dan sebaran Amblypygi di dalam Gua Siparat dan Sipahang, Bogor. Amblypygi dikoleksi dengan metode hand collecting di sepanjang lorong gua. Pemetaan gua dilakukan dengan teknik forward method dari bottom to top. Amblypygi yang ditemukan di kedua gua tersebut ialah Stygophrynus dammermani dan Stygophrynus sunda. Kedua spesies tersebut terdistribusi secara acak di dalam gua. Amblypygi banyak ditemukan di dinding gua. Kata Kunci: Amblypygi, catatan baru, diversitas, Stygophrynus dammermani, Stygophrynus sunda. ABSTRACT LASTI FARDILLA NOOR. Diversity and Distribution of Amblypygi (Arachnida) in Siparat and Sipahang Caves, Bogor. Supervised by TRI ATMOWIDI dan CAHYO RAHMADI. Whip spiders (Arachnida, Amblypygi) are commonly found in caves in karst region. One-thirds of whip spider species are known to live on hypogean habitat. The research is aimed to study the diversity and distribution of Amblypygi in Sipahang and Siparat Cave, Bogor. The whip spider were collected by hand collecting method along the cave passage. Cave Mapping was done by forward technique method from bottom to top. The whip spiders found in both caves were Stygophrynus dammermani and Stygophrynus sunda. The whip spiders species distributed randomly inside the caves on the caves walls. Keywords: Amblypygi, new record, diversity, Stygophrynus dammermani, Stygophrynus sunda.

5 DIVERSITAS DAN DISTRIBUSI AMBLYPYGI (ARACHNIDA) DI GUA SIPARAT DAN SIPAHANG, BOGOR LASTI FARDILLA NOOR Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi Nama NIM : Diversitas dan Distribusi Amblypygi (Arachnida) di Gua Siparat dan Sipahang, Bogor : Lasti Fardilla Noor : G Disetujui oleh Dr Tri Atmowidi, MSi Pembimbing I Dr Cahyo Rahmadi Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Iman Rusmana, MSi Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah Diversitas dan Distribusi Amblypygi (Arachnida) di Gua Siparat dan Sipahang, Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Tri Atmowidi, MSi dan Bapak Dr Cahyo Rahmadi selaku pembimbing, serta Bapak Wibowo A. Djatmiko yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada kepada M. Irham, Romawati, Hardian Akbar, Tiara E. Ardi, Anggi Putra, Deny Batara, Alam Septian, Sudiyah dan teman-teman Lawalata- IPB yang telah banyak membantu penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014 Lasti Fardilla Noor

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 METODE 2 Waktu dan Tempat 2 Alat dan Bahan 2 Pemetaan Gua 2 Pengamatan dan Koleksi Sampel Amblypygi 2 Pengawetan dan Identifikasi Sampel 3 Analisis Data 3 HASIL 3 Kondisi Gua Siparat dan Sipahang 3 Kondisi Lingkungan 4 Karakteristik Amblypygi 5 Diversitas Amblypygi 6 Distribusi Amblypygi di Dalam Gua 7 PEMBAHASAN 8 SIMPULAN DAN SARAN 11 Simpulan 11 Saran 11 DAFTAR PUSTAKA 11 RIWAYAT HIDUP 14

10 DAFTAR TABEL 1 Data lingkungan di dalam Gua Siparat dan Sipahang 4 2 Karakteristik spesies Stygophrynus 6 3 Jumlah spesies Amblypygi yang ditemukan di Gua Siparat dan Sipahang 6 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi Gua Siparat dan Sipahang di Kecamatan Cigudeg, Bogor 4 2 Karakteristik spesies Stygophrynus 5 3 Mikrohabitat Amblypygi di Gua Siparat 7 4 Peta Gua Siparat dan distribusi spesies Amblypygi yang ditemukan 8 5 Peta Gua Sipahang dan distribusi spesies Amblypygi yang ditemukan 8

11 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karst merupakan kawasan dengan tingkat keragaman hayati dan endemisitas yang tinggi (Clements et al. 2006). Salah satu penyumbang keanekaragaman tersebut adalah ekosistem gua. Gua merupakan ekosistem unik yang dihuni oleh berbagai fauna. Salah satu kelompok fauna yang umum ditemukan hidup di dalam gua adalah invertebrata (Culver et al. 2000). Amblypygi merupakan salah satu ordo anggota Arachnida yang banyak ditemukan di gua-gua. Ordo Amblypygi memiliki 5 famili, yaitu Paracharontidae, Charinidae, Charontidae, Phrynichidae, dan Phrynidae (Harvey 2002). Tiga famili dari ordo Amblypygi yang telah dilaporkan di Indonesia, yaitu Charontidae (Rahmadi dan Harvey 2008), Charinidae (Rahmadi et al. 2010), dan Phrynidae (Harvey 2002a). Sebanyak 158 spesies Amblypygi telah teridentifikasi (Harvey 2007) dan hampir sepertiganya merupakan hypogean (Romero 2009), yaitu ditemukan di dalam gua. Selain di dalam gua, Amblypygi juga ditemukan di luar gua, seperti di lantai hutan, khususnya di tempat yang lembap dan gelap. Amblypygi memiliki karakteristik pedipalpus raptorial yang kuat dilengkapi dengan duri-duri tajam. Tubuhnya pipih dan terbagi menjadi 2 bagian, yaitu prosoma dan opistosoma. Bagian opistosoma terdiri atas 12 segmen dan bagian prosoma terdiri atas 6 pasang appendages. Prosoma Amblypygi ditutupi oleh karapas. Di bawah karapas terdapat sepasang kelisera. Amblypygi memiliki empat pasang tungkai. Sepasang tungkai pertama termodifikasi sebagai organ perasa dan tiga pasang tungkai lainnya untuk berjalan. Tungkai depan yang termodifikasi memiliki bentuk yang tipis dan panjang, menyerupai antena, sehingga dinamakan kaki antena (Weygoldt 2000). Amblypygi hidup wilayah tropis dan subtropis, namun beberapa dapat hidup di wilayah subsahara (Predini et al. 2005). Amblypygi aktif pada malam hari dan menyukai tempat yang gelap dan lembab. Oleh karena itu, Amblypygi yang berada di hutan sering bersembunyi di bawah batu atau pohon yang lembab pada siang hari (Weygoldt 2000). Berbeda dengan di hutan, Amblypygi di dalam gua jarang bersembunyi karena kondisi lingkungan gua yang gelap dan lembab. Amblypygi di dalam gua dapat ditemukan di atap, dinding, atau lantai gua. Peranan Amblypygi di dalam gua adalah sebagai predator. Penelitian tentang Amblypygi di Indonesia masih sedikit, khususnya Amblypygi yang hidup di gua. Hal tersebut karena penelusuran dan sampling di gua tergolong sulit (Culver et al. 2006). Oleh karena itu, penelitian Amblypygi sangat menarik untuk dilakukan, khususnya di Gua Siparat dan Sipahang. Sejauh ini, belum ada publikasi tentang diversitas dan distribusi Amblypygi di kedua gua tersebut. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari diversitas dan sebaran Amblypygi di Gua Sipahang dan Siparat, Bogor.

12 2 METODE Waktu dan Tempat Pengambilan sampel dilakukan bulan November, Desember 2013 dan Februari 2014 di Gua Siparat dan Sipahang. Identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Biosistematika dan Ekologi Hewan dan Laboratorium Biologi Terpadu, Departemen Biologi FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah botol sampel, alkohol 70%, kertas kalkir untuk tallysheet dan kertas label. Alat yang digunakan selama penelusuran gua adalah coverall, helm, sepatu boot, dan headlamp. Peralatan untuk pengambilan sampel Amblypygi dan kondisi habitat gua adalah dry box, kamera, hand loupe, pinset, dan 4 in 1 Lutron LM Alat yang digunakan untuk pemetaan diantaranya Global Positioning System (GPS) Garmin 76 CSx, kompas prisma, klinometer Suunto PM-5, dan pita ukur. Pemetaan Gua Pemetaan dilakukan secara bottom to top dengan forward method. Titik nol pemetaan dimulai dari ujung gua dan diteruskan seiring dengan perjalanan ke luar hingga entrance (pintu masuk) gua. Setiap entrance ditandai dengan GPS. Pemetaan gua dilakukan minimal oleh 3 orang. Shooter berdiri di stasiun nol lalu membidik stationer pada stasiun 1. Setelah membaca instrumen pengukuran (kompas, klinometer, dan pita ukur) dan melaporkan hasil pembacaan kepada descriptor, shooter berpindah ke posisi stationer. Selanjutnya stationer bergerak ke depan untuk menentukan titik stasiun berikutnya. Selama pemetaan, posisi shooter selalu dibelakang stationer. Detail lorong yang diukur oleh shooter adalah panjang kiri-kanan lorong, jarak antar stasiun, tinggi atap, sudut jarak, sudut kemiringan lantai dan tinggi muka air. Detail lorong diukur pada setiap stasiun dan dicatat pada tallysheet oleh descriptor. Sketsa awal gua digambar oleh descriptor selama pemetaan berlangsung. Klasifikasi grade peta hasil pemetaan gua mengacu pada British Cave Research Assosiation (BCRA) (Laksmana 2005). Pengamatan dan Koleksi Sampel Amblypygi Metode yang digunakan dalam pengamatan Amblypygi ialah sensus visual di sepanjang lorong gua. Pengamatan Amblypygi dilakukan secara cermat di setiap bagian substrat lantai, celah dan rekahan di dinding, atap gua, tumpukan endapan (guano) dan runtuhan bebatuan. Amblypygi yang ditemukan kemudian dikoleksi secara langsung dengan tangan (hand collecting) (Hunt dan Millar 2001) untuk selanjutnya diidentifikasi. Titik lokasi ditemukannya Amblypygi dicatat

13 3 dalam sketsa gua. Pada setiap pengambilan sampel dilakukan pengukuran komponen abiotik, yaitu suhu, kelembaban dan intensitas cahaya dengan Lutron LM Pengawetan dan Identifikasi Sampel Spesimen diawetkan secarah basah dalam alkohol 70%. Masing-masing spesimen diberi label. Selanjutnya spesimen diidentifikasi ke tingkat genus berdasarkan Weygoldt (2000) dan Harvey (2003) dan ke tingkat spesies berdasarkan Gravely (1915), Dunn (1949), Weygoldt (2000), dan Rahmadi dan Harvey (2008). Analisis Data Data komponen abiotik, habitat, dan jumlah Amblipygi disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif. Data pemetaan diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Survex , sehingga menghasilkan centerline lorong, lebar lorong, total jarak, tinggi lantai, dan orientasi peta. Detail lorong digambar pada centerline berdasarkan sketsa lorong menggunakan Adobe Photosop CS5. Setiap jenis Amblypygi yang teridentifikasi ditandai dalam peta sehingga terlihat distribusinya. HASIL Kondisi Gua Siparat dan Sipahang Gua Siparat dan Gua Sipahang merupakan gua alami yang terletak di Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Gambar 1). Kedua gua ini masuk ke dalam kawasan karst Gudawang. Di kawasan karst tersebut telah dikembangkan satu objek wisata gua bernama Gua Gudawang. Gua Sipahang merupakan salah satu gua wisata yang terdapat di area tersebut, sedangkan Gua Siparat letaknya berada di luar kawasan wisata Gua Gudawang. Berdasarkan hasil pemetaan, Gua Siparat dan Sipahang tergolong gua berair karena lorongnya didominasi oleh aliran air. Panjang lorong Gua Siparat (180,1m) relatif lebih pendek dari Gua Sipahang (474,8m). Variasi ketinggian lantai Gua Sipahang (-0,6 6,6m) dan Siparat (-2,92 2,83m) relatif datar, sehinga keduanya digolongkan sebagai gua horizontal. Gua Siparat memiliki beberapa percabangan lorong dan 3 pintu masuk (entrance) berbeda, berada di ketinggian 121,62m dpl (entrance 1), 127,40m dpl (entrance 2), dan 130,76m dpl (entrance 3). Gua Sipahang memiliki entrance yang berada di ketinggian 113,7m dpl dan sebuah aven (jendela).

14 4 Keterangan: Jalan Raya Lahan Terbangun Hutan / Kebun Gambar 1 Peta lokasi Gua Siparat dan Sipahang di Kecamatan Cigudeg, Bogor Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan di kedua gua relatif bervariasi pada setiap bulan. Suhu rata-rata di dalam Gua Siparat pada bulan November (29,5 0 C) dan Desember (29,9 0 C) lebih tinggi dibandingkan pada bulan Februari (25,5 0 C). Suhu rata-rata di dalam Gua Sipahang pada bulan November (28,1 0 C) dan Desember (27,5 0 C) juga lebih tinggi dibandingkan pada bulan Februari (26,5 0 C). Intensitas cahaya hanya bisa diukur di pintu masuk gua, yaitu lux di Gua Siparat dan lux di Gua Sipahang, sedangkan intensitas cahaya di dalam gua bernilai nol. Kelembapan udara di kedua gua relatif tinggi, berkisar antara 87,8-96,5% di Gua Siparat dan 92,2-97,3% di Gua Sipahang (Tabel 1). Table 1 Data lingkungan di dalam Gua Siparat dan Sipahang Gua Parameter November Desember Februari Siparat Suhu ( 0 C) 29,5 (28,7-31) 29,9 (28,6-30,9) 25,5 (25,4-25,5) Kelembapan (%RH) 96,5 (92,4-98,5) 87,8 (82-96) 95,7 ( ) Intensitas Cahaya (lux)* Sipahang Suhu ( 0 C) 28,1 (27,8-28,5) 27,5 (27,2-27,9) 26,5 (25,9-26,4) Kelembapan (%RH) 97,3 (93,4-100) 98,3 (93,4-99,8) 92,2 (89,2-94,4) Intensitas Cahaya (lux)* Keterangan: Nilai diluar tanda kurung () adalah rata-rata dan di dalam tanda kurung () menunjukkan nilai minimum-maksimum. Pengamatan bulan Februari, di Gua Siparat hanya dilakukan di pintu masuk dan di Gua Sipahang hanya dari pintu masuk hingga chamber karena kedua gua sedang banjir. * = diukur di pintu masuk gua.

15 5 Karakteristik Amblypygi Famili Charontidae Amblypygi yang ditemukan di Gua Siparat dan Sipahang termasuk Charontidae. Amblypygi yang termasuk Charontidae memiliki pulvilli (Gambar 2h) di ujung tarsus kaki jalan. Famili tersebut dicirikan dengan adanya 3 atau 2 duri utama di permukaan dorsal patela pedipalpus dan terdapat sebaris seta (row of setae) di ujung proksimal cleaning organ (Gambar 2e). Anggota Charontidae ialah Charon dan Stygophrynus Genus Stygophrynus Stygophrynus dicirikan dengan adanya tiga duri utama di dorsal patela pedipalpus dengan panjang hampir sama (Gambar 2c-2d) dan sedikitnya terdapat 3 duri kecil di bagian dorsal dan ventral tibia pedipalpus. Genus tersebut memiliki artikulasi di tarsus pedipalpusnya (Gambar 2e) dan memiliki 4 gigi di basal kelisera (Gambar 2i-2j). Gigi paling dorsal berbentuk bicuspid (Gambar 2i-2j). 1. Stygophrynus sunda Rahmadi dan Harvey 2008 Stygophrynus sunda (Gambar 2a) memiliki ukuran tubuh mm. Spesies tersebut memiliki 4 duri di dorsal femur pedipalpus (Tabel 2). Jumlah gigi di tarsus kelisera ialah sebanyak 5-6 gigi. Jumlah gigi di tepi eksternal kelisera ialah sebanyak 2 gigi dengan bentuk yang runcing (Gambar 2i). 2. Stygophrynus dammermani Roewer 1928 Stygophrynus dammermani (Gambar 2b) memiliki ukuran tubuh mm. Spesies tersebut memiliki 4-5 duri di dorsal femur pedipalpus (Tabel 2). Jumlah gigi di tarsus kelisera ialah sebanyak 5-6 gigi. Jumlah gigi di tepi eksternal kelisera ialah sebanyak 2 gigi dengan gigi paling dorsal berbentuk bicuspid (Gambar 2j). Gambar 2 Karakteristik spesies Stygophrynus: S. sunda (a) dan S. dammermani (b). Dorsal tibia pedipalpus S. dammermani (c) dan S. sunda (d). Tarsus tungkai S. sunda (e). Dorsal femur pedipalpus S. dammermani (f-g). Ventrolateral tarsus pedipalpus S. sunda (h). Kelisera S. sunda (i) dan S. dammermani (j). RS = row of setae, CO = cleaning organ. Garis skala = 1 cm untuk a-b, garis skala = 1 mm untuk c-j.

16 6 Table 2 Karakteristik spesies Stygophrynus Karakteristik S. dammermani S. sunda Mata (median & lateral) Ada Ada Jumlah gigi eksternal kelisera 2 gigi dengan gigi paling atas bicuspid 2 gigi Jumlah gigi di tarsus kelisera 5 6 gigi 5 6 gigi Duri di dorsal femur pedipalpus 4 5 duri 4 duri Diversitas Amblypygi Total Amblypygi yang ditemukan selama pengamatan adalah 23 individu, 17 individu diantaranya dikoleksi. Perbandingan jumlah jantan dan betina dari Amblypygi yang dikoleksi adalah 9:8. Dari hasil pengamatan, Amblypygi yang ditemukan di Gua Siparat (10 individu) lebih sedikit dibandingkan Gua Sipahang (13 individu). Spesies yang ditemukan di kedua gua tersebut adalah Stygophrynus dammermani (20 individu) dan Stygophrynus sunda (3 individu) (Tabel 3). Amblypygi banyak ditemukan pada bulan November 2013 (15 individu) dan menurun jumlahnya pada bulan Februari 2014 (3 individu) (Tabel 3). Pada bulan Februari di Gua Siparat, tidak ditemukan Amblypygi. Keadaan gua saat itu sedang banjir dan pengamatan hanya bisa dilakukan di sekitar pintu masuk gua. Table 3 Jumlah spesies Amblypygi yang ditemukan di Gua Siparat dan Sipahang Gua Jarak dari Spesies Σ individu entrance (m) Amblypygi November Desember Februari Siparat 23 S. dammermani S. dammermani S. sunda S. dammermani S. dammermani S. dammermani S. sunda S. dammermani Sipahang 71 S. sunda S. dammermani S. dammermani S. dammermani S. dammermani Total Berdasarkan hasil pengamatan di kedua gua, Amblypygi lebih memilih dinding (15 individu) sebagai mikrohabitatnya dibandingkan lantai (5 individu) dan atap gua (3 individu). Di Gua Siparat, Amblypygi tidak pernah ditemukan di lantai gua, tetapi lebih banyak ditemukan di dalam ceruk (Gambar 3a) yang terletak di dinding atau atap gua. Amblypygi di Gua Sipahang menempati bagian atap, dinding dan lantai gua. Stygophrynus dammermani ditemukan pada tiga bagian utama lorong gua (atap, dinding, lantai), sedangkan S. sunda ditemukan di dinding dan lantai gua.

17 7 (a) (b) Gambar 3 Mikrohabitat Amblypygi di Gua Siparat: ceruk (a) di dinding atau atap gua. Beberapa individu jangkrik (b) ditemukan di dalam gua Distribusi Amblypygi di Dalam Gua Amblypygi tersebar secara acak di dalam gua Siparat dan Sipahang. Ratarata selisih antar titik ditemukannya amblypygi, yaitu 25 m di Gua Siparat dan 77 m di Gua Sipahang. Jumlah Amblypygi yang dijumpai di Gua Siparat sebanyak 1-2 individu di setiap titiknya pada setiap pengamatan. Jarak antar individu di satu titik yang sama sejauh 0,7 2 m. Di Gua Siparat, spesies S. dammermani dan S. sunda dapat dijumpai di satu titik sama (Gambar 4). Gambar 4 Peta Gua Siparat dan distribusi spesies Amblypygi yang ditemukan

18 8 Amblypygi di Gua Sipahang lebih banyak ditemukan di area chamber (lorong gua yang besar) dibandingkan di titik lainnya. Total individu yang ditemukan di chamber selama tiga bulan pengamatan berjumlah 9 individu, sedangkan di titik lainnya hanya ditemukan 1 individu (Gambar 5). Pada pengamatan bulan November, jumlah Amblypygi yang berada di chamber sebanyak 5 individu (Tabel 3) dengan jarak antar individu sejauh 1 2,5 m. Gambar 5 Peta Gua Sipahang dan distribusi spesies Amblypygi yang ditemukan PEMBAHASAN Spesies Amblypygi gua (hypogean Amblypygi) di Jawa terdiri atas Stygophrynus (Charontidae), Charon (Charontidae), dan Sarax (Charinidae) (Rahmadi 2011). Genus tersebut memiliki distribusi yang spesifik di gua-gua di Jawa. Amblypygi yang ditemukan di Jawa Barat adalah Stygophrynus dan Sarax.

19 Sarax pernah ditemukan di Gua Sipahang (Rahmadi, komunikasi pribadi), namun pada penelitian ini, spesies tersebut tidak ditemukan. Pada penelitian ini hanya Stygophrynus yang ditemukan di Gua Sipahang. Diduga, Stygophrynus memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap lingkungan Gua Sipahang dibandingkan dengan Sarax Spesies Stygophrynus banyak menghuni gua-gua di Jawa Barat. Sebaran genus tersebut terbatas dari Jawa Barat hingga timur laut Pulau Jawa. Spesies Stygophrynus belum pernah dilaporkan menghuni gua-gua di bagian timur Jawa (Rahmadi et al. 2011). Berbeda dengan Stygophrynus, spesies Charon dapat ditemukan di Jawa bagian timur dan tidak ditemukan di gua-gua di Jawa Barat (Rahmadi 2011). Distribusi Stygophrynus terdapat di Asia, diantaranya Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam (Harvey 2003). Spesies Stygophrynus pertama kali dilaporkan oleh Kraepelin tahun 1895 sebagai Charon cavernicola (Rahmadi dan Harvey 2008). Sampai sekarang, total spesies Stygophrynus berjumlah 7 spesies, yaitu S. berkeleyi, S. cerberus, S. dammermani, S. longispina, S. sunda, S. brevispina, dan S. moultoni (Harvey 2003; Weygodt 2000; Rahmadi dan Harvey 2008). Spesies yang ditemukan di Indonesia adalah S. moultoni, S. dammermani dan S. sunda. Spesies S. dammermani dan S. sunda merupakan spesies Amblypygi yang ditemukan di Gua Sipahang dan Siparat. Stygophrynus dammermani merupakan spesies yang lebih banyak (20 individu) ditemukan di kedua gua, dibandingkan dengan S. sunda (3 individu) (Tabel 3). Hal ini diduga karena kedua spesies tersebut memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap lingkungan gua. Menurut Rahmadi (2011) S. dammermani secara ekstensif terdapat di Jawa bagian barat, diantaranya di gua-gua Bogor. Spesies tersebut juga pertama kali ditemukan di gua di daerah Bogor yang dilaporkan oleh Roewer tahun Berbeda dengan S. dammermani, spesies S. sunda pertama kali ditemukan di dalam hutan. Spesies tersebut diketahui hanya berada di Pulau Legundi (Selat Sunda) dan Gunung Hondje, Taman Nasional Ujung Kulon. Spesies tersebut tidak pernah ditemukan di timur Gunung Hondje hingga Jawa bagian timur (Rahmadi dan Harvey 2008). Ditemukannya spesies S. sunda di Bogor merupakan catatan baru, sehingga sebaran spesies tersebut tidak hanya di Ujung Kulon dan Pulau Legundi tetapi hingga Bogor, Jawa Barat. Rahmadi dan Harvey (2008) juga melaporkan bahwa spesies S. sunda yang ditemukan Ujung Kulon berada di lantai hutan, bukan di dalam gua. Oleh karena itu, Spesies S. sunda yang ditemukan di Gua Siparat dan Sipahang juga tercatat sebagai catatan hygogean pertama. Dilihat dari jumlah Amblypygi yang ditemukan selama pengamatan (Tabel 3), terjadi penurunan jumlah individu setiap bulannya. Amblypygi banyak dikoleksi pada bulan November 2013 sehingga jumlah Amblypygi yang ditemukan pada bulan Desember 2013 dan Februari 2014 menurun. Hal tersebut karena populasi Amblypygi tidak dapat kembali dalam waktu yang singkat, sebab Amblypygi memiliki masa hidup yang lama. Selain itu, pada bulan Februari, kedua gua sedang banjir sehingga pengamatan tidak bisa dilakukan secara menyeluruh ke dalam gua. Pengamatan dilakukan di sekitar pintu masuk gua. Penurunan jumlah Amblypygi di kedua gua berkaitan dengan siklus hidup Amblypygi. Amblypygi diketahui memiliki masa hidup yang relatif lama dan sensitif terhadap perubahan lingkungan, dibutuhkan 1-2 tahun untuk siap 9

20 10 reproduksi. Waktu reproduksi yang dibutuhkan akan menjadi 2 kali lipat lebih lama jika suhu lingkungannya mencapai <26 0 C (Rahmadi 2010). Weygoldt (2000) melaporkan bahwa Amblypygi akan mati jika suhu lingkungannya mencapai 40 0 C atau 5 0 C. Dilihat dari kondisi lingkungan, suhu di kedua gua masih tergolong ideal untuk Amblypygi meskipun terdapat fluktuasi. Fluktuasi suhu di dalam Gua Siparat dan Sipahang masih dalam kisaran yang relatif kecil ( C) jika dibandingkan dengan iklim di luar gua. Kawasan wisata Gua Gudawang memiliki suhu rata-rata harian berkisar antara C dengan suhu minimum 23 0 C dan suhu maksimum 31 0 C (Mulyati 2007). Fluktuasi ilklim di dalam Gua Siparat dan Sipahang dipengaruhi oleh karakteristik gua. Sistem perguaan kedua gua cenderung lebih terbuka dan lorongnya relatif lebih pendek sehingga menyebabkan iklim di dalamnnya masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua. Rahmadi dan Harjanto (2011) melaporkan kondisi gua yang cenderung tertutup akan mengurangi pengaruh kondisi iklim luar terhadap iklim di dalam gua. Amblypygi menyukai lingkungan yang lembap dan sejuk. Oleh karena itu, Amblypygi lebih banyak ditemukan di daerah tropis di area dengan kelembapan udara yang tinggi, seperti di dalam hutan. Selain dapat ditemukan di dalam hutan, Amblypygi juga banyak ditemukan di gua (Weygoldt 2000). Satu pertiga spesies Amblypygi diketahui merupakan hypogean (Romero 2000). Hal tersebut karena gua memiliki kelembapan udara yang tinggi, seperti Gua Siparat dan Sipahang yang kelembapan udaranya mencapai >80%. Amblypygi di dalam gua lebih banyak ditemukan di dinding, diduga karena terdapat banyak mangsa. Salah satu mangsa Amblypygi adalah jangkrik. Dari hasil pengamatan, pada titik ditemukannya Amblypygi biasanya juga ditemukan jangkrik (Gambar 3b). Perilaku Amblypygi dalam memangsa lebih banyak diam dan menunggu sambil mengeksplorasi wilayah sekitar dengan kaki antenanya (Santer dan Hebets 2009). Kaki antena yang panjang merupakan bentuk adaptasi Amblypygi terhadap lingkungannya. Kaki antena ini memiliki beragam tipe rambut sensor yang berperan sebagai reseptor kimia dan berjumlah ratusan (Foelix dan Hebets 2001). Amblypygi di Gua Siparat tidak pernah ditemukan di lantai gua, namun banyak terdapat di ceruk yang berada di dinding atau atap. Hal ini karena di dalam ceruk banyak terdapat celah. Diduga, celah tersebut digunakan Amblypygi untuk bersembunyi dan berlindung dari banjir, meskipun Amblypygi (Phrynus marginemaculatus) memiliki kemampuan bertahan di dalam air (Hebets dan Chapman 2000). Amblypygi di kedua gua tersebar secara acak, dari sekitar pintu masuk gua hingga ujung gua. Amblypygi yang ditemukan cenderung tidak mengelompok, meskipun di Gua Sipahang Amblypygi lebih banyak ditemukan di titik chamber. Hal ini dapat dilihat dari adanya selisih jarak antar individu di satu titik yang sama, yaitu 0,7-2 m di Gua Siparat dan 1-2,5 m di Gua Sipahang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weygoldt (2000) bahwa Amblypygi tidak ditemukan mengelompok, biasanya antar individu dipisahkan oleh jarak sejauh beberapa meter. Amblypygi di Gua Sipahang lebih banyak ditemukan di chamber karena chamber merupakan area kering yang tidak dialiri air. Chamber tersebut letaknya berada di atas lorong utama, sehingga tidak terkena banjir. Chamber Sipahang

21 11 juga merupakan area yang memiliki banyak sumber materi organik, guano, karena dihuni oleh kelelawar. Hal tersebut menyebabkan sumber pakan Amblypygi (jangkrik dan arthropoda kecil) melimpah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Amblypygi yang ditemukan di Gua Sipahang dan Siparat adalah S. dammermani dan S. sunda. Spesies S. dammermani ditemukan lebih dominan dibandingkan dengan S. sunda. Ditemukannya spesies S. sunda di Bogor merupakan catatan baru dan sebagai laporan S. sunda hypogean pertama yang ditemukan. Spesies S. dammermani dan S. sunda di dalam Gua Sipahang dan Siparat tersebar secara acak. Amblypygi di kedua gua tersebut dapat ditemukan dari sekitar pintu masuk gua hingga ujung gua. Amblypygi ditemukan tidak mengelompok, terdapat selisih jarak antar individu di satu titik yang sama. Amblypygi di Gua Sipahang dan Siparat lebih memilih dinding gua sebagai mikrohabitatnya. Saran Amblypygi merupakan hewan dengan jumlah populasi yang sedikit dan sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga upaya konservasi perlu dilakukan. Salah satu diantaranya adalah pihak pengelola wisata Gua Gudawang perlu mempertimbangkan kebijakan jumlah pengunjung. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai populasi Amblypygi terkait dengan jumlah pengunjung. DAFTAR PUSTAKA Clements R, Sodhi NS, Schilthuizen M, Peter Kl Limestone karsts of Southeast Asia: imperiled arks of biodiversity. BioScience 56: Culver DC, Master LL, Christman MC, Hobbs HH Obligate cave fauna of the 48 contiguous United States. Conservation Biology 14: Culver DC, Deharveng L, Bedos A, Lewis JJ, Madden M, Reddell JR, Sket B, Trontelj P, White D The mid-latitude biodiversity ridge in terrestrial cave fauna. Ecography 29: Dunn RA New Pedipalpi from Australia and the Solomon Islands. Memoirs of the National Museum of Victoria 16: 7 1. Gravely FH A revision of the Oriental Subfamilies of Tarantulidae (Order Pedipalpi). Records of the Indian Museum 11: Foelix R, Hebets EA Sensory biology of whip spiders (Arachnida, Amblypygi). Andrias 15:

22 12 Harvey MS The neglected cousins: what do we know about the smaller Arachnid orders? J Arachnology 30: Harvey MS. 2002a. The first old world species of Phrynidae (Amblypygi): Phrynus exsul from Indonesia. J Arachnology 30: Harvey MS Catalgue of The Smaller Arachnid Orders of The World : Amblypygi, Uropygi, Schizomida, Palpigradi, Ricinulei and Solifugae. Victoria (AU): CSIRO Publising. Harvey MS The smaller arachnid orders: diversity, descriptions and distributions from Linnaeus to the present (1758 to 2007). Zootaxa 1668: Hebets EA, Chapman RF Surviving the flood: plastron respiration in the non-tracheate arthropod Phrynus marginemaculatus (Amblypygi: Arachnida). J Insect Physiol. 46 (1): Hunt MR, Millar I Cave Invertebrate Collecting Guide. New Zeland (NZ): Departement of Conservacy. Laksmana EE Stasiun Nol: Teknik-Teknik Pemetaan dan Survey Hidrologi Gua. Yogyakarta (ID): ASC & Megalith Book. Mulyati T Kajian kondisi gua untuk pengembangan wisata minat khusus di kawasan Karst Gudawang, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Predini L, Weygoldt P, Wheeler WC Systematics of the Damon variegatus group of African whip spiders (Chelicerata: Amblypygi): evidence from behaviour, morphology and DNA. Organisms, Diversity & Evolution 5: Rahmadi C Kalacemeti begitu tua tapi miskin jenis, tanya kenapa? [internet]. (diakses tanggal 13 maret 2014). Tersedia pada: Rahmadi C Biospeleology of Java caves, Indonesia: a review. Di dalam: Haryono E, Adji TN, Suratman, editor. Proceedings of the International Conference Asian Trans-Disciplinary Karst Conference; 7-10 Jan 2011; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. hlm Rahmadi C, Harvey MS A first epigean species of Stygophrynus Kraepelin (Amblypygi: Charontidae) from Java and adjacent islands, Indonesia with notes on S. dammermani Roewer, Raffles Bulletin of Zoology 56: Rahmadi C, Harjanto S Keanekaragaman fauna dan kondisi klimat di Gua Anjani, kawasan Karst Menoreh: sebuah catatan awal. Fauna Indonesia 10: Rahmadi C, Harvey MS, Kojima JI Whip spiders of genus Sarax Simon 1892 (Amblypygy: Charinidae) from Borneo island. Zootaxa 2612: Rahmadi C, Harvey MS, Kojima JI The status of whip spider subgenus Neocharon (Amblypygi: Charontidae) and the distribution of the genera Charon and Stygophrynus. J Arachnology 39: Roewer CF Ein Javanischer Charontine. Treubia 10: Romero A Cave Biology: Life in Darkness. New York (US): Cambridge Univ Pr.

23 Santer RD, Hebets EA Prey capture by the whip spider Phrynus marginemaculatus C.L. Koch. J Arachnology 37: Weygoldt P Whip Spider: Their Biology, Morphology and Systematic. Denmark (DK): Appolo Books. Weygoldt P Sperm transfer and spermatophore morphology of the whip spiders Sarax buxtoni, S. brachydactylus (Charinidae), Charon cf. grayi, and Stygophrynus brevispina nov. spec. (Charontidae) (Chelicerata, Amblypygi). Zool Anz 241:

24 14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1990 dari pasangan Bapak Ahmad Yuliadi dan Ibu Syafuroh. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 38 Jakarta dan masuk perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor Departemen Biologi melalui jalur SNMPTN. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berorganisasi di Unit Kegiatan Mahasiswa Lawalata IPB di Divisi Caving. Pada tahun 2009 penulis tergabung sebagai tim kajian biospeleologi dalam Ekspedisi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan dan tahun 2010 penulis tergabung sebagai tim Ekspedisi Studi Kakatua Seram (Cacatua moluccensis) di Taman Nasional Manusela, Maluku Tengah. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan judul Keanekaragaam Arthropoda dalam Sistem Perguaan Karst Ciampea yang hasilnya diikutsertakan dalam Symposium Internasional Issues in Global Species Conservation Effort of IUCN Species Survival Commission. Penulis juga pernah menjadi narasumber dalam Seminar The Amazing Karst tahun 2009 dan Lawalata Expedition Tahun Tahun 2012 penulis menjadi panitia Seminar dan Workshop Nasional Scientific Karst Exploration. Penulis melakukan praktik lapangan pada tahun 2012 di lembaga swadaya masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dengan judul Inventarisasi Tumbuhan Obat dalam Program Green Corridor Initiative (GCI) LSM RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment di bawah bimbingan Dr Sri Listiyowati, MSi.

DAFTAR PUSTAKA. Balazs, D. (1968). Karst Region in Indonesia. Karszt es Barlangkutatas.Vol.V Budapest.

DAFTAR PUSTAKA. Balazs, D. (1968). Karst Region in Indonesia. Karszt es Barlangkutatas.Vol.V Budapest. DAFTAR PUSTAKA Balazs, D. (1968). Karst Region in Indonesia. Karszt es Barlangkutatas.Vol.V Budapest. Benthem, J.W.S.S. van. (1953). Systematic studies on the non-marine mollusca of the Indo-Australian

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Blower, G.J. (1985). Milipedes. Synopses Of the British Fauna (new series), Doris M.K. and Barneo R.S.K. (Eds) (35). London.

DAFTAR PUSTAKA. Blower, G.J. (1985). Milipedes. Synopses Of the British Fauna (new series), Doris M.K. and Barneo R.S.K. (Eds) (35). London. 43 DAFTAR PUSTAKA Achmad, A. (2012). Wisata Karst Lebih Menguntungkan Daripada Tambang. Dalam Lokakarya Ekosistem Karst Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. [Online]. Tersedia : Kompas.com [5 Mei 2012]. Alkantana,

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN

V. SIMPULAN DAN SARAN V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan mengenai Keanekaragaman di Gua Ngguwo Kawasan Karst Gunung Sewu Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, maka dapat dihasilkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif ini, peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

Koleksi dan Pengenalan Biota Gua : Arthropoda Gua 1

Koleksi dan Pengenalan Biota Gua : Arthropoda Gua 1 Koleksi dan Pengenalan Biota Gua : Arthropoda Gua 1 Cahyo Rahmadi, S.Si. Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Email : cahyo.rahmadi@lipi.go.id Pendahuluan Indonesia mempunyai kawasan karst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM GOA MELALUI PENDIDIKAN KONSERVASI FAUNA GOA DI GOA KELASI 2, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PELESTARIAN EKOSISTEM GOA MELALUI PENDIDIKAN KONSERVASI FAUNA GOA DI GOA KELASI 2, PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1 PELESTARIAN EKOSISTEM GOA MELALUI PENDIDIKAN KONSERVASI FAUNA GOA DI GOA KELASI 2, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Agung Gunawan, A Fajar Surahman, Asri Joni, Akbar Sumirto, Septian Wiguna Departemen Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan BAB III METODOLOGI PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dengan ketinggian 700-1000 m dpl,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FAUNA GUA KARST DI PANGANDARAN JAWA BARAT

KEANEKARAGAMAN FAUNA GUA KARST DI PANGANDARAN JAWA BARAT KEANEKARAGAMAN FAUNA GUA KARST DI PANGANDARAN JAWA BARAT MARYANTI SETYANINGSIH Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof.DR. Hamka Jakarta. ABSTRAK

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif. Bertujuan untuk membuat deskripsi, atau gambaran mengenai kelimpahan dan keragaman anggrek di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Menurut Suryana (2010, hlm 18) Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversity yang kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut Asti, (2010, hlm. 1) bahwa Diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia (Rahmawaty,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berada dalam sebuah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah sudah seharusnya menjadikan suatu hal yang membanggakan dan patut untuk disyukuri,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PERMUKAAN TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI LERENG GUNUNG LAWU KALISORO, TAWANGMANGU. Skripsi

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PERMUKAAN TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI LERENG GUNUNG LAWU KALISORO, TAWANGMANGU. Skripsi KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PERMUKAAN TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI LERENG GUNUNG LAWU KALISORO, TAWANGMANGU Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh:

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Nopember 2010 di PPKA Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Lokasi pengambilan data kupu-kupu di PPKA Bodogol, meliputi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu lingkup pengelolaan lingkungan hidup adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam mengenai keberagaman makhluk hidup,

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif. Menurut Sugiyono (2012, hlm.13) penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desember hingga Maret. Eksplorasi berupa pengumpulan koleksi Bryophyta

BAB III METODE PENELITIAN. Desember hingga Maret. Eksplorasi berupa pengumpulan koleksi Bryophyta 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama empat bulan yaitu pada bulan Desember hingga Maret. Eksplorasi berupa pengumpulan koleksi Bryophyta

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebun raya memegang peranan yang penting bagi sektor holtikultur dengan kontribusinya dalam koleksi, seleksi dan propagasi dari varietas baru tumbuhan (Dosman dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia. 1

BAB III METODE PENELITIAN. fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia. 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif ekploratif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik.

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik. 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap serangga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda

BAB III METODE PENELITIAN. metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang strategis karena terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropis cukup unik dengan keanekaragaman jenis

Lebih terperinci

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup B. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Menginventarisasi karakter morfologi individu-individu penyusun populasi 2. Melakukan observasi ataupun pengukuran terhadap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang, lipan, kaki seribu dan hewan mirip lainnya. Arthropoda adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode observasi. odorata dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda berdasarkan bentuk lahan,

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode observasi. odorata dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda berdasarkan bentuk lahan, BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dan dilakukan dengan menggunakan metode observasi. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

JENIS-JENIS LEBAH TRIGONA BERDASARKAN PERBEDAAN KETINGGIAN TEMPAT DI BALI

JENIS-JENIS LEBAH TRIGONA BERDASARKAN PERBEDAAN KETINGGIAN TEMPAT DI BALI JENIS-JENIS LEBAH TRIGONA BERDASARKAN PERBEDAAN KETINGGIAN TEMPAT DI BALI Skripsi Oleh: Niko Susanto Putra 1108305020 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² ¹Mahasiswa Program S1 Biologi ²Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pengambilan sampel secara langsung dari lokasi pengamatan.

BAB III METODE PENELITIAN. pengambilan sampel secara langsung dari lokasi pengamatan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci