KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL, KEPULAUAN SERIBU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL, KEPULAUAN SERIBU"

Transkripsi

1 KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL, KEPULAUAN SERIBU AI WINARSIH JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H

2 KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL, KEPULAUAN SERIBU SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta AI WINARSIH JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H i

3 KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL, KEPULAUAN SERIBU SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh: AI WINARSIH Pembimbing I Menyetujui, Pembimbing II Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Paskal Sukandar, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Dasumiati, M.Si NIP ii

4 PENGESAHAN UJIAN Skripsi yang berjudul Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu yang ditulis oleh Ai Winarsih, NIM telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam Seminar Hasil Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Biologi. Penguji I Menyetujui, Penguji II Dr. Iwan Aminudin, M.Si Narti Fitriana, M.Si NIP. NIDN Pembimbing I Pembimbing II Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Paskal Sukandar, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi Dr. Dasumiati, M.Si NIP iii

5 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Ciputat, Juli 2015 Ai Winarsih iv

6 ABSTRAK Ai Winarsih. Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta Pulau Tidung Kecil berpotensi sebagai habitat bagi burung karena kondisi hutan lebih baik dibandingkan Pulau Tidung Besar. Habitat burung di Pulau Tidung Kecil berpotensi mengalami gangguan akibat penebangan dan pembakaran kawasan bervegetasi untuk tujuan pembangunan dan aktifitas kunjungan wisatawan. Studi tentang burung penting, dengan melakukan studi mengenai burung dan habitatnya dapat diketahui perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung dan pemanfaatan vegetasi sebagai habitat burung di Pulau Tidung Kecil. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2015 di Pulau Tidung Kecil, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Data burung dikumpulkan dengan metode kombinasi IPA (Index Point of Abundance) dan dengan metode jalur (transect) pada 9 titik pengamatan. Diperoleh 29 spesies burung dari 19 famili (metode IPA), dan 31 spesies burung dari 20 famili (metode daftar jenis MacKinnon). Terdapat 24 jenis burung penetap dan 7 jenis burung migran. Nilai indeks keanekaragaman di Pulau Tidung Kecil sebesar 2,39 (medium). Nilai indeks kemerataan jenis yang didapat sebesar 0,7 (tinggi). Nilai kekayaan jenis burung sebesar 4,31(tinggi). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) merupakan jenis pohon yang paling sering dimanfaatkan oleh burung yaitu sebanyak 76,47%. Strata tiga adalah strata yang paling banyak dimanfaatkan oleh burung. Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) 100% burung di Pulau Tidung Kecil tergolong Least concern atau beresiko rendah. sebanyak 7 jenis burung yang dilindungi Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 dan Tidak terdapat jenis burung yang dilindungi oleh CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora). Kata Kunci : Komunitas burung, keanekaragaman, vegetasi, status konservasi v

7 ABSTRACT Ai Winarsih. Bird Communities in Tidung Kecil Island, Thousand Islands. Undergraduate Thesis. Department of Biology. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta Tidung Kecil Island had potential as bird s habitat because the condition of forest better than Tidung Besar. Bird s habitat in Tidung Kecil Island also had bad potential because of logging and burned in vegetation areal for build and for activity of tourism. Study about bird were very important because we could know the change that happened in one ecosystem. The purposed of this research was to know the variety of bird and usefully of vegetation as bird s habitat in Tidung Kecil Island. This researched hold on January until March 2015 in Tidung Kecil Island, Thousand Island, Jakarta. This research carried out by combination of IPA (Index Point Of Abundance) method and transect method that divided into 9 point along transect. The result of researched were 29 species of bird from 19 family with IPA method and 31 species of bird from 20 family with Mackinnon list method. Composition of bird species include of 24 resident bird species and 7 migrant bird species. The number of variety species index was 2,39 (medium). Evenness index value was 0,7 (high). The number of species richness was 4,31(high). The species of tree that often used by bird was Casuarina equisetifolia (76,47%). The most used base of vertical level tree by bird in Tidung Kecil Island was level three. Conservation status in Tidung Kecil Island based on IUCN were 100% (least concern). Based of PP No.7 year 1999, there were 7 species of bird that were protected. There were no species of bird that were protected by CITES. Keywords : community of bird, variety, vegetation, conservation status vi

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia-nya. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak baik kepada masyarakat, peneliti, maupun instansi pemerintahan yang terkait. Peran serta dukungan berbagai pihak merupakan bantuan yang tak ternilai bagi penulis, oleh karena itu penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Ace Cepiyana dan Ibunda Idar Darsini yang memberikan kasih sayang, dukungan dan doa sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dan dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi dan Etyn Yunita, M.Si selaku sekretaris Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku Pembimbing I dan Paskal Sukandar, M.Si selaku Pembimbing II yang telah sabar membimbing, memberikan saran, arahan dan motivasi kepada penulis.kepada penulis. vii

9 5. Dr. Megga Ratnasari pikoli, M.Si selaku penguji I dan Priyanti, M.Si selaku penguji II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Seluruh dosen Program Studi Biologi, atas semua ilmu yang telah diberikan semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan dapat diamalkan sebagai amal jariyah. 7. Suku Dinas Pertanian di Pulau Tidung Kecil, Walid Rumblat, S.Si, Medina Deanti Sari, Meidi Yanto, Sinta Ramadhania, Mas Kurnadi, Ibu Titik Sari dan Ka Brian yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. 8. Keluarga besar penulis serta Dennis Nur Hidayat dan Rafa Fadhila sebagai adik kandung penulis yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis. 9. Medina Deanti Sari, Shelfila Fitriani, Putri Sintya Dewi, Naylul Izzah, Aldha Rizki Utami dan Nurhafizoh sebagai teman-teman terbaik dalam menempuh pendidikan di Biologi UIN Jakarta. 10. Teman-teman Program Studi Biologi Angkatan 2011, Himbio Oryza sativa, dan KPB Nectarinia yang selalu memberikan do a dan semangat kepada penulis. Semoga Allah membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis, amin. Skripsi ini tak luput dari kesalahan, oleh karena itu diharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk dapat menjadi pelajaran bagi penulis. Jakarta, Juli 2015 (Ai Winarsih) viii

10 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... ii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Wilayah Kepulauan Seribu Kekayaan dan Keanekaragaman Jenis Burung Komunitas Burung Ekologi Burung Habitat Burung Status Konservasi dan Status Perlindungan Jenis Burung BAB III METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Cara Kerja Pengumpulan Data Burung Pemanfaatan Vegetasi oleh Burung Analisis Data Indeks Keanekaragaman Indeks Kemerataan Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Penggunaan Vegetasi Sebagai Habitat Burung Sebaran Burung Menurut Strata Vegetasi Komposisi Jenis dan Status Perlindungan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Habitat Komposisi dan Kekayaan Jenis Burung Keanekaragaman Jenis Burung ix

11 4.4. Penggunaan Vegetasi Sebagai Habitat Burung Pemanfaatan Strata Vegetasi oleh Burung Status Perlindungan Jenis Burung BAB V PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Peta Penyebaran Titik Pengamatan di Pulau Tidung Kecil Gambar 2. Kombinasi Metode IPA Dan Metode Jalur Gambar 3. Pembagian Strata Vegetasi Pohon Gambar 4. Kekayaan jenis dengan menggunakan daftar jenis MacKinnon Gambar 5. Cerek tilil Gambar 6. Cerek kernyut dan Trinil ekor kelabu Gambar 7. Gajahan pengala Gambar 8. Kangkok besar Gambar 9. Jenis Vegetasi yang Dimanfaatkan Burung Gambar 10. Aktifitas Burung di Pulau Tidung Kecil Gambar 11. Pemanfaatan vegetasi sebagai aktifitas bersarang Gambar 12. Kekep Babi xi

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Persentase Jumlah Individu Setiap Jenis yang Ditemukan di Pulau Tidung Kecil Tabel 2. Jenis Burung Berdasarkan Strata Vertikal Tegakan Pohon Tabel 3. Komposisi dan Status Perlindungan xii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Titik kordinat pengamatan Lampiran 2. Kondisi habitat burung di Pulau Tidung Kecil bagian barat Lampiran 3. Kondisi habitat burung di Pulau Tidung Kecil bagian tengah Lampiran 4. Kondisi habitat burung di Pulau Tidung Kecil bagian timur Lampiran 5. Rekapitulasi jumlah individu burung pada setiap pengamatan Lampiran 6. Data pemanfaatan vegetasi oleh burung Lampiran 7. Data aktifitas burung Lampiran 8. Jenis-jenis burung yang ditemukan di Pulau Tidung Kecil Lampiran 9. Data jenis pohon di Pulau Tidung Kecil xiii

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Seribu terdiri dari banyak pulau, salah satunya adalah Pulau Tidung. Secara administratif Pulau Tidung termasuk kedalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pulau Tidung terbagi atas dua gugusan pulau yaitu Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Sebagai salah satu pulau yang terdapat pada gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Tidung Kecil potensial sebagai habitat bagi burung karena kondisi hutan lebih baik dan tingkat pembangunan masih rendah dibandingkan dengan Pulau Tidung Besar (Pemprov DKI, 2010). Pulau-pulau di Kepulauan Seribu termasuk Pulau Tidung Kecil umumnya dihuni oleh berbagai jenis burung terutama jenis-jenis burung air dan burung pantai. Menurut Mardiastuti (1992), sebanyak 15 jenis burung air ditemukan di Pulau Rambut dan populasi terbesar didominasi oleh famili Heron (Ardeidae) dan Cormorant (Phalacrocoracidae), dimana Pulau Rambut merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu merupakan kumpulan pulau yang menunjang keberlangsungan hidup suatu burung. Umumnya habitat di Kepulauan Seribu digunakan oleh burung sebagai tempat beristirahat, bersarang, tempat berkembang biak, dan tempat berlindung dari ancaman predator. Habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran (Mardiastuti, 1992). Sebagai salah satu komponen penting ekosistem, burung mempunyai hubungan timbal balik dan saling tergantung dengan lingkungannya. Dengan 1

16 2 demikian, burung dapat dimanfaatkan langsung atau tidak langsung sebagai bioindikator lingkungan (Hernowo dan Prasetyo, 1989). Namun, keberadaan habitat burung di Pulau Tidung Kecil berpotensi mengalami gangguan akibat penebangan dan pembakaran kawasan bervegetasi untuk tujuan pembangunan (Andam, 2012) dan aktifitas kunjungan wisatawan. Akibatnya, areal-areal bervegetasi yang merupakan habitat burung yang paling penting, semakin berkurang sehingga dikhawatirkan banyak jenis burung yang akan kehilangan habitatnya. Beberapa hasil penelitian seperti Kuswanda (2010) menunjukkan bahwa perubahan struktur dan komposisi vegetasi telah menurunkan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung di suatu kawasan. Studi tentang burung penting, karena dengan melakukan studi mengenai burung dan habitatnya dapat diketahui perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem karena burung merupakan jenis yang dapat merespon perubahan yang terjadi pada suatu kawasan (Ajie, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai keanekaragaman jenis burung burung serta pemanfaatan vegetasi oleh burung dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan lahan di kawasan tersebut, agar kelestarian burung dan fungsi ekosistem di kawasan tersebut dapat dipertahankan Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keanekaragaman burung yang ada di Pulau Tidung Kecil?

17 3 2. Bagaimanakah pemanfaatan vegetasi sebagai habitat oleh burung-burung yang ada di Pulau Tidung Kecil? 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui keanekaragaman jenis burung yang ada di Pulau Tidung Kecil. 2. Mengetahui pemanfaatan vegetasi sebagai habitat burung di Pulau Tidung Kecil Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Memberikan kontribusi berupa data yang dapat digunakan untuk pelestarian satwa burung, dengan menjaga ketersediaan habitatnya. 2. Memberi informasi dan masukan bagi pemerintah daerah Kepulauan Seribu dalam mengelola kawasan wisata Pulau Tidung dengan memperhatikan aspek lingkungan terutama sebagai habitat burung.

18 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Wilayah Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni Penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih ha, terletak di lepas pantai Utara Jakarta dengan posisi memanjang dari utara ke selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan atau paling dekat dengan jarak 37 mil laut dari Jakarta. Sedangkan kawasan paling utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta (Noor, 2003). Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot/jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot/jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot/jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara (Noor, 2003). Musim hujan biasanya terjadi antara bulan Nopember-April dengan hujan antara hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari dan total

19 5 curah hujan tahunan sekitar 1700 mm. Musim kemarau kadang-kadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari hujan antara 4-10 hari/bulan. Curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus (Noor, 2003). Sebagai salah satu pulau tujuan wisatawan, Pemerintah DKI mendukung pengembangan wilayah di Pulau tidung dengan membangun sarana dan prasarana. Guna mendukung pengembangan wisata di Pulau Tidung, maka dibangun jembatan penghubung antara Pulau Tidung Besar sebagai pulau pemukiman ke Pulau Tidung Kecil yang diperuntukan sebagai hutan lindung. Jembatan ini dibangun oleh Pemerintah Kabupaten dalam rangka membuka akses antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil dimana pengembangan di masa depan akan diarahkan pada kawasan hutan lindung yang mampu menciptakan kawasan edukasi tidak saja bagi wisatawan, akan tetapi juga bagi riset dan penelitian. Pulau Tidung sering dikunjungi oleh para peneliti untuk melakukan berbagai kegiatan penelitian. Berdasarkan kondisi yang ada, Pulau Tidung berpotensi untuk dikembangkan sebagai tujuan pusat edukasi kelautan maupun tujuan wisata umum berbasis pertanian mengingat aksesnya yang terhubung antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil (Pemprov DKI, 2010). Kawasan Kepulauan Seribu memiliki beberapa pulau yang menjadi habitat bagi burung seperti Pulau Rambut. Pulau Rambut merupakan kawasan yang habitatnya paling baik untuk keberadaan burung di Kepulauan Seribu. Pulau Rambut merupakan salah satu habitat burung terutama burung air (merandai) dan sebagai tempat persinggahan burung migran. Tercatat 56 jenis burung yang dijumpai di Pulau Rambut. Burung- burung yang terdapat di Pulau Rambut secara umum terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok burung air (18 jenis) dan

20 6 kelompok bukan burung air (38 jenis) (Onrizal, 2004). Pulau Rambut memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Hutan campuran merupakan habitat burung di Pulau Rambut yang berfungsi sebagai tempat sarang, tempat kawin, tempat berkembangbiak, tempat membesarkan anak, tempat berlindung dari ancaman predator, dan tempat beristirahat (Onrizal, 2004). Habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran Mardiastuti (1992). Pohon yang dijadikan sebagai tempat bersarang di Pulau Rambut adalah Sterculia foetida, R. mucronata, Ficus timorensis dan Excoecaria agallocha (Ayat, 2002). Habitat burung air di Pulau Rambut terdiri dari hutan campuran dan hutan payau yang terbagi ke dalam hutan payau primer dan sekunder. Di hutan pantai (Sterculia-Dysoxylum) dihuni oleh cangak abu, pecuk ular, bluwok dan kowak maling. Di hutan payau primer yang didominasi Rhizophora mucronata dihuni oleh pecuk, roko-roko, pelatuk besi, kowak maling, kuntul kecil, kuntul kerbau dan cangak abu. Hutan payau sekunder (CeriopsXylocarpus-Scyphiphora) dihuni oleh cangak merah, kuntul besar, kuntul kecil,kuntul sedang dan kowak maling (Mahmud, 1991) Kekayaan dan Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman (diversity) yaitu banyaknya jenis yang biasanya diberi istilah kekayaan jenis (species richnes) (Krebs, 2013). Pengukuran keanekaragaman pada setiap tipe habitat digunakan untuk mengetahui perbedaan jenis yang mengisi suatu habitat tertentu. Menurut Alikodra (2002), pengukuran keanekaragaman jenis (diversity) dipergunakan untuk membandingkan komposisi

21 7 jenis dari ekosistem yang berbeda, misalnya perbandingan antara masyarakat mamalia kecil dari dua kawasan, perbedaan masyarakat burung di dalam dua macam hutan, atau jenis-jenis intevertebrata sebelum dan sesudah adanya proyek yang mengubah keadaan aliran sungai. Odum (1993) mengatakan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan individu tiap jenis. Keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran meliputi kekayaan jenis (species richness), keanekaragaman jenis (diversity), dan kemerataan jenis (evenness). Pada umumnya kekayaan jenis dibuat dalam indeks keanekaragaman. Menurut Bibby et al. (2000), semakin tinggi indeks keanekaragaman jenis maka semakin tinggi pula jumlah jenis dan kesamarataan populasinya. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa komunitas burung yang kekayaan jenisnya lebih tinggi dan kesamarataannya lebih rendah memiliki indeks keanekaragaman yang sama dengan komunitas yang keanekaragamannya yang lebih rendah dan kesamarataannya tinggi. Keanekaragaman jenis burung berbeda pada setiap habitat, tergantung kondisi lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Krebs (2013) menyebutkan bahwa ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keanekaragaman jenis suatu komunitas yaitu waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, dan kestabilan lingkungan dan produktivitas. Menurut Sutopo (2008), informasi tentang kekayaan jenis burung dapat diperoleh dengan menggunakan metode daftar jenis. MacKinnon et al.(2010) menyatakan bahwa daftar jenis burung menjadi jauh lebih berguna jika dapat menunjukkan kelimpahan jenis. Beberapa keuntungan dengan menggunakan daftar jenis yaitu

22 8 tidak terlalu bergantung pada pengalaman dan pengetahuan pengamat, intensitas pengamatan, dan keadaan cuaca. Indeks kekayaan jenis Shannon-Wiener merupakan ukuran nisbah keanekaragaman yang paling sering digunakan oleh para ahli ekologi untuk mengukur keanekaragaman jenis satwaliar (Sutopo, 2008), karena menurut Magurran (1988) pertimbangan yang mendasari penggunaan indeks tersebut adalah kepekaan terhadap perubahan ukuran unit contoh (rendah sampai sedang), kemampuan mendeteksi perbedaan antara unit contoh atau lokasi (sedang sampai tinggi) dan kemudahan dalam proses perhitungan (semuanya sederhana) Komunitas Burung Komunitas adalah seluruh populasi jenis yang hidup dalam ruang dan waktu yang sama (Begon et al., 2006; Magurran, 1994). Menurut Odum (1993), komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu, saling berinteraksi dan bersama-sama membentuk tingkat tropik dan metaboliknya. Sebagai suatu kesatuan, komunitas mempunyai seperangkat karakteristik yang hanya mencerminkan keadaan dalam komunitas saja, bukan pada masing-masing organisme pendukungnya saja. Komunitas burung adalah kelompok dari beberapa individu jenis burung yang hidup bersama dalam waktu dan ruang yang sama (Wiens, 1989). Komunitas burung dipengaruhi faktor topografi, sejarah dan pengaruh dari pulau biogeografi, perubahan musim sumberdaya alam dan iklim, keanekaragaman habitat, perubahan habitat dan pengaruh pesaingnya seperti burung dan kelompok hewan lain (Rahayuningsih et al., 2007). Menurut Kerbs (2013) struktur komunitas

23 9 memiliki lima tipologi atau karakteristik, yaitu keanekaragaman, dominasi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik. Kaban (2013) menemukan komunitas burung di tegakan puspa yang tersusun dari 11 kategori kelompok guild. Kategori kelompok guild tersebut adalah pemakan daging, pemakan buah dibagian tajuk, pemakan buah-buahan yang berserakan di lantai hutan, pemakan biji-bijian, pemakan serangga di bagian tajuk pohon, pemakan serangga di bagian dahan atau ranting, pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, pemakan serangga sambil melayang, pemakan serangga dan penghisap nektar, pemakan serangga dan buah-buahan, pemakan invertebrate dan vertebrata. Berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan oleh Kaban (2013), pada tegakan puspa, didominasi oleh pemakan serangga yang aktif mencari makan di bagian tajuk pohon (10 jenis), sedangkan kategori pemakan serangga sambil melayang, pemakan buah di bagian tajuk, pemakan buah-buahan yang berserakan di lantai hutan, dan pemakan biji-bijian merupakan kategori yang jumlah jenisnya paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis. Berdasarkan jumlah individu, kategori pemakan serangga sekaligus penghisap nektar mempunyai jumlah individu lebih banyak dibandingkan kategori guild yang lainnya (116 individu), sedangkan pemakan daging merupakan kategori yang mempunyai jumlah individu paling sedikit hanya ditemukan lima individu Ekologi Burung Burung merupakan komponen penting ekosistem hutan. Satwaliar berperan dalam menjaga kelestarian hutan terutama sebagai pengontrol hama,

24 10 pemencar biji (seed disperser), dan penyerbuk (polinator). Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya (Rombang dan Rudyanto, 1999). Alikodra (2002) menjelaskan bahwa tingginya keanekaragaman jenis burung di suatu tempat didukung oleh keanekaragaman habitat. Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung. Kemampuan areal menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo, 1985). Keberadaan burung di suatu habitat sangat berkaitan erat dengan faktorfaktor fisik seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta faktor-faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista, 1988). Alikodra (2002) menjelaskan, bahwa habitat merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik secara fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Tumbuhan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan burung, karena selain sebagai tempat bernaung dan beristirahat, beberapa bagian dari tumbuhan seperti biji, buah, bunga dan jaringan vegetatif menjadi sumber pakan. Habitat terdiri dari kumpulan sumber daya yang didefinisikan sebagai tipe komunitas tumbuhan berbeda (Hunter et al., 1992). Tidak ditemukannya suatu jenis hewan termasuk burung di suatu habitat menurut Krebs dan Davies (1993)

25 11 disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu ketidak cocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit, pesaing) dan faktor kimia-fisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan Habitat Burung Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu yang dijadikan tempat suatu jenis atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup didalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Habitat merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung (Bibby et al., 2000) Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat bukan hutan. Bentuk habitat yang baik untuk kelangsungan hidup burung adalah habitat yang mampu melindungi dari gangguan maupun menyediakan kebutuhan hidupnya (Hernowo dan Prasetyo, 1989). Komposisi dan struktur vegetasi juga mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat di suatu habitat. Jenis tanaman dan ekosistem yang beragam lebih mampu mendukung kebutuhan burung karena mempunyai komponen yang lebih lengkap (Hernowo dan Prasetyo, 1989). Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis burung belum tentu sesuai untuk kehidupan jenis burung yang lain, karena pada dasarnya setiap jenis burung memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda (Irwanto, 2006).

26 12 Suatu habitat yang baik untuk perkembang biakan burung biasanya adalah habitat yang dapat memberikan potensi pakan yang cukup besar (Perrins dan Birkhead, 1983). Ketersediaan makanan merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu jenis burung, banyak jenis mencari makan pada areal yang lebih luas dan biasanya mereka memperoleh pakan dari daerah yang telah tereksploitasi (Harris dan Harris, 1997). Menurut Alikodra (2002), kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi, penyebaran dan produktifitas satwaliar termasuk burung. Pemilihan habitat terbentuk karena beberapa organisme yang tinggal disuatu tempat yang dihuni lebih mendukung untuk menghasilkan banyak keturunan yang ditinggalkannya bila dibandingkan dengan organisme-organisme di tempat lain. Ketika habitat berubah, beberapa jenis tidak mampu beradaptasi dengan cepat dan oleh karena itu hanya sebagian habitat yang potensial untuk dijadikan tempat tinggalnya (Krebs, 2013). Sejumlah studi telah menunjukkan kuatnya pengaruh struktur vegetasi terhadap distribusi jenis burung. Selain itu, manusia dapat mempengaruhi burung-burung dan habitatnya secara langsung melalui modifikasi vegetasi dan perburuan (Bibby et al., 2000). Adanya berbagai tipe vegetasi dengan berbagai bentuk penutupan lahan dan ketinggian suatu wilayah kecenderungan akan memberikan pengaruh terhadap jenis dan perilaku satwa yang dijumpai (MacArthur dan Connel, 1966). Struktur vegetasi pada areal hutan tanaman terbagi menjadi dua strata yaitu tumbuhan bawah dan tumbuhan penutup (Utari, 2000). Penelitian Kaban (2013) yang dilakukan di Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat, terdapat burung-burung yang berada di tegakan pohon agathis

27 13 menyebar pada tajuk atas sampai lantai hutan. Jenis burung yang dijumpai pada lantai hutan sebanyak 11 jenis antara lain Paok Pancawarna ( Pitta guajana) dan Gelatikbatu Kelabu (Parus major). Ditemukan dua jenis burung pada bagian batang, 13 jenis pada tajuk bawah, 11 jenis pada tajuk tengah, dan 17 jenis pada tajuk atas Status Konservasi dan Status Perlindungan Jenis Burung Jenis-jenis burung di Pulau Tidung Kecil perlu diketahui status keterancamannya berdasarkan beberapa status perlindungan. Terdapat tiga kategori status perlindungan yang berlaku di wilayah Indonesia menurut Sukmantoro et al. (2007) yaitu: 1. Status keterancaman menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Kategori status keterancaman mengacu pada Redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) 2007 yang meliputi CR= Critically Endangered (sangat terancam punah), EN = Endangered (terancam punah) contonya adalah burung Ciconia stormi atau bangau storm, Vurnerable (terancam) contohnya adalah burung Pycnonotus zeylanicus atau Cucak Rawa, NT = Near Threatened (mendekati terancam) contohnya adalah burung Anhinga melanogaster atau pecuk ular asia NE = Not Evaluated (belum dievaluasi ), DD = Data Deficient (data kurang), EX= Extinct (punah), EW= Extinct in the Wild (punah di dalam), LC= Least Concern (tidak dicantumkan dalam daftar) contohnya adalah burung Haliastur Indus atau elang bondol.

28 14 2. Status Peraturan Perdagangan Internasional menurut CITES CITES (Convention on International Trade of Endangered Jenis of Wild Fauna and Flora) mengelompokkan kategori-kategori jenis dalam 3 Appendix (Lampiran) yaitu Appendix I ( semua jenis yang terancam punah dan berdampak apabila diperdagangkan. Perdagangan hanya diijinkan dalam kondisi tertentu misalnya untuk riset ilmiah). Appendix II (jenis yang statusnya belum terancam tetapi akan terancam punah apabila dieksploitasi berlebihan) contohnya adalah burung kangkareng perut hitam, kangkareng perut putih, dan cucak rawa. Appendix III (seluruh jenis yang juga dimasukan dalam peraturan perdagangan dan Negara lain berupaya mengontrol dalam perdagangan tersebut agar terhindar dari eksploitasi yang tidak berkelanjutan). 3. Status Perlindungan dan Hukum Negara Republik Indonesia Status perlindungan jenis menurut tata aturan di Indonesia mengacu pada UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Pycnonotus zeylanicus merupakan contoh burung yang masuk pada perlindungan UU No. 5/1990,. PP No. 7/1999, PP No. 8/1999.

29 15 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Pulau Tidung Kecil, Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian dimulai pada bulan Januari hingga bulan Maret Pengamatan dilakukan pada waktu pagi hari pukul WIB dan sore hari pukul WIB dengan asumsi burung mulai aktif melakukan aktifitas pada rentang waktu ini. Arah pengamatan Titik pengamatan Gambar 1. Peta penyebaran titik pengamatan di Pulau Tidung Kecil (Sumber: Badan Informasi Geospasial tahun 1999 dengan software Arcview 3.3)

30 Alat dan Bahan Objek penelitian yang diamati adalah jenis-jenis burung yang berada di Pulau Tidung Kecil. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah binokuler, buku panduan lapangan burung burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (MacKinnon et al., 2010), Kamera Digital SLR Nikon D3200 with lens dan Nikon Coolpix P530 40X, kompas, counter, GPS (Global Positioning System) Garmin etrex Vista HCx dan jam tangan digital Cara Kerja Pengumpulan Data Burung Survei pendahuluan dilakukan terlebih dahulu untuk mengenal lokasi atau habitat yang akan menjadi tempat pengamatan, kemudian untuk penelusuran jalur dan penentuan titik pengamatan, dan mengenal jenis-jenis burung yang umum dijumpai di titik pengamatan. Pengumpulan data burung dilakukan dengan metode kombinasi antara metode IPA (Index Point of Abundance) dan dengan metode jalur (transect) (Bibby et al., 2000). Metode ini adalah metode yang dilakukan dengan mengikuti jalur yang telah ada dan berhenti di setiap jarak tertentu (Gambar 2). Metode ini dilakukan dengan berjalan sepanjang jalur dari ujung barat hingga ke ujung timur Pulau Tidung Kecil (Gambar 1). Dibuat 9 titik pengamatan di sepanjang transek, kemudian titik titik tersebut dibagi dua jalur pengamatan, jalur 1 meliputi bagian barat hingga tengah pulau sebanyak 4 titik, sedangkan jalur 2 meliputi pesisir bagian tengah hingga bagian ujung timur sebanyak 5 titik (Lampiran 1). Setiap titik dilakukan pengamatan selama 10 menit dengan jarak

31 17 pengamatan ke kiri dan kanan sejauh 25 meter dan jarak antar titik sejauh 100 meter, agar tidak terjadi pengulangan pencatatan. Data penelitian yang dikumpulkan diantaranya jumlah jenis burung, jumlah individu burung pada lokasi pengamatan, waktu penjumpaan terhadap jenis burung, dan titik kordinat pengamatan. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan untuk dianalisis lebih lanjut. R R (Radius) : 25 meter Gambar 2. Kombinasi Metode IPA dan Metode Jalur Untuk mengetahui kekayaan jenis burung digunakan metode daftar jenis MacKinnon atau yang dikenal juga dengan metode daftar 20 jenis MacKinnon (Tweenty Species List). Menurut MacKinnon (1990) setiap daftar berisi dua puluh jenis burung, jenis berikutnya meskipun sama dapat dicatat lagi pada daftar yang baru. Metode ini dapat digunakan untuk menduga kekayaan jenis burung secara kualitatif di suatu tipe habitat. Dalam penelitian ini dibuat sebanyak sepuluh jenis dalam setiap daftar (Sutopo, 2008) Pemanfaatan vegetasi oleh burung Penyebaran jenis burung menurut struktur vegetasi, dilakukan penggambaran strata vegetasi yang ada disetiap tipe habitat yang diteliti. Pemanfaatan ruang vegetasi oleh burung secara umum terbagi menjadi dua strata

32 18 yaitu tumbuhan bawah dan tumbuhan penutup (Utari, 2000). Rahayuningsih et al. (2007) membagi menjadi 4 strata vegetasi pohon (Gambar 3). Pemanfaatan ruang vegetasi oleh burung secara umum dibagi menjadi bagian tajuk dan bagian batang (Gambar 3). Pembagian tajuk dibagi lagi menjadi bagian tajuk atas, tajuk tengah dan tajuk bawah. Batasan bagian tajuk bagian atas adalah 1/3 bagian atas dari tinggi total tajuk, kemudian bagian bawah adalah 1/3 tinggi total tajuk bagian bawah, dan bagian tengah adalah 1/3 tinggi total tajuk bagian tengah. Untuk pemanfaatan bagian batang dari bagian tajuk bawah hingga berbatasan dengan lantai hutan, sedangkan lantai hutan adalah vegetasi bawah (Kaban, 2013). Gambar 3. Pembagian strata vegetasi pohon (Rahayuningsih et al., 2007) 3.4. Analisis Data Indeks Keanekaragaman Nilai keanekaragaman jenis burung pada tiga lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wienner sebagai berikut:

33 19 H = Nilai indeks Shannon Pi = ni/n Ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Total jumlah individu S = Total jumlah jenis ln = Logaritma natural Nilai keanekaragaman jenis <1,5 dikategorikan rendah, selanjutnya nilai 1,5 hingga 3,5 dikategorikan sedang dan nilai >3,5 menunjukkan keanekaragaman yang tinggi (Magurran, 1988) Indeks Kemerataan Indeks Kemerataan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: E H' S ln = Indeks kemerataan = Indeks keanekaragaman Shannon = Jumlah jenis = Logaritma natural Bila E mendekati 0 (nol), jenis penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari jenis tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila E mendekati 1 (satu), jumlah individu yang dimiliki antar jenis tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem (Ludwig dan Reynolds, 1988) Indeks Kekayaan Jenis berikut: Nilai indeks kekayaan jenis dapat dihitung dengan persamaan sebagai

34 20 R S N ln = Indeks Kekayaan Jenis Margalef = Jumlah Jenis = Jumlah Individu = Logaritma natural Nilai Indeks kekayaan jenis >4,0 dikategorikan baik, selanjutnya nilai 2,5 hingga 4,0 dikategorikan moderat dan nilai <2,5 menunjukkan keanekaragaman yang buruk (Jorgensen et al., 2005) Tingkat Penggunaan Vegetasi Sebagai Habitat Burung Teknik Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penggunaan jenis tumbuhan oleh burung. Setiap jenis tumbuhan digunakan oleh burung sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktifitas, seperti mencari makan (Feeding), membersihkan bulu dan bertengger (Resting), bergerak dan sosial (Social) maupun bersarang (Nest). Penggunaan vegetasi oleh burung dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Ft = Fungsi suatu jenis vegetasi bagi burung St = Banyaknya jenis burung yang menggunakan suatu jenis vegetasi pada plot pengamatan Sp = Seluruh jenis burung pada plot pengamatan yang terdapat suatu jenis vegetasi tersebut Sebaran Burung Menurut Strata Vegetasi Analisis terhadap sebaran burung menurut strata vegetasi dilakukan secara deskriptif dan kualitatif, yaitu dengan menghubungkan antara penggunaan strata

35 21 vertikal vegetasi hutan dengan banyaknya jenis burung di habitat tersebut sehingga dapat diketahui jenis burung yang menggunakan strata tajuk pada masing-masing tipe habitat (Sayogo, 2009) Komposisi Jenis dan Status Perlindungan Status perlindungan burung-burung merujuk pada daftar jenis burung yang dilindungi menurut IUCN Red Data Book, CITES dan PP No 7 tahun Status perlindungan burung tersebut akan dikelompokkan dalam bentuk tabulasi. Tabulasi data yang disajikan berisi informasi komposisi jenis burung dan juga status perlindungannya.

36 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Habitat Gambaran kondisi habitat di lokasi penelitian meliputi kodisi fisik dan vegetasi. Kondisi fisik di lokasi pengamatan dilihat dari cuaca, kecepatan angin, kelembaban dan temperatur. Sedangkan habitat burung di Pulau Tidung Kecil dilihat dari tipe vegetasi yaitu tergolong ke dalam hutan sekunder campuran. Secara umum jenis-jenis vegetasi pada jalur hutan sekunder campuran yang teramati adalah pohon kelapa (Cocos nucifera), kedondong kambing (Spondias sp.), pohon ketapang (Terminalia cattapa), pohon sukun (Artocarpus communis), cemara laut (Casuarina equisetifolia), waru laut (Thespesia populnea) dan pandan laut (Pandanus tectorius). Vegetasi tampak kering dan pada beberapa bagian vegetasi berwarna cokelat. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat dua jenis tegakan yang dominan yaitu pohon kelapa (Cocos nucifera) sebanyak 43,50% dan pohon kedondong kambing (Spondias sp.) sebanyak 18,08%. Pohon kelapa merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan di Pulau Tidung Kecil karena tanaman kelapa merupakan tanaman yang dapat hidup dengan baik di pesisir pantai. Penyebaran pohon kedondong kambing ditemukan hampir di seluruh kawasan Pulau Tidung Kecil Kerapatan vegetasi hutan yang terdapat di Pulau Tidung Kecil tergolong beragam. Hutan bagian timur Pulau Tidung Kecil terdiri dari beberapa vegetasi dengan kerapatan tinggi sehingga jenis burung yang ditemukan lebih beragam

37 23 (Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Susila et al. (2011) bahwa tutupan lahan dan kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi jenis burung yang mendiami suatu kawasan. Habitat burung yang tersedia di Pulau Tidung Kecil diindikasikan sebagai habitat yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan masih dijumpainya beberapa jenis burung yang termasuk indikator baiknya sebuah ekosistem seperti Halcyon chloris yang berasal dari famili Alcedinidae. Suku Alcedinidae memiliki ketergantungan yang besar dengan kawasan perairan sebagai lokasi bersarang (nesting sites), lokasi mencari pakan (feeding sites), dan lokasi istirahat (resting sites) (Swastikaningrum et al., 2012). Hal ini didukung oleh pernyataan Idaman (2007) bahwa Alcedo coerulescens yang berasal dari famili Alcedinidae merupakan jenis burung yang dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan yang baik. Pernyataan tersebut juga serupa dengan Bibby et al. (2008) bahwa burung dapat menjadi indikator yang baik bagi keanekaragaman hayati dan perubahan. Variasi habitat turut mendukung kekayaan jenis burung di Pulau Tidung Kecil. Menurut Howes et al. (2003), kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat tertentu. Oleh karena itu variasi habitat akan memberi relung yang lebih banyak untuk dapat ditempati berbagai jenis burung sehingga burung yang ditemukan lebih bervariasi. Pengumpulan data burung dilakukan selama 3 hari. Cuaca saat dilakukan pengamatan sangat cerah pada hari pertama sehingga pengamatan tidak terhambat namun cuaca pada hari kedua mendung dan sedikit hujan dan kembali cerah pada pengamatan hari terakhir. Cuaca saat dilakukan pengamatan tergolong baik. Hal ini disebabkan musim hujan tertinggi adalah bulan Januari sedangkan penelitian

38 24 dilakukan pada bulan Februari. Nilai rata-rata suhu sebesar 28,43 C, kelembaban 76,2% dan kecepatan angin sebesar 2,23 knot. Menurut Krebs (2013) aktifitas burung dipengaruhi oleh faktor waktu yaitu pagi hari yang suhunya lebih rendah daripada siang hari, lebih banyak melakukan aktifitas. Hal ini merupakan efek setelah lama melakukan istirahat pada malam hari. Sedangkan sore hari merupakan aktifitas dalam mengumpulkan sejumlah energi untuk persiapan menjelang istirahat. Kondisi seperti ini cukup ideal untuk dilakukannya pengamatan karena burung mulai aktif beraktifitas saat pagi hari dan sore hari dengan kondisi fisik yang normal Komposisi dan Kekayaan Jenis Burung Jumlah jenis burung yang didapatkan dengan menggunakan metode IPA adalah 29 jenis burung dari 19 famili (Lampiran 5), sedangkan dengan menggunakan metode daftar jenis Mackinnon didapatkan 31 jenis burung dari 20 famili. Total daftar jenis yang didapatkan dengan metode kekayaan jenis Mackinnon adalah sebanyak 23 daftar jenis (Gambar 4). Jumlah jenis Daftar ke- Gambar 4. Kekayaan jenis dengan menggunakan daftar jenis MacKinnon

39 25 Daftar kekayaan jenis MacKinnon didapatkan hingga mencapai data yang stabil dan tidak meningkat lagi. Pada daftar ke satu sampai daftar ke-21 mengalami penambahan jumlah jenis, tetapi pada daftar ke 21, 22 dan 23 tidak ada penambahan jenis baru yang ditemui. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis burung yang ditemukan telah konstan (stabil). Peningkatan jumlah pertemuan burung dapat dilihat pada Gambar 4. Jenis-jenis yang dijumpai dengan metode daftar jenis MacKinnon tetapi tidak dijumpai dengan metode IPA yaitu trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipe) yang tergolong pada famili Scolopacidae dan cici merah (Cisticola exilis) famili dari Cisticolidae. Hal ini disebabkan trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipe) dan cici merah (Cisticola exilis) hanya dapat dijumpai di waktu tertentu dan dalam populasi yang kecil. Trinil ekor kelabu hanya dapat ditemukan sore hari saat air laut surut dan hanya dalam populasi kecil diantara koloni cerek kernyut (Pluvialis fulva). Hal ini didukung oleh pernyataan MacKinnon et al. (2010) bahwa trinil ekor kelabu biasanya hidup menyendiri atau dalam kelompok kecil, tidak berbaur dengan jenis lain. Cici merah yang teramati hanya satu individu sedang bertengger pada ranting kering di padang ilalang setelah pengamatan pagi dengan metode IPA. Burung ini merupakan burung yang sulit diamati karena sering bersembunyi di daerah padang alang-alang dan rerumputan tinggi, kadang-kadang terlihat bertengger pada batang rumput yang tinggi atau semak-semak (MacKinnon et al., 2010). Berdasarkan asal jenisnya, jenis burung yang ditemukan di Pulau Tidung Kecil terdiri dari 24 jenis burung penetap dan 7 jenis burung migran. Burung migran yang ditemukan diantaranya berasal dari famili Charadriidae yaitu cerek

40 26 tilil (Charadrius alexandrinus) dan cerek kernyut (Pluvialis fulva), famili Scolopacidae yaitu trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipes), trinil pantai (Actitis hypoleucos), gajahan pengala (Numenius phaeopus), famili Cuculidae yaitu kangkok besar (Cuculus sparverioides), dan famili Hirundinidae yaitu layanglayang api (Hirundo rustica) (MacKinnon et al., 2010). Selain burung-burung migran tersebut merupakan burung penetap. Berdasarkan jumlah individu, nilai persentase tertinggi adalah bondol peking (Lonchura punctulata) sebesar 37,63%. Selain itu, terdapat empat jenis yang menempati persentase terendah (0,15%) yaitu kareo padi (Amaurornis phoenicurus), gajahan pengala (Numenius phaeopus), cerek tilil (Charadrius alexandrinus) dan bubut pacar jambul (Clamator coromandus). Persentase jumlah individu setiap jenis burung dapat dilihat pada Tabel 1. Burung penetap seperti bondol peking (Lonchura punctulata) merupakan jenis yang paling banyak ditemui saat pengamatan. Hal ini dikarenakan terdapat habitat yang menunjang kehidupan bondol peking. Habitat yang disukai burung ini adalah semak dan padang ilalang. Bondol peking merupakan burung pemakan biji, sehingga vegetasi semak dan padang ilalang merupakan vegetasi yang memenuhi kebutuhan pakannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Mackinnon et al. (2010) yang menyatakan bahwa bondol peking sering mengunjungi padang rumput terbuka di lahan pertanian, sawah, kebun, dan semak sekunder. Selain itu bondol peking juga memiliki kebiasaan hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, segera bergabung dengan kelompok bondol lainnya. Oleh sebab itu burung ini sering ditemukan dalam jumlah banyak.

41 27 Tabel 1. Persentase jumlah individu setiap jenis yang ditemukan di Pulau Tidung Kecil No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Persentase (%) Cangak abu Ardea cinerea Ardeidae Kokokan laut Butorides striatus 1.67 Kuntul karang Egretta sacra Rallidae Kareo padi Amaurornis phoenicurus Charadriidae Cerek kernyut* Pluvialis fulva Cerek tilil* Charadrius alexandrinus Scolopacidae Gajahan pengala* Numenius phaeopus 0.15 Trinil pantai* Acitis hypoleucos Columbidae Tekukur biasa Streptopelia chinensis 4.25 Bubut Pacar jambul Clamator coromandus Cuculidae Kangkok besar* Cuculus sparverioides 0.61 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Apodidae Walet sarang putih Callocalia fuciphaga Alcedinidae Cekakak sungai Halcyon chloris Hirundinidae Layang-layang api* Hirundo rustica 1.82 Layang-layang batu Hirundo tahitica Pycnonotidae Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster 5.16 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Oriolidae Kepodang kuduk hitam Oriolus chinensis Corvidae Gagak hutan Corvus enca Acanthizidae Remetuk laut Gerygone sulphurea Rhipiduridae Kipasan belang Rhipidura javanica Pachycephalidae Kancilan bakau Pachycephala grisola Artamidae Kekep babi Artamus leucorynchus Nectarinidae Burung madu kelapa Antrhreptes malacensis 6.83 Burung madu sriganti Cyniris jugularis Passeridae Burung gereja erasia Passer montanus Estrildidae Bondol peking Lonchura punctulata Bondol haji Lonchura maja 0.46 Keterangan : (*)Burung migran Burung penetap dengan jumlah individu paling sedikit adalah kareo padi (Amaurornis phoenicurus) dan bubut pacar jambul (Clamator coromandus) yaitu sebanyak 0,15%. Kedua jenis burung tersebut sangat sensitif terhadap keberadaan manusia, sehingga jarang sekali terlihat. Selain itu kedua jenis burung tersebut menyukai habitat semak yang sulit ditemukan langsung dan lebih sering

42 28 diidentifikasi melalui suara. Hal ini didukung oleh pernyataan Mackinnon et al. (2010) bahwa bubut alang-alang memilih belukar, payau, dan daerah berumput terbuka termasuk padang alang-alang. Sedangkan kareo padi umumnya hidup sendirian, kadang-kadang berdua atau bertiga, mengendap-endap dalam semak yang lembab dan tinggal di tempat yang cukup rapat untuk bersembunyi. Selain burung penetap, ditemukan juga jenis burung-burung migran. Burung migran dapat menempati habitat yang dianggap cukup memadai kehidupannya. Ditemukannya burung migran di Pulau Tidung Kecil, menunjukkan bahwa habitat yang terdapat di Pulau Tidung Kecil mampu menyediakan sumberdaya pakan bagi burung migran tersebut. Sumberdaya yang tersedia umumnya cocok disinggahi oleh burung pantai. Oleh sebab itu burung migran yang ditemukan beberapa diantaranya adalah burung pantai. Gambar 5. Cerek tilil (Sumber: Dokumentasi pribadi) Famili Charadriidae merupakan salah satu famili burung pantai (Shorebird). Cerek tilil (Charadrius alexandrinus) yang merupakan burung migran hanya ditemukan sebanyak 0,15% dengan aktifitas mencari makan dan bergabung bersama kelompok cerek kernyut. Pada umumnya cerek tilil

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Foto Dokumentasi Penelitian Keaneakaragaman Jenis Burung

Lampiran 1 Foto Dokumentasi Penelitian Keaneakaragaman Jenis Burung 60 Lampiran 1 Foto Dokumentasi Penelitian Keaneakaragaman Jenis Burung Gambar 10. Stasiun pengamatan pertama penelitian burung pada lahan basah Way Pegadungan yang telah menjadi persawahan pada Bulan April

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung 21 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung Balak Resort Muara Sekampung Kabupaten Lampung Timur. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur selama 9 hari mulai tanggal

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL KEPULAUAN SERIBU

KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL KEPULAUAN SERIBU KOMUNITAS BURUNG DI PULAU TIDUNG KECIL KEPULAUAN SERIBU Paskal Sukandar 1*, Ai Winarsih 2, Fahma Wijayanti 2 1 Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta 2 Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya Desa Fajar Baru Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu. Gambar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi ABSTRAK... xiii ABSTRACT... xiv BAB

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang. 14 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang. Lokasi penelitian disajikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

Kata kunci : Burung, Pulau Serangan, habitat

Kata kunci : Burung, Pulau Serangan, habitat ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekayaan jenis burung di Pulau Serangan, Bali pada bulan Februari sampai Maret tahun 2016. Pengamatan dilakukan sebanyak 20 kali, yang dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 15 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sungai Luar Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang pada bulan April 2014 dapat dilihat pada (Gambar 2). Gambar

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAMPUNG MANGROVE CENTER DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAMPUNG MANGROVE CENTER DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI LAMPUNG MANGROVE CENTER DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Muhammad Irwan Kesuma 1), Bainah Sari Dewi 1) dan Nuning Nurcahyani 2) 1 Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya,

2. TINJAUAN PUSTAKA. kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber termasuk diantaranya daratan, lautan dan sistem akuatik lainnya serta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 22 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 hari (waktu efektif) pada Bulan April 2012 di Pulau Anak Krakatau Kawasan Cagar Alam Kepulauan Karakatau (Gambar

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Spesies Burung di Repong Damar Pekon Pahmungan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Spesies Burung di Repong Damar Pekon Pahmungan 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Spesies Burung di Repong Damar Pekon Pahmungan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa di Repong Damar Pekon Pahmungan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). terluas di Asia (Howe, Claridge, Hughes, dan Zuwendra, 1991).

1. PENDAHULUAN. Indonesia (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). terluas di Asia (Howe, Claridge, Hughes, dan Zuwendra, 1991). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan jenis burung yang tinggi, menduduki peringkat keempat negara-negara kaya akan jenis burung setelah Kolombia, Zaire dan Brazil. Terdapat 1.539

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan dan daratan yang dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di Indonesia

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA. Oleh: Onrizal

ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA. Oleh: Onrizal ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA Oleh: Onrizal Sejarah Kawasan Pulau Rambut merupakan salah satu pulau dari 108 pulau yang menyusun Kepulauan Seribu yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat (Gambar 2).

Lebih terperinci

Tugas Akhir. Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya. Anindyah Tri A /

Tugas Akhir. Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya. Anindyah Tri A / Tugas Akhir Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya Anindyah Tri A / 1507 100 070 Dosen Pembimbing : Indah Trisnawati D. T M.Si., Ph.D Aunurohim S.Si., DEA Jurusan Biologi Fakultas Matematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014 STUDI KEANEKARAGAMAN AVIFAUNA SEBAGAI SARANA EDUKASI EKOWISATA BIRDWATCHING DI KAWASAN WISATA KONDANG MERAK, MALANG SOFYAN ARIS NRP. 1509100004 Dosen Pembimbing Aunurohim, S.Si., DEA Jurusan Biologi Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh

I. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan makanan, binatang peliharaan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan estetika

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi 05 33 LS dan 105 15 BT. Pantai Sari Ringgung termasuk dalam wilayah administrasi Desa

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar 17.000 pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau menjadikan Indonesia berpotensi memiliki keanekaragaman habitat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3).

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). B. Alat dan Objek Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK JENIS DAN KERAPATAN BURUNG DI KAWASAN AGROPOLITAN KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA. Oleh: Zainal Husain, Dharmono, Kaspul

ABSTRAK JENIS DAN KERAPATAN BURUNG DI KAWASAN AGROPOLITAN KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA. Oleh: Zainal Husain, Dharmono, Kaspul 47 ABSTRAK JENIS DAN KERAPATAN BURUNG DI KAWASAN AGROPOLITAN KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA Oleh: Zainal Husain, Dharmono, Kaspul Burung merupakan anggota dari Sub Filum Vertebrata yang termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN 13 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian dilakukan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), TNBBS (Gambar 1). Survei pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Burung Pantai Menurut Mackinnon et al. (2000) dan Sukmantoro et al. (2007) klasifikasi burung pantai adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Fillum : Chordata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian dengan cara melakukan observasi secara

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DIURNAL PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DI DESA SUNGAI DERAS KABUPATEN KUBU RAYA KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DIURNAL PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DI DESA SUNGAI DERAS KABUPATEN KUBU RAYA KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DIURNAL PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DI DESA SUNGAI DERAS KABUPATEN KUBU RAYA KALIMANTAN BARAT Diurnal bird species diversity in Protected Forest Mount Ambawang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci