BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS"

Transkripsi

1 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Gugatan 1. Pengertian gugatan Gugatan merupakan istilah dalam hukum acara perdata yang diperuntukkan bagi pihak yang merasa hak atau kepentingannya dirugikan oleh pihak yang lain, kemudian menuntut haknya itu melalui Pengadilan. Istilah gugatan ini untuk membedakan dakwaan atas suatu tuntutan hak dalam perkara pidana yang diajukan melalui Jaksa Penuntut Umum kepada Pengadilan yang diatur dalam hukum acara pidana. 1 Menurut Darwan Prints, gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya yang diderita oleh penggugat melalui putusan Pengadilan. Sementara itu, Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). 2 1 Moh. Romdlon, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, h Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 52

2 21 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Berkaitan dengan adanya tuntutan hak dalam peradilan perdata. Lazimnya dibagi menjadi peradilan volunter dan peradilan contentieus. Peradilan volunteer diperuntukkan dalam hal terjadinya tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, dan tuntutan itu distilahkan dengan permohonan. Peradilan contentieus diperuntukkan dalam hal terjadinya tuntutan hak yang mengandung sengketa minimum antara dua pihak. Tuntutan itu distilahkan dengan gugatan (dagvaarding) Pokok-pokok isi surat gugatan Persyaratan mengenai isi surat gugatan kita jumpai dalam Pasal 8 No. 3 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat: 4 1. Identitas para pihak (penggugat dan tergugat) atau disebut juga Persona Standi in Judicio. Pada umumnya meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat, pekerjaan, agama, dan tempat tinggal, serta kedudukannya sebagai pihak dalam perkara yang diajukan ke Pengadilan. Hal tersebut 3 Moh. Romdlon, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, h ibid., h. 54

3 22 merupakan syarat formal suatu gugatan untuk menghindari terjadinya error in persona. 2. Posita atau fundamentum petendi Posita merupakan dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian. Pertama, bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa. Kedua, bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduk perkara, sedangkan uraian hukum adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan. Dalam perkara waris, di dalam posita, penggugat harus menegaskan bagaimana kedudukan atau hubungan hukumnya dengan pewaris, serta dijelaskan peristiwa bahwa pata tergugat menguasai dan tidak mau melakukan pembagian atas harta warisan Tuntutan (petitum) Yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan, atau diperintahkan oleh hakim (Pasal 178 ayat 3 HIR). Dalam petitum juga harus jelas, harus sinkron atau sejalan dengan positum/ posita karena jika semua petitum tidak sejalan dengan positum, maka gugatan menjadi cacat dan kabur (obscuur libel) sehingga menyebabkan gugatan tidak dapat diterima. Namun jka hanya sebagian 5 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 195

4 23 petitum yang tidak sejalan dengan positum, maka hal ini tidak mengakibatkan petitum yang bersangkutan tidak diterima. Dalam praktek Peradilan, petitum dapat dibagi dalam tiga bagian: a) Tuntutan pokok atau tuntutan primer Tuntutan ini merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan pada posita. Hakim tidak boleh mengabulkan tuntutan lebih dari apa yang diminta atau dituntut oleh penggugat. 6 b) Tuntutan tambahan Tuntutan tambahan merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan primer. c) Tuntutan subsider Tuntutan subsider diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok dan tuntutan tambahan ini tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan subsider ini berbunyi agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar atau mohon putusan seadil-adilnya atau sering juga ditulis dengan kata-kata Ex Aequo Et Bono. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip beracara yang sederhana menurut sistem HIR/Rbg dan peranan aktif dari hakim. Hakim Ketua masih diperkenankan mengisi kekurangan dari apa-apa yang belum dituntut ataupun memperbaiki kesalahan dari hal-hal yang 6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 32

5 24 diminta dalam petitumnya, asalkan masih sesuai dan tidak menyimpang atau mengubah dari materi pokok perkara. 3. Pihak-pihak dalam gugatan Didalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat dan tergugat. Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya di muka Pengadilan Perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda y (Arab). Penggugat dapat seorang diri ataupun gabungan dari beberapa orang, sehingga muncullah istilah Penggugat 1, Penggugat 2, Penggugat 3 dan seterusnya. Dapat pula menggunakan kuasa sehingga ditemui istilah Kuasa Penggugat 1, Kuasa Penggugat 2, dan seterusnya. Lawan dari penggugat disebut tergugat atau gedagde (Belanda), atau al-mudda a alaih (Arab). Keadaan tergugat juga dapat seorang diri atau gabungan dari beberapa orang atau memakai kuasa, sehingga muncul istilah Tergugat 1, Tergugat 2, Tergugat 3, dan seterusnya. Kuasa Tergugat 1, Kuasa Tergugat 2, Kuasa Tergugat 3, dan seterusnya. Gabungan Penggugat atau Tergugat seperti di atas disebut kumulasi subyektif artinya subyek hukum yang bergabung dalam berperkara. 7 Dalam gugatan perdata yang berbentuk contentiosa, maka yang bertindak sebagai penggugat harus orang yang benar-benar memiliki 7 Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 58

6 25 kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga pihak yang ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan dan kapasitas. Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat dan salah menarik tergugat dapat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil. Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan yang bertindak sebagai penggugat maupun yang ditarik sebagai tergugat, dikualifikasi mengandung error in persona. Error in persona yang mungkin timbul atas kesalahan dan kekeliruan yang disebut di atas, dapat diklasifikasi sebagai berikut: 8 a) Diskualifikasi in person Diskualifikasi in person terjadi, apabila yang bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan penggugat dalam kondisi berikut: 1) Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan Misalnya orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian. Gugatan yang diajukan oleh orang yang tidak berhak atau tidak memiliki hak untuk itu, merupakan gugatan yang mengandung cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persona yaitu pihak yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak punya syarat untuk itu. 2) Tidak cakap melakukan tindakan hukum Orang yang berada di bawah umur atau perwalian, tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali. Gugatan yang mereka ajukan tanpa orang tua atau wali, mengandung cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi karena yang bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat. b) Salah sasaran pihak yang digugat 8 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h

7 26 Bentuk lain error in persona yang mungkin terjadi adalah orang yang ditarik sebagai tergugat keliru ( gemis aanhoeda nigheid). Misalnya yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B. dapat juga terjadi salah sasaran, apabila yang digugat anak di bawah umur atau di bawah perwalian, tanpa mengikutsertakan orang tua atau walinya. c) Gugatan kurang pihak (Plurium litis consortium) Bentuk error in persona yang lain disebut Plurium litis consortium. Pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang mesti ikut bertindak sebagai penggugat atau ditarik sebagai tergugat. Oleh karena itu, gugatan mengandung error in persona dalam bentuk Plurium litis consortium, dalam artian gugatan yang diajukan kurang pihaknya. Dalam gugatan waris seluruh ahli waris harus ikut sebagai pihak dalam suatu perkara dan harus dinyatakan secara jelas identitas serta hubungan dengan pewaris, karena jika ada ahli waris yang tidak ikut sebagai pihak dalam perkara maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini sudah dijelaskan dalam Yurisprudensi MA No. 2438/K/SIP/1980 tanggal 22 Maret 1982 yang menyatakan bahwasanya dalam gugatan waris, gugatan harus dinyatakan tidak diterima dikarenakan tidak semua ahli waris turut sebagai pihak dalam perkara. Ada pula Yurisprudensi Nomor: 1669 K/Sp/1983 tanggal 29/11/1984 yang menyatakan bahwa bilamana dalam gugatan pihak-pihak yang berperkara tidak dicantumkan secara lengkap, maka gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat diterima.

8 27 Bentuk kekeliruan apapun yang terkandung dalam gugatan, samasama mempunyai akibat hukum: a) Gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formil, oleh karena itu gugatan dikualifikasi mengandung cacat formil b) Akibat lebih lanjut, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) B. Tinjauan Umum Tentang Kewarisan 1. Pengertian Dalam beberapa literatur hukum kewarisan Islam, ada beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti fiqh mawa>ris, ilmu fara>id}, dan hukum kewarisan. Perbedaan istilah tersebut timbul karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Adapun pengertian fiqh mawa>ris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing. Titik tekan pada pengertian ini lebih melihat pada obyek dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Hal ini disebabkan kata mawa>ris merupakan bentuk plural dari kata miras yang berarti maurus atau harta peninggalan yang diwarisi. 9 9 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, h. 9

9 28 Fiqh mawa>ris terkadang juga disebut dengan istilah al-fara>id}, bentuk jama dari kata fari>d}ah diambil dari kata fard} yang memiliki arti kewajiban atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dengan ilmu menjadi ilmu fara>id} yang berarti ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya. 10 Selain menggunakan istilah fiqh mawa>ris dan fara>id}, adapula istilah hukum kewarisan Kata kewarisan diambil dari kata asal waris dengan awalan ke dan akhiran an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat pula sebagai proses. Dalam arti pewaris, mengandung makna orang yang menerima harta warisan. Adapun dalam arti proses, mengandung makna hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup. Arti yang terakhir inilah yang digunakan dalam istilah hukum. Apabila dirangkai dengan kata hukum yang berarti seperangkat aturan yang mengikat, dan kata Islam yang berarti dasar yang menjadi rujukan, maka Hukum Kewarisan Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h ibid.

10 29 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 dinyatakan bahwa Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah), pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing. 12 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris berdasarkan ketentuan hukum Islam. 2. Dasar Hukum Kewarisan Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nas} atau teks yang terdapat di dalam al-qur a>n dan hadis Nabi. Adapun ayat-ayat dan hadis Nabi yang secara langsung mengatur masalah kewarisan diantaranya: Ayat al-qur a>n QS. An-Nisaa ayat: 7 12 Tim Penyusun, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, h. 239

11 30 Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. 13 Hadis Nabi Adapun hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan diantaranya adalah hadi>}s Nabi dai Abdullah bin Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Artinya: Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, Wuhaib menceritakan kepada kami dari Ibnu Thowus dari ayahnya dari Ibnu Abbas Rodliyallahu Anhu dari Nabi Sallahu alahi wasallam berkata Berikanlah fara>id} (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat. 1. Ijtihad para ulama Meskipun al-qur a>n dan hadis telah memberikan ketentuan yang rinci mengenai pembagian harta waris, namun dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap halhal yang tidak ditentukan dalam al-qur a>n dan hadis, seperti kewarisan khuns a (banci), kemudian adapula bagian ibu bila hanya bersama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya. 13 Departemen Agama RI, al-qur an dan Terjemahnya, h Al-Bukhari, S}a>hih Bukhari Juz III, h. 384

12 31 3. Unsur-unsur Kewarisan Proses peralihan harta dari orang yang telah mati kepada yang mais hidup dalam hukum kewarisan Islam mengenal tiga unsur, yaitu: pewaris, harta warisan, dan ahli waris. a) Pewaris (muwarris ) Muwarris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah pewaris, sedangkan dalam kamus fiqh disebut muwarris. Bagi muwarris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut kenyataan maupun menurut hukum. b) Harta peninggalan (mauru<s ) Harta peninggalan adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat. 15 c) Ahli waris (wa>ris ) 15 Fathurrahman, Ilmu Waris, h. 36

13 32 Ahli waris adalah orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan Sebab-Sebab Mendapat Waris Menurut Sayyid Sabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena tiga hal, yaitu sebab hubungan kerabat/ nasab, perkawinan, dan wala (pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum Islam lainnya disebutkan ada empat sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu: Kekerabatan atau nasab, Perkawinan, wala (pemerdekaan budak), dan hubungan sesama Islam. a) Kekerabatan atau nasab Salah satu sebab beralihnya kepemilikan harta orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup adalah adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Dalam hal ini adalah hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran. 17 Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu: Furu, yaitu anak turun (cabang) dari si mati 16 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, h Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, h

14 33 2. Us}ul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mati. 3. H>>>>}awasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi dan anak turunnya. b) Perkawinan Apabila seorang laki-laki telah menikahi seorang perempuan dengan akad yang sah menurut Islam, maka diantara keduanya timbul hubungan kewarisan. Dalam artian bila isteri meninggal dunia, maka suami menjadi ahli waris isteri dan begitu pula sebaliknya bila suami meninggal isteri menjadi ahli waris suami c) Wala (pemerdekaan budak) Hubungan sebab wala adalah hubungan waris-mewerisi karena hubungan yang timbul disebabkan seseorang memerdekakan hamba sahayanya. Sekarang ini hubungan wala hanya terdapat dalam tataran wacana saja, hal ini dikarenakan pada masa sekarang eksistensi budak telah ditiadakan. d) Hubungan sesama Islam Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul Ma>l

15 34 yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam. 19 C. Pandangan Umum Tentang Anak Angkat dan Kewarisannya 1. Pengertian Anak Angkat Anak Angkat merupakan hasil dari pengangkatan anak atau adopsi. Adapun pengertian pengangkatan anak dari segi etimologi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, adopt yang artinya mengambil, memungut, dan menjadikan milik sendiri. 20 Dalam istilah Arab disebut juga tabanni dengan arti yang sama, yaitu mengambil anak angkat. 21 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah Adopsi yang berarti pengambilan anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri. Adapun anak yang diadopsi disebut anak angkat. 22 Sedangkan pengertian secara terminologis sebagaimana dikemukakan oleh para ahli seperti Mahmud Syaltut, beliau membedakan pengertian anak angkat menjadi dua, yaitu: 23 Pertama: anak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, hanya saja ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. 19 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, h Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 21

16 35 Kedua: anak angkat adalah mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan atau nasab orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu Adapun menurut Hilman Hadi Kusuma bahwa pengertian anak angkat ditinjau dari hukum adat adalah anak orang lain yang dianggap sebagai anak sendiri oleh orang tua angkatnya dengan resmi menurut adat setempat, dengan tujuan kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. 24 Sedangkan pengertian anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf h adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa anak angkat tidak memiliki hubungan pernasaban dengan orang tua angkatnya. Hubungan yang terjalin hanya bersifat sosial yang memberikan penekanan pada perlakuan sebagai anak dalam pengertian kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan sebgai anak kandung sendiri. Di Indonesia pengangkatan anak haruslah berdasarkan putusan Pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam. 2. Kewarisan Anak Angkat 24 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 149

17 36 Anak angkat sebagaimana menurut ketentuan syariat Islam adalah bukan tergolong ahli waris dari orang tua angkatnya. Namun di sisi lain anak angkat adalah sosok yang mempunyai pertalian hubungan kemanusiaan yang bersifat khusus dalam hal kedekatan hubungan emosional dan saling membantu serta penempatan statusnya dalam keluarga orang tua angkatnya sebagaimana layaknya keluarga sendiri. Walaupun anak angkat bukan tergolong ahli waris orang tua angkatnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan anak angkat dengan orang tua angkat telah terjalin baik dalam keadaan suka maupun duka, sehingga hal ini memberikan motifasi Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum materiil untuk memberi hak kepada anak angkat dengan cara mengkonstruksi wasiat wajibah sebagai solusi yang memberi hak dan kedudukan anak angkat untuk memperoleh bagian harta orang tua angkatnya. Adapun bentuk konstruksi tersebut dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi: 25 Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan suatu hak dan kedudukan ahli waris antara anak angkat dan orang tua angkat dalam bentuk wasiat wajibah yang tidak boleh melebihi dari 1/3 bagian harta. Meskipun penetapan hak dan kedudukan tersebut diatur secara terbatas, 25 Tim Penyusun, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, h. 239

18 37 namun hal ini tidak mengurangi status positif secara hukum. Dalam artian mau tidak mau sudah tetap dan pasti anak angkat telah berhak mendapat bagian harta peninggalan dari orang tua angkatnya berupa wasiat wajibah. D. Tinjauan Umum tentang Mas}lah}ah Mursalah dan Istis}h}ab 1. Mas}lah}ah Mursalah a. Pengertian Mas}lah}ah mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu mas}lah}ah dan mursalah. Kata mas}lah}ah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti lepas. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu mas}lah}ah mursalah menurut istilah seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, sehingga ia disebut mas}lah}ah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus). 26 Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya dalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemud}aratan manusia yang bersifat luas. Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang berdasar 26 Satria Effendi M. Zein, Us}ul Fiqh, h

19 38 perkembangan yang selalu ada di setiap lingkungan. Mengenai pembentukan hukum ini, kadang-kadang tampak menguntungkan pada suatu saat, tapi pada saat yang lain justru mendatangkan mud}arat. Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada lingkungan tertentu, tetapi mud}arat pada lingkungan yang lain. 27 Menurut Imam al-qarafi ath-t>}usi dalam kitabnya mas}lah}ah almursalah menjelaskan, bahwa mas}lah}ah mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu a>malah dan semacamnya, sedangkan dalam soal ibadah adalah Allah SWT yang menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu. 28 b. Dalil-dalil Ulama yang Menjadikan Hujjah Mas}lah}ah Mursalah Jumhur ulama umat Islam berpendapat, bahwa mas}lah}ah mursalah itu adalah hujjah syari at yang dijadikan dasar pembentukan hukum. Adapun dalil mereka mengenai hal ini diantaranya: 1. Bahwa maslahah umat manusia itu selalu aktual dan tak ada habisnya. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum itu hanya berkisar atas masalah yang diakui Syari saja, maka berarti telah meninggalkan h Miftahul Arifin dan A. Faishal Haq, Us}ul Fiqh Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, 28 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Us}ul Fikih, h. 205

20 39 beberapa kemaslahatan umat manusia pada berbagai zaman dan tempat. 29 Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap maslahah, selama tidak bertentangan dengan al-qur a>n dan Sunah Rasulullah, sah dijadikan landasan hukum. 2. Dalam sejarah tasyri Islam, terbukti bahwa sejak masa sahabat dan generasi sesudah mereka ternyata menggunakan maslahat rajihah (kuat) untuk menetapkan hukum suatu peristiwa. Padahal maslahat yang mereka jadikan dasar untuk penetapan hukum tidak didukung oleh dalil yang memerintahkan mewujudkannya. Praktek seperti ini tidak dibantah oleh seorangpun sahabat. Ini dapat dikatakan sebagai ijma sahabat untuk menggunakan mas}lah}ah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum Hasil induksi terhadap ayat atau hadis} menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. 31 c. Syarat-syarat Mas}lah}ah Mursalah Ulama yang menerima mas}lah}ah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum, menetapkan beberapa syarat diantaranya: 29 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Us}ulul Fiqh terj. Oleh Noer Iskandar al-barsany dan Moch. Tolchah Mansoer, h Firdaus, Us}ul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, h Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Us}ul Fikih, h. 206

21 40 1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat yang hakiki, yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemud}aratan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat akibat negatif yang ditimbulkannya Kemaslahatan itu sejalan dengan maqa>s{}i>d asy-syari> ah dan tidak bertentangan dengan nas} atau dalil-dalil qat} i. dengan kata lain, kemaslahatan tersebut sejalan dengan kemaslahatan yang telah ditetapkan Syari. 3. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejumlah individu. Ini mengingat bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua manusia. Oleh sebab itu, penetapan hukum atas dasar maslahat bagi kalangan tertentu, seperti penguasa, pemimpin dan keluarganya tidak sah dan tidak boleh karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua manusia. d. Beberapa Contoh Hukum yang Didasarkan pada Mas}lah}ah Mursalah 1. Abu Bakar melalui pendekatan mas}lah}ah mursalah menghimpun lembaran-lembaran bertuliskan ayat-ayat a-qur a>n yang berserakan menjadi satu mushaf. 32 Satria Effendi M. Zein, Us}ul Fiqh, h. 152

22 41 2. Berdasarkan pertimbangan mas}lah}ah mursalah Umar bin Khottob membuat undang-undang perpajakan, mengkodifikaskan buku-buku, membuat penjara dan hukuman ta zi>r dengan berbagai macam sanksi. 3. Adanya peraturan-peraturan lalu lintas, adanya lembaga-lembaga Peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya Istis}h}ab a. Pengertian Kata istis}h}ab secara etimologi berarti meminta ikut secara terus menerus. 34 Menurut Asy-Syatibi istis}h}ab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. 35 b. Macam-macamnya Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istis}h}ab seperti berikut: Istis}h}ab al-ibah}ah al-as}liyah, yaitu istis}h}ab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). istis}h}ab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu a>malah. 33 A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, h Satria Effendi M. Zein, Us}ul Fiqh, h A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, h Satria Effendi M. Zein, Us}ul Fiqh, h

23 42 Sehubungan dengan ini, para ulama merumuskan kaidah fiqh yang berbunyi: Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan 2. Istis}h}ab al-bara ah al-as}liyah, yaitu istis}h}ab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu. 3. Istis}h}ab al-hukm, yaitu istis}h}ab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. 4. Istis}h}ab al-was}f, yaitu istis}h}ab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN PA TULUNGAGUNG NO.1326/Pdt.G/2006/PA TA OLEH PTA SURABAYA DALAM PERKARA WARIS

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN PA TULUNGAGUNG NO.1326/Pdt.G/2006/PA TA OLEH PTA SURABAYA DALAM PERKARA WARIS 75 BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN PA TULUNGAGUNG NO.1326/Pdt.G/2006/PA TA OLEH PTA SURABAYA DALAM PERKARA WARIS A. Analisis Terhadap Dasar Hukum dan Putusan PA Tulungagung No. 1326/Pdt.G/2006/

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan 61 BAB IV ANALISIS A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Yang Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Bangil Tentang Sengketa Waris. Setelah mempelajari duduk perkara No

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa. BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.Gs) A. Analisis Tentang Dasar Hukum Hakim Tidak Menerima Gugatan

Lebih terperinci

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS 64 BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS A. Implikasi Yuridis Pasal 209 KHI Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hokum kewarisan menurut KHI secara

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan 67 BAB IV ANALISIS A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan Verstek pada Perkara Nomor: 1884/Pdt.G/VERZET/2012/PA.Kab.Mlg Terhadap formulasi putusan penulis mengacu pada

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) A. Analisis Terhadap Deskripsi Dissenting Opinion Dalam Putusan Perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Salah satu dampak menurunnya moral masyarakat, membawa dampak meluasnya pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya

Lebih terperinci

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO MENGENAI PENOLAKAN GUGATAN NAFKAH MAD{IYAH DALAM PERMOHONAN CERAI TALAK NOMOR : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda A. Analisis Undang-Undang Perkawinan dan

Lebih terperinci

BAB IV. PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO

BAB IV. PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO A. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ 59 BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ A. Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Menyelesaikan Perkara Syiqaq 1) Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA A. Analisis Tradisi Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Adat Semende di

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Tinjauan Umum Mengenai Pencabutan Gugatan Salah satu permasalahan yang muncul dalam suatu proses beracara di muka pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hartanya kepada para ahli warisnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diingkari oleh

BAB I PENDAHULUAN. hartanya kepada para ahli warisnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diingkari oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, manusia tidak bisa dipisahkan dari permasalahan waris. Karena setiap manusia yang meninggal dunia dan meninggalkan harta pasti akan mewariskan

Lebih terperinci

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan: PEMBAGIAN WARISAN Pertanyaan dari: EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi) (Disidangkan pada Jum at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M) Pertanyaan: Sehubungan kami sangat awam masalah

Lebih terperinci

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam) WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam) Oleh : Drs. Arpani, S.H. (Hakim Pengadilan Agama Bontang) A. PENDAHULUAN Salah satu hikmah perkawinan adalah untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Waris Tanpa Anak WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Pertanyaan: Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Setiap pasangan (suami-istri) yang telah menikah, pasti berkeinginan untuk mempunyai anak. Keinginan tersebut merupakan naluri manusiawi dan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TUBAN DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TUBAN DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TUBAN DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA A. Analisis Terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim beserta Putusan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM CERAI GUGAT (STUDI PUTUSAN NOMOR : 420/PDT.G/2013/PTA.SBY) A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN 1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin Dalam laporan penelitian di atas telah disajikan 2

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan 40 BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan Cerai Dengan Harta Bersama. Berdasarkan hasil permusyawaratan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. BAB IV ANALISIS A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur masalah nafkah secara terperinci.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting

Lebih terperinci

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up) sebagai Upaya Pemeliharan Keturunan (Hifz} al-nasl) Dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam Tentang

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Islam merupakan hukum Allah. Dan sebagai hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya kepada Allah

Lebih terperinci

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hamba- Nya melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya. Secara umum anak adalah seorang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

dalam ibadah maupun muamalah. Namun nas-nas syarak tidak secara rinci memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika kehidupan manusia.

dalam ibadah maupun muamalah. Namun nas-nas syarak tidak secara rinci memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika kehidupan manusia. BAB IV ANALISIS URF TERHADAP TRADISI HUTANG-PIUTANG JASA (IRUTAN) DI DUSUN WONOSARI DESA JOGODALU Islam datang untuk mengatur berbagai segi kehidupan manusia baik dalam ibadah maupun muamalah. Namun nas-nas

Lebih terperinci

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry : Article Review Judul Artikel : Perubahan Sosial dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam Penulis Artikel : Zulham Wahyudani Reviewer : Anna Rizki Penerbit : Jurnal Ilmiah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA A. Analisis Terhadap Kebiasaan Pembagian Waris Di Kejawan Lor Kelurahan Kenjeran Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN A. Analisis Terhadap Hibah Sebagai Pengganti Kewarisan Bagi Anak Laki-laki dan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

PUTUSAN NOMOR 04/Pdt.G/2008/PTA Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN NOMOR 04/Pdt.G/2008/PTA Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN NOMOR 04/Pdt.G/2008/PTA Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama dalam

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt A. Analisis Hukum Acara Peradilan Agama terhadap Pertimbangan Majelis Hakim tentang

Lebih terperinci

A. Analisis Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum Putusan PA Nomor. Agama Pasuruan, yang mana dalam bab II telah dijelaskan tentang sebab

A. Analisis Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum Putusan PA Nomor. Agama Pasuruan, yang mana dalam bab II telah dijelaskan tentang sebab BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM DAN DASAR HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PASURUAN NOMOR : 0530/Pdt.G/2013/PA.PAS TENTANG CERAI GUGAT YANG DISEBABKAN SUAMI MELALAIKAN TANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt. RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt. Niscaya mereka akan masuk surga untuk selama-lamanya. Sebaliknya, bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

PENETAPAN. Nomor : 270/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA

PENETAPAN. Nomor : 270/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA S A L I N A N PENETAPAN Nomor : 270/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI A. Analisis Terhadap Deskripsi Pembagian Warisan Oleh Ibu Senen dan Bapak Kasiran Kepada Ahli Waris Pengganti Di Desa Kasiyan

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc.

PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc. PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama, dalam persidangan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap harta yang ditinggalkan oleh seseorang baik yang bersifat harta benda bergerak maupun harta benda

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK 60 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK Salah satu asas kewarisan Islam adalah asas bilateral yang merupakan perpaduan dari dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA A. Analisa Terhadap Pertimbangan Putusan Hakim Pengadilan Agama Bangil Kewenangan Pengadilan

Lebih terperinci

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TIDAK DITETAPKANNYA NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 2542/PDT.G/2015/PA.LMG) A. Pertimbangan Hukum Hakim yang Tidak Menetapkan Nafkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS A. Pengertian Waris Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Harta Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia 104 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Pada dasarnya menurut Hukum Islam, harta suami isteri terpisah. Masingmasing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya dengan sepenuhnya tanpa boleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim

Lebih terperinci

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik BAB IV ANALISIS TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM NO.0255/Pdt.G/2013/PA.Pas. di PENGADILAN AGAMA PASURUAN A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam

Lebih terperinci

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris 1 A. Pembagian Warisan Dalam

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menghubungkan antara kajian pustaka dengan temuan yang ada di lapangan. Terkadang apa yang ada di dalam kajian pustaka dengan kenyataan yang ada di lapangan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna. Salah satu buktinya bahwa manusia diberikan cipta, rasa,

Lebih terperinci

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? Oleh: Ahmad Z. Anam (Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok) Pendahuluan Ada dua hak bagi pihak berperkara yang perkaranya dinyatakan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan

Lebih terperinci

P U T U S A N. NOMOR 33/Pdt.G/2013/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. NOMOR 33/Pdt.G/2013/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N NOMOR 33/Pdt.G/2013/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Atas Putusan No. 1359/Pdt.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 275/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 275/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 275/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN A. Pengertian Gugatan Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara naluri insani, setiap pasangan suami isteri berkeinginan untuk mempunyai anak kandung demi menyambung keturunan maupun untuk hal lainnya. Dalam suatu rumah tangga,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI DALAM PUTUSAN NO. 718 K/AG/2012

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI DALAM PUTUSAN NO. 718 K/AG/2012 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI DALAM PUTUSAN NO. 718 K/AG/2012 A. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 718 K/AG/2012 Tentang Biaya Kehidupan (Nafkah) Bagi Bekas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. kepada Pengadilan Agama Malang yang Penggugat dan Tergugat sama-sama

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. kepada Pengadilan Agama Malang yang Penggugat dan Tergugat sama-sama BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Perkara No 0733/Pdt.G/20013/PA.Mlg adalah perkara tentang pembagian harta gono gini yang diajukan penggugat yaitu mantan istri atau kuasa hukumnya kepada Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Penarikan Kembali Hibah Oleh Ahli Waris Di Desa Sumokembangsri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH 90 BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH A. Tinjauan Tentang Jual Beli Sepatu Solid di Kecamatan Sedati Sidoarjo Dengan mengikuti empat mazhab fiqh

Lebih terperinci

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM Hak Anak Angkat terhadap Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut Hukum Islam Kanun Jurnal Ilmu Hukum Susiana No. 55, Th. XIII (Desember, 2011), pp. 139-148. HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG

Lebih terperinci

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 PENETAPAN Nomor 09/Pdt. P/2012/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN PENGAADILAN AGAMA TUBAN NOMOR 0182/PDT.P/2012/PA.TBN TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN PENGAADILAN AGAMA TUBAN NOMOR 0182/PDT.P/2012/PA.TBN TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN PENGAADILAN AGAMA TUBAN NOMOR 0182/PDT.P/2012/PA.TBN TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK A. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Tuban Dalam Menolak Permohonan

Lebih terperinci

P U T U S A N No. : 264 K / AG / 2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa

P U T U S A N No. : 264 K / AG / 2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa P U T U S A N No. : 264 K / AG / 2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia mempunyai kehidupan jiwa yang selalu menyendiri. Namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan yang suci antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Lebih terperinci