BAB II KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA"

Transkripsi

1 124 BAB II KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Hukum Tidak Tertulis Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Setiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri, sebab setiap hukum membentuk suatu sistem. 140 Sehubungan dengan itu, Rene Devid menyatakan, bahwa: Each law in fact, constitutes a system: it has a vocabulary used to express concepts, its rules are arranged into categories, its has techniques for expressing ruling and interpreting them, it is limited to a view of the social order itself which determines the way in which the law applied and shapes 141 the very function of law in that society. Jika pernyataan Rene Devid tersebut diterjemahkan, maka maksudnya adalah memang setiap hukum membentuk suatu sistem: ia mempunyai perbendaharaan 140 Menurut Prof. Dr. Sunarjati Hartono, pada saat ini ada beberapa sistem hukum dunia yang berpengaruh terhadap sistem hukum lainnya, seperti: a. Sistem-sistem hukum kebiasaan yang tradisional (a.l. Hukum Adat); b. Sistem-sistem Anglo Saxon; c. Sistem-sistem Hukum Eropah Daratan (Kontinental); d. Sistem-sistem Hukum Skandinavia; e. Sistem-sistem Hukum Islam; f. Sistem-sistem Hukum Komunis/Sosialis. Lihat Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandinagn Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hal Rene David, John E.C. Brierly, Major Legal Systems in the World Today, Stevens & Sons, 2 nd ed., 1978, hal. 18.

2 125 istilah untuk mengungkapkan konsep-konsep, peraturan-peraturannya disusun ke dalam pengelompokan-pengelompokan, ia mempunyai teknik-teknik untuk mengungkapkan kaidah dan menafsirkannya, ia dibatasi oleh pandangan dari tertib sosial itu sendiri yang menentukan bagaimana hukum diterapkan dan membentuk fungsi yang sesungguhnya dari hukum dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, kaidah-kaidah hukum adat sebagai sistem hukum yang tidak tertulis dikenal sebagai norma umum atau berupa asas-asas umum. Asas-asas tersebut tidak sulit untuk dirumuskan secara eksplisit dalam bentuk yang baku. Walaupun demikian asas-asas tersebut tetap eksis sebagai asas-asas umum. Kaidahkaidah itu umumnya hanya diterima sebagai petunjuk pembeda mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, dan hanya bisa disimpan dalam ingatan sementara pemuka masyarakat untuk kemudian ditafsirkan menurut kebutuhan yang sering bervariasi dari kasus ke kasus. Sementara itu, seiring dengan ciri dan coraknya yang tidak tertulis, hukum dalam kehidupan masyarakat adat itu mempunyai bentuknya yang tidak terstruktur. 142 Dikatakan demikian tidak lain karena struktur atau organisasi kekuasaan yang menunjang eksistensi dan kapasitas operasional hukum dalam masyarakat tersebut terbilang masih sangat sederhana. Struktur pemerintahan dalam masyarakat 142 Sistem Hukum Adat dianut juga oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia dan Srilangka, selain itu ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum adat. Sedangkan sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci, seperti yang diterapkan di Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan yang dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Lihat Sunarjati Hartono, Op. Cit., hal. 118.

3 126 yang demikian sederhana, sehingga boleh dikatakan bahwa tertib kehidupan di masyarakat lebih tampak di kontrol oleh pribadi-pribadi yang diakui sebagai pemuka-pemuka yang karismatik daripada memberikan kesan telah dikontrol oleh suatu sistem organisasi yang impersonal. Dalam masyarakat adat tidak ada kaidah hukum yang tertulis secara pasti, selain itu tidak ada pula struktur pemerintahan yang secara konkrit melembaga, hal ini membawa konsekuensi, bahwa kebijakan-kebijakan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di dalam masyarakat akan lebih terlihat sebagai refleksi kepribadian dari para tokoh pemukanya, ketimbang dari pada cermin tata perkaidahan yang baku dan berkepastian. 143 Selanjutnya dapat dimengerti mengapa dengan tidak adanya atau lemahnya organisasi pembentukan hukum dalam masyarakat adat, yang berstruktur sederhana itu akan ikut serta, sehingga menyebabkan peran individu dan keluarga tampak lebih menonjol, mengatasi peran lembaga-lembaga kekuasaan yang berposisi mengatasi keluarga-keluarga. Peran keluarga ini tampak sekali dalam berbagai upaya mensosialisasikan kaidah-kaidah 143 Adegium hukum yang menyatakan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan, bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan. Oleh karena itu, Hakim Agung O.W. Holmes menyatakan, menjalankan hukum bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law has not been logic but experience). Lihat Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, hal. 4.

4 127 sosial ke dalam sanubari generasi keturunan, dan kemudian dalam hal melaksanakan kontrol dan penjatuhan sanksi atas dasar kaidah-kaidah adat yang berlaku. Penyelesaian sengketa melalui cara ajudikasi, yaitu pemeriksaan perkara dan penjatuhan keputusan peradilan, oleh pihak ketiga atas dasar legitimasi kekuasaan pemerintahan yang disebut badan yudisial, tidaklah ditemukan dalam masyarakat adat. Di tengah kenyataan dan kehidupan yang belum terlalu kompleks dan belum pula mengenal pranata-pranta hukum, boleh dikatakan bahwa setiap orang di dalam kehidupan komunitas itu adalah ahli hukum. Maksudnya bahwa setiap orang dalam komunitas itu selalu mengetahui sebagai bagian dari pengetahuan tradisionalnya yang di dalam kepustakaan disebut the local knowledge. Apa yang harus dihukumkan dan apa pula yang tidak pernah dipandang oleh khalayak di tempat itu sebagai sesuatu yang selayaknya dihukumkan, baik mengenai ihwal materinya maupun mengenai ihwal prosedur pendayagunaannya. 144 Dari kenyataan inilah datangnya istilah hukum asli yang tidak tertulis untuk menyebut hukum yang berkembang sebagai bagian dari adat masyarakat setempat. Akan tetapi, karena dunia terus berputar dan alam terus beredar, perubahan-perubahan menuju 144 Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan revolusi dalam hukum, akan tetapi yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.lihat Sunarjati Hartono, Op. Cit., hal

5 128 kehidupan baru yang lebih berskala nasional telah menjadikan hukum adat itu mempengaruhi hukum nasional. Dalam berbagai diskusi dan dalam pertemuan-pertemuan para ahli hukum, selalu dibicarakan secara rinci tentang dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. 145 Dalam banyak kesempatan dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Pemikiran-pemikiran seperti ini, seyogyanya dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat, mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan, baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim pidana sebagai produk dari sistem peradilan pidana. Hukum adat berbeda dengan hukum positif tertulis yang bersumber pada hukum Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme realisme. Artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional 145 Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), maka Sistem Hukum Adat Indonesia cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan pemukapemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum, jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak. Ibid., hal.140.

6 129 religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi sosial atau keadilan sosial. Oleh karena itu, ciri utama hukum adat adalah komunal atau kekeluargaan yang lebih mementingkan masyarakat daripada individu, di samping itu hukum adat mempunyai ciri atau identitas yang bersifat statis, dinamis dan fleksibel. Statis mengandung pengertian, bahwa hukum adat selalu ada dalam masyarakat, kemudian dikatakan bersifat dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, dan fleksibel diarikan sebagai kelenturan karena hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat. Semua ciri tersebut dengan mudah dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adat. Soepomo mengatakan: Corak atau pola-pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu, oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya menusia menurut hukum adat, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat. Mempunyai corak magis religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. 146 Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat. 146 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1966, hal. 63.

7 130 Dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh, hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok. Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan asas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat. Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu, pola fikir dan paradigma berfikir adat, sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun mereka sudah memasuki kehidupan dan aktivitas yang disebut modern. Dalam hubungannya dengan pembahasan ini harus dihubungkan dengan hukum pidana adat sebagai hukum yang tidak tertulis, dimana hukum pidana adat ditemukan dalam beberapa pandangan doktrinal. Oleh karena itu, Ter Haar berasumsi: Bahwa yang dianggap suatu pelanggaran ialah setiap gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barangbarang kehidupan materiil dan immateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan. Tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat (adat reactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang) Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hal.

8 131 Dari pandangan Ter Haar tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa untuk dapat disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar. Selanjutnya Van Vollenhoven 148 menyebutkan: delik adat sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan. Hilman Hadikusuma 149 menyebutkan: hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundang-undangan. I Made Widnyana 150 menyebutkan: hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan masyarakat, oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya. 148 Van Vollen Hoven dalam Soerojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1979, hal Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Jakarta: Rajawali, 1961, hal I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Adat, Bandung: Eresco, 1993, hal. 3.

9 132 Pada dasarnya, secara substansial sistem hukum tidak tertulis berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu, menurut Soepomo: Dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. 151 Sehubungan dengan itu, penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan bertitik tolak pada alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara pidana. Pada proses ini hakim memegang peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku melalui putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim dengan mempertimbangkan segala aspek baik perbuatannya, pelakunya, tujuan pemidanaan serta mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku dan korban demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 151 Soepomo, Op. Cit., hal. 95.

10 133 Pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum harus ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Asasnya, hakim menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Dasar kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, mengandung konsekuensi logis dimana dalam konteks ini dapat disebutkan bahwa apabila hakim mengadili tindak pidana adat, agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat diterima dan dipahami

11 134 dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan. Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice. Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat seperti hukum pidana adat, akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 152 Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto 153 menyebutkan; bahwa mata, pikiran dan 152 Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21) membedakan sistem hukum yang utama di dunia (The World s Major Legal Systems) menjadi: civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-sahara Africa; dan Far East. Munir Fuady (2007: 32-dst.) menyatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum. Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan. 153 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: PT Alumni, 1983, hal. 81.

12 135 perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil. Mengacu kepada hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis, dalam arti sebagaimana diikuti oleh Snouck Hurgronye yang menyatakan bahwa hukum adat adalah adat yang mempunyai akibat hukum, kemudian pendapat dari van Vollenhoven yang menegaskan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa adat yang mempunyai sanksi, dan kemudian Ter Haar lebih mempertegas untuk kepentingan penggarapan secara yuridis. Menurut Ter Haar, apabila seseorang ingin mengetahui hukum adat, maka perlu ditunjukkan pada keputusan para penguasa adat, terhadap masalah yang terjadi di dalam atau di luar persengketaan yang terikat secara strukturil dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu. Pemahaman yang demikian menunjukan, bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertlis mempunyai peran terhadap sistem peradilan pidana. Berdasarkan hal tersebut, apabila kita berbicara tentang hukum, maka aspek yang terkait menjadi sangat luas, sehingga tidak hanya terbatas pada undangundang, perundang-undangan atau peraturan tertulis lainnya, namun lebih luas dari itu, bahwa hukum mempunyai banyak aspek, seperti filsafat hukum, sumber hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan sebagai hukum yang tidak tertulis, penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata

13 136 hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum acara, perilaku hukum masyarakat, kesadaran hukum, dan sebagainya. Semua itulah yang membangun sistem hukum, yaitu hubungan dan kaitan satu sama lain antara berbagai komponen atau unsur yang disebut di atas yang membuat hukum tidak tertulis itu berperan dalam sistem peradilan pidana. Selain itu, pada asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan akibat suatu pelanggaran adat. 154 Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun 154 Praktek peradilan mengenal asas legalitas materiil dengan menerapkan dan memutus kasus pidana adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Darurat 1/1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan Acara Pengadilan Sipil. Misalnya, delik adat lokika Sanggraha di Bali merupakan tindak pidana adat yang melanggar norma kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai reaksi adat dan serta dijatuhkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b UU Darurat 1/1951. Terhadap aspek ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 374 K/Pid/1990 tanggal 13 Maret 1993, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 948/K/Pid/1996 tanggal 15 November Lihat Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005, hal Kemudian asas legalitas materiil ini dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2005 diformulasikan dengan redaksional, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

14 137 temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Selanjutnya jika dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, pendapat atau doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada praktik peradilan, hukum pidana adat terdapat dalam beberapa putusan dengan adanya sanksi adat sekaligus pemulihan keseimbangan kehidupan masyarakat di dalamnya. Terhadap prospek dan dimensi delik adat dalam konteks pembentukan hukum, sangat tergantung pada aspek apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam putusan hakim juga ada dan dikenal pada masyarakat adat. Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat sehingga putusan hakim secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice. 155 Sehubungan dengan itu, untuk memahami fungsi hukum tidak tertulis dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, maka terlebih dahulu perlu dipahami makna dari Sistem Peradilan Pidana tersebut. Dari segi istilah Sistem Peradilan Pidana berasal dari dua kata yaitu: Sistem dan Peradilan Pidana. Pemahaman mengenai 155 Bandingkan dengan KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Surabaya: Indonesia Lawyer Club, 2010, hal

15 138 sistem dapat diartikan sebagai suatu rangkaian di antara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam arti harfiah, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling mempunyai ketergantungan. Oleh karena itu ciri suatu sistem adalah: a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses); b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts); c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts); d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts); e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole); f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu. 156 Selanjutnya apabila dikaji dari sudut pandang etimologis, sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen sebagai subsistem yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sedangkan Peradilan Pidana merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu dakwaan dan tuntutan pidana. Dalam kaitannya dengan 156 Lili Rasjidi, I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993, hal

16 139 peradilan pidana, dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat. Pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System menurut para ahli hukum antara lain: Menurut Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. 157 Sebaliknya Hagan 158 membedakan pengertian Criminal justice system dan Criminal Justice Process. Criminal Justice System adalah interkoneksi antara keputusan tiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana sedangkan Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sementara itu Chamelin Whisenand, 159 mengartikan Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem dalam proses menentukan konsep sistem yaitu berupa aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara sub sistem kepolisian, pengadilan, dan lembaga penjara. 157 Remington dan Ohlin dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, hal Ibid., hal Chamelin Whisenand dalam H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hal. 5-6.

17 140 Menurut Romli Atmasasmita, 160 Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum sematamata, pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi, pendekatan sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial, sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Barda Nawawi Arief: Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem yaitu: 1) Kekuasaan penyidikan oleh badan atau lembaga penyidik; 2) Kekusaan penuntutan oleh badan atau lembaga penuntut umum; 3) Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan pidana oleh pengadilan; 160 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1996, hal

18 141 4) Kekuasaan pelaksanaan putusan oleh badan atau aparat pelaksana eksekusi. 161 Keempat tahap atau subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu. Dengan demikian, Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum in concreto. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundangundangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan. Dilihat dari perspektif keilmuan sistem peradilan pidana itu dapat dikaji melalui pendekatan dari dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan menajemen. Dikatakan demikian oleh karena pada sistem peradilan pidana termaktub anasir yang mendukung eksistensi dari proses tersebut. Satjipto Rahardjo mengatakan: Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi profesional, Sistem Peradilan Pidana lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan perundang-undangan yang mengatur 161 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, hal

19 142 sistem peradilan pidana tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis. 162 Dilihat dari segi peristilahan sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita dengan tegas mengemukakan sebagai berikut: Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau pun tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil 163 tertentu dengan segala keterbatas-annya. Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat pembatasan terhadap hak-hak seseorang seperti perampasan kemerdekaan, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya pengendalian dan penekanan tindak pidana. 162 Satjipto Rahadjo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1998, hal Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Op. Cit, hal. 14.

20 143 Sehubungan dengan itu, Paul Johan Anslem von Feurbach ( ), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa Talmudic Jurisprudence lah yang mendahului teori von Feurbach. 164 Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali. 165 Dalam prakteknya, tindakan untuk membatasi kebebasan atau kemerdekaan seseorang melalui hukuman penjara dan bahkan untuk merampas nyawanya dengan menerapkan hukuman mati, maupun tindakan untuk merampas harta bendanya dalam bentuk hukuman denda, sebagai bagian dari produk sistem peradilan pidana, sebenarnya mendapat pengaruh yang cukup luas dari praktek peradilan pidana adat dengan sistem hukumnya yang tidak tertulis. 164 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982, hal Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Juli 1989, hal. 8.

21 144 B. Implikasi Konsepsi Barat Terhadap Hukum Adat Indonesia Pada saat ini, konsep Hukum Adat yang dipakai oleh sebahagian besar ahli hukum di Indonesia masih mengacu dan berpedoman kepada ilmu pengetahuan Barat tentang Hukum Adat. Sehingga yang muncul adalah paham tentang Hukum Adat dalam konsepsi Barat. Meskipun hasilnya telah mampu menyajikan Hukum Adat secara sistematis, akan tetapi belum menyentuh aspek esoteris dari Hukum Adat tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya introdusir tentang pengkajian Hukum Adat menuju konsepsi Hukum Nasional. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka Hukum Adat akan semakin suram dan berkemungkinan besar akan terasing (teraliensi) dari kalangan masyarakat akademis di masa mendatang. 166 Permasalahan yang muncul dalam berbagai kajian Hukum Adat diduga disebabkan karena kurangnya atau membekunya bahan-bahan yang ada atau belum adanya kesatuan tema dan orientasinya. Sehingga dengan demikian, peninjauan kembali terhadap paradigma dan teori-teori Hukum Adat adalah merupakan keharusan bagi ahli-ahli hukum Indonesia, sebab pengertian tentang apa itu Hukum Adat dari para ahli hukum di Indonesia masih banyak berpedoman kepada Ilmu Pengetahuan Barat mengenai Hukum Adat yang dimulai pada tahun 1894 M oleh salah seorang kebangsaan Belanda dan ahli sastera Timur yang bernama Snouck Hurgronje. 166 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, , Surakarta: Muhammadiyah University Press Press, 2004, hal. 142.

22 145 Usaha ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sarjana Sastera dan sekaligus Sarjana Hukum bernama van Vollenhoven, seorang Guru Besar dari Universitas Leiden di Belanda. 167 Sebagai puncaknya adalah studi hukum adat yang dilakukan oleh Ter Haar yang memberikan warna positif terhadap Hukum Adat. Jauh sebelumnya sebenarnya juga sudah ada hasil dari pemikiran pujanggapujangga Indonesia asli atau ahli-ahli Hukum Adat setempat, tetapi dengan adanya usaha dari kalangan ilmiah Barat untuk mempelajari secara ilmiah dengan memakai dasar-dasar dan ukuran Ilmu Sosial Barat, maka Hukum Adat yang telah dirintis sebelumnya menjadi tersisih. Lambat-laun hasil-hasil itu tidak diperhatikan oleh kalangan ahli dan peminat Ilmu Pengetahuan Hukum di Indonesia. Pada hal pada tahun 1920-an Van Vollenhoven sendiri pernah memperingatkan bahwa pengetahuan Hukum Adat yang sebenarnya ialah pengetahuan yang dihasilkan oleh putera-putera bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, maka itulah yang harus ditunggutunggu. 168 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Modern tentang Hukum Adat dibangun di atas reruntuhan Ilmu Hukum Indonesia, yang sebelum orang Barat datang sudah ada dan berkembang. 169 Konsep hukum adat yang dikembangkan dan disajikan oleh Barat dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial ini dirasakan sebagai suatu hal yang kurang memadai kebutuhan hukum rakyat Indonesia yang dalam cita rasanya adalah 167 M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bagian 1 Bandung, Mandar Maju, 1992, hal Lihat C. Van Vollenhoven, de Ontdekking van het Adatrecht, Leiden 1928, hal , yang dikutip oleh M. Koesnoe, Hukum Adat Dewasa ini, FH-UII, Yogyakarta, 1983, hal Lihat C. Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid III, Leiden, 1993, hal. 791, dikutip oleh M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal 35.

23 146 berdasar dan bersumber pada cita rasa nilai-nilai budaya Indonesia. Keadaan ini kemudian timbul suatu kelompok ahli hukum dari kalangan putra Indonesia yang berusaha mengawinkan kedua konsep tersebut sesuai dengan pandangan hidup yang diyakininya yang kemudian menghasilkan konsep hukum adat yang bercorak nasional. Sehubungan dengan itu, pengertian atau konsep apa itu adat (Hukum Adat) sebenarnya sudah mulai dirumuskan jauh sebelum kedatangan orang-orang Barat di Indonesia. Karena konsep Adat mula-mula diperkenalkan dari istilah Arab yaitu ketika bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan orang-orang Arab dalam hubungan dengan pengembangan agama Islam di Indonesia. 170 Adat adalah istilah Arab dari perkataan adah 171 yaitu untuk menunjukkan apa yang hidup dalam kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan dalam pergaulan sehari-hari yang merupakan keseluruhan kaidah tingkah laku yang diterima dan dihormati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Istilah adat yang berasal dari bahasa Arab itu bersifat abstrak, tetapi di masyarakat lebih dikenal daripada istilah urf yang juga berasal dari bahasa Arab yang sering diartikan kebiasaan atau adat juga M. Koesnoe, Op. Cit., hal Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal Koesnoe memberi catatan mengapa istilah adat itu lebih dikenal di masyarakat dari pada istilah urf, karena diduga bahwa istilah adat itu bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi dari Bahasa Sansekerta adhi yang artinya dari masa yang tak dapat diingat lagi. Istilah adhi itu masih dikenal di masyarakat Bali yang menganut agama Hindu yaitu menyebut kitab Adhigama.

24 147 Di dalam mempergunakan istilah adat yang berasal dari bahasa Arab itu membawa pengertian yang masih kabur di kalangan masyarakat awam, sehingga ada usaha dari kalangan ahli dan tokoh pemikir yang bertanggung jawab di masyarakat untuk memberikan pandangan yang lebih bersih dan konsisten. 173 Konsep adat kemudian menjadi bahan pemikiran para ahli adat untuk menyusun konsep yang lebih jelas dan mantap. Usaha-usaha ini nampak dilakukan oleh kalangan para terpelajar dalam fiqh dan dari kalangan ahli adat yang muslim yang dinyatakan dalam forum-forum yang membahas penyelesaian sesuatu soal yang timbul di dalam masyarakat yang bersangkutan. Usaha yang dilakukan oleh ahli fiqh antara lain dilakukan oleh Jalaludin bin Syeh Muhammad Kamaluddin anak Kadhi Baginda Khatib dari Negeri Trusan di Aceh atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah ( ). Tulisannya berjudul Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam (Bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan semua orang yang berkesumat). 174 Disitu dikemukakan bahwa Hukum Adat itu persambungan antara yang dahulu dan yang kemudian pada pihak adanya atau tiadanya dengan ditilik kepada berulang-ulangnya pada halnya. Tiada boleh di dalamnya penglihatan, seperti: api menunukan bagi yang menyentuhnya, dan yang tajam melukai bagi yang kenanya, dan makanan mengenyang bagi yang 173 Koesnoe, Op. Cit., hal Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 9, dijelaskan bahwa dalam muqadimah kitab hukum acara tersebut dikemukakan bahwa dalam memeriksa perkara maka hakim harus memperhatikan hukum syara, hukum adat, adat dan resam.

25 148 memakannya, dan cahaya menerangkan bagi yang kelam, dengan sebab ada pertambatan pertemuan di dalamnya. 175 Pada akhir abad ke-19, studi hukum adat memasuki tahap baru yang kajiannya lain sama sekali dari sebelumnya. Usaha untuk memberikan definisi hukum adat adalah baru sama sekali. Usaha ini dirintis oleh Snouck Hurgronje, yang kemudian dilanjutkan oleh van Vollenhoven. Usaha ini sebetulnya merupakan reaksi terhadap golongan yang ingin mengesampingkan bahkan mengganti hukum rakyat Indonesia (hukum adat) dengan hukum barat. Karena hukum adat dianggapnya seolah-olah hanyalah peraturan-peraturan ajaib yang sebagian besar bersimpang siur dan oleh penguasa dianggap rendah. 176 Dalam menyusun pandangannya tentang hukum adat, penulis ini berpangkal pada pikiran ilmiah barat dengan mempergunakan bahan-bahan empiris yang cara 175 Koesnoe memberikan penjelasan lebih lanjut tentang rumusan Jalaludin di atas yaitu bahwa apa yang dimaksud Hukum adat adalah pertama-tama adanya unsur persambungan antara yang dahulu dengan yang kemudian. Artinya bahwa hukum adat bukan terletak pada peristiwanya, tetapi kepada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa itu. Dan yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntut terpautnya sesuatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Unsur yang kedua adalah ada tidaknya sambungan itu ditilik dari berulang-ulangnya hal yang bersangkutan. Maksudnya bahwa hukum adat yang dapat diketahui sebagai sambungan dari dua peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam waktu yang berlainan, tetapi peristiwa itu ternyata memiliki perwujudan yang bersamaan, seolah-olah itu pengulangan dari yang silam. Jadi hukum adat bagi Jalaluddin tidak terletak pada hal yang terlihat, yang dibedakannya dari pengertian urf, adat dan resam. Urf adalah segala pekerjaan yang telah ditetapkan oleh para ulama; Adat dijelaskan sebagai dan adat itu mengulang hukum seperti tabiat yang dahulu kala, tiada berkekalan di dalamnya, artinya adat tidak terletak pada bidang pengalaman yang nyata, akan tetapi sebagaimana tabiat terletak pada dunia yang lain dari kenyataan yang dapat dilihat. Sedangkan resam dijelaskan dan makna resam yaitu bekas yang berlaku hukumnya pada sekalian negeri, tiada berkehendak kepada bicara lagi sebab karena lahirnya yang masyur. Jadi resam itu adalah bekas, yaitu apa yang sudah terjadi, berada dalam alam kenyataan empiris dan dapat dilihat. Bekas yang dimaksud adalah bekas dari ketetapan yang telah dijalankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kosnoe, Loc. Cit. 176 R.H. Soedarso, Studi Hukum Adat, Makalah Seminar Masa Depan Hukum Adat, FH- UII Yogyakarta, 1988.

26 149 dan ukuran pengumpulannya dipergunakan cara dan ukuran ilmiah barat yaitu Ilmu Sosial. Dari kacamata ilmu sosial itu dicoba menetapkan isi istilah hukum adat, yang pada waktu Snouck Hurgronje berada di Aceh sudah ada dan hidup serta dipergunakana secara luas oleh masyarakat umum maupun oleh kalangan ilmu pengetahuan di Aceh. Snouck Hurgronje terkenal karena penelitian-penelitiannya di Aceh dan Gayo dan pengetahuannya tentang Islama secara teori dan praktek, juga caranya ia belajar Islam di Mekkah. Hasil penelitiannya membedakan antara hukum adat dan hukum agama, hukum rakyat dan hukum raja-raja, hukum hidup dan hukum tertulis. Snouck mengkritik teori receptio in complexu yang dipertahankan oleh Van Den Berg. Dengan kritik ini maka gugurlah anggapan bahwa sumber pokok hukum adat adalah hukum fiqh. 177 Definisi hukum adat oleh Snouck Hurgronje diterjemahkan menjadi Adatrecht, merupakan introduksi dan permulaan tentang pengakuan eksistensi hukum adat sebagai hukum orang Indonesia pribumi di dalam lingkungan perhatian Ilmu Pengetahuan Hukum Barat. Adatrecht diartikan sebagai adat yang mempunyai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang menjadi ukuran sentral definisi Snouck. Dari definisi ini dapat ditarik pengertian bahwa kebiasaan dan tingkah laku yang ada di dalam masyarakat Aceh yang dilihat mempunyai 177 Ibid.

27 150 akibat, maka dikualifikasi sebagai hukum. Olehnya kemudian diberi nama hukum adat yaitu adat yang mempunyai akibat hukum. 178 Pemikiran Snouck Hurgronje di atas menimbulkan rangsangan bagi kalangan ilmu hukum barat untuk mengkaji lebih lanjut, terutama bagian adat yang mempunyai akibat hukum. Tampilah seorang sarjana hukum sekaligus sarjana sastera timur yaitu van Vollenhoven. Dalam memberikan penjelasan kepada kalangan ilmu pengetahuan barat, penulis ini antara lain menyatakan: barang siapa sebagai seorang yuris memasuki alam hukum Indonesia, maka ia akan dihadapkan kepada suatu alam hukum yang sangat berlainan dengan apa yang dijumpainya dinegeri Belanda. Dalam masyarakat Indonesia hukum tidak tertulis yang dinamakan hukum adat dan apa yang merupakan hukum tersebut adatrecht (hukum adat) yaitu adat (tidak tertulis) yang mempunyai sanksi (karena itu hukum). Dengan pandangan van Vollenhoven ini, maka dimulailah tahap yang sebenarnya dari pemikiran dan penggarapan Hukum Adat secara Ilmu Pengetahuan yang modern. Dia berpangkal dari kenyataan-kenyataan dengan bukti yang sangat Terhadap definisi ini M. Koesnoe, mengajukan pertanyaan; pertama tentang pengertian apa itu adat. Bahwa yang dinamakan adat menurut Snouck adalah apa yang dilihatnya dalam alam empiris mengenai apa yang terjadi secara berulang-ulang dalam tata waktu yang berurutan. Ringkasnya mengenai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat. Yang kedua tentang akibat hukum. Hukum yang dimaksud itu hukum apa? Hukum Barat atau Hukum Syariat, sebab lokasi penelitiannya Aceh yang menerapkan hukum Syariat (al-quran dan Hadits). Bilamana yang dimaksud hukum adalah recht sebagai konsep Barat, maka maksudnya adalah seperangkat kaidah-kaidah yang memaksa atau yang dapat dipisahkan yang dibuat oleh masyarakat. Apabila itu yang dimaksudkan oleh Snouck, maka definisinya masih sulit dipahami dan tidak jelas. M. Koesnoe. Loc. Cit. 179 Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlands Indie, Jilid I, Leiden, 1925 hal 3; dikutip M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1992, hal. 49.

28 151 kuat. Kemudian dilanjutkan dengan usaha menemukan kesimpulan dalam pelbagai bidang hukum beserta soal-soal baik pokok maupun detail. Hasil penelitiannya tentang hukum adat ini diberi judul Het Adatrech van Nederlandsch-Indie, terdiri dari tiga jilid tebal, yang dikumpulkan sejak tahun Jilid pertama merupakan studi oreintasi tentang dunia hukum adat di Indonesia, yang menunjukkan masalah dasar dan pengenalan tentang hukum adat. Jilid kedua merupakan pendasar tentang Ilmu hukum adat, yang menunjukkan persoalannya di masing-masing tempat. Jilid ketiga mengenai pengembangan ilmu hukum adat dimana ditunjukkan studi-studi yang perlu tentang hukum adat. Pendirian van Vollenhoven ini kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya antara lain: Ter Haar. Ilmu Hukum sebagaimana dikembangkan oleh Ter Haar dasar-dasarnya tidak terlepas dari pendasaran yang diberikan oleh Van Vollenhoven. Tetapi yang diberikannya merupakan suatu pengembangan dan peningkatan lebih lanjut dan mengarah kepada studi Ilmu Hukum positif. Menurut ter Haar untuk dapat mengetahui hukum adat, maka hanya dapat diketemukan dalam keputusan-keputusan para petugas hukum terhadap persoalan yang diselesaikan di dalam maupun di luar persengketaan yang berpegangan pertama-tama pada ikatan-ikatan strukturil yang dianut oleh masyarakat, kedua berpegangan pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat itu Terhadap pandangan ter Haar tersebut, Iman Sudiyat mengatakan bahwa ter Haar mempunyai pandangan yang sangat mendalam terhadap hukum adat, terbukti dari kata-katanya bahwa setiap hakim harus mengambil keputusan menurut Adat, harus menginsyafi sedalamdalamnya tentang sistem atau stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik. Ini berarti ter Haar tidak melupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Hukum Pidana Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari perkataan wordt gestraf menurut Mulyanto merupakan istilah-istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

SISTEM HUKUM INDONESIA: UNIKUM YANG DINAMIS. Ditulis oleh Nyoman Surata Kamis, 10 Juni :33 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 10 Juni :38

SISTEM HUKUM INDONESIA: UNIKUM YANG DINAMIS. Ditulis oleh Nyoman Surata Kamis, 10 Juni :33 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 10 Juni :38 Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

Beberapa Pertanyaan Mendasar

Beberapa Pertanyaan Mendasar Oleh: Joeni Arianto Kurniawan 1 Tujuan Mempelajari Hukum Adat: Tujuan praktis: - Hukum adat masih digunakan dalam lapangan hukum perdata, khususnya dalam perkara waris - Secara faktual, masih banyak terdapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT SERTA PENGAWASAN PELAKSANAANYA DALAM KASUS PEMBERIAN UPAH KARYAWAN DI BAWAH UPAH MINIMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Tentang Perbuatan Laki-laki Menghamili Perempuan Di Luar Nikah) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT Oleh Ida Bagus Gede Angga Juniarta Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The pratima thievery

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi

I. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi masyarakat luas di tanah air, yaitu perihal Mafia Peradilan. Mafia Peradilan atau sebutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. Latar Belakang Sifat pluralisme atau adanya keanekaragaman corak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN Haryono* ABSTRAK Sistem hukum Indonesia adalah sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sehingga segala sesuatu permasalahan yang melanggar kepentingan warga negara indonesia (WNI) harus diselesaikan atas hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

Sistem Hukum. Nur Rois, S.H.,M.H.

Sistem Hukum. Nur Rois, S.H.,M.H. Sistem Hukum Nur Rois, S.H.,M.H. Prof. Subekti sistem hukum adalah susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang teratur,terkait, tersusun dalam suatu pola,

Lebih terperinci

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesadaran akan hak dan kewajiban perlu ditingkatkan secara terusmenerus karena setiap kegiatan maupun setiap organisasi, tidak dapat disangkal bahwa peranan kesadaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK Zulfan kurnia Ainun Najib Dosen Pembimbing I : Dr. Pujiyono, SH., M.Hum Dosen Pembimbing II : Bambang Dwi Baskoro, SH.,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa di dalam Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Secara substansial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika akhir-akhir ini telah menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai implikasi dan dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan zaman tidak hanya merupakan perkembangan di bidang teknologi semata melainkan juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

Lebih terperinci

SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2

SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2 CORAK & SISTEM HUKUM ADAT OLEH: 1 SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2 Soepomo (1996): Sistem hukum adalah kebulatan aturan-aturan yang berdasarkan suatu kesatuan alam pikiran.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK 1 PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK Penyalahgunaan narkoba sebagai kejahatan dimulai dari penempatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci