TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN HUKUM"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN HUKUM Penulis : David Irmantius Pebimbing: Suharnoko Endah Hartati FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JANUARI 2013 ABSTRAKSI Skripsi ini membahas gejala penipisan perbedaan konsep wanprestasi dengan konsep perbuatan melawan hukum yang ditandai dengan penggunaan konsep perbuatan melawan hukum pada pembatalan perjanjian sepihak. Di dalamnya akan dibahas mengenai bagaimana suatu konsep perbuatan melawan hukum dapat diterapkan dalam sengketa pembatalan perjanjian sepihak, selain itu juga akan dibahas mengenai konsep ganti rugi yang digunakan. Untuk lebih memahami penerapan gugatan perbuatan melawan hukum ini, akan dianalisa beberapa putusan dari sengketa pembatalan perjanjian sepihak yang digugat dengan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini adalah penelitian yuridisnormatif, yaitu penelitian dengan lebih mengutamakan data sekunder, khususnya terhadap bahan hukum primer berupa putusan pengadilan. Kata Kunci: Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, Pembatalan Perjanjian Sepihak ABSTRACT This thesis discusses the indications of subtle difference between default concept and illegal action concept shown with the use of illegal action concept on the unilateral cancellation of agreement. It will not only discuss how an illegal action concept can be applied in a dispute over the unilateral cancellation of agreement, but it will also discuss the concept of compensation used. To better understand the application of lawsuit over illegal action, an analysis of several decisions of the dispute over the unilateral cancellation of agreements challenged for the reason of illegal action will be carried out. This research is a judicial normative research having priority over secondary data, particularly in primary legal materials in the form of a court decision. Key words: Illegal action, default, unilateral cancellation of agreement

2 PENDAHULUAN Menurut Prof. Subekti, mendefinisikan suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berkehendak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 1 Sedangkan menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 2 Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan dimana perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. 3 Dapat diketahui bahwa perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada sumber-sumber lain yang lain yang melahirkan perikatan yang tercangkup dengan nama undang-undang. 4 Hal tersebut sesuai dengan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyebutkan bahwa perikatan dapat lahir dari perjanjian atau undang-undang. 5 Perikatan yang timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang akan melahirkan hak dan tanggung jawab yang dapat dituntut serta harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Namun dasar lahirnya perikatan tersebut mempunyai akibat yang berbeda bagi para pihak. Dalam perikatan yang lahir dari perjanjian akibat yang timbul dikehendaki oleh para pihak sedangkan dalam perikatan yang lahir dari undang-undang, akibat yang timbul ditentukan oleh undang-undang yang 1 Ibid., hal Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2002), cet.19, hal 1. 4 Ibid., hal 1. 5 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal 1233.

3 mungkin saja tidak dikehendaki para pihak atau di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. 6 Adanya perbedaan sumber perikatan tersebut berpengaruh pada bentuk gugatan jika nantinya dalam pelaksanaannya salah satu pihak tidak memenuhi hak dan kewajibannya. Perikatan yang lahir dari perjanjian para pihaknya sepakat mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Pada perjanjian ini, jika salah satu pihaknya merasa bahwa pihak lain tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, maka pihak tersebut dapat menuntut pemenuhan hak-haknya dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan. Perikatan yang lahir karena undang-undang terjadi karena dua sebab. Pertama adalah karena undang-undang yang menyatakan bahwa antara pihakpihak yang disebutkan undang-undang mempunyai perikatan atau hubungan hukum, dalam hal ini subjek hukumnya pasif. Kedua adalah perikatan yang bersumber sebagai akibat perbuatan manusia. Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia mengandung arti bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum dibolehkan (tidak bertentangan dengan undang-undang) atau merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hukum). 7 Hal tersebut juga disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1352, perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang akibat perbuatan orang 8 Pelanggaran terhadap perikatan yang timbul karena undang-undang ini dapat digugat dengan gugatan melawan hukum, yang dimana tercantum dalam 6 Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal 3. 7 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) hal Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal 1352

4 pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 9 Dari hal yang penulis uraikan di atas, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Gugatan wanprestasi lahir karena pelanggaran terhadap perikatan yang timbul karena suatu perjanjian/kontrak, dalam artian bahwa sebelumnya telah terdapat hubungan kontraktual antara para pihak. Sedangkan perbuatan melawan hukum lahir karena adanya pelanggaran terhadap perikatan yang timbul dari undang-undang, tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak. Namun pada saat ini, gugatan wanprestasi maupun gugatan perbuatan melawan hukum, mengalami penipisan perbedaan. Penipisan perbedaan tersebut diketahui dengan adanya pada saat ini pelanggaran terhadap perikatan yang lahir dari perjanjian juga dapat digugat dengan perbuatan melawan hukum. Gugatan melawan hukum ini digunakan agar para pihak yang menggugat tetap dapat menuntut hak-haknya, tanpa harus menyandarkan dasar gugatannya pada perjanjian sebelumnya, karena perjanjian para pihak telah dibatalkan. Dikarenakan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengamati kembali hukum perikatan secara teoritis khususnya yang berkaitan dengan pangkal sengketa dalam hukum perikatan yang dapat dijadikan alasan gugatan. Untuk lebih memahami, penulis meneliti dan menganalisa putusan dari perbuatan melawan hukum atas pembatalan perjanjian secara sepihak yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 281/PDT.G/2007/PN.JKT.PST dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 176/PDT/2009/PT.DKI Antara Conoco Philips Melawan PT. Sapta Sarana Persona Prima, serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No K/PDT/2005 Antara PT. PERTAMINA (PERSERO) Melawan PT. WAHANA SENO UTAMA. 9 Ibid., Pasal 1365.

5 Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, pokok permasalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah suatu pembatalan perjanjian secara sepihak dapat diterapkan dalam konsep perbuatan melawan hukum? 2. Bagaimanakah sistem ganti rugi yang diterapkan dalam gugatan perbuatan melawan hukum atas perjanjian yang dibatalkan secara sepihak? 3. Bagaimanakah penerapan gugatan perbuatan melawan hukum dan sistem ganti rugi yang dijadikan sebagai dasar dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata atas gugatan perbuatan melawan hukum? PEMBAHASAN Dalam bidang hukum perdata sering kita jumpai istilah perjanjian, adanya suatu perjanjian selalu menimbulkan perikatan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 10 Sedangkan menurut Prof. Subekti, Suatu perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 11 Dalam membuat suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat agar perjanjian tersebut sah dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya di depan hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), cet 24, hal 3

6 sampai dengan pasal 1337 dijelaskan mengenai syarat-syarat sah suatu perjanjian 12 Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yang mana jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, yang mana jika kedua syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka perjanjian akan batal demi hukum. Hal ini berakibat perjanjian dianggap tidak pernah ada. Akibat hukum perjanjian yang sah, yakni memenuhi syarat-syarat pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 13 Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Perjanjian tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan perjanjian tersebut itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. 14 Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur subjektif, dan sebagai unsur objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif berarti kejujuran atau kebersihan si pembuatnya. Namun dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH 12 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal Hal Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan. (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1992) Cet.

7 Perdata), bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu, undang-undang juga tidak memberikan perumusannya, karena itu tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan berarti kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, dan beradab, sebagai mana samasama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. 15 Itikad baik juga dapat diartikan bahwa dalam melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur dapat dianggap melakukan kontrak dengan itikad tidak baik. 16 Dalam melaksanakan perjanjian dengan itikad baik perlu diperhatikan juga kebiasaan. Hal ini ditentukan juga dalam pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan undangundang dan adat kebiasaan disuatu tempat, disamping kepatutan. Atas dasar pasal ini kebiasaan juga ditunjuk sebagai sumber hukum disamping undang-undang, sehingga kebiasaan itu turut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian. Namun demikian, adat istiadat tidak boleh mengenyampingkan atau menyingkirkan undang-undang, apabila ia menyimpang dari ketentuan undang- 15 Ibid., hal , hal 4 16 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Kencana, 2004), Cet

8 undang. Ini berarti bahwa undang-undang tetap berlaku (dimenangkan) meskipun sudah ada adat istiadat yang mengatur. 17 Dasar hukum asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dijelaskan dalam rumusan angka 4 yang berbunyi suatu sebab yang halal. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Perjanjian timbal balik yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Sedangkan perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya perjanjian hibah dan hadiah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut pasal ini salah satu syarat adanya pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik. Pembatalan perjanjian atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian. Pada saat mana pihak lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikan dan menghendaki untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari pihak lainnya itu. Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi syarat sah menurut undang-undang, maka berlaku sebagai undang-undang bagi 17 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., Hal.101.

9 para pihak yang membuatnya. Seperti yang tercantum pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa: persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan tidak cukup untuk itu 18 Dari pasal 1336 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat dibatalkan sepihak, karena jika perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tersebut tidak mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maka jelas diatur mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Permintaan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Menurut pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga syarat tersebut adalah: a. Perjanjian bersifat timbal balik b. Harus ada wanprestasi c. Harus dengan putusan hakim Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan diatas dimana kedua pihak memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian, maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., Hal.130.

10 Jika dilihat dari pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pengertian perbuatan melawan hukum didefinisikan sebagai berikut: tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi di Negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataannya dilapangan menunjukkan bahwa gugatan perdata yang ada di pengadilan didominasi oleh perbuatan melawan hukum disamping tentunya gugatan wanprestasi kontrak. 20 Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut juga dengan onrechtmatige daad atu dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi khususnya dalam bidang hukum, kata tort berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum dalam sistem hukum Belanda atau Negara-negara Eropa Kotinental lainnya. Kata tort berasal dari bahasa latin yaitu torquere atau tortus dalam bahasa Perancis, seperti kata wrong berasal dari kata Perancis wrung yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada perinsipnya tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa Latin, yaitu: Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere. Suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). 21 cet 2, hal Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), 21 Ibid., hal. 2

11 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang (pasal 1233 KUH Perdata). 22 Wanprestasi bersumber dari perjanjian sedangkan perbuatan melawan hukum bersumber dari undang-undang. Akibat dari wanprestasi diatur dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sampai dengan 1252 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengganti kerugian yang terdiri dari biaya, rugi dan bunga yang berwujud uang. Akibat dari perbuatan yang melawan hukum selain pengganti kerugian yang berwujud uang dimana pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sampai dengan 1252 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dapat diterapkan secara analogis, juga berwujud pemulihan dalam keadaan semula dan larangan untuk mengulangi perbuatannya lagi atau suatu prestasi yang bukan berupa uang untuk menghilangkan kerugian yang diderita. 23 Pentingnya pembedaan gugatan berdasarkan perjanjian dan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum ialah karena dalam praktek biasanya penggugat mulai dengan gugatan karena perbuatan melawan hukum dan atas dasar itulah ia meminta ganti rugi. Tergugat akan menjawab bahwa gugatan berdasar perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima dan hanya dapat diterima berdasarkan tidak ditepatinya perjanjian. Hakim akan memeriksa apakah gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum mungkin, dan jika tidak mungkin maka hakim akan menolak gugatan itu 24 Pemutusan perjanjian, memang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni pasal 1266, haruslah memenuhi syaratsyarat bahwa perjanjian tersebut haruslah bersifat timbal balik, harus ada wansprestasi dan pembatalannya dan harus memintakan pada hakim (pengadilan). 22 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi (Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007), Pasal Rosa Agustina, Op. Cit., hal Ibid., hal. 44

12 Namun jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut melanggar undang-undang, yakni pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tersebut. Selain itu jika dilihat dapat dilihat dari alasan pembatalan perjanjian, jika pembatalan tersebut mengandung kesewenang-wenangan, atau menggunakan posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan, maka hal tersebut termasuk dalam suatu perbuatan melawan hukum, karena kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan merugikan dari pihak lawan diluar dari pelaksanaan kewajiban yang atur dalam perjanjian, sehingga bukan merupakan wanprestasi, namun lebih ke arah melanggar kewajiban hukumnya untuk selalu beritikad baik dalam perjanjian. Itikad baik dapat dilihat dari dua tolak ukur, pertama dilihat dar isi perjanjian, apakah hak dan kewajiban para pihak rasional atau tidak, patut atau tidak. Kedua dapat dilihat dari pelaksanaan perjanjiannya. Selain melanggar kewajiban hukum untuk beritikad baik, tindakan kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah pihak lawan juga dapat dikatakan melanggar kepatutan. Kepatutan itu tergantung dari rasional masyarakat menilai tindakan tersebut. Jadi pembatalan perjanjian sepihak tanpa alasan yang sah, yakni tidak memenuhi syarat yang tertera dalam pasal 1266 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), termasuk dalam perbuatan melawan hukum, apalagi jika pembatalan perjanjian tersebut sebagai akibat memanfaatkan posisi dominannya untuk melakukan kesewenang-wenangan kepada pihak lain yang lebih lemah atau mempunyai kedudukan yang merugikan. Hal ini termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat Suharnoko, bahwa suatu pelanggaran perjanjian atau pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh satu pihak, dapat juga berupa suatu pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau suatu perbuatan yang melanggar kepatutan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan dalam hubungan antara warga masyarakat dan terhadap benda orang lain Suharnoko, Op. Cit., hal 131

13 Pitlo menegaskan bahwa biasanya dalam menentukan besarnya kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diterapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), melainkan paling tinggi ketentuan dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tersebut secara analogis. Oleh karena itu Rosa Agustina berpendapat bahwa dalam pasal 1247 dan pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tidak dapat diterapkan untuk perbuatan melawan hukum karena: 26 a) Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengenai perbuatan perikatan yang berarti, bahwa perikatan tersebut dilahirkan dari persetujuan, sedangkan perbuatan melawan hukum tidaklah merupakan perikatan yang lahir dari persetujuan. b) Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) membebankan bunga atau penggantian biaya, rugi dan bunga dalam hal terjadi kelambatan pembayaran sejumlah uang, sedangkan yang dialami karena perbuatan melawan hukum bukan disebabkan karena tidak dilakukan pembayaran uang tepat pada waktunya. Berdasarkan uraian tersebut, penulis setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh Pitlo dan Rosa Agustina, karena pasal 1247 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengisyaratkan adanya suatu perjanjian sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat bahwa si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga nyata, yang telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan. Seperti yang dikemukakan Rosa Agustina dari pasal ini mencerminkan adanya suatu perbuatan Perikatan, sedangkan perbuatan melawan hukum lahir dari pelanggaran terhadap perikatan yang lahir karena undang-undang. Menurut teori klasik ganti kerugian karena wanprestasi yang dijadikan acuan adalah keadaan dimana seandainya perjanjian dilaksanakan, sedangkan 26 Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 72

14 ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang dijadikan acuan adalah sebisa mungkin mengembalikan pihak yang dirugikan kepada keadaan sebelum perbuatan melawan hukum terjadi. Sehingga pada saat wanprestasi ganti rugi yang dituntut dapat juga termasuk ganti rugi terhadap keuntungan yang diharapkan seandainya perjanjian terlaksana, yang mana besarnya kerugian sudah bisa diduga dan dihitung sebelumnya. Sedangkan dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, yang dapat dituntut hanyalah ganti rugi yang nyata diderita oleh pihak yang dirugikan (reliance loss). Teori klasik ini tidak sepenuhnya berlaku mutlak meskipun masih relevan digunakan. 27 Dengan berlakunya teori analogi terhadap ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, maka pada umumnya dianut pendapat bahwa ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum selain harus mengganti kerugian yang ditimbulkan juga harus membayar ganti rugi akibat keuntungan yang dapat diharapkan diterima (winstderving). 28 Yang perlu diperhatikan apakah kerugian atas kehilangan keuntungan yang diharapkan memang sudah dapat diduga oleh Tergugat dan merupakan akibat langsung dari tidak terpenuhinya perikatan. 29 Pada kasus pertama, pembatalan sepihak yang dilakukan oleh Conoco Philips terhadap PT. Sapta Sarana Persona Prima didasarkan karena pihak Conoco Philips menganggap PT. Sapta Sarana Persona Prima telah melakukan kelalaian (wanprestasi) yaitu telah melakukan keterlambatan dalam pengiriman Rig-rig selama 4 (empat) bulan dari jadwal yang disepakati dan Rig-rig yang didatangkan tidak memenuhi spesifikasi kelayakan operasional sehingga tidak bisa dioperasikan sama sekali dan dikhawatirkan dapat mengancam keselamatan pekerja dilapangan (tidak memenuhi persyaratan (i) safety, (ii) healty, (iii) environment friendly). Hal ini telah sesuai dengan pasal di dalam Addendum Lampiran A Kontrak telah disepakati pengaturan sebagai berikut: (terjemahan dalam bahasa Indonesia) 27 Suharnoko, Op. Cit., hal Ibid., hal Ibid., hal. 136

15 waktu adalah sangat penting. Apabila pada setiap waktu pelaksanaan kontraktor atas kontrak ini tidak memadai untuk memenuhi keperluan Perusahaan atau terlambat secara tidak wajar, maka Perusahaan akan memberitahukan kepada Kontraktor, apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah penerimaan tersebut Kontraktor lalai untuk memulai atau melanjutkan pelaksanaan yang dipercepat untuk memenuhi keperluan Perusahaan, maka Perusahaan dapat mengakhiri kontrak ini sesuai dengan pasal Setiap peningkatan sumber daya yang diberikan oleh Kontraktor untuk mempercepat kemajuan harus ditanggung oleh Kontraktor Selain itu menurut Conoco Philips, PT. Sapta Sarana Persona Prima berulang kali ingkar janji, karena ternyata setelah dilakukan inspeksi oleh MODUSPEC berdasarkan laporannya tanggal 27 september 2002 menyebutkan banyaknya kerusakan-kerusakan yang terdapat pada komponen Rig-rig yang didatangkan oleh PT. Sapta Sarana Persona Prima. Jika dilihat dari hati hal tersebut di atas, memang alasan pemutusan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh Conoco Philips cukup memenuhi dua alasan pertama dari pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni perjanjian bersifat timbal balik, dan pihak Conoco Philips menganggap ada wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Hanya saja pemutusan perjanjian tersebut dilakukan oleh Conoco Philips hanya melalui surat pemberitahuan, dan tidak melewati pengadilan. Namun karena pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima merasa tidak melakukan ingkar janji (wanprestasi) sehingga tuduhan wanpretasi yang dilontarkan pihak Conoco Philips terlebih dahulu harus dibuktikan. Dari ada atau tidak wanprestasi yang dilakukan, maka dapat dilihat apakah pemutusan perjanjian secara sepihak telah sesuai dengan pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, atau termasuk dalam lingkup perbuatan melawan hukum. Pihak Conoco Philips sebelumnya telah melakukan perubahan pada perjanjian tersebut. Perubahan-perubahan tersebut terutama perubahan spesifikasi

16 Top Drive Rig. Menurut saksi ahli DR.Ir. Chandra Arif (dari BPPT) yang menerangkan apabila ada perubahan spesifikasi Top Drive Rig tersebut, maka memerlukan waktu 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan untuk mendapatkan dan mengirimkan Rig tersebut, sehingga waktu yang layak atau patut diberikan untuk memberi kesempatan kepada PT. Sapta Sarana Persona Prima melaksanakan penggantian Rig tersebut adalah minimal 10 (sepuluh) bulan dihitung dari tanggal persetujuan PT. Sapta Sarana Persona Prima atas perubahan spesifikasi tersebut, yakni tanggal 20 Mei Namun yang terjadi pihak Conoco Philips tidak memberikan waktu yang layak untuk PT. Sapta Sarana Persona Prima dalam memenuhi permintaan perubahan yang di maksud, sehingga PT. Sapta Sarana Persona Prima mengalami keterlambatan dalam memenuhi permintaan perubahan tersebut. Dalam hal ini keterlambatan yang dilakukan oleh PT. Sapta Sarana Persona Prima merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, karena untuk memesan Rig dengan spesifikasi baru membutuhkan waktu yang lama. Mengenai PT. Sapta Sarana Persona Prima telah telah menyetujui adanya perubahan tersebut, hal ini di pandang sebagai kelemahan posisi dari pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima, karena sebagai kontraktor dan ketika pelaksanaan perjanjian telah berjalan, maka tentunya pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima akan berharap perjanjian tersebut akan tetap berlangsung, agar PT. Sapta Sarana Persona Prima berharap tetap mendapatkan keuntungan atau setidaknya penggantian biaya dan segala hal yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Selain itu pihak Conoco Philips yang telah lama berkecimpung dalam bisnis ini tentunya telah mengetahui bahwa dalam hal pemesanan Rig dengan spesifikasi yang baru membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga sekiranya dapat memberikan waktu yang layak bagi PT. Sapta Sarana Persona Prima untuk memenuhi permintaan perubahan tersebut, namun walau telah mengetahui, pihak Conoco Philips tidak memberikan waktu yang layak dan tetap menuntut haknya dalam keadaan PT. Sapta Sarana Persona Prima yang paling sulit, karena harus memenuhi Rig dengan spesifikasi baru dan pada waktu itu juga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga kemudian digugat pailit oleh sejumlah krediturnya. Oleh karenanya, dikaitkan dengan pendapat Suharnoko, dalam hal ini kreditur

17 dapat dikatakan tidak beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian, karena tidak memperhatikan kreditur dalam situasi tertentu. 30 Menurut DR. Ridwan Khairandi, S.H yang juga merupakan saksi ahli dalam persidangan kasus tersebut, bahwa perubahan perjanjian secara sepihak dapat dikatakan dengan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan adalah cacat kehendak yang dikembangkan oleh pengadilan yang telah menjadi yurisprudensi. Bila dalam sebuah perjanjian terjadi ketidak seimbangan posisi tawar, antara para pihak, pihak yang kuat posisi tawarnya dapat menekan pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dan isi perjanjian dapat dibuat sesuai dengan kehendak dan kepentingan pihak dengan posisi yang lebih kuat Berdasarkan fakta yang diketahui secara umum, bahwa Conoco Philips adalah perusahaan internasional/asing yang besar yang sudah lama terkenal di bidang perminyakan yang beroperasi di berbagai Negara, sedangkan PT. Sapta Sarana Persona Prima hanyalah sebagai perusahaan nasional yang di Indonesia tidak begitu dikenal. Selain itu pihak yang memberikan pekerjaan dari sisi psikologis mempunyai posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan penerima pekerjaan. DR. Ridwan selanjutnya mengatakan bahwa kelemahan posisi tawar sebenarnya bukan masalah dalam perjanjian, akan tetapi akan menjadi masalah jika ada pihak lain yang memanfaatkan kelemahan tersebut. Selanjutnya Ia juga mengatakan bahwa sangatlah tidak patut bila suatu perjanjian dibatalkan oleh pihak yang lebih kuat posisi tawarnya, dikarenakan keterlambatan pihak lainnya untuk memenuhi hal-hal yang menjadi kewajiban pihak yang lebih lemah posisi tawarnya, yang di tambahkan pada saat isi perjanjian sedang berjalan. Dalam hal ini pihak Conoco Philips sebagai perusahaan asing/internasional yang besar dan berperan sebagai pemberi pekerjaan, mempunyai posisi dominan daripada pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima. 30 Suharnoko, Op. Cit., hal.4. Itikad baik juga dapat diartikan bahwa dalam melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur dapat dianggap melakukan kontrak dengan itikad tidak baik.

18 Perubahan-perubahan sepihak yang dilakukan oleh pihak Conoco Philips dapat dianggap sebagai pemanfaatan posisi dominannya, karena menurut saksi ahli dalam persidangan tersebut, sebenernya perubahan tidak lazim dilakukan dalam perjanjian ini, karena peralatan tersebut mahal dan memerlukan waktu yang lama dalam penyediaannya. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembatalan perjanjian sepihak oleh Conoco Philips tidak memenuhi syarat-syarat pembatalan perjanjian yang terdapat dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena unsur wanprestasi yang di tunduhkan oleh pihak Conoco Philips tidak terbukti. Kemudian juga pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh Conoco Philips hanya melalui surat pemberitahuan biasa pada PT. Sapta Sarana Persona Prima, tidak melalui pengadilan. Selain itu dalam perjanjian tersebut, pihak Conoco Philips sebagai perusahaan asing/internasional yang besar dan bertindak sebagai pemberi pekerjaan, yang secara psikologis mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dari pada pihak PT. Sapta Sarana Persona Prima menggunakan posisi dominannya untuk melakukan perubahan sepihak pada perjanjian yang mereka buat, sehingga menimbulkan keterlambatan pada pihak Kontraktor dalam hal ini PT. Sapta Sarana Persona Prima untuk memenuhi permintaan perubahan tersebut. Yang mana lazimnya dalam perjanjian tertentu seperti yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak dapat dibuat perubahan spesifikasi dalam kontrak, karena peralatan yang diperlukan mahal, serta memerlukan waktu yang lama untuk penyediannya. Pembatalan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh pihak PT. Pertamina terhadap PT. Wahana Seno Utama didasarkan pada Pihak PT. Wahana Seno Utama telah melakukan wanprestasi yaitu tidak melanjutkan pembangunan proyek gedung Menara Gas sejak tanggal 1 Mei 1998, sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan kedua belah pihak No.SPK-1016A/C0000/96-S0 pada tanggal 9 Agustus Dimana menurut pihak PT. Pertamina, pihak PT. Wahana Seno Utama tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan pasal 5.1 dan pasal 2.2 Perjanjian, dimana PT. Wahana Seno Utama dianggap tidak menyediakan pendanaan proyek pembangunan gedung Menara Gas sebesar US$ 95, (sembilan puluh lima juta enam ratus empat belas ribu tujuh puluh dollar Amerika

19 Serikat) dan tidak menyelsaikan pembangunan gedung Menara Gas dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung mulai tanggal 17 Februari Alasan dari pihak PT. Wahana Seno Utama mengalami penundaan pelaksanaan pembangunan proyek tersebut sejak tanggal 1 Mei 1998, dikarenakan terjadinya perubahan kondisi perekonomian yang mengakibatkan harga material membumbung tinggi dan tidak menentu. Sehingga menurut PT. Wahana Seno Utama keadaan tersebut termasuk dalam kategori force majeure. Dengan keadaan tersebut, sebenarnya di ketahui bahwa pihak PT. Wahana Seno Utama memiliki itikad baik untuk tetap ingin melanjutkan proyek dalam perjanjian tersebut, terbukti dengan adanya kegiatan surat menyurat serta pertemuan yang dilakukan pihak PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama yang banyak menghasilkan kesepakatan baru untuk tetap melaksanakan proyek dalam perjanjian tersebut, antara lain dengan usaha yang dilakukan PT. Wahana Seno Utama untuk mendapatkan penyandang dana asing GIFC Boston Capital, memperpanjang garansi bank, mengadakan perubahan pasal-pasal penjanjian dan kajian ulang keekonomian, serta terciptanya suatu penambahan perjanjian dimana PT. Pertamina berkewajiban mencari tenants dari mitra kerja PT. Pertamina untuk menyewa gedung Menara Gas (pasal 3.1.C-BPT). Tetapi dengan segala yang telah diupayakan tersebut, pihak PT. Pertamina tetap melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak dengan PT. Wahana Seno Utama serta melakukan pencairan dana garansi bank tanpa sepengetahuan PT. Wahana Seno Utama, yang akhirnya dilanjutkan dengan melakukan gugatan kepada PT. Wahana Seno Utama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan wanprestasi PT. Wahana Seno Utama. Dalam kasus kedua jika dilihat dari pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut alasan pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh PT. Pertamina memenuhi syarat pertama, dimana memang perjanjian yang di lakukan antara PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama merupakan perjanjian timbal balik. Tetapi pembuktian mengenai wanprestasi dimana terjadi perbedaan pendapat diantara kedua belah pihak, mengenai perubahan kondisi perekonomian

20 yang mengakibatkan harga material membumbung tinggi dan tidak menentu merupakan force majeure harus dibuktikan terlebih dahulu. Selain itu juga pemutusan sepihak yang dilakukan pihak PT. Pertamina hanya melalui surat pemberitahuan dan tidak melewati pengadilan. Dari ada atau tidak wanprestasi yang dilakukan, maka dapat dilihat apakah pemutusan perjanjian secara sepihak telah sesuai dengan pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, atau termasuk dalam lingkup perbuatan melawan hukum. Dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1787 K/PDT/2005 dapat diketahui bahwa Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa krisis moneter dapat dijadikan alasan terhambatnya pelaksanaan isi perjanjian, karena jelas bahwa krisis moneter merupakan suatu hal yang tidak dapat diduga akan terjadi dan diluar kendali dari pihak yang bersangkutan. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu ruang lingkup dari force majeure, yaitu dikarenakan keadaan ekonomi yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor ekonomi. Termasuk di dalam force majeure tersebut, antara lain terjadi perubahan kondisi perekonomian atau peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan tidak dapat dipenuhi prestasi, timbulnya gejolak moneter yang menimbulkan kenaikan biaya bank dan sebagainya. 31 Selain itu juga terlihat adanya suatu tindakan kesewenang-wenangan dari pihak PT. Pertamina yang memanfaatkan posisi dominannya untuk mengubah/mengganti kata-kata dalam pasal 3.1.C-BPT dari kata berkewajiban menjadi membantu mengusahakan. Kata berkewajiban mempunyai arti bahwa PT. Pertamina harus/wajib untuk mencari tenants dari mitra kerja PT. Pertamina untuk menyewa gedung Menara Gas. Dimana pihak PT. Pertamina sendiri sebenarnya juga belum melaksanakan kewajibannya ini. Karena apabila hal tersebut sudah dapat dilakukan oleh pihak PT. Pertamina, maka PT. Wahana Seno Utama akan dapat segera melanjutkan proyek tersebut dengan bantuan dana dari GIFC Boston Capital. 31 Soemadipradja, Rahmat S.S., Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 42

21 Hal lain juga berkaitan dengan pencairan dana bank garansi milik PT. Wahana Seno Utama sebesar Rp ,26 (satu milyar dua ratus delapan puluh lima juta dua ratus delapan puluh tiga ribu tujuh puluh tujuh rupiah dua puluh enam sen) yang dilakukan oleh pihak PT. Pertamina di luar sepengetahuan PT. Wahana Seno Utama. Padahal PT. Wahana Seno Utama tetap beritikad baik untuk memperpanjang bank garansi sebagai bentuk bahwa pihak PT. Wahana Seno Utama tetap ingin melanjutkan apa yang telah di perjanjikan oleh kedua belah pihak. Bank garansi memang suatu jaminan dari pihak PT. Wahana Seno Utama sebagai jaminan kepada pihak PT. Pertamina, dimana apabila terjadi wansprestasi dari pihak PT. Wahana Seno Utama, maka dana dari bank garansi tersebut dapat dimiliki oleh pihak PT. Pertamina, tetapi benar atau tidaknya pihak PT. Wahana Seno Utama telah melakukan wanprestasi belum dapat dibuktikan oleh PT. Pertamina. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembatalan/pemutusan perjanjian sepihak oleh PT. Pertamina tidak memenuhi syarat-syarat pembatalan perjanjian dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena unsur wanprestasi yang dituduhkan oleh pihak PT. Pertamina tidak terbukti. Hal tersebut dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1787 K/PDT/2005 dapat diketahui bahwa Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa krisis moneter dapat dijadikan alasan terhambatnya pelaksanaan isi perjanjian, karena jelas bahwa krisis moneter merupakan suatu hal yang tidak dapat diduga akan terjadi dan diluar kendali dari pihak yang bersangkutan, sehingga hal tersebut dapat dikategorikan force majeure. Selain itu dalam pembatalan/pemutusan perjanjian tersebut terjadi tindakan kesewenang-wenangan dimana pihak PT. Pertamina tidak melaksanakan perjanjian dalam pasal 3.1.C- BPT dimana pihak PT. Pertamina harus mencarikan tenants untuk menyewa gedung Menara Gas, agar PT. Wahana Seno Utama dapat melanjutkan proyek dalam perjanjian dengan mendapatkan bantuan dana dari GIFC Boston Capital. Hal terakhir yaitu pencairan dana bank garansi yang dilakukan oleh PT. Pertamina tanpa sepengetahuan PT. Wahana Seno Utama merupakan tidakan dimana PT.Pertamina melakukan kesewenang-wenangan dengan tanpa melakukan

22 pembuktian mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Wahana Seno Utama, tetap melakukan pencairan dana bank garansi tersebut. PENUTUP A. Kesimpulan Dalam hal pembatalan perjanjian sepihak dapat digugat dengan gugatan perbuatan melawan hukum, karena dianggap pembatalan sepihak tidak didasari dengan alasan yang dibenarkan menurut kesepakatan mereka untuk dapat dibatalkan, serta dapat dikatakan telah melanggar kewajiban hukum yang juga ada di luar perjanjian, yakni untuk selalu beritikad baik dan bertindak sesuai dengan kepatutan dan asas kehati-hatian. Suatu pelanggaran perjanjian atau pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak, dapat juga suatu pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau suatu perbuatan yang melanggar kepatutan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan dalam hubungan antara warga masyarakat dan terhadap benda orang lain. Syarat batal suatu perjanjian diatur dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan syarat agar suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak adalah perjanjian harus timbal balik, terdapat wanprestasi, dan pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut melanggar undang-undang, yakni pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Selain itu pertimbangan lain dapat dilihat dari alasan pembatalan perjanjian, jika pembatalan perjanjian tersebut mengandung kesewenangwenangan, atau menggunakan posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan, maka hal tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum, karena kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan merugikan pihak lawan diluar dari pelaksanaan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, sehingga bukam merupakan wanprestasi, namun lebih ke arah melanggar kewajiban hukumnyan untuk selalu Mengenai konsep ganti rugi karena karena perbuatan melawan hukum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak merincikan dengan jelas

23 perhitungan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, maka perhitungannya digunakan konsep ganti rugi karena wanprestasi secara analogis, terkecuali pada pasal-pasal yang dianggap tidak dapat digunakan pada konsep ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, yakni pasal 1247 dan 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain itu dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, menurut teori klasik yang dapat dituntut hanyalah ganti rugi yang nyata diderita oleh pihak yang dirugikan, akan tetapi teori ini tidak berlaku mutlak walaupun masih relevan untuk diterapkan. Namun hakim mempunyai batasan untuk dapat memutuskan dengan seadil-adilnya sebagaimana tercantum dalam pasal 178 ayat (3) HIR yang mengatakan bahwa hakim berwenang untuk menentukan berapa sepantasnya harus diganti kerugian, sekalipun penggugat menuntut ganti kerugian dalam jumlah yang tak pantas. (ex aequo ex bono). Konsep melawan hukum yang digunakan dapat dilihat dari benang merah yang dapat ditarik dari hasil analisa kedua perkara tersebut, yaitu dari kedua kasus pembatalan perjanjian sepihak tersebut unsur-unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi, yang utama diantaranya terdapat didalamnya unsur pelanggaran terhadap kewajiban hukum di luar suatu perjanjian, yakni untuk selalu beritikad baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian, selain itu juga terindikasi adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan posisi tawar lebih dominan untuk memanfaatkan posisi tawar pihak lain, yang mana hal tersebut juga melanggar kepatutan dan sikap baik dalam masyarakat, serta tidak terpenuhinya syarat batal dalam permbatalan perjanjian sepihak sebagaimana tertuang dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena hal-hal tersebutlah konsep perbuatan melawan hukum dapat diterapkan dalam kasus pembatalan perjanjian secara sepihak. B. Saran Dengan diputuskannya beberapa perkara pembatalan perjanjian secara sepihak sebagai perbuatan melawan hukum diharapkan dapat menjadi yurisprudensi sehingga dapat menciptakan kekonsistenan hakim dalam

24 menerapkan hukum, hal ini agar tercipta kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian agar selalu beritikad baik dan berusaha yang terbaik dalam melaksanakan suatu perjanjian. Dalam penentuan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, karena perhitungannya didasarkan pada pertimbangan hakim sesuai dengan keadilan dan kepatutan (ex aequo ex bono), akan lebih baik jika pertimbangan tersebut didukung oleh data dari hasil perhitungan seorang ahli keuangan yang berkompeten dibidang mana kasus tersebut disengketakan, yang mana ahlin tersebut terlepas dari pihak manapun dalam perjanjian. Sehingga besarnya ganti kerugia yang diberikan selain sesuai dengan keadilan dan kepatutan juga dirasa lebih valid dan benar-benar mewakili kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan. DAFTAR PUSTAKA BUKU Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fuady, Munir. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, 1982 Soemadipradja, Rahmat S.S. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.

25 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terjemahan Prof. R. Subekti S.H dan R. Tjitrosudibo, Cet. 38., Edisi Revisi Jakarta: PT pradnya Paramita, 2007.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada prinsipnya manusia adalah mahluk sosial, yaitu mahluk yang hidup bermasyarakat, sebagai mahluk sosial, manusia selalu mempunyai naluri untuk hidup bersama

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA KASUS 4.1. PERKARA NO. 281/PDT.G/2007/PN.JKT.PST ANTARA PT. SAPTA SARANA PERSONAPRIMA (SAPTA) MELAWAN CONOCO PHILIPS (CONOCO).

BAB 4 ANALISA KASUS 4.1. PERKARA NO. 281/PDT.G/2007/PN.JKT.PST ANTARA PT. SAPTA SARANA PERSONAPRIMA (SAPTA) MELAWAN CONOCO PHILIPS (CONOCO). BAB 4 ANALISA KASUS 4.1. PERKARA NO. 281/PDT.G/2007/PN.JKT.PST ANTARA PT. SAPTA SARANA PERSONAPRIMA (SAPTA) MELAWAN CONOCO PHILIPS (CONOCO). 4.1.1 Kasus Posisi Perkara bermula dari diterimanya proposal

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa Nomor P U T U S A N 1787 K/PDT/2005 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Akibat Keadaan Memaksa. (Overmacht / Force Majeure) (Studi Putusan Nomor 3087 K/Pdt/2001 Mahkamah Agung) ABSTRAK

Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Akibat Keadaan Memaksa. (Overmacht / Force Majeure) (Studi Putusan Nomor 3087 K/Pdt/2001 Mahkamah Agung) ABSTRAK 1 Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Akibat Keadaan Memaksa (Overmacht / Force Majeure) (Studi Putusan Nomor 3087 K/Pdt/2001 Mahkamah Agung) Anandisa Syakbandiah 1, Weny Almoravid Dungga 2, Suwitno Y.

Lebih terperinci

BAB 4 TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE

BAB 4 TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE BAB 4 TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE 4.1.Kasus Posisi Pada tanggal 25 Februari 2008, Panitia Pengadaan Barang/Jasa SNVT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Listrik merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Sejak adanya listrik manusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, yang menonjol adalah

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang bertujuan untuk melindungi kepentingankepentingan, maka penggunaan hak dengan tiada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA KEPEMILIKAN MODAL ANTARA PT. AMBARA PRANATA DENGAN PT. MACCARONI APABILA TERJADI WANPRESTASI

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA KEPEMILIKAN MODAL ANTARA PT. AMBARA PRANATA DENGAN PT. MACCARONI APABILA TERJADI WANPRESTASI AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA KEPEMILIKAN MODAL ANTARA PT. AMBARA PRANATA DENGAN PT. MACCARONI APABILA TERJADI WANPRESTASI Oleh Sundari Megarini Dr. I Ketut Westra, SH., MH. A.A. Gde Agung Darma Kusuma,

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN BESARNYA SUKU BUNGA PINJAMAN DALAM SENGKETA HUTANG PIUTANG (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN BESARNYA SUKU BUNGA PINJAMAN DALAM SENGKETA HUTANG PIUTANG (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN BESARNYA SUKU BUNGA PINJAMAN DALAM SENGKETA HUTANG PIUTANG (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan jangka panjang yang dilakukan bangsa Indonesia mempunyai sasaran utama yang dititik beratkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan pengembangan

Lebih terperinci

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian 19 BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatanperikatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 17 Juni 2013 menjatuhkan putusan batal demi hukum atas perjanjian yang dibuat tidak menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52. BAB I PENDAHULUAN Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan, maka penggunaan hak dengan tiada suatu kepentingan

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN. Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN. Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN A. Pengertian Perjanjian/Perikatan Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN

PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN I Made Milan Diasta, Suharnoko, Abdul Salam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia. Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 ABSTRAK Setiap perbuatan yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) I WANPRESTRASI 1. Prestasi adalah pelaksanaan sesuatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO) 1 Oleh : Cindi Kondo 2

TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO) 1 Oleh : Cindi Kondo 2 TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO) 1 Oleh : Cindi Kondo 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah prosedur pembuatan perjanjian sewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pada kenyataannya masih banyak orang yang dikacaukan oleh adanya istilah perikatan dan perjanjian. Masing-masing sebagai

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Perjanjian sewa-menyewa, akibat hukum, upaya hukum.

ABSTRAK. Kata kunci: Perjanjian sewa-menyewa, akibat hukum, upaya hukum. ABSTRAK Dita Kartika Putri, Nim 0810015183, Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Tidak Tertulis Sewa-Menyewa Alat Berat di CV. Marissa Tenggarong, Dosen Pembimbing I Bapak Deny Slamet Pribadi, S.H., M.H dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1 KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA Oleh : Revy S.M.Korah 1 A. PENDAHULUAN Lelang di Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah yang baru, karena

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengusaha untuk mengembangkan usahanya. kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengusaha untuk mengembangkan usahanya. kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan dunia bisnis saat ini berbagai macam usaha dan kegiatan dapat dilakukan dalam rangka untuk memenuhi pangsa pasar di tengah-tengah masyarakat.permintaa

Lebih terperinci

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG Oleh : I Ketut Gde Juliawan Saputra A.A Sri Utari Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan yang berjudul Perbedaan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI Harumi Chandraresmi (haharumi18@yahoo.com) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pranoto (maspran7@gmail.com) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM Oleh : Ni Made Astika Yuni I Gede Pasek Eka Wisanjaya Bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara

Lebih terperinci

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN. SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.Klt) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH Oleh : Gostan Adri Harahap, SH. M. Hum. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhanbatu

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH 3.1 Kegagalan Suatu Akad (kontrak) Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum keperdataan yang adil dan koheren kiranya penting bagi kelancaran lalu lintas hukum dan sebab itu pula menjadi prasyarat utama bagi tumbuhkembangnya

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.4/Oktober/2013. PEMBATALAN PERJANJIAN SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN HUKUM 1 Oleh: Gerry R.

Lex Privatum, Vol.I/No.4/Oktober/2013. PEMBATALAN PERJANJIAN SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN HUKUM 1 Oleh: Gerry R. PEMBATALAN PERJANJIAN SEPIHAK SEBAGAI SUATU PERBUATAN MELAWAN HUKUM 1 Oleh: Gerry R. Weydekamp 2 ABSTRAK Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pembatalan perjanjian secara sepihak

Lebih terperinci