Suko Dwi Putro, S.t, Agus Santoso M.Si, Wahyu Hidayat S.si M.sc , )

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Suko Dwi Putro, S.t, Agus Santoso M.Si, Wahyu Hidayat S.si M.sc , )"

Transkripsi

1 Analisa Log Densitas Dan Volume Shale Terhadap Kalori, Ash Content Dan Total Moisture Pada Lapisan Batubara Berdasarkan Data Well Logging Daerah Banko Pit 1 Barat, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan Suko Dwi Putro, S.t, Agus Santoso M.Si, Wahyu Hidayat S.si M.sc (* Prodi Teknik Geofisika, UPN Veteran Yogyakarta Jln SWK Ring Road Utara Condong Catur 55283, sukodwiputro@rocketmail.com ) ABSTRAK Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode Well Logging di daerah Banko Pit 1 Barat, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan penelitian ini adalah Menganalisa nilai log densitas terhadap nilai kalori, Ash Content dan Total Moisture pada lapisan batubara, dan Menganalisa Volume Shale lapisan batubara terhadap nilai kalori dan Ash Content pada lapisan batubara. Metode Well Logging yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Log gamma ray dan Log Densitas, Dengan banyak sumur 8 (Delapan) titik bor yaitu sumur BK-177, BK-178, BK-190, BK-191, BK-192, BK-193, BK-194, BK-195. Hasil analisa di daerah penelitian didapatkan nilai ratarata nilai densitas 1,522 gr/cc, Volume Shale 4,951%, Ash Content 3,39%, Kalori 6059 Kcal/kg dan Total Moisture 25%. Dengan menggunakan metode Trideline Scatterplot Bivariant yang digunakan untuk mendapatkan hubungan korelasi dari 2 variable. Dimana pada daerah penelitian memiliki hubungan korelasi kuat - korelasi sangat kuat. Dari analisa hubungan densitas dengan Ash Content memiliki variasi negatif R2 = 82,2%, (korelasi sangat kuat). Hubungan densitas dengan Kalori memiliki variasi positif R2 = 84,5% (korelasi sangat kuat), Hubungan densitas dengan Total Moisture memiliki korelasi negatif R2 = 60,1% (korelasi kuat) sedangkan hubungan kalori dengan Ash Content memiliki korelasi negatif R2 = 88,6% (korelasi sangat kuat). Sedangkan hubungan Volume Shale dengan Kalori memiliki korelasi negatif R2 = 71,1% (korelasi kuat), Hubungan Volume Shale dengan Ash Content memiliki korelasi positif R2 = 61,2% ( korelasi kuat) Dilihat dari hubungan korelasi tersebut kualitas batubara pada daerah penelitian memiliki kualitas yang baik. Kata Kunci : well logging, log gamma ray, log densitas, Volume Shale, Ash Content, Kalori, Total Moisture. ABSTRACT The Research has been carried out using the method of Well Logging in the area Banko West Pit 1, District Lawang Kidul District, Muara Enim, South Sumatra Province. The purpose of this study is to Analyze the log density of the caloric value, Ash Content and Total Moisture in the coal seam and shale volume Analyzing the calorific value of the coal seam and Ash Content on coal seam. Well Logging methods used in this research are gamma ray log and density log, with many wells 8 ( Eight ) drill point is well BK - 177, BK - 178, BK - 190, BK - 191, BK - 192, BK - 193, BK - 194, BK The results of the analysis in the study area average value obtained density value g / cc, Volume Shale %, 3.39 % Ash Content, Calories 6059 Kcal / kg, Total Moisture 25 %. By using the scatterplot Trideline Bivariant used to obtain the correlation of the two variables. Where the study area has a strong correlation - correlation is very strong. From the analysis of the relationship with Ash Content density having a negative variation of R2 = 82.2 %, ( very strong correlation ). Relationship with the Calorie density has a positive variation of R2 = 84.5 % ( very strong correlation ), the Total Moisture density relationship has a negative correlation R2 = 60.1 % ( strong correlation ) while the relationship with Ash Content calories have a negative correlation R2 = 88, 6 % ( very strong correlation ). While the relationship with Calorie Volume Shale has a negative correlation R2 = 71.1 % ( strong correlation ), Volume Shale relationship with Ash Content has a positive correlation R2 = 61.2 % ( strong correlation ) Judging from the correlation of coal quality in the study area has good quality Keywords : well logging, log gamma ray, log densitas, Volume Shale, Ash Content, Kalories, Total Moisture. I. PENDAHULUAN Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsurunsur utamanya terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Sukandarrumidi, (1995). Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan karbon (Carboniferrous Period) yang dikenal sebagai Zaman Batubara Pertama yang berlangsung selama 360 juta 290 juta tahun lalu. Endapan tumbuhan yang berubah menjadi gambut (peat), selanjutnya berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut pula batubara cokelat (brown coal). Setelah mendapatkan pengaruh suhu dan tekanan yang terus-menerus selama jutaan tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan, yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous). Perubahan secara kimia dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan berwarna lebih hitam,

2 sehingga membentuk bituminus (bituminous). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit (anthracite). Selain itu, semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang, karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu batubara, maka batubara dengan tingkat batubara rendah disebut pula batubara bermutu rendah seperti lignit (lignite) dan subbituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi nilai kalori, batubara umumnya semakin keras dan kompak serta berwarna semakin hitam mengkilat, kelembabannya pun akan berkurang, sedangkan kadar karbonnya meningkat, sehingga kandungan energinya semakin besar. Fischer, (1927), op cit. Susilawati (1992) Kualitas batubara dijumpai sangat bervariasi, baik secara vertikal maupun lateral, antara lain bervariasinya kandungan sulfur dan sodium, kondisi roof dan floor, kehadiran parting dan pengotor, proses leaching. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembentukan batubara yang kompleks,lingkungan pengendapan tempat terbentuk batubara dan proses-proses geologi yang berlangsung bersama atau setelah batubara terbentuk, Kuncoro (1996). Salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mendapatkan data geologi batubara bawah permukaan secara cepat dan tepat yaitu metode well logging. Merode ini menghasilkan tingkat akurasi data yang relatif tinggi dibandingkan dengan metode lain, sehingga metode ini masih tetap menjadi pilihan utama perushaan dalam melakukan eksplorasi meskipun butuh biaya yang relatif mahal. Well logging merupakan salah satau pencatatan,perekaman, penggambaran sifat karakter, ciri data keterangan dan urutan bawah permukaan secara bersambung dan teratur selaras dengan maujunya peralatan yang dipakai, Mares, (1984). Well logging adalah salah satu metode geofisika yang relatif akurat dalam penentuan kedalaman dan ketebalan suatu lapisan dengan menggunakan kombinasi gamma ray dan densitas, Musset, (2001). Penelitian ini dilaksanakn didaerah Tanjung Enim, Sumatera Selatan tempatnya di PT. Bukit Asam (persero), tbk. Karena pada daerah tersebut memiliki tambang batubara denagn luas ± 6,5 km2. Penulis sangat tertarik karena ingin mengetahui kandungan litologi dan kualitas serta ketebalan batubara didaerah tersebut dengan menggunakan metode geofisa well logging. Penelitian ini dilaksanakan di lapangan Banko PIT 1 Barat, yang terletak di Formasi Muara Enim. Jarak tempuh untuk menuju lapangan ± 30 menit dari kantor Ekplorasi Rinci PT. Bukit Asam. Di Lapangan tersebut terdapat 5 (lima) lapisan batubara yaitu, lapisan A1, A2, B1, B2, C. Pada setiap masingmasing lapisan tersebut memiliki ciri-ciri dan ketebalan yang berbeda. Maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan mengetahui pengukuran well logging pada lapisan batubara dari log gamma ray dan log densitas didaerah penelitian, uji kimia yang terdiri dari ( Ash Content Total moisture, kalori, dan volume shale) Tujuan dari penelitian untuk menganalisa hubungan log densitas terhadap kalori, Ash Content dan Total Moisture pada lapisan batubara. dan menganalisa hubungan volume shale terhadap nilai kalori dan Ash Content pada lapisan batubara II. TIJAUAN PUSTAKA II.1. Geologi Regional II.1.1. Fisiografi Fisiografi daerah penelitian menrut Asikin (1989), terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Cekungan Sumatera Selatan. 2. Bukit Barisan dan Tinggian Lampung. 3. Cekungan Bengkulu, meliputi lepas pantai antara daratan Sumatera dan rangkaian pulaupulau di sebelah barat pulau Sumatera. 4. Rangkaian kepulauan di sebelah barat Sumatera, yang membentuk suatu busur tak bergunung api di sebelah barat pulau Sumatera. Gambar II.1. Elemen tektonik pulau Sumatra (Koesoemadinata, 1980) Pada gambar II.1 menerangkan bahwa subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen diperkirakan menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatera, yaitu Cekungan Sumatera Utara, Cekungan

3 Sumatera Tengah, dan Cekungan Sumatera Selatan. II.1.2. Stratigrafi Sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung menerus selama zaman Tersier disertai dengan penurunan dasar cekungan hingga ketebalan sedimen mencapai 600 meter (Bemmelen, 1949). Siklus pengendapan di Cekungan Sumatera Selatan terbagi dalam 2 fase (Jackson, 1961), yaitu: a. Fase Transgresi, menghasilkan endapan kelompok Telisa yang terdiri dari Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja dan Formasi Gumai. Kelompok Telisa ini diendapkan tidak selaras diatas batuan dasar berumur pra Persia. b. Fase Regresi, menghasilkan endapan kelompok Palembang yang terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai. Koesoemadinata dan Pulunggono (1969), mengemukakan bahwa sedimentasi yang terjadi selama Tersier berlangsung pada lingkungan laut setengah tertutup. Pada fase transgresi terbentuk urutan fasies darat-transisi-laut dangkal pada fase regresi terbentuk urutan sebaliknya yaitu, laut dangkal-transisi-darat. Stratigrafi pada cekungan Sumatera Selatan dapat dikenal satu daur besar (Megacycle) yang terdiri dari suatu transgresi yang diikuti regresi (Koesoemadinata, 1980). Endapan Tersier pada Cekungan Sumatera Selatan dari tua ke muda terdiri dari Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat (Gambar II.2) Gambar II.2. Kolom stratigrafi regional daerah penelitian (Koesoemadinata, 1980) II.1.3. Struktur Geologi Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Cekungan Sumatera terbentuk oleh aktifitas dua lempeng, yaitu lempeng benua Asia dan Lempeng lautan India mengakibatkan deformasi yang kuat menyebabkan terbentuknya Bukit Barisan. Batuan sedimen Tersier di Banko Barat ini diendapkan pada Cekungan Sumatera Selatan membentuk sinklin Lematang, sisi barat daya dari cekungan ini membentuk antiklin Muara Enim. Dimana antiklin ini membentuk gunung Gumai dan gunung Garba di Selatan. Antiklin Muara Enim dibagi menjadi dua bagian yaitu : dibagian Utara Timur dan Selatan Tenggara dengan membentuk intrusi Hyperbassal, Andesit, dan Basalt. Gambar II.3. Peta geologi kabuaten Muara Enim (Sumber : Gafoer, dkk, 1986) II.2. Geologi Lokal Formasi Muara Enim diendapkan selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi ini mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier, berumur Miosen Atas yang tersusun oleh batulempung, batulempung pasiran, dan batubara. Formasi ini merupakan hasil pengendapan laut neritik sampai rawa dengan ketebalan berkisar meter. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Struktur yang berada di daerah penelitian merupakan bentuk yang antiform atau kubah karena berasosiasi dengan batuan beku (andesit), intrusi andesit di daerah Bukit Asam diperkirakan setelah Orogenesa Pliosen-Pliesen. II.2.1. Stratigrafi Lapisan Batubara Daerah Penelitian Batubara daerah Bukit Asam yang sekitarnya yang potensial dan bernilai ekonomis untuk ditambang saat ini ada 5 lapisan. Adapun urutan stratigrafi Tanjung Enim dari tua ke muda sebagai berikut (Gambar II.4) : 1. Lapisan Batubara Petai (Batubara C) Lapisan batubara ini mempunyai ketebalan antara 7-10 meter, berwarna hitam mengkilat dan mengandung lapisan pengotor batubara lempung dan batulanau dengan ketebalan sekitar cm. interburden antara batubara C dengan batubara B2 dicirikan oleh batupasir dengan sisipan batulanau dengan ketebalan sekitar meter dan batulempung berwarna abu-abu terang.

4 T E R T I A R Y P L I O C E N E MIO - PLIOC M I O C E N E P A L E M B A N G G R O U P KASAI MUARA ENIM AIR BENAKAT FORMATION FORMATION FORMATION MEMBER B MEMBER A K A F B A F (MP. B ) ( MP. A ) Lapisan Batubara Suban Bawah (Batubara B2) Lapiasn batubara ini mempunyai ketebalan 4-5 meter, dengan batubara yang berwarna hitam kecoklatan dengan tidak teratur dan terdapat mineral pyrite di dalam batubara ini. Interburden antara batubara B1 dengan batubara B2 dicirikan dengan batulempung massif, batupasir dengan ketebalan lapisan antara 2-5 meter. 3. Lapisan Batubara Suban Bawah (Batubara B1) Lapisan batubara ini berwarna hitam mengkilat di sekitar intrusi. Terdapat mineral pyrite dan batulempung berwarna hitam serta sangat keras dengan ketebalan kurang dari 5 meter. ketebalan lapisan batubara ini kurang lebih 8-12 meter. interburden antara batubara A2 dengan B1 dicirikan oleh adanya batulempung dan batulempung lanauan.yang berwarna kelabu dan massif serta mengandung mineral pyrite, dan ketebalan interburden ini antara meter dan terdapat lapisan batubara tipis yang disebut suban marker. 4. Lapisan Batubara Mangus Bawah (Batubara A1) Lapisan batubara ini mempunyai ketebalan antara 6,5-10 meter. dicirikan adanya 3 buah pita berwarna putih dengan ketebalan kurang dari 40 meter, yang brupa sisipan batulempung tufaan. Overburden lapisan ini dicirikan oleh batulempung berwarna abu-abu gelap kehijauan serta dijumpai claystone irone yang sangat keras berwarna coklat kemerahan dengan ketebalan seluruhnya sampai batubara yang dinamakan Hanging Seam. Lapisan batubara ini tidak ditambang karena tidak bernilai ekonomis. Age Formation Claystone STRATIGRAPHIC SEQUENCE AND LITHOLOGICAL COLUMN OF BANKO BARAT Pit 1 MINE OF TANJUNG ENIM Division of Seam Name of Seam Coal M4 M3 M2 M1 NIRU JELAWATAN ENIM KEBO N BENUANG BURUNG MANGUS MANGUS SUBAN PETAI MERAPI KELADI Coal (Not To Scale) Lithology Mean Thickness (m) Range Discription v - v - v - v - v - v - v Hanging Seam v - v - v - v - v - v - v - > 120 Claystone, silicified layers, bentonite layers few siltstone layers.] v - v - v - v - v - v - v A1 Coal, small tuffaceous claystone A intercalations. v - v - v - v - v - v - v Claystone, bentonic, sandstone - tuffaceous.. v. v. v. v. v. v. A2 Coal, top silicified. A Claystane, siltstone, sandstone intercalations Suban Marker (0,3 m) B1 Coal, small carbonaceous silty clay- B stone intercalations B2 Coal, lenses of carbonaceous clay- B stone on the base Sandstone with siltstone layers Claystone C Coal, sometimes splitting C1& C2 C small carbonaceous clay / siltstone inter- C calations and sometime parting. C Claystone, siltstone C2 Coal. > Claystone, siltstone, sandstone. Gambar II.4. Stratigrafi dan kolom litologi lapisan batubara di daerah Bukit Asam dan sekitarnya ( PT. Bukit Asam, 2000 ) berdasarkan: 1. Sifat fisik atau karakteristik batuan interburden, baik berada di atas atau dibawah lapisan batubara tersebut. 2. Jumlah lapisan pengotor (Clay Band) ataupun adanya cirri-ciri lainnya seperti silicified coal, yaitu batubara silikaan yang sangat keras terutama pada top atau lapisan atas batubara A2. Adanya batubara tipis yang disebut suban marker. Lapisan batubara ini mencirikan interburden antara lapisan batubara A2 dengan batubara B1. 3. Ketebalan rata-rata dari lapisan batubara maupun interburdennya. III. DASAR TEORI III.1. Batubara III.1.1 Pengertian Batubara Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat dialam dalam tingkat (grade) yang berbeda mulai dari lignit, subbitumine, antrasit. Berdasarkan atas kandungan zat terbang (volatil matter) dan besarnya kalori panas yang dihasilkan batubara dibagi menjadi 9 kelas utama. (Sukandarrumidi, 1995) III.1.2 Proses Terbentuknya Batubara Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia dan keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang akan mempengaruhinya serta bentuk lapisan batubara. - Tempat Terbentuknya Batubara di Daerah Penelitian Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil, Dapat dijumpai pada lapangan batubara Muara Enim (SumSel). III.2 Well logging Geofisika untuk Sumberdaya dan Cadangan Batubara III.2.1 Pengertian Dasar Well logging secara bebas dan sederhana berarti suatu pencatatan perekaman penggambaran sifat, karakter, ciri, data, keterangan, urutan bawah permukaan secara bersambung dan teratur selaras dengan majunya alat yang dipakai. Sehingga diagram yang dihasilkan akan merupakan gambaran hubungan antara kedalaman dengan karakter/sifat yang ada pada formasi (Winda, 1996). Ciri-ciri batubara Sub formasi M2 dapat dibedakan

5 III.2.2 Log Gamma ray Penentuannya berdasarkan pada keterdapatan konsentrasi uranium. Sumber dari gamma ray adalah potassium atau lebih khusus lagi berasosiasi dengan isotop K 4O. Potasium umumnya terdapat pada shale/clay sehingga pengukuran gamma ray biasanya digunakan untuk mengevaluasi kandungan shale/clay (BPB manual, 1981). Caranya gamma alami dipancarkan oleh sumber radioaktif, karena ada perbedaan kandungan mineral lempung dari tiap batuan maka pancaran sinar balik yang terekam akan berbeda, dari perbedaan ini akhirnya litologinya dapat ditentukan. Dalam penentuan lapisan batuan pembawa batubara, garis shale adalah respon tetapan harga 100% pada log, sehingga selalu dapat ditentukan. Pembacaan lebih kecil dari besaran garis shale berarti bertambahnya keberadaan batupasir, batugamping dan batubara, sedangkan pembacaan diatas garis shale menunjukkan lapisan marin (marine bands) atau konsentrasi uranium (BPB manual, 1981). Penggambaran garis batupasir berada dibawah garis batupasir biasanya menunjukkan batubara atau batugamping. Untuk defleksi diantara garis shale dan batupasir menunjukkan gradasi antara batupasir dan shale, seperti batulanau, batugamping argilaceous dan kadang batubara kotor (Gambar III.2 (BPB manual, 1981). diterima oleh detektor tergantung dari : - Besarnya densitas matriks batuan. - Besarnya porositas batuan. - Besarnya densitas kandungan yang ada dalam pori-pori batuan. Volume batuan yang diselidiki oleh alat density log tergantung pada jarak antara sumber radioaktif dan detektor. Untuk batuan yang tidak memerlukan resolusi tinggi, lebih baik menggunakan jarak antara sumber dan detektor agak jauh yaitu long spacing density tool (BPB manual, 1981) Respon kerapatan diatas lapisan batubara agak unik disebabkan kerapatan batubara yang rendah. Hal ini akan mendekati kebenaran apabila batubara berkualitas rendah. Pada defleksi gamma ray, batubara dan batupasir adalah serupa, tapi menunjukkan perubahan kerapatan yang kuat pada log density (Gambar III.2), sehingga dapat dibedakan (BPB manual, 1981). Gambar III.1. Respon litologi yang umumnya dijumpai pada lapisan pembawa batubara dengan metode log gamma ray (BPB manual, 1981). III.2.3 Log Densitas Prinsip kerja log density (Harsono, 1993) yaitu suatu sumber radioaktif dari alat pengukur di pancarkan sinar gamma dengan intensitas energi tertentu menembus formasi/batuan. Batuan terbentuk dari butiran mineral, mineral tersusun dari atom-atom yang terdiri dari proton dan elektron. Partikel sinar gamma membentur elektron-elektron dalam batuan. Akibat benturan ini sinar gamma akan mengalami pengurangan energi (loose energy). Energi yang kembali sesudah mengalami benturan akan diterima oleh detektor yang berjarak tertentu dengan sumbernya. Makin lemahnya energi yang kembali menunjukkan makin banyaknya elektron-elektron dalam batuan, yang berarti makin banyak/padat butiran/mineral penyusun batuan persatuan volume. Besar kecilnya energi yang Gambar III.2. Respon litologi yang umumnya dijumpai pada lapisan pembawa batubara dengan metode log density (BPB manual, 1981). Berdasarkan tabel dan gambar tersebut, terlihat bahwa batubara mempunyai nilai densitas antara 1,2 s/d 1,8 gr/cc yang berarti densitas terendah diantara semua batuan kecuali bila dibandingkan dengan densitas dari air dan gas yang berada di bawahnya. Dalam densitas log kurva dinyatakan dalam satuan gr/cc, karena energi yang diterima untuk deflektor dipengaruhi oleh matrik batuan ditambah kandungan yang ada dalam pori batuan, maka satuan gr/cc merupakan besaran bulk density batuan (ρb). pada penelitian yang dilakukan, satuan dari log densitas adalah counts per second (CPS) untuk memudahkan perhitungan maka dilakukan kalibrasi satuan dari CPS ke gr/cc nilai satuan CPS berbanding terbalik dengan nilai satuan gr/cc. Apabila defleksi log dalam satuan CPS menunjukkan nilai yang tinggi, maka akan menunjukkan nilai yang rendah dalam satuan gr/cc. Pemanahan adalah apabila nilai dalam CPS tinggi berarti sinyal radioaktif yang ditangkap kembali oleh sensor juga tinggi, hal ini disebabkan sinyal radioaktif yang mengukur kerapatan elektron batuan hanya sedikit, karena kerapatan elektron batuan hanya sedikit atau rendah maka nilai kerapatan massa batuan

6 dalam gr/cc juga rendah, sebaliknya apabila nilai dalam CPS rendah berarti sinyal radioaktif yang mengukur kerapatan elektron batuan lebih banyak atau tinggi sehingga rapat massa batuan dalam gr/cc juga lebih tinggi. Gambar III.3. Hubungan antara satuan CPS dan gram/cc menurut Warren ( 2002) yang telah dimodifikasi. Berdasarkan gambar 2 dapat diperoleh rumus, sebagai berikut: Y = e x (III.1) Keterangan: Y : nilai densitas dalam satuan CPS X : nilai densitas dalam satuan gr/cc dan secara manual kurva hubungan antara satuan CPS dengan gr/cc (Warren, 2002) dapat dilihat pada (lampiran gambar kurva). Log density terdiri dari 2 macam yaitu Long Spacing Density (LSD) dan Short Spacing Density (SSD) atau Bed Resolution Density (BRD). Long spacing density digunakan untuk evaluasi lapisan batubara karena menunjukan densitas yang mendekati sebenarnya berkat pengaruh yang kecil dari dinding lubang bor. Sedangkan Short spacing density mempunyai resolusi vertikal yang tinggi, maka cocok untuk pengukuran ketebalan lapisan batubara. III.4. Estimasi Kandungan Shale Pada Log Gamma Ray Log gamma ray dapat digunakan untuk mengetahui besarnya kandungan shale pada log gamma ray, yang mana dari masing masing indikasi clay tersebut akan menunjukkan harga yang cukup baik (V clay rendah) maupun kurang baik (V clay tinggi). Dasar dari estimasi kandungan shale adalah korelasi diantara kandungan shale dan aktivitas gamma ray. Dengan asumsi bahwa selama lapisan batuan tidak mengandung mineral lain selain shale/clay yang bersifat radioaktif, sebab kurva gamma ray tidak dipengaruhi oleh jenis kandungan maupun kekompakan batuan. Sehingga besar kecilnya intensitas radioaktif yang diterima oleh detektor mencerminkan besar kecilnya kandungan shale/clay yang ada dalam lapisan. Perhitungan harga V clay untuk lapisan-lapisan digunakan rumus yaitu sebagai tahap awal adalah menghitung indeks gamma ray (Gambar III.5). GR GR cn GR (III.2) GRsh GRcn Dengan: I GR : indeks shale gamma ray % GR : respon log gamma ray pada lapisan yang ingin dihitung % GR cn :respon log pada zona yang bebas GR sh shale(grmin)% : respon log di zona shale (GR Max)% Gambar III.5. Pemodelan untuk menghitung I GR (Introduction to log interpretation, Anonim 2008) Gambar III.4. Alat perekaman log densitas (Firdaus, 2008). Gambar III.6. Grafik V sh Vs gamma ray ( Introduction to log interpretation, Anonim (2008).

7 Gambar III.6 merupakan gambar hubungan V sh Vs gamma ray. Pada grafik tersebut dijelaskan bahwa, semakin besar nilai gamma ray yang terkandung dalam batuan mengindikasikan nilai volume shale/clay yang terkandung juga besar. Langkah selanjutnya adalah setelah I GR didapat adalah menghitung volume shale (V sh ), yaitu memakai hubungan I GR dengan V sh dengan rumus (Firdaus, 2008), yaitu: Hubungan Linear, Vsh I GR (III.3) Tertiary Clastic (Larionov, 1969) 3,7. GR V 0,083.(2 I sh 1) (III.4) Older Rock (Larionov, 1969) 2. GR V 0,33.(2 I 1) (III.5) sh IV. METODOLOGI PENELITIAN IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Secara administratif lokasi penelitian tugas akhir terletak di Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan dengan luas daerah tambang ± 6,5 km 2, tepatnya pada koordinat Utara sampai dan Timur sampai Perjalanan dari tambang Bukit Asam menuju daerah Banko dapat ditempuh dalam waktu 15 menit (Gambar IV.1). Gambar IV.2 Peta lokasi titik bor penelitian (Geologi Eksplorasi Rinci PT.BA 2013) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sumur BK-177 Gambar IV.1. lokasi penelitian di daerah Banko, Propinsi Sumatera Selatan (PT.Bukit Asam,2008) IV.1 Lokasi Penelitian Secara administratif lokasi penelitian tugas akhir terletak di Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan dengan luas daerah tambang ± 6,5 km2, tepatnya pada koordinat Utara sampai dan Timur sampai , Penelitian ini didapatkan delapan (8) titik sumur bor yaitu : BK-177, BK-187, BK-190, BK-191, BK-192, BK-193, BK-194 BK-195. Lebih jelasnya dapat dilihat pada (Gambar IV.2). Gambar V.1.. Model sumur BK_177 Pada sumur BK-177 dilakukan pengeboran sampai kedalaman m, dengan satuan litologi, batupasir, batulempung, batulanau dan batubara suban marker dan batubara. Di sumur BK-177 didapatkan empat (4) lapisan batubara yaitu lapisan A2, B1, B2, C. Yang masing-masing memiliki nilai densitas, kalori, tebal, dan Ash Content yang berbeda-beda. Di kedalaman 4,35m - 15,38m didapatkan lapisan batubara A2 dengan ketebalan lapisan 11,03m, Sesuai dengan kolom statigrafi dan kolom litologi di daerah penelitan Banko pit 1 barat lapisan batubara A2 dicirikan dengan adanya interbuden litologi batupasir tebal lapisan 3,5 m. Nilai densitas lapisan batubara A2 sekitar 1,62 gr/cc dan nilai volume shale 3,11% yang diketahui dari hasil perhitungan volume shale. Sedangkan nilai Ash content sebesar 2,9%, Nilai kalori sebesar 6128 kcal/kg dan total moisture (TM) 22,6 % yang diketahui dari hasil uji laboratorium, Lapisan

8 batubara B1 berada di kedalaman 26,50-39,42 m, dengan ketebalan 12,92m, Interbuden antara lapisan batubara A2 dengan lapisan batubara B1 dicirikan oleh adanya batulanau dan terdapat lapisan batubara tipis yang disebut Suban Marker. Nilai densitas lapisan batubara B1 sekitar 1,67 gr/cc dan nilai vulume shale 2,16% yang diketahui dari hasil perhitungan volume shale dilapisan batubara, Nilai Ash content sebesar 2,7%, Nilai kalori sebesar 6140 kcal/kg dan total moisture (TM) 21,5% dari hasil uji laboratorium. Sedangkan pada lapisan bataubara B2 ada dikedalaman 48,10-53,12 m dengan ketebalan lapisan 5,02m, Interbuden antara lapisan batubara B1 dengan lapisan batubara B2 dicirikan dengan batulempung dan batulanau. Lapisan batubara B2 memeiliki nilai densitas sebesar 1,70 gr/cc. Nilai vulume shale 3,23% di ketahui dari hasil perhitungan analisis volume shale dan Ash Content sebesar 2,5%, Nilai kalori sebesar 6210 kcal/kg dengan Total Moisture (TM) 20,2%. yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Terakhir pada lapisan batubara C berada di kedalaman m, Interbuden anatara lapisan batubara C dengan batubara B2 dicirikan oleh batupasir dan batulempung dengan tebal lapisan batubara 9,00 m, nilai densitas sebesar 1,4 gr/cc, dengan nilai vulume shale 6,98 % yang diketahui dari perhitungan volume shale dan nilai Ash Content yang ada di paisan batubara tersebut sebesar 4,2%, Nilai kalori sebesar 5978 kcal/kg dan Total Moisture (TM) 24,0%. yang diketahui dari hasil uji laboratorium. lebih jelasnya dapat dilihat (Gambar V.1) 2. Sumur BK-178 sumur BK-178 sebesar 1,55 gr/cc, nilai vulume shale 5,23 % yang diketahui dari proses perhitungan volume shale dan nilai Ash content sebesar 3,3%. dan nilai kalori sebesar 6059 kcal/kg serta Total Moisture (TM) sebesar 23,5% yang diketahui setelah dilakukan ujilaboratorium, Seadangkan pada lapisan batubara C ada di kedalaman 44,44-55,82 m, Dengan tebal lapisan 11,30 m, Interbuden anatara batubara C dengan batubara B2 dicirikan oleh lapisan batupasir, batulanau dan batulempung. Lapisan batubara C yang memeiliki nilai densitas sekitar 1,46 gr/cc, dengan volume shale sebesar 6,78% yang diketahui dari hasil perhitungan volume shale, Dari volume shale di lapisan batubara diketahui nilai Ash Content sebesar 3,7%, dan nilai kalori sebesar 5980 kcal/kg serta Total Moisture (TM) sebesar 24,4% sudah diketahui dari hasil ujilabpratorium. lebih jelasnya dapat dilihat (Gambar V.2) 3. Sumur BK-190 Gambar V.3. Model sumur BK_190 Gambar V.2. Model sumur BK_178 Pada sumur BK-178 pengeboran dilakukan sampai kedalaman 580 m, Dengan penyusun litologi, batupasir, batulempung, batulanau dan batubara. Dari (Gambar V.2) pemodelan sumur BK-178 didapatkan dua (2) lapisan batubara yaitu lapisan batubara B2 dan dan lapisan batubara C. Pada lapisan batubara B2 ada dikedalaman 6,06-11,06 m, ketebalan lapisan mencapai 5,00 m. Interbuden lapisan batubara B2 dicirikan dengan adanya batulanau, dengan ketebalan lapisan antara 6,6 m, Nilai densitas batubara B2 di Di sumur BK-190 dilakukan pengeboran sampai kedalaman 33,48 m, Dengan penyusun litologi, batulempung, batupasir dan batubara. Dari (gambar V.5) pemodelan sumur BK-190 di jumpai Satu (1) lapisan batubara yaitu lapisan C di kedalaman 16,94-28,36 m. Ciri-ciri lapisan batubara C djumpai 1-2 pita pengotor berupa batulempung, Interbuden lapisan batubara C yaitu batulempug yang memiliki ketebalan sekitar 5,24 m dan batupasir yang memiliki ketebalan lapisan sekitar 1,75 m. Sedangkan ketebalan lapisan batubara C mencapai 11,42 m, Nilai densitas sebesar 1,48 gr/cc dan nilai vulume shale yang ada dilapisan batubara tersebut sebesar 6,3 % yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus perhitungan volume shale. Nilai Ash Content sebesar 3,6%. dan nilai kalori sebesar 6021 kcal/kg serta Total Moisture sebesar 27,3% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Susunan litologi sumur BK-190 dapat dilihat (Gambar V.3)

9 4. Sumur BK-191 Gambar V.4. Model sumur BK_191 Pada sumur BK-191 dilakukan pengeboran sampai kedalaman 45,1 m, Penyusun litologi yang dominan di sumur BK-191, batupasir, batulanau, batulempung dan batubara. Di sumur BK- 191 ditemukan lapisan bataubara yaitu lapisan batubara C di kedalaman 29,64-41,22 m yang memiliki tebal lapisan sekitar 11,58m, Interbuden lapisan batubara C di sumur BK-191 dicirikan oleh batulempung yang memiliki ketebalan sekitar 6,8 m dan batulanau yang memiliki ketebalan sekitar 6,6 m, dan batupasir yang memiliki ketebalan sekitar 11,15 m, Nilai densitas lapisan batubara C sebesar 1,49 gr/cc, Nilai vulume shale 4,54 % diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale dengan Ash Content sebesar 3,4%. Dan nilai kalori sebesar 6045 kcal/kg serta Total Moisture sebesar 28,2% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Lebih jelasnya dapat dilihat di (Gambar V.4) 5. Sumur BK-192 batulanau, batupasir, batulempung dan batubara. Dari Gambar V.7 pemodelan sumur BK-192 dijumpai satu (1) lapisan batubara yaitu lapisan batubara C, Namun kenyataanya lapisan bataubara C tersebut mengalami spliting yaitu lapisan batubara yang terpisah oleh parting lempung, serpih, atau sandstone dengan ketebalan tertentu sehingga mengakibatkan lapisan yang terpisah tidak dapat ditambang secara bersamaan. Sehingga di sumur BK-193 lapisan batubara C terbagi menjadi dua lapisan yaitu lapisan batubara C1 dan lapisan batubara C2, Lapisan batubara C1 ada di kedalaman 29,72-41,22 m. dengan tebal lapisan 4,96 m, Interbuden anatara lapisan batubara C1 dan lapisan batubara C2 dicirikan adanya lapisan batulempung dengan tebal lapisan 7,76 batupasir dengan ketebalan 2,25 dan batulanau dengan tebal lapisan 10,95.. Nilai densitas lapisan batubara C1 sebesar 1,53 gr/cc, Nilai vulume shale 5,6 %. diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale dan nilai Ash Content dilapisan batubara tersebut sebesar 3,0% dan nilai kalori sebesar 6087 kcal/kg serta Total Moisture (TM) sebesar 26,9% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Sedangkan di lapisan batubara C2 ada dikedalaman 36,28-42,64 m yang memiliki tebal lapisan sekitar 6,36 m, Interbuden lapisan batubara C2 dicirikan dengan adanya lapisan batulempung yang memiliki tebal lapisan sekitar 1,65 m. Nilai densitas batubara dilapisan C2 sebesar 1,49 gr/cc dan nilai vulume shale yang ada di lapisan batubara tersebut 5,89% yang diketahui setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus volume shale, Nilai Ash Content sebesar 3,4%. dan nilai kalori sebesar 6047 kcal/kg serta Total Moisture (TM) sebesar 27,5% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. lebih jelasnya dapat dilihat di (Gambar V.5) 6. Sumur BK-193 Gambar V.5. Model sumur BK_192 Pada sumur BK-192 dilakukan pengeboran sampai kedalaman 48,62 m, diketahui penyusun litologi, Gambar V.6. Model sumur BK_193 Pada sumur BK-193 dilakukan pengeboran sampai kedalaman 49,6 m, selama pengeboran dijumpai susunan litolog yang dominan batupasir, batulempung dan batubara. Dari sumur BK-193 ditemukan 1 (satu)

10 lapisan batubara yaitu lapisan bataubara C di kedalaman 35,40-46,74 m. Interbuden lapisan batubara C di sumur BK-193 adanya lapisan batulempung yang memiliki tebal lapisan sekitar 13,5 m dan batupasir yang memiliki tebal lapisan sekitar 11,1 m. Nilai densitas lapisan batubara C di sumur BK- 193 sebesar 1,52 gr/cc, Nilai vulume shale di lapisan tersebut 4,98%. yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale. Nilai Ash Content yang ada di lapsian batu bara tersebut sebesar 3,1% dan nilai kalori sebesar 6110 kcal/kg serta Total Moisture sebesar 23,3% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Lebih jelasnya dapat dilihat di (Gambar V.6) 7. Sumur BK-194 yang memiliki tebal lapisan sekitar 4,60 m. Interbuden antara lapisan batubara B1 dengan lapisan batubara B2 dicirikan dengan batulanau yang memiliki tebal lapisan sekitar 6,40 m dan dijumpai sisipan batubara yang memiliki ketebalan sekitar 0,75 m. Lapisan batubara B2 memiliki nilai densitas sekitar 1,50 gr/cc. Nilai vulume shale 3,4 % yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale dengan nilai Ash Content sebesar 3,2% dan nilai kalori sebesar 6070 kcal/kg serta Total Moisture sebesar 24,9% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Terahir ditemukan lapisan batubara lapisan C ada dikedalaman 63,96-75,30 m yang memiliki tebal lapisan 11,34 m. Interbuden anatara batubara C dengan batubara B2 disumur BK-194 dicirikan oleh batulanau yang memiliki tebal lapisan sekitar 12,66 m dan batulempung dengan tebal lapisan sekitar 2,10 m dan batupasir dengan tebal lapisan sekitar 16,1 m. Lapisan batubara C memiliki nilai densitas sekitar 1,45 gr/cc. Nilai vulume shale 6,75 % yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale dengan nilai Ash Content sebesar 4,0% dan nilai kalori sebesar 5953 kcal/kg serta Total Moisture sebesar 25,4 % diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Seperti halnya dapat dilihat di (Gambar V.7). 8. Sumur BK-195 Gambar V.7. Model sumur BK_194 Pada sumur BK-194 dilakukan pengeboran sampai kedalaman 80 m, selama pengeboran dijumpai susunan litologi yang dominan batupasir, batulempung, batulanau dan batubara. Sumur BK-194 ditemukan Tiga (3) lapisan batubara yaitu lapisan batubara B1, lapisan batubara B2 dan lapisan batubara C. Lapisan batubara B1 ada dikedalaman 3,00-14,42 m, yang memiliki tebal lapisan 11,42 m. Lapisan batubara B1 di sumur BK-194 dijumpai interbuden berupa soil yang memiliki ketebalan sekitar 3 meter. Lapisan batubara B1 memiliki nilai densitas sekitar 1,46 gr/cc, Nilai vulume shale 3,78% yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale dengan nilai Ash Content yang dimiliki dilapisan batubara tersebut sebesar 3,8%. nilai kalori sebesar 6030 kcal/kg serta Total Moisture sebesar 25,8% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Sedangkan lapisan batubara B2 ditemukan dikedalaman 22, m, Gambar V.8. Model sumur BK_195 Pada sumur BK-194 dilakukan pengeboran sampai kedalaman 169 m, selama dilakukan pengeboran dominan penyusun litologi yang ditemukan batulanau, batupasir, batulempung, batubara. Dari sumur BK-194

11 didapatkan lima (5) lapisan batubara yaitu lapisan batubara A1, lapisan batubara A2, lapisan batubara B1, lapisan batubara B2 dan lapisan batubara C. Pada lapisan batubara A1 ada dikedalaman 41,04-52,60 m yang memiliki tebal lapisan sekitar 11,56 m. Interbuden lapisan batubara A1 ditandai dengan adanya lapisan batulempung memiliki tebal lapisan sekitar 18,1 m dan batulanau memiliki tebal lapisan sekitar 15,1 m dan batulempung dengan tebal lapisan sekitar 5,2 m. Lapisan batubara A1 memiliki nilai densitas sebesar 1,72 gr/cc. Nilai kalori yang dimiliki dilapisan batubara tersebut sebesar 6208 kcal/kg dan nilai Ash Content sebesar 2,6% serta Total Moisture (TM) sebesar 2,5% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium, volume shale yang ada di lapisan batubara tersebut sebesar 2,17% yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale, Sedangkan lapisan batubara A2 ada dikedalaman 67,84-79,20 m yang memiliki tebal lapisan sekitar 11,36 m Interbuden antara lapisan batubara A2 dengan lapisan batubara B1 yaitu batupasir yang memiliki tebal lapisan sekitar 13,54 m dan batulempung yang memiliki tebal lapisan sekitar 1,7 m. Lapisan batubara A2 memiliki densits sebesar 1,45 gr/cc, Nilai kalori sebesar 5990 kcal/kg dan nilai Ash Content di lapisan batubara tersebut sebesar 3,8% serta Total Moisture (TM) sebesar 26,8% yang diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. nilai volume shale sebesar 6,87% yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale. Pada lapisan batubara B1 ada dikedalaman 91,04-104,76, yang memiliki tebal lapisan batubara sekitar 13,72 m. Interbuden antara lapisan batubara A2 dengan lapisan batubara B1 dicirikan oleh adanya batulempung dan terdapat lapisan batubara tipis yang disebut Suban Marker, tebal lapisan batulempung yang ada di sumur BK-195 sebesar 3,4 m dan 7,18 m. Sedangkan batubara Suban Marker memiliki tebal lapisan sebesar 1,62 m. Lapisan batubara B1 memiliki nilai densitas sebesar 1,46 gr/cc yang memiliki nilai kalori sebesar 6043 kcal/kg dan nilai Ash Content sebesar 3,6% serta Total Moisture (TM) sebesar 26,9% diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. volume shale di lapisan batubara tersebut sebesar 5,5% dari hasil perhitungan dengan rumus perhitungan volume shale. Sedangkan pada lapisan batubara B2 berada di kedalaman 110,26-115,24m yang memiliki tebal lapisan batubara sekitar 4,98m, Interbuden antara lapisan batubara A2 dengan lapisan batubara B1 dicirikan oleh adanya batulempung. Lapisan batulempung di sumur BK-195 memiliki tebal lapisan sekitar 5,5 m. Sedangkan nilai densitas yang dimiliki lapisan batubara B2 sekitar 1,47 gr/cc, Nilai kalori sebesar 6040 kcal/kg dan nilai Ash Conten sebesar 3,9 % serta Total Moisture (TM) sebesar 25,9% yang diketahui setelah dianalisa uji laboratorium dan volume shale yang ada dilapisan batubara tersebut mencapai 4,88%. Dan pada lapisan terakhir yang ada di sumur BK-195 yaitu lapisan batubara C yang berada di kedalaman 152,24-164,28 m yang memiliki tebal lapisan 12,04 m, Interbuden anatara lapisan batubara C dengan lapisan batubara B2 dicirikan batulempung dan batupasir, Tebal lapisan batulempung di sumur BK-195 sekitar 6,24 m dan lapisan batupasir memiliki tebal lapisan 30,76 m. Nilai densitas di lapisan batubara C sebesar 1,47 gr/cc, Nilai kalori yang dimiliki sebesar 5975 kcal/kg, dengan volume shale 5,97% yang diketahui dari hasil perhitungan menggunakan rumus volume shale dan nilai Ash Content sebesar 3,8 % serta Total Moisture (TM) sebesar 23,1% yang diketahui setelah dilakukan analisa uji laboratorium, lebih jelasnya dapat dilihat di (Gambar V.8) 2. Tabel ADB (Air Dried Basis) BH ID BK-177 BK-178 X Y DEPTH WGS 84 WGS 84 (m) 70,17 106,04 A2 4,35 15,38 11,03 2,9 2, B1 26,5 39,42 12,92 2,7 2, B2 48,1 53,12 5,02 2,5 2, C 93,64 102,64 9 4,2 4, ,41 60,18 B2 6,06 11,06 5 3,3 23, C 44,44 55,82 11,38 3,7 24, BK ,36 33,48 C 16,94 28,36 11,42 3,6 27, BK ,78 46,70 C 29,64 41,22 11,58 3,4 28, BK ,98 48,62 C1 29,72 34,68 4,96 3,0 26, C2 36,28 42,64 6,36 3,4 27, BK ,37 51,82 C 35,4 46,74 11,43 3,1 23, BK-194 BK-195 Z Seam From (M) TO (M) Tebal (M) 40, B1 3 14,42 11,42 3,8 25, B2 22,4 27 4,6 3,2 24, C 63,96 75,3 11, , ,73 169,28 A1 41,04 52,6 11,56 2,6 20, A2 67,84 79,2 11,36 3,8 26, B1 91,04 104,76 13,37 3,6 26, B2 110,26 115,24 4,98 3,9 25, C 152,24 164,28 12,04 3,8 23, V.2.1. Hubungan densitas terhadap Ash Content Hubungan densitas terhadap Ash Content, Dari grafik tersebut memiliki hubungan korelasi sangat kuat. Dengan koefisien determinan yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable dengan nilai R2 = 0,822 atau 82,2%. Penulis menkategorikan hubungan korelasinya sangat kuat dengan kecenderungan posisi garis berat bergerak kearah yang negatif (Grafik V.1) Menurut Haryoko, (2003). Tinggi rendahnya harga densitas batuan dipengaruhi oleh porositas dan jenis kandungan yang ada di dalamnya, juga dipengaruhi oleh tingkat/derajad kekompakan batuan. Sebab kekompakan batuan berpengaruh terhadap besarnya porositas, Densitas batuan besar maka memiliki porositas yang kecil sehingga kandungan abu semakin kecil karena tidak dapat masuk kedalam batubara. Makna berbanding terbalik, jika densitas kecil maka porositas memakin besar sehingga abu semakin banyak yang masuk ke dalam batubara, Dari hasil penjelasan tersebut masih ada hubungannya dengan kandungan kalori pada batubara, maka dari itu penulis mencoba mengetahui Ash (%) TM (%) Kalori kcal/kg

12 faktor-faktor yang memperngaruhi kualitas batubara dengan menghubungkan nilai densitas dengan kalori. Grafik V.1. Grafik hubungan densitas terhadap Ash Content V.2.2 Hubungan densitas terhadap kalori Hubungan densitas terhadap kalori dilihat dari koefisien korelasi yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable maka nilai R 2 = 0,845 atau 84,5%, Penulis menkategorikan hubungan korelasinya sangat kuat dengan kecenderungan posisi garis berat bergerak kearah yang positif (Grafik V.2), menurut ( Sarwono, 2006). Garis berat memiliki kecenderungan kearah positif mempunyai arti semakin batubara memiliki densitas yang tinggi maka nilai kalori nya akan meningkat juga. Fakta ini dikaitkan dengan asumsi awal yang menyatakan bahwa densitas dan kalori batubara mempunyai hubungan erat karena secara fisis nya jika suatu batubara itu mempunyai densitas yang lebih besar, maka porositas nya akan semakin kecil, dan porositas yang semakin kecil itu akan membuat kandungan kelembaban dalam suatu batubara kecil karena tidak ada pori atau semacam cleat untuk menyerap atau sebagai jalan fluida. Dan hal ini akan menyebabkan proses pembakaran batubara nya menjadi sempurna maka kalori yang dihasilkan akan tinggi. Grafik V.2. Grafik hubungan densitas terhadap kalori V.2.3 Hubungan Densitas terhadap Total Moisture Dari hasil korelasi trendline observasi scatterplots bivariant hubungan densitas dan total moisture pada daerah penelitian, didapatkan nilai koeefisien korelasi R 2 = 0,601 atau 60,1% dengan nilai rata-rata densitas 1,522 gr/cc dan nilai rata-rata total moisture 25 %. (Tabel V.4) Dilihat dari koefisien determinasi yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable maka nilai R 2 = 0,601 atau 60,1 %, penulis menkategorikan hubungan korelasinya kuat dengan kecenderungan posisi garis berat bergerak kearah yang negatif (Sarwono, 2006). Garis berat memiliki kecenderungan kearah negatif mempunyai arti semakin tinggi densitas batubara maka nilai total moisture nya akan menurun. (Grafik V.3). Fakta ini dikaitkan dengan asumsi awal yang menyatakan bahwa densitas dan kelembaban mempunyai hubungan erat karena secara fisis nya jika suatu batubara itu mempunyai densitas yang lebih besar, maka porositas nya akan semakin kecil, dan porositas yang semakin kecil itu akan membuat kandungan kelembaban dalam suatu batubara kecil karena tidak ada pori atau semacam cleat untuk menyerap atau sebagai jalan fluida. Grafik V.3. Densitas vs Total Moisture V.2.4 Hubungan kalori terhadap Ash Content Hubungan kalori terhadap Ash Content dilihat dari koefisien korelasi yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable diperoleh nilai R 2 = 0,886 atau 88,6 %, Penulis menkategorikan hubungan korelasinya sangat kuat dengan kecenderungan posisi garis berat bergerak kearah yang negatif (Grafik V.4), menurut (Sarwono, 2006). Garis berat memiliki kecenderungan kearah negatif mempunyai arti semakin meninkatnya nilai ash content maka nilai kalori pada batubara akan menurun. Kandungan abu adalah material yang tidak terbakar setelah batubara dibakar sempurna, semakin banyak kandungan abunya maka kualitas batubara semakin jelek, kandungan abu yang tinggi akan mengurangi nilai kalorinya Menurut Thomas (2002) Kandungan abu adalah material yang tidak terbakar setelah batubara dibakar sempurna, semakin banyak kandungan abunya maka kualitas batubara semakin jelek, kandungan abu yang tinggi akan mengurangi nilai kalorinya, karena kadar abu mempengaruhi efisiensi dari proses pembakaran, dimana jika kadar abu yang dihasilkan dari pembakaran banyak maka diperlukan waktu yang lebih lama untuk dapat membersihkan abu dari tungku pembakaran.

13 kandungan abunya maka kualitas batubara semakin jelek, kandungan abu yang tinggi akan mengurangi nilai kalorinya fakta ini dikaitkan dengan asumsi semakin banyak volume shale maka kandungan abu pada lapisan batubara semakin banyak terjadi penurunan nilai kalori, sedangkan semakin sedikit volume shale maka kandungan abu yang terdapat pada lapisan batubara semakin sedikit terjadi kenaikan nilai kalori. Grafik V.4. Grafik kalori vs Ash Content V.3. Hubungan Volume shale terhadap Ash Content Hubungan Volume shale terhadap Ash Content, Dilihat dari koefisien korelasi yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable diperoleh nilai R 2 = 0,612 atau 61,2 %, Penulis menkategorikan hubungan korelasinya kuat dengan kecenderungan posisi garis berat bergerak kearah yang positif, Berbanding lurus (Grafik V.5), Dimana garis berat memiliki kecenderungan kearah positif (Sarwono, 2006) mempunyai arti semakin tinggi volume shale batubara maka nilai kandungan abunnya akan meningkat. Dengan asumsi bahwa selama lapisan batuan tidak mengandung mineral lain (selain mineral clay) yang bersifat radioaktif (Haryoko, 2003). Oleh sebab itu, besar kecilnya kandungan clay pada lapisan batubara mencerminkan besar kecilnya kandungan abu pada lapisan batubara tersebut. Semakin besar kandungan clay maka kandungan abu juga akan semakin besar, sebaliknya semakin kecil kandungan clay maka kandungan abu juga akan semakin kecil. Grafik V.5. Grafik Volume shale vs Ash Content V.3.1 Hubungan antara Volume shale terhadap Kalori Hubungan Volume shale terhadap kalori, Dilihat dari koefisien korelasi yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable diperoleh nilai R 2 = 0,711 atau 71,1 %, Penulis menkategorikan hubungan korelasinya kuat dengan kecenderungan posisi garis berat bergerak kearah yang negatif, Berbanding terbalik (Grafik V.6). (Sarwono, 2006) Dimana garis berat bergerak kearah yang negatif maka semakin tinggi volume shale batubara maka nilai kalori akan menurun. Menurut Thomas (2002). Kandungan abu adalah material yang tidak terbakar setelah batubara dibakar sempurna, semakin banyak Grafik V.6. Grafik Volume shale vs Kalori V. KESIMPULAN 1. Daerah penelitian termasuk dalam Formasi Muara Enim pada Cekungan Sumatera Selatan Formasi Muara Enim diendapkan selaras di atas Formasi Air Benakat Formasi ini memiliki ketebalan antara 450 sampai 1200 meter dengan umur Miosen Atas Pliosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dataran delta dan non-marine. Formasi Muara Enim dicirikan oleh batuan yang berupa Batupasir, Batulanau, Batulempung, dan Batubara. Pada bagian atas formasi ini sering terdapat Tuf atau lempung tufaan. 2. Analisa lapisan batubara disetiap titik sumur bor dari model deskriptif didapatkan nilai rata-rata densitas sebesar 1,52 gr/cc. Dan Volume Shale sebesar 4,951%, Ash Content 3,39%, Nilai kalori sebesar 6059 Kcal/kg dan nilai rata-rata Total Moisture sebesar 25%. 3. Hubungan antara nilai densitas terhadap Ash Content berbanding terbalik dengan garis berat kearah negatif memiliki hubungan korelasi sangat kuat. Dengan koefisien determinan yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable dengan nilai R2 = 0,822 atau 82,2%. Semakin tinggi nilai densitas maka semakin kecil Ash Content yang dimiliki. 4. Hubungan densitas terhadap Kalori berbanding lurus dengan garis berat kearah positif memiliki hubungan korelasi sangat kuat. Dengan koefisien determinan yang merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variable dengan nilai R 2 = 0,845 atau 84,5%, Semakin tinggi nilai densitas maka semakin kecil kandungan Ash yang dimiliki sehingga nilai kalori pada batubara akan

Yulia afriani, Makhrani., S.Si, M.Si, Syamsuddin, S.Si, MT (* Jurusan fisika Prodi Geofisika, UNHAS*)

Yulia afriani, Makhrani., S.Si, M.Si, Syamsuddin, S.Si, MT (* Jurusan fisika Prodi Geofisika, UNHAS*) PENENTUAN KUALITAS BATUBARA BERDASARKAN LOG GAMMA RAY, LOG DENSITAS DAN ANALISIS PARAMETER KIMIA (Studi Kasus : Pit 2A Blok Selatan Lamin Project, PT. Mega Alam Sejahtera, Berau Kalimantan Timur) Yulia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii. KATA PENGANTAR... iv. ABSTRAK...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii. KATA PENGANTAR... iv. ABSTRAK... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.... iii KATA PENGANTAR.... iv ABSTRAK.... vi ABSTRACT.... vii DAFTAR ISI.... viii DAFTAR GAMBAR.... xi DAFTAR TABEL....

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Perusahaan Sejarah penambangan batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan dimulai sejak zaman kolonial Belanda tahun 1919 dengan menggunakan metoda penambangan terbuka

Lebih terperinci

GEOPHYSICAL WELL LOGGING (PENLOGAN SUMUR GEOFISIK )

GEOPHYSICAL WELL LOGGING (PENLOGAN SUMUR GEOFISIK ) GEOPHYSICAL WELL LOGGING (PENLOGAN SUMUR GEOFISIK ) Kuncoro bbkuncoro_sda@yahoo.com 08122953788 Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Apa itu geophysical well

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatra berada pada daerah busur kepulauan antara lempeng Indo- Australia yang relatif bergerak ke utara dengan lempeng Asia yang relatif bergerak ke arah selatan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Morfologi Pulau Sumatra memiliki orientasi baratlaut yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng Benua Eurasia. Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen, yang merupakan bahan bakar hidrokarbon, yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

SKRIPSI FONNY SANDRA RONSUMBRE Oleh :

SKRIPSI FONNY SANDRA RONSUMBRE Oleh : PENENTUAN BATAS DAN TEBAL LAPISAN BATUBARA BERDASARKAN WELL LOGGING UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA BATUBARA, DI KECAMATAN AMPAH, KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH SKRIPSI Oleh : FONNY SANDRA RONSUMBRE

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Sukardi & Asep Suryana Sub Dit. Eksplorasi Batubara dan Gambut, DSM S A R I Penyelidikan

Lebih terperinci

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Nanan S. Kartasumantri Sub. Direktorat Eksplorasi Batubara dan Gambut, DSM S A R I Daerah penyelidikan terletak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

EKSPLORASI UMUM ENDAPAN BESI DI KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN

EKSPLORASI UMUM ENDAPAN BESI DI KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN EKSPLORASI UMUM ENDAPAN BESI DI KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Wahyu Widodo dan Bambang Pardiarto (Kelompok Kerja Penelitian Mineral) Sari Kegiatan eksplorasi umum endapan besi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Perusahaan Berdasarkan PP No. 42 tanggal 15 Desember 1980, Pemerintah menetapkan penyertaan modal dengan mendirikan PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) disingkat PTBA

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : RAAFIUD DENNY PUTRA

LAPORAN TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : RAAFIUD DENNY PUTRA LAPORAN TUGAS AKHIR Disusun Oleh : RAAFIUD DENNY PUTRA PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2012 i LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

ESTIMASI SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN DATA WELL LOGGING

ESTIMASI SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN DATA WELL LOGGING ESTIMASI SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN DATA WELL LOGGING DENGAN METODE CROSS SECTION DI PT. TELEN ORBIT PRIMA DESA BUHUT KAB. KAPUAS KALIMANTAN TENGAH Erihartanti 1, Simon Sadok Siregar 1, Ibrahim Sota

Lebih terperinci

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada BAB V INTERPRETASI DATA V.1. Penentuan Litologi Langkah awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah menentukan litologi batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

By : Kohyar de Sonearth 2009

By : Kohyar de Sonearth 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi fosil merupakan energi yang tidak terbarukan atau energi habis pakai seperti yang kita gunakan pada saat ini yakni minyak dan gas bumi. Karenanya dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang berbentuk asimetris, dibatasi oleh sesar dan singkapan batuan Pra-Tersier yang mengalami pengangkatan di bagian

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar kesarjanaan di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Mineral, Universitas Trisakti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Sumatera Pulau Sumatera merupakan pulau yang memiliki orientasi fisiografi berarah barat laut dan terletak di bagian barat Paparan Sunda dan di selatan Lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Kiprah dan perjalanan PT. Chevron Pacific Indonesia yang telah cukup lama ini secara perlahan diikuti oleh penurunan produksi minyak dan semakin kecilnya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tugas Akhir adalah mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH MUARA LAKITAN, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROPINSI SUMATERA SELATAN

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH MUARA LAKITAN, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROPINSI SUMATERA SELATAN PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH MUARA LAKITAN, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Agus Pujobroto Sub Dit. Eksplorasi Batubara dan Gambut, DSM S A R I Daerah penyelidikan termasuk

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1 Kerangka Tektonik dan Geologi Regional Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA 4.1. Stratigrafi Batubara Lapisan batubara yang tersebar wilayah Banko Tengah Blok Niru memiliki 3 group lapisan batubara utama yaitu : lapisan batubara A, lapisan batubara

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Cekungan Sumatra Selatan, lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra Selatan termasuk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PENGARUH SESAR TERHADAP KUALITAS LAPISAN BATUBARA BERDASARKAN KARAKTERISTIK DATAWELL LOGGING DI DAERAH SIDUNG DAN SEKITARNYA KECAMATAN KELAY, KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. Oleh: Robert L. Tobing, Wawang S, Asep Suryana KP Bnergi Fosil SARI Daerah penyelidikan secara administratif terletak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN Oleh : Nanan S. Kartasumantri dan Hadiyanto Subdit. Eksplorasi Batubara dan Gambut SARI Daerah

Lebih terperinci

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU Oleh : Deddy Amarullah dan Dede Ibnu Suhada Kelompok Program Penelitian Energi Fosil ABSTRAK Sesuai dengan kebijakan

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB. MUSIBANYUASIN, PROP.

PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB. MUSIBANYUASIN, PROP. PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB. MUSIBANYUASIN, PROP. SUMATERA SELATAN Oleh : Sukardi dan A.Suryana Sub Dit. Eksplorasi Batubara

Lebih terperinci

EKSPLORASI BATUBARA DI DAERAH BABAT KAB. MUSI BANYUASIN DALAM RANGKA PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA SUMATERA SELATAN

EKSPLORASI BATUBARA DI DAERAH BABAT KAB. MUSI BANYUASIN DALAM RANGKA PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA SUMATERA SELATAN EKSPLORASI BATUBARA DI DAERAH BABAT KAB. MUSI BANYUASIN DALAM RANGKA PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA SUMATERA SELATAN Oleh : Deddy Amarullah Sub Dit. Eksplorasi Batubara dan Gambut, DSM S A R I Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhtumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori 1 BAB I PENDAHALUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari lapangan-lapangan baru yang dapat berpotensi menghasilkan minyak dan atau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xvii

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakan busur yang dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timur laut, ketinggian Lampung

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BANKO TENGAH, BLOK NIRU, KABUPATEN MUARA ENIM, PROPINSI SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BANKO TENGAH, BLOK NIRU, KABUPATEN MUARA ENIM, PROPINSI SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BANKO TENGAH, BLOK NIRU, KABUPATEN MUARA ENIM, PROPINSI SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

memiliki hal ini bagian

memiliki hal ini bagian BAB III TATANANN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km 2 dan memiliki ketebalan sedimen antara 12.000 14..000 meter hal ini menyebabakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI

BAB II TINJAUAN GEOLOGI BAB II TINJAUAN GEOLOGI II.1 GEOLOGI REGIONAL Kerangka tektonik Kalimantan Timur selain dipengaruhi oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi Lempeng Pasifik, Hindia-Australia dan Eurasia,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

Klasifikasi Fasies pada Reservoir Menggunakan Crossplot Data Log P-Wave dan Data Log Density

Klasifikasi Fasies pada Reservoir Menggunakan Crossplot Data Log P-Wave dan Data Log Density JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-127 Fasies pada Reservoir Menggunakan Crossplot Data Log P-Wave dan Data Log Density Ismail Zaky Alfatih, Dwa Desa Warnana, dan

Lebih terperinci