GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI
|
|
- Yenny Sutedja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI SKRIPSI Oleh : Christine Artha Rajagukguk JURUSAN PSIKOLOGI - FAKULTAS HUMANIORA UNIVERSITAS BINA NUSANTARA JAKARTA 2012
2 GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI Christine Artha Rajagukguk ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Subjek penelitian dalam penelitian ini sebanyak 70 responden remaja yang orangtuanya bercerai yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok subjek SMP sebanyak 36 responden dan kelompok subjek SMA sebanyak 34 responden. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan tehnik non-probability sampling. Alat ukur dalam penelitian ini dikonstruk oleh peneliti berdasarkan pada teori Stinnett & Stinnett (dalam Sofiana, 2001). Stinnett & Stinnett menjelaskan bahwa terdapat 6 faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah yaitu commitment, one to one relationship, companionship, love, happiness, dan legitimation of sex and children. Dalam penelitian ini 6 faktor tersebut yang mencerminkan persepsi pernikahan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari total 70 responden yaitu sebanyak 40 responden (57.2%) memiliki persepsi pernikahan yang positif dan sebanyak 30 resposden (42.8%) memiliki persepsi pernikahan yang negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari domain-domain yang mencerminkan persepsi pernikahan pada masing-masing kelompok subjek, yaitu pada kelompok subjek SMP domain yang paling tinggi adalah domain companionship dengan nilai mean sebesar 3.3, dan domain yang paling rendah adalah domain commitment dengan nilai mean sebesar 2.8. Sedangkan pada kelompok subjek SMA domain yang paling tinggi adalah domain commitment dan love dengan nilai mean sebesar 3.3, dan domain yang paling rendah adalah domain one to one relationship dengan nilai mean sebesar 2.9. Kata kunci: Persepsi Pernikahan, Perceraian Orangtua, Remaja
3 I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar sukacita bagi keluarga, sanak saudara, ataupun relasi jika ada seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan. Segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut pernikahan tersebut dipersiapkan sebaik mungkin sehingga dapat menciptakan suatu kenangan yang tidak terlupakan bagi pasangan dan bagi orang lain. Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri (Duvall & Miller, 1977). Terjadinya pernikahan juga mempunyai fungsi yang menyangkut tentang hak dan kewajiban suami-isteri untuk dapat saling memenuhi kebutuhan, saling mengembangkan diri, dan yang paling penting adalah dapat memahami arti pernikahan itu sendiri (Olson & DeFrain, 2006). Mendukung pernyataan di atas Garrison (2010) mengemukakan bahwa setiap pasangan dalam pernikahan harus mampu memahami bahwa masing-masing pasangan telah menandatangani ikatan komitmen terhadap pasangannya yang mengandung harapan, kesetiaan, kebersamaan, dan saling berbagi dengan pasangan. Pada hakekatnya, setiap pasangan dalam pernikahan senantiasa ingin agar pernikahannya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan kekal. Namun, untuk menciptakan pernikahan yang bahagia tidaklah mudah, ada
4 saatnya muncul berbagai permasalahan, perselisihan dan konflik yang dapat membahayakan keberlangsungan pernikahan seperti terjadinya perceraian antara suami dan isteri. Akan hal tersebut, Rosmadi (2012) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian di antara suami dan isteri seperti tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, terus menerus berselisih di antara suami dan isteri, terjadinya poligami, terjadinya krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, masalah ekonomi, tidak adanya tanggung jawab, kawin dibawah umur, menyakiti jasmani dan rohani, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, dan lainlain. Kendati demikian, terjadinya berbagai permasalahan dalam pernikahan tersebut diharapkan dapat memperkuat ikatan antara suami dan isteri dalam mewujudkan visi dan misi pernikahan mereka. Namun pada kenyataannya, harapan tersebut seakan-akan hanya menjadi sebuah fiksi, karena berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung sepanjang tahun 2011 ada sebanyak putusan perkara perceraian yang terjadi di Indonesia, dan pada tahun 2010 ada sebanyak putusan perkara perceraian yang menduduki jumlah tertinggi sejak 5 tahun terakhir dalam perkara perceraian di Indonesia. Atas berbagai dasar tersebut, tidak sedikit pasangan suami dan isteri dalam pernikahan cenderung untuk memutuskan ikatan pernikahan mereka dengan mengambil keputusan dengan bercerai (Rosmadi, 2012). Keputusan untuk bercerai bukan merupakan suatu keputusan yang mudah untuk dilakukan. Lazimnya, tidak satu pun pasangan berharap
5 bahwa pernikahan mereka akan berakhir dengan perceraian. Akan tetapi, tidak sedikit pasangan beranganggapan bahwa perceraian dapat dijadikan sebagai solusi terbaik guna mengatasi segala permasalahan, ketidakcocokan dan konflik yang terjadi dengan pasangan. Menanggapi hal tersebut, E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa terjadinya permasalahan dan konflik dalam rumah tangga dapat menghancurkan cinta dan pernikahan yang dinyatakan baik di antara kedua individu dalam pernikahan. Berpatokan juga pada pandangan E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) bahwa perceraian dapat dipandang sebagai solusi positif untuk menghindari konflik yang destruktif seperti permasalahan, perselisihan, dan pertikaian yang terjadi di antara suami dan isteri dalam pernikahan. Menyikapi pernyataan E.Jones & Gallois di atas, Gottman & Notarius (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya peningkatan pada perceraian menyebabkan meningkat pula jumlah anakanak yang orangtuanya bercerai. Terjadinya hal tersebut mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas sehingga menciptakan pergeseran dalam persepsi dan penerimaan sosial perceraian. Berkaitan dengan pernyataan tersebut Coontz (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya perceraian mengakibatkan peran pernikahan dalam mengkoordinasikan kehidupan sosial semakin terkikis dan banyak anak dibesarkan dalam pengaturan alternatif. Berkaitan dengan pernyataan di atas, Garrison (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan
6 menimbulkan dampak terhadap suami, isteri dan anak. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Turner & Helms (1995) yang menyatakan bahwa apabila suatu pernikahan berakhir dengan perceraian, maka dampak yang ditimbulkan tidak hanya kepada suami dan isteri saja, melainkan juga kepada anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Mendukung pernyataan tersebut, Shienvold (2011) dalam penelitiannya berpendapat bahwa remaja dengan orangtua yang bercerai mengalami masalah pada perilaku internal dan eksternal, mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya, mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi baru, dan mempunyai masalah sebagai orang dewasa dengan keintiman, mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan menuju pernikahan. Dalam hubungannya dengan pernikahan, terjadinya perceraian orangtua menimbulkan dampak terhadap sikap dan pandangan setiap individu akan pernikahan dan kehidupan berkeluarga (Amato, 2012). Dalam penelitiannya, Amato (2012) mengemukakan bahwa individu yang mengalami perceraian orangtua cenderung memiliki pandangan yang kompleks terhadap pernikahan. Individu menghargai pernikahan namun menyadari akan adanya keterbatasan dan bersikap lebih toleran terhadap alternatif-alternatif pernikahan. Selain itu, Wallerstein & Kelly (dalam Amato, 2012) juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung menunjukkan sikap dengan memperlihatkan kecemasan akan pernikahannya kelak, seperti individu memutuskan untuk tidak menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam
7 menentukan pasangan hidup. Amato (2012) juga menambahkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai akan menjadi lebih pesimis terhadap kelanggengan pernikahannya kelak. Selanjutnya, Amato (2012) juga menyatakan bahwa perceraian orangtua cenderung meningkatkan resiko perceraian pada keturunannya. Melalui proses sosialisasi, perceraian orangtua cenderung meningkatkan kemungkinan keturunannya membentuk suatu persepsi atau pandangan yang diwujudkan melalui sikap dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Berbagai dampak terjadinya perceraian orangtua menimbulkan sejumlah reaksi terhadap pikiran dan perilaku remaja (Amato, 2012). Untuk mendukung pernyataan tersebut Turner & Helms (1995) mengemukakan bahwa dalam proses berpikir, remaja cenderung menekankan pada unsur seperti mengamati, berpikir, dan memahami terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami individu tersebut untuk kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap individu terhadap peristiwa atau objek tersebut. Proses berpikir tersebut yang membentuk suatu persepsi individu akan suatu hal yang diamatinya Dengan demikian, remaja yang mengalami perceraian orangtua, mampu mengamati, berpikir, dan memahami akan terjadinya peristiwa perceraian orangtuanya tersebut yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap remaja terhadap makna dari suatu pernikahan yang mencerminkan persepsi atau pandangan remaja yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan.
8 Berkaitan dengan pernyataan di atas, Cunningham & Thornton (2012) dalam penelitiannya, menyelidiki hubungan pernikahan orangtua dan sikap individu yang orangtuanya bercerai pada saat remaja terhadap perilaku seks pranikah, kumpul kebo, hidup sendiri atau tanpa mempunyai pasangan seumur hidup dan perceraian. Cunningham & Thornton (2012) mempunyai hipotesis bahwa kualitas pernikahan orangtua yang negatif mempunyai hubungan terhadap anak-anak dalam perilaku di masa dewasanya, bahwa anak yang orangtuanya bercerai cenderung membawa sikap bawaan dari orangtuanya terhadap pernikahan. Dalam penelitiannya Cunningham & Thornton (2012) menemukan bukti bahwa kualitas pernikahan orangtua mempengaruhi sikap anak yang cenderung kuat terhadap perceraian, seks pranikah, anak menjadi selektif dalam menentukan pasangan hidup atau memilih untuk tidak menikah. Selain itu, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menyatakan bahwa terjadinya perceraian orangtua menimbulkan reaksi terhadap perilaku remaja seperti reaksi emosional pada remaja yang memandang perceraian orangtua sebagai kejadian traumatis yang bersifat tiba-tiba dan berada di luar kontrol, sehingga muncul sejumlah reaksi negatif seperti perasaan depresi, dan tertekan, marah, trauma, sulit untuk memaafkan, dan menimbulkan pandangan yang negatif terhadap pernikahan yang ditunjukkan remaja ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dengan demikian, Johnston & Thomas (dalam Martin, 2011) menyatakan bahwa perceraian orantua telah menjadi suatu peristiwa penting dalam kehidupan setiap individu yang orangtuanya mengalami
9 perceraian, dengan mengingat bahwa angka perceraian yang cenderung tinggi. Akan adanya kecenderungan yang lebih tinggi terhadap perceraian sehingga menyebabkan peran pernikahan menjadi semakin terkikis, ditunjukkan melalui sikap dan perilaku individu yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan, seperti dengan menunjukkan rasa kurang percaya terhadap lembaga pernikahan, seperti menunjukkan perasaan takut dalam mengambil keputusan untuk menikah dan untuk membangun sebuah keluarga. Rogers & Amato (1997) dan Umberson et.al. (2005) (dalam Cunningham 2012) menyimpulkan bahwa terjadinya perceraian menyebabkan penurunan akan makna pernikahan yang mempunyai implikasi bagi pandangan dan sikap individu terhadap pernikahan yang akan dikaitkan dengan sikap dan perilaku individu terhadap pernikahannya kelak. Hal tersebut disebabkan karena individu mengamati pernikahan orangtua mereka, dan karena pernikahan orangtua merupakan indikator anak untuk meniru orangtua mereka yang akan dikaitkan dengan pernikahannya kelak. Perceraian orangtua cenderung meningkatkan keturunannya membentuk sifat dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Individu cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap perceraian, yang mencerminkan persepsi atau pandangan individu tersebut akan sebuah pernikahan. Atas dasar itu, melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai.
10 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam bidang psikologi, terutama dalam psikologi perkembangan yang berkaitan gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai, serta dapat menjadi gerbang pembuka bagi siapa saja untuk dapat lebih dikembangkan dalam penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pembaca, khususnya:
11 Bagi Pasangan Suami dan Isteri Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi bagi pasangan suami-isteri untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membangun dan mempertahankan pernikahan. Meskipun akan terjadi berbagai permasalahan dan konflik dalam pernikahan, namun diharapkan pasangan dapat dengan bijaksana untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan terhadap keberlangsungan pernikahan, terutama dengan kaitannya terhadap anak dalam tahap perkembangannya. Bagi Remaja Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi bagi remaja khususnya bagi remaja yang orangtuanya bercerai. Setidaknya, melalui informasi yang ada dalam penelitian ini dapat membantu menumbuhkan pandangan atau persepsi yang lebih baik terhadap pernikahan pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.
12 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Definisi Pernikahan Dalam pengertiannya, Olson & DeFrain (2006) mendefinisikan pernikahan sebagai komitmen emosional dan hukum dari dua individu dalam berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagi tugas dan sumber daya ekonomi. Selain itu, Duvall & Miller (1977) mendefinisikan pernikahan sebagai suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri, yang bertujuan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian berdasarkan pada definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu bentuk perwujudan dalam komitmen antara pria dan wanita yang diakui oleh masyarakat dan hukum dalam mensahkan hubungan seksual, pengasuhan anak, serta membentuk pembagian tugas antara suami dan isteri dengan tujuan membangun keluarga yang bahagia dan kekal Alasan Menikah bagi Individu Menurut Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana, 2001) kebahagiaan dan kesuksesan dalam pernikahan tercermin dari alasan menikah bagi individu. Setiap individu mempunyai alasan
13 yang berbeda untuk menikah. Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana, 2001) mengemukakan beberapa faktor yang menjadi alasan bagi individu untuk menikah yaitu sebagai berikut: a. Commitment Setiap individu berharap ada seseorang yang diperuntukkan bagi mereka sepenuhnya. Individu beranggapan bahwa pernikahan sebagai lembaga untuk mengekspresikan komitmen antara kedua individu yang juga dilandasi dengan kesepakatan yang jelas. Individu memperlihatkan cinta dan penghargaan satu sama lain terhadap pasangannya dengan spontan dan jujur. Individu dan pasangan lebih bekerja sama daripada berkompetisi satu sama lain. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam suatu komitmen yaitu: - Terciptanya komunikasi yang efektif Terciptanya komunikasi secara spontan, jujur, terbuka, dan saling menghargai dalam suatu hubungan, mampu mengekspresikan perasaan negatif maupun positif individu terhadap konflik yang dihadapi sehingga dapat diatasi dengan baik. - Adanya kebersamaan Menghabiskan waktu bersama-sama, saling mencurahkan perasaan, saling berbagi pengalaman, saling melibatkan pasangan dalam suatu kegiatan, serta melakukan rekreasi bersama mampu menciptakan hubungan yang harmonis dalam rumah tangga.
14 - Mempunyai nilai dan aturan Mempunyai nilai dan aturan yang telah disepakati dan harus dipatuhi bersama. Namun, penting bagi kedua individu untuk mendiskusikan dan mempraktekkan nilai dan aturan tersebut, sehingga dapat menciptakan rasa toleransi dan saling menghargai satu sama lain. - Kemampuan mengatasi masalah secara efektif Masalah yang muncul dapat dihadapi secara optimis dengan tujuan untuk menemukan pemecahan masalah dengan melibatkan pasangan untuk dapat saling membantu. b. One to One Relationship Pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk menjalin hubungan intim dengan oranglain yang diharapkan langgeng dan bersifat monogami. Setiap individu juga mengharapkan seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan dasar akan harga diri, kasih sayang, penghargaan, dan saling percaya satu sama lain. c. Companionship Pernikahan memungkinkan kesempatan untuk mengatasi rasa kesepian dan terisolasi dengan adanya aktivitas yang dapat dilakukan bersama dengan pasangan hidup. Turner & Helms (dalam Sofiana, 2001) mengatakan bahwa cinta, penghargaan, dan persahabatan merupakan kualitas yang penting di dalam suatu pernikahan. Selain itu, companionship memungkinkan pasangan
15 dalam pernikahan mendapatkan tempat berlindung dalam menghadapi gejolak kehidupan yang dialami individu tersebut. d. Love Setiap individu dapat merasakan kepuasan hidup apabila dirinya berarti bagi oranglain. Setiap individu berharap menemukan seseorang yang dapat memberikan cinta tak terbatas dan dapat membalas perasaan tersebut. e. Happiness Pada dasarnya setiap individu dalam segi kehidupannya berusaha mencari kebahagiaan dengan menikah, walaupun sebenarnya kebahagiaan tidak terletak pada lembaga pernikahan melainkan bersumber pada masing-masing pribadi individu dalam berinteraksi antara satu sama lain. f. Legitimation of sex and children Hubungan seksual disetujui oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat bagi pasangan individu yang sudah menikah. Selain itu dengan menikah, individu dapat mensahkan anak menurut hukum yang berlaku. 2.2 Persepsi Definisi Persepsi Persepsi merupakan salah satu bagian dari aspek yang paling mendasar dalam tahap perkembangan manusia. Menurut Lahey (2007) persepsi merupakan suatu proses mental dari adanya
16 stimulus yang diterima oleh otak kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan ke dalam perilaku. Santrock (2009) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman individu terhadap suatu objek atau peristiwa yang dituangkan ke dalam cara pandang individu tersebut terhadap objek atau peristiwa yang diamati. Melalui pengalaman tersebut individu mempunyai pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu objek ataupun peristiwa yang diamati. Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses mental dalam memberikan arti terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami individu yang kemudian diinterpretasikan ke dalam sikap dan perilaku individu terhadap objek atau peristiwa yang diamati. Berdasarkan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi pernikahan merupakan suatu proses mental yang dialami oleh individu dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan individu terhadap pernikahan yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap individu tersebut terhadap pernikahan. 2.3 Remaja Definisi Remaja Menurut Golinko (dalam Rice & Dolgin, 2008) remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Dalam Kamus Psikologi, remaja
17 merupakan suatu tahap periodisasi perkembangan manusia yang berada pada di antara usia pubertas sampai dengan memasuki usia dewasa. Secara lebih luas dalam tahap perkembangannya, Hurlock (1978) mengemukakan bahwa masa remaja mencakup pada proses menuju kematangan kognitif seperti individu sudah mampu membedakan dan membandingkan hal yang satu dengan hal yang lain, individu mampu menghubungkan suatu peristiwa yang satu dengan yang lain, dan individu mampu mengolah cara berpikir sehingga mampu memunculkan suatu ide baru; kematangan psikososial seperti cara individu berhubungan dengan orang lain dan menyatakan emosi secara unik; dan kematangan fisik seperti terjadinya perubahan pada bentuk tubuh, tinggi badan, dan berat badan, serta menuju pada kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Sedangkan di Indonesia, Sarwono (2006) mendefinisikan masa remaja sebagai masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Oleh karena keberadaan remaja yang dalam masa transisi atau peralihan tersebut membuat pola sikap dan tindakan remaja diarahkan untuk memperoleh penghargaan terhadap eksistensi atau keberadaannya di dalam lingkungan.
18 2.4 Perceraian Definisi Perceraian Menurut definisinya, Hurlock (1978) menyatakan bahwa perceraian merupakan akumulasi dari penyesuaian pernikahan yang buruk yang terjadi bila di antara suami dan isteri sudah tidak mampu lagi untuk menyelesaikan permasalahan dalam pernikahan. Papalia, Olds & Feldman (2009), perceraian bukanlah suatu kejadian tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan berpotensial menjadi pengalaman stress serta menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi suami, isteri dan anak. Selain itu, Duvall & Miller (1977) menyatakan bahwa perceraian tidak hanya didasarkan pada ketidakpuasan dalam pernikahan saja, tetapi bisa juga disebabkan karena adanya tekanan dari luar seperti pilihan karir, ketertarikan fisik dengan orang lain di luar pernikahan. Lemer & Hultsch (dalam Rice & Dolgin, 2008), perceraian merupakan suatu proses yang menyakitkan serta dapat membuat seseorang yang mengalaminya mengalami stres, depresi, kesepian, merasa rendah diri, merasa sangat bersalah dan tidak berguna, kurang produktif dalam bekerja, dan merasa cemas dalam menghadapi situasi sosial yang disebabkan karena adanya pengalaman baru seperti pengaturan keuangan, pengaturan hidup, menangani masalah rumah tangga dan anak.
19 Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan serangkaian proses dari terjadinya hal yang tidak diinginkan, penuh dengan tekanan, serta menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh seluruh anggota keluarga, dimulai dari sebelum perpisahan fisik pasangan dan diakhiri dengan pemutusan hubungan pernikahan secara hukum.
20 3 METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian Variabel Penelitian & Definisi Operasional Persepsi Pernikahan Dalam pengertiannya, Olson & DeFrain (2006) mendefinisikan pernikahan sebagai komitmen emosional dan hukum dari dua individu untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagi tugas dan sumber daya ekonomi. Selain itu, Duvall & Miller (1977) mendefinisikan pernikahan sebagai suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri, yang bertujuan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal. Sedangkan definisi persepsi itu sendiri menurut Lahey (2007) persepsi merupakan suatu proses mental dari adanya stimulus yang diterima oleh otak kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan ke dalam perilaku. Santrock (2009) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman individu terhadap suatu objek atau peristiwa yang dituangkan ke dalam cara pandang individu tersebut terhadap objek atau peristiwa yang diamati. Melalui pengalaman tersebut individu mempunyai pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu objek ataupun peristiwa yang diamati. Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan dicerminkan dari faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah. Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana, 2001), mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi alasan bagi individu untuk menikah, yaitu commitment, one to one relationship, companionship, love, happiness, dan legitimation of sex
21 and children. Keenam faktor-faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah tersebut yang mencerminkan persepsi pernikahan pada individu yang dalam penelitian ini adalah remaja yang orangtuanya bercerai. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi pernikahan merupakan suatu proses mental yang dialami oleh individu dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan individu terhadap pernikahan yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap individu tersebut terhadap pernikahan. Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan yang positif yaitu ditunjukkan dari sikap dan pandangan positif individu terhadap pernikahan yang dijadikan sebagai lembaga dalam mempersatukan ikatan komitmen antara pria dan wanita. Sedangkan persepsi pernikahan yang negatif ditunjukkan dari sikap dan pandangan negatif individu terhadap pernikahan seperti dengan menunjukkan rasa kurang percaya terhadap lembaga pernikahan, seperti menunjukkan perasaan takut dalam mengambil keputusan untuk menikah dan membangun sebuah keluarga. 3.2 Subyek Penelitian & Tehnik Sampling Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan pada tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu ingin mengetahui gambaran persepsi pernikahan pada remaja di Jakarta yang orangtuanya bercerai. Maka dari itu, subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Remaja laki-laki dan Remaja perempuan 2. Berusia antara 11 sampai 18 tahun
22 Batasan usia remaja yang digunakan dalam penelitian ini berdasar pada batasan usia remaja Indonesia yaitu 11 sampai 24 tahun (Sarwono, 2006). Namun, subjek yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang mempunyai rentang usia antara 13 sampai 18 tahun dan belum menikah, yang terdiri dari dua kelompok subjek berdasarkan pada tingkat pendidikan yaitu remaja SMPN dan remaja SMAN di Jakarta Timur. Hal tersebut dikarenakan, peneliti mengambil responden pada instansi pendidikan atau sekolah. Namun, dalam penelitian ini instansi pendidikan tempat peneliti mengambil responden tidak dipublikasikan. 3. Remaja yang orangtuanya telah bercerai Dalam penelitian ini, responden remaja mempunyai karakteristik khusus yaitu remaja yang orangtuanya telah bercerai, sehingga dengan karakteristik subjek tersebut penelitian ini diharapkan dapat menjawab tujuan dari dilakukannya penelitian ini. 4. Bersekolah Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang bersekolah. Hal ini dilakukan karena responden diwajibkan untuk mampu dalam membaca kuesioner, sehingga dapat menjawab kuesioner tersebut dengan baik dan tepat Tehnik Sampling Populasi
23 Nazir (2005) mengatakan bahwa populasi adalah sekumpulan individu dengan kualitas serta ciri yang telah ditetapkan. Nazir mengatakan bahwa populasi merupakan keseluruhan atau totalitas objek psikologis yang dibatasi oleh kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, populasi subjek terdiri dari seluruh siswa-siswi di salah satu SMPN di Jakarta Timur dan seluruh siswa-siswi di salah satu SMAN di Jakarta Timur yang orangtuanya bercerai. Peneliti mengambil subjek pada siswa-siswi SMPN dan SMAN yang terletak di daerah Jakarta Timur tersebut karena pada lokasi tersebut peneliti mempunyai kerabat sehingga memberikan kemudahan kepada peneliti dalam mengambil subjek penelitian yaitu remaja yang orangtuanya bercerai Sampel Nazir (2005) juga mengatakan bahwa sampel merupakan suatu kelompok kecil yang diambil dari populasi atau suatu anggota kelompok tertentu yang ingin diukur. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah sebagian dari siswa-siswi di salah satu SMPN di Jakarta Timur dan sebagian dari siswa-siswi di salah satu SMAN di Jakarta Timur yang orangtuanya bercerai yaitu berjumlah 70 responden pada field test yang terdiri atas 36
24 remaja tingkat SMPN yang orangtuanya bercerai dan 34 remaja tingkat SMAN yang orangtuanya bercerai. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Guilford dan Frutcher (1978) yang berpendapat bahwa dalam penelitian kuantitatif responden yang digunakan sebaiknya tidak kurang dari 30 responden. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi bias dalam hasil penelitian yang disebabkan karena jumlah subjek yang kurang mencukupi Tehnik Sampling Menurut Nazir (2005), kata sampling berarti mengambil sampel atau mengambil sesuatu dari bagian populasi. Maka dapat dikatakan bahwa tehnik sampling adalah suatu tehnik untuk mengambil sampel. Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik non-probability sampling, karena pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak. Tehnik non-probability sampling digunakan karena dalam pengambilan sampel, tidak setiap anggota populasi mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel penelitian, sehingga cara pemilihan sampelnya adalah accidental sampling. Nazir (2005) menyatakan bahwa pertimbangan yang paling mendasar dalam pemilihan tehnik accidental
25 sampling ini adalah bila sampel penelitian didapat karena menurut peneliti, individu tersebut memenuhi kriteria subjek yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Dengan kata lain, setiap individu yang ditemui peneliti dan memiliki karakteristik sampel yang telah ditentukan dapat dijadikan sebagai subjek untuk penelitian ini. 3.3 Desain Penelitian Nazir (2005) mengemukakan definisi penelitian sebagai suatu proses mencari sesuatu secara sistematik dalam waktu yang lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku. Dalam suatu penelitian terdapat berbagai macam jenis desain penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif berbentuk deskriptif dengan menggunakan desain non-eksperimental. Nazir (2005) menjelaskan bahwa penelitian studi deskriptif merupakan studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian ini juga dilakukan peneliti guna memperoleh gambaran secara sistematis akan suatu situasi, masalah, dan fenomena. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Menurut Nazir (2005), desain non-eksperimental merupakan telaah empirik sistematis dimana penelitian tidak mengontrol secara langsung variabel bebas karena manifestasi dari variabel bebas telah ada atau karena variabel
26 bebas tersebut tidak dapat dikontrol. Penelitian ini tidak melakukan manipulasi terhadap variabel-variabel yang ada. 3.4 Alat Ukur Penelitian Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan berupa kuesioner. Menurut Nazir (2005) kuesioner merupakan seperangkat pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada subjek penelitian agar kemudian pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh subjek penelitian. Pertanyaan dalam kuesioner tersebut dirancang sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan Alat Ukur Persepsi Pernikahan Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Persepsi Pernikahan yang dikonstruk oleh peneliti berdasar pada Stinnett & Stinnett (dalam Sofiana, 2001) yang dicerminkan dari beberapa faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah yaitu: commitment, one to one relationship, companionship, love, happiness, dan legitimation of sex and children. Adapun skala pengukuran alat ukur tersebut berupa skala Likert, dimana skala tersebut digunakan untuk mengukur sikap terhadap variabel yang ingin diukur dalam suatu penelitian, dengan menggunakan angka-angka sebagai metode perhitungannya (Nazir, 2005). Pada item favorable, perhitungan skala 1 menunjukkan bahwa responden sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut,
27 skala 2 menunjukkan bahwa responden tidak setuju dengan pernyataan tersebut, skala 3 menunjukkan bahwa responden setuju dengan pernyataan tersebut, dan skala 4 menunjukkan bahwa responden sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Perhitungan tersebut berlaku untuk item favorable. Sedangkan untuk item unfavorable, perhitungan skala 4 menunjukkan bahwa responden sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut, skala 3 menunjukkan bahwa responden tidak setuju dengan pernyataan tersebut, skala 2 menunjukkan bahwa responden setuju dengan pernyataan tersebut, dan skala 1 menunjukkan bahwa responden sangat setuju dengan pernyataan. Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan yang positif dan persepsi pernikahan yang negatif ditentukan berdasarkan hasil perolehan mean dari mean yang diperoleh dari total skor subjek pada keenam domain yang mencerminkan persepsi pernikahan. Apabila nilai yang diperoleh masing masing domain berada di atas mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu tersebut positif yang dicerminkan dari domain yang dijadikan alasan individu untuk menikah. Begitu juga sebaliknya, apabila nilai yang diperoleh masing-masing domain berada di bawah mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu tersebut negatif yang dicerminkan dari kurangnya rasa percaya individu terhadap domain-domain yang menjadi alasan individu untuk menikah.
28 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.2 Pembahasan Hasil Penelitian Gambaran Persepsi Pernikahan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai Tabel 4.4 Gambaran Persepsi Pernikahan 70 Responden SMP (%) SMA (%) TOTAL SUBJEK (%) Positive % % % Negative % % % Mean 3.1 Total % % % Sumber : Data Penelitian 2012 Berdasarkan pada tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh dari 70 responden remaja yang orangtuanya bercerai yaitu terdapat sebanyak 40 responden atau sebesar 57.2% yang mempunyai persepsi pernikahan yang positif. Sedangkan total subjek yang mempunyai persepsi pernikahan negatif terdapat sebanyak 30 responden atau sebesar 42.8%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek yang memiliki persepsi pernikahan positif cenderung lebih tinggi dari subjek yang memiliki persepsi pernikahan yang negatif.
29 Persepsi pernikahan positif dan persepsi pernikahan negatif ditentukan berdasarkan pada mean, dimana persepsi pernikahan positif memiliki nilai di atas nilai mean, dan persepsi pernikahan yang negatif memiliki nilai di bawah nilai mean. Perolehan mean dari 70 responden dalam penelitian ini yaitu sebesar 3.1. Menanggapi hasil tersebut, menurut Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) dalam tahap perkembangannya, remaja mengalami beberapa perubahan perkembangan, dan efek dari terjadinya perceraian orangtua mengakibatkan timbulnya kerentanan terhadap proses perkembangan remaja seperti adanya perubahan struktur keluarga yang membentuk perubahan pola dan rutinitas pada remaja, timbulnya masalah dalam hubungan sosial dan interpersonal remaja. Kendati demikian, Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) juga mengemukakan bahwa terjadinya perceraian orangtua tidak selalu memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Dalam penelitiannya, ditemukan beberapa remaja yang memperoleh kekuatan tertentu dari pengalaman perceraian orangtuanya, khususnya dalam rasa tanggung jawab dan meningkatnya kemampuan kompetensi anak. Akan hal tersebut, Santrock (2007) mengatakan bahwa dalam perkembangan remaja, individu lebih cenderung mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa, mencurahkan perhatian terhadap perencanaan dan persiapan masa depannya, termasuk persiapan untuk kehidupan berkeluarga. Sedangkan subjek yang mempunyai persepsi pernikahan yang negatif, cenderung menganggap bahwa pernikahan bukanlah suatu
30 lembaga yang dapat dipercaya untuk dapat mempertahankan suatu hubungan antara suami dan isteri yang ada dalam pernikahan. Sehubungan dengan hal tersebut, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) berpendapat bahwa persepsi yang dimiliki individu tercermin dari cara pandang, sikap dan tingkah laku individu terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Individu mempunyai persepsi akan sesuatu hal yang dialaminya baik bersifat positif maupun negatif. Hal tersebut terjadi karena individu yang menentukan cara pandangnya dalam mengambil sikap atau tingkah laku dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang dimilikinya. Dari nilai yang dimiliki individu yang berasal dari pengalamannya akan perceraian orangtuanya tersebut menimbulkan persepsi yang positif maupun persepsi yang negatif terhadap pernikahan Gambaran Persepsi Pernikahan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai Berdasarkan Domain pada masing-masing Kelompok Subjek yaitu SMP dan SMA.
31 Tabel 4.6 Diagram Persepsi Pernikahan Pada Kelompok SMP dan SMA Berdasarkan Domain Sumber: Data Penelitian 2012 Tabel-tabel di bawah ini adalah tabel perolehan gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai berdasarkan domain pada kelompok subjek SMP dan SMA, yaitu: Tabel 4.7 Gambaran persepsi pernikahan berdasarkan domain pada kelompok responden SMP SMP N Mean Commitment One to One Relationship Companionship Love Happiness Legitimation of Sex and Children Valid N (listwise)
32 Tabel 4.7 merupakan tabel gambaran persepsi pernikahan berdasarkan pada domain-domain yang menjadi alasan menikah bagi individu yang mencerminkan persepsi pernikahan pada kelompok responden SMP. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada kelompok subjek SMP terhadap persepsi pernikahan yang tercermin dari keenam domain-domain yang menjadi alasan menikah bagi individu, dapat dilihat bahwa dari keenam domain tersebut domain yang paling tinggi yaitu domain companionship dengan nilai mean sebesar 3.3, dan domain yang paling rendah yaitu domain commitment dengan nilai mean sebesar 2.8. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kelompok subjek SMP domain companionship dapat dijadikan sebagai alasan bagi individu untuk menikah. Berdasarkan teori (Stinnett & Stinnett, dalam Sofiana, 2001) tentang alasan individu untuk menikah, companionship menggambarkan bahwa pernikahan memungkinkan kesempatan untuk mengatasi rasa kesepian dan terisolasi dengan adanya aktivitas yang dapat dilakukan bersama dengan pasangan hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari perolehan hasil mean dimana hasil yang diperoleh pada domain companionship berada di atas mean. Sedangkan pada domain commitment yang merupakan domain terendah pada kelompok subjek SMP memiliki nilai mean sebesar 2.8. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa dari
33 keenam domain yang menggambarkan persepsi pernikahan yang diperoleh dari kelompok responden SMP bahwa responden menunjukkan persepsi yang negatif terhadap domain commitment, dimana domain tersebut menggambarkan bahwa responden menunjukkan rasa kurang percaya bahwa lembaga pernikahan dapat dijadikan sebagai lembaga untuk mengekspresikan komitmen antara kedua individu yang juga dilandasi dengan kesepakatan yang jelas. Mendukung hal tersebut dalam penelitiannya, Wallerstein & Blakeslee (dalam Jacquet, 2012) menyatakan bahwa remaja dari keluarga bercerai ragu untuk berkomitmen dalam menjalin hubungan dan kurang mampu untuk mengekspresikan keinginan untuk hubungan jangka panjang. Tabel 4.8 Gambaran persepsi pernikahan berdasarkan domain pada kelompok responden SMA SMA N Mean Commitment One to One Relationship Companionship Love Happiness Legitimation of Sex and Children Valid N (listwise) 34 Tabel 4.8 merupakan tabel gambaran persepsi pernikahan yang berdasar pada enam domain dari faktor-faktor yang menjadi
34 alasan menikah bagi individu yang mencerminkan persepsi pernikahan pada kelompok responden SMA. Berdasarkan pada domain tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat dua domain yang memiliki nilai tertinggi dari keenam domain pada kelompok responden SMA yaitu domain commitment dan love dengan nilai mean sebesar 3.3, sedangkan nilai yang terendah dari keenam domain pada kelompok responden SMA yaitu domain one to one relationship dengan nilai mean sebesar 2.9. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa dari keenam domain yang mencerminkan persepsi pernikahan yang diperoleh dari kelompok responden SMA bahwa domain tertinggi yaitu domain commitment dan love dan domain yang terendah yaitu domain one to one relationship, dimana domain commitment dan love tersebut menggambarkan bahwa pernikahan merupakan sebagai suatu lembaga dalam mengekspresikan komitmen dengan pasangan yang bersifat kekal serta perlu dilandasi dengan cinta yang tak terbatas guna memperkuat suatu hubungan. Sedangkan pada domain one to one relationship yang merupakan domain dengan nilai terendah pada kelompok subjek SMA. Dari hasil yang diperoleh pada domain one to one relationship kelompok subjek SMA menggambarkan bahwa individu dalam kelompok subjek SMA mempunyai kesulitan untuk menjalin hubungan intim dengan oranglain yang
35 diharapkan langgeng dan bersifat monogami, sehingga hasil yang diperoleh terhadap domain one to one relationship berada di bawah nilai mean. Dalam penelitiannya, Amato & Booth (dalam Risch, 2012) yang menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung memiliki pandangan dan sikap yang lebih positif terhadap perceraian. Sikap dan pandangan remaja tersebut yang mencerminkan persepsi remaja terhadap pernikahan. Dalam hal tersebut, remaja mampu mengamati bagaimana orangtua mereka berhubungan, dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman sebagai bagian dari landasan untuk mengembangkan hubungan dengan oranglain yang akan dikaitkan terhadap pernikahan remaja tersebut kelak (Risch, 2012). Namun dalam penelitian ini. sebagian besar responden yaitu sebanyak 40 responden dengan persentase sebesar 57.2% memiliki persepsi pernikahan positif. Akan hal tersebut, responden dalam penelitian ini masih menganggap bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga yang dapat menyatukan suatu komitmen dari dua individu menjadi sepasang suami-isteri. Akan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai mempunyai suatu harapan, keinginan dan cita-cita untuk mempunyai suatu pernikahan dan keluarga yang bahagia dengan pasangannya kelak. Hal tersebut didukung oleh, Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya
36 perceraian orangtua tidak selalu memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Dalam penelitiannya, ditemukan beberapa remaja yang memperoleh kekuatan tertentu dari pengalaman perceraian orangtuanya, khususnya dalam rasa tanggung jawab dan meningkatnya kemampuan kompetensi anak. Akan hal tersebut, Santrock (2007) mengatakan bahwa dalam perkembangan remaja, individu lebih cenderung mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa, mencurahkan perhatian terhadap perencanaan dan persiapan masa depannya, termasuk persiapan untuk kehidupan berkeluarga.
37 5 SIMPULAN, DISKUSI dan SARAN 5.1 Simpulan Dari hasil yang diperoleh dalam menggambarkan persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai berdasarkan total keseluruhan 70 responden yaitu terdapat 40 responden yang memiliki persepsi pernikahan yang positif yaitu sebesar 57.2% dan sebanyak 30 responden yang memiliki persepsi pernikahan yang negatif yaitu sebesar 42.8%. Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan yang positif dan persepsi pernikahan yang negatif ditentukan berdasarkan hasil perolehan mean dari mean yang diperoleh dari total skor subjek pada keenam domain yang mencerminkan persepsi pernikahan. Apabila nilai yang diperoleh masing-masing domain berada di atas mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu tersebut positif yang dicerminkan dari domain yang dijadikan alasan individu untuk menikah. Begitu juga sebaliknya, apabila nilai yang diperoleh masing-masing domain berada di bawah mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu tersebut negatif yang dicerminkan dari kurangnya rasa percaya individu terhadap domain-domain yang menjadi alasan individu untuk menikah. Hasil yang diperoleh dari dua kelompok subjek yaitu SMP dan SMA terhadap persepsi pernikahan, yaitu pada responden SMP terdapat 19 responden dengan persepsi pernikahan yang positif atau sebesar 52.8% dan sebanyak 17 responden dengan persepsi pernikahan yang negatif atau sebesar 47.2%. Sedangkan pada kelompok subjek SMA, terdapat 21 responden dengan persepsi pernikahan yang positif yaitu sebesar 61.8% dan sebanyak 13 responden dengan persepsi pernikahan yang positif atau sebesar 38.2%.
38 Sedangkan hasil yang diperoleh berdasarkan pada masing-masing domain dari kedua kelompok subjek yaitu bahwa dalam kelompok subjek SMP domain tertinggi terdapat pada domain companionship dengan nilai mean sebesar 3.3 sedangkan domain terendah terdapat pada domain commitment dengan nilai mean sebesar 2.8. Sedangkan pada kelompok subjek SMA domain terbesar terdapat pada domain commitment dan love yang jumlah keduanya mean-nya sebesar 3.3 sedangkan domain terendah terdapat pada domain one to one relationship dengan nilai mean sebesar Diskusi Terjadinya perceraian orangtua tidak dapat membawa dampak yang positif terhadap anak. Hal tersebut didukung oleh Amato (2012) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa perceraian orangtua cenderung membawa dampak buruk pada anak yang orangtuanya bercerai. Selain itu, Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) juga mengemukakan bahwa dalam tahap perkembangannya, remaja mengalami beberapa perubahan perkembangan, dan efek dari terjadinya perceraian orangtua mengakibatkan timbulnya kerentanan terhadap proses perkembangan remaja seperti adanya perubahan struktur keluarga yang membentuk perubahan pola dan rutinitas pada remaja, timbulnya masalah dalam hubungan sosial dan interpersonal remaja, dan remaja sulit untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Mendukung hal tersebut, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menyatakan bahwa terjadinya perceraian orangtua menimbulkan reaksi terhadap perilaku remaja seperti reaksi emosional pada remaja yang memandang perceraian orangtua sebagai kejadian traumatis yang bersifat tiba-tiba dan berada di luar kontrol, sehingga muncul sejumlah reaksi negatif seperti perasaan depresi,
39 dan tertekan, marah, trauma, sulit untuk memaafkan, dan menimbulkan pandangan yang negatif terhadap pernikahan yang ditunjukkan remaja ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis. Mendukung hal tersebut juga, Cunningham & Thornton (2012) menyatakan bahwa pernikahan orangtua yang buruk cenderung berpengaruh terhadap sikap dan pandangan individu terhadap pernikahannya kelak. Hal tersebut ditunjukkan dengan perilaku seks pranikah, hidup sendiri tanpa mempunyai pasangan, lebih selektif dalam memilih pasangan hidup, dan juga perceraian terhadap pernikahannya kelak pada individu yang orangtuanya bercerai. Maka dari itu, Rogers & Amato (1997) dan Umberson et.al. (2005) (dalam Cunningham 2012) menyimpulkan bahwa terjadinya perceraian menyebabkan penurunan akan makna pernikahan yang mempunyai implikasi bagi pandangan dan sikap individu terhadap pernikahan yang akan dikaitkan dengan sikap dan perilaku individu terhadap pernikahannya kelak. Hal tersebut disebabkan karena individu mengamati pernikahan orangtua mereka, dan karena pernikahan orangtua merupakan indikator anak untuk meniru orangtua mereka yang akan dikaitkan dengan pernikahannya kelak. Apabila merujuk pada beberapa pernyataan dari tokoh-tokoh di atas, seharusnya terjadinya perceraian orangtua cenderung menimbulkan dampak yang buruk terhadap sikap, perilaku dan pandangan remaja terhadap pernikahan dan perceraian. Namun dalam penelitian ini, berdasarkan hasil yang diperoleh dari total 70 responden yaitu terdapat sebanyak 40 responden memiliki persepsi pernikahan yang positif dan 30 responden memiliki persepsi pernikahan yang negatif. Dengan demikian hasil yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan gambaran persepsi pernikahan yang dimiliki remaja yang orangtuanya
40 bercerai cenderung memiliki jumlah yang lebih tinggi terhadap persepsi pernikahan yang positif dibandingkan dengan persepsi pernikahan yang negatif. Akan hal tersebut, Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya perceraian orangtua tidak selalu memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Dengan demikian, dari hasil yang diperoleh bahwa terjadinya perceraian orangtua tidak selalu membawa dampak buruk terhadap anak. Walaupun dalam prosesnya tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut sangat menyakitkan bagi anak, sehingga membutuhkan beberapa waktu bagi anak untuk dapat menerima dan beradaptasi akan terjadinya perceraian orangtuanya. Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) yang dalam penelitiannya menemukan beberapa remaja yang memperoleh kekuatan tertentu dari pengalaman perceraian orangtuanya, khususnya dalam rasa tanggung jawab dan meningkatnya kemampuan kompetensi anak. Akan hal tersebut, Santrock (2007) mengatakan bahwa dalam perkembangan remaja, individu lebih cenderung mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa, mencurahkan perhatian terhadap perencanaan dan persiapan masa depannya, termasuk persiapan untuk kehidupan berkeluarga. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah peneliti tidak mengambil data subjek secara mendalam sebagai informasi tambahan seperti pengelompokkan usia yang lebih banyak, jumlah bersaudara, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, jenis perceraian orangtua, perasaan yang dirasakan saat orangtua bercerai dan lain-lain. Dan setelah disimpulkan bahwa informasi-informasi tersebut di atas mampu memberikan penguatan terhadap hasil perolehan persepsi pernikahan responden, sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding dalam tahap perkembangan.
41 Responden dalam penelitian ini harusnya terdiri minimal 161 responden dari remaja yang orangtuanya bercerai, namun karena keterbatasannya waktu sehingga peneliti tidak dapat mengambil responden sebanyak 161 responden. 5.3 Saran Penulis menyadari bahwa banyaknya kekurangan dalam penelitian ini dari segala aspek. Untuk itu diharapkan dalam penelitian selanjutnya, jika peneliti selanjutnya tetap ingin melakukan penelitian terhadap remaja, diharapkan peneliti dapat meneliti tentang hubungan atau gambaran mengenai dampak perceraian orangtua terhadap perilaku kencan di kalangan remaja. Namun, jika peneliti selanjutnya ingin memperdalam lagi mengenai penelitian ini, diharapkan dalam menentukan karakteristik subjek penelitian, peneliti sebaiknya menggunakan subjek yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda, agar memperoleh hasil yang lebih baik dan relevan terhadap variabel yang ingin diukur yaitu persepsi pernikahan. Tidak hanya itu saja, dalam penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat menggunakan campuran dalam metode penelitian yaitu dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif yang dapat digunakan sebagai untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam yang dapat mendukung penelitian. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menentukan beberapa data kontrol seperti usia, jenis kelamin, tinggal bersama, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, lamanya perceraian orangtua, jenis perceraian apa yang terjadi saat orangtuanya bercerai, yang dapat dijadikan sebagai perbandingan hasil sehingga dapat memperkaya suatu penelitian dengan tujuan untuk memperoleh suatu gambaran tertentu.
BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan
1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia. Setiap orang berkeinginan untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia bersama orang
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan
6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas dan membentuk hubungan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan perempuan. Kemudian ketertarikan tersebut, diwujudkan dalam bentuk perkawinan atau pernikahan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran
Lebih terperinciGAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK
GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK Penelitian deskriptif ini berdasar pada fenomena bahwa kehadiran anak memiliki peran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut Papalia et, al (2008) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa
Lebih terperinciPENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA
PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan Oleh : FAJAR TRI UTAMI F 100 040 114 FAKULTAS PSIKOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya
Lebih terperinciCOPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH
COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S 1 Psikologi Diajukan oleh : Alfan Nahareko F 100 030 255 FAKULTAS PSIKOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemburuan merupakan hal yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan antarindividu. Afeksi yang terlibat dalam hubungan tersebut membuat individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya. Tapi anak sudah besar,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan secara berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk setiap masing-masing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap individu yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Manusia mengalami berbagai proses perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa kanak-kanak,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, dan agama, kognitif dan sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat
Lebih terperinciUNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran
Lebih terperinciBABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa
BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa langgeng hingga usia senja bahkan sampai seumur hidupnya. Kenyataan justru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan menyatukan kehidupan secara intim. Sebagai manusia yang beragama, berbudaya, beradab
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.
Lebih terperinciHUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA
HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA ABSTRACT Chusnul Chotimah Dosen Prodi D3 Kebidanan Politeknik Kebidanan Bhakti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab metodologi penelitian, akan dibahas mengenai variabel penelitian, masalah penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan data, alat ukur yang digunakan, prosedur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014
BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, individu dituntut
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan sosial yang semakin kompleks menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi secara cepat (Sunarti 2007). Duvall (1971) menjelaskan bahwa perubahan ini berdampak pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah mahkluk sosial dan mahkluk pribadi. Manusia sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga adalah salah satu unsur pokok dalam masyarakat. Keluarga dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan mempunyai tujuan untuk membina
Lebih terperinciPENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN
PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Remaja yang Menikah Muda. Berikut ini akan dipaparkan mengenai gambaran sampel penelitian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Remaja yang Menikah Muda Berikut ini akan dipaparkan mengenai gambaran sampel penelitian. Secara umum penelitian ini menggunakan 97 sampel peneltian sebelum
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari segi biologi, psikologi, sosial dan ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini budaya barat telah banyak yang masuk ke negara kita dan budaya barat ini sangat tidak sesuai dengan budaya negara kita yang kental dengan budaya timur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling tergantung terhadap manusia lainnya, dengan sifat dan hakekat
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan jarak jauh (long distance relationship) Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI Gambaran Forgiveness Pada Orang Bercerai Di Kecamantan Kunir Kabupaten Lumajang
NASKAH PUBLIKASI Gambaran Forgiveness Pada Orang Bercerai Di Kecamantan Kunir Kabupaten Lumajang SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S-1) Sarjana Psikologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perubahan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini khususnya bagi remaja merupakan suatu gejala yang dianggap normal, sehingga dampak langsung terhadap perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah adalah bagian dari ibadah, karena itu tidak ada sifat memperberat kepada orang yang akan melaksanakannya. Perkawinan atau pernikahan menurut Reiss (dalam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pernikahan adalah salah satu proses penting dalam kehidupan sosial manusia. Pernikahan merupakan kunci bagi individu untuk memasuki dunia keluarga, yang di dalamnya terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama rentang kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir sampai meninggal, banyak fase perkembangan dan pertumbuhan yang harus dilewati. Dari semua fase perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan sensus penduduk terbaru yang dilaksanakan pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki
Lebih terperinciGambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang melibatkan berbagai perubahan, baik dalam hal fisik, kognitif, psikologis, spiritual,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini, anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk yang tidak pernah berhenti berubah, semenjak pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan baik dalam kemampuan fisik maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus
16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan jenjang awal pembentukan masyarakat, dari suatu parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di dalamnya akan lahir
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia akan mengalami peristiwa penting dalam hidupnya, salah satunya adalah momen perkawinan dimana setiap orang akan mengalaminya. Manusia diciptakan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya, orang dewasa menginginkan hubungan cintanya berlanjut ke jenjang perkawinan. Perkawinan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah menciptakan dengan sempurna sehingga realitas ini dicetuskan oleh Aristoteles pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti melahirkan anak, merawat anak, menyelesaikan suatu permasalahan, dan saling peduli antar anggotanya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah
Lebih terperinci2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-21 yaitu dimana remaja tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan waktu perubahan dramatis dalam hubungan personal. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perubahan yang terjadi pada individu di masa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat keterikatan secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana anak mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah
7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa muda merupakan masa dimana individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Sesuai dengan pendapat Havighurst (dalam Santrock,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tiba diriku di penghujung mencari cinta Hati ini tak lagi sepi Kini aku tak sendiri
1.1. Latar belakang penelitian BAB I PENDAHULUAN Tiba diriku di penghujung mencari cinta Hati ini tak lagi sepi Kini aku tak sendiri Aku akan menyayangimu Ku kan setia kepadamu Ku kan selalu di sisimu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masa dewasa merupakan masa dimana setiap individu sudah mulai matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock (dalam Jahja, 2011), rentang
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Sudah menjadi fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta mencari pasangan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.
47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Lokasi Penelitian Penelitian tentang Hubungan Antara Faktor Demografi dengan Pada Penderita Hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY telah dilakukan di Puskesmas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila
Lebih terperinciBAB 2. Tinjauan Pustaka
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.
Lebih terperinciB. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana karakteristik komunikasi interpersonal orang tua tunggal dalam mendidik
KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG TUA TUNGGAL DALAM MENDIDIK ANAK REMAJA AWAL BAB I A. Latar Belakang Komunikasi interpersonal merupakan suatu cara yang dilakukan orang tua tunggal dalam mendidik anak, karena
Lebih terperinci