KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]"

Transkripsi

1 KAJIAN PENAFSIRAN ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] A. TUJUAN DAN SASARAN Kajian penafsiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat Ormas atau 17/2013) merupakan instrumen untuk mengetahui dan mendalami konteks kelahiran dan substansi Ormas. Basis penyusunan kajian penafsiran ini adalah hasil pemantauan terhadap seluruh perkembangan dari penyusunan, pembahasan hingga pengesahan (R) Ormas serta bacaan terhadap naskah Ormas. Kajian penafsiran ini dapat dibaca dan dirujuk oleh siapapun yang ingin memahami Ormas secara obyektif karena mampu menyajikan informasi dan pandangan dari para pihak yang terlibat dalam kelahiran dan pembahasan (R) Ormas. Target dari penggunaan kajian penafsiran Ormas adalah sekelompok individu yang telah dan akan membentuk organisasi, baik berbadan hukum (yayasan maupun perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, yang diperkirakan akan terkena dampak pengaturan Ormas. Kajian penafsiran dapat memandu para pihak yang ingin merespon latar belakang dan implementasi Ormas. Selain itu, kajian penafsiran ini dapat menjadi bekal atau pegangan tersendiri bagi para pihak yang ingin melakukan advokasi apabila pelaksanaan Ormas menimbulkan atau disertai tindakan sewenangwenang dan penindasan. B. METODE Metode penafsiran yang digunakan dalam menyusun kajian penafsiran Ormas adalah kombinasi dari berbagai metode yang umum digunakan. Selain bersifat terminologis atau gramatikal (definisi/pengertian) dan komparatif (perbandingan), metode penafsiran mempertimbangkan pula aspek sistematika berupa pasal-pasal yang menjadi batang tubuh Ormas yang kemudian dikelompokkan dan ditataurutkan. Aspek sejarah atau kelahiran dari berbagai ketentuan yang termuat dalam batang tubuh Ormas turut menjadi rujukan. Dengan kata lain, dimensi tekstual dan kontekstual Ormas mendapatkan ruang yang memadai untuk ditanggapi dan ditafsirkan. Terhadap pasal-pasal tertentu, penafsiran yang berdasar pada metode ekstentif (memperluas klausul), restriktif (mempersempit/membatasi maksud suatu pasal atau lebih), atau analogi dapat digunakan untuk saling menguji keabsahan yang terdekat, saling melengkapi, dan memperkuat. Bacaan kontekstual merujuk pada Rapat Kerja Gabungan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Menteri Agama, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada Senin, 30 Agustus 2010 dan Naskah Akademik (NA) (R) Ormas. Sedangkan bacaan tekstual fokus pada naskah 17/2013 yang terdiri dari 87 pasal dan 19 bab. C. KONTEKS C.1 Rapat Kerja Gabungan 30 Agustus 2010 Titik awal bergulirnya inisiatif (R) Ormas bisa ditelusuri dari dokumen Risalah Rapat Kerja Gabungan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mendagri, Menkumham, Menteri Agama, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Rapat yang diselenggarakan pada Senin, 30 Agustus 2010 dan diketuai oleh Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua DPR RI/Koordinator Bidang Politik dan Keamanan), dihadiri oleh 22 orang anggota Komisi II, 26 orang dari Komisi III, dan 24 orang Komisi VIII. 1 P a g e

2 Di awal, DPR mencatat sikap keragu-raguan atau ketidaktegasan Pemerintah, khususnya aparat keamanan dalam melakukan tindakan untuk membina ataupun menyelesaikan kekerasan oleh ormas. DPR mengidentifikasi kelompok masyarakat terorganisir yang belum memiliki bentuk yang jelas menurut peraturan perundang-undangan, kelompok atau aliran yang mengatasnamakan aliran tertentu, dan satuan tugas (satgas) yang bersifat militeristik dengan menggunakan atribut tertentu. Merespon catatan awal DPR, Pemerintah menyampaikan tanggapan sebagai berikut: Pokok Pertimbangan Pemerintah Rujukan hukum Pembinaan ormas Pengawasan ormas Penanganan ormas Penjelasan 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( 8/1985) dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan nilainilai demokrasi. Semangat 8/1985 sangat kental dengan sentralistik dan represif. 8/1985 menempatkan Pemerintah sebagai pembina, pengawas, sekaligus pemberi sanksi, bahkan sanksi pembekuan dan pembubaran. Sementara di sisi lain, masih ada kebutuhan untuk mengendalikan ormas yang mengganggu dan melakukan kekerasan menggunakan yang lebih sesuai dengan perkembangan Indonesia. 2. Mendagri juga memunculkan kebutuhan untuk mengalokasikan anggaran pembinaan dan pengawasan terhadap ormas di pusat dan daerah dalam satu mata anggaran khusus, karena selama ini masih digabungkan dalam anggaran bantuan sosial kemasyarakatan. 3. Menkumham memberikan catatan tentang 8/1985 dan sekaligus memberikan usulan, yaitu: a. Ormas perlu dibentuk dengan akte notaris yang memuat paling sedikit AD/ART dan kepengurusan. b. Ormas wajib berbadan hukum. 1. Pemerintah kesulitan melakukan pengelolaan kemitraan dengan ormas dan LSM. Beberapa ormas dan LSM melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban dan ketentraman. 2. Terdapat persoalan tarik menarik kepentingan antara dimensi pengelolaan dan pembinaan terhadap ormas dengan aspirasi demokrasi yang berkembang di lingkungan ormas. 1. Sejak reformasi, perkembangan ormas sangat pesat, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Pada 2005 ada sekitar ormas, dan 2010 meningkat menjadi kurang lebih (ormas terdaftar) di tingkat pusat. Bila ormas tidak terdaftar, Pemerintah tidak bisa menindak (ketika melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum), karena Ormas belum memuat sanksi bagi ormas tidak terdaftar. 2. Terkait ormas yang menggunakan pakaian kemiliteran, menurut Kapolri No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memuat konsep pengembangan pengamanan swakarsa. Jika keluar dari ketentuan akan mendapat teguran dan bahkan dibekukan. 1. Menurut data Polri, jumlah tindakan kekerasan oleh ormas terus meningkat dari 2007 hingga 2010 (termasuk yang dilakukan oleh FPI, FBR, dan Barisan Muda Betawi). Terdapat 10 kejadian pada 2007 yang kemudian bertambah menjadi 49 kejadian di Ada 31 kasus diproses tuntas hingga P Kepolisian telah memiliki landasan hukum dalam mengambil tindakan terhadap pelaku kekerasan, sehingga tidak perlu ada keraguan lagi. Ormas bermasalah seharusnya dibekukan, tapi pembekuan ormas bukan kewenangan Polri. Terhadap penjelasan Pemerintah, secara umum setidaknya terdapat 3 (tiga) tanggapan dari fraksifraksi di DPR yaitu: Pokok Penjelasan 2 P a g e

3 Tanggapan Fraksi Revisi Ormas tidak dibutuhkan Pembinaan ormas oleh Mendagri masih kurang Program pengawasan ormas oleh BIN Akar permasalahan kekerasan adalah penegakan hukum yang tidak dilakukan dengan baik. Mengubah atau merevisi Ormas bukan sesuatu yang mendesak, tapi penegakan hukum yang lebih diperlukan. Proses pendaftaran ormas di Kemendagri dipertanyakan terkait dengan syarat dan kualifikasi, terutama kaitannya dengan perbedaan akses untuk mendapatkan dana dari APBN/APBD. Selain itu, pemanfaatan dan transparansi pengelolaan dana pembinaan yang bersumber dari APBN/APBD juga dipersoalkan oleh DPR. 1. Seharusnya BIN jangan hanya melihat isi AD/ART ormas, karena pasti akan ideal rumusannya. BIN punya kapasitas untuk melihat track record ormas (seperti anggota dan aktivitasnya) sehingga cukup alasan bagi BIN (dan Polri) untuk menindak ormas. 2. Besarnya ormas disinyalir karena adanya kebutuhan back-up keamanan oleh pihak tertentu. Ormas dijadikan back-up perekonomian, pertenderan, dll. 3. Pasal 156, Pasal 351, Pasal 406, dan Pasal 335 KUHP jelas menjadi dasar hukum untuk tindak lanjut aparat keamanan. 4. Polri juga memiliki program QuickWin yang bisa dijalankan. Setelah DPR dan Pemerintah menyampaikan pandangan masing-masing, rapat kerja gabungan akhirnya menyepakati sejumlah kesimpulan, yaitu: 1. Menolak seluruh bentuk tindakan kekerasan atas nama apapun (suku, agama, kelompok etnis, kelompok kepentingan, dan lain-lain) karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum agar tegas dalam penegakan hukum terhadap perilaku kekerasan dan anarkis oleh siapapun yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. 3. Mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum agar bertindak cepat dan tegas terhadap ormas yang perilakunya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 4. Segera melakukan revisi terhadap 8/1985 sebagaimana pandangan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang berkembang dalam rapat kerja gabungan. Temuan dan Penafsiran: 1. Membandingkan antara catatan awal DPR, kemudian pokok-pokok penjelasan dari Pemerintah, tanggapan umum fraksi-fraksi di DPR hingga poin-poin kesimpulan yang disepakati, dapat mengarahkan kita kepada pemahaman bahwa kebijakan menindak ormas yang melakukan kekerasan tidak terkait dengan revisi 8/1985. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas sesungguhnya bisa ditangani melalui profesionalitas dan ketegasan aparat kepolisian. Bahkan mendorong komitmen kepolisian juga tidak mensyaratkan perubahan 8/1985. Ini terkonfirmasi melalui tiga poin kesimpulan awal, yang kemudian baru dilengkapi dengan agenda memperbarui 8/1985. Dengan demikian, (R) Ormas dibuat dan dibahas seharusnya dilatarbelakangi oleh faktor tersendiri, tidak terkait, dan bukan karena maraknya kekerasan yang dilakukan oleh ormas serta ketiadaan atau kebuntuan instrumen hukum dalam penanganannya. 2. Pemerintah sempat mendalilkan R Ormas sebagai instrumen untuk memberdayakan ormas. Selama ini berbagai organisasi mampu berkiprah dan mengaktualisasikan dirinya, sebagian bahkan tanpa ada fasilitasi dari pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam penanganan korban bencana alam atau pendampingan disabilitas (sebagai contohnya), malah terkadang lebih dini hadir dan berkelanjutan ketimbang pemerintah. 3 P a g e

4 Temuan dan Penafsiran: Seharusnya pemberdayaan organisasi yang dibutuhkan adalah bisa kita analogikan seperti pemerintah berhadapan dengan sektor swasta. Pemerintah memfasilitasi memberikan karpet merah dan menciptakan iklim kondusif dalam berinvestasi. Jadi, organisasi membutuhkan lingkungan yang kondusif pula serta bukan melalui pendekatan politik dan keamanan. Dalam artian tidak represif, tidak birokratis, dan memberikan sejumlah insentif (seperti insentif pajak bagi organisasi yang menjalankan misi kebudayaan dan sosial dalam skala/radius tertentu). 3. Kemendagri mencatat pertumbuhan ormas yang sedemikian pesat, yang turut menjadi urgensi R Ormas. Persoalan sesungguhnya adalah tata kelola administrasi dan koordinasi jaringan (database) ormas yang tersebar di berbagai kementerian/instansi. Tidak perlu sama sekali menghadirkan R Ormas. 4. Salah satu poin pertimbangan Pemerintah mengusulkan R Ormas karena 8/1985 dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian Indonesia membutuhkan Ormas yang baru (yang salah satu tujuannya) untuk mencabut Ormas yang lama. Inisiatif untuk mencabut 8/1985 bisa melalui Pencabutan sebagaimana diatur oleh No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tidak harus dengan R Ormas atau Ormas yang baru. Sesungguhnya tidak ada kekosongan (rujukan) hukum untuk menjawab polemik keberadaan 8/1985, terutama dasar hukum yang memungkinkan pencabutannya. 12/2011 menyediakan rujukan tersendiri. Pada Lampiran II tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB II HAL-HAL KHUSUS huruf C PENCABUTAN angka 223, diketahui bahwa peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui peraturan perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. Artinya, untuk mencabut 8/1985 dapat menggunakan (dasar hukum) pencabutan tersendiri, sebagaimana dimaksud pada angka 227. Tidak perlu menghadirkan Ormas yang baru untuk mencabutnya. Isi pencabutan pada dasarnya memuat dua pasal, yaitu Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan dan Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan. Sedangkan format penulisan pencabutan merujuk pada Lampiran II tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN huruf E BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG. C.2 Naskah Akademik (R) Ormas Selain berdasarkan hasil rapat kerja gabungan antara DPR dan Pemerintah 30 Agustus 2010, latar belakang (R) Ormas dapat ditelusuri juga melalui bacaan terhadap dokumen NA (R) Ormas. Terdapat 3 (tiga) landasan yang mendasari kelahiran (R) Ormas, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan Filosofis Landasan Sosiologis Kebebasan berserikat merupakan jantung dari sistem berdemokrasi sehingga perlu diberi ruang dan perlindungan. Negara berkewajiban menjamin dan memfasilitasi kegiatan masyarakat, termasuk yang dilakukan secara berorganisasi. Relasi antar individu dalam menyelesaikan persoalan dan memenuhi kebutuhannya mengandalkan kebersamaan dan kerjasama dalam pola berkelompok. Antarkelompok melakukan interaksi yang kemudian membentuk kesatuan sosial yang lebih besar. 4 P a g e

5 Landasan Yuridis Untuk mempertahankan kesatuan sosial perlu menyepakati sejumlah pegangan, termasuk dalam hal ini perangkat hukum. Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) D Bagian dari hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia se-dunia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember Keberadaan 8/1985 sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial politik Indonesia, khususnya era reformasi. Dari yang termuat dalam NA(R) Ormas atau yang dibahas selama rapat kerja gabungan 30 Agustus 2010, setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang seringkali dikemukakan oleh DPR dan Pemerintah yang kemudian menjadi alasan utama kehadiran (R) Ormas, yaitu: Pertama, mereka berdalih bahwa keberadaan (R) Ormas diperlukan untuk menindak organisasi yang memiliki massa dan melakukan kekerasan (dalam bentuk demonstrasi dengan kekerasan, sweeping, dll). Selama ini pemerintah hanya bisa menjerat pelaku di lapangan, sedangkan pengurus atau pihak yang memberikan perintah tidak bisa dijangkau. Bahkan ketika ingin membubarkan suatu ormas pelaku kekerasan dan yang sudah nyata berbuat onar, Pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa karena beranggapan tidak memiliki landasan hukum yang tepat. Kedua, selain soal kekerasan di ruang publik, DPR dan Pemerintah berulang kali menyatakan bahwa urgensi (R) Ormas, salah satunya adalah mewujudkan tata kelola ormas, terutama yang terkait dengan transparansi dan akuntabilitas. DPR dan Pemerintah menganggap bahwa selama ini ormas tidak mampu bersikap profesional dalam mengelola urusan administrasi, keuangan hingga kinerja keorganisasian. Bahkan mengacu data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), DPR dan Pemerintah mencurigai adanya LSM yang tidak transparan dan akuntabel dalam menerima dan menggunakan dana yang bersumber dari pihak asing atau bahkan APBN/APBD. Dikhawatirkan, pengelolaan dana asing bertujuan sebagai sarana pencucian uang dan kegiatan terorisme. Untuk itu, DPR dan Pemerintah memerlukan landasan hukum yang memungkinkan seluruh ormas mampu berlaku transparan dan akuntabel. Keduanya merasa perangkat peraturan perundang-undangan yang ada selama ini masih belum mampu membentuk profil ormas yang transparan dan akuntabel. Temuan dan Penafsiran: 1. Bab II Konsepsi dan Dinamika Organisasi Masyarakat Subbab A Konsepsi Organisasi Masyarakat NA (R) Ormas mengkonfirmasi kerancuan pengertian ormas yang ternyata bersumber dari ketidakjelasan norma, sebagaimana termuat dalam 8/1985. Definisi ormas dalam tersebut mencakup semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik berdasarkan keanggotaan ataupun tanpa anggota. Akan tetapi karena tidak diikuti kejelasan norma, maka seringkali ditafsirkan hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. Anehnya, konstruksi ormas yang diformulasikan oleh 8/1985 masih digunakan bahkan nyaris sama dengan apa yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 17/ Badan Legislasi (Baleg) sebagai alat kelengkapan DPR yang menyiapkan R Ormas, telah memuat hasil identifikasi terhadap 14 undang-undang yang memberikan jaminan dan mengatur berbagai bentuk organisasi, termasuk No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah oleh No. 28 Tahun 2004, ke dalam NA (R) Ormas. Bahkan khusus tentang yayasan, Baleg menyimpulkan bahwa terjadi tumpang tindih pengaturan organisasi kemasyarakatan di tingkat undang-undang. Sementara tentang Staatsblad yang mengatur tentang perkumpulan dinyatakan masih eksis dan menjadi dasar pendirian organisasi perkumpulan. 5 P a g e

6 D. TEKS D.1 Urgensi Ormas di Berbagai Peraturan Peraturan Perundang-undangan Bacaan terhadap Ormas menyimpulkan bahwa dari 87 pasal, hanya 48 pasal yang relevan dengan pengaturan ormas. Sisanya tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari konstitusi (8 pasal), KUHP, KUHAP, KUHPerdata (7 pasal), Yayasan (41 pasal), KIP (7 pasal), Anti Pencucian Uang (6 pasal), dan terkait anti terorisme (6 pasal). Bahkan Ormas mencaplok materi pengaturan yang seharusnya menjadi wilayah R (33 pasal). Perlu dicatat bahwa terhadap 48 pasal yang dikategorikan masuk dalam rezim Ormas, sebagian besar berkonstruksi norma administratif yang bisa dialokasikan seperti: a. Mekanisme pendaftaran bagi ormas yang tidak berbadan hukum seharusnya tidak perlu di level undang-undang ( Ormas), tapi cukup melalui aturan teknis kementerian sektoral. Itupun hanya berlaku bagi ormas yang ingin mengajukan dan mengelola sebagian anggaran APBN/APBD (misalkan dalam bentuk dana bantuan sosial). b. Pengakuan seperti hak dan kewajiban ormas sebagaimana termuat dalam Pasal 20 dan Pasal 21 adalah contoh norma administratif. Tanpa itu pun, sudah ada konstitusi yang mewadahi dan AD/ART ormas yang akan menjabarkannya lebih lanjut (Pasal 20 huruf a, huruf c, dan huruf d). Bahkan ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual/HAKI (yang tersebar pada Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, atau Rahasia Dagang) sudah lebih dari cukup untuk mewadahi ormas memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan lambang ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b. c. Hak ormas untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e sudah lebih dari cukup diakomodasi oleh KUHP, KUHAP, KUHPerdata hingga Kepolisian (2/2002). Begitu pula hak ormas untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, ormas lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan keberlanjutan organisasi (Pasal 20 huruf f) sudah diatur melalui AD/ART hingga Permendagri No. 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun 2011 dan Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun Bahkan kedua Permendagri tersebut sudah lebih dulu mengatur maksud dan tujuan Pasal 41 atau penyediaan sanksi melalui Pasal 61 huruf b dan huruf c, Pasal 64 ayat (1) huruf a, dan Pasal 64 ayat (2). d. Selain ketentuan HAKI, larangan terhadap ormas sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (1) huruf a sudah diatur dalam No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. D.2 Identifikasi Pasal-pasal Bermasalah Berdasarkan penjelasan huruf B tentang METODA, maka dilakukan identifikasi terhadap sejumlah pasal serta mendiagnosa norma yang terkandung dan kehendak dari penyusun (R) Ormas. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) temuan yang kemudian dikelompokkan menjadi satu kategori permasalahan dan penilaian. Tujuh kategori tersebut adalah: No Kategori Penjelasan 1. Norma yang tidak jelas batasan dan ruang lingkupnya Berdasarkan Lampiran II No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB I KERANGKA 6 P a g e

7 No Kategori Penjelasan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN angka 98 huruf a, angka 107, dan BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN angka 243 huruf e, suatu pengertian atau definisi harus cermat dan jelas batasan rumusannya. 2. Pasal-pasal yang tidak perlu ada untuk melegalkan keberadaan AD/ART Organisasi 3. Pasal-pasal tumpang tindih dan menimbulkan konflik norma Naskah Akademik (R) Ormas mengkonfirmasi kerancuan pengertian ormas yang ternyata bersumber dari ketidakjelasan norma, sebagaimana termuat dalam 8/1985. Definisi ormas dalam tersebut mencakup semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik berdasarkan keanggotaan ataupun tanpa anggota. Akan tetapi karena tidak diikuti kejelasan norma, maka seringkali ditafsirkan hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. Anehnya, konstruksi ormas yang diformulasikan oleh 8/1985 masih digunakan bahkan nyaris sama dengan apa yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 17/ Ormas mengatur sejumlah materi pengaturan sebatas pengakuan (pendelegasian) kepada AD/ART organisasi. Padahal tanpa pengakuan Ormas sekalipun, AD/ART merupakan dokumen standar yang sudah tersedia ketika suatu organisasi didirikan dan dibentuk. Setidaknya ada 11 pasal yaitu Pasal 7 ayat (1); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32; Pasal 33 ayat (3); Pasal 34 ayat (2); Pasal 35; Pasal 36; Pasal 39 ayat (2); Pasal 53 ayat (2); Pasal 54 ayat (3); dan Pasal 57 ayat (1). Akibat Ormas yang menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11), maka akan timbul kerancuan. Yayasan merupakan bentuk organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota dan sudah diatur dalam undang-undang tersendiri ( No. 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah oleh No. 28 Tahun 2004). Tentu tidak tepat jika koridor pengaturannya diletakkan secara bersamaan dan dinaungi oleh Ormas yang menyertakan juga organisasi (berbadan hukum) yang berbasiskan anggota, dalam hal ini yang juga (masih) diatur dalam aturan khusus (yaitu Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang - Berbadan Hukum). Dengan kata lain, sesungguhnya organisasi yang berbadan hukum telah diatur dalam undang-undang tersendiri. Keberadaan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 justru menyempitkan amanat D 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berorganisasi hanya menjadi ormas. 1 Pengertian Ormas berdasarkan Pasal 1 8/1985 yaitu organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 7 P a g e

8 No Kategori Penjelasan Persyaratan mendapatkan pengesahan terhadap ormas asing (berbadan hukum yayasan) sebagaimana diatur dalam Pasal 47 menimbulkan kebingungan dan kompleksitas tersendiri. Mengingat Yayasan dan PP pelaksanaan Yayasan mengatur pula keberadaan ormas asing (yayasan asing). Akibatnya terdapat dua rezim ( Ormas dan Yayasan) yang mengatur obyek yang sama (yayasan asing). Terlihat penyusun (R) Ormas menempatkan esensi pengaturan yayasan asing bukan pada Yayasan tapi malah menempatkan pada undang-undang terpisah, yaitu Ormas. Secara tidak langsung temuan terhadap Pasal 47 terkait pula dengan Pasal 43 s/d Pasal Pasal-pasal yang tidak jelas konstruksi normanya Formulasi norma misalkan dalam bentuk perintah, larangan atau kebolehan dapat merujuk pada Lampiran II No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN angka 267, angka 268, dan angka 269. Kategori norma kebolehan sebagaimana dimaksud angka 267 melalui penggunaan kata dapat ditujukan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga. Penjelasan kategori norma perintah (angka 268) dengan menggunakan kata wajib bertujuan untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan. Jika tidak terpenuhi akan dikenakan sanksi. Terakhir, kategori norma keharusan (angka 269) melalui kata harus untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, tidak diperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat. Pasal 16 adalah salah satu contoh ketentuan yang tidak bisa diketahui secara pasti kategori normanya. Pasal 16 mengatur materi pendaftaran ormas, tapi apakah pendaftaran ormas menjadi sebuah perintah/kewajiban atau bersifat pilihan tidak bisa ditelusuri dari teks pengaturan. 5. Norma yang multitafsir Pasal 59 Ormas memuat serangkaian larangan berkategori multitafsir yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat atau pemimpin formal yang korup dapat dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan terhadap pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dinilai sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerjasama internasional, badan PBB, funding agency, secara 8 P a g e

9 No Kategori Penjelasan kelembagaan atau perorangan, mungkin saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 6. Pasal-pasal yang tidak perlu ada di level Setidaknya ada norma dari 8 (delapan) pasal yang sebenarnya tidak perlu ada di level tanpa menghilangkan esensi tujuan perumusan norma. Delapan pasal tersebut sudah dinaungi oleh konstitusi. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 14, Pasal 21, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 59 ayat (4). Contoh lain di luar yang telah diatur oleh konstitusi antara lain Pasal 22, Pasal 29, dan Pasal 30 ayat (1). Esensi pengaturan di ketiga pasal tersebut umumnya sudah diatur dalam AD/ART organisasi. 7. Norma yang tidak konsisten Dari Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) Ormas diketahui bahwa ormas yang berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum. Dengan demikian, ketika suatu ormas sudah memperoleh status badan hukum (yayasan atau perkumpulan), maka ormas tersebut tidak memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Namun, keberadaan Pasal 15 ayat (2) melalui frase pendaftaran ormas berbadan hukum justru membuat bias makna Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3). Dari Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) dapat ditafsirkan ketika syarat pengesahan badan hukum terpenuhi sebagaimana yang diatur (misalkan dalam Yayasan), maka saat itu juga diperoleh status terdaftar. Dengan demikian, Pasal 15 ayat (2) tidak perlu ada, atau frase pendaftaran ormas berbadan hukum diganti dengan frase tata cara mendapatkan pengesahan status badan hukum (yang diatur lebih rinci dalam Yayasan atau nantinya ). Alasannya, status terdaftar bagi ormas berbadan hukum bukan diperoleh dengan menempuh prosedur pendaftaran tapi pengesahan status badan hukum. Persoalan Ormas bukan sekedar batang tubuh (pasal-pasal), tapi pada konsep dasar pengaturannya. Dengan kata lain, meskipun DPR dan Pemerintah melakukan perbaikan terhadap materi (R) Ormas (pada pembahasan lalu), tapi itu bersifat tambal sulam karena perubahan yang muncul berdiri di atas kerangka berpikir yang keliru. Perancangan suatu undang-undang didahului oleh kerja penyusunan NA. Artinya, NA menjadi media yang menjelaskan kenapa kesimpulan akhirnya adalah harus ada (R) Ormas. Temuan tentang pasal-pasal (R) Ormas yang dikategorikan bermasalah secara tidak langsung merupakan imbas dari jejak permasalahan yang bisa saja sudah muncul sejak penyusunan NA. Salah satu indikatornya adalah evolusi pasal sejak rancangan awal (21 Juli 2011) hingga 25 Juni 2013 atau sesudahnya yang tidak lagi bersifat revisi minor. Perubahan pasal-pasal ternyata berpola nyaris sama, yaitu ketika pihak eksternal (dari proses legislasi (R) Ormas) membeberkan sejumlah pasal bermasalah, bukan dari hasil pembahasan di internal DPR (Pansus dengan Pemerintah). Oleh karena itu, membongkar (R) Ormas tidak bisa dimulai dari pasal-pasal yang dianggap represif atau memiliki cabang persoalan lainnya, tapi menelusurinya sejak dari NA. Dari situ bisa kita ketahui saat tercetus usulan (R) Ormas, cara pandang atau pendekatan apa yang digunakan, bagaimana negara berhadapan dengan sektor masyarakat sipil, 9 P a g e

10 bagaimana tanggapan NA terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait, fakta atau perilaku apa yang dijadikan dasar perumusan definisi ormas, ruang lingkup dan sebagainya. E. BAHAN BACAAN DAN PENDALAMAN Daftar bahan bacaan dan pendalaman sangat membantu para pihak dalam memahami secara komprehensif konteks kelahiran (R) Ormas dan penafsirannya. Sedangkan keterangan tentang peraturan perundang-undangan berupaya membuka pemahaman publik terhadap urgensi (R) Ormas yang sesungguhnya sudah dijawab oleh berbagai aturan, mulai dari hingga Peraturan Presiden (Perpres). Selain bacaan dokumen, tersedia juga dalam bentuk video yang bisa diakses melalui fasilitas Youtube. Dokumen (1) Naskah Akademik (R) Ormas (September 2011) (2) Naskah No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan (1) D 1945 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) (3) Staatsblad (Stb) tentang - Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheidvan Verenegingen) dan R tentang (4) No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas No. 16 Tahun 2011 tentang Yayasan (5) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (6) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (7) No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Menjadi Undang-Undang (8) No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (9) No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (10) No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (11) No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan (12) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun Video Visualisasi kajian tentang pengaturan kehidupan organisasi di Indonesia F. PENANGGUNG JAWAB Kajian penafsiran Ormas ini dibuat oleh Sekretariat Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). KKB tidak bertanggung jawab terhadap penggunaan dokumen atau informasi yang termuat (dalam dokumen ini) di luar dari tujuan sebagaimana dimaksud pada huruf A. Tidak menutup kemungkinan, sebagian informasi yang termuat memerlukan konfirmasi ulang dan pendalaman. Sekretariat KKB membuka saluran komunikasi bagi para pihak yang ingin mendapatkan informasi dan mempelajari lebih lanjut perjalanan advokasi serta berbagai kajian yang terkait dengan (R) 10 P a g e

11 Ormas. Sekretariat KKB juga menyediakan narasumber untuk kebutuhan penelitian, peliputan maupun diskusi/seminar. Sekretariat KKB dapat dihubungi melalui nomor telfon ; faks ; dan dengan SaudariViri. 11 P a g e

12 Pembidangan Dan Keterkaitan Materi (R) Ormas Dengan Konstitusi Dan Sektoral Lainnya Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] Pengelompokan Materi Pengaturan Konstitusi Ormas (1) Ketentuan umum Pasal 1 Asas, ciri, dan sifat Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Tujuan, fungsi, dan ruang lingkup Pendirian ormas Pendaftaran Pasal 14 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 KUHP, KUHAP, dan KUHPerdata (2) Pasal 2 Yayasan (3) Pasal 4 Pasal 4 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 13 Staatsblad dan R (4) Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 15 Pasal 15 KIP (5) Pencucian Uang (6) Tindak Pidana dan Pendanaan (7) 12 P a g e

13 Pengelompokan Materi Pengaturan Hak dan kewajiban Organisasi, kedudukan, dan kepengurusan Keanggotaan Konstitusi Pasal 21 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Ormas (1) Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32 KUHP, KUHAP, dan KUHPerdata (2) Pasal 20 Yayasan (3) Staatsblad dan R (4) KIP (5) Pasal 21 Pasal 21 Pasal 21 Pasal 33 ayat (3) Pasal 34 AD dan ART ormas Pasal 35 Pasal 35 Pasal 35 Perubahan AD dan ART ormas Pasal 36 Pasal 36 Pasal 36 Keuangan Pasal 37 Pasal 38 Pasal 37 Pasal 38 Badan usaha ormas Pasal 39 Pasal 39 Pemberdayaan ormas Pasal 40 Pasal 41 Pasal 37 Pasal 38 Pasal 38 Pencucian Uang (6) Tindak Pidana dan Pendanaan (7) 13 P a g e

14 Pengelompokan Materi Pengaturan Ormas yang didirikan warga negara asing Pengawasan Penyelesaian sengketa ormas Larangan Konstitusi Ormas (1) Pasal 42 Pasal 49 Pasal 50 Pasal 57 Pasal 58 Pasal 59 ayat (1) Pasal 59 ayat (3) huruf b KUHP, KUHAP, dan KUHPerdata (2) Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 59 ayat (2) Yayasan (3) Pasal 43 Pasal 44 Pasal 45 Pasal 46 Pasal 47 Pasal 48 Staatsblad dan R (4) KIP (5) Pencucian Uang (6) Tindak Pidana dan Pendanaan (7) Pasal 51 Pasal 51 Pasal 51 Pasal 51 Pasal 52 Pasal 53 Pasal 53 Pasal 53 Pasal 53 Pasal 53 Pasal 54 Pasal 54 Pasal 54 Pasal 54 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 55 Pasal 55 Pasal 55 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 56 Pasal 56 Pasal 56 Pasal 56 Pasal 59 ayat (3) huruf a Pasal 59 ayat (3) huruf a Pasal 59 ayat 14 P a g e

15 Pengelompokan Materi Pengaturan Konstitusi Ormas (1) (4) Sanksi Pasal 60 Pasal 61 Pasal 62 Pasal 63 Pasal 64 Pasal 65 Pasal 66 Pasal 67 KUHP, KUHAP, dan KUHPerdata (2) Yayasan (3) Pasal 61 huruf d Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Pasal 74 Pasal 75 Pasal 76 Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 Pasal 81 Pasal 82 Staatsblad dan R (4) Pasal 61 huruf d Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Pasal 74 Pasal 75 Pasal 76 Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 Pasal 81 Pasal 82 Ketentuan peralihan Pasal 83 Pasal 83 Pasal 83 Ketentuan penutup Pasal 84 Pasal 85 KIP (5) Pencucian Uang (6) Tindak Pidana dan Pendanaan (7) 15 P a g e

16 Pengelompokan Materi Pengaturan Konstitusi Ormas (1) KUHP, KUHAP, dan KUHPerdata (2) Yayasan (3) Staatsblad dan R (4) KIP (5) Pencucian Uang (6) Tindak Pidana dan Pendanaan (7) Pasal 86 Pasal 87 Jumlah Pasal 8 pasal 48 pasal 7 pasal 41 pasal 33 pasal 7 pasal 6 pasal 6 pasal Keterangan Penomoran Kolom (1) No. 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) (3) No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (4) Staatsblad (Stb) tentang - Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheidvan Verenegingen) dan R tentang (5) No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (6) No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (7) No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Menjadi Undang-Undang dan No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan 16 P a g e

17 Identifikasi Beberapa Masalah Terkait Dengan Urgensi Ormas Yang Sudah Atau Dapat Diatur Oleh Berbagai Peraturan Perundang-Undangan Sektoral Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] MASALAH Organisasi melakukan tindakan kekerasan dan anarkis (sweeping, penyerangan, intimidasi, dll) Organisasi melakukan penyimpangan keuangan (korupsi, pencucian uang, dll) Organisasi dimanfaatkan untuk tindak pidana terorisme Organisasi tidak transparan dan akuntabel padahal menerima dana dari masyarakat dan negara Organisasi ikut serta terlibat dalam penyimpangan proses tender yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau dalam mengajukan dan mengelola dana bantuan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEKTORAL KUHP sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Tidak tegasnya aparat penegak hukum dalam menindak pelaku kekerasan tidak ada kaitannya dengan Ormas maupun upaya untuk merevisinya. No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor). No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ( Yayasan) melarang pengalihan kekayaan yayasan secara langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus, pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan. No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana. No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan. Pasal 52 Yayasan mewajibkan ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan. Selain itu, bagi Yayasan yang menerima dana dari negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp 500 juta harus diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan dalam surat kabar. Pasal 72 Yayasan: Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat yang diperolehnya sebagai akibat berlakunya suatu peraturan perundang-undangan wajib mengumumkan ikhtisar laporan keuangan yang mencakup kekayaannya selama 10 (sepuluh) tahun sebelum Yayasan diundangkan. No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ( KIP) menempatkan dan mengatur organisasi nonpemerintah sebagai badan publik. Tipikor. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah oleh Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun Permendagri No. 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya 17 P a g e

18 sosial MASALAH Penindakan penyalahgunaan dana publik yang dilakukan organisasi Organisasi melakukan kegiatan politik praktis Organisasi merupakan sayap kepentingan pihak asing PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEKTORAL Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun Keliru jika beranggapan Ormas dapat menjadi dasar hukum penuntutan suatu organisasi di pengadilan karena penyalahgunaan dana publik. Dalam prakteknya SKT menjadi modal organisasi untuk mendapatkan dana publik, misalnya dana bantuan sosial. Dalam KUHP/KUHPerdata, jika belum berbadan hukum, apabila terjadi pelanggaran hukum, yang bertanggung jawab adalah orang per-orangan dan bukan organisasi. Yayasan membatasi maksud dan tujuan pendirian (yayasan) untuk kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Yayasan mengatur mengenai yayasan asing maupun yayasan yang didirikan oleh orang asing. 18 P a g e

KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS. Disusun Oleh: KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT [KKB]

KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS. Disusun Oleh: KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT [KKB] KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS Disusun Oleh: KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT [KKB] Dok per 8 September 2013 TUJUAN DAN SASARAN Tujuan a. Merupakan instrumen untuk mengetahui dan mendalami konteks kelahiran dan

Lebih terperinci

11 ALASAN PENOLAKAN RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

11 ALASAN PENOLAKAN RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] 11 ALASAN PENOLAKAN RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] 1. Definisi Ormas Sangat Umum, Membelenggu Semua Bentuk dan Bidang Kemasyarakatan Definisi Ormas dalam Pasal 1 yang serba

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MATERI RUU ORMAS YANG DIPERKIRAKAN BERKAITAN DAN BERPOTENSI DISHARMONISASI DENGAN RUU PERKUMPULAN DAN UU YAYASAN

IDENTIFIKASI MATERI RUU ORMAS YANG DIPERKIRAKAN BERKAITAN DAN BERPOTENSI DISHARMONISASI DENGAN RUU PERKUMPULAN DAN UU YAYASAN IDENTIFIKASI MATERI RUU ORMAS YANG DIPERKIRAKAN BERKAITAN DAN BERPOTENSI DISHARMONISASI DENGAN RUU PERKUMPULAN DAN UU YAYASAN Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Temuan Prinsipil a) Perkembangan

Lebih terperinci

Petunjuk Pemantauan PELAKSANAAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

Petunjuk Pemantauan PELAKSANAAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] Petunjuk Pemantauan PELAKSANAAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] A. TUJUAN Petunjuk Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAHAYA RUU ORMAS. Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat(KKB)

BAHAYA RUU ORMAS. Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat(KKB) BAHAYA RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat(KKB) PENGANTAR Dibentuknya Pansus RUU Ormas pada 3 Oktober 2011 merupakan kesempatan yang sangat baik untuk meluruskan kesalahan dan kerancuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2013 HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pendirian-Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430)

Lebih terperinci

Kerangka Acuan SOSIALISASI UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

Kerangka Acuan SOSIALISASI UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] Kerangka Acuan SOSIALISASI UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] A. TUJUAN DAN SASARAN Kerangka acuan sosialisasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya

Lebih terperinci

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN. No.261, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pelaksanaan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5958) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

SIARAN PERS RUU Ormas: Negara Kembali Mengekang Kemerdekaan Berserikat Dan Berorganisasi

SIARAN PERS RUU Ormas: Negara Kembali Mengekang Kemerdekaan Berserikat Dan Berorganisasi SIARAN PERS RUU Ormas: Negara Kembali Mengekang Kemerdekaan Berserikat Dan Berorganisasi Februari 2013 ini, DPR akan menyelenggarakan rapat paripurna yang mengagendakan pengesahan Rancangan Undang Undang

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG SALINA N MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENDAFTARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM

Lebih terperinci

2017, No kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif; d. bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya

2017, No kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif; d. bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya No.138, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pendirian-Pengawasan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6084)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENDAFTARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM

Lebih terperinci

[www.metrotvnews.com]

[www.metrotvnews.com] RUU ini akan menghapus UU RI Nomor 8 Thn 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah & DPR berambisi segera mengesahkan RUU bermasalah ini, akhir Maret 2013. Padahal banyak sekali Ormas yg menolak

Lebih terperinci

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

- 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

INFO SHEET Pengaturan Tentang Yayasan Dalam RUU Ormas Dan Dampaknya Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)

INFO SHEET Pengaturan Tentang Yayasan Dalam RUU Ormas Dan Dampaknya Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) INFO SHEET Pengaturan Tentang Yayasan Dalam RUU Ormas Dan Dampaknya Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Apa perkembangan terkini tentang RUU Ormas? Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DRAFT RUU ORMAS Per Tgl 1 April 2013 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN Disetujui Timus, 15 Maret 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA EsA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA EsA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA EsA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PELAKSANA UNDANG- UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN (UU ORMAS)

PERATURAN PEMERINTAH PELAKSANA UNDANG- UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN (UU ORMAS) LAPORAN KAJIAN PENAFSIRAN PERATURAN PEMERINTAH PELAKSANA UNDANG- UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN (UU ORMAS) Disusun oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Peneliti: Fransisca

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG. ORGANISASI KEMASYARAKATAN Disetujui Timus, 15 Maret 2013

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG. ORGANISASI KEMASYARAKATAN Disetujui Timus, 15 Maret 2013 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DRAFT RUU ORMAS hasil diskusi TA DPR dan TA Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, bahkan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENDAFTARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.05.01 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Organi

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Organi No.262, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. WNA. Didirikan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5959). PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1361, 2016 DPR. Prolegnas. Penyusunan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DALAM PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN

BAB III KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DALAM PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN BAB III KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DALAM PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN A. Tentang Kementrian Dalam Negeri Keberadaan Kementrian Dalam Negeri, Diawali pada Zaman Hindia Belanda sampai tahun

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT I. Pendahuluan Badan Legislasi telah menerima surat tertanggal 27 Juli 2017 perihal usulan Rancangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Per 17 Desember 2008 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK

NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan

Lebih terperinci

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1124 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Program Legislasi Nasional. Penyusunan. Tata Cara. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 37 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU PENYELENGGARA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.387, 2012 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM. Pengawas. Dana Kampanye. Pemilu. Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2012

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5430 HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pendirian-Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116) PENJELASAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGAWASAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGAWASAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH 1 PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGAWASAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan

Lebih terperinci

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci