II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Air

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Air"

Transkripsi

1 19 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Air Menurut Undang-undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air didefinisikan bahwa sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung didalamnya. Kemudian air didefinisikan sebagai semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sumber air didefinisikan sebagai tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Sedangkan daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat atau kerugian bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Hubungan antara sumberdaya air dan perlindungan sumber air didefinisikan pada Bab III tentang Konservasi Sumberdaya Air, Pasal 20 telah diatur dalam 3 ayat, meliputi: (1) bahwa konservasi sumberdaya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan daya fungsi sumberdaya air; (2) bahwa konservasi sumberdaya air harus dilakukan kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai; dan (3) bahwa terkait dengan konservasi sumberdaya air diatas harus menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah. Dengan demikian pengelolaan air (bersih) minum di suatu wilayah harus berkaitan dengan ketersediaan air di hulunya (water availability) yang meliputi kuantitas dan kualitas air (bersih) minum, serta kebutuhan air yang dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah hilirnya, sehingga menurut Loucks (2000) bahwa sistem sumberdaya air diatur untuk memenuhi perubahan terhadap kebutuhan air pada saat ini dan masa depan tanpa terjadi kerusakan lingkungan.

2 20 Tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai sepanjang kebijakan dan praktek pengelolaan air tidak terpadu dan berkelanjutan (Loucks 2000; Soenaryo et al. 2005). Pengelolaan air berkelanjutan merefleksikan aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan dari prinsip pembangunan berkelanjutan, seperti dimensidimensi yang menyangkut jumlah dan kualitas air, perlindungan sumber air, distribusi air, akses masyarakat untuk memperoleh air, serta nilai manfaat air bagi masyarakat (Lundin et al. 1997). Keseimbangan ekosistem antara wilayah hulu dan wilayah hilir sebagai suatu neraca lingkungan hidup yang diimplementasikan dalam aktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan harus memperoleh perhatian yang sejajar dan selaras baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Swasta, Perguruan Tinggi (PT) dan masyarakat secara keseluruhan, dan stakeholder terkait lainnya. Kegiatan produksi dan ekonomi di wilayah hulu harus memperhatikan aspek kelestarian dan keselamatan di wilayah hilir, hal ini sejalan dengan Undangundang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 4 yang menyatakan bahwa sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial berarti bahwa sumberdaya air untuk kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu, mempunyai fungsi lingkungan hidup berarti bahwa sumberdaya air menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan fauna, sedangkan sumberdaya air mempunyai fungsi ekonomi berarti bahwa sumberdaya air dapat didayagunakan untuk menunjang kegiatan usaha. Pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan merupakan pengelolaan air yang bersifat multi dimensional (Flint 2003) yang menyangkut hubungan antara sumberdaya alam, sosial dan sistem ekonomi yang simultan dalam penggunaan dan pengelolaan air.

3 21 Kerusakan lingkungan di wilayah hulu merupakan keuntungan ekonomi yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan atau diperlukan untuk perbaikan pemulihan keadaan seperti semula (alami). Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi nilai kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan (Pearce et al. 1994). Pengalaman negaranegara Philippina (Francisco 2003; Jensen 2003), Vietnam (Bui et al. 2004) dan Sri Lanka (Kallesoe 2004) telah membuktikan bahwa perbaikan kondisi lingkungan di wilayah hulu DAS sangat menguntungkan bagi pengguna air di wilayah hilir. Untuk itu konservasi adalah hal yang signifikan, karena dengan melakukan konservasi berarti telah berupaya untuk memelihara keberadaan dan keberlanjutan atas keadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Menurut Kodoatie et al. (2008) bahwa sumberdaya air dari sisi siklus hidrologi dan sisi wilayah air selalu mengalir dari daerah hulu ke daerah hilir melalui berbagai situasi dan kondisi antara lain topografi dan kontur tanah, kemiringan, tutupan tanah, dan tata guna lahan; namun pada hakekatnya air tidak dibatasi oleh batas administrasi baik kabupaten atau kota atau provinsi namun oleh batas daerah aliran sungainya (DAS). Air yang mengalir tersebut, umumnya dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan dan keperluan masyarakat dan industri, pertanian dan lainnya. Ketersediaan dan keberadaan air tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan tata guna lahan. Sebagai contoh ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi daerah permukiman maka kebutuhan air meningkat karena dipakai untuk penduduk di permukiman tersebut namun secara bersamaan ketersediaan air berkurang karena daerah resapan air telah berkurang pula.

4 22 Ketika lahan di daerah hulu tata guna lahannya berubah maka terjadi peningkatan debit air permukaan, akibatnya di daerah hilir mendapatkan debit yang berlebih yang dampaknya pada musim hujan terjadi banjir dan tingkat kekeruhan yang meningkat karena telah terjadi erosi aliran (gully erosion) dan erosi permukaan tanah (surface erosion) sekaligus menimbulkan sedimentasi pada aliran sungai dan lainnya sampai dengan ke muara sungai sehingga menimbulkan pendangkalan. Akibatnya di laut terjadi akresi yang mempengaruhi longshore transport sediment di pantai. Dampak akresi pantai suatu lokasi adalah gerusan pantai yang dikenal dengan sebutan abrasi di tempat lainnya (Kodoatie et al. 2008), namun sebaliknya pada musim kemarau karena daerah resapan air telah berkurang dan seluruhnya mengalir ke hilir menimbulkan bencana kekeringan yang meningkat pula luasan cakupannya baik itu terjadi di daerah hulu apalagi di daerah hilirnya. Akibatnya sumberdaya air bukan lagi sebagai water for life (air untuk kehidupan), tapi menjadi water and disaster (air dan bencana) untuk itu diperlukan keterpaduan mengatasi banjir dan kelangkaan air tersebut dengan upaya-upaya menyeluruh dan terpadu. 2.2 Daur Hidrologi dan Akuifer Berdasarkan siklus air atau daur hidrologi, air yang diuapkan oleh matahari dan angin dari laut dan daratan akan terbawa oleh pergerakan udara. Selanjutnya terjadi proses pendinginan yang mengakibatkan uap air akan terkondensasikan menjadi butiran-butiran air yang turun ke bumi sebagai air hujan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian akan meresap ke dalam tanah, sebagian kecil akan diuapkan kembali dan sebagian besar akan mengalir ke permukaan sebagai aliran permukaan (run off). Air yang meresap ke dalam tanah sebagian akan disimpan dalam lapisan pembawa air (aquifer) dapat berupa air tanah dangkal atau air tanah bebas maupun air tanah dalam. Air tanah dangkal atau air tanah bebas umumnya akan muncul di daerah-daerah dengan elevasi yang lebih rendah

5 23 sebagai mata air ataupun mengalir ke dalam sungai-sungai atau danau yang berada pada arah aliran air tanah dangkal (bebas) tersebut sebagai air permukaan. Aliran air tanah maupun air permukaan pada akhirnya akan kembali ke laut dan membentuk daur hidrologi kembali secara terusmenerus, sebagaimana disajikan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Siklus Air dalam Pola Penyebaran Sumber Daya Air di suatu Wilayah Prinsip peresapan dan pelepasan air tanah mengikuti hukum hidrolika yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi, terutama dipengaruhi oleh kondisi geologi setempat seperti jenis tanah dan batuan, porositas, permeabilitas, kemiringan lereng, dan lainnya. Dalam hal ini, air tanah merupakan air yang terdapat di bawah permukaan tanah yang mengisi rongga-rongga dalam lapisan geologi atau yang disebut juga sebagai akuifer. Menurut Wilson (1993) bahwa akuifer atau pehantar adalah lapisan pembawa air tanah atau lapisan dalam bumi yang mengandung air. Akuifer ini terdiri dari bahan lepas berupa pasir atau kerikil atau bahan yang mengeras seperti batu pasir atau batu gamping. Batu gamping bersifat nisbi kedap, tetapi dapat larut dalam air, sehingga sering memiliki kekar atau lorong yang lebar-lebar yang membuat batuan itu secara keseluruhan serupa dengan batuan sarang yang mempunyai kemampuan untuk memegang air dan bertindak sebagai lapisan pembawa air. Air tanah mempengaruhi dan sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan mineral yang berhubungan langsung dengan

6 24 air tersebut. Air tanah melarutkan mineral dan formasi mineral dan menyimpannya pada permukaan batuan. Air tanah juga diisi oleh aliran air dari permukaan dan melepaskan ke badan air dan atau sungai, danau yang berada di bawah levelnya. Pada proses peresapan dan pelepasan air tanah tersebut terdapat dua jenis kondisi air tanah, yaitu: (1) air tanah tak tertekan, dan (2) air tanah tertekan. Air tanah tak tertekan (unconfined aquifer) merupakan air tanah yang umumnya menempati lapisan tanah pada bagian atas atau disebut pula air tanah dangkal atau air tanah bebas. Adapun air tanah tertekan (confined aquifer) umumnya menempati lapisan yang ada di bawahnya atau disebut pula sebagai air tanah dalam. Kedua kondisi air tanah tersebut dalam hubungannya dengan siklus air dalam akuifer disajikan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Siklus Air Tanah dalam suatu Akuifer DAS. Secara garis besar sumber-sumber air yang terdapat pada kawasan penelitian terbagi menjadi: (1) Air Tanah: Air tanah dangkal, air tanah dalam yang termasuk dalam air bawah tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan yang mengandung air di bawah permukaan tanah termasuk mata air; (2) Mata Air: Air Tanah yang muncul ke permukaan atau tempat air tanah yang keluar sebagai aliran permukaan; dan (3) Air

7 25 Permukaan: Sungai, danau atau waduk. Sementara itu potensi air angkasa (air hujan) tercakup dalam pembahasan potensi air permukaan. Artinya air tanah yang terdapat pada permukaan tanah tidak termasuk air laut yang berada di laut maupun di darat. Keberadaan tentang sumber-sumber air permukaan maupun air tanah telah didefinisikan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dimana sumber air didefinisikan sebagai wadah air yang terdapat di atas permukaan seperti sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara, serta yang di bawah permukaan termasuk dalam pengertian ini akuifer dan mata air. 2.3 Kebijakan Lingkungan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali et al. 1995) bahwa kebijakan dijelaskan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak baik pemerintah, organisasi, lembaga masyarakat, dan lembaga lainnya. Menurut Sanim (2005) kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan) baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Artinya terjadi campur tangan pemerintah baik pusat ataupun daerah yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sektoral (magnitude dan arahnya) maupun lintas sektor dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Mustopadidjaja (1992) menjelaskan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan tindakan atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan; Menurut Nurcholis (2007) pengertian kebijakan mempunyai 4 ciri penting, yaitu (1) kebijakan adalah suatu tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan menciptakan kesejahteraan

8 26 masyarakat; (2) kebijakan dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variabel pokok dari semua permasalahan yang akan dipecahkan tercakup; (3) kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh (unit) organisasi pelaksana; dan (4) kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan masalah. Menurut Keban (2004) kebijakan berarti menunjukkan adanya serangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Menurut Hogwood dan Gunn (1986) dalam Wahab (2008) kebijakan mempunyai makna: (1) kebijakan sebagai sebuah lebel atau merk bagi suatu bidang kegiatan pemerintah; (2) kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki (3) kebijakan sebagai usulan-usulan khusus; (4) kebijakan sebagai keputusankeputusan pemerintah; (5) kebijakan sebagai bentuk otorisasi atau pengesahan formal; (6) kebijakan sebagai program; (7) kebijakan sebagai keluaran; (8) kebijakan sebagai hasil akhir; (9) kebijakan sebagai teori atau model; (10) kebijakan sebagai proses. Berdasarkan definisi kerja, makna kebijakan adalah keputusan suatu organisasi guna mengatasi permasalahan tertentu berupa keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan (2) penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun kelompok sasaran. Dye (1996) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih atau dikembangkan oleh lembaga atau badan-badan usaha mililk pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah. Berdasarkan pendapat Dye tersebut maka semua pilihan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah disebut kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak berbuat sesuatu. Karena itu untuk keberhasilan suatu kebijakan diperlukan suatu perencanaan kebijakan yang benar, sebagaimana dijelaskan Badjuri et

9 27 al dalam Nurcholis (2007) bahwa pengertian perencanaan kebijakan publik setidaknya mengandung makna: (1) merupakan proses menentukan dan mengatur persoalan publik dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama, (2) merupakan proses merumuskan keputusan yang diambil untuk mengurus masalah-masalah publik, (3) merupakan pengaturan permasalahan umum yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga (organisasi publik atau Badan Usaha Milik Negara atau Daerah) yang sah, dan (4) memiliki dimensi yang luas. Oleh karena itu perencanaan tentang kebijakan publik harus dilaksanakan secara baik, matang, fokus, terarah, dan terorganisir melalui kegiatan analisis kebijakan. Analisis kebijakan diartikan sebagai suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. Dunn (2000) menjelaskan bahwa analisis kebijakan merupakan suatu alat yang mensintesiskan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif dan diramalkan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan; sehingga analisis kebijakan yang sedang dilaksanakan maka prosedur pengkajiannya meliputi: (a) pemantauan kebijakan, (2) evaluasi kebijakan, (3) ramalan masa depan kebijakan, dan (4) merekomendasikan kebijakan. Dengan demikian pengertian analisis kebijakan, diartikan sebagai analisis terhadap kebijakan publik dan dapat diaplikasikan pada kebijakan lingkungan. Menurut Sanim 2005 bahwa dalam menetapkan analisis kebijakan lingkungan diperlukan adanya perumusan kebijakan yang prosesnya melalui tahapan input proses output dan menghasilkan umpan balik. Pada perumusan input kebijakan perlu diperhatikan hal-hal yang terkait dengan identifikasi masalah, persepsi, perlunya pengorganisasian, tuntutan, dukungan dan keluhan atas suatu masalah yang berkembang. Adapun proses kebijakannya meliputi regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi dan nilai-nilai etika. Kemudian menghasilkan output yang faktor-faktornya

10 28 berupa aplikasi dalam penegakan hukum, melakukan interpretasi, evaluasi, legitimasi dan melakukan modifikasi atau penyesuaian guna peningkatan efektivitas kebijakan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hogwood dan Gunn (1986) dalam Wahab (2008) bahwa analisis kebijakan itu sebagai proses kebijakan yang meliputi tahap-tahap: (1) penyusunan agenda; (2) perumusan kebijakan; (3) implementasi kebijakan; (4) evaluasi kebijakan; (5) perubahan kebijakan; (6) pengakhiran kebijakan dan kembali berulang. Menurut Djajadiningrat (1997) bahwa analisis kebijakan lingkungan (analysis of environmental policies) harus mempunyai sasaran untuk menyelesaikan atau mengurangi masalah lingkungan karena suatu kebijakan lingkungan itu hanya akan relevan jika kebijakan itu ditujukan pada penyebab masalahnya. Menurut Dunn 2000 bahwa dengan adanya analisis kebijakan dapat diharapkan menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal, yaitu: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya untuk menghasilkan pencapaian nilai-nilai. 2.4 Jasa Lingkungan dan Kelembagaan Jasa Lingkungan Jasa lingkungan diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Misalnya hutan sebagai ekosistem alami selain menyediakan berbagai macam produk kayu juga menyediakan produk non kayu sekaligus juga menjadi reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air yang kemudian melepasnya secara gradual, sehingga air tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun dengan adanya penebangan pohon yang tidak terkendali pada sistem hutan alami dapat menimbulkan gangguan, terutama dalam siklus air dimana dengan adanya pembabatan hutan dapat

11 29 menyebabkan banjir pada saat musim hujan dan menurunnya kualitas air, demikian pula saat musim kemarau terjadi kekurangan (defisit) air yang otomatis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualias air yang dapat menimbulkan kerentanan masyarakat hilir dalam kebutuhan dan ketersediaan air bersih atau air minum yang berakibat kualitas hidup terancam dan kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Jasa hidrologis hutan tersebut akan terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi; untuk itu diperlukan adanya hubungan hulu-hilir dalam bentuk penyediaan biaya atau dana kompensasi dari pengguna jasa lingkungan di wilayah hilir. Menurut Opschoor dalam Alikodra (1998) kelembagaan didefinisikan sebagai perilaku baik formal maupun informal termasuk konversi sosial dalam berbagai bentuk organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku manusia dan kehidupannya. Perilaku manusia itu sendiri menurut Freeman (1985) harus memperhatikan keadaan atas perilaku yang sebenarnya atau perilaku yang dilihat, perilaku yang bersifat potensi kooperatif, dan adanya potensi perilaku bersifat ancaman persaingan. Dengan memaksimumkan rencana potensi kooperatif dan meminimalkan ancaman persaingan dengan memperhatikan potensi perilaku yang dilihat, maka akan muncul potensi organisasi pada tingkat kelembagaan yang handal dan bersifat strategis. Kelembagaan diartikan pula sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap keberadaan sumberdaya alam yang didalamnya mengatur pula hubungan antara seseorang dengan yang lainnya, dimana dalam implementasinya memiliki aturan-aturan (rules) dan kearifan (lokal) yang hidup dalam masyarakat dan yang tertulis dalam peraturan perundangan formal guna memudahkan hubungan kerjasama dalam memperoleh harapannya masing-masing sehingga mengurangi ketidakadilan dalam distribusi sumberdaya. Menurut Egger (1990) kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam seharusnya tetap dipertahankan meskipun teknologi dalam budidaya pertanian dan wanatani (agroforestry) berkembang pesat karena dapat memaksimalkan hasil secara bekelanjutan sejalan dengan

12 30 tetap mempertahankan fungsi biologi dasar dari tanah, air, unsur hara dan humus dan mengupayakan adanya keanekaragaman jenis tanaman dan hewan untuk keseimbangan ekologi, stabilitas ekonomi dengan menciptakan varietas dan spesies lokal yang secara sosial mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Kelembagaan jasa lingkungan meliputi berbagai komponen, antara lain lembaga formal yang mempunyai fungsi dan peran di bidang lingkungan, organisasi swasta, organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun yang bersifat informal seperti modal sosial, norma dan nilai-nilai sosial termasuk cara berpikir secara politis dan kepeduliannya terhadap lingkungan. Modal sosial (social capital) mencakup dua aspek yaitu individu (mikro) dan kolektif atau kelompok (makro). Pada tingkat komunitas, maka modal sosial direpresentasikan oleh noma (norms), kepercayaan (trust) dan ikatan sosial (social cohesion). Kekuatan modal sosial pada level komunitas sangat membantu individu anggotanya untuk memperoleh tujuan yang diinginkan (Erickson 1996; Flap 1999; Lin 2001). Dudwick et al menegaskan bahwa modal sosial mencakup multi dimensi yaitu komunitas, jaringan, norma, kepercayaan; sementara itu Lin (2001) menegaskan bahwa modal sosial pada tingkat individu lebih kuat sehingga mudah terukur dibandingkan dengan tingkat komunitas. Keberadaan modal sosial sangat menentukan nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat dan mampu menjamin pengelolaan sumberdaya air secara arif, bijaksana dan berkelanjutan. Karena itu untuk meningkatkan pemahaman antar stakeholders terhadap kompleksitas dan upaya menyelesaikan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air diperlukan komunikasi intensif di setiap tingkatan pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Alikodra (2002) menyatakan untuk dapat mengelola lingkungan secara benar perlu pengembangan kapasitas lingkungan (capacity development in environment atau CDE) yang menekankan tiga elemen kunci yaitu organisasi atau institusi (kelembagaan), regulasi dan

13 31 sumberdaya manusia (SDM). Elemen-elemen kunci bagi pengembangan kapasitas lingkungan hidup tersebut perlu ditingkatkan kemampuannya, sehingga dapat terbentuk kelembagaan jasa lingkungan (capacity building) yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Kelembagaan yang fleksibel dan sederhana adalah sebuah organisasi dengan ciri equality, diversity dan efektif; selain itu diperlukan adanya kemauan dari anggota dalam organisasi tersebut dimana orangorangnya harus mau belajar secara terus menerus pada semua tingkatan agar menghasilkan kelembagaan yang dapat tumbuh dan berkembang serta maju di masa mendatang (Senge 1995). Sedangkan menurut Alikodra (2002) terkait dengan organisasi atau kelembagaan Pemerintah atau semi Pemerintah di bidang lingkungan harus mampu menerapkan konsep good environmental governance dicirikan dengan transparan, partisipatif, akuntabilitas, mampu melakukan penegakan hukum, efektif, efisien dan berkeadilan. Untuk itu diperlukan penyamaan visi dan misi dari semua stakehoders untuk membangun kelembagaan jasa lingkungan dalam konsep capacity development in payment of environmental services atau pembangunan kapasitas kelembagaan pembayaran jasa lingkungan. 2.5 Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan Konsep pembayaran jasa lingkungan (PJL) atau payment for environmental services (PES) dapat diadopsi dan dikembangkan di Indonesia, namun perlu merumuskan mekanisme PJL yang dapat diterima semua pihak dan diatur dalam aturan perundang-undangan sehingga mempunyai kepastian hukum untuk melaksanakannya. Pada penelitian ini yang dimaksudkan sebagai pembayaran jasa lingkungan (PJL) didefinisikan sebagai suatu transaksi sukarela atau mengikat secara hukum dimana sebuah jasa lingkungan yang jelas dan dapat teridentifikasi dimanfaatkan (dibeli) oleh para pemanfaat (pembeli) yang diperoleh dari para penyedia jasa lingkungan yang merupakan sebuah pembayaran atas jasa lingkungan

14 ekosistem yang menginternalisasikan eksternalitas positif dalam penggunaan, pengambilan dan pemanfaatan suatu sumberdaya. 32 Pengembangan kebijakan PJL dimulai dari kasus-kasus bersifat lokal dengan cara melakukan kajian; terutama bila kajian tersebut berdasarkan pada konsep instrumen ekonomi lingkungan sehingga formulasi instrumen kebijakannya menjadi sesuatu yang signifikan untuk diaplikasikan dalam masyarakat. Hubungan antara jasa lingkungan dan PJL berati terjadinya pemanfaatan atas sumberdaya dimaksud, dalam hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dimana disebutkan bahwa: pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dikatakan pula bahwa jasa lingkungan adalah jasa ekosistem alamiah dan sistem budidaya yang manfaatnya dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan manusia. Menurut Panayotou (1994) kasus PJL di beberapa negara, instrumen ekonomi telah banyak diaplikasikan di lapangan dan efektif dalam mengendalikan dampak lingkungan atas penggunaan sumberdaya alam bagi pembangunan. Panayotou menyebutkan paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu: (1) menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar melalui mekanisme full cost pricing (dalam manajemen SPAM disebut sebagai full cost recovery plus) dimana plusnya mencakup biaya subsidi, biaya lingkungan, dan biaya eksternalitas yang diperhitungkan dalam pengambilan keputusan atau dengan kata lain bahwa full cost pricing (P) terdiri dari marginal (or incremental) production cost (MPC), marginal user (or depletion) cost (MUC), dan marginal environmental (or damage) cost

15 33 (MEC); (2) mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai wahana untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya; (3) instrumen ekonomi berfungsi untuk mendorong efisiensi dalam penggunaan barang dan jasa dari sumberdaya alam, sehingga tidak menimbulkan overconsumption atau over-use (atau over-exploitation, misalnya dalam terminologi over-fishing dan over-cutting) karena pasar, tetapi melalui instrumen ekonomi akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien; dan (4) instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue generating) yang berkelanjutan dalam pengelolaan sumberfdaya alam dan lingkungan. Rosa et al. (2005) pakar tentang pembayaran jasa lingkungan dari Amerika Tengah mendefinisikannya sebagai kompensasi jasa ekosistem. Menurutnya, ada 4 klasifikasi jasa ekosistem dalam rangka Millenium Ecosystem Assessment (MEA), yaitu: (1) Jasa Penyediaan (provisioning services): sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat, air, dan mineral; (2) Jasa Pengaturan (regulating services): fungsi manjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, dan pengurangan resiko; (3) Jasa Kultural (cultural services): identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pusaka dan cagar budaya (heritage), dan rekreasi; (4) Jasa Pendukung (supporting services): produksi utama, formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah, penyerbukan, ketersediaan habitat, siklus gizi dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat hendaknya dapat memaknai suatu keadaan yang disediakan oleh ekosistem dan keberadaannya tergantung pada kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan jasa lingkungan yang diinginkannya.

16 34 Pembayaran jasa lingkungan sudah dapat diimplementasikan pada berbagai sumberdaya alam namun perspektifnya beragam. Keberagaman terkait dengan elemen yang terlibat dalam skema pembayaran jasa lingkungan yang perlakuannya beragam pula antara sumberdaya yang satu dengan sumberdaya yang lainnya, antara lain penerapannya pada; (1) jasa air di daerah aliran sungai (DAS), (2) jasa keanekaragaman hayati, (3) jasa landscape beauty atau keindahan lansekap, dan (4) jasa karbon sequestration. Keberagaman pembayaran jasa lingkungan tersebut juga berlaku dalam hal level atau tingkatan implementasi dan bahkan pengertian mengenai konsepnya itu sendiri. Negosiasi antar stakeholders adalah entry point yang penting dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dimana sumberdaya tersebut berada. Acuan dari sisi teknis lingkungan dan instrumen ekonomi sangat diperlukan untuk membentuk opini dan sebagai bahan masukan untuk negosiasi, secara filosofis terdapat pada kaidah Coase Theorem. Artinya penelitian tentang pembayaran jasa lingkungan tersebut perlu dianalisis dengan sangat mendalam sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal (specific location) yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan pada tingkat kebijakan lokal untuk kemudian ditarik kesimpulannya secara umum dari berbagai kasus-kasus yang ada guna diimplementasikan di level kebijakan Daerah, Regional dan Nasional tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan sebagai instrumen kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Coase theorem adalah suatu teori yang dikembangkan oleh Ronald Coase (1960) yang menyatakan bahwa mekanisme pasar dengan sendirinya dapat mendorong terjadinya kondisi sosial optimum tanpa mengerahkan berbagai regulasi ; hal ini dapat terjadi berdasarkan pada konsep property right karena pada dasarnya lingkungan merupakan bagian dari sumberdaya yang bersifat common property yang berarti kepemilikan, pengambilan dan pemanfaatannya merupakan milik bersama, sehingga antara penyedia jasa lingkungan dan pemanfaat sumberdaya (user) sama-

17 sama memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut, sebagaimana disajikan pada Gambar P N R K A S M F Tax (t) B E Z C D G O T Y Q* L (Output) Gambar 2.3 Kondisi Sosial Optimum pada Coase Theorem Q n Pemanfaat air minum beroperasi pada Q n (Gambar 2.7) untuk memaksimumkan keuntungan, sementara masyarakat mengharapkan kondisi lingkungan yang lebih baik dengan tetap mempertahankan kawasan resapan air. Pertama, masyarakat mempunyai property right, maka berhak untuk tetap mempertahankan kawasan resapan air; diantara keduanya terjadi tawar menawar tentang tingkat eksternalitas yang terjadi, misal pada tingkat output T, maka user memperoleh keuntungan OPRT dan masyarakat kehilangan OZT (OPRT>OZT). Masyarakat belum bersedia menerima, kemudian user menawarkan kompensasi pada output Y, sehingga masyarakat better off dan user masih mempunyai keuntungan bersih OPSY. Pergerakan ini disebut pareto improvement. Kedua, apabila pemanfaat (user) mempunyai property right, dimana user akan menggunakan seluruh haknya pada tingkat produksi Q n. Namun masyarakat keberatan, sehingga terjadi tawar menawar dan bergerak ke L, karena bila tidak bergerak ke L maka masyarakat akan kehilangan LKNQ n dan pergerakan terus terjadi, sampai pada akhirnya masyarakat bersedia menerima pembayaran (willingness to accept) dan user bersedia membayar

18 36 (willingness to pays) berupa PJL, sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dan pemanfaat air minum tidak mengalami kerugian. Kondisi demikian telah mencapai kondisi optimum sosial pada titik M dan output Q* terjadi secara otomatis karena adanya mekanisme pasar antara penyedia dan pemanfaat jasa air minum yang berjalan secara alamiah dalam menanggulangi eksternalitas. Namun bila pemanfaat air minum di hilir tidak merespon pentingnya PJL untuk konservasi lahan di hulu maka tingkat eksternalitasnya bersifat non optimal, dalam kasus demikian, maka perlunya regulasi atau pengembangan kebijakan PJL dalam pengelolaan air minum untuk mencapai keseimbangan pada tingkat sosial optimum dimana tingkat keseimbangan marginal net privat benefit sama dengan marginal externality cost (MNPB = MEC) sehingga tercapai tingkat optimal dari manfaat sosial bersih masyarakat atas adanya pengambilan dan pemanfaataan air baku untuk keperluan air bersih atau air minum. Pada kondisi keseimbangan dimana tingkat sosial optimum tercapai permasalahan lingkungan tetap saja terjadi, karena pada dasarnya air baku merupakan bagian dari sumberdaya yang bersifat common property yang berarti kepemilikan, pengambilan dan pemanfaatannya merupakan milik bersama. Untuk itu diperlukan pentingnya solusi Coasian yang mengajukan suatu mekanisme dimana pemanfaat potensial (potential beneficiaries) atas barang publik berupa air bersih bergabung dan mengumpulkannya atas dasar kesediaan membayar untuk menghasilkan barang publik tersebut. Coase menjelaskan bahwa jika biaya transaksi (transaction cost) diantara penerima manfaat potensial cukup murah untuk bertemu, berkumpul dan memutuskan maka produksi barang publik (air minum) akan tersedia secara memadai meskipun didalam kondisi mekanisme pasar yang kompetitif sekalipun. Dengan demikian mekanisme pembayaran jasa lingkungan merupakan solusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang bersifat green product yang menciptakan adanya keseimbangan alami antara penyedia jasa dengan pemanfaat air minum dalam pengertian Coase Theorem sebagai pareto improvement pada kondisi optimum sosial.

19 Konsep Willingness to Pay dan Willingness to Accept Dalam literatur yang terkait dengan teori dan pengukuran surplus konsumen, perkembangan keduanya tumbuh sangat pesat. Konsep teori surplus konsumen pertama kali diperkenalkan oleh Dupuit (1884, 1993) dalam Johansson (2002) yang pada waktu itu, ia sangat perhatian terhadap analisis manfaat-biaya dalam pembangunan. Kemudian dilanjutkan Marshall (1920) dalam Johansson (2002) yang memperkenalkan konsep tersebut bahwa penetapan surplus konsumen menggunakan daerah dibawah kurva permintaan dikurangi dengan pengeluaran uang aktual untuk barang, sekurang-kurangnya itulah interpretasi umum tentang surplus konsumen. Ternyata apa yang dijelaskan Marshall itu sama dengan yang dijelaskan Dupuit dalam teori dan setidaknya pada pengukuran surplus konsumen. Kemudian, dijelaskan bahwa kelebihan dari harga yang akan dibayar lebih dari yang dikehendaki tanpa sesuatu yang ia mampu membayar secara ekonomis dari tingkat pemuasaan surplusnya (Marshall 1920). Barang publik atau public goods adalah barang jika diproduksi, produsen tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan siapa yang berhak mendapatkannya; artinya produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut, sedangkan di sisi konsumen, bahwa sekali diproduksi maka produsen tidak mempunyai kendali sama sekali, siapa yang mengkonsumsinya (Fauzi 2006). Barang publik berarti menjelaskan secara spesifik barang yang dibagi dan dimanfaatkan untuk banyak orang pada suatu komunitas. Adapun ciri-ciri barang publik adalah: a. Non-rivalry (tidak ada ketersaingan) dan non-divisible (tidak habis). Non rivalry mengandung pengertian bahwa konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama. Contohnya : Udara.

20 38 b. Non-exludable (tidak ada larangan). Arti dari Non-exludable adalah sulit untuk melarang pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama. Contohnya : Pemandangan Alam. Pengukuran masing-masing nilai sumber daya dan lingkungan serta perubahan tingkat kualitas lingkungan adalah tahap kritis dalam pembangunan dengan salah satu tujuannya adalah kebijakan lingkungan. Informasi ini sangat esensial dalam menentukan kebijakan manfaat-manfaat lingkungan dalam perbandingannya dengan biaya-biaya lingkungan (CBA atau cost benefit analysis barang publik). Pengukuran nilai lingkungan adalah sangat penting pada pembahasan masalah ekonomi lingkungan, contohnya dalam menentukan: (1) tingkat polusi optimal atau tingkat solusi optimum sosial; (2) konsep kerusakan marginal (marginal damage) dan biaya marginal penurunan kualitas lingkungan (marginal abatement cost); (3) pengukuran nilai dalam analisis biaya-manfaat (CBA); (4) pilihan diantara alternatif-alternatif perbandingan biaya-biaya dan manfaat-manfaat pada setiap pilihan tersebut. Secara umum nilai dapat didekati dari 2 perspektif, yaitu dari pendekatan ekonomik maupun dalam perspektif ekologi. Pertama, Nilai dari pendekatan ekonomik didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang yang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya, maka secara formal, menurut Fauzi (2006) konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Kedua, dari persfektif ekologis, nilai-nilai ekologis ekosistem dapat diterjemahkan kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilainya, seperti yang terjadi pada ekosistem hutan yang mengalami kerusakan lingkungan akibat penebangan ilegal, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Sebaliknya kesediaan untuk menerima pembayaran (willingness to accept

21 39 atau WTA) dimana masyarakat yang terkena dampak bersedia untuk menerima pembayaran atas penggunaan sumberdaya (air) dari para pengguna atau pemanfaat jasa lingkungan dimaksud berupa imbal jasa lingkungan dimana dana lingkungan tersebut dapat digunakan untuk pemulihan atas degradasi atau kerusakan lingkungan yang terjadi. Hal yang sama menurut Kahn (1998), beberapa pengertian nilai, antara lain adalah: (1) dalam perspektif konsep antroposentrik (anthropocentric concept), bahwa nilai ditentukan oleh masyarakat dan bukan hukum alam atau pemerintah; (2) Nilai ditentukan oleh kemauan masyarakat untuk membuat pertimbangan untung rugi (willingness to make trade-offs), hal ini dapat terlihat baik pada pasar barang, dimana kemauan membayar masyarakat untuk membuat pertimbangan untung rugi (tradeoffs) direfleksikan kedalam kemauan masyarakat membayar barang dengan harga uang. Tambahan pengeluaran dari jumlah pengeluaran uang aktual pada barang akan menghasikan total WTP (willingness to pay) untuk jumlah barang tertentu. Pendekatan WTP dapat digunakan untuk menilai jasa lingkungan yang dapat dirasakan oleh konsumen atau kemauan konsumen untuk membayar jasa lingkungannya atau kemauan pemanfaat atau pengguna jasa lingkungan untuk membayar lingkungannya. Pada pasar barang, kurva permintaan merepresentasikan fungsi marginal willingness to pay (WTP). Pada Gambar 2.4, dimana P 1 merepresentasikan berapa banyak masyarakat harus membayar untuk tambahan satu unit output (Q) untuk dikonsumsi. Misalnya Total willingness to pay (WTP) untuk unit Q 1 direpresentasikan pada daerah sebesar OQ 1 EP 1.

22 40 Harga (Rp) E P I Fungsi marginal willingness to pay (WTP) O Q I Kuantitas Gambar 2.4 Marginal (Total) Willingness to Pay Total biaya sumberdaya (SD) dapat dijelaskan dengan bantuan fungsi biaya marginal (MC). Sedangkan Gambar 2.5, biaya sumberdaya diasosiasikan dengan unit output Q 1 tertentu dibawah fungsi MC atau daerah segitiga OBQ 1. Total Revenue adalah sama dengan daerah OP 1 BQ 1. Pada pasar persaingan sempurna (PPS) : TR=TC. Rp E Fungsi biaya marginal/mc PI Surplus Konsumen Surplus Produsen B Fungsi keinginan untuk membayar/wtp Biaya oportunitas O Q!I Kuantitas Keterangan : Nilai bersih = area OBE, dimana untuk pasar barang = total con sumers' surplus (E P1 B) dan producers' surplus (O P1 B). Konsep demikian, Analog untuk pengukuran ekonomi yang dapat dikembangkan padapasar nonbarang, seperti jasa lingkungan. Gambar 2.5 Biaya Oportunitas, Surplus Consumers, dan Surplus Producers Keinginan untuk membayar atau WTP dapat juga diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indeferrent terhadap perubahan exogenous. Menurut Fauzi (2006) perubahan exogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga (misalnya

23 41 akibat sumberdaya menjadi langka) atau karena perubahan kualitas sumberdaya. Dengan demikian konsep WTP tersebut terkait erat dengan konsep Compensating Variation (CV) dan Equivalent Variation (EV) dalam teori permintaan. Karenanya WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan terhadap adanya sesuatu dalam pembangunan. Dengan demikian dalam analisis WTP maka pertanyaan mendasarnya terhadap responden atau masyarakat adalah berapa maksimal responden (masyarakat) bersedia membayar untuk perbaikan kualitas lingkungan? Dalam kontek CBA barang publik, maka selain pengukuran dengan WTP terdapat sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi yaitu dengan melakukan pengukuran willingness to accept (WTA) didefinisikan sebagai jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu; dengan kata lain, berapa minimal seharusnya orang atau responden (masyarakat) membayar resiko sehingga responden tersebut dapat menerima kualitas lingkungan yang rusak? Dalam hal yang praktikal kedua pengukuran nilai ekonomi tersebut dapat digunakan, namun di lapangan pengukuran WTP lebih sering digunakan daripada WTA. Konsep WTP dan WTA menurut Ahlheim dan Buchholz (siap terbit) diturunkan dari kurva tingkat kesejahteraan Hicksian yang berkaitan dengan pengukuran tentang CV dan EV dan dalam praktik bahwa pengukuran WTP lebih sering digunakan daripada WTA. Hal ini, menurut Fauzi (2006) dikarenakan dalam pengukuran WTA bukanlah pengukuran yang berdasarkan insentif (insentive based) sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (behavioural model). Lebih jauh lagi, menurut Garrod dan Willis (1999) serta Hanley dan Spash (1993) dalam Fauzi 2006 menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran dua sampai lima kali lebih besar daripada WTP;

24 42 hal ini disebabkan karena faktor: (1) Ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara; (2) Pengukuran WTA terkait dengan endowment effect (dampak pemilikan), dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumberdaya yang ia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena demikian sering juga disebut sebagai loss aversion (menghindari kerugian), dimana seseorang cenderung memberikan nilai yang lebih besar terhadap kerugian; (3) Responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan ataupun preferensinya. Dalam hal menggantikan nilai kerugian atau kehilangan (loss) dari barang dan jasa lingkungan terhadap barang dan jasa lainnya adalah mengenai penilaian kompensasi yang lebih tinggi, agar individu dapat menerima kerugian (loss) tersebut. Karena itu, telah menghasilkan perbedaan yang besar antara pengukuran kompensasi (WTA) dengan WTP untuk barang-barang lingkungan. Dalam kontek lain jika dalam pengukuran terdapat tingkat substituabilitas yang tinggi antara barang-barang lingkungan dan barang-barang yang ada di pasar sebagaimana umumnya, maka WTP dan WTA harus dilihat dengan penjustifikasian dalam nilai tertentu. Pendekatan WTA dapat digunakan untuk menilai kemauan produsen atau masyarakat yang menyediakan atau menghasilkan jasa lingkungan untuk menerima pembayaran terhadap jasa lingkungannya. Secara faktual, karena WTP terkait dengan pengukuran CV dan EV maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicksian atau kurva permintaan terkompensasi dimana harga pada daerah dibawah kurva permintaan Hicks relevan untuk pengukuran kompensasi, dengan kata lain di bawah kurva permintaan Marshall atau kurva permintaan biasa yang mengukur terjadi perubahan surplus.

25 43 Hanemann (1991) dalam Ahlheim dan Buchholz (siap terbit) memberikan argumentasi bahwa dari hasil analisisnya memperlihatkan bahwa adanya perbedaan WTP dan WTA tidak hanya sekedar sebuah pertanyaan mendasar yang diakibatkan dari adanya efek pendapatan tetapi juga disebabkan oleh karena adanya kemungkinan substitusi antara lingkungan dan barang-barang yang diperdagangkan. Hal ini, tentu saja adanya perbedaan yang begitu besar antara WTP dan WTA ketika tidak terjadi substitusi untuk suatu lingkungan yang baik kualitasnya yang telah dinilai dan dapat tersedia daripada kasus lainnya dimana dengan mudah ditempatkannya kembali oleh barang-barang lainnya. Evaluasi terhadap jasa lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya air dapat dilakukan, sekalipun hanya sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya air dapat diukur nilainya karena langsung diperdagangkan; ternyata terdapat pula beberapa kelemahan dalam pengukuran keinginan untuk membayar (WTP) ini, misalnya pengukuran dalam hal pentingnya kebersihan, keindahan dan kesejukan suatu tempat, ketertiban, dan keaslian alamnya; pertama, sumber daya (air baku) tersebut tidak diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diukur atau diketahui nilainya, karena masyarakat tidak membayarnya secara langsung; selain itu; kedua, karena masyarakat tidak familiar dengan cara pembayaran jasa lingkungan seperti itu; ketiga, keinginan membayar mereka juga sulit diketahui. Walaupun demikian, dalam pengukuran nilai sumber daya alam, nilai tersebut tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Akan tetapi yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumber daya air; dalam hal ini dapat diukur dari seberapa besar masyarakat harus diberi kompensasi atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan dimaksud. Secara umum penilaian atas sumberdaya non pasar digolongkan dalam dua kelompok. Pertama, teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana WTP dinilai melalui revealed WTP atau keinginan membayar

26 44 yang terungkap, contohnya adalah travel cost, hedonic pricing, dan random utility models. Kedua, teknik valuasi yang didasarkan pada survai dimana keinginan membayar (WTP) dan kesediaan menerima (WTA) diperoleh langsung dari responden yang langsung diungkapkan secara lisan atau tertulis, contohnya adalah contingent valuation method (CVM) dan discrete choice method. Pada penelitian ini teknik penilaian yang digunakan adalah menggunakan pengukuran langsung dimana pendekatan pengukuran atas nilai dari jasa lingkungan dapat diukur secara langsung dengan menanyakan kepada responden (dengan teknik valuasi) mengenai kemauan membayar dan kesediaan menerima terhadap perubahan lingkungan atau kondisi air yang saat ini terjadi penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas. Menurut Fauzi (2006); Ahlheim dan Buchholz; Kristrom dalam Bergh (2002) dalam melakukan penetapan nilai besaran kompensasi yang diberikan pengguna kepada penyedia jasa lingkungan dalam ekonomi lingkungan menunjukkan bahwa nilai keuntungan yang diperolehnya tidak mempunyai nilai pasar (non marketable) langsung, sehingga pelaksanaan survainya dilakukan dengan teknik contingent valuation sebagai basis dalam penentuan nilai WTP ataupun WTA untuk menerima kompensasi atas jasa lingkungan yang hilang (Carson dan Mitchell 1993) berupa pembayaran jasa lingkungan. Keadaan demikian dikarenakan barang non-market tersebut bersifat eksternalitas, dimana keuntungan atau manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar. Dalam ekonomi lingkungan, menurut Johansson dalam Bergh (2002) bahwa variasi kompensasi atau compensating variation (CV) terjadi pada level kegunaan awal dimana kondisi lingkungan dengan kegunaan dan manfaatnya cenderung masih lebih tinggi, sementara itu untuk variasi ekuivalen atau equivalent variation (EV) yang dievaluasi pada level kegunaaan akhir dimana kegunaannya kondisi lingkungannya cenderung mendekati nilai nol.

27 45 Aplikasi ekonomi lingkungan dalam kebijakan perlindungan dan perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan, misalnya sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, sulitnya valuasi keuntungan dan tingginya biaya serta adanya faktor diskonto, termasuk penilaian jasa lingkungan berdasarkan pada kesediaan orang untuk membayar jasa lingkungan yang lebih baik (variasi kompensasi atau CV) dan atau kesediaan menerima pembayaran bila diperoleh jasa lingkungan yang lebih inferior atau lebih buruk (variasi ekuivalen atau EV). Itulah pentingnya pendekatan ekonomi lingkungan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang lebih adil dan merata dalam kerangka efisiensi dan efektivitas konservasi dan dapat diterima oleh semua stakeholders dari wilayah hulu-hilir dalam pengelolaan sumber air minum terpadu yang partisipatif, transparan dan akuntabel dan dikelola secara comanagement antar aktor (stakeholders) yang terlibat. 2.7 Konsep Alokasi Air antara Hulu Hilir Pada dasarnya dalam memanfaatkan sumberdaya air yang menggunakan instrumen ekonomi akan menghasilkan pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan yang pada akhirnya menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat baik di wilayah hulu mapun di wilayah hilir. Menurut Burness dan Quirk (1979) dalam Zilberman dan Lipper dalam Bergh (2002) kerangka tentang analisis alokasi sumberdaya air untuk sistem alami yang sesuai hendaknya mempunyai implikasi terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk ilustrasi (Gambar 2.6), teridentifikasi tentang pengguna air yaitu i, dimana i = 1 untuk pengguna yang lebih senior dan kemudian bertambah untuk para pengguna yang lebih yunior. Pada kurva D i oleh pengguna i terhadap permintaan atas air, yang diasumsikan bahwa per unit biaya dari air yang dipakai adalah W 0. Kurva tersebut mengilustrasikan adanya kasus tentang 2 (dua) pengguna yang berbeda wilayah dengan kurva Permintaan D 1 (W) sebagai kurva permintaan dari

PENILAIAN EKONOMI DAN KONSEP WTP vs WTA VALUASI EKONOMI SDAL PERTEMUAN KE /2016

PENILAIAN EKONOMI DAN KONSEP WTP vs WTA VALUASI EKONOMI SDAL PERTEMUAN KE /2016 PENILAIAN EKONOMI DAN KONSEP WTP vs WTA VALUASI EKONOMI SDAL PERTEMUAN KE 4 2015/2016 Penilaian Ekonomi Barang Lingkungan berguna untuk mengetahui: Nilai kehancuran lingkungan dan besaran investasi yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 perubahan atas Peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 perubahan atas Peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jasa Lingkungan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung PENDAHULUAN Ekosistem penghasil beragam produk dan jasa lingkungan keberlanjutan kehidupan. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Nilai guna langsung pangan, serat dan bahan bakar,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan asset multi guna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa lingkungan.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Pertemuan 13 PENDAHULUAN Ekosistem penghasil beragam produk dan jasa lingkungan keberlanjutan kehidupan. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Nilai guna langsung pangan, serat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam terbaharukan maupun tidak. Udara, lahan, air, minyak bumi, hutan dan lain-lain merupakan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang TINJAUAN PUSTAKA Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumber daya itu sendiri memiliki dua aspek yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998)

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998) III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini mengambil kerangka pemikiran teoritis dari berbagai penelusuran teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian. Adapun kerangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nilai Sumberdaya Hutan Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

EFISIENSI EKONOMI dan PASAR

EFISIENSI EKONOMI dan PASAR EFISIENSI EKONOMI dan PASAR Kuliah Ekonomi Lingkungan Sesi 5 Efisiensi Ekonomi (1) Efisiensi Ekonomi keseimbangan antara nilai produk dengan nilai dari input yang digunakan untuk memproduksinya (dgn kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dahuri (1996) dalam Syakya (2005) menyatakan garis besar konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai empat dimensi: 1. Dimensi ekologis yaitu bagaimana mengelola kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

. harga atas barang/jasa sulit/ tidak dapat ditentukan oleh pasar (market)

. harga atas barang/jasa sulit/ tidak dapat ditentukan oleh pasar (market) EKSTERNALITAS EKSTERNALITAS Manfaat (Benefit) dan/atau Biaya (Cost) yang tidak dapat diperhitungkan secara langsung dalam proses produksi barang/jasa. harga atas barang/jasa sulit/ tidak dapat ditentukan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Banjir Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Pada akhir masa sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif DPR mengenai

Lebih terperinci

INSTRUMEN EKONOMI UNTUK PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KULIAH VALUASI ESDAL PERTEMUAN KE

INSTRUMEN EKONOMI UNTUK PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KULIAH VALUASI ESDAL PERTEMUAN KE INSTRUMEN EKONOMI UNTUK PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KULIAH VALUASI ESDAL PERTEMUAN KE 13 2015 2016 PENDAHULUAN (1) Permintaan akan pembangunan berkelanjutan serta kebutuhan akan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Konservasi menurut Parera (2010) memiliki nilai hidro-orologi dan ekonomi yang berpengaruh signifikan terhadap ekonomi lokal, bangsa, regional dan global.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan merupakan sumber air yang penting bagi masyarakat di sekitarnya yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 61 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam hutan (SDAH) adalah faktor produksi dan konsumsi untuk kesejahteraan bangsa khususnya dan umat manusia pada umumnya. SDAH dalam memberikan manfaat kesejahteraan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi mahluk hidup dan tanpa air maka tidak akan ada kehidupan. Dalam Pasal 5 UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENETAPAN KRITERIA WILAYAH SUNGAI DAN CEKUNGAN AIR TANAH 14 JULI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENETAPAN KRITERIA WILAYAH SUNGAI DAN CEKUNGAN AIR TANAH 14 JULI RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2006 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN WILAYAH SUNGAI DAN CEKUNGAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman

Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman Heru Hendrayana, 2011 heruha@ugm.ac.id I. LATAR BELAKANG Airtanah merupakan sumberdaya yang mempunyai peranan penting pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

Eksternalitas & Barang Publik

Eksternalitas & Barang Publik Eksternalitas & Barang Publik Rus an Nasrudin Kuliah ke-13 May 21, 2013 Rus an Nasrudin (Kuliah ke-13) Eksternalitas & Barang Publik May 21, 2013 1 / 21 Outline 1 Pendahuluan 2 Definisi Eksternalitas 3

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERLINDUNGAN

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU No 32 tahun 2009 TUJUAN melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menjamin keselamatan,

Lebih terperinci

ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1

ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1 ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1 PENDAHULUAN (1) Ahli ekonomi, philosophy dan lingkungan mempunyai pandangan

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990, yang dimaksud pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci