KONSEP, SEJARAH DAN FILOSOFIS PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) 1. Konsep Integrasi Dalam dunia pendidikan banyak konsep yang bisa digunakan untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSEP, SEJARAH DAN FILOSOFIS PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) 1. Konsep Integrasi Dalam dunia pendidikan banyak konsep yang bisa digunakan untuk"

Transkripsi

1 KONSEP, SEJARAH DAN FILOSOFIS PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) 1. Konsep Integrasi Dalam dunia pendidikan banyak konsep yang bisa digunakan untuk memaknai istilah pendidikan integrasi. Istilah integrasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu integrate. Dalam buku The Contemprorary English Indonesian Dictionary (Peter Salim, 2005), istilah integrate (vt) integrated, integrating, integrates diterjemahkan menjadi menggabungkan; menyatupadukan; mengintegrasikan; sedangkan integrated (adj) diterjemahkan menjadi dapat bergaul dengan orang dari berbagai suku dengan dasar yang sama; terpadu. Sub Direktorat PSLB (1992:3) memaknai pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal dalam satu kelas. Barbara Clark dalam Mulyono Abdurahman (1996:100) memaknai pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang berupaya mengoptimalkan fungsi kognitif, afektif, fisik dan intuitif secara terintegrasi. S.A. Bratanata (1974) mengemukakan bahwa pendidikan integrasi adalah pendidikan bagi anak-anak berkelainan yang diterima bersama-sam dengan anak normal dan diselenggarakan di sekolah biasa. Unicef information mengemukakan bahwa An innovative programme in Indonesia called Sekolah Integrasi or integrated school, is managing on small but growing scale to introduce blind children in to ordinary primary schools and give them change of normal education (Darodjat Natanegara, 1980). Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa di Indonesia terdapat inovasi program pendidikan yang dikenal dengan sekolah integrasi atau sekolah integrasi yang sedang dirintis pada sebuah daerah kecil tetapi berkembang dengan baik. Tujuan program ini adalah untuk memasukkan anakanak tunanetra ke sekolah-sekolah dasar biasa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengikuti pendidikan biasa atau pendidikan untuk anakanak normal. Sedangkan Dwidjosumarto (1996:68) mengungkapkan bahwa system pendidikan integrasi adalah system pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak luar biasa belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.

2 Selain istilah di atas dalam pendidikan kebutuhan khusus dikenal juga istilah mainstreaming. Mainstreaming berasal dari kata mainstream yang berarti masyarakat umum, konsep dasar mainstreaming ini pada hakikatnya sudah lebih dulu diterapkan di negara-negara Skandinavia, seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia (Sunardi). Istilah mainstreaming muncul dan menjadi popular di Amerika Serikat, setelah pertama kali diperkenalkan oleh Bengt Nirje dari Swedia pada tahun 1969 (Reynolds dan Birch, 1988). Mainstreaming merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Mainstreaming muncul karena adanya gerakan normalisasi. Reynolds and Birch (1988), mengartikan mainstreaming sebagai penyediaan pendidikan khusus dan layanan pendidikan khusus untuk anakanak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah atau kelas umum. Mulyono Abdurahman menafsirkan pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang berupaya mengintegrasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal; mengintegrasikan pendidikan khusus dengan pendidikan pada umumnya; mengintegrasikan dan mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi jasmani dan intuisi; mengintegrasikan manusia makhluk individual sekaligus sebagai makhluk sosial; mengintegrasikan apa yang dipelajari anak di sekolah dengan tugas mereka di masa depan; dan mengintegrasikan antara pandangan hidup (Pancasila), agama, ilmu dan seni. Dari beberapa pemaknaan tentang pendidikan integrasi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan integrasi adalah memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya di sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Hanya ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh anak berkebutuhan khusus, dalam pendidikan integrasi anak-anak penyandang cacat yang mengikuti kelas khusus atau sekolah khusus dipindah ke sekolah reguler ketika mereka dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Mereka dididik dalam seting terpisah agar di kemudian hari dapat mengikuti pembelajaran di kelas reguler. Penempatan mereka sering berdasarkan keberfungsiannya atau pengetahuannya tidak berdasarkan usianya, sehingga ada kemungkinan anak berumur sembilan tahun duduk di kelas satu sekolah reguler.

3 Adapun jenis program pendidikan integrasi pada dasarnya ada tiga, yaitu: integrasi lokasi fisik, integrasi dalam aspek sosial, dan integrasi fungsional atau integrasi penuh. a. Integrasi lokasi fisik; penyelenggaraan ini di mana ABK mendapatkan pelayanan khusus dalam kelas/sekolah khusus dengan kurikulum PLB tetapi lokasi gedung berada dalam satu areal dengan sekolah umum, atau dengan perkataan lain SLB dan sekolah biasa menempati suatu lokasi yang sama, akan tetapi kurikulum dan program pendidikannnya berbeda, sehingga kontak antara ABK dan anak normal tidak diatur dan tidak dilakukan dengan suatu program tertentu. Namun kontak antara anak normal dengan ABK dapat ditingkatkan dengan membuat perencanaan yang baik dan matang, baik dalam penampungan maupun dalam penempatan ABK tersebut, sehingga keterpaduan dapat berjalan lebih efektif. b. Integrasi dalam aspek sosial; dimaksudkan bahwa tidak semua kegiatan dalam proses belajar mengajar melibatkan ABK, mereka dilibatkan dalam kegiatan tertentu saja, misalnya dalam kegiatan bermain, berolah raga, bernyanyi, makan, rekreasi dan sebagainya, sehingga dari segi kurikulum sebagian menggunakan kurikulum SLB dan sebagian lagi menggunakan kurikulum sekolah umum. Hal ini terjadi mengingat pertimbangan kondisi dan kemampuan ABK. Oleh karena itu program pendidikan ini sering juga dikategorikan sebagai program pendidikan integrasi sebagian. c. Integrasi fungsional atau integrasi penuh; di dalam program ini termasuk integrasi lokasi dan sosial, di mana ABK dan normal mengarah pada aktivitas bersama dalam seluruh kegiatan atau proses belajar mengajar. Artinya mereka menggunakan kurikulum yang sama, guru dan kelas yang sama pula. Integrasi jenis ini sering disebut sebagai integrasi penuh. Dalam hal-hal tertentu ABK mendapat bimbingan apabila mendapat kesulitan yang berkaitan dengan kecacatannya, seperti membaca, menulis Braille, pemahaman geometri bagi anak tunanetra, bimbingan komunikasi total atau bahasa isyarat bagi anak tunarungu, bina bicara dan fisio terapi bagi anak tunadaksa dan sebagainya.

4 Program pendidikan integrasi fungsional ini merupakan bentuk pengintegrasian yang paling mendekati kewajaran, di mana ABK dan anak normal dengan usia sebaya secara bersama-sama menjadi murid pada satu sekolah biasa (reguler) dengan full time dan full kegiatan dari kegiatan sekolah dan mereka secara bersama pula mendapat pelayanan yang sama dari guru kelas yang bersangkutan tanpa dibeda-bedakan. Sekolah biasa yang digunakan untuk menyelenggarakan program pendidikan integrasi fungsional atau integrasi penuh dituntut mampu memberikan pelayanan secara menyeluruh. Untuk itu perlu disusun perencanaan kelas maupun program pembelajaran secara teliti dan memperhatikan kemampuan anak masing-masing, sehingga anak dapat belajar dengan baik. Kata kunci: Integrasi, mainstreang, integrasi lokasi fisik, integrasi dalam aspek sosail, integrasi fungsional/penuh 2. Sejarah Pendidikan Integrasi Pendidikan integrasi pertama muncul dan berkembang di Amerika Serikat, yang lebih dikenal dengan mainstreaming. Oleh karena itu yang mendasari munculnya konsep mainstreaming tidak terlepas dari kondisi masyarakat Amerika Serikat. Reynolds & Birch (1988) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan munculnya mainstreaming di Amerika Serikat, yaitu faktor eksternal dan factor internal. a. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dimaksud disini yaitu faktor-faktor yang secara tidak langsung berkaitan dengan pendidikan tetapi mempengaruhi munculnya mainstreaming. Faktor eksternal ini dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu: 1) Undang-undang yang menjamin hak-hak individu dengan kebebasan pribadi dan persamaan kesempatan. 2) Faktor filosofis, ditandai oleh adanya prinsip normalisasi yang beranggapan bahwa layanan pendidikan, perawatan, bimbingan, rekreasi, perumahan, pekerjaan atau layanan kemanusiaan yang lain untuk penyandang cacat harus menjamin nilai peran sosial mereka dan

5 disediakan dalam lingkungan sehari-hari yang normal (Flynn & Nitsch, 1980; Nirje, 1969; Wolfensberger, 1972, 1983 dalam Reynolds & Birch, 1988). 3) Faktor sosial dan ekonomi. Program-program pendidikan khusus telah tumbuh dengan cepat dan menjadi mahal. Tetapi jika ada programprogram yang diabaikan dalam jangka waktu yang panjang akan mahal juga. Disamping itu pertumbuhan pendidikan khusus juga memiliki satu masalah yaitu definisi dari berbagai kategori keluarbiasaan yang tidak digambarkan atau diobservasi dengan hati-hati. Sistem dan kategori yang digunakan pada struktur program khusus untuk anak-anak mengganggu para pendidik secara intelektual dan moral. Proses pengembalian orangorang cacat yang ada di institusi/panti ke masyarakat menghabiskan dana yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan masalah politik dan ekonomi. 4) Pengaruh yang keempat adalah adanya kemungkinan yang menjadi dasar masa depan untuk semua anak yaitu pengembangan pengetahuan secara subtansi untuk perbaikan pendidikan yang berdasarkan pada hasil penelitian tentang sekolah yang efefktif dan pengajaran yang efefktif. Hasil-hasil penelitian ini memberi dasar pada kesimpulan bahwa ada kemungkinan suatu negosiasi ulang tentang hubungan kerjasama antara pendidikan khusus dan pendidikan umum. 5) Pengaruh eksternal kelima adalah adanya pembelaan dari orang-orang cacat dan kelurganya. Pada saat iru banyak orang-orang cacat yang telah masuk universitas, yang menolak secara agresif tentang labelling dan segregasi. Mereka bekerja untuk orang cacat supaya dihormati dan memiliki kesempatan penuh untuk masuk dan berpartisipasi dalam masyarakat umum (mainstream institution). spesifik, yaitu: Kelima factor eksternal tersebut menghasilkan lima perubahan

6 1. Berbagai keputusan yudisial yang menekankan pada hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan yang tepat dalam lingkungan yang tidak terbatas (least restrictive enviroment). 2. Pengesahan hokum federal berkenaan dengan pendidikan khusu yaitu Public Law (PL) tentang pendidikan untuk semua anak cacat (Education for handicapped children) pada tahun 1975, kemudian paa tahun 1986 muncul undang-undang tentang pendidikan dini untuk semua anak usia 3 5 tahun (PL ), juga dibuat insentif untuk menyediakan pendidikan khusus untuk anak-anak cacat dari lahir sampai usia dua tahun. Inilah puncak kemenangan penyandang cacat untuk memperoleh layanan pendidikan yang tepat, dan pokok-pokok yang termuat dalam undang-undang tersebut kemudian menjadi prinsip utama konsep mainstreaming, yaitu: a) Zero reject. Sekolah harus menyediakan pendidikan yang tepat untuk semua anak-anak cacat. b) Non-discriminatory evaluation. Klasifikasi dan rancangan (planning) pendidikan harus dijalani dengan prosedur yang menjamin keadilan untuk semua. c) Individualized educational program (IEP). Rancangan pendidikan harus eksplisit dan khusus, berdasarkan pada kebutuhn anak cacat tersebut. d) Least restrictive environment untuk perluasan pendidikan yang tepat, anak-anak cacat harus dididik dengan anak-anak yang tidak cacat. e) Parent participation. Adanya jaminan keterlibatan atau partisipasi kedua orang tua dalam membuat keputusan untuk anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Ini termasuk hak orang tua untuk berbicara tentang anak mereka sebelum ada asesmen khusus yang dibuat untuk mengidentifikasi kecacatannya dan rancangan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus 3. Melarang dengan sungguh-sungguh untuk mengeluarkan, mengusir atau menolak anak dari sekolah umum.

7 4. Kembalinya para penyandang cacat dari institusi/panti ke masyarakat umum atau sekolah-sekolah terdekat. 5. Penolakan untuk menerapkan system klasifiksi anak dalam layanan pendidikan khusus. b. Faktor Internal Faktor internal yang dimaksud adalah faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Peningkatan fleksibilitas tentang kurikulum dan struktur kelas lebih memungkinkan interaksi antara program pendidikan umum dan pendidikan khusus. Fleksibilitas ini memungkinkan anak untuk saling menyesuaikan satu sama lain. Semua anak yang ada pada kelas yang sama tidak harus mengerjakan pekerjaan yang sama atau pada tingkatan yang sama dan waktu yang sama. Fakta hasil penelitian memperlihatkan bahwa baik program segregasi atau terpisah sering tidak bekerja baik, sehingga masih menguntungkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus apabila belajar dengan anak-anak lain di kelas biasa. Berikut beberapa ilustrasi tentang factor internal: 1) Perkembangan dalam teknologi dan metodologi pendidikan membuat pendidikan khusus lebih mudah dilaksanakan. Inovasi yang dapat digunakan oleh pendidik ini diantaranya: tape atau video recorder, pengajaran adaptif dan berprograma, kalkulator, team teaching, penggunaan alat peraga, tenaga sukarela, computer, kaca pembesar, amplifier, pengajaran individual, kurikulum dan penilaian acuan criteria, pengajaran kooperatif, konsultasi antara guru dengan guru, tutor teman sebaya. Semua inovasi itu semakin memberi peluang bagi pendidikan khusus di sekolah biasa. 2) Anak-anak yang semula dianggap tidak mungkin dididik di sekolah biasa ternyata berhasil dengan program pembelajaran yang sama. Pada awalnya dengan berbagai alasan anak-anak berkebutuhan khusus tidak diterima/ditolak masuk di sekolah biasa. Beberapa alasan diantaranya karena lingkungan fisik sekolah atau anggapan bahwa kemampuan anak tidak memungkinkan untuk belajar di sekolah biasa. Dengan

8 rekomendasi dari berbagai fihak, seperti organisasi profesi, orang tua ataupun pemerintah, sekolah tidak menolak lagi anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus ternyata mampu belajar di kelas biasa walaupun dengan kurikulum yang berbeda/disesuaikan. 3) Batas antara pendidikan khusus dan pendidikan umum telah dijembatani, kebijakan dan pelaksanaan mainstreaming terus tumbuh. Prosedur rujukan testing klasifikasi penempatan yang digunakan pada masa lalu dan mengakibatkan anak-anak berkebutuhan khusus ditarik/dikeluarkan dari kelas biasa dan sekolah umum, kemudian ditempatkan di sekolah khusus menjadi tidak disukai. Sekarang banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang menerima layanan pendidikan khusus di sekolah umum. 4) Dukungan secara tidak langsung adalah meningkatnya guru-guru pendidikan khusus termasuk termasuk team teaching dan hubungan konsultatif dengan orang tau dan guru-guru lainnya. Dengan semakin kecilnya jumlah anak-anak berkebutuhan khusus yang yang butuh layanan di luar kelas biasa, tenga ahli semakin dimungkinkan untuk bekerja di dalam kelas biasa. Guru pendidikan khusus bekerjasama dalam tim dengan guru-guru biasa dalam kegiatan asesmen, menyusun program pengajaran untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan mengajar anakanak berkebutuhan khsusus. Lebih banyak gurur yang melakukan pembelajaran individual dan memanfaatkan bantuan dari guru-guru pendidikan khusus, psikolog sekolah dan lainnya untuk mencegah masalah yang miuncul dan mengajar anak yang memerlukan bantuan dengan sangat berstruktur. 5) Pengakuan bahwa secara umum banyak persamaan antara pendidikan khusus dan pendidikan umum adaptif. Pendidikan kebutuhan khusus telah mengalami perubahan yang sangat besar dari definisi paling awal tentang pendidikan khusus sebagai pendidikan yang tidak dapat diselenggarakan di kelas biasa (NSEE, 1949 dalam Reynold dan Birch, 1988) sampai yang terbaru tentang pendidikan umum yang diadaptasi yang membuat pendidikan/sekolah umum lebih inklusif (U.S.

9 Congress, 1983 dalam Reynold dan Birch, 1988). Perubahan besar inilah yang membawa ekspektasi pada para tenaga professional lain dan orang tua. Pendidikan adaptasi berarti bahwa pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individual dan siswa juga harus adaptif untuk memenuhi kebutuhan diri mereka dan lingkungan yang semakin kompleks. Baik factor eksternal maupun factor internal mempunyai pengaruh yang sama yaitu the inclusion of more children who have special needs into the mainstream of school, family, and community live maksudnya lebih banyak anak yang mempunyai kebutuhan khusus masuk (inclusion) ke dalam kehidupan sekolah umum, keluarga masyarakat (Reynold dan Birch, 1988). Walaupun paparan di atas lebih banyak mengungkap tentang mainstreaming tetapi harus dipahami bahwa konsep sekolah integrasi tidak sam dengan konsep mainstreaming. Konsep mainstreaming muncul karena gerakan normalisasi. Normalisasi tidak berarti membuat ABK menjadi normal, normalisasi memiliki makna penyediaan pola dan kehidupan sehari-hari untuk ABK sedekat mungkin dengan pola dan kondisi masyarakat umum. Konsep mainstreaming menghendaki agar pendidikan bagi ABK kembali ke jalur induknya, yaitu sekolah umum (biasa) dengan layanan pendidikan khusus. Adapun sekolah integrasi merupakan salah satu bentuk mainstreaming, atau dengan perkataan lain, konsep mainstreaming jauh lebih luas dari pada konsep sekolah integrasi. Keluasan pengertian mainstreaming dapat dilihat secara lebih jelas pada rentangan kemungkinan penyedian layanan pendidikan (service delivery). Secara garis besar, rentangan penyediaan layanan pendidikan dimulai dari yang paling terbatas (the most restrictive), yaitu pembelajaran di tempat khusus seperti rumah sakit atau di rumah, sampai yang paling tidak terbatas (the least restrictive), yaitu kelas biasa tanpa tambahan bimbingan khusus (Deno, 1970). Dari pengertian mainstreaming di atas jelas bahwa layanan pendidikan bagi ABK tidak harus selalu di sekolah atau kelas biasa. Penempatan seorang ABK dilakukan berdasarkan potensi dan kelemahan anak, tetapi pada prinsipnya,

10 seorang anak harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak terbatas. Itulah sebabnya, konsep mainstreaming sering dianggap identik dengan konsep The Least Restrictive Environment (LRE). Paparan di atas adalah tentang latar belakang munculnya pendidikan integrasi di negara barat khususnya Amerika. Bagaimana di Indonesia? Indonesia memiliki hukum yang memayungi pendidikan untuk semua anak tanpa memandang ras, suku atau lainnya. Undang-undang Dasar 45 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pengajaran. Ini menyiratkan bahwa semua warga negara Indonesia tidak terkecuali mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pengajaran, termasuk anak-anak berkebuthan khusus. Disamping itu ada undang-undang no 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 menjelaskan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisisk dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Penyelenggaraan pendidikan luar biasa kemudian dirinci dallam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. Tetapi meskipun telah ada payung hukum yang mengatur tentang pendidikan berkebutuhan khusus, penyediaan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tidak selancar layanan pendidikan untuk anak-anak pada umumnya. Sebenarnya layanan pendidikan untuk ABK telah ada sejak zaman penjajahan yang dipelopori oleh para sosiawan Belanda yaitu dalam bentuk kursus atau sekolah khusus sesuai dengan kecacatan. Sekolah khusus untuk setiap jenis kecacatan ini atau yang lazim disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) sampai saat ini masih terus digunakan, tetapi jumlahnya jauh dari cukup, dan penyelenggaraannya lebih banyak oleh Swasta (Yayasanyayasan). Untuk menyediakan layanan bagi anak berkebutuhan khusus dengan mengandalkan system sekolah khusus sesuai dengan kecacatannya (SLB) sepertinya tidak dapat dilakukan karena ada beberapa hambatan. Pertama faktor geologis. Di dalam Peraturan Pemerintah ditegaskan bahwa untuk mendirikan SLB sekurang-kurangnya harus memiliki murid lima orang. Dengan model SLB yang ada, untuk menemukan anak dengan kecacatan

11 yang sama merupakan suatu hal yang sulit, karena akan meliputi wilayah yang luas, ada kemungkinan dari beberapa desa. Untuk menemukan anak yang mengalami ketunanetraan yang memiliki umur yang sama dalam setahun ada kemungkinan dari beberapa desa, atau mungkin kecamatan. Ini berarti hanya ada satu SLB dengan satu jenis kecacatan untuk beberapa wilayah desa atau kecamatan. Ini akan menjadi masalah bagi sebagian murid untuk datang ke sekolah setiap hari, karena letak sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Hambatan yang kedua adalah faktor sosial-ekonomi. Akibat letak geografis antara tempat tinggal anak dengan letak sekolah yang jauh, maka akan menjadi hambatan untuk orang tua terutama orang tua yang keadaan ekonominya lemah, untuk antar jemput anaknya ke sekolah setiap hari. Disamping waktu yang tersita juga biaya yang dikeluarkan untuk ongkos antar jemput juga tidak sedikit, ini menjadi beban bagi orang tua. Untuk menitipkan anaknya di asrama juga suatu hal yang tidak mungkin juga karena akan menambah beban sosial-ekonomi. Hambatan ketiga berkaitan dengan biaya pengadaan dan penyelenggaraan sekolah. jika menggunakan perkiraan Depsos bahwa anak usis sekolah yang belum terlayani di sekolah ada orang, dengan berdasarkan ketentuan bahwa setiap mendirikan sekolah harus ada sekurang-kurangnya lima murid dalam satu kelas atau tiga puluh murid dalam satu sekolah maka perlukan lebih dari sekolah baru, lengkap dengan guru dan fasilitas belajarnya. Ini merupakan cost yang mahal untuk pemerintah, sekalipun penyelenggaraan SLB diserahkan kepada swasta tetapi lebih dari 60% guru yang ada di sekolah swasta yang tersebar di negeri ini adalah pegawai negeri sipil yang dipekerjakan yang digaji oleh negara. Dengan demikian kemungkinan untuk mendirikan sekolah khusus (SLB) untuk semua anak berkebutuhan khusus yang ada sangat kecil. Masih banyak hambatan yang berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini, selain hambatan-hambatan yang telah diuraikan di atas, ada juga hambatan yang datang dari sikap orang tua dalam menerima keadaan anaknya. Masih banyak orang tua yang rejected atau over

12 protective terhadap anaknya sehingga tidak mengijinkan anak mereka untuk sekolah di sekolah khusus. Melihat hambatan yang ada dalam upaya menyediakan layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, tahun 1981, setelah meresmikan SLB Tunanetra Pembina Tingkat Nasional, Presiden Suharto mengintruksikan pembangunan SLB baru di setiap kota/kabupaten yang belum membpunyai SLB sama sekali. Ada 209 sekolah baru dibangun atas dana Inpres tahun yang berada di 200 kabupaten/kotamadya. Sekolah ini dinamakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang menampung semua jenis kecacatan. (Sunardi). Sebenarnya langkah maju Indonesia dalam upaya meningkatkan layanan pendidikan untuk ABK sudah ada sejak diawalinya penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Hellen Keller International Incorporated (HKI, Inc.) di New Yorrk, USA pada tanggal 8 September 1977 berupa Perintisan Pelaksanaan Program Terpadu bagi Anak Tunanetra. Dalam rangka mewujudkan ini telah ditatar 33 orang guru tamatan SGPLB untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) bagi Anak Tunanetra di Sekolah Terpadu (tahun ). Pada tahun 1984 perintisan/ujicoba dilakukan oleh Balitbang Depdikbud di beberapa kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, hasil ujicoba dinyatakan berhasil. Pada tahun yang sama Depdikbut menerbitkan Buku Petunjuk Pedoman Pelaksanaan SDLB, terutama untuk anak-anak usia 7 12 tahun, dalam rangka penuntasan wajib belajar enam tahun. Kemudian disusul dengan Surat Keputusan Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Itulah awal pendidikan terpadu secara formal di Indonesia. Kata kunci: factor eksternal, factor internal, normalisasi, zero reject, nondiscriminatory evaluation, individualized educational program, least restrictive environment, parent participation

A. Perspektif Historis

A. Perspektif Historis A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak

Lebih terperinci

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals Individualized Education Program (IEP) Dapat diberikan

Lebih terperinci

Implementasi Pendidikan Segregasi

Implementasi Pendidikan Segregasi Implementasi Pendidikan Segregasi Pelaksanaan layanan pendidikan segregasi atau sekolah luar biasa, pada dasarnya dikembangkan berlandaskan UUSPN no. 2/1989. Bentuk pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Seperti sebuah lagu yang baru saja diluncurkan, pendidikan inklusif mendapat sambutan

Lebih terperinci

Pendidikan Luar Biasa/ Pendidikan Khusus

Pendidikan Luar Biasa/ Pendidikan Khusus Pendidikan Luar Biasa/ Pendidikan Khusus Suatu sistem layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi anak atau individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus Hakikat Individu yang Memerlukan Pelayanan

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunant,Ph.D. Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Abstrak Pendidikan inklusif sebagai paradigma baru telah mendapat

Lebih terperinci

PENDIDIKAN SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Kuliah 2 Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi

PENDIDIKAN SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Kuliah 2 Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi PENDIDIKAN SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS Kuliah 2 Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Pendidikan khusus Ialah instruksi pengajaran yang khusus didesign untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan untuk membangun Negara yang merdeka adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA PARADIGMA BARU PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA OLEH: DJADJA RAHARDJA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMJU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2005 HISTORIS Pendirian SLB untuk anak tunanetra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni 2007 PENGERTIAN PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua

Lebih terperinci

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Pendidikan Inklusif Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Perkembangan SLB di Dunia 1770: Charles-Michel de l Epee mendirikan SLB pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah ditegaskan dalam UU RI 1945 pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus

Lebih terperinci

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENGUKURAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) RINGAN MELALUI PEMBELAJARAAN KOOPERATIF SETTING INKLUSIF SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri Abstrak: Salah satu masalah

Lebih terperinci

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung Jaringan Kerja untuk Inklusi Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung Disajikan pada Seminar Pendidikan Inklusif peringatan hari kelahiran Louis Braille Suku Dinas Pendidikan Luar Biasa, Bandung 28

Lebih terperinci

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri... (UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak semua dalam keadaan yang sama satu sama lain. Seperti yang telah kita ketahui bahwa selain ada anak yang memiliki perkembangan yang

Lebih terperinci

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

Pendidikan Berkebutuhan Khusus II. Materi: Segregasi Artinya: segregation (pemisahan)

Pendidikan Berkebutuhan Khusus II. Materi: Segregasi Artinya: segregation (pemisahan) Pendidikan Berkebutuhan Khusus II Materi: Segregasi Artinya: segregation (pemisahan) Latar Belakang 1. Adanya pandangan masyarakat bahwa: ABK berbeda sedemikian rupa dari anak pada umumnya,seperti: perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INTEGRASI/TERPADU NORMALISASI

PENDIDIKAN INTEGRASI/TERPADU NORMALISASI PENDIDIKAN INTEGRASI/TERPADU NORMALISASI -PENDIDIKAN,PERAWATAN.BIMBINGAN. REKRASI,PERUMAHADANN PEKERJAAN ATAU LAYANAN KEMANUSIAN YANG UNTUK PENYANDANG CACAT HARUS MENJAMIN NIALAI PERAN SOSIAL MEREKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengembangkan kemampuan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Melalui pernyataan tersebut

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

Lebih terperinci

PERSIAPAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SISWA SDLB NEGERI 40 KABUPATEN SOLOK

PERSIAPAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SISWA SDLB NEGERI 40 KABUPATEN SOLOK Jurnal Pendidikan Rokania Vol. I (No. 1/2016) 20-26 20 PERSIAPAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SISWA SDLB NEGERI 40 KABUPATEN SOLOK Oleh Nia Purnama Sari Dosen Program Studi Pendidikan Jasmani

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu usaha yang memiliki tujuan, maka pelaksanaannya harus berada dalam proses

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh

Lebih terperinci

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017 Kesiapan Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar Dalam Melayani Anak Berkebutuhan Khusus Dedy Kurniadi dan Sunaryo Departemen Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu Pendidikan, Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP. 131 755 068 PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) Konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus):

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah anak-anak normal yang tidak mengalami kebutuhan khusus dalam pendidikannya. Hal ini sudah berjalan

Lebih terperinci

Bagaimana? Apa? Mengapa?

Bagaimana? Apa? Mengapa? ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Bagaimana? Apa? Mengapa? PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik,

Lebih terperinci

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan memiliki arti yang cukup penting dalam membangun karakter suatu bangsa. Pendidikan yang merata diberbagai wilayah di Indonesia diharapkan mampu

Lebih terperinci

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF Aini Mahabbati, S.Pd., M.A Jurusan PLB FIP UNY HP: 08174100926 Email: aini@uny.ac.id Disampaikan dalam PPM Sosialisasi dan Identifikasi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi PENDIDIKAN INKLUSIF Nenden Ineu Herawati ABSTRAK Uraian singkat tentang pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah untuk semua anak, dengan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Sejak tahun 1901, Indonesia telah menyelenggarakan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSI *) Oleh. Edi Purwanta *) Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami

PENDIDIKAN INKLUSI *) Oleh. Edi Purwanta *) Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami 1 PENDIDIKAN INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta *) A. Pendahuluan Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan pandangan terhadap anak luar biasa beserta

Lebih terperinci

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK Oleh Augustina K. Priyanto, S.Psi. Konsultan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dan Orang Tua Anak Autistik Berbagai pendapat berkembang mengenai ide sekolah reguler bagi anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karenanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) Volume Nomor September 2014 E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 221-229 Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016 Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif Juang Sunanto dan Hidayat Departemen Pendidikan Khusus, Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menyusun desain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena itu negara memiliki kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan masing-masing perbedaan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan masing-masing perbedaan, baik fisik maupun mental. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkkan dari kehidupan. Pada dasarnya hakekat pendidikan tidak akan terlepas dari hakekat manusia, sebab urusan

Lebih terperinci

MANAJEMEN DAN PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH)

MANAJEMEN DAN PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) MANAJEMEN DAN PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INTEGRASI (MAKALAH) a. Bentuk Lay anan pendidikan integrasi/ Terpadu Pengelompokkan bentuk layanan pendidikan terpadu dilaksanakan dengan pertimbangan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif merupakan salah satu perwujudan dari pendidikan berkualitas. Pendidikan inklusif merujuk pada sistem pendidikan atau lembaga pendidikan yang

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA Disusun oleh: ZULKIFLI SIDIQ NIM 029519 A. PENDAHULUAN Selama beberapa tahun kita telah mengamati bahwa anak-anak dan remaja berhenti sekolah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education 110 BAB V PENUTUP A. Simpulan Pendidikan inklusif sebagai suatu kecenderungan baru dalam sistem pendidikan hadir sebagai konsekuensi logis dari adanya demokrasi pendidikan dan tegaknya hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang normal saja, tetapi juga untuk anak yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus di Indonesia bila dilihat dari data statistik jumlah Penyandang Cacat sesuai hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004 adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan dengan berbagai keberagaman dimana terdapat persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri setiap inividu. Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

Profil Kemampuan Matematis Siswa SLB di Jawa Tengah Berdasarkan Hasil Ujian Nasional Matematika

Profil Kemampuan Matematis Siswa SLB di Jawa Tengah Berdasarkan Hasil Ujian Nasional Matematika PRISMA 1 (2018) PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/ Profil Kemampuan Matematis Siswa SLB di Jawa Tengah Berdasarkan Hasil Ujian Nasional Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Anak- anak pada umumnya memiliki kecenderungan ingin selalu bergerak. Bergerak bagi anak- anak merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam hidupnya. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah membawa dampak yang luar biasa pada mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan juga pada

Lebih terperinci

MODEL PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS YANG MISKIN DI PEDESAAN MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

MODEL PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS YANG MISKIN DI PEDESAAN MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MODEL PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS YANG MISKIN DI PEDESAAN MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh Sri Widati, Juang Sunanto, Sunaryo, Nandi Warnandi, dan Ahmad Mulyadiprana Jurusan PLB FIP UPI

Lebih terperinci

PENDIDIKAN SPESIAL UNTUK YANG SPESIAL 1

PENDIDIKAN SPESIAL UNTUK YANG SPESIAL 1 PENDIDIKAN SPESIAL UNTUK YANG SPESIAL 1 Agung Nugroho 2 PGSD-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Tidak

Lebih terperinci

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN A. PERUBAHAN PANDANGAN TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PENDIDIKANNYA Paham humanisme yang berkembang di negara-negara Barat saat ini mempengaruhi cara pandang

Lebih terperinci

SIKAP KEPALA SEKOLAH DAN GURU-GURU TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) YANG BELAJAR DI SD INKLUSI PUTERAKO BANDUNG. Oleh: Dra.

SIKAP KEPALA SEKOLAH DAN GURU-GURU TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) YANG BELAJAR DI SD INKLUSI PUTERAKO BANDUNG. Oleh: Dra. SIKAP KEPALA SEKOLAH DAN GURU-GURU TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) YANG BELAJAR DI SD INKLUSI PUTERAKO BANDUNG Oleh: Dra. Astati ABSTRAK Pada umumnya sikap kepala sekolah dan guru-guru yang di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS 1 BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **)

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **) REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Pendahuluan Oleh Edi Purwanta **) Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan ditingkat sekolah dasar merupakan pendidikan formal yang paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian, moral,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga Negara dengan negaranya begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban ini diatur dalam undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak Berkebutuhan Khusus (Children with special needs) atau yang sering disingkat ABK adalah anak yang memiliki perbedaan dalam keadaan dimensi penting dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak diselenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan hak warga negara sebagai sumber daya insani yang sepatutnya mendapat perhatian terus menerus dalam upaya peningkatan mutunya. Peningkatan mutu

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Haryanto REALITA PENCA DI LAPANGAN Belum ada data riil jumlah penca di Indonesia, Diperkirakan 10% dari populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bermasalah

Lebih terperinci

Landasan Pendidikan Inklusif

Landasan Pendidikan Inklusif Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif A. Landasan Filosofis 1) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh sempurna, sehat, tanpa kekurangan apapun. Akan tetapi, terkadang ada hal yang mengakibatkan anak tidak berkembang

Lebih terperinci

Berdasarkan hasil temuan penelitian temngkap bahwa pelaksanaan. biasa telah berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang ada,

Berdasarkan hasil temuan penelitian temngkap bahwa pelaksanaan. biasa telah berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang ada, BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Kesimpulan berikut ini didasarkan atas hasil penelitian, dan pembahasan, serta kajian kepustakaan yang relevan dan temuan selama penelitian berlangsung.

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF PROGRAM PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT DLINGO, 3 OKTOBER 2011 PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF Aini Mahabbati Jurusan PLB FIP UNY HP : 08174100926 EMAIL : aini@uny.ac.id IMPLIKASI PENDIDIKAN INKLUSIF (Diadaptasi

Lebih terperinci

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. 0 PENERAPAN TEKNIK MULTISENSORI BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA ASPEK PEMAHAMAN DAN ASPEK SUPRASEGMENTAL SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DISLEKSIA DI SEKOLAH DASAR INKLUSI KOTA BANDUNG DISERTASI diajukan

Lebih terperinci

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href="http://www.upi.edu">universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a>

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href=http://www.upi.edu>universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a> Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi Oleh Didi Tarsidi universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 1. Definisi Istilah konseling rehabilitasi yang dipergunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

Lebih terperinci

KETENTUAN UNTUK ANAK-ANAK DENGAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS DI WILAYAH ASIA

KETENTUAN UNTUK ANAK-ANAK DENGAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS DI WILAYAH ASIA KETENTUAN UNTUK ANAK-ANAK DENGAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS DI WILAYAH ASIA A. PENDAHULUAN Provision For Children With Special Education Needs in The Asia Region yang ditulis oleh James Lynch adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak

Lebih terperinci

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial. Adaptif Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial. Pelatihan Adaptif Program latihan yang disesuaikan dengan kebutuhan perorangan yang dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memenuhi dan melindungi hak asasi tersebut dengan memberikan kesempatan

Lebih terperinci