BAB II KAJIAN PUSTAKA. hubungan dengan lingkungan luar melalui sebuah luka. Fraktur terbuka
|
|
- Yuliani Yuwono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fraktur terbuka Fraktur terbuka adalah diskontinuitas struktur tulang yang mempunyai hubungan dengan lingkungan luar melalui sebuah luka. Fraktur terbuka berhubungan dengan risiko infeksi yang tinggi akibat kontaminasi luka yang terjadi pada saat trauma. Oleh karena itu, selain penyembuhan dari fraktur dan mengembalikan fungsi ekstremitas, tujuan penanganan dari fraktur terbuka yang penting adalah adalah pencegahan infeksi (Gustilo, 1990). Kurang lebih 30% dari pasien dengan fraktur terbuka disertai dengan multiple-system injuries. Oleh karena itu, permasalahan yang mengancam nyawa harus diketahui dan ditangani sebelum penanganan operatif dari fraktur dimulai (Solomon, 2001) Klasifikasi fraktur terbuka Menurut Gustilo, fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi dari fraktur itu sendiri, dan derajat kontaminasi luka. Sehingga insiden infeksi luka, delayed-union dan non-union, amputasi, dan kecacatan fungsi ekstremitas sangat dipengaruhi oleh tipe fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan lingkungan luar berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka tusuk 8
2 9 yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui kulit. Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan tanda-tanda crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur sederhana, transverse, atau short oblique dengan kominusi yang minimal (Gustillo, 1990). Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada tipe ini juga ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan kontaminasi menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi yang menengah (Gustillo, 1990). Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada tipe ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe ini dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan laserasi yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat, namun jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat. Pada subtipe ini termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy trauma tanpa menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe IIIB berhubungan dengan cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai dengan periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan derajat kominusi yang berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi, segmen tulang masih terekspos dan membutuhkan flap untuk menutupinya. Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur terbuka yang disertai dengan cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa memperhatikan derajat cedera pada jaringan lunak (Gustillo, 1990).
3 Prinsip penanganan fraktur terbuka Pada fraktur terbuka terdapat hubungan antara daerah fraktur dengan lingkungan luar melalui luka, hal ini menyebabkan risiko untuk terjadi infeksi menjadi sangat tinggi. Dengan demikian penanganan fraktur terbuka tidak hanya bertujuan untuk memicu penyembuhan fraktur dan pengembalian fungsi, namun juga bertujuan untuk mencegah infeksi (Salter, 1999). Fraktur terbuka termasuk kasus gawat darurat oleh karena itu beberapa prinsip dalam penanganannya harus diperhatikan untuk mencapai tujuan penatalaksanaan fraktur terbuka. 1) Pembersihan luka. Kontaminan yang dapat berupa tanah, material pakaian, maupun material lainnya harus diirigasi dengan larutan saline dalam jumlah besar. Material yang masih menempel setelah irigasi harus diambil hingga bersih (Salter, 1999). 2) Debridement. Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat menghambat proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman. Oleh karena itu, jaringan yang sudah mati seperti kulit, lemak subkutan, fasia, otot, dan fragmen tulang yang kecil harus dieksisi (Salter, 1999). Disarankan untuk mengambil bahan hapusan untuk kultur kuman pada tahap ini. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam tahap ini antara lain: a. Eksisi tepi luka. Tapi luka dieksisi hingga tepi kulit yang sehat. b. Ekstensi luka. Pembersihan luka yang baik membutuhkan pemaparan yang adekuat. Perlu diberhatikan dalam membuat ekstensi luka agar
4 11 tidak mengganggu rencana pembuatan flap untuk penutupan luka lebih lanjut. c. Pembersihan luka. Semua benda asing harus disingkirkan dari luka. Larutan saline dalam jumlah besar digunakan untuk mengirigasi luka. Hindari memasukan cairan irigasi melalui sebuah lubang kecil karena dapat mendorong benda asing lebih dalam. d. Pembuangan jaringan mati. Jaringan otot yang sudah mati harus dapat dikenali, ciri-cirinya antara lain warna keunguan dengan konsistensi lembek, otot gagal berkontraksi saat diberikan stimulus, dan tidak berdarah saat dipotong. e. Saraf dan tendon. Secara umum otot dan tendon yang terpotong dibiarkan begitu saja tanpa dimanipulasi hingga luka benar-benar bersih dan tenaga yang ahli tersedia, maka saraf dan tendon tersebut dapat disambung kembali. 3) Penanganan fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I dengan luka yang kecil, fraktur dapat direduksi secara tertutup setelah luka dibersihkan, debridement, dan dibiarkan terbuka. Namun bila luka yang terjadi cukup besar, biasanya dibutuhkan traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi skeletal. Secara umum, fiksasi internal dapat digunakan bila tidak menyebabkan trauma lebih lanjut dan meningkatkan risiko infeksi (Salter,1999). 4) Penutupan luka. Bahkan bila kasus fraktur terbuka mendapatkan penanganan dalam 6 sampai 7 jam pertama dan dengan kontaminasi minimal, immediate primary closure merupakan suatu kontraindikasi. Setelah 4 hingga 7 hari, bila
5 12 tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dapat dilakukan delayed primary closure.penumpukan darah dan serum di dasar luka dapat dicegah dengan membuat drainase luka yang baik (Olson, 2006; Salter, 1999). 5) Antibiotika. Agar efektif dalam mencegah infeksi, antibiotika harus diberikan sebelum, selama, dan setelah penanganan luka. Untuk fraktur terbuka tipe 1 dan tipe 2 direkomendasikan menggunakan cephalosporin generasi pertama. Sedangkan pada fraktur terbuka tipe 3 dengan derajat kontaminasi yang lebih tinggi, ditambahkan dengan aminoglikosida. Pada fraktur terbuka dengan kontaminasi organik, ditambahkan penisilin atau metronidazole (Fletcher, 2007). Namun demikian penggunaan antibiotika tidak dapat menjamin sepenuhnya luka akan bebas dari infeksi. Antibiotik sistemik sulit mencapai jaringan luka yang telah kehilangan suplai darahnya, oleh karena itu telah dikembangkan berbagai macam metode untuk memberikan antibiotik secara topikal (Olson, 2006; Salter, 1999). 6) Pencegahan tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka membutuhkan pencegahan terhadap komplikasi yang jarang ditemui namun mematikan yaitu tetanus. Bila pasien telah mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, dapat diberikan booster toxoid. Bila tidak didapatkan riwayat imunisasi tetanus sebelumnya, atau informasi mengenai imunisasi tetanus tidak jelas, harus diberikan imunisasi pasif dengan menggunakan human immune globulin tetanus 250 unit (Olson, 2006; Solomon, 2001).
6 Infeksi pada fraktur terbuka Salah satu komplikasi yang berbahaya pada fraktur terbuka adalah infeksi. Oleh karena itu, pencegahan infeksi merupakan salah satu tujuan utama dalam penanganan fraktur terbuka. Salah satu cara yang digunakan dalam pencegahan infeksi adalah penggunaaan antibiotika profilaksis baik secara sistemik maupun topikal. Dalam keadaan fisiologis, terdapat berbagai macam bakteria pada permukaan kulit. Biasanya mikroorganisme akan membentuk agregat mikroba dalam sebuah lapisan lendir dimana mikroorganisme tersebut menjadi resisten terhadap antagonisnya. Kolonisasi bakteri pada permukaan tidak selalu berhubungan dengan infeksi. Bakteria seperti Staphylococcus epidermidis, spesies Streptococcal, and kelompok Gram negatif secara fisiologis dapat ditemukan pada kulit, mukosa mulut, dan traktus gastrointestinal (Moholkar, 2006) Patogenesis Bakteri yang tidak berkoloni atau berada dalam kelompok kecil, bersifat aktif secara metabolik dan rentan terhadap sistim imunitas inangnya maupun antibiotik yang sesuai. Kolonisasi bakteri baru akan terjadi bila bakteri tersebut menempel pada sebuah permukaan dan mengalami serangkaian proses yang kompleks dan teratur sehingga dapat bertahan terhadap sistim imunitas inangnya maupun faktor eksternal lainnya. Tulang yang rusak dapat berfungsi sebagai substrat yang baik untuk kolonisasi bakteri. Struktur tulang relatif aseluler dengan matriks organik yang
7 14 terdiri dari prolin, hidroksiprolin, glisin, dan alanin. Matriks organik tersebut dapat berfungsi sebagai ligand dalam proses adhesi dari bakteri terhadap permukaan tulang. Bakteri akan membentuk suatu lapisan glikoprotein pada permukaan non reaktif pada lingkungan biologis. Pada tahap awal kolonisasi, bakteri masih dapat dibunuh oleh inangnya. Namun terdapat beberapa kondisi dimana bakteri dapat bertahan yaitu, jumlah inokulum melebihi batasan sistim imunitas inang, rusaknya sistim imunitas inang, jaringan tempat bakteri berkoloni mengalami cedera maupun nekrosis, adanya benda asing, dan adanya permukaan yang aselular (tulang mati, tulang rawan, dan biomaterial). Bakteri sampai pada permukaan tulang atau permukaan biomaterial melalui berbagai macam cara seperti kontaminasi langsung, penyebaran kontinyu, atau secara hematogen. Proses mendekatnya bakteri terhadap permukaan jaringan akibat adanya gaya Van Der Waals. Keadaan ini memungkinkan bakteri untuk membentuk ikatan yang bersifat irreversibel terhadap permukaan tersebut (interaksi reseptor adhesin). Setelah melekat pada permukaan, bakteria mulai membentuk suatu lapisan lendir polisakarida dan akhirnya terbentuklah koloni bakteri yang diselubungi oleh lapisan biofilm. Pemahaman mengenai pembentukan lapisan biofilm oleh bakteri dapat menjelaskan sulitnya penyembuhan infeksi orthopaedi. Lapisan biofilm hanya akan terbentuk pada permukaan yang non reaktif atau non viabel. Antibiotik harus dapat menembus lapisan ini sebelum mencapai bakteri. Lapisan biofilm dapat digambarkan sebagai sekelompok bakteri yang dikelilingi olek matriks
8 15 ekstraselular glikokaliks. Permukaan yang bersifat non reaktif seperti jaringan nekrotik, implan, dan debris lainnya merupakan media yang baik bagi bakteri untuk membentuk koloni dan lapisan biofilm. Lapisan biofilm ini dibentuk oleh eksopolisakarida bakteri ekstrakapsular yang melekat pada permukaan dan memperkuat agregasi antar bakteri. Karena implan dan material yang digunakan dalam bidang orthopaedi dapat mengurangi respon kekebalan tubuh, koloni bakteri tersebut menjadi semakin resisten. Setelah terbentuk koloni, bakteri menjadi semakin resisten terhadap sistim pertahanan inangnya dan aktivitas antibiotik. Tubuh akan berusaha untuk mengendalikan kolonisasi bakteri dengan membatasi ruang gerak bakteri, sehingga terbentuklah involucrum atau abses. Sebuah sinus juga dapat ditemukan, sehingga terdapat saluran untuk mengeluarkan sisa jaringan dan bakteri. Pada akhirnya akan terbentuk sebuah keseimbangan dalam bentuk infeksi kronis. Biasanya ditemukan riwayat gejala yang intermiten dan drainase yang merespon terhadap antibiotik. Manifestasi klinis yang berbahaya dari infeksi umumnya disebabkan oleh karena masuknya bakteri ke dalam aliran darah, pelepasan toksin, dan pelepasan enzim oksidatif oleh sel inang. Meskipun bakteri tersebut cenderung rentan terhadap sistim pertahan tubuh dan antibiotik, namun jumlah bakteri dan masuknya bakteri secara kontinyu ke dalam aliran darah, atau adanya penurunan sistim pertahanan tubuh, memungkinkan manifestasi klinis terus berlangsung. Dengan demikian infeksi dapat terjadi, menyebar dan bertahan dalam lingkungan ini (Moholkar, 2006).
9 Mikroorganisme dalam fraktur terbuka Keberadaan bakteria pada luka terbuka tidak cukup untuk menimbulkan infeksi. Sekitar 60 hingga 70 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi oleh bakteria, tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan infeksi. Risiko terjadinya infeksi juga berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan lunak. Pada fraktur terbuka tipe 3B, dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, infeksi dapat terjadi hingga 40% kasus. Selain itu, infeksi juga dapat disebabkan oleh kuman rumah sakit seperti Staphylococcus aureus atau basil Gram-negatif (termasuk Pseudomonas aeruginosa). Bakteri lain yang harus diperhatikan pada cedera di lingkungan tertentu seperti Clostridium perfringens bila terdapat kontaminasi tanah, Pseudomonas dan Aeromonas hydrophilia pada cedera di air tawar, dan Vibrio dan Erysipelothrix pada cedera di air laut (Olson, 2006). Pada sebuah penelitian prospektif mengenai infeksi pada fraktur terbuka didapatkan 78,7 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi oleh bakteri. Tingkat infeksi ini berkorelasi langsung dengan jenis fraktur menurut Gustillo, 24,5 % pada fraktur terbuka tipe I dan 86,8 % pada fraktur terbuka tipe 3C (Seekamp, 2000). Infeksi biasanya disebabkan oleh berbagai bakteri yang didominasi oleh Staphylococcus aureus (52,8 %), Escherichia coli dan Enterobacter (32,5 %), Streptococcus (26,0 %), Pseudomonas (17,1%) dan Proteus (1,6%) (Seekamp, 2000). Dalam penelitian lain dengan 60 sampel kasus fraktur terbuka didapatkan kultur hapusan luka awal positif pada 41 kasus. Mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah Staphylococcus aureus (Ojo, 2010).
10 Antibiotik Perkembangan obat-obat antibiotika berperan penting dalam kemajuan teknologi pengobatan, baik dalam mengendalikan atau menyembuhkan infeksi maupun mencegah dan mengobati komplikasi infeksi dari modalitas terapi lainnya seperti kemoterapi pada pengobatan kanker dan pembedahan. Obat antibiotik seringkali digunakan sebelum patogen penyebab dari suatu penyakit diketahui. Penggunaan obat seperti ini dikenal sebagai terapi empiris dan didasarkan atas pengalaman klinis. Biasanya, gejala dan tanda dari infeksi telah berkurang pada saat hasil tes mikrobiologi selesai dan diagnosis mikrobiologis yang spesifik dapat ditegakkan. Pada saat organisme patogen teridentifikasi, terapi empiris dapat diganti dengan terapi definitif dengan spektrum antibiotik yang lebih sempit dengan durasi yang sesuai dengan uji klinis (Lampiris, 2009) Kombinasi antibiotik Pada umumnya, infeksi harus diterapi dengan satu jenis antibiotik. Meskipun terdapat indikasi untuk mengkombinasi antibiotik, umumnya kombinasi tersebut digunakan secara berlebihan. Penggunaan kombinasi antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan toksisitas dan biaya. Tidak jarang, kombinasi antibiotik justru menurunkan efikasi obat akibat antagonisme obat yang dikombinasi (Lampiris, 2009). Oleh karena itu, kombinasi antibiotik harus didasarkan pada salah satu dari beberapa tujuan berikut ini. 1. Untuk memberikan terapi empiris berspektrum luas 2. Untuk mengobati infeksi polimikrobial
11 18 3. Untuk menurunkan munculnya strain resisten 4. Untuk menurunkan toksisitas yang berhubungan dengan dosis 5. Untuk meningkatkan kemampuan antibiotik dalam menghambat atau membunuh mikroorganisme Golongan Aminoglikosida Yang termasuk dalam golongan aminoglikosida adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lainnya. Aminoglikosida aktif terhadap bakteri enterik gram negatif, terutama pada bakteremia dan sepsis. Aminoglikosida mempunyai cincin heksose, baik streptidin (pada streptomisin) atau 2-deoksistreptamin (pada aminoglikosida lainnya), dimana berbagai gula amino terikat oleh ikatan glikosidik. Bersifat larut dalam air, stabil dalam bentuk larutan, dan lebih aktif dalam ph basa daripada asam (Chambers, 2009a). Aminoglikosida merupakan inhibitor irreversibel terhadap sintesis protein, namun mekanisme aktivitas bakterisidalnya masih belum diketahui secara mendetail. Obat ini akan mengalami difusi pasif melalui porin, kemudian mengalami transport aktif untuk masuk ke dalam sitoplasma melalui proses yang tergantung pada oksigen. Proses ini mendapatkan energi dari gradien elektrokimia transmembran dan transport dipasangkan dengan pompa proton. ph ekstraseluler yang rendah dan kondisi anaerob akan menurunkan transport dengan menurunkan gradien. Proses transport dapat diperkuat dengan antibiotik yang aktif terhadap
12 19 dinding sel seperti penisilin atau vancomisin. Didalam sel, aminoglikosida akan berikatan dengan ribosom subunit 30S tertentu. Sintesis protein dihambat dengan tiga mekanisme, (1) mengganggu kompleks inisiasi pembentukan peptida, (2) kesalahan baca dari mrna, yang menyebabkan pemnggabungan asam amino yang salah pada rantai peptida yang telah terbentuk dan menghasilkan protein yang nonfungsional bahkan bersifat toksik, dan (3) pemecahan polisom menjadi monosom yang nonfungsional. Aktivitas tersebut terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan dan efeknya irreversibel terhadap sel (Chambers, 2009a). Neomisin bersifat aktif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif serta beberapa jenis mikobakteri. Namun pseudomonas dan streptococcus bersifat resisten terhadap neomisin. Saat ini penggunaan neomisin hanya dibatasi pada penggunaan topical dan oral saja karena neomisin terlalu toksik bila digunakan secara parenteral. Larutan yang mengandung neomisin dalam konsentrasi 1 5 mg/ml digunakan untuk irigasi pada permukaan yang terinfeksi atau diinjeksikan ke dalam ruang sendi, ruang pleura, maupun abses di mana terdapat proses infeksi. Jumlah total obat yang diberikan dengan cara seperti tersebut diatas dibatasi hingga 15 mg/kgbb/hari karena pada dosis yang lebih tinggi, sejumlah obat yang diserap cukup banyak untuk menimbulkan efek toksis sistemik (Chambers, 2009a) Golongan Polipeptida Kelompok ini terdiri dari polimiksin B, polimiksin E (kolistin), basitrasin dan gramisidin, yang bercirikan struktur polipeptida siklis dengan gugusan amino
13 20 bebas. Berlainan dengan antibiotika lainnya yang diperoleh dari jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh sejenis bakteri. Basitrasin merupakan campuran peptida siklik yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis strain Tracy pada tahun Antibiotika ini bersifat aktif terhadap mikroorganisme gram positif. Basitrasin menghambat pembentukan dinding sel dengan mengganggu proses defosforilasi pada siklus pembawa lipid yang memindahkan subunit peptidoglikan pada dinding sel yang sedang tumbuh. Basitrasin tidak memiliki resistensi silang dengan antibiotik lainnya (Chambers, 2009b). Kerjanya tidak tergantung dari keadaan membelah tidaknya kuman, maka dapat dikombinasi dengan antibiotika bakteriostatis, seperti kloramfenikol dan tetrasiklin. Penggunaan antibiotika ini sangat toksis bagi ginjal. Oleh karena hal inilah penggunaan parenteralnya pada infeksi Pseudomonas kini sudah ditinggalkan dengan adanya antibiotika lain yang lebih aman, seperti gentamisin dan sefalosporin. Resorpsinya dari usus praktis nihil, maka kini terutama digunakan secara topikal pada infeksi kulit, mata dan telinga, sering kali bersama antibiotika lain atau kortikosteroid (Chambers, 2009b). Salep basitrasin dengan konsentrasi 500 unit/gram digunakan untuk mengurangi flora bakteri pada permukaan lesi kulit, luka maupun pada membran mukosa. Larutan basitrasin dalam saline dengan konsentrasi unit/ml dapat digunakan untuk irigasi luka, sendi, dan kavum pleura (Chambers, 2009b).
14 Penggunaan larutan antibiotik untuk irigasi Tidak semua jenis antibiotik dapat digunakan sebagai larutan untuk irigasi luka karena memiliki sifat farmakokinetik dan farmakodinamik serta mekanisme kerja yang berbeda-beda. Beberapa antibiotik bekerja dengan mengganggu beberapa aspek fisiologis, dan antibiotik ini hanya bekerja pada sel yang sedang aktif membelah diri. Antibiotik lainnya bekerja dengan cara langsung merusak membran sel. Sebelumnya penisilin, sefalosporin, dan aminoglikosida sering ditambahkan pada larutan untuk irigasi, namun saat ni antibiotik topikal yang sering ditambahkan pada larutan untuk irigasi adalah basitrasin, polimiksin, dan neomisin (Crowley, 2007). Efektifitas antibiotik topikal pertama kali diteliti secara in vitro pada media agar. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kombinasi basitrasin dan neomisin dapat membunuh koloni bakteri pada media agar darah (Benjamin, 1984). Pada penelitian lainnya yang dilakukan pada anjing, irigasi dengan menggunakan larutan basitrasin menurunkan proporsi kultur kuman positif secara signifikan dibandingkan dengan irigasi dengan menggunakan larutan saline (Rosenstein, 1989). Namun pada penelitian yang dilakukan pada tikus dengan luka yang telah dikontaminasi dengan Staphylococcus aureus atau Pseudomonas aeruginosa, irigasi dengan menggunakan larutan basitrasin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan irigasi dengan menggunakan larutan saline (Conroy, 1999). Setidaknya ada tiga tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan larutan antibiotik untuk irigasi luka. Yang pertama adalah keselamatan pasien.
15 22 Telah dilaporkan terjadinya reaksi anafilaksis setelah irigasi dengan menggunakan larutan basitrasin. Yang berikutnya adalah masalah biaya yang tinggi memberikan irigasi dengan larutan basitrasin dalam jumlah yang cukup. Dan yang terakhir adalah kemungkinan terjadinya resistensi bakteri (Anglen, 2001). 2.4 Antiseptik Antiseptik telah digunakan secara luas di rumah sakit maupun dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai jenis zat kimia telah digunakan selama beberapa ratus tahun sebagai antiseptik maupun desinfektan antara lain alkohol, fenol, iodin, dan klorin. Antiseptik adalah zat aktif yang dapat menghancurkan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan hidup. Sedangkan yang membedakannya dengan desinfektan adalah desinfektan digunakan pada benda mati (McDonnel, 1999). Dari berbagai jenis macam antiseptik yang ada, diantaranya adalah larutan povidon iodin Iodin dan Iodophor Iodin secara umum bersifat bakterisidal, fungisidal, tuberculosidal, virusidal, dan sporisidal. Larutan iodin dalam air maupun alkohol telah digunakan sejak kurang lebih 150 tahun yang lalu, dimana larutan tersebut mempunyai sifat iritatif dan pewarnaan yang berlebihan. Selain itu, larutan iodin dalam air juga bersifat sangat tidak stabil. Untuk mengatasi masalah tersebut, dikembangkan iodophor yang merupakan suatu agen pengikat iodin. Iodophor merupakan suatu kompleksiodin dan agen pelarut yang berperan sebagai reservior iodin bebas yang
16 23 bersifat aktif. Walaupun efek germisidal dari iodophor dapat dipertahankan, namun efek fungisidal dan sporisidalnya lebih rendah bila dibandingkan dengan iodin yang larut dalam air maupun dalam alkohol (McDonnel, 1999). Aktivitas antimikrobial dari iodin bersifat cepat, bahkan pada konsentrasi yang rendah, namun mekanisme yang pasti mengenai cara kerjanya masih belum diketahui. Iodin secara cepat masuk ke dalam mikroorganisme dan menyerang protein, nukleotida, dan asam lemak sehingga berakhir dengan kematian mikroorganisme tersebut. Aktivitas iodin terhadap virus lebih tidak diketahui, namun virus nonlipid dan parvovirus kurang sensitif dibandingkan virus yang diselubungi oleh lipid. Mirip dengan mekanismenya terhadap bakteria, iodin menyerang protein pada permukaan virus dan merusak membran asam lemak dengan bereaksi terhadap ikatan karbon yang tidak jenuh. (McDonnel, 1999) Penggunaan antiseptik untuk irigasi Beberapa jenis penelitian telah dilakukan baik pada binatang maupun pada manusia untuk mengetahui efektifitas penggunaan antiseptik (Conroy, 1999; Anglen, 2001; Crowley, 2007; Owens, 2009). Salah satu antiseptik yang sering diteliti adalah penggunaan povidon iodin. Antiseptik bersifat aktif terhadap bakteri dengan spektrum yang luas, jamur, dan virus, oleh karenanya antiseptik digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi patogen pada luka. Dengan mengurangi jumlah bakteri pada luka, diharapkan dapat membantu sistem pertahanan tubuh untuk mencegah terjadinya infeksi (Crowley, 2007).
17 24 Namun sifat dari antiseptik itu sendiri yang toksik terhadap leukosit, eritrosit, fibroblast, keratinosit, dan osteosit dapat menghambat proses penyembuhan luka (Anglen, 2001). Pada percobaan in vitro, povidon iodin, sodium hipoklorida dan hidrogen peroksida dengan konsentrasi yang tinggi dapat membunuh seluruh sel fibroblast manusia. Namun pada konsentrasi 1 banding 1000, povidon iodin tetap memiliki aktivitas bakterisidal tanpa menyebabkan kerusakan pada fibroblas (Lineaweaver, 1985). Pada percobaan dengan menggunakan kelinci, menunjukkan bahwa semua jenis antiseptik mempunyai efek negatif terhadap aliran darah mikrovaskuler dan integritas endotel (Brennan, 1985). Dalam penggunaannya sebagai larutan untuk irigasi, povidon iodin masih menunjukkan hasil yang bervariasi. Oleh karena itu bila dihubungan sifat toksisitasnya terhadap jaringan yang berisiko menghambat penyembuhan luka, irigasi luka dengan menggunakan larutan antiseptik tidak direkomendasikan (Anglen, 2001).
BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di berbagai belahan dunia, masalah infeksi masih menjadi masalah yang belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Di Indonesia sendiri, kejadian penyakit infeksi merupakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fraktur Terbuka 2.1.1 Definisi : Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. minor walaupun belum secara jelas diutarakan jenis dan aturan penggunaanya
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Standart Pelayanan Medis Rumah Sakit DR Sardjito menetapkan penggunaan antiseptik sebagai tindakan yang dilakukan sebelum dan saat perawatan bedah mulut minor walaupun
Lebih terperinciANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA
ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA 1 AMINOGLIKOSIDA 2 AMINOGLIKOSIDA Mekanisme Kerja Ikatan bersifat ireversibel bakterisidal Aminoglikosida menghambat sintesi protein dengan cara: 1. berikatan dengan subunit 30s
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik Menurut definisinya, antibiotik adalah zat kimia yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal,bersifat komensal pada permukaan kulit dan membran mukosa saluran napas atas manusia. Bakteri ini diklasifikasikan
Lebih terperinciPATOGENISITAS MIKROORGANISME
PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika 2.1.1 Definisi Antibiotika Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu
Lebih terperincimembunuh menghambat pertumbuhan
Pengertian Macam-macam obat antibiotika Cara kerja / khasiat antibiotika Indikasi dan kontraindikasi Dosis yang digunakan Efek samping dan cara mengatasinya Obat Antibiotika - 2 Zat kimia yang secara alami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah. mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Antibiotik Antibiotik adalah suatu substansi kimia yang diperoleh atau dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Antibiotika 1. Definisi Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di daerah tropis seperti Indonesia banyak dijumpai penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman, maka untuk menanggulanginya diperlukan antibiotik. Penggunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement chemomechanical pada jaringan pulpa, debris pada dentin, dan penggunaan irigasi terhadap infeksi mikroorganisme.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara umum yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga dapat menimbulkan masalah
Lebih terperinciObat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan
1. Antibiotik Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau
Lebih terperinciASEPTIC DAN ANTISEPTIC. FACULTY OF MEDICINE UNIVERSITY OF TRISAKTI Kelly Radiant
ASEPTIC DAN ANTISEPTIC FACULTY OF MEDICINE UNIVERSITY OF TRISAKTI Kelly Radiant DEFINITION WHAT IS ASEPTIC? MEDICAL ASEPTIC SURGICAL ASEPTIC SOURCES OF INFECTION TOOLS AND MATERIALS HOST ENVIRONMEN T PERSONAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah utama dalam bidang ilmu kedokteran saat ini terkait erat dengan kejadian-kejadian infeksi. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya data-data yang memperlihatkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akar selama atau sesudah perawatan endodontik. Infeksi sekunder biasanya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan endodontik merupakan bagian dari perawatan pulpa gigi yang bertujuan untuk menjaga kesehatan pulpa baik secara keseluruhan maupun sebagian serta menjaga kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik. Asam amino,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik. Asam amino, karbohidrat, protein, beberapa jenis vitamin serta mineral adalah zat gizi dalam madu yang mudah diserap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satu contoh luka terbuka adalah insisi dengan robekan linier pada kulit dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka adalah suatu diskontinuitas jaringan yang disebabkan karena trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Bentuk dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Staphylococcus epidermidis (S. epidermidis) merupakan salah satu spesies dari genus bakteri
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Staphylococcus epidermidis (S. epidermidis) merupakan salah satu spesies dari genus bakteri Staphylococcus yang paling sering ditemui dalam kepentingan klinis. Bakteri
Lebih terperinciPenambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk
Firman Jaya 2 Diartikan sebagai penambahan jumlah sel Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk 3 4
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia setelah Brazil (Hitipeuw, 2011), Indonesia dikenal memiliki tanaman-tanaman
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brazil (Hitipeuw, 2011), Indonesia dikenal memiliki tanaman-tanaman yang berkhasiat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keberhasilan suatu perawatan endodontik bergantung pada triad endodontik yang terdiri dari preparasi, pembentukan dan pembersihan, sertaobturasi dari saluran akar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran cerna merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia, terutama pada anak-anak (Nester et al, 2007). Infeksi saluran cerna dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hampir 700 spesies bakteri dapat ditemukan pada rongga mulut. Tiap-tiap
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir 700 spesies bakteri dapat ditemukan pada rongga mulut. Tiap-tiap individu biasanya terdapat 100 hingga 200 spesies. Jika saluran akar telah terinfeksi, infeksi
Lebih terperinciAnalisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita
Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Dewasa ini berbagai jenis antimikroba telah tersedia untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat anti
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu. memproduksi endotoksin. Habitat alaminya adalah tanah, air dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristika stafilokokus Bakteri ini merupakan flora normal pada kulit dan saluran pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu memproduksi endotoksin. Habitat alaminya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga diseluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagian tubuh manusia seperti kulit, mukosa mulut, saluran pencernaan, saluran ekskresi dan organ reproduksi dapat ditemukan populasi mikroorganisme, terutama bakteri.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mengenainya. Terdapat tipe - tipe dari luka, diantaranya luka insisi, memar,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran dapat berisiko menimbulkan luka, hal ini yang membuat ketidaknyamanan pasien. Luka dapat terjadi secara sengaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat pasien sakit
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik untuk Pengobatan ISPA pada Balita Rawat Inap di RSUD Kab Bangka Tengah Periode 2015
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beraktivitas, dan adanya kemungkinan terjadinya kecacatan karena proses
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Osteomielitis kronis telah menjadi masalah yang sulit bagi pasien dan dokter yang merawat. Seringnya angka kekambuhan menyebabkan pasien sering memerlukan perawatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga kebersihan tangan merupakan salah satu cara untuk mencegah penyebaran infeksi melalui jalan fecal-oral, seperti diare. Diare didefinisikan sebagai buang air
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. akar gigi melalui suatu reaksi kimia oleh bakteri (Fouad, 2009), dimulai dari
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Infeksi saluran akar adalah suatu penyakit yang disebabkan salah satunya oleh bakteri yang menginfeksi saluran akar. Proses terjadinya kerusakan saluran akar gigi
Lebih terperinciProtein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.
PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan
Lebih terperinci2003). Hiperglikemia juga menyebabkan leukosit penderita diabetes mellitus tidak normal sehingga fungsi khemotaksis di lokasi radang terganggu.
BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Itik merupakan salah satu unggas penting yang diternakkan di Indonesia. Ternak ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dengan produk yang dihasilkannya. Produk yang
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan dan plak, terutama pada daerah sayap bukal atau bagian-bagian yang sukar dibersihkan (David dan MacGregor,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. iskemik jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nekrosis pulpa merupakan kematian pulpa yang disebabkan iskemik jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang bersifat
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan kateter intravena sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter intravena merupakan bagian
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Antimikroba Menurut Setiabudy (2011) antimikroba adalah obat pembasmi mikroba, terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk kelompok parasit. Khususnya mikroba yang merugikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Komplikasi yang sering terjadi pasca prosedur dental adalah infeksi yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prosedur dental yang invasif sering diikuti dengan berbagai macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor dan tidak semua dapat
Lebih terperinciBIOKIMIA Kuliah 2 KARBOHIDRAT
BIOKIMIA Kuliah 2 KARBOHIDRAT 1 2 . 3 . 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Biokimia Kuliah 2 POLISAKARIDA 17 POLISAKARIDA Sebagian besar karbohidrat dalam bentuk polisakarida. Suatu polisakarida berbeda
Lebih terperinciASHFAR KURNIA
ASHFAR KURNIA ASHFAR KURNIA SEJARAH Pada tahun 1928, ketika sedang mempelajari varian Staphylococcus di RS St.Mary s, London, Alexander Fleming bahwa suatu jamur yang mengenai bakterinya menyebabkan bakteri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan yang utama di negara berkembang (Setyati dkk., 2012). Pneumonia dapat terjadi sepanjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Infeksi merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mampu memproduksi matriks ekstraseluler yang disebut Extracelluler Polymeric
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biofilm merupakan koloni bakteri yang terstruktur, saling menempel dan mampu memproduksi matriks ekstraseluler yang disebut Extracelluler Polymeric Substance (EPS)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi masih menempati urutan teratas penyebab kesakitan dan kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya terjadi penderitaan
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan
Lebih terperinciFenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif
Sebelum PCT Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, orang dewasa Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif Dlm tubuh dimetabolisme menjadi PCT (zat aktif) + metaboliknya Yg sebenarnya antipiretik
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saliva adalah cairan kompleks yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem di dalam rongga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih atau yang sering kita sebut dengan ISK adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur, mycoplasma, protozoa dan virus yang dapat bertahan dari waktu ke waktu. Organisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Propolis adalah campuran dari sejumlah lilin lebah dan resin yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propolis adalah campuran dari sejumlah lilin lebah dan resin yang dikumpulkan oleh lebah dari tanaman, terutama dari bunga dan tunas daun (Mlagan et al, 1982 dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme yang patogen bersifat merugikan karena dapat menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan pada 90% dari populasi dunia. Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit gigi dan
Lebih terperinciTEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN
TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan
Lebih terperincisex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri ekstrak etanol daun ciplukan (Physalis angulata L.) dalam bentuk sediaan obat kumur terhadap bakteri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi saluran kemih paska kateterisasi urin pada anak Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau kontaminasi dari uretra, vagina ataupun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan bakteri semakin hari semakin tidak dapat terkontrol. Peralatan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dokter, perawat dan juga pasien memiliki resiko tinggi berkontak dengan mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus dan jamur selama perawatan. Perkembangan bakteri
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. digunakan di kedokteran gigi adalah hydrocolloid irreversible atau alginat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan cetak dalam kedokteran gigi bervariasi jenisnya yaitu bahan cetak yang bersifat elastis dan non-elastis. Salah satu bahan cetak elastis yang banyak digunakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tumbuhan sebagai salah satu sumber kekayaan yang luar biasa. Banyak tanaman yang tumbuh subur dan penuh
Lebih terperinciDi seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya
Lebih terperinci2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya.
2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit dan masalah kesehatan utama di berbagai negara termasuk Indonesia. Penularan infeksi dapat terjadi dari satu orang ke orang lain atau dari
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Antibiotik adalah obat yang digunakan sebagai obat anti infeksi,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Antibiotik adalah obat yang digunakan sebagai obat anti infeksi, penggunaan antibiotik ini menjadi meningkat akibat tingginya kasus infeksi yang terjadi. Pada
Lebih terperinciStaphylococcus aureus
Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, tidak bergerak ditemukan satu-satu, berpasangan, berantai pendek atau bergerombol, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan dinding
Lebih terperinciPENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI H M Bakhriansyah, dr., M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi FK UNLAM BANJARBARU Pendahuluan Terminologi Antibiotik Antiparasit Antijamur Antiprotozoa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di masyarakat angka kejadian infeksi masih tinggi dan masih banyak infeksi tersebut dikarenakan oleh infeksi bakteri. Salah satu bakteri penyebab adalah Staphylococcus
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jamur oportunistik yang sering terjadi pada rongga mulut, dan dapat menyebabkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Candida albicans (C.albicans) merupakan salah satu jamur yang sering menyebabkan kandidiasis pada rongga mulut. 1 Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengawet adalah substansi kimia yang berguna untuk melindungi produksi makanan, stimulan, produksi obat-obatan, dan kosmetik untuk melawan perubahan berbahaya yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. merupakan daerah yang seringkali menjadi lokasi terjadinya luka bakar. Luka
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luka bakar adalah suatu luka yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam. Mayoritas dari luka bakar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sediaan injeksi merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan sebelum digunakan secara parenteral,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Antibiotika di Peternakan Antibiotika adalah senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar infeksi saluran kemih yang terkait kateter berasal dari flora normal pasien sendiri dan
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Dari hasil studi didapatkan bahwa saluran kemih merupakan sumber yang paling umum dari infeksi nosokomial, terutama saat katerisasi kandung kemih. Hampir sebagian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian bahan cetak di kedokteran gigi digunakan untuk mendapatkan cetakan negatif dari rongga mulut. Hasil dari cetakan akan digunakan dalam pembuatan model studi
Lebih terperincio Archaebacteria o Eubacteria
o Archaebacteria o Eubacteria Tujuan Pembelajaran: Menjelaskan tentang monera... Ciri umum Golongan Peranan CIRI UMUM MONERA Nukleus :Prokariotik Sel : Monoseluler Reproduksi:Pembelahan sel Bakteri: pembelahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Flora Normal Rongga Mulut Rongga mulut merupakan pintu gerbang masuknya berbagai macam mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan atau minuman.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.
Lebih terperinci