STUDI DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO"

Transkripsi

1 I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 2 No.2 (2001) pp STUDI DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP KINERJA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Oleh: Satyawati Hadi, Fitri Nurfatriani, M. Zahrul Muttaqin dan Erwidodo RINGKASAN Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi, telah berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, serta berdampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada sisi keuangan pemerintah, krisis yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan terbatasnya dana APBN yang berdampak pada, salah satunya, alokasi dana pembangunan taman nasional, termasuk di dalamnya Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Studi ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya dampak krisis terhadap alokasi dana pembangunan TNGP serta implikasinya terhadap kinerja pengelolaannya. Untuk mengetahui adanya dampak terhadap pengelolaan TNGP dilakukan dengan menetapkan aspek, kriteria, dan indikator keberhasilan program-program pengelolaan TNGP. Empat indikator dampak krisis terhadap kinerja pengelolan TNGP yaitu (1) Anggaran TNGP, (2) Jumlah pengunjung TNGP, (3) Frekuensi gangguan TNGP dan (4) Frekuensi kegiatan pengelolaan. Dari hasil studi diperoleh gambaran mengenai kinerja pengelolaan TNGP sebelum dan selama berlangsung yaitu (1) Nilai real pendanaan TNGP mengalami penurunan saat krisis sebesar 23,2% pada tahun anggaran 1997/1998 dan sebesar 33,8% pada tahun anggaran 1998/1999 sehingga diantisipasi dengan penyuntikan dana proyek padat karya, (2) Situasi krisis tidak menurunkan jumlah pengunjung dari tahun 1996/1997 sampai dengan 1998/1999, (3) Sebesar 77,8 % dari frekuensi gangguan terhadap TNGP mengalami kecenderungan yang meningkat, (4) selama periode tahun 1995/1996 sampai dengan 1998/1999, diketahui bahwa 25 % dari frekuensi kegiatan pengelolaan TNGP mengalami kecenderungan yang konstan; 41,7% mengalami penurunan dan 33,3 % dari kegiatan pengelolaan mengalami kenaikan. Kata kunci: Dampak krisis, taman nasional, pengelolaan, TNGP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai peran paling lengkap dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya. Pada tahun 1993 tercatat sebanyak 31 taman nasional yang terhampar pada kawasan seluas lebih kurang 81 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia. Di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990, dijelaskan bahwa Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem 113

2 I N F O volume 2 no. 2 (2001) zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dikelompokkan dalam lima strategi pokok yaitu: (1) Peningkatan pengelolaan, (2) Peningkatan kemampuan aparatur, (3) Peningkatan pemanfaatan, (4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, (5) Peningkatan kepedulian dan apresiasi masyarakat, dan (6) Peningkatan kerjasama dan kemitraan. Pengelolaan taman nasional di Indonesia ditujukan untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat memenuhi fungsinya. Sasaran akhir dari pengelolaan tersebut adalah terbentuknya taman nasional yang terkelola dengan baik dan memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung, bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat di sekitar taman nasional pada khususnya, secara maksimum dan berkelanjutan. Pada umumnya taman nasional memiliki potensi manfaat yang cukup beragam. Dixon dan Sherman (1990) dalam Purnama et al. (1995), antara lain mencatat berbagai manfaat taman nasional, seperti manfaat rekreasi dan turisme, perlindungan tata air, proses ekologi, keragaman hayati, pendidikan dan penelitian, manfaat konsumtif dan non konsumtif, serta nilai masa depan atau future value. Manfaat-manfaat tersebut dapat diperoleh dengan optimal jika pengelolaannya dilakukan secara profesional dan didukung oleh perangkat peraturan perundangan yang baik. Manfaat taman nasional akan terancam jika kemudian tekanan terhadap eksistensinya meningkat, baik tekanan dari aspek ekonomi, sosial, maupun ekologi. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan dampak yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang selanjutnya menjadi krisis multidimensi. Pengangguran massal dalam jumlah besar serta terpuruknya keadaan ekonomi di tanah air, memberikan tekanan yang makin besar terhadap golongan ekonomi lemah yang berada di daerah perkotaan. Sebagian dari mereka bertahan di daerah perkotaan dengan menempuh jalan kehidupan yang menyimpang dari norma-norma yang selama ini dipertahankan, seperti misalnya terlibat dalam perbuatan jahat seperti merampok dan mencuri. Sebagian lagi, ada yang kembali ke desa dan mencoba memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di sekitar lingkungan tempatnya berada secara tidak sah/ilegal, meskipun diketahui/disadari bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Keadaan tidak berpenghasilan tersebut selain menimbulkan tekanan dari dalam diri sendiri, juga dapat pula dimanfaatkan oleh pihak luar untuk mendorongnya ke perbuatan yang tidak legal tersebut. Bila keadaan tersebut berlangsung lama, maka tekanan terhadap keberadaan dan fungsi sumberdaya alam, yang dalam hal ini adalah taman nasional, menjadi terganggu atau bahkan terancam. Dengan latar belakang pemikiran tersebut, penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya dampak krisis terhadap pengelolaan dan kelestarian taman nasional dilaksanakan dengan mengambil kasus Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Apabila dampak nyata yang ditimbulkan oleh keadaan krisis moneter terhadap TNGP tersebut dapat diidentifikasi, selanjutnya dapat digariskan arahan upaya-upaya penekanan dampak negatif serta pengembangan dampak positif yang ditimbulkannya terhadap kelestarian dan fungsi TNGP. 114

3 Studi dampak..(satyawati Hadi, Fitri Nurfatriani, M. Zahrul Muttaqin dan Erwidodo) II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Krisis moneter yang terjadi di pertengahan 1997 diperkirakan berdampak langsung dan tidak langsung terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi keberlangsungan TNGP, baik aspek ekonomi, sosial maupun ekologi. Aspek utama yang terpengaruh oleh krisis moneter adalah ketersediaan dana yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja pengelolaan dan kelestarian fungsi TNGP. Dampak krisis moneter terhadap ketersediaan dana TNGP dapat diukur dari beberapa variabel, yaitu: (1) besarnya anggaran pembangunan, (2) alokasi dana untuk berbagai kegiatan pengelolaan TNGP, (3) implementasi program, dan (4) kelestarian fungsi. Indikator besarnya anggaran ditentukan dari besarnya anggaran rutin dan proyek. Indikator kegiatan pengelolaan yang mempengaruhi pengalokasian dana TNGP dilihat dari program-program pengelolaan TNGP. Indikator implementasi program diukur dengan frekuensi, intensitas dan pola alokasi dana untuk berbagai kegiatan. Indikator kelestarian fungsi dilihat dari kegiatan layanan dan keterlibatan masyarakat sekitar TNGP. Kajian ini diberlakukan untuk periode sebelum dan selama krisis ekonomi terjadi dengan cara membandingkan berbagai indikator kunci yang menggambarkan keempat variabel di atas. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan pertimbangan bahwa TNGP menyimpan potensi besar dan beragam, terletak di Pulau Jawa yang padat penduduknya. C. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan, batasan dan metode pengumpulannya dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan dan metode pengumpulannya Table 1. Type of Data and Its Collection Method Jenis data yang dikumpulkan Ruang Lingkup Metode Pengumpulan Anggaran Rutin dan Proyek Data Sekunder dan wawancara Anggaran TNGP Anggaran Tiap-tiap Program Pengelolaan Data Sekunder dan wawancara Alokasi Dana Kegiatan Pengelolaan Data sekunder dan wawancara Implementasi Program Frekuensi Kegiatan Pengelolaan Survai, wawancara dan data sekunder Pengelolaan Intensitas Kegiatan Pengelolaan Survai, wawancara dan data sekunder Kelestarian Fungsi TNGP Kegiatan Pelayanan Survai, wawancara dan data sekunder Keterlibatan Masyarakat Sekitar Survai dan wawancara 115

4 I N F O volume 2 no. 2 (2001) D. Analisis Data Data yang didapatkan dari pengelola taman nasional mengenai anggaran TNGP, implementasi program pengelolaan, dan kelestarian fungsi TNGP selama kurun waktu sebelum krisis dan selama krisis ditabulasikan untuk melihat kecenderungan data tersebut sebelum dan selama krisis. Dari hasil tabulasi dan analisis kecenderungan tersebut kemudian secara kuantitatif dihitung tingkat keterpengaruhan faktor-faktor pengelolaan dan kelestarian TNGP oleh krisis moneter. Periode sebelum krisis ditentukan mulai tahun 1995/1996 sampai dengan 1996/1997, sedangkan periode krisis ditentukan mulai 1997/1998 sampai dengan 1998/1999. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Luas efektif TNGP adalah Ha yang merupakan penggabungan dari beberapa kawasan cagar alam dan taman wisata yaitu: Cagar Alam Cimungkat (56 Ha), Cagar Alam Cibodas (1.040 Ha), Gunung Gede Pangrango ( Ha) dan Taman Wisata Situgunung (120 Ha). Wilayah TNGP berada di 3 kabupaten yaitu kabupaten Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Terdapat 11 pintu masuk ke TNGP dengan 3 pintu masuk utama yaitu Cibodas dan Gunung Putri yang terletak di kabupaten Cianjur serta Selabintana yang terletak di kabupaten Sukabumi. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dikelompokkan dalam enam strategi pokok yaitu: (1) Peningkatan pengelolaan, (2) Peningkatan kemampuan aparatur, (3) Peningkatan pemanfaatan, (4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, (5) Peningkatan kepedulian dan apresiasi masyarakat. Namun demikian, meskipun telah dirumuskan strategi-strategi di atas, kendala dan gangguan dalam implementasi di lapangan senantiasa ditemui. Masalah kualitas pegawai yang masih belum memadai baik dalam hal pengetahuan, pengalaman, maupun etos kerja merupakan kendala yang dihadapi TNGP berkenaan dengan peningkatan layanan dan pengembangan TNGP sebagai suatu institusi yang bergerak dalam bidang konservasi sumberdaya alam. Di lain pihak, gangguan-gangguan terhadap TNGP baik berupa perambahan lahan maupun pencurian sumber plasma nutfah yang mengancam kelestarian fungsi TNGP sangat mempengaruhi kualitas pengelolaan TNGP. Dalam sejarah pengelolaannya, TNGP tidak lepas dari berbagai gangguan yang dapat berpengaruh terhadap kestabilan ekosistem dan kelestarian sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, baik yang disebabkan oleh faktor alami berupa bencana alam maupun perubahan ekosistem, juga yang disebabkan oleh campur tangan manusia. Dari data yang berhasil dikumpulkan, gangguan yang diduga dipengaruhi oleh faktor manusia (masyarakat sekitar dan para pengunjung TNGP) dipaparkan pada Tabel

5 Studi dampak..(satyawati Hadi, Fitri Nurfatriani, M. Zahrul Muttaqin dan Erwidodo) Tabel 2. Jenis Gangguan terhadap TNGP Table 2. Kind of Disturbance to TNGP Periode Bambu (btg) Rotan (btg) Bunga (btg) Kayu Bakar Kebakaran Hutan (ha) Buah (kg) Kayu Pertukangan (btg) Perburuan Liar (ekor) Pakis (btg) Penggarapan Lahan (ha) 95/ pk ,83 96/ sm ,03 97/ sm 307, / sm Keterangan (Remark): Btg = batang; Pk = pikul; Sm = stafel meter Secara umum permasalahan yang ditimbulkan oleh penduduk di sekitar kawasan relatif stabil, dalam arti tidak berfluktuasi tinggi. Sebagian besar masyarakat (75%) di sekitar TNGP bermata pencaharian di bidang pertanian sehingga memerlukan lahan dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Dari data laporan tahunan diperoleh informasi bahwa telah terjadi penggarapan lahan TNGP oleh masyarakat sekitar yaitu seluas ± 13,83 ha pada tahun 1995/1996 yang terdapat di resort Goalpara, Cimande, Cisarua dan Bodogol. Sedangkan pada periode tahun 1996/1997 seluas ± 11,03 ha yang melibatkan 113 KK. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pihak TNGP telah melakukan berbagai tindakan pengamanan, diantaranya dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar dan melaksanakan kegiatan Bina Cinta Alam untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar hutan. Di samping itu kegiatan pengembangan daerah penyangga yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan juga telah dilaksanakan, yaitu dengan mengembangkan usaha perdesaan berupa ternak domba, penanaman buah-buahan dan sayur-sayuran. Sehingga pada periode tahun 1997/1998 dan 1998/1999 jenis gangguan penggarapan lahan TNGP oleh masyarakat sekitar tidak ditemukan lagi. B. Evaluasi Dampak Krisis 1. Dampak Krisis Moneter terhadap Pendanaan TNGP Aspek pendanaan memegang peranan yang sangat penting dalam pengelolaan suatu taman nasional mengingat taman nasional, khususnya di Indonesia, masih sangat bergantung pada anggaran yang berasal dari pemerintah. Total dana yang dibelanjakan oleh TNGP selama kurun waktu 1995/1996 hingga 1998/1999 dipaparkan pada Tabel 3. Tabel 3. Pendanaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Rp) Table 3. TNGP Budget (Rp) No. Sumber 1995/ / / / APBN Rutin APBN Proyek Pengembangan TNGP IHH DR DIK Suplemen Padat Karya Total Sumber/Source: Laporan Tahunan TNGP (Annual Report of TNGP)

6 I N F O volume 2 no. 2 (2001) Untuk memperoleh nilai real dari pendanaan TNGP selama kurun waktu di atas digunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1988 untuk mendeflasi masing-masing sumber dana tersebut. Nilai real dari pendanaan TNGP dapat dijelaskan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Nilai Real Pendanaan TNGP (Rp) Table 4. Real Value of TNGP Budget (Rp) No Sumber 1995/ / / /1999 IHK 1) tahun dasar ,27 185,92 198,22 312,9 1. APBN Rutin , , , ,4 2. APBN Proyek Pengembangan TNGP , , , ,5 3. IHH , , DR , , , DIK Suplemen , ,7 6. Padat Karya ,4 Total (Rp) , , ,7 1) Sumber/Source: Statistik Indonesia (Indonesia Statistics) 1999 Dari Tabel 4 di atas terlihat bahwa nilai real anggaran dana sebelum krisis (1995/1996 dan 1996/1997) mengalami peningkatan hingga 21,3%, sedangkan pada saat krisis (1997/1998) nilai real anggaran menurun hingga 23,2% dikarenakan berkurangnya sumber dana TNGP yaitu tidak adanya alokasi dana dari IHH untuk pendanaan TNGP. Pada tahun anggaran berikutnya (1998/1999) pendanaan TNGP mengalami dampak dari adanya krisis yaitu dengan meningkatnya inflasi sehingga nilai uang menjadi lebih rendah dibanding tahun tahun sebelumnya. Hal tersebut diantisipasi oleh pemerintah dengan mengalokasikan suntikan dana proyek padat karya untuk mengantisipasi dampak krisis di segala sektor kehidupan masyarakat sehingga secara total nilai real dari anggaran TNGP selama krisis yaitu tahun 1998/1999 sebesar Rp tidak berpaut terlalu jauh dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 1997/1998 sebesar Rp Tabel 5. Dampak Krisis Moneter Terhadap Anggaran Untuk Tiap Program (%) Table 5. Impact of Monetary Crisis on Program Budget of TNGP (%) Tahun Tren Program 95/96 96/97 97/98 98/99 Deflator 1,72 1,86 1,98 3,13 1. Peningkatan Pengelolaan 100,00 153,00 88,23 122,43 naik 2. Peningkatan kemampuan aparatur 100,00 552, ,00 0,00 turun 3. Peningkatan Budi daya/pemanfaatan TNGP 100,00 0,00 38,00 23,00 turun 4. Peningkatan Kesejahteraan masyarakat desa TNGP 100,00 374,00 110,00 67,00 turun 5. Peningkatan kesadaran dan apresiasi masyarakat TNGP 100,00 142,00 107,00 4,00 turun 6. Peningkatan Kerjasama dan kemitraan dengan institusi lain terkait 100,00 0,00 98,62 14,72 turun Dampak krisis moneter terhadap anggaran tiap program di TNGP disajikan pada Tabel 5. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari 6 program pokok TNGP selama kurun waktu hanya satu program yang selama krisis menunjukkan 118

7 Studi dampak..(satyawati Hadi, Fitri Nurfatriani, M. Zahrul Muttaqin dan Erwidodo) kenaikan yaitu program peningkatan pengelolaan yang pada tahun anggaran 1998/1999 porsinya mencapai 122,43% dari total anggaran tahun tersebut. Sedangkan 5 (lima) program lainnya porsinya menurun, bahkan mencapai nol persen pada tahun anggaran 1998/ Dampak Krisis Moneter terhadap Pengunjung TNGP Situasi krisis tidak menurunkan jumlah pengunjung yang terlihat dari total jumlah pengunjung TNGP mulai 1996/1997 hingga 1998/1999 yang cenderung meningkat. Peningkatan jumlah pengunjung ini, meskipun dalam kondisi krisis ekonomi, diduga karena konsumen yang menikmati jasa TNGP adalah konsumen yang spesifik untuk tujuan yang tertentu seperti pendakian, pendidikan dan penelitian. Disamping itu adalah aksesibilitas TNGP yang mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar Jabotabek dan wilayah Jawa Barat lainnya sehingga biaya perjalanannya relatif murah. Selama krisis terjadi peningkatan jumlah pengunjung ke TNGP baik untuk pengunjung domestik maupun manca negara untuk berbagai tujuan, diantaranya adalah untuk tujuan rekreasi, pendidikan, dan penelitian. Jumlah pengunjung TNGP dari tahun 1993 sampai dengan 1999 dipaparkan pada Tabel 6. Tabel 6. Pengunjung TNGP tahun Table 6. Visitors of TNGP During TA Domestik Mancanegara Rekreasi Penelitian Pendidikan Lain-lain Jumlah Rekreasi Penelitian Pendidikan Lain-lain Jumlah 93/ / / / / / Sumber/Source: Ditjen PKA (DG of Forest Protection and Nature Conservation) 1999 Kenaikan jumlah pengunjung domestik untuk tujuan rekreasi sebagaimana terlihat pada Tabel 6 lebih karena TNGP dianggap sebagai tempat rekreasi alternatif yang relatif lebih murah dan tidak membutuhkan banyak biaya. Demikian pula dengan jumlah pengunjung dari mancanegara dengan tujuan rekreasi mengalami peningkatan selama krisis. Hal ini dapat dimengerti karena dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi terhadap dollar menyebabkan nilai dollar yang mereka miliki menjadi sangat tinggi sehingga kuantitas objek wisata yang dikunjungi juga semakin banyak. Jumlah pengunjung domestik dengan tujuan penelitian mengalami peningkatan tajam pada periode tahun 1997/1998 sampai dengan 1998/1999 yaitu dari 102 menjadi pengunjung. Hal ini diduga karena selama krisis berlangsung semakin banyak topik penelitian yang perlu digali dari keberadaan TNGP ini. Disamping itu TNGP menawarkan berbagai sumber daya sebagai bahan penelitian seperti penelitian tentang tanaman obat-obatan dari hutan sebagai alternatif dari Total 119

8 I N F O volume 2 no. 2 (2001) obat-obat kimia yang harganya semakin meningkat. Dana bantuan untuk penelitian dari institusi-institusi luar negeri pun banyak diterima oleh lembaga pemerintah maupun perguruan tinggi, sehingga fenomena meningkatnya kegiatan penelitian di TNGP ini merupakan efek positif dari berlangsungnya krisis. Di sisi lain, pengunjung mancanegara dengan tujuan penelitian mengalami penurunan setelah terjadinya krisis. 3. Dampak Krisis Moneter terhadap Gangguan pada TNGP Dampak krisis moneter terhadap gangguan yang terjadi di TNGP dapat dilihat dari frekuensi terjadinya gangguan serta intensitas gangguan yang terjadi. Gangguan pada TNGP merupakan salah satu bentuk konsekuensi interaksi antara TNGP dengan masyarakaat sekitar. Sebagai suatu kawasan yang memiliki sumberdaya alam potensial, maka interaksi dengan masyarakat sekitar kawasan merupakan suaatu dinamika yang tidak dapat dihindari oleh pengelola TNGP. Interaksi tersebut senantiasa memberikan dua produk yaitu keselarasan atau gangguan. Adalah tugas pengelola kawasan untuk mampu melakukan harmonisasi interaksi antara TNGP dengan masyarakat sekitar sehingga dapat dihasilkan sinergi untuk mempertahankan eksistensi TNGP. Kawasan permukiman masyarakat di sekitar Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) merupakan suatu zona sosial ekonomi yang berada dalam kawasan penyangga budidaya. Perkembangan zona sosial ekonomi di kawasan ini secara berangsur-angsur telah berkembang dari pemukiman pencari hasil hutan menjadi perkampungan dan desa. Kegiatan penduduk perkampungan dan desa juga telah berkembang menjadi beragam kegiatan budidaya pertanian dan kegiatan ekonomi lainnya. Berbagai lapangan kerja di luar pertanian dan kehutanan juga telah berkembang. Perdagangan kecil (warung dan pedagang keliling alat rumah tangga, dll.), usaha jasa (angkutan umum dan ojek) dan kegiatan ekonomi lain menambah keragaman kegiatan di kawasan tersebut. Beberapa gangguan terhadap kelestarian fungsi TNGP selama kurun waktu dipaparkan pada Tabel 7. Tabel 7. Frekuensi Gangguan pada TNGP Tahun Table 7. Frequency of Disturbance to TNGP During Sumberdaya/Gangguan Kapasitas 95/96 96/97 97/98 98/99 Tren 1. Bambu 2 bt/hari Konstan 2. Kayu Bakar Naik 3. Burung/Hewan 1 ekor/kali Naik 4. Ky. Pertukangan BT Naik 5. Ky. Balok 2 BH Naik 6. Pakis Truk Konstan 7. Edelweiss Kg Naik 8. Buah 1 pikul Naik 9.. Perambahan Blok Naik Catatan/Remark: 25 tangkai edelweiss = 20 gram; 1 kg = 1250 tangkai Sumber/Source: Diolah dari Laporan Tahunan & Statistik BTNGP 2000, Hasil Pengamatan dan Penelaahan Lapangan dan Wawancara dengan Responden di Lapangan (Processed from Annual Report and Statistics of BTNGP 2000, Observation and Field Elaboration, and Interview) 120

9 Studi dampak..(satyawati Hadi, Fitri Nurfatriani, M. Zahrul Muttaqin dan Erwidodo) 4. Dampak Krisis Moneter terhadap Kegiatan Pengelolan TNGP Manajemen TNGP adalah manajemen birokrasi yang relatif lembam, sehingga dampak negatif krisis ekonomi dan moneter terhadap pengelolaan TNGP dapat dikatakan tidak nyata. Hal ini juga dimungkinkan oleh karena tingkat pengelolaan TNGP masih rendah. Penyebab rendahnya tingkat pengelolaan ini menurut pihak pengelola TNGP antara lain adalah: (1) Belum mantapnya institusi, terutama tingkat daerah, (2) Jumlah dan mutu personil belum memadai, (3) Jumlah dan mutu sarana dan prasarana pengelolaan masih belum memadai, dan (4) Peraturan yang bersifat teknis belum mantap. Rendahnya tingkat pengelolaan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan di TNGP, disamping taraf hidup masyarakat sekitar TNGP dan tingkat kesadaran masyarakat sekitar TNGP akan pentingnya wilayah konservasi masih rendah. Dengan demikian upaya-upaya prosperity approach (pendekatan kesejahteraan) masih sangat relevan diterapkan dalam upaya menggalakkan partisipasi masyarakat sekitar dalam menjaga kelestarian TNGP. Secara umum frekuensi pelaksanaan program kegiatan rutin dan pengembangan di TNGP cenderung menurun dan beberapa diantaranya konstan, meskipun ada juga yang mengaalami kenaikan tetapi sedikit. Frekuensi kegiatan pengelolaan di TNGP dipaparkan pada Tabel 8. Tabel 8. Frekuensi Kegiatan Pengelolaan TNGP Tabel 8. Frequency of TNGP Managing Activities No Program 95/96 96/97 97/98 98/99 Tren 1. Peningkatan Pengelolaan Perencanaan Konstan Pemantapan Kawasan Turun Pembinaan Habitat Turun Pembinaan Flora Konstan Pembinaan Fauna Naik Pengamanan Kawasan Turun Peningkatan Sarpras Konstan 2. Peningkatan Kemampuan Aparatur Naik 3. Peningkatan Budidaya/ Pemanfaatan Turun 4. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar TNGP Naik 5. Peningkatan Kesadaran dan Apresiasi Masyarakat pada TNGP Turun 6. Pengembangan Kemitraan Naik Dari tabel di atas terlihat bahwa kegiatan pengelolaan TNGP yang memiliki tren konstan adalah kegiatan pengelolaan yang termasuk dalam Program Peningkatan Pengelolaan Perencanaan, Pembinaan Flora, dan Peningkatan Sarana Prasarana. Untuk peningkatan sarana dan prasarana TNGP sangat dibatasi oleh ketersediaan anggaran TNGP yang masih tergantung dari pemerintah melalui APBN dan DR. Sedangkan untuk kegiatan pengelolaan TNGP yang memiliki tren naik adalah kegiatan pengelolaan yang termasuk dalam Program Peningkatan Pengelolaan Pembinaan Fauna, Peningkatan Kemampuan Aparatur, dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan. Khusus untuk Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, kegiatan tersebut mengalami peningkatan yang berarti 121

10 I N F O volume 2 no. 2 (2001) sejalan dengan krisis moneter yang melanda Indonesia yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat sehingga program tersebut mendapat perhatian yang lebih dari pengelola TNGP. Sedangkan untuk kegiatan pengelolaan yang lain memiliki kecenderungan yang semakin menurun yaitu untuk kegiatan pengelolaan yang termasuk dalam Program Peningkatan Pengelolaan Pemantapan Kawasan, Pembinaan Habitat, Pengamanan Kawasan, Peningkatan Budidaya/Pemanfaatan, dan Peningkatan Kesadaran dan Apresiasi Masyarakat pada TNGP. IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan 1. Dampak krisis moneter terhadap kinerja pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dapat diketahui dari beberapa indikator yaitu pendanaan TNGP, jumlah pengunjung TNGP, bentuk-bentuk gangguan terhadap TNGP dan kegiatan pengelolaan TNGP. 2. Dari indikator pendanaan TNGP terlihat bahwa nilai real anggaran dana sebelum krisis (1995/1996 dan 1996/1997) mengalami peningkatan hingga 21,3% sedangkan pada saat krisis (1997/1998) nilai real anggaran menurun hingga 23,2%. Pada tahun anggaran berikutnya (1998/1999) menurun sampai dengan 33,8 %. Oleh karena itu diantisipasi oleh pemerintah dengan mengalokasikan suntikan dana proyek padat karya untuk mengatasi dampak krisis sehingga nilai realnya meningkat 3,9 % dari tahun anggaran berikutnya. 3. Situasi krisis tidak menurunkan jumlah pengunjung yang terlihat dari total jumlah pengunjung TNGP mulai 1996/1997 hingga 1998/1999 yang cenderung meningkat. 4. Dari data frekuensi gangguan terhadap TNGP dari tahun diketahui bahwa 77,8 % dari total gangguan terhadap TNGP mengalami kecenderungan yang meningkat. 5. Berdasarkan data frekuensi kegiatan pengelolaan TNGP selama periode tahun 1995/1996 sampai dengan 1998/1999, diketahui bahwa 25 % dari kegiatan pengelolaan TNGP mengalami kecenderungan yang konstan; 41,7% mengalami penurunan dan 33,3 % dari kegiatan pengelolaan mengalami kenaikan. B. Rekomendasi Kebijakan 1. Pengelolaan TNGP masih belum optimal, oleh karena itu perlu dilaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan fungsi dan manfaat taman nasional secara optimal, diantaranya adalah: (1) penataan kawasan, (2) pengumpulan data dan informasi, (3) pengamanan, (4) pembangunan/ pemeliharaan sarana dan prasarana, (5) peningkatan pelayanan kepada pengunjung. (6) peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, dan (7) peningkatan kesadaran masyarakat. 122

11 Studi dampak..(satyawati Hadi, Fitri Nurfatriani, M. Zahrul Muttaqin dan Erwidodo) 2. Untuk jangka waktu ke depan, penggalangan kerjasama dengan lembagalembaga luar dan dalam negeri baik dalam kerangka kerjasama pengelolaan maupun penelitian dan pengembangan perlu dikembangkan sebagai wujud kemandirian dalam pengelolaan TNGP. DAFTAR PUSTAKA Anonim Undang-undang nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Biro Hukum Departemen Kehutanan RI. Jakarta Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Format Pengumpulan Data, Sistem Informasi Manajemen Keanekaragaman Hayati Indonesia. Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Dephutbun. Jakarta. Gunawan, A., S. Silalahi dan I. S. Suwelo. Mengembangkan Ekowisata di Wilayah Pesisir Ujung Genteng-Pangumbahan, Sukabumi. Makalah pada seminar Konservasi Ekosistem Alam, Pembangunan Ekowisata Berkelanjutan dan Ekonomi Daerah, Jakarta, 20 Juli Purnama, B. M., R. Maryani, dan T. Puspitojati Kajian Nilai Jasa Kawasan Konservasi. Konsep RPTP 1995/1996 Puslit Sosek Kehutanan. Bogor. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Laporan Tahunan Taman Nasional gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Tahun Anggaran 1995/1996. Cibodas, Cianjur Laporan Tahunan Taman Nasional gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Tahun Anggaran 1996/1997. Cibodas, Cianjur Laporan Tahunan Taman Nasional gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Tahun Anggaran 1997/1998. Cibodas, Cianjur Laporan Tahunan Taman Nasional gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Tahun Anggaran 1998/1999. Cibodas, Cianjur. 123

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juni 2012. Tempat yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Sekretariat Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO No. SK.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR Oleh : MUKHAMAD LEO L2D 004 336 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pariwisata saat ini semakin menjadi sorotan bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sektor pariwisata berpeluang menjadi andalan Indonesia untuk mendulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994). TINJAUAN PUSTAKA Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan Berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang a. GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki karakteristik kekayaan hayati yang khas dan tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia. Keanekaragaman jenis flora dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia:

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Pendekatan Inovatif Penggalangan Dana Tambahan Konservasi dan Ide Penerapan Desentralisasi Sistem Pembiayaan Taman Nasional Oleh: Elfian Effendi NRM/EPIQ

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pariwisata memiliki peran yang penting dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pariwisata memiliki peran yang penting dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pariwisata memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai salah satu sumber penerimaan devisa maupun membuka kesempatan kerja dan kesempatan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting, dimana dalam perekonomian suatu Negara, apabila dikembangkan secara terencana dan terpadu, peran pariwisata

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

persepsi pengunjung yang telah dibahas pada bab sebelumnya. VIII. PROSPEK PENGEMBANGAN WISATA TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR

persepsi pengunjung yang telah dibahas pada bab sebelumnya. VIII. PROSPEK PENGEMBANGAN WISATA TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 17.270 kunjungan, sehingga dari hasil tersebut didapat nilai ekonomi TWA Gunung Pancar sebesar Rp 5.142.622.222,00. Nilai surplus konsumen yang besar dikatakan sebagai indikator kemampuan pengunjung yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

SKRIPSI HERIYANTO NIM : B

SKRIPSI HERIYANTO NIM : B ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN BERKUNJUNG WISATAWAN PADA OBYEK WISATA KEDUNGOMBO KABUPATEN GROBOGAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR Syahrir Yusuf Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Value of Water Economic of

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik,

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, memiliki ruang lingkup, komponen dan proses pengelolaan tersendiri. Terkait dengan sistem

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta metodologi penyusunan landasan konseptual laporan seminar tugas akhir dengan judul

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci