PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT ANITA ZAITUNAH E

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT ANITA ZAITUNAH E"

Transkripsi

1 PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT ANITA ZAITUNAH E SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat adalah gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam pustaka acuan di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012

3 ABSTRACT ANITA ZAITUNAH, Spatial Modelling of Vulnerability of Destruction by Tsunami in the Ciamis Coast of West Java. This study describes a spatial modelling of tsunami destruction vulnerability in Ciamis coastal area. The characteristics of Ciamis coastal area were identified and analysed to develop the potential of destruction by tsunami. The specific objectives are: (1) to build up a spatial model of potential inundation of tsunami, (2) to identify factors which have roles in destruction by tsunami, (3) to build up the level of vulnerability of destruction by tsunami. The run up of 7.5 m had inundated 4% from whole study area. When the run up achieve 15 m and 30 m then the inundated areas would be approximately 36% and 57% respectively. It was found out that all factors show a pattern with the inundation area proportion but the stepwise regression shows that the factor of elevation is the chosen factor to build up the vulnerability model. It was found out that 20% of the village area of Ciamis coast belongs to very vulnerable class, while 28% of the area is vulnerable and 52% of the area is not vulnerable to destruction by tsunami. The information regarding the area of a very vulnerable dan vulnerable is useful for coastal area s planning and zoning. Key words : coastal area, inundation, tsunami, West Java

4 RINGKASAN Anita Zaitunah : PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc. Indonesia telah mengalami banyak kejadian tsunami, namun pengetahuan mengenai tsunami masih sangat minim khususnya bagi masyarakat yang berada di kawasan pantai yang berpotensi terjadinya tsunami. Kawasan pantai tersebut memerlukan perhatian khusus guna mengurangi dampak kerusakan yang dapat timbul, oleh karena itu masyarakat luas perlu mengetahui areal mana saja yang berpotensi tsunami. Pemodelan spasial yang didukung oleh teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dapat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami melalui pembangunan model spasial. Informasi tersebut dapat menjadi masukan bagi upaya rehabilitasi jalur hijau pantai. Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami guna mendukung upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan yang mungkin terjadi akibat tsunami. Tujuan khusus yang dicapai adalah : 1. Membangun model spasial potensi genangan tsunami. 2. Mengidentifikasi faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami. 3. Membangun tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami. Penelitian ini terbagi kedalam tiga tahapan yaitu tahap pendahuluan, pengambilan data lapangan dan pengolahan serta analisis data. Tahap pendahuluan dan pengolahan data serta analisis dilakukan di Bogor. Tahap pengambilan data dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat. Penelitian telah dilakukan sejak bulan Mei 2009 hingga Nopember Kegiatan pendahuluan meliputi penyusunan usulan penelitian, pengumpulan data dan informasi, dan penyiapan kegiatan lapangan. Kegiatan pengambilan data meliputi observasi lapang, dan pengumpulan data pendukung. Pengolahan data diawali oleh

5 penentuan faktor-faktor apa saja yang akan dikaji terkait dengan hubungannya dengan tingkat kerusakan akibat tsunami. Wilayah dengan ketinggian lebih dari 30 m mencakup 43% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Wilayah yang memiliki ketinggian kurang dari 10 m terdapat 19%, sisanya memiliki ketinggian lebih besar dari 10 m sampai dengan 30 m. Wilayah yang tinggi yaitu daerah tanjung Pangandaran, kecamatan Kalipucang, sebagian wilayah Cimerak dan lainnya. Wilayah pantai Kabupaten Ciamis didominasi oleh lereng yang datar dan landai yaitu dengan cakupan lebih dari 80% dari seluruh wilayah pantai. Wilayah yang dekat dengan garis pantai merupakan wilayah datar dan landai. Wilayah dengan kemiringan lereng lebih dari 12% hanya mencakup kurang dari 5% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Penutupan lahan wilayah pantai Ciamis secara garis besar dibagi kedalam daerah pesawahan, pemukiman, kebun, hutan, pasir pantai dan air. Wilayah hutan yang berada di Kecamatan Pangandaran yaitu wilayah tanjung yang merupakan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam. Hutan ini berada di daerah tinggi dengan kelerengan beragam dan merupakan hutan tanah kering. Sekitar 46 % dari luas seluruh tutupan lahan di desa pantai Ciamis adalah wilayah pertanian lahan kering, 15% berupa sawah, sedangkan pemukiman meliputi 5% wilayah. Berdasarkan hasil pemodelan potensi genangan, tinggi gelombang tsunami 7,5 m menggenangi 4% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Saat gelombang tsunami setinggi 15 m memasuki daratan, 36% wilayah tergenang. Gelombang tsunami setinggi 30 m menggenangi 57% wilayah desa pantai. Faktor-faktor biofisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari pantai, bentuk pantai, kerapatan vegetasi dan tutupan lahan menunjukkan pola hubungan yang sistematik dengan proporsi genangan akibat tsunami namun regresi stepwise (bertatar) menghasilkan persamaan yang hanya memilih faktor ketinggian sebagai pembangun model karena faktor-faktor lain memiliki nilai korelasi yang rendah dan tidak signifikan. Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami yang dihasilkan menunjukkan bahwa 20% wilayah desa pantai Ciamis merupakan daerah sangat rawan kerusakan akibat tsunami, sedangkan 28% merupakan daerah rawan dan 52% merupakan daerah tidak rawan kerusakan akibat tsunami.

6 Dengan adanya peta kerawanan kerusakan akibat tsunami diharapkan dapat memberi informasi daerah mana saja yang sangat rawan dan rawan kerusakan. Informasi ini akan berguna bagi perencanaan dan penataan kawasan pantai, khususnya pantai Ciamis.

7 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

8 PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT OLEH: ANITA ZAITUNAH E DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Judul Disertasi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Si 2. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc 2. Dr. Ir. Yetti Rusli, M.Sc

10 Judul Disertasi Nama NIM : Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat : Anita Zaitunah : E Disetujui Komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Anggota Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal ujian: 25 Oktober 2011 Tanggal lulus : 4 Januari 2012

11 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul disertasi adalah Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat. Indonesia merupakan bagian dari daerah rawan gempa bumi dan tsunami. Informasi mengenai kerawanan kerusakan akibat tsunami sangat diperlukan bagi upaya penanganan dan penanggulangan bencana. Disertasi ini menghasilkan model spasial potensi genangan akibat tsunami berdasarkan tinggi gelombang berbeda. Semakin tinggi gelombang tsunami memasuki pantai maka semakin luas areal desa pantai yang tergenangi. Faktor-faktor biofisik yang dikaji peranannya dalam kerawanan kerusakan akibat tsunami yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari pantai, bentuk pantai, kerapatan vegetasi dan tutupan lahan menunjukkan pola hubungan yang sistematik dengan proporsi genangan akibat tsunami namun regresi stepwise (bertatar) menghasilkan persamaan yang hanya memilih faktor ketinggian sebagai pembangun model karena faktor-faktor lain memiliki nilai korelasi yang rendah dan tidak signifikan. Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami yang dihasilkan menunjukkan bahwa 20% wilayah desa pantai Ciamis merupakan daerah sangat rawan kerusakan akibat tsunami, sedangkan 28% merupakan daerah rawan dan 52% merupakan daerah tidak rawan kerusakan akibat tsunami. Model spasial tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemegang kebijakan untuk membuat perencanaan dan penataan kawasan pantai yang dapat melindungi wilayah dari resiko kerusakan akibat tsunami. Mudah-mudahan disertasi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Bogor, Januari 2012 Penulis

12 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc sebagai tim Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan. 2. Kedua orangtua tercinta atas doa dan dukungannya yang tak pernah putus. Suamiku tercinta Samsuri, S.Hut, M.Si dan kedua anakku tersayang Najla Azaria Alifa dan Muhammad Ziyan Rasyad Andaru atas doa, dukungan, kesabaran, semangat dan pengertiannya. 3. Penguji pada Ujian Tertutup yaitu Dr. Ir. Agus Hikmat, MS dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc serta Penguji pada Ujian Terbuka Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr. Ir. Yetti Rusli, M.Sc atas masukan dan sarannya. 4. Kakakku tersayang Dr. Lailan Syaufina yang selalu mendorong, menyemangati dan mendukung langkahku untuk menyelesaikan studi. Kakakku Drs. Ahmad Muflih&Novi Susan, Rafiq Adnan, S.S.&Norma Widhya, adikku Edwin Solahuddin, S.S.dan Roselly Damayanti dan Rusli Ridwan, SE serta Abang Ir. Dharma Satyawan, keponakanku Verda, Jihad, Dhani, Tia dan Alma. 5. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. 6. Yayasan Toyota Astra atas bantuan dana yang diberikan untuk menunjang penelitian. 7. Laboratorium SIG dan Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan IPB, BIOTROP International Training Center, Drs. Tom Loran (ITC/University of Twente) di Belanda atas bantuan peta-peta dasar dan data citra satelit. 8. Berbagai pihak yang telah mendukung studi penulis, baik langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan.

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Agustus 1973 sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan H. Hamzah Zainuddin (Alm.) dan Lilis Darazah. Penulis menempuh pendidikan di SDN Pengadilan 1 Bogor dan tamat pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Bogor dan tamat tahun Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 5 Bogor dan selesai pada tahun Pada tahun yang sama diterima di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan tamat pada tahun Tahun 2002 penulis mendapatkan beasiswa dari the Netherlands Fellowship Program Pemerintah Belanda untuk melanjutkan S2 di International Institute for Geo-information Science and Earth Observation dan selesai pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan S3 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU mulai tahun Penulis menikah dengan Samsuri S. Hut, MSi pada tahun 2001 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Najla Azaria Alifa dan Muhammad Ziyan Rasyad Andaru. Bogor, Januari 2012 Penulis

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI i DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR..... v DAFTAR LAMPIRAN... vii I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Kebaruan Penelitian... 6 II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pantai dan Kawasan Lindung Tsunami Tsunami di Indonesia Kerusakan Akibat Tsunami dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Mengkaji Dampak Tsunami dan Upaya Penanganan Bencana 12 III METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras Metode Penelitian Pengkajian Potensi Rawan Tsunami berdasarkan Distribusi Luas dan dan Tinggi Genangan secara Spasial Faktor-faktor yang Berperan pada Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami Kelas Bentuk Pantai Kelas Jarak dari Pantai Kelas Ketinggian i

15 Kelas Kemiringan Lereng Kelas Kerapatan Vegetasi Kelas Tutupan Lahan Pemberian Skor pada masing-masing kelas faktor Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan akibat Tsunami IV KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN TSUNAMI PADA LOKASI PENELITIAN Lokasi Penelitian Tsunami dan Dampak yang Ditimbulkan di Pantai Ciamis Bentuk Pantai dan Penampakan Citra Satelit Wilayah Pantai Kabupaten Ciamis Ketinggian Wilayah Pantai Ciamis Kemiringan Lereng Wilayah Pantai Ciamis Penutupan Lahan Wilayah Pantai Ciamis Kerapatan Vegetasi Wilayah Pantai Ciamis V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami Faktor Biofisik yang Berperan dalam Kerusakan Akibat Tsunami Faktor Bentuk Pantai Faktor Jarak dari Pantai Faktor Ketinggian Tempat Faktor Kemiringan Lereng Faktor Kerapatan Vegetasi Faktor Tutupan Lahan Skor Kelas pada Masing-masing Faktor Hubungan Antara Proporsi Genangan dengan Faktor Biofisik Tingkat Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA ii

16 DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Kejadian tsunami dan dampaknya di Indonesia sejak tahun 1961 hingga 2005 (Diposaptono dan Budiman 2008) Tahapan dan alir data serta informasi pada kegiatan penelitian Faktor pembentuk model kerawanan kerusakan akibat tsunami Korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Selatan Jawa Barat Persentase luas tutupan lahan yang terkena limpasan gelombang Tsunami Pemberian skor kelas bentuk pantai Pemberian skor kelas jarak dari pantai Pemberian skor kelas ketinggian Pemberian skor kelas kemiringan lereng Pemberian skor kelas kerapatan vegetasi Pemberian skor kelas tutupan lahan Hasil validasi kerawanan kerusakan akibat tsunami iii

17 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Kerangka penelitian Wilayah rawan tsunami (Kious & Tilling 2001; modifikasi) Metode penentuan potensi kerawanan kerusakan secara spasial Titik-titik contoh bagi analisis regresi Metode pembuatan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami Desa pantai Kabupaten Ciamis Kerusakan fisik akibat tsunami di wilayah Pantai Kabupaten Ciamis Jarak genangan pantai Ciamis saat tsunami tahun Tinggi gelombang tsunami pantai Ciamis tahun Jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Kabupaten Ciamis per kecamatan Penampakan wilayah pantai Ciamis dari Citra Landsat TM tahun Peta kelas bentuk pantai Kabupaten Ciamis Peta kelas jarak dari pantai Kabupaten Ciamis Persentase kelas tinggi di wilayah pantai Ciamis Ketinggian wilayah pantai Ciamis Persentase kelas kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis Kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis Kawasan Taman Wisata Alam Pangandaran Persentase luas tutupan lahan Tutupan lahan di wilayah pantai Kabupaten Ciamis Persentase kelas kerapatan vegetasi wilayah pantai Ciamis Penutupan lahan di pinggir pantai Kabupaten Ciamis Kerapatan vegetasi pantai Ciamis Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 7,5 m Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 7,5 m Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 15 m iv

18 27 Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 15 m Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 30 m Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 30 m Perbandingan persentase wilayah desa pantai yang tergenangi gelombang tsunami dengan tinggi gelombang berbeda Perbandingan luas tutupan lahan yang terkena limpasan gelombang tsunami Persentase areal tergenangi pada kelas bentuk pantai berbeda Proporsi areal tergenangi pada kelas jarak dari pantai Proporsi areal tergenangi pada kelas ketinggian tempat Proporsi areal tergenangi pada kelas kemiringan lereng Proporsi areal tergenangi pada kelas kerapatan vegetasi Proporsi areal tergenangi pada kelas tutupan lahan Persentase kelas bentuk pantai yang digenangi air 7,5 m Persentase kelas jarak dari pantai yang digenangi air 7,5 m Persentase kelas ketinggian yang digenangi air 7,5 m Persentase kelas kemiringan lereng yang digenangi air 7,5 m Persentase kelas kerapatan vegetasi yang digenangi air 7,5 m Persentase kelas tutupan lahan yang digenangi air 7,5 m Persentase kelas bentuk pantai yang digenangi air 15 m Persentase kelas jarak dari pantai yang digenangi air 15 m Persentase kelas ketinggian yang digenangi air 15 m Persentase kelas kemiringan lereng yang digenangi air 15 m Persentase kelas kerapatan vegetasi yang digenangi air 15 m Persentase kelas tutupan lahan yang digenangi air 15 m Persentase kelas bentuk pantai yang digenangi air 30 m Persentase kelas jarak dari pantai yang digenangi air 30 m Persentase kelas ketinggian yang digenangi air 30 m v

19 53 Persentase kelas kemiringan lereng yang digenangi air 30 m Persentase kelas kerapatan vegetasi yang digenangi air 30 m Persentase kelas tutupan lahan yang digenangi air 30 m Hasil validasi kerawanan kerusakan akibat tsunami Model Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami Pantai Kabupaten Ciamis Persentase wilayah kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami Kelas bentuk pantai pada daerah sangat rawan Kelas jarak dari pantai pada daerah sangat rawan Kelas ketinggian pada daerah sangat rawan Kelas kemiringan lereng pada daerah sangat rawan Kelas kerapatan vegetasi pada daerah sangat rawan Kelas tutupan lahan pada daerah sangat rawan Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 7,5 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 15 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 30 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami Upaya yang telah dilakukan di beberapa tempat untuk mengantisipasi tsunami di pantai Kabupaten Ciamis vi

20 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Vegetasi pantai yang tumbuh di Kabupaten Ciamis Tutupan lahan di wilayah pantai Kabupaten Ciamis Hasil analisis regresi bertatar vii

21 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Garis pantai Indonesia tercatat sepanjang km. Zona pantai menjadi salah satu ekosistem penting terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut (Sukardjo 2002). Beberapa tahun terakhir kawasan pantai di Indonesia mengalami kerusakan akibat tsunami. Dalam kurun waktu sebanyak 8 kali tsunami telah terjadi di Indonesia, yaitu di wilayah Flores (Nusa Tenggara Timur) (1992), Banyuwangi (Jawa Timur) (1994), Palu (Sulawesi Tengah) (1996), Pulau Biak (Irian jaya) (1996), Tabuna Malaibu (Maluku) (1998), Banggai (Sulawesi Tengah) (2000), Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara (2004) dan Pulau Nias (Sumatera Utara) (2005). Pada tanggal 17 Juli 2006 tsunami terjadi di pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta (Pribadi et al. 2006). Tsunami juga terjadi di Kepulauan Mentawai yaitu tanggal 25 Oktober Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami tersebar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, Maluku, pantai utara Papua, serta hampir seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara. Sekitar 18 kejadian tsunami melanda pantai barat Sumatera. Pantai selatan Jawa, Bali, pantai utara dan selatan Lombok, Sumbawa, serta Sumba pernah dihantam 11 kali tsunami. Selat Makasar pernah terkena tsunami 9 kali, sedangkan sebelah utara Papua pernah dihantam 3 kali tsunami (Diposaptono 2007). Kejadian tsunami telah menyebabkan kerugian jiwa dan material yang sangat besar. Tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara pada tahun 2004 menelan korban jiwa lebih dari orang (Diposaptono dan Budiman 2006). Kejadian tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta menelan korban jiwa lebih dari 378 orang meninggal dan kerusakan material yang diperkirakan lebih dari 70 milyar rupiah (Pribadi et al. 2006). Tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi (Diposaptono dan Budiman 2006). Pantai selatan pulau Jawa merupakan salah satu kawasan yang rawan tsunami. Posisinya selaras 1

22 dengan lajur tumbukan (subduksi) antara lempeng Eurasia dan Indo-Australian yang berporos Barat-Timur yang terdapat di kedalaman laut Samudera Indonesia (Kastanya, Susilawati dan Sitanala 2000). Gempa berkekuatan 9,0 R akan menghasilkan energi yang setara dengan lebih dari kali kekuatan bom atom Hiroshima. Bentuk pantai, bentuk dasar laut wilayah pantai, sudut kedatangan gelombang, dan bentuk depan gelombang tsunami yang datang ke pantai akan sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang ditimbulkan (Sutowijoyo 2005). Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Gangguan tersebut dapat berupa gempa bumi tektonik di laut, letusan gunung api, longsoran atau jatuhnya meteor di laut. Periode gelombang tsunami berkisar antara 10 dan 60 menit (Diposaptono dan Budiman 2008). Indonesia telah mengalami banyak kejadian tsunami namun pengetahuan mengenai tsunami masih sangat minim khususnya bagi masyarakat yang berada di kawasan pantai yang berpotensi terjadinya tsunami. Kawasan pantai tersebut memerlukan perhatian khusus guna mengurangi dampak kerusakan yang dapat timbul. Masyarakat luas perlu mengetahui kawasan mana saja yang berpotensi tsunami dan rawan kerusakan akibat tsunami. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk melindungi kawasan pantai dari terjangan tsunami. Upaya perlindungan dapat berupa pembangunan tembok laut, pemecah gelombang atau penanaman vegetasi pantai. Perencanaan dan pelaksanaan upaya tersebut disesuaikan dengan karakteristik biofisik pantai tersebut. Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan akibat tsunami menjadi penting bagi upaya minimalisasi kerusakan yang mungkin timbul. Faktor-faktor tersebut akan menjadi dasar pemetaan tingkat kerawanan kerusakan di suatu wilayah. Perhatian serius perlu diberikan bagi terlaksananya upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan akibat tsunami dengan melibatkan berbagai pihak. Setiap kebijakan yang diambil harus diputuskan dengan cermat yang didukung oleh data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya Rumusan Masalah Indonesia berada di urutan ketiga setelah Jepang dan Amerika sebagai negara rawan tsunami (Sutowijoyo 2005). Hal ini berkaitan dengan posisi 2

23 Indonesia yang berada pada pertemuan 3 lempeng aktif dunia yaitu Euroasia, Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah yang tingkat kegempaannya sangat tinggi (Pribadi et al. 2006). Sukardjo (2002) menyebutkan bahwa 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pantai dan sekitarnya. Korban terbanyak bencana tsunami adalah perkampungan padat di daerah pantai disamping daerah wisata pantai (Sutowijoyo 2005). Kawasan pantai menjadi kawasan yang rentan terhadap kerusakan akibat tsunami. Vegetasi pantai seperti mangrove melindungi daerah di belakangnya dari hempasan gelombang dan angin kencang dan melindungi pantai dari erosi dan abrasi (Kusmana et al. 2002). Wilayah pantai yang tidak memiliki pelindung vegetasi menjadi rentan terhadap kerusakan berat akibat gelombang besar dan gempa. Di Jepang bangunan pelindung pantai (sea walls) telah banyak dibangun di pantai. Contohnya di ujung utara Semenanjung Oga yang dilindungi sea wall setinggi 6 meter. Ketika gelombang tsunami disitu mencapai 5 meter, hanya ada satu rumah yang rusak. Kejadian tsunami di NAD menunjukkan bahwa sekelompok vegetasi pantai mampu melindungi beberapa bangunan rumah. Energi dahsyat yang dibawa tsunami diredam oleh vegetasi pantai (Diposaptono dan Budiman 2008). Penelitian Harada dan Imamura (2002) dalam Diposaptono dan Budiman (2008) menunjukkan efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami. Hutan pantai dengan tebal 200 m, kerapatan 30 pohon/100 m 2 dan diameter 15 cm dapat meredam 50% energi gelombang tsunami dengan ketinggian 3 meter. Sebagian besar kawasan pantai tidak memiliki pelindung vegetasi yang baik, tetapi merupakan kawasan yang padat kegiatan manusia seperti permukiman, tempat wisata, tambak, dan kegiatan budidaya lainnya. Upaya rehabilitasi dan pelestarian hutan di kawasan pantai sangat penting untuk meminimalkan kerusakan yang mungkin terjadi akibat tsunami. Sepanjang pantai Ciamis umumnya lahan pasir kosong, lahan kosong ditumbuhi rerumputan, lahan kosong ditumbuhi beberapa pohon kelapa dan waru, lahan kosong dengan pandan, anakan mangrove dan rumput. Di belakang pantai 3

24 wilayah Pangandaran merupakan lokasi permukiman padat dan penginapan yang diselingi dengan rumah-rumah makan dan pasar wisata. Kondisi ini menyebabkan banyaknya korban jiwa ketika tsunami menerjang kawasan ini. Pemodelan spasial yang didukung oleh teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami. Informasi tersebut akan menjadi informasi penting dalam menyusun strategi pengelolaan kawasan pantai guna meminimalkan kerusakan yang dapat terjadi Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami guna mendukung upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan yang mungkin terjadi akibat tsunami. Tujuan khusus yang dicapai adalah : 1. Membangun model spasial potensi genangan tsunami. 2. Mengidentifikasi faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami. 3. Membangun tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai lokasi rawan kerusakan akibat tsunami, sehingga masyarakat dapat mewaspadai daerah mana saja yang rawan rusak akibat tsunami dan melakukan upaya perlindungan untuk meminimalkan kerusakan yang dapat terjadi jika tsunami datang lagi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi perencanaan umum pemegang kebijakan dan pihak terkait di dalamnya untuk mempertimbangkan karakteristik kawasan pantai. 4

25 1.5. Kerangka Pemikiran Kawasan pantai Indonesia rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Kerusakan juga terjadi karena perbuatan manusia seperti pemanfaatan yang melebihi kemampuan dan alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan karakteristiknya. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Penetapan jalur hijau di tepi pantai guna melindungi pantai dari berbagai gangguan tidak berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan pantai tidak memiliki pelindung ketika bencana datang. Kawasan pantai yang padat dengan permukiman dan kawasan budidaya menyebabkan kerugian yang sangat besar dari segi material dan jiwa ketika bencana terjadi. Pantai yang tidak memiliki sabuk pengaman alami (green belt) menjadikan energi hantaman dengan leluasa menerobos jauh ke daratan. Hal ini seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 2004 dimana gelombang tsunami setinggi 5 sampai 12 meter terus masuk hingga sejauh 5 km dari pantai (Diposaptono dan Budiman 2008). Apabila tidak ada penghadang yang kokoh, gelombang laut dapat memperluas wilayah korban. Bangunan beton konkrit tidak cukup dan biayanya sangat mahal. Jajaran pohon yang cukup banyak dan berlapis-lapis cukup kokoh memecah gelombang sehingga memperlemah daya dorongnya (Sudarmono 2005). Tingkat kerusakan akibat tsunami dapat dilihat dari kerusakan fisik pantai dan kerugian jiwa dan material. Masyarakat perlu tahu daerah mana saja yang rawan tsunami dan rawan rusak akibat tsunami. Informasi mengenai daerah rawan tsunami menjadi informasi awal bagi pemetaan kawasan rawan kerusakan akibat tsunami. Tingkat kerawanan kerusakan dapat menjadi informasi bagi penataan dan perencanaan umum kawasan pantai, khususnya bagi upaya rehabilitasi kawasan agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik dan mendapat dukungan semua pihak. 5

26 Kondisi fisik kawasan: bentuk pantai, ketinggian, kemiringan lereng Kerawanan (Kelas & peta) Kondisi vegetasi (kerapatan dan penggunaan lahan) Kondisi sosial budaya (tradisi) Pemodelan kerawanan kerusakan tsunami Gambar 1. Kerangka penelitian 1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian ini mengkaji karakteristik pantai yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami. Metode penelitian dibuat berdasarkan karakteristik spesifik lokasi dan menghasilkan model kerawanan kerusakan akibat tsunami yang dapat menjadi acuan bagi upaya rehabilitasi kawasan pantai, khususnya di kawasan pantai Ciamis. Hasil penelitian adalah faktor-faktor yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami dan rumusan tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami yang mendukung upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan di masa akan datang. 6

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai dan Kawasan Lindung Pantai adalah wilayah dimana berbagai kekuatan alam yang berasal dari laut, darat dan udara saling berinteraksi. Bentuk pantai bersifat dinamis dan selalu berubah (Kartawinata, 1976 dalam Sumampouw, Saraswati dan Sitanala, 2000). Sukardjo (2002) memaparkan bahwa zona pantai merupakan sebuah habitat intermediet antara laut, daratan dan air tawar, yang menyediakan kondisi transisi yang komplek dan dinamis dan tidak pernah statis. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyatakan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat Tsunami Istilah tsunami diadopsi dari bahasa Jepang, dari kata tsu yang berarti pelabuhan dan nami yang berarti ombak. Setelah tsunami terjadi orang Jepang akan segera menuju pelabuhan untuk menyaksikan kerusakan yang ditimbulkan akibat tsunami sehingga dipakai istilah tsunami yang bermakna gelombang pelabuhan (Sutowijoyo 2005). Istilah tersebut menjadi bagian bahasa dunia setelah gempa besar 15 Juni 1896, yang menimbulkan tsunami besar di kota pelabuhan Sanriku (JEPANG) dan menewaskan orang serta merusak pantai timur Honshu sepanjang 280 km (Badan Meteorologi dan Geofisika 2010). Kious dan Tilling (2001) menyatakan bahwa gempa bumi besar yang terjadi di sepanjang zona tumbukan sangat berbahaya karena dapat memicu tsunami. 7

28 Lantai laut bergerak beberapa meter. Sejumlah besar air bergerak maju mundur selama beberapa jam yang menghasilkan rangkaian gelombang berlomba-lomba melewati lautan dengan kecepatan lebih dari 800 km per jam. Badan Meteorologi dan Geofisika (2010) menyebutkan bahwa tsunami terjadi jika gempa besar terjadi dengan kekuatan gempa > 7.0 SR, lokasi pusat gempa di laut dengan kedalaman < 70 Km serta terjadi deformasi vertikal dasar laut. Gelombang tsunami menggerakkan seluruh kolom air dari permukaan sampai dasar laut. Pada daerah episentrum gempa, tinggi gelombang diperkirakan 0,5 m sampai 3 m dan panjang gelombangnya lebih dari puluhan kilometer. Kecepatan rambat di laut dalam berkisar dari 400 sampai km/jam. Kecepatan tsunami (C dalam meter) merupakan akar perkalian antara percepatan gravitasi bumi (g=9,81 m/dt 2 ) dan kedalaman laut (h dalam meter). Semakin dalam laut semakin besar kecepatannya. Secara matematis dapat ditulis C= (g.h). Sebagai contoh pada kedalaman air laut m, tsunami mempunyai kecepatan 800 km/jam (setara dengan kecepatan pesawat) (Diposaptono dan Budiman 2008). Selama periode tahun 1600 sampai 2006 Indonesia mengalami 108 tsunami. Sekitar 90% tsunami disebabkan gempa tektonik, 9% akibat letusan gunung api dan hanya 1% dipicu oleh tanah longsor Tsunami di Indonesia Indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng aktif dunia yaitu Eurasia, Indo- Australia dan lempeng Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah dengan tingkat kegempaan sangat tinggi. Gempa dan tsunami yang terjadi di laut selatan Pulau Jawa merupakan akibat tumbukan antara lempeng oseanik Indo- Australia dan lempeng benua Eurasia (Pribadi et al. 2006). Indonesia berada di urutan ketiga negara rawan tsunami setelah Jepang dan Amerika. Negara-negara yang sering dilanda tsunami berada di kawasan Lautan Pasifik karena adanya Pacific ring of fire (Sutowijoyo 2005). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. 8

29 Km Gambar 2. Wilayah rawan tsunami (Kious dan Tilling 2001; modifikasi) Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng, antara lain Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Utara Papua, Sulawesi dan Maluku, serta Timur Kalimantan. Berdasarkan Katalog Gempa ( ) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali. Tsunami akibat longsoran (landslide) 1 kali, 9 kali akibat gunung berapi dan 98 kali akibat gempa bumi tektonik (Badan Meteorologi dan Geofisika 2010). Yulianto et al. (2008) menyebutkan bahwa hingga saat ini, gempa bumi terjadi rata-rata 15 kali sehari di wilayah Indonesia. Gempa bumi yang sering terjadi menyebabkan tsunami juga sering melanda wilayah Indonesia. Dalam lima belas tahun terakhir tsunami terjadi rata-rata sekali dalam dua tahun. Gelombang tsunami di NAD tahun 2004 tercatat setinggi lebih dari 20 m. Panjang pantai yang terpengaruh oleh tsunami lebih dari 500 km. Daerah terparah berada di pantai barat mulai dari Banda Aceh hingga Meulaboh. Tsunami di pantai selatan Jawa tanggal 17 Juli 2006 diakibatkan gempa bumi berkekuatan 6,8 skala Richter. Ketinggian run up bervariasi (kurang dari 10 m). Terjangan tsunami terjadi selama seperempat sampai 1 jam setelah gempa dengan kecepatan rata-rata km per jam. Gelombang terjadi tiga kali dengan gelombang kedua merupakan gelombang tertinggi dengan selang waktu 2-5 menit. Tinggi tsunami bervariasi antara 2-8 m dengan konsentrasi energi tersebar mulai dari 9

30 Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis dan Cilacap. Tsunami dengan ketinggian lebih dari 6 m di Kecamatan Cikalong (Kabupaten Tasikmalaya), Kecamatan Pangandaran (Kabupaten Ciamis), dan Kecamatan Binangun (Kabupaten Cilacap). Tinggi genangan yang melimpas ke daratan rata-rata kurang dari 2 m. Arus yang masuk sekitar km/jam (Diposaptono dan Budiman 2008). Tabel 1. Kejadian tsunami dan dampaknya di Indonesia sejak tahun 1961 hingga 2005 (Diposaptono dan Budiman 2008) Tahun Pusat Gempa Run-up maksimum (m) Jumlah korban (tewas/luka) Daerah bencana ,2 LS & 122,0 BT Tidak terdata 2/6 NTT, Flores tengah ,8 LU & 95,6 BT Tidak terdata 110/479 Sumatera ,4 LS & 126,0 BT Tidak terdata 71 tewas Maluku, Seram & Sanana ,7 LS & 119,3 BT Tidak terdata 58/100 Tinambung (Sulsel) ,7 LS & 119,7 BT tewas Tambo (Sulteng) ,1 LS & 118,8 BT 10 64/97 Majene (Sulsel) ,1 LS & 118,5 BT Tidak terdata 316 tewas NTB & P. Sumbawa ,0 LS & 125,3 BT Tidak terdata 2/25 NTT, Flores & P. Atauro ,4 LS & 115,9 BT Tidak terdata 27/200 NTB, Sumbawa, Bali & Lombok ,4 LS & 123,0 BT Tidak terdata 13/400 NTT, Larantuka ,4 LS & 124,3 BT Tidak terdata 83/108 NTT, Flores Timur & P. Pantar ,1 LS & 125,1 BT Tidak terdata 7 tewas NTT & P. Alor ,5 LS & 121,9 BT 11,2-26, /2.126 NTT, Flores, P. Babi ,7 LS & 113,1 BT 19,1 38/400 Banyuwangi (Jatim) ,1 LS & 118,8 BT Tidak terdata 3/63 Palu (Sulteng) ,5 LS & 136,0 BT 13,7 107 tewas P. Biak (Irian Jaya) ,0 LS & 124,9 BT 2,75 34 tewas Tabuna Maliabu (Maluku) ,6 LU & 119,92 BT 3 4 tewas Banggai, Sulteng ,298 LU & 95,6 BT 34 Lebih dari NAD & Sumut tewas ,065 LU & 97,01 BT 3,5 Tidak terdata Pulau Nias ,4 LS & 107,2 BT 7,6 668 tewas Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta ,67 LS & 101,3 BT 3,6 - Bengkulu & Sumatera Barat 2.4. Kerusakan akibat Tsunami dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya Pada tahun 1883 tsunami terjadi di Selat Sunda akibat letusan Gunung Krakatau. Korban yang tercatat tewas lebih dari orang yaitu di pantai 10

31 Sumatera dan Jawa. Gelombang tersebut setinggi 41 meter dan menghancurkan 295 kota dan desa di sepanjang pantai Selat Sunda di Lampung dan Banten. Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyebabkan bencana secara ekonomi dan ekologi di 13 negara Asia dan Afrika. Gelombang mengerikan tersebut membunuh lebih dari 200 ribu orang dan menyebabkan lebih dari 2 juta orang kehilangan rumah dan menyebabkan kerugian 6 miliar US $ di 13 negara (Kathiresan dan Rajendran 2005). Tsunami juga merubah bentang lahan wilayah pantai seperti yang terjadi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kawasan padat dengan bangunan, jalan dan jembatan hancur dan putus (Diposaptono dan Budiman 2006). Sutowijoyo (2005) menyatakan bahwa bentuk pantai, bentuk dasar laut wilayah pantai, sudut kedatangan gelombang, dan bentuk depan gelombang tsunami yang datang ke pantai sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang timbul. Sebagian pantai akan mengalami kerusakan dan ketinggian arus yang berbeda dibanding pantai yang lain. Tingginya gelombang tsunami di pantai juga disebabkan oleh bentuk batimetri, topografi dan geomorfologi pantai. Tinggi akan mencapai maksimum pada pantai yang landai dan berlekuk seperti teluk dan muara sungai. Hal ini terlihat pada kasus tsunami di Teluk Lhoknga NAD tahun 2004 dengan tinggi run up mencapai 31,5 m, Teluk Pancer Banyuwangi tahun 1994 mencapai tinggi 14 m dan Teluk Korim Biak tahun 1996 mencapai tinggi 12 m. Pada pantai yang terjal tsunami tertahan (Diposaptono dan Budiman 2008). Pada Hari Senin 17 Juli 2006 telah terjadi gempa bumi di Lautan India bagian selatan Pulau Jawa yang menimbulkan Tsunami. Sepanjang 400 km pantai selatan, mulai dari Kabupaten Garut, Jawa Barat sampai dengan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah terkena dampak. Daerah yang yang paling parah adalah Kecamatan Pangandaran dan juga Kecamatan Cimerak. Daerah yang dikenal sebagai tempat pariwisata dengan kerusakan sebanyak 63 hotel, lebih dari 50 restoran, 150 warung, lebih dari 400 perahu nelayan dan aset untuk bekerja lainnya mengalami kerusakan. Terdapat paling tidak penduduk yang mata pencahariannya terkena dampak langsung (WFP dan LAPAN 2006). 11

32 Pribadi et al. (2006) mengamati inundation atau jangkauan rayapan gelombang tsunami maksimum Pangandaran tahun 2006 terjadi di lokasi persawahan Cimerak sejauh 1000 m dari garis pantai. Hal ini dikarenakan Cimerak adalah lokasi terdekat pertama dari epicenter sebelum Pangandaran tanpa terhalang oleh lekukan (teluk) pulau, tanahnya relatif datar walaupun diselingi perbukitan rendah. Wilayah pesisir dengan tebing tebing pasir relatif aman dibandingkan pantai dengan topografi landai. Run up di daerah tersebut cenderung minimum seperti terjadi di daerah Bugel (40 m) dan Ambal (40 m) di Jawa Tengah serta Pameungpeuk (70 m) di Jawa Barat. Chandrasekar et al. (2006) melakukan pengamatan di pantai selatan India pada tahun yang sama dan menyatakan bahwa jangkauan rayapan maksimum terjadi di daerah mulut sungai atau estuari. Dampak tsunami juga lebih terlihat pada pantai dengan topografi datar dibandingkan daerah dengan topografi bergelombang Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Mengkaji Dampak Tsunami Kemampuan SIG untuk mengintegrasikan informasi alam, sosial ekonomi dan bencana bisa menjadi alat penilai yang ideal guna mendukung upaya perencanaan kawasan rawan tsunami. Untuk melakukan analisis tingkat kerawanan suatu daerah terhadap bencana tsunami diperlukan dua alat pembantu yaitu pemodelan tsunami yang mencakup pembangkitan, penjalaran serta genangan tsunami dan aplikasi SIG dalam melakukan analisis resiko bencana tsunami. Dalam teknis pelaksanaannya, metode-metode statistik sederhana juga diperlukan untuk melengkapi aspek ilmiah dalam melakukan pembobotan untuk analisis tingkat kerentanan dan ketahanan suatu daerah terhadap bencana tsunami (Diposaptono dan Budiman 2008) Chandrasekar et al. (2006) melakukan klasifikasi bahaya tsunami di sepanjang pantai selatan India. Peta bahaya tsunami dipersiapkan menggunakan teknik SIG berdasarkan jarak inundasi dengan melihat sifat pantai untuk menunjukkan jangkauan air masuk ke daratan dan topografinya. Teknologi penginderaan jauh dan SIG juga digunakan bersama data lain untuk mencari 12

33 lokasi paling cocok untuk penempatan menara peringatan Tsunami di wilayah pantai Thailand (Koedkurang et al. 2005). Chittibabu dan Baskaran (2009) menggunakan SIG sebagai alat untuk memadukan data ketinggian, jarak inundasi tsunami dan peta-peta tematik yang berasal dari data penginderaan jauh. Studi yang dilakukan menyoroti wilayah paling rentan terhadap inundasi tsunami dan membuat batas lokasi yang cocok bagi rehabilitasi di pantai Karaikal India. Kumaraperumal et al. (2007) menyatakan bahwa penginderaan jauh memberikan dukungan yang besar selama bencana untuk mendapatkan ide pendahuluan mengenai kerusakan yang disebabkan oleh tsunami. Disini alat penginderaan jauh dan SIG digunakan untuk mengidentifikasi jarak intrusi air laut dan menduga perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan. Peta bahaya tsunami dihasilkan menggunakan pendekatan SIG yang menunjukkan bahaya relatif tsunami di pantai Nagapattinam India. Kriteria yang dipertimbangkan untuk penilaian bagi pemetaan bahaya adalah tipe-tipe lahan yang berdekatan dengan pantai dan perbedaan topografi lahan. Theilen-Willige (2008) melakukan studi mengenai pemetaan kerentanan tsunami untuk wilayah pantai Turki dan Yunani di Laut Aegean. Lokasi yang berpotensi rawan tsunami diidentifikasi dari citra Landsat ETM, SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dan citra QuickBird dan dari basis data SIG terpadu. Evaluasi data penginderaan jauh digabungkan dengan geodata lain dalam lingkungan SIG memungkinkan deliniasi wilayah yang rentan penggenangan (flooding) tsunami dan inundasi di wilayah pantai Aegean Sea. Tujuan utama dari SIG lebih ditekankan pada isu kerentanan kawasan, identifikasi kawasan rawan tsunami serta mengetahui dampak yang ditimbulkan pasca tsunami. Hasil kajian kerentanan yang komprehensif dapat digunakan untuk mendukung upaya pengurangan potensi kerugian kawasan pesisir, meningkatkan kemampuan untuk merespon dan memulihkan diri dari suatu peristiwa (Diposaptono dan Budiman 2008). 13

34 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terbagi kedalam tiga tahapan yaitu tahap pendahuluan, pengambilan data lapangan dan pengolahan serta analisis data. Tahap pendahuluan dan pengolahan data serta analisis dilakukan di Bogor. Tahap pengambilan data dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat. Penelitian telah dilakukan sejak bulan Mei 2009 hingga Nopember Kegiatan pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan Juli 2009 dan bulan Juni Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras Data pendukung utama yang digunakan pada penelitian ini adalah peta-peta tematik, citra Landsat TM tahun 2006 dengan resolusi 30 m, catatan riset mengenai karakteristik tsunami dan kerusakan akibat tsunami wilayah pantai Ciamis. Peta-peta tematik yang digunakan yaitu peta tutupan lahan, peta batas administrasi pemerintahan, peta kontur (ketinggian), peta kemiringan lereng dan peta garis pantai. Peta kontur dan peta kemiringan lereng dengan skala 1: sedangkan peta garis pantai yang mengacu kepada citra Landsat TM mempunyai perpadanan skala 1: Peta administrasi bersumber pada Peta Dasar Rupabumi Indonesia skala 1: Peta tutupan lahan dari BAPLAN yang merupakan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2006 dengan perpadanan skala menjadi 1: Perangkat lunak yang digunakan untuk analisis citra, spasial dan statistik adalah MINITAB, SPSS, ARCVIEW, ERDAS dan IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala). Perangkat keras berupa satu set komputer dan printer. Untuk kegiatan survei lapangan digunakan peta rencana survei, lembar pengamatan (tally sheet) dan peralatan berupa GPS receiver, kompas dan kamera digital. 3.3 Metode Penelitian Kegiatan pendahuluan meliputi penyusunan usulan penelitian, pengumpulan data dan informasi, dan penyiapan kegiatan lapangan. Kegiatan lapangan meliputi ground check dan pengumpulan data pendukung. 14

35 Tahapan penelitian dan alir data dan informasi pembuatan model kerawanan kerusakan akibat tsunami pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Tahapan dan alir data serta informasi pada kegiatan penelitian No Tahapan Input/masukan Proses Output/luaran 1 Identifikasi areal yang terkena tsunami 2 Penentuan potensi genangan 3 Penentuan faktor biofisik yang akan dikaji 4 Pembuatan peta kerapatan vegetasi 5 Pembuatan peta tutupan lahan 6 Penentuan faktor pembangun model dan skor 7 Pembuatan peta kerawanan kerusakan terhadap tsunami Koordinat titik lapang, data inundasi, bentuk pantai, kemiringan lereng, ketinggian, tutupan lahan Peta ketinggian tempat (elevasi) Faktor biofisik, data lapangan (statistik, catatan riset: penggenangan, kerusakan) Citra LANDSAT, data lapangan, resolusi 30 m Peta tutupan lahan BAPLAN tahun 2006, peta batas wilayah penelitian Faktor pembangun model, peta genangan, data lapangan (statistik, catatan riset: penggenangan, kerusakan) Faktor pembangun model, data genangan Analisis deskriptif data sekunder dari sumber terpercaya (BMG, dll), survei lapangan Pengkelasan daerah genangan 7,5 m, 15 m dan 30 m Reklasifikasi data dan peta Analisis citra digital (spectral enhancement) Pengkelasan dan koreksi garis pantai Interpretasi visual Digitasi Operasi spasial (overlay, dengan intersect/identity Pengkelasan Analisis korelasi Pembangunan skor Pemodelan spasial: Pengujian model statistik Penghitungan bobot Pembangunan kelas-kelas kerawanan Validasi Faktor-faktor pembangun model (peubah yang mempengaruhi tingkat kerusakan akibat tsunami) Layer potensi genangan) Layer dan data faktor biofisik Layer kerapatan vegetasi Layer tutupan lahan Skor pada kelas masing-masing faktor pembangun model Peta tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami (skala 1: bagi perencanaan umum) 15

36 Beberapa peta bersumber dari citra Landsat yang beresolusi 30 m, yaitu peta tutupan lahan dan peta kerapatan vegetasi. Garis pantai pada semua peta direvisi menggunakan garis pantai berdasarkan penampakan citra Landsat tahun Kesepadanan skala peta dan spasial citra yang dikemukakan Tobler tahun 1987 menyatakan citra satelit dengan resolusi 30 m sepadan dengan skala peta 1 : Skala peta dasar dan peta laporan 1: disebutkan sebagai skala tinjau dan memiliki kegunaan bagi perencanaan umum penggunaan lahan dan penetapan areal yang akan disurvei lebih dalam (Arsyad, 2010). Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat menjadi masukan awal bagi perencanaan tata ruang pantai yang lebih detil. Kegiatan pengolahan data dan analisis menggunakan teknologi inderaja dan sistem informasi geografi, yang diikuti dengan penulisan disertasi. Penentuan skor dan bobot dilakukan melalui analisis data Pengkajian Potensi Genangan Akibat Tsunami Secara Spasial Wilayah studi difokuskan kepada wilayah desa pantai di enam kecamatan di Kabupaten Ciamis, dimana desa pantai merupakan desa dengan wilayah yang memiliki batas dengan garis pantai. Dari enam kecamatan tersebut terdapat 19 desa. Batas luar kesembilan belas desa menjadi batas wilayah studi. Berdasarkan analisis ketinggian dari data kontur wilayah pesisir yang dibangun melalui DEM, maka dapat dihitung dan dipetakan distribusi luas dan tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh (Diposaptono dan Budiman 2008). Analisis kontur dilakukan untuk menghasilkan peta ketinggian. Pengkelasan dilakukan dengan interval tinggi 2,5 m. Penelitian ini mengkaji 3 nilai tinggi gelombang tsunami yang mungkin terjadi yaitu 7,5 m, 15 m dan 30 m. Dari ketiga nilai tinggi gelombang diketahui distribusi luas dan jarak genangan secara spasial, kemudian dicari hubungan antara jarak genangan dengan faktor biofisik wilayah pantai Ciamis. Hubungan yang diketahui melalui analisis korelasi ini akan mendukung pemilihan faktor pembangun model kerawanan kerusakan akibat tsunami. Potensi genangan tsunami dapat diperoleh menggunakan data historis genangan dan run up tsunami yang pernah terjadi sebelumnya. Di Indonesia dokumentasi mengenai run up tsunami belum didata secara lengkap sehingga 16

37 sangat sulit membuat peta resiko tsunami berdasarkan data historis. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengasumsikan gelombang tsunami yang mencapai pantai mempunyai ketinggian sama diukur dari permukaan laut (Diposaptono dan Budiman 2008). Dari masing-masing peta diketahui distribusi luas genangan dari garis pantai menuju daratan. Titik-titik contoh diambil pada masing-masing peta dengan tinggi genangan berbeda. Masing-masing titik diukur jarak genangannya dari pantai. Tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3. Mulai Peta ketinggian Pemilihan areal dengan ketinggian berbeda Ketinggian hingga 7,5 m Ketinggian hingga 15 m Ketinggian hingga 30 m Pemilihan areal yang berhubungan dengan garis pantai Peta genangan hingga 7,5 m Peta genangan hingga 15 m Peta genangan hingga 30 m Pengambilan titik contoh jarak genangan Data jarak genangan dari masingmasing tinggi gelombang tsunami Selesai Gambar 3. Metode penentuan potensi kerawanan kerusakan secara spasial 17

38 Faktor-faktor yang Berperan pada Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami Pemilihan faktor yang diduga berperan dalam tingkat kerusakan akibat tsunami dilakukan berdasarkan analisis karakteristik spesifik lokasi dan beberapa hasil penelitian terkait tsunami dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut kemudian dikaji menggunakan analisis korelasi untuk menentukan faktor penentu tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami. Kesemua faktor dianalisis dalam bentuk peta dengan menggunakan analisis SIG. Proses awal adalah penyiapan peta-peta input yang merupakan peta faktorfaktor yang akan dijadikan input model. Peta pendukung adalah peta dasar yang menjadi acuan bagi peta faktor dan mendukung analisis faktor. Oleh karena lokasi penelitian merupakan wilayah pantai, maka semua peta dasar dan peta faktor direvisi garis pantainya berdasarkan garis pantai yang diperoleh dari penampakan citra satelit. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM tanggal 10 Oktober 2006 yaitu setelah kejadian tsunami. Citra ini juga digunakan untuk mendapatkan peta kerapatan vegetasi. Peta pendukung mencakup peta administrasi dan peta sistem lahan. Peta administrasi mencakup batas desa, kecamatan dan kabupaten. Peta sistem lahan mencakup informasi tentang nama sistem lahan, karakteristik lahan dan kesesuaian lahan. Faktor yang telah dikaji dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Faktor pembentuk model kerawanan kerusakan akibat tsunami No Faktor-faktor yang dikaji 1 Bentuk Pantai (Sutowijoyo (2005), Chandrasekar et al. (2006), Diposaptono dan Budiman (2008) 2 Jarak dari garis pantai (Kumaraperal et al (2007)) 3 Kemiringan (slope) (Diposaptono dan Budiman (2008), Pribadi et al. (2006)) 4 Ketinggian tempat (Chandrasekar et al. (2006), Diposaptono dan Budiman (2008). 5 Tutupan lahan (Diposaptono dan Budiman (2008), Pribadi et al. (2006)) 6 Vegetasi (Diposaptono dan Budiman (2008), Harada dan Kawata (2004), Sudarmono (2005)) 18

39 Kelas Bentuk Pantai Input yang dipakai adalah peta garis pantai selatan Jawa Barat. Garis pantai diperoleh berdasarkan penampakan garis pantai pada citra Landsat TM bulan Oktober Pada pantai Kabupaten Ciamis terdapat bentuk pantai rata, lekuk, bentuk V atau tanjung dan bergerigi (gergaji). Bentuk pantai menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan akibat tsunami (Sutowijoyo 2005). Tinggi gelombang tsunami mencapai maksimum pada pantai dengan morfologi landai dan berlekuk seperti teluk, muara sungai dan tanjung karena adanya proses refraksi dan difraksi gelombang. Hal ini terlihat pada kasus tsunami di Teluk Lhoknga NAD 26 Desember 2004 dengan tinggi run up 31,5 m, Teluk Pancer Banyuwangi 2 Juni 1994 yang mencapai tinggi run up 14 m dan di Teluk Korim Biak 17 Pebruari 1996 dengan tinggi run up 12 m. Wilayah pesisir di Indonesia umumnya memiliki teluk berbentuk V yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang banyak dan berderet satu sama lain sehingga menyerupai gigi gergaji. Kondisi ini menimbulkan gelombang tsunami di pantai semakin tinggi akibat adanya amplifikasi gelombang oleh teluk berbentuk V tersebut (Diposaptono dan Budiman (2008). Chandrasekar et al. (2006) membagi pantai kedalam beberapa zona berbeda berkaitan dengan fitur geomorfik pantai. Areal pantai dibagi kedalam zona pantai terbuka, zona estuari dan zona dataran tinggi Kelas Jarak dari Garis Pantai Input yang dipakai adalah peta garis pantai selatan Jawa Barat. Garis pantai diperoleh berdasarkan penampakan garis pantai pada citra Landsat TM bulan Oktober Masing-masing garis pantai dibuat buffer dengan jarak per 100 m dari pantai kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan kedekatan dari garis pantai. Prosesing data dilakukan dengan perangkat lunak ArcView Kelas Ketinggian Tempat Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandrasekar et al. (2006), daerah yang lebih tinggi mengalami jarak inundasi lebih pendek daripada daerah 19

40 yang lebih rendah. Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) dan pengkelasan dilakukan dengan perangkat lunak ArcView. Ketinggian wilayah dibagi kedalam kelas yang lebih rinci dengan interval tinggi 2,5 m. Hal ini dilakukan untuk lebih memperdalam hubungan antara faktor ketinggian dengan kerawanan kerusakan akibat tsunami Kelas Kemiringan lereng Tinggi gelombang tsunami mencapai maksimum pada pantai yang landai. Tsunami tertahan pada pantai yang terjal (Diposaptono dan Budiman 2006). Pribadi et al. (2006) mengamati wilayah pesisir dengan tebing tebing pasir relatif aman dibandingkan pantai dengan topografi landai. Dampak tsunami lebih terlihat pada pantai dengan topografi datar dibandingkan daerah dengan topografi bergelombang (Chandrasekar et al. 2006). Input yang digunakan adalah peta kontur dengan perangkat lunak ArcView bagian Spatial Analyst. Pengkelasan kemiringan lereng dilakukan dengan interval 4%. Dengan interval kemiringan lereng lebih rinci hubungan antara kemiringan lereng dengan kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat lebih terlihat. Hal ini berguna untuk memperoleh informasi lebih mengenai peran kemiringan lereng terhadap kerusakan akibat tsunami Kelas Kerapatan Vegetasi Sudarmono (2005) menyatakan bahwa jajaran pohon yang cukup banyak dan berlapis-lapis dapat memecah gelombang dan memperlemah daya dorongnya. Penelitian Harada dan Kawata (2004) menunjukkan bahwa dalam kasus tsunami dengan tinggi gelombang 3 m, hutan pantai dengan kerapatan hutan 30 m per 100 m 2, diameter batang 15 cm, dan lebar hutan 200 m dapat mengurangi kedalaman inundasi hingga 50-60% dan kecepatan aliran hingga 40-60%. Peta kerapatan vegetasi dibuat melalui klasifikasi citra Landsat menggunakan perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Band yang dipakai adalah band infra merah dekat (near infra red/nir) dan merah (red). Indeks ini memiliki kisaran nilai antara -1 dan +1. Vegetasi lebat akan mendekati nilai 1 (Jaya 2009). Rumus dari indeks vegetasi ini adalah: NIR RED NDVI = NIR + RED 20

41 Hasil klasifikasi citra dikelaskan kedalam kelas kerapatan vegetasi. Kerapatan vegetasi dibagi kedalam tiga kelas, yaitu Kerapatan Tinggi, Kerapatan Sedang, dan Kerapatan Rendah. Pembagian kelas tersebut didapat dengan membagi rentang nilai NDVI kedalam tiga kelas Kelas Tutupan Lahan Informasi tutupan lahan diperoleh dari peta tutupan lahan Badan Planologi tahun Kelas tutupan lahan yang ada di wilayah pantai Ciamis adalah Hutan Lahan Kering Sekunder, Semak/Belukar, Perkebunan, Tanah Terbuka, Hutan Mangrove Sekunder, Hutan Rawa Sekunder, Semak/Belukar Rawa, Pertanian Lahan Kering dengan Semak, Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak, Sawah, Tambak, Tubuh Air dan Permukiman. Peta tersebut dikelaskan kembali dengan mengelompokkan kelas kedalam kelas lebih umum. Vegetasi mempunyai tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang tsunami di suatu daerah. Dalam kaitannya dengan kepekaan terhadap tsunami, hutan dikategorikan sebagai jenis vegetasi yang sangat tidak peka diikuti oleh semak belukar, dan kebun. Ladang agak peka terhadap tsunami diikuti oleh rumput yang peka terhadap tsunami, sedangkan sawah sangat peka dan rawa sangat peka sekali. Pasir pantai juga dikatakan sangat peka terhadap tsunami (Diposaptono dan Budiman 2008). Melalui penelitian ini ingin diketahui bagaimana faktor biofisik kawasan pantai Ciamis berperan dalam kerusakan akibat tsunami sehingga diketahui bagaimana hubungan masing-masing faktor dengan kerusakan akibat tsunami. Kajian faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami akan memberikan informasi mengenai faktor mana saja yang berpengaruh dalam kerusakan akibat tsunami khususnya di kawasan pantai Ciamis. Informasi ini sangat penting bagi pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami yang nantinya berguna bagi upaya perlindungan wilayah dan rehabilitasi kawasan pantai Pemberian Skor pada masing-masing kelas faktor Proporsi luas genangan pada masing-masing kelas dalam faktor biofisik dikaji hubungannya dengan masing-masing faktor. Faktor yang digunakan dalam 21

42 analisis adalah kelas bentuk pantai, kelas jarak dari pantai, kelas ketinggian, kelas kemiringan lereng, kelas tutupan lahan dan kelas kerapatan vegetasi. Data tingkat kerusakan akibat tsunami hanya mewakili satu tempat untuk setiap kecamatan sehingga data yang digunakan adalah data inundasi yang diambil dari peta genangan yang dibuat secara spasial. Pola kecenderungan dilihat untuk mengetahui hubungan proporsi genangan dengan masing-masing faktor biofisik yang dikaji. Skoring diberikan menggunakan peringkat berdasarkan analisis tersebut kemudian dilakukan standarisasi skor dengan menyamakan skala (rescalling) dari 10 hingga 100. Dimana rumus skor tersebut (Jaya et al. 2007) adalah: Skor baru = (Skor lama Skor minimal) (90) +10 (Skor maksimal Skor minimal) Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan akibat Tsunami Daerah rawan kerusakan merupakan daerah yang berpotensi tergenangi air limpasan gelombang tsunami. Kecepatan tsunami yang sangat tinggi menjadikan air limpasan tsunami bersifat merusak sehingga tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami pada penelitian ini diwakili oleh proporsi genangan akibat tsunami. Kajian faktor yang berpengaruh dalam menentukan tingkat kerusakan akibat tsunami menjadi dasar pembuatan kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami. Pengambilan contoh dilakukan untuk membangun model karena cakupan wilayah yang besar yaitu hampir ha dengan garis pantai 91 km. Wilayah dibagi kedalam grid-grid dengan jarak masing-masing 2 km menggunakan perangkat lunak IHMB sehingga didapat 65 titik contoh (Gambar 4). Masing-masing titik contoh memiliki informasi skor masing-masing kelas faktor dan proporsi genangan. 22

43 Gambar 4. Titik-titik contoh bagi analisis regresi Karakteristik biofisik yang telah diberi skor dihubungkan dengan proporsi genangan untuk membangun model. Regresi Stepwise dilakukan untuk mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Regresi ini akan memasukkan variabel yang memiliki korelasi tinggi dan signifikan terhadap nilai y dan menyisihkan variabel yang tidak signifikan. Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak ada lagi variabel yang ditambahkan atau dihilangkan. Persentase besarnya variabilitas dalam data yang dijelaskan oleh model regresi ditunjukkan oleh koefisien determinasi (R 2 ) yang merupakan besaran yang mengukur ketepatan garis regresi. Nilai berkisar dari 0 hingga 100%. Semakin besar nilai menandakan semakin erat hubungan antara x dan y. Persamaan yang menghubungkan faktor biofisik dengan proporsi genangan akibat tsunami diolah secara spasial untuk menghasilkan model kerawanan kerusakan akibat tsunami. Model tersebut menunjukkan wilayah pantai dengan tingkat kerawanan yang berbeda. Model dibagi kedalam 3 kelas kerawanan yaitu Sangat Rawan, Rawan, dan Tidak Rawan. Pembagian kelas berdasarkan pembagian total bobot kedalam tiga selang nilai. Metode pembuatan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat diihat pada Gambar 5. Validasi dilakukan untuk mengetahui kedekatan model dengan kenyataan yang terjadi setelah tsunami. Model kerawanan yang dihasilkan dikaji dengan data kejadian tsunami yang tercatat yaitu jarak genangan tahun 2006 yang dicatat 23

44 BMG dan data genangan berdasarkan ketinggian tempat yang dihasilkan pada penelitian ini. Daerah genangan dibagi kedalam grid-grid yang kemudian ditampalkan dengan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami. Untuk wilayah genangan pada tinggi gelombang 7,5 m grid dibuat berjarak 500 m dan didapat 177 grid. Wilayah genangan dari gelombang 15 m dan 30 m dibagi kedalam grid berjarak 1 km sehingga masing-masing terbagi kedalam 202 dan 241 grid. Ketika ditampalkan dengan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami, grid-grid tersebut memberikan informasi tingkat kerawanan. Peta yang menunjukkan tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemegang kebijakan untuk membuat perencanaan dan penataan kawasan pantai yang dapat melindungi wilayah dari resiko kerusakan akibat tsunami. 24

45 MULAI Persiapan peta faktor pembangun model Layer Bentuk pantai Layer Jarak pantai Layer Kerapatan vegetasi Layer tutupan lahan Layer Kemiringan Layer Ketinggian Peta inundasi Kalkulasi skor Skor Bentuk pantai Skor Jarak pantai Skor kerapatan vegetasi Skor tutupan lahan Skor Kemiringan Skor Ketinggian Pertampalan Pengambilan titik contoh & analisis regresi Peta dengan pembobotan Peta gabungan Pengkelasan Pertampalan & validasi Gambar 5. Metode pembuatan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami 25 Tingkat akurasi SELESAI

46 IV. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN TSUNAMI PADA LOKASI PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat khususnya Kabupaten Ciamis. Wilayah tersebut merupakan areal yang terkena dampak gelombang tsunami dan gempa tektonik. Gempa bumi yang diikuti tsunami terjadi pada hari Senin 17 Juli 2006 jam 15:19:22 WIB dengan pusat 9,46 o LS 107,19 o BT, kedalaman 33 km dan kekuatan 6,8 Skala Richter. Pusat gempa bumi di Samudera Hindia 280 km selatan Bandung atau 255 km barat daya Pangandaran. Dampak tsunami dialami oleh kawasan pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta menelan korban jiwa lebih dari 378 orang meninggal, 272 orang luka-luka, 77 orang menghilang. Kerugian pada perumahan 842 rumah hancur, 92 rumah rusak, 62 bangunan hotel dan penginapan hancur, 5 kantor hancur. Sarana transportasi 56 mobil hancur, 97 motor hancur, 190 kapal boat rusak dan 29 becak tradisional hancur. Total kerugian akibat bencana tsunami ini berkisar lebih dari pada 70 milyar rupiah (Pribadi et al. 2006). Wilayah pantai Ciamis mencakup 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Pangandaran, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Parigi, Kecamatan Cijulang dan Kecamatan Cimerak. Fokus penelitian diberikan kepada desa pantai yaitu desa-desa di pantai Ciamis yang wilayahnya memiliki batas dengan pantai. Di sepanjang pantai Ciamis terdapat 19 desa, yaitu desa Putrapinggan, Emplak, Bagolo, Babakan, Pananjung, Pangandaran, Sidomulyo, Sukaresik, Cikembulan, Karangjaladri, Ciliang, Cibenda, Katukaras, Cijulang, Kondangjajar, Kertamukti, Legokjawa, Masawah, dan desa Limusgede (Gambar 6). 26

47 Gambar 6. Desa pantai di Kabupaten Ciamis 27

48 Wilayah selatan berbatasan langsung dengan garis pantai samudera Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 km. Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas ha (BPS Kabupaten Ciamis 2009). Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Ciamis berada pada posisi strategis yang dilalui jalan Nasional lintas Jawa Barat-Jawa Tengah dan jalan Provinsi lintas Ciamis-Cirebon-Jawa Tengah. Dalam konteks pengembangan wilayah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Ciamis mempunyai 2 (dua) Kawasan Andalan yaitu Kawasan Andalan Priangan Timur dengan arahan pengembangan untuk kegiatan pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pariwisata serta Kawasan Andalan Pangandaran dengan kegiatan unggulan pengembangan kepariwisataan dan bisnis kelautan (Pemkab Ciamis 2009). Daerah pantai selatan termasuk pantai wilayah Kabupaten Ciamis merupakan bagian dari wilayah rawan gempa dan tsunami karena berada di pertemuan lempeng oseanik Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Penelitian geologi juga mengungkapkan bahwa sebelum tsunami tahun 2006 lalu, pada tahun 1921 telah terjadi tsunami di Pangandaran (Yulianto et al. 2008). Pemerintah Kabupaten Ciamis telah menetapkan kawasan rawan bencana yang merupakan kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus. Kawasan rawan bencana longsor tersebar di Kecamatan Panawangan, Kawali, Cikoneng, Rajadesa, Jatinagara, Rancah dan Tambaksari; kawasan rawan bencana banjir di Kecamatan Pamarican, Banjarsari, Padaherang, Kalipucang, Lakbok dan Pangandaran; kawasan rawan kekeringan di Kecamatan Langkaplancar dan Cigugur; serta kawasan rawan bencana gempa bumi/tsunami di Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang Tsunami dan dampak yang ditimbulkan di pantai Ciamis Tingkat kerusakan akibat tsunami dicatat dalam titik-titik lokasi pengamatan yang merupakan titik lokasi pengamatan lapangan tak lama setelah tsunami terjadi. Data terkait tsunami yang diambil adalah lokasi pengamatan, jarak genangan (inundation) dan tinggi gelombang (run up) tsunami dari BMKG (Pribadi et al 2006). Data kerusakan merupakan catatan kerusakan fisik pada titik pengamatan (WFP dan LAPAN 2006). Gambar 7 menunjukkan bekas kerusakan 28

49 akibat tsunami di Kabupaten Ciamis. Gambar 7 (a) menunjukkan sisa bangunan akibat tsunami di pantai desa Babakan dan Gambar 7 (b) menunjukkan sisa bangunan di wilayah pantai Pangandaran. a b Gambar 7. Kerusakan fisik akibat tsunami di wilayah Pantai Kabupaten Ciamis Jarak genangan terjauh terjadi di Kecamatan Cimerak yaitu sejauh 1000 m (Gambar 8). Lokasi ini merupakan wilayah pesawahan. Cimerak adalah lokasi yang terdekat pertama dari epicenter sebelum Pangandaran tanpa terhalang oleh lekukan (teluk) pulau (Pribadi et al. 2006). Pangandaran Barat yang berada di lekukan tanjung mengalami jarak genangan 500 m, sedangkan bagian timur karena terhalang tanjung air tsunami masuk sekitar 50 m saja. Gambar 8. Jarak genangan pantai Ciamis saat tsunami tahun

50 Gambar 9. Tinggi gelombang tsunami pantai Ciamis tahun 2006 Gambar 10. Jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Kabupaten Ciamis per kecamatan (berdasarkan tabel data dari WFP dan LAPAN 2006; modifikasi) Tinggi gelombang maksimum tsunami terjadi di daerah sekitar Pangandaran, yaitu di Pangandaran Barat setinggi 7 m (Gambar 9). Hal ini karena lokasi dekat dengan pusat gempa (255 km barat daya Pangandaran) Di pantai Batuhiu (Kecamatan Parigi) terjadi run up setinggi 5,5 m sedangkan kecamatan 30

51 lainnya mengalami run up dibawahnya (Pribadi et al 2006). Kedua lokasi tidak memiliki penghalang vegetasi sehingga air dengan mudah masuk ke daratan. Gambar 10 menunjukkan jumlah korban jiwa dan kerusakan akibat tsunami. Terdapat dua kecamatan yang mengalami dampak paling parah yaitu Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Cimerak yang dikenal sebagai tempat pariwisata. Selain kerusakan rumah, kerusakan juga terjadi pada hotel, restoran, warung dan perahu nelayan serta aset untuk bekerja lainnya mengalami kerusakan. Terdapat paling tidak sekitar penduduk yang mata pencahariannya terkena dampak langsung (WFP dan LAPAN 2006). Tabel 4. Korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Selatan Jawa Barat (WFP dan LAPAN 2006; modifikasi) Kabupaten Kecamatan Korban Rumah rusak Meninggal Hilang Luka parah Luka ringan Hancur total Rusak Parah Rusak ringan Tasikmalaya Cikalong Cipatujah Sub Total Tasikmalaya Ciamis Cimerak Cijulang Parigi Sidamulih Pangandaran Kalipucang Lainnya Sub total Ciamis Total Propinsi Jawa Barat Tabel 4 menunjukkan perbandingan kerusakan bangunan dan jumlah korban di wilayah pantai selatan Jawa Barat termasuk Kabupaten Ciamis. Kerusakan rumah paling banyak tercatat di Kecamatan Cimerak yaitu lebih dari 400 rumah hancur total, sedangkan di Kecamatan Pangandaran tercatat lebih dari 200 rumah hancur total. Korban jiwa tertinggi tercatat di wilayah Pangandaran yaitu 137 orang meninggal, kemudian diikuti Kecamatan Cimerak tercatat 97 orang meninggal. Di kedua tempat tersebut juga banyak korban dengan luka parah dan ringan dan hilang dalam peristiwa tsunami tahun Korban jiwa dan kerusakan fisik juga tercatat di wilayah Kabupaten Tasikmalaya yaitu khususnya di Kecamatan Cikalong dan Cipatujah namun tidak separah yang terjadi Kabupaten Ciamis. 31

52 Dalam catatan World Food Program PBB dan LAPAN tahun 2006 diketahui korban meninggal di wilayah Jawa Barat adalah 427 orang sedangkan yang hilang dan terluka 856 orang. Rumah yang hancur total lebih dari 900 rumah dan lebih dari 1200 rumah mengalami kerusakan parah dan ringan Bentuk Pantai dan Penampakan Citra Satelit Wilayah Pantai Kabupaten Ciamis Bentuk pantai yang diamati dari wilayah pantai Ciamis adalah bentuk V yang merupakan wilayah Tanjung Pangandaran, garis pantai yang bergerigi menyerupai gergaji, garis pantai rata dan garis pantai dengan lekukan. Dari citra satelit (Gambar 11) dapat dilihat bahwa wilayah yang dekat dengan garis pantai memiliki vegetasi yang jarang. Lebih jauh ke daratan juga seperti itu. Di wilayah Cimerak terjadi inundasi sejauh 1 km sebagaimana tercatat oleh BMKG dan merupakan daerah pesawahan. Wilayah Kecamatan Cimerak juga memiliki lekukan yang cukup besar dan pantai yang tidak rata. Penampakan citra satelit menunjukkan wilayah bagian bawah bertekstur kasar. Daerah yang dekat dengan garis pantai menunjukkan kemungkinan vegetasi yang jarang. Di Kecamatan Cijulang terdapat lekukan yang cukup besar serta ada aliran sungai. Wilayah ini mengalami inundasi sejauh 300 m. Seperti pada penampakan kecamatan lain, pada pantai Kecamatan Parigi juga daerah dekat garis pantai menunjukkan daerah bervegetasi rendah. Garis pantai relatif rata dan wilayah bertekstur halus dan sedang. Inundasi terjadi sejauh 200 m. Penampakan citra Kecamatan Sidamulih menunjukkan adanya aliran sungai di wilayah tersebut. Garis pantai dapat dikatakan relatif rata. Tidak ada catatan mengenai inundasi wilayah ini. Wilayah Kecamatan Pangandaran terbagi kedalam dua bagian yaitu wilayah tanjung dan wilayah daratan. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Wilayah tanjung merupakan wilayah Taman Wisata Alam dan Cagar Alam yang memiliki kerapatan vegetasi yang cukup tinggi. Pantai Pangandaran menunjukkan wilayah tersebut bervegetasi jarang. Disini terdapat garis pantai yang berupa lekukan, garis pantai yang rata dan sedikit bergerigi, sedangkan wilayah tanjung menunjukkan garis pantai yang bergerigi seperti gergaji. 32

53 Garis pantai Kecamatan Kalipucang relatif rata. Tekstur daratan menunjukkan daerah yang tidak rata. Masing-masing kecamatan memiliki karakteristik bentuk garis pantai yang berbeda. Analisis garis pantai juga dilakukan pada setiap bentuk pantai yang berbeda, seperti bentuk rata, gergaji/gerigi, dan lekukan (Gambar 12). Jarak dari garis pantai dibagi kedalam beberapa kelas dengan beda jarak 100 m (Gambar 13). Sebagian wilayah dekat garis pantai bervegetasi rendah. Tubuh air yang berupa sungai dan laut ditunjukkan dengan warna biru. Warna hijau menandakan vegetasi yang dapat berupa hutan atau kebun campuran, sedangkan warna keunguan mewakili areal bervegetasi dengan tanah basah (mengandung banyak air) seperti sawah. Warna kemerahan menandakan areal yang kering biasanya merupakan areal terbuka (bervegetasi rendah) dan permukiman. Hasil pengecekan lapangan menunjukkan bahwa di pinggir pantai Pangandaran khususnya sekitar Pananjung merupakan tempat-tempat penginapan, pasar wisata dan di belakangnya merupakan permukiman. Pekarangannya ditumbuhi beberapa pohon. Menjauh dari kawasan wisata, pinggir pantai berupa tanah kosong berpasir, tanah berumput dan terkadang ditumbuhi beberapa pohon kelapa, ketapang dan waru. 33

54 Gambar 11. Penampakan dari Citra Landsat TM di wilayah pantai Ciamis tahun

55 Gambar 12. Peta kelas bentuk pantai Kabupaten Ciamis 35

56 Gambar 13. Peta kelas jarak dari pantai Kabupaten Ciamis 36

57 4.4. Ketinggian Wilayah Pantai Ciamis Ketinggian di lokasi penelitian dibagi kedalam 13 kelas dengan interval 2,5 m (Gambar 14). Gambar menunjukkan gambaran ketinggian lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis. Hampir semua wilayah pantai merupakan daerah yang rendah kecuali sebagian wilayah Kecamatan Kalipucang, Cijulang dan Cimerak serta wilayah Tanjung Pangandaran. Gambar 14. Persentase kelas tinggi di wilayah pantai Ciamis Sekitar 43% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis merupakan wilayah dengan ketinggian lebih dari 30 m. Wilayah yang memiliki ketinggian kurang dari 10 m terdapat 19%, sisanya memiliki ketinggian di atas 10 m dan dibawah 30 m. Wilayah yang tinggi yaitu daerah tanjung Pangandaran, Kecamatan Kalipucang, sebagian wilayah Cimerak dan lainnya. Gambaran ketinggian wilayah tersebut dapat dilihat pada Gambar

58 Gambar 15. Ketinggian wilayah pantai Ciamis 38

59 Wilayah rendah merupakan wilayah yang dekat dengan pantai. Wilayah tinggi dapat dilihat pada wilayah pantai Kecamatan Kalipucang dan tanjung Pangandaran serta sebagian kecil wilayah Kecamatan Cimerak dan Kecamatan Cijulang, sedangkan wilayah lain tempat yang tinggi berada jauh dari pantai Kemiringan Lereng Wilayah Pantai Ciamis Kemiringan lereng di wilayah pantai Ciamis dibagi kedalam 10 kelas dengan interval kemiringan lereng 4% (Gambar 16). Gambar menunjukkan kemiringan lereng di lokasi penelitian. Gambar 16. Persentase kelas kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis Wilayah pantai Kabupaten Ciamis didominasi oleh lereng yang datar dan landai yaitu lebih dari 80% dari seluruh wilayah pantai. Wilayah yang dekat dengan garis pantai merupakan wilayah datar dan landai. Wilayah dengan kemiringan lereng lebih dari 12% hanya mencakup kurang dari 5% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Gambaran kemiringan lereng wilayah ini dapat dilihat pada Gambar

60 Gambar 17. Kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis 40

61 4.6. Penutupan Lahan Wilayah Pantai Ciamis Penutupan lahan wilayah pantai Ciamis secara garis besar dibagi kedalam daerah pesawahan, permukiman, kebun, hutan, pasir pantai dan air. Wilayah hutan yang berada di Kecamatan Pangandaran yaitu wilayah tanjung yang merupakan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam. Hutan ini berada di daerah tinggi dengan kemiringan lereng beragam dan merupakan hutan tanah kering (Gambar 18). Persentase luas tutupan lahan kawasan desa pantai Ciamis dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 18. Kawasan Taman Wisata Alam Pangandaran Gambar 19. Persentase luas tutupan lahan 41

62 Sepanjang pantai Pangandaran merupakan lahan berpasir dan ditanami beberapa anakan vegetasi pantai dan mangrove. Di belakang lahan berpasir yang merupakan tempat wisata adalah tempat-tempat penginapan mulai dari penginapan kecil hingga hotel-hotel tinggi dan sedikit rumah-rumah pribadi. Di belakangnya merupakan wilayah permukiman yang cukup padat. Wilayah di luar Kecamatan Pangandaran didominasi oleh daerah pesawahan, kebun campuran dan perkebunan kelapa. Untuk wilayah pantainya didominasi oleh perkebunan kelapa yang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat. Gambar 19 menunjukkan sekitar 46 % dari luas seluruh tutupan lahan di Desa Pantai Ciamis adalah wilayah pertanian lahan kering, 15% berupa sawah, sedangkan permukiman meliputi 5% wilayah. Pengamatan lapangan menunjukkan permukiman cukup padat di sepanjang pantai. Di daerah garis pantai di kawasan wisata seperti Pangandaran umumnya ditemukan banyak rumah-rumah penginapan yang disewakan. Wilayah pertanian seperti ladang dan sawah diselingi oleh rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Kebun kelapa yang dikelola masyarakat sekitar juga terdapat di sebagian pinggir pantai. Wilayah pertanian berada lebih jauh dari pantai. Kawasan hutan meliputi 17% dari seluruh wilayah desa pantai. Jenis hutan yang ada adalah hutan tanaman industri, hutan rawa, hutan mengrove dan hutan lahan kering. Wilayah Pangandaran memiliki kawasan hutan lahan kering yang merupakan taman wisata alam dan cagar alam. Gambaran tutupan lahan wilayah pantai Ciamis dapat dilihat pada Gambar

63 Gambar 20. Tutupan lahan desa pantai di Kabupaten Ciamis 43

64 4.7. Kerapatan Vegetasi Nilai NDVI dikelaskan kedalam kelas kerapatan vegetasi. Kerapatan vegetasi dibagi kedalam tiga kelas, yaitu Kerapatan Tinggi, Kerapatan Sedang, dan Kerapatan Rendah. Gambar 21 menunjukkan kerapatan vegetasi wilayah pantai Ciamis. Gambar 21. Persentase kelas kerapatan vegetasi wilayah pantai Ciamis Kerapatan vegetasi wilayah pantai didominasi oleh kelas kerapatan rendah (jarang) dan sedang, hanya wilayah tanjung Pangandaran yang didominasi oleh vegetasi rapat yang merupakan kawasan taman wisata alam. Sepanjang pantai umumnya lahan pasir kosong, lahan kosong ditumbuhi rerumputan, lahan kosong ditumbuhi beberapa pohon kelapa, ketapang dan waru, lahan kosong dengan pandan dan rumput (Gambar 22 a, b, c dan d). Di belakang pantai wilayah Pangandaran merupakan lokasi permukiman dan penginapan yang diselingi dengan rumah-rumah makan dan pasar wisata (Gambar 22 e). Peta kerapatan vegetasi wilayah ini dapat dilihat pada Gambar

65 a b c d e f Gambar 22. Penutupan lahan di pinggir pantai Kabupaten Ciamis Untuk kawasan lain di pantai Kabupaten Ciamis juga ditandai dengan pantai pasir, lahan kosong dengan rerumputan dan diselingi pohon kelapa, waru, ketapang dan pandan. Wilayah pantai juga menjadi tempat berlabuh perahuperahu pencari ikan di laut. Sebagian wilayah pantai juga dimanfaatkan sebagai kebun rakyat terutama kebun kelapa yang dikelola oleh masyarakat sekitar (Gambar 22 f). Di belakangnya juga merupakan kawasan permukiman. Lebih jauh ke daratan masyarakat bercocok tanam padi diselingi dengan tanaman kelapa serta kebun campuran. 45

66 Gambar 23. Kerapatan vegetasi pantai Ciamis 46

67 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. POTENSI KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI Saat ini gempa bumi terjadi rata-rata 15 kali sehari di seluruh wilayah Indonesia. Sering terjadinya gempa bumi menyebabkan tsunami juga sering melanda wilayah Indonesia. Sejak tahun 1600 hingga sekarang telah terjadi 109 tsunami di Indonesia. Bahkan dalam lima belas tahun terakhir tsunami terjadi ratarata sekali dalam dua tahun. Perulangan terjadinya tsunami di setiap tempat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Penelitian geologi mengungkapkan di Pangandaran gelombang tsunami pernah melanda wilayah ini setidaknya empat kali dalam 400 tahun terakhir sebelum tahun Tsunami sebelumnya terjadi sekitar tahun 1921 (Yulianto et al. 2008) Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut seperti adanya gempa bumi tektonik di laut. Di lokasi pembentukan tsunami tinggi gelombang diperkirakan sekitar 0,5 m sampai 3 m dan panjang gelombangnya lebih dari puluhan kilometer. Selama penjalaran dari tengah laut menuju pantai, kecepatan semakin berkurang karena gesekan dengan dasar laut yang semakin dangkal sehingga tinggi gelombang di pantai menjadi semakin besar karena adanya penumpukan masa air (Diposaptono dan Budiman 2008). Di laut yang dalam, tsunami memiliki tinggi gelombang hanya dalam hitungan puluhan sentimeter sementara kecepatan rambat gelombangnya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Gelombang melewati perairan dangkal, kecepatan rambat gelombangnya berkurang sedangkan tinggi gelombangnya akan bertambah besar. Inilah alasan mengapa gelombang tsunami terlihat semakin tinggi ketika mendekati daratan (Yulianto et al. 2008). Gelombang tsunami melimpas memasuki daratan melewati semua benda yang ada di pantai dan daratan hingga kecepatannya berkurang dan air kembali ke laut. Tinggi gelombang (run up) saat mencapai pantai akan mempengaruhi distribusi dan jarak genangan ke arah daratan. Distribusi luas dan tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh dengan analisis kontur wilayah pesisir (Diposaptono dan Budiman 2008). Gelombang 47

68 tsunami akan memasuki daratan dan menggenangi daerah yang dilewatinya. Daerah yang dilewati dan digenangi air berpotensi mengalami kerusakan. Kedatangan tsunami yang begitu cepat sangat tidak memungkinkan penduduk di daerah pesisir pantai untuk meloloskan diri. Perkiraan tentang daerah penggenangan tsunami (tsunami inundation area) diperlukan untuk merancang daerah permukiman yang aman bagi penduduk (Sutowijoyo 2005). Perencanaan darurat untuk pendugaan inundasi bahaya tsunami dan pengaruh sekunder dari erosi dan longsor memerlukan pemetaan yang dapat membantu mengidentifikasi areal pantai yang berpotensi rawan (Theilen-Willige 2008). Chittibabu dan Baskaran (2009) melakukan studi mengenai areal paling rawan terhadap inundasi tsunami dan memberikan demarkasi tempat-tempat yang cocok untuk rehabilitasi. Penelitian ini memberi gambaran lokasi mana yang mungkin digenangi oleh air gelombang tsunami dengan beberapa kemungkinan tinggi gelombang yang berbeda. Informasi mengenai kemungkinan penggenangan di suatu lokasi diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan Pemerintah untuk waspada terhadap bahaya tsunami dan bekerja sama untuk melakukan upaya pencegahan kerusakan seperti rehabilitasi pantai dan pembuatan rute evakuasi bagi areal rawan genangan. Tinggi tsunami Jawa Barat 2006 bervariasi antara 2-8 m. Tsunami dengan ketinggian lebih dari 6 m teramati di Kecamatan Cikalong (Kabupaten Tasikmalaya), Kecamatan Pangandaran (Kabupaten Ciamis) dan Kecamatan Binangun (Kabupaten Cilacap) (Diposaptono dan Budiman 2008). Catatan BMG (Pribadi et al. 2006) menyebutkan tsunami di bagian barat Pangandaran yang merupakan lekukan dan tanjung mencapai ketinggian 7 m dan masuk ke dalam sejauh 500 m. Peta genangan dengan ketinggian 7,5 m mendekati data tersebut (Gambar 24). 48

69 Gambar 24. Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 7,5 m 49

70 Gambar 25. Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 7,5 m Titik-titik contoh diambil untuk mengetahui jarak genangan yang dapat terjadi ketika gelombang tsunami setinggi 7,5 m memasuki daratan. Wilayah yang tergenangi air setinggi 7,5 m menunjukkan jarak genangan yang berbedabeda (Gambar 25). Hampir semua di bawah 600 m namun ada yang berjarak lebih dari 1 km dari pantai. Sebagian besar genangan air masuk sejauh kurang dari 200 m dari pantai. Gambar 26 menunjukkan wilayah dengan ketinggian hingga 15 m yang terendam air tsunami. Sebagian besar berada di desa pantai dari Kecamatan Pangandaran, Sidamulih, Parigi dan Cijulang dan sebagian kecil wilayah kecamatan Cimerak dan Kalipucang. Variasi ketinggian tempat dapat terlihat di semua tempat mulai dari 0 hingga 15 m. Wilayah Cimerak dan Kalipucang didominasi oleh ketinggian tempat lebih dari 15 m, sehingga sebagian besar wilayahnya tidak mengalami genangan. 50

71 Gambar 26. Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 15 m 51

72 Gambar 27. Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 15 m Gelombang setinggi 15 m melimpas lebih jauh ke darat melewati wilayah dengan ketinggian lebih rendah. Cakupan wilayahnya lebih luas dibandingkan dengan tinggi air 7,5 m. Jarak genangan ada yang mencapai 4,5 km dari pantai. Sebagian melewati daratan hingga 500 m dari pantai dan sebagian lain melebihi 500 m hingga 4 km (Gambar 27). Sebagian besar wilayah dengan ketinggian hingga 30 m berada di desa pantai dari Kecamatan Pangandaran, Sidamulih, Parigi dan Cijulang dan sebagian kecil wilayah kecamatan Cimerak dan Kalipucang. Variasi ketinggian tempat terlihat di semua tempat dimulai dari wilayah yang rendah di tepi pantai hingga semakin tinggi ke arah daratan. Gelombang setinggi 30 m melimpas melewati areal dengan ketinggian di bawahnya (Gambar 28). Titik-titik contoh genangan 30 m dapat dilihat pada Gambar 29. Jarak genangan ada yang mencapai 5 km dari pantai. Hanya sedikit yang berjarak kurang dari 500 m. Sebagian besar melewati daratan lebih dari 1 km dari pantai. 52

73 Gambar 28. Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 30 m 53

74 Gambar 29. Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 30 m % wilayah tergenang Tinggi gelombang (m) Gambar 30. Perbandingan persentase wilayah desa pantai yang tergenangi gelombang tsunami dengan tinggi gelombang berbeda 54

75 Semakin tinggi gelombang tsunami yang datang maka semakin luas areal yang tergenangi. Perbedaan tinggi gelombang pada penelitian ini menunjukkan perbedaan luas areal tergenangi yang dipengaruhi oleh variasi ketinggian tempatnya. Tinggi gelombang 7,5 m menggenangi 4% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Saat gelombang setinggi 15 m memasuki daratan, 36% wilayah tergenang. Gelombang setinggi 30 m menggenangi 57% wilayah desa pantai (Gambar 30). Ketika gelombang setinggi 30 m, hampir semua wilayah desa di Kecamatan Pangandaran, Sidamulih, Parigi dan Cijulang tergenang air. Hanya sedikit wilayah tanjung di Pangandaran yang terpengaruh gelombang yaitu yang berada di lekukan. m Gambar 31. Perbandingan luas tutupan lahan yang terkena limpasan gelombang tsunami 55

76 Tabel 5. Persentase luas tutupan lahan yang terkena limpasan gelombang tsunami % luas pada tinggi Tutupan Lahan gelombang berbeda 7.5 m 15 m 30 m Tambak Tubuh air Tanah terbuka Perkebunan Semak/Belukar Permukiman Hutan Sawah Pertanian lahan kering Gambar 31 dan Tabel 5 menjelaskan luasan areal per tutupan lahan yang tergenang air akibat tsunami. Saat wilayah tergenangi air setinggi 7,5 m, wilayah yang banyak terkena genangan adalah pertanian lahan kering dan permukiman serta tanah terbuka. Hal ini berkaitan dengan banyaknya permukiman dan areal budidaya yang dekat dengan pantai serta lahan pasir tepi pantai yang kosong. Cakupan wilayah yang lebih luas yang digenangi gelombang setinggi 15 m menyebabkan semakin luas wilayah permukiman dan budidaya yang terpengaruh. Sawah dan hutan yang berada lebih ke darat semakin banyak yang terkena air limpasan tsunami. Begitu pula saat gelombang 30 m melimpas ke daratan. Air limpasan menggenangi lebih luas semua tutupan lahan yang ada. Penelitian ini menghasilkan kemungkinan genangan air hanya berdasarkan ketinggian tempat tidak melihat faktor-faktor lain yang menjadi karakteristik wilayah selain faktor ketinggian. Gelombang akan melimpas ke wilayah yang lebih rendah. Faktor-faktor yang berada di wilayah tersebut akan menjadi penentu saat gelombang melewatinya yang berpengaruh kepada jarak genangan dari pantai. Kemungkinan wilayah yang tergenangi air gelombang setinggi 7,5 m menunjukkan bahwa sedikit saja wilayah desa di Kecamatan Kalipucang dan Cimerak yang tergenangi karena sebagian besar wilayahnya adalah dataran tinggi. Wilayah permukiman pantai Pangandaran, Parigi, Sidamulih dan Cijulang terkena imbas gelombang tsunami. Begitu pula daerah sawah dan pertanian lahan kering serta tutupan lahan sepanjang pantai lainnya. 56

77 Gelombang naik ke daratan dengan kecepatan menjadi sekitar km/jam. Kecepatan ini bisa menghancurkan kehidupan di daerah pantai dan menggenangi dataran rendah (Diposaptono dan Budiman 2008). Ketika tsunami memasuki perairan yang lebih dangkal, ketinggian gelombangnya meningkat dan kecepatannya menurun drastis, meski demikian energinya masih sangat kuat untuk menghanyutkan segala benda yang dilaluinya (Sutowijoyo 2005). Lebih lanjut Sutowijoyo (2005) menyatakan bahwa arus tsunami dengan ketinggian 70 cm masih cukup kuat untuk menyeret dan menghanyutkan orang. Ketika tsunami melanda pantai selatan Jawa Barat tahun 2006 terbukti banyak kerusakan dan korban jiwa khususnya di wilayah Pangandaran dengan tinggi gelombang 7 m. Dengan ketinggian gelombang 7,5 m, 15 m dan 30 m tentu akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi terjadinya kerusakan dan korban jiwa. Imamura (1942) dalam Diposaptono dan Budiman (2008) menyusun korelasi antara skala relatif tsunami (m) berdasar data historis dengan tinggi gelombang dan panjang pantai yang terkena dampak. Pada tahun 1958 Iida menambahkan informasi m=-1. Dikatakan bahwa m=-1 diberikan pada tsunami kecil dengan tinggi <50 cm di daerah pantai, m=0 untuk tsunami setinggi 1 m dan tidak menimbulkan kerusakan. Untuk m=1 ditujukan bagi tsunami dengan tinggi sampai 2 m yang menimbulkan kerusakan rumah sepanjang pantai dan terseretnya kapal-kapal ke pantai. m=2 untuk tsunami dengan tinggi gelombang antara 4-6 m dan menghancurkan rumah dan menimbulkan korban jiwa. Untuk tinggi gelombang 15 m masuk kedalam m=3 yaitu ditujukan untuk tsunami dengan ketinggian m dan menimbulkan kerusakan di daerah pantai sepanjang 400 km. Gelombang dengan tinggi 30 m tentunya akan menimbulkan kerusakan dan korban jiwa lebih besar lagi. Untuk tsunami dengan ketinggian >30 m dinyatakan sebagai m=4 dan menimbulkan kerusakan besar di daerah pantai sepanjang 500 km. Shuto (1998) dalam Diposaptono dan Budiman (2008) membuat klasifikasi fenomena tsunami dan tingkat kerusakan. Intensitas tsunami (M) 3 dengan tinggi tsunami 8 m dan di atasnya menyebabkan rumah hancur, kapal ikan rusak dan 57

78 hutan pantai rusak/roboh. Ketika gelombang tsunami mencapai lebih dari 8 m, hutan tidak efektif meredam energi tsunami. Tinggi gelombang tsunami yang mencapai pantai akan menimbulkan kerusakan yang berbeda. Gelombang ini akan terus bergerak dengan kecepatan tinggi menghantam daratan dan melewati daerah yang berada di bawahnya. Ketinggian tempat dapat menjadi masukan awal untuk mengetahui potensi daerah genangan dari gelombang tsunami. Potensi genangan merupakan informasi penting bagi kemungkinan kerusakan wilayah akibat tsunami. Hal ini erat kaitannya dengan upaya perlindungan wilayah dari kemungkinan tsunami dan upaya rehabilitasi wilayah tersebut Faktor Biofisik yang Berperan dalam Kerusakan Akibat Tsunami Indonesia tercatat telah mengalami tsunami lebih dari 100 kejadian sejak tahun Setiap kejadian tsunami menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tinggi gelombang tsunami dan jarak genangan bervariasi dan menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang berbeda pula di tempat yang berbeda. Setiap wilayah mengalami tingkat kerusakan yang berbeda karena wilayah tersebut memiliki karakteristik lokasi yang berbeda seperti bentuk pantai, ketinggian, kemiringan lereng, tutupan lahan dan faktor lainnya. Sutowijoyo (2005) mencatat bahwa bentuk pantai, bentuk dasar laut wilayah pantai, sudut kedatangan gelombang, dan bentuk depan gelombang tsunami yang datang ke pantai sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang timbul. Sebagian pantai akan mengalami kerusakan dan ketinggian arus yang berbeda dibanding pantai yang lain. Menurut Diposaptono dan Budiman (2008) tingginya gelombang tsunami di pantai juga disebabkan oleh bentuk batimetri, topografi dan geomorfologi pantai. Pantai Ciamis memiliki bentuk pantai yang beragam, yaitu adanya bentuk tanjung, bentuk pantai rata di bagian barat dan timur tanjung dan lekukan tanjung ke arah daratan. Berdasarkan catatan BMG, pusat tsunami di laut mengarah ke barat daya Pangandaran. Berarti arah tsunami berjalan menuju Pangandaran bagian barat dan ini berpengaruh ke arah air datang. Air langsung menuju bagian barat Pangandaran yang merupakan lekukan tanjung dan pantai rata, sehingga mencapai ketinggian 7 m dan masuk ke dalam sejauh 500 m. Hal ini karena daerah pantai merupakan daerah dengan kerapatan vegetasi jarang sehingga air 58

79 tidak memiliki penghalang vegetasi. Daerah ini merupakan daerah padat tempat penginapan dan permukiman warga. Korban jiwapun menjadi tinggi. Pangandaran bagian timur terhalang oleh tanjung, sehingga air teredam di bagian barat dan tanjung. Hal ini ditandai dengan run up dan inundasi yang jauh lebih rendah dibanding Pangandaran bagian barat. Air tsunami tetap dapat masuk lebih jauh, karena daerah ini juga merupakan daerah yang minim vegetasi dan dipadati oleh tempat penginapan. Sebagian besar pantai Ciamis terutama Pantai Pangandaran memang tidak memiliki penghalang vegetasi alami sehingga air datang dan masuk dengan mudah. Ketinggian dan kemiringan lereng juga rendah untuk bagian pantai kecuali wilayah tanjung yang merupakan dataran tinggi dengan vegetasi rapat yang berupa hutan. Wilayah yang relatif datar menjadikan tidak ada hambatan bagi air untuk menerjang masuk. Pribadi et al. (2006) juga mencatat inundasi maksimum juga terjadi di sekitar Cilacap Jawa Tengah sampai Pantai Ayah Kebumen sejauh m dari garis pantai. Hal ini disebabkan bentuk daerah-daerah tersebut termasuk di daerah yang melengkung (menyerupai teluk) dan daerahnya terdiri dari tanah pasir yang cukup luas tanpa penghuni. Ditambah lagi banyak muara sungai yang sempit mengakibatkan upstream sehingga menimbulkan run up tinggi dan inundasi yang jauh. Wilayah pesisir yang memiliki tebing tebing pasir relatif aman dari terjangan gelombang tsunami dibandingkan pantai dengan topografi landai. Sutowijoyo (2005) juga menyatakan bahwa daerah teluk akan menderita tsunami lebih parah akibat konsentrasi energi tsunami. Kumaraperumal et al. (2007) mengatakan di Nagapattinam juga menunjukkan penetrasi air laut yang lebih jauh (750 m) hingga ketinggian 3,9 m karena kemiringan lereng yang rendah dari areal pantai dan pengaruh gelombang tsunami. Theilen-Willige (2008) dalam penelitiannya memaparkan bagaimana morfologi pantai mempengaruhi kerawanan bahaya tsunami di pantai Turki dan Yunani. Pantai dibagi kedalam beberapa wilayah dengan karakteristik berbeda, yaitu wilayah datar dan rendah (<10 m), muara sungai dan estuari, teluk (gulf), lekukan (bay), lereng curam dan tebing. Wilayah datar dan rendah serta muara sungai dan estuari sangat berpengaruh terhadap kerawanan tsunami, begitu pula 59

80 dengan teluk sangat tinggi dan tinggi, lekukan berpengaruh sedang dan lereng curam dan tebing berpengaruh rendah. Beberapa literatur (Chandrasekar et al. 2006, Diposaptono dan Budiman 2008, Kumaraperumal et al. 2007, Pribadi et al. 2006, Sutowijoyo 2005, Theilen- Willige 2008) menunjukkan bagaimana karakteristik fisik pantai yang meliputi bentuk pantai, ketinggian tempat dan kemiringan lereng berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami. Tutupan lahan khususnya vegetasi juga berperan dalam menghadapi gelombang tsunami. Karakteristik tersebut berbeda di setiap tempat Faktor Bentuk Pantai Pada penelitian ini bentuk pantai Ciamis dibedakan kedalam bentuk pantai rata, lekukan dan gergaji. Berdasarkan peta genangan tsunami dengan gelombang 30 m diketahui bahwa 62% wilayah desa pantai yang memiliki pantai rata tergenangi air. Pada desa pantai yang memiliki pantai berupa lekukan tergenangi air 56% dan desa pantai dengan pantai berbentuk gergaji tergenangi seluas 44% (Gambar 32). Gambar 32. Persentase areal tergenangi pada kelas bentuk pantai berbeda Yudhicara (2008) melakukan penelitian di pantai Sumatera Barat mengenai kaitan antara karakteristik pantai dengan potensi kerawanan tsunami. Pantai landai berpasir dengan bentuk garis pantai memanjang tanpa lekukan seperti di pantai antara Kota Padang dengan Air Bangis dan antara Pasir Ganting dengan Salido akan berpotensi terlanda gelombang tsunami lebih rendah dibandingkan 60

81 dengan pantai curam yang berbentuk teluk (Teluk Kasai, Teluk Kabung, Teluk Batung, dan Teluk Nibung). Penelitian di pantai Ciamis menunjukkan pola kenaikan pada faktor bentuk pantai di wilayah Ciamis. Proporsi genangan terendah ditunjukkan oleh bentuk pantai gergaji kemudian meningkat pada bentuk pantai lekuk. Proporsi genangan tertinggi ditemukan pada bentuk pantai rata yang mendominasi wilayah pantai Ciamis Faktor Jarak dari Garis Pantai Jarak dari garis pantai menjadi salah satu faktor yang dikaji untuk pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami. Gambar 33 menunjukkan bahwa proporsi genangan akibat tsunami semakin berkurang ketika menjauhi pantai. Proporsi genangan tertinggi ditunjukkan pada kelas paling dekat dengan pantai yaitu radius 100 m. Gambar 33. Proporsi areal tergenangi pada kelas jarak dari pantai Perbedaan proporsi genangan tidak begitu besar. Proporsi genangan terlihat jauh menurun ketika jarak dari pantai melebihi 1 km. Secara keseluruhan terlihat ada penurunan proporsi genangan akibat tsunami dengan semakin jauhnya jarak dari pantai Faktor Ketinggian Tempat Perbedaan proporsi genangan akibat tsunami ditunjukkan pada kelas ketinggian tempat yang berbeda. Proporsi genangan tidak berbeda jauh pada ketinggian tempat 5 m hingga 15 m. Variasi proporsi genangan lebih terlihat pada 61

82 ketinggian tempat di atas 15 m. Proporsi genangan lebih terlihat semakin menurun hingga ketinggian 30 m. Gambar 34 menunjukkan persentase areal tergenangi air tsunami pada masing-masing kelas ketinggian yang berbeda. Pola keseluruhan yang dapat dilihat adalah semakin menurunnya proporsi genangan dengan semakin tingginya tempat. Gambar 34. Proporsi areal tergenangi pada kelas ketinggian tempat Faktor Kemiringan Lereng Proporsi genangan akibat tsunami paling tinggi ditunjukkan pada kelas kemiringan lereng 0-4%. Proporsi genangan semakin menurun dengan menurunnya kemiringan tempat. Kemiringan di atas 20% hanya 2% yang tergenangi air (Gambar 35). Lereng semakin curam semakin sedikit areal yang tergenangi air tsunami. Daerah dengan lereng landai dan datar paling besar terkena genangan tsunami. Kemiringan lereng (%) Gambar 35. Proporsi areal tergenangi pada kelas kemiringan lereng 62

83 Faktor Kerapatan Vegetasi Ada perbedaan proporsi genangan antara kelas kerapatan vegetasi jarang, sedang dan lebat. Proporsi genangan tertinggi ditunjukkan pada kelas kerapatan vegetasi jarang, diikuti oleh kelas vegetasi sedang. Kelas vegetasi lebat memiliki proporsi genangan paling rendah (Gambar 36). Gambar 36. Proporsi areal tergenangi pada kelas kerapatan vegetasi Pola hubungan menunjukkan semakin lebat kerapatan vegetasi semakin rendah proporsi genangan dan sebaliknya semakin jarang vegetasi semakin besar proporsi genangan Faktor Tutupan Lahan Tutupan lahan yang berbeda menunjukkan perbedaan proporsi genangan. Proporsi genangan terendah ditunjukkan oleh semak belukar. Proporsi genangan tertinggi ada pada wilayah tambak. Proporsi genangan masing-masing tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar

84 Gambar 37. Proporsi areal tergenangi pada kelas tutupan lahan Semak belukar, pertanian lahan kering dan hutan menunjukkan proporsi yang rendah dibanding yang lain. Permukiman, perkebunan dan sawah menunjukkan proporsi genangan yang tinggi. Tanah terbuka yang didominasi oleh lahan pasir pantai menunjukkan proporsi genangan yang tinggi pula Skor Kelas pada Masing-masing Faktor Skor masing-masing kelas pada faktor yang dikaji diperlukan bagi pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami. Skor dibangun berdasarkan hubungan kelas pada masing-masing faktor dengan proporsi genangan. Masing-masing skor dibuat kedalam skala yang sama yaitu Tabel 6. Pemberian skor kelas bentuk pantai Bentuk pantai Luas (ha) Luas genangan (ha) Proporsi genangan Skor (10-100) Gergaji Lekukan Rata Bentuk pantai hanya memiliki 3 kelas yaitu bentuk gergaji, lekukan dan rata. Tabel 6 menunjukkan skor tertinggi diberikan untuk kelas bentuk pantai rata. Skor terendah ada pada kelas bentuk gergaji. 64

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI BAGI PENENTUAN KEMUNGKINAN DAERAH GENANGAN AKIBAT TSUNAMI (STUDI KASUS: KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI BAGI PENENTUAN KEMUNGKINAN DAERAH GENANGAN AKIBAT TSUNAMI (STUDI KASUS: KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT) APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI BAGI PENENTUAN KEMUNGKINAN DAERAH GENANGAN AKIBAT TSUNAMI (STUDI KASUS: KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT) GIS Application in Determining the Possible Inundation Area by Tsunami

Lebih terperinci

FORESTA Indonesian Journal of Forestry I (1) 2012: 1-6 ISSN: Anita Zaitunah a*, Cecep Kusmana b, I Nengah Surati Jaya b, Oteng Haridjaja c

FORESTA Indonesian Journal of Forestry I (1) 2012: 1-6 ISSN: Anita Zaitunah a*, Cecep Kusmana b, I Nengah Surati Jaya b, Oteng Haridjaja c FORESTA Indonesian Journal of Forestry I (1) 2012: 1-6 ISSN: 2089-9890 Kajian Potensi Daerah Genangan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat (Study on the Potential of Inundation area by tsunami in

Lebih terperinci

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI Pengenalan Tsunami APAKAH TSUNAMI ITU? Tsunami adalah rangkaian gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama diakibatkan oleh gempabumi yang terjadi di dasar

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang ada di dalamnya. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/)

Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik bumi (triple junction plate convergence) yang sangat aktif sehingga Indonesia merupakan daerah yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang. Gambar 1.1 Tsunami di berbagai kedalaman. Sumber: Pengenalan Tsunami, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

1.1 Latar Belakang. Gambar 1.1 Tsunami di berbagai kedalaman. Sumber: Pengenalan Tsunami, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tsunami berasal dari bahasa Jepang, yaitu tsu yang artinya pelabuhan dan nami yang artinya gelombang. Jadi, secara harfiah berarti ombak besar di pelabuhan (Wikipedia,

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang)

Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang) Bahaya Tsunami Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang) Tsunami adalah serangkaian gelombang yang umumnya diakibatkan oleh perubahan vertikal dasar laut karena gempa di bawah atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya membentang diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada

I. PENDAHULUAN. Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada lempeng bumi yang labil. Lempeng bumi ini berpotensi besar terjadinya gempa bumi pada dasar laut dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik sangat labil karena dikelilingi oleh Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air Indonensia. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

TSUNAMI. 1. Beberapa penyebab lainnya ialah : 3. Tsunami Akibat Letusan Gunungapi

TSUNAMI. 1. Beberapa penyebab lainnya ialah : 3. Tsunami Akibat Letusan Gunungapi TSUNAMI Tsunami berasal dari bahasa Jepang, Tsu = pelabuhan nami = gelombang laut tsunami secara harfiah berarti gelombang laut (yang menghantam) pelabuhan. Tsunami, adalah rangkaian gelombang laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala Richter sehingga dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Halini

Lebih terperinci

Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan

Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan Dilihat dari kondisi geografisnya, Indonesia merupakan wilayah dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Banyaknya gunung aktif serta bentuknya yang berupa negara

Lebih terperinci

KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR

KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR Oleh: GRASIA DWI HANDAYANI L2D 306 009 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO Oleh: Yusman Wiyatmo Jurdik Fisika FMIPA UNY, yusmanwiyatmo@yahoo.com, HP: 08122778263 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.. Wilayah

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring

BAB I PENDAHULUAN. Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring of Fire), merupakan daerah berbentuk seperti tapal kuda yang mengelilingi Samudera Pasifik sepanjang

Lebih terperinci

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. 1.1 Apakah Gempa Itu? Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran tersebut disebabkan oleh pergerakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

Kata kunci : Tsunami, Tsunami Travel Time (TTT), waktu tiba, Tide Gauge

Kata kunci : Tsunami, Tsunami Travel Time (TTT), waktu tiba, Tide Gauge Analisis Penjalaran dan Ketinggian Gelombang Tsunami Akibat Gempa Bumi di Perairan Barat Sumatera dengan Menggunakan Software Tsunami Travel Time (TTT) Retno Juanita M0208050 Jurusan Fisika FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

SISTEM PERINGATAN DINI TSUNAMI: ANTARA TEKNOLOGI DAN KEARIFAN LOKAL. Domey L Moniharapon

SISTEM PERINGATAN DINI TSUNAMI: ANTARA TEKNOLOGI DAN KEARIFAN LOKAL. Domey L Moniharapon SISTEM PERINGATAN DINI TSUNAMI: ANTARA TEKNOLOGI DAN KEARIFAN LOKAL Domey L Moniharapon Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Jl. Ir. M. Putuhena, Kampus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak di Pacific ring of fire atau cincin api Pasifik yang wilayahnya terbentang di khatulistiwa dan secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA I. Umum Indonesia, merupakan negara kepulauan terbesar didunia, yang terletak di antara dua benua, yakni benua Asia dan benua Australia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ruliani, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ruliani, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara geologis berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan : (a) latar belakang, (b) perumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) manfaat penelitian, (e) ruang lingkup penelitian dan (f) sistematika penulisan. 1.1. Latar

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR

RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR Oleh : BIMA SAKTI L2D005352 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bencana 1. Pengertian Bencana Menurut UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Weh yang berada di barat laut Aceh merupakan pulau kecil yang rentan akan bencana seperti gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami, karena pulau ini berada pada

Lebih terperinci

Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta ISSN 0853-7291 Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta Petrus Subardjo dan Raden Ario* Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

6 STRATEGI MITIGASI TSUNAMI

6 STRATEGI MITIGASI TSUNAMI 6 STRATEGI MITIGASI TSUNAMI 6.1 Kerusakan Ekosistem Mangrove Akibat Tsunami Tsunami yang menerjang pesisir Kecamatan Sukakarya dengan tinggi gelombang datang (run up) antara 2-5 m mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

13 Tahun Tsunami Aceh Untuk Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Masyarakat Sumatera Barat akan Ancaman Bencana Gempabumi dan Tsunami

13 Tahun Tsunami Aceh Untuk Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Masyarakat Sumatera Barat akan Ancaman Bencana Gempabumi dan Tsunami 13 Tahun Tsunami Aceh Untuk Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Masyarakat Sumatera Barat akan Ancaman Bencana Gempabumi dan Tsunami Rahmat Triyono, ST. Dipl. Seis, MSc, Kepala Stasiun Geofisika Silaing Bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

Lebih terperinci

BULETIN KARST GUNUNGSEWU

BULETIN KARST GUNUNGSEWU BULETIN KARST GUNUNGSEWU Edisi 2, Vol. 1, November 2013 Topik Utama Kerawanan Tsunami di Wilayah Kepesisiran Kawasan Karst Gunungsewu Berdasarkan data dari National Geophysical Data Centre (2005) dan Marfai

Lebih terperinci

STRATEGI UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN YANG DIAKIBATKAN OLEH GEMPA DAN GELOMBANG TSUNAMI

STRATEGI UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN YANG DIAKIBATKAN OLEH GEMPA DAN GELOMBANG TSUNAMI Jurnal Arsitektur ATRIUM vol. 02 no. 01, April 2005 : 28-33 STRATEGI UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN Guru Besar Fakultas Hukum USU Medan, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Sumatera

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keunikan geologi kepulauan Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah. Provinsi ini memiliki dataran seluas

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Peristiwa Alam yang Merugikan Manusia. a. Banjir dan Kekeringan

Peristiwa Alam yang Merugikan Manusia. a. Banjir dan Kekeringan Peristiwa Alam yang Merugikan Manusia a. Banjir dan Kekeringan Bencana yang sering melanda negara kita adalah banjir dan tanah longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. Banjir merupakan

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modul tinjauan umum manajemen bencana, UNDRO

BAB I PENDAHULUAN. Modul tinjauan umum manajemen bencana, UNDRO BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bumi sebenarnya merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks dan besar. Sistem ini bekerja diluar kehendak manusia. Suatu sistem yang memungkinkan bumi berubah uaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH Siti Nidia Isnin Dosen Program Studi Geografi FKIP Universitas Almuslim ABSTRAK Tsunami yang terjadi di Aceh pada 26

Lebih terperinci

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI GEMPA DAN TSUNAMI FIDEL BUSTAMI COREMAP DAN LAPIS BANDA ACEH Pengertian : GEMPA BUMI Pergerakan bumi secara tiba-tiba tiba,, yang terjadi karena adanya tumbukan lempeng bumi yang mengandung energi yang

Lebih terperinci

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Totok Gunawan dkk Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Gegrafi UGM Jl. Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PETA MIKROZONASI PENGARUH TSUNAMI KOTA PADANG

PETA MIKROZONASI PENGARUH TSUNAMI KOTA PADANG PETA MIKROZONASI PENGARUH TSUNAMI KOTA PADANG Nama : I Made Mahajana D. NRP : 00 21 128 Pembimbing : Ir. Theodore F. Najoan, M. Eng. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL BANDUNG ABSTRAK Pesisir pantai

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu sesuatu hal yang berada di luar kontrol manusia, oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tektonik besar yang terus bergerak yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia

BAB I PENDAHULUAN. tektonik besar yang terus bergerak yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis, Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yang terus bergerak yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko tinggi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko tinggi terhadap kejadian bencana tsunami. Kondisi geologis Indonesia yang terletak pada tumbukan 3 lempeng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara dimana terdapat pertemuan 3 lempeng tektonik utama bumi. Lempeng tersebut meliputi lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks, hal ini karena wilayah Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling bertumbukan,

Lebih terperinci

5 GENANGAN AKIBAT TSUNAMI

5 GENANGAN AKIBAT TSUNAMI 5 GENANGAN AKIBAT TSUNAMI 5.1 Tsunami Pulau Weh Kejadian gempabumi yang disertai tsunami dengan kekuatan 9,1-9,3 MW atau 9,3 SR (Lay et al. 2005; USGS 2004) mengakibatkan terjadi kerusakan ekosistem mangrove,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ATRIBUT DATA SPASIAL KAWASAN RAWAN BENCANA SIGDa LOMBOK BARAT

IDENTIFIKASI ATRIBUT DATA SPASIAL KAWASAN RAWAN BENCANA SIGDa LOMBOK BARAT Prosiding SENTIA 2017 Politeknik Negeri Malang Volume 9 ISSN: 2085-2347 IDENTIFIKASI ATRIBUT DATA SPASIAL KAWASAN RAWAN BENCANA SIGDa LOMBOK BARAT Agus Pribadi1 1, Heroe Santoso 2 1,2 Jurusan Teknik Informatika

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Dan Proses Terjadi Tsunami

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Dan Proses Terjadi Tsunami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Pengertian Dan Proses Terjadi Tsunami Tsunami adalah sederetan gelombang laut yang menjalar dengan panjang gelombang sampai 100 km dengan ketinggian beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dan dilihat secara geografis, geologis, hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana, bahkan termasuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera, berada dalam

Lebih terperinci

BAB1 PENDAHULUAN. Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira

BAB1 PENDAHULUAN. Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negeri yang rawan bencana. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi tempat terjadinya dua letusan gunung api terbesar di dunia. Tahun

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Denah lokasi jembatan yang berdampak tsunami di Aceh

Gambar 1.1 Denah lokasi jembatan yang berdampak tsunami di Aceh BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari banyak pulau yang dikenal dengan negara kepulauan. Letak negara yang diapit oleh 3 lempeng tektonik

Lebih terperinci