LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 /DPD RI/IV/ TENTANG PANDANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 /DPD RI/IV/ TENTANG PANDANGAN"

Transkripsi

1 LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 /DPD RI/IV/ TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEAMANAN NASIONAL JAKARTA 2011

2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan dinamika lingkungan strategis pasca perang dingin telah berdampak pada penataan ulang sektor keamanan di banyak negara melalui program reformasi sektor keamanan. Di Indonesia, agenda reformasi sektor keamanan itu salah satunya meliputi perubahan di level regulasi dan kebijakan. Namun demikian, perubahan-perubahan di level regulasi selama ini dinilai belum cukup sehingga Pemerintah menginisiasi RUU Keamanan Nasional melalui Surat Presiden Nomor: R-28/Pres/05/2011 tanggal 23 Mei 2011 yang ditujukan kepada DPR RI dan dengan tembusan kepada DPD RI. Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional (Kamnas) sebetulnya telah muncul sejak tahun Pada saat itu RUU Kamnas, yang semula bernama RUU Pertahanan dan Keamanan Negara (Hankamneg) 2, diajukan atas usulan/inisiatif Pemerintah melalui Departemen Pertahanan. 3 Pada tahun 2007 RUU Hankamneg kemudian berubah nama menjadi RUU Keamanan Nasional. 4 Sejak awal kemunculannya, RUU Keamanan Nasional telah menimbulkan kontroversi dan tentangan dari banyak kalangan baik itu dari DPR, akademisi maupun kelompok masyarakat sipil. Sebagian besar dari mereka menilai RUU Keamanan Nasional tidak menghormati tata nilai hak asasi manusia dan prinsip good governence.5 Di awal tahun 2009, pembahasan RUU Keamanan Nasional semakin memanas di parlemen dan akhirnya RUU Keamanan Nasional gagal disepakati dan disahkan 1 Menhan; RUU kamnas jangan setali tiga uang : 2 TNI Polri tetap dipisah ; 3 :Menhan ajukan empat RUU ke DPR : 4 RUU Kamnas; Dephan Tetap Pegang Kendali : 5 Soal kamnas; jangan ada ego sektoral : 1

3 oleh DPR periode RUU Keamanan Nasional kembali menjadi pembahasan pada 2011 setelah Pemerintah kembali menyerahkan RUU tersebut ke parlemen. Namun demikian, RUU Kamnas versi Pemerintah 2011 kembali mendapatkan kritik dari banyak kalangan baik itu dari anggota DPR, akademisi maupun masyarakat sipil. Kritik terhadap RUU Kamnas sebenarnya hampir sama dengan kritik sebelumnya yakni RUU Kamnas tidak menghormati tata nilai HAM, good governance, dimensi ancaman serta ruang lingkup yang diatur terlalu luas sehingga bernuansa sekuritisasi Maksud dan Tujuan Menanggapi Surat Presiden terkait dengan RUU Keamanan Nasional, DPD RI merumuskan suatu Pandangan Umum DPD RI atas RUU Keamanan Nasional. Walaupun RUU Kamnas ini secara eksplisit bukan tergolong sebagai isu yang terkait dengan tugas dan kewenangan DPD akan tetapi karena ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RUU ini terkait dengan kepentingan daerah maka DPD memandang perlu untuk menyampaikan Pandangan sebagai bahan masukan bagi DPR dalam melakukan pembahasan bersama Pemerintah. Tujuannya adalah agar setiap rumusan ketentuan dalam RUU ini dapat merupakan kebijakan yang benar-benar menjawab kebutuhan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi terutama oleh unsur-unsur penyelenggaraan keamanan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta berada dalam bingkai supremasi hukum yang menjamin perlindungan HAM Dasar Dasar pambahasan RUU ini dilandaskan pada Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai Dewan Perwakilan Daerah, UU No 27 Tahun 2009 tentang DPR, MPR, DPD, dan DPRD, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan DPD mengenai Tata Tertib DPD. 2

4 1.4. Ruang Lingkup Materi naskah ini mencakup ruang lingkup tentang Pandangan Umum DPD terhadap isu-isu sentral yang tertuang dalam RUU Kamnas beserta naskah akademiknya dan Pandangan Khusus terhadap Pasal Per Pasal RUU Kamnas. 3

5 BAB II DASAR PEMIKIRAN 2.1. Pengertian Keamanan Seperti dikutip oleh Komisi Konstitusi, (suatu lembaga yang secara khusus dibentuk oleh MPR untuk mengkaji dan mengajukan usulan perubahan UUD 1945 pada tahun 2004), pada awal mulanya konsep keamanan hanya menyangkut pengertian yang berkaitan dengan keamanan suatu negara, yakni : closely tied to a state s defense of sovereign interests by military means. At its most fundamental level, the term security has meant the effort to protect a population and territory againts organized force while advancing state interests through competitive behavior. 6 Karena hanya menyangkut keamanan negara, istilah keamanan acapkali disebut sebagai keamanan nasional. Karena itu pasca Perang Dunia II: national security was seen primarily as the protection from external invasion, an attitude primarily driven by the war. As a result, the original concept had a strong military component. 7 Walaupun bagi Amerika Serikat, pemahaman istilah tersebut diperluas sehingga menjadi the protection of the United States from major threats to our territorial, political, or economic well-being, 8 konsep keamanan nasional tetap saja dikaitkan dengan jaminan perlindungan keamanan negara. Dalam literatur kepolisian pengertian keamanan secara umum adalah: keadaan atau kondisi bebas dari gangguan fisik, maupun psikis, terlindunginya keselamatan jiwa dan terjaminnya harta benda dari segala macam ancaman gangguan dan bahaya. Dengan melihat pengertian tentang keamanan sebagaimana dimaksud di atas, jelaslah bahwa keamanan memiliki pengertian yang sangat luas, tidak lagi hanya menyangkut bidang militer saja. Istilah security juga bahkan digunakan dalam bidang keuangan/perdagangan saham (sekuritas). Karena itu kita tidak bisa serta 6 Patrick J. Garrity mengutip Geoffrey D. Dabelko dan David D.Dabelko Stephen Cambone (1998), A. New Structure for National Security Policy Planning, hlm Christopher Schoemaker (1991), The NSC Staff, Counseling the Council, hlm Ibid, hlm. 5. 4

6 merta menggunakan istilah keamanan untuk suatu pengertian belaka. Pada dewasa ini ada istilah-istilah international security, world security, global security. Istilah national security yang digunakan Amerika Serikat dalam national security council menjangkau perang di Afghanistan dan Irak. Setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat dibentuk Departement of Homeland Security. Ada juga istilah societal security dan ethnic security, karena itu harus jelas apa yang dimaksud yang hendak diamankan bila menggunakan istilah security. 9 Alan Collins dalam bukunya Security and South East Asia : Domestic, Regional and Global Issues tahun 2003, mengajukan pertanyaan para pakar tentang security : What does it mean to be secured? What is to be secured and what constitutes a threat? Secara tradisional, negaralah yang menjadi perhatian, baik kedaulatan ataupun integritas wilayah dari ancaman militer dari luar. Perhatian demikian terutama terdapat pada masa perang dingin. Semenjak tahun 1994 dengan keluarnya The Human Development Report dari UNDP, dikenal istilah human security yang mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen yang merupakan human security, yaitu (1) economic security, (2) food security, (3) health security, (4) environmental security, (5) personal security, (6) community security, (7) political security. Fokus Human Security adalah manusia, bukan negara. Banyak pula pakar berpendapat, walaupun security of the people menjadi tujuan utama, namun itu dapat dicapai dengan memperkuat state security. Berdasarkan uraian di atas istilah keamanan mempunyai pengertian yang beraneka ragam sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan sesuatu. Pengertian istilah keamanan sangat tergantung pada kata yang mengikutinya. Ditinjau dari tatanannya, paling tidak kita bisa mengelompokkan ada 4 (empat) kategori keamanan, yaitu: (1) International Security; (2) National (State) Security; (3) Public Security (And Order), dan (4) Human Security Prof. Dr. Awaloedin Djamin, dalam makalah : Kerancuan Istilah Pertahanan (Defence) dan Keamanan (Security) Dalam Kaitan Tugas TNI dan Polri, Jakarta, April Ibid. 5

7 Domain Keamanan Negara, Keamanan Umum, dan Keamanan Manusia Sehubungan dengan beranekanya pengertian keamanan, maka permasalahannya adalah: apakah konsep keamanan negara mencakup keseluruhan masalah keamanan kehidupan dalam negara, misalnya keamanan umum (Kamtibmas) dan keamanan manusia (human security). Keamanan negara adalah hanyalah salah satu bidang keamanan yaitu yang mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas. Walau saling terkait, keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan, dan kedaulatan negara serta keselamatan bangsa, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi/kelangsungan hidup dan ketentraman individu/kelompok orang yang (pada umumnya) hidup dalam negara. Kelompok orang dalam domain pertama disebut rakyat (people) yang terikat dalam persetambatan politik, sedangkan kelompok yang kedua disebut masyarakat (society/community) yang terikat dalam persetambatan sosial. Karena itu ancaman/gangguan terhadap keamanan negara belum tentu merupakan ancaman/gangguan terhadap ketentraman individu/kelompok/masyarakat. Selanjutnya, keamanan negara dan keamanan umum juga memiliki domain yang berbeda dengan keamanan manusia yang bersifat individual/privat. Keamanan manusia pada dasarnya menyangkut perlindungan atas: (1) hak-hak dasar individu, mencakup: hak hidup, kedudukan sama di mata hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin atau agama; (2) hak-hak legal, mencakup: akses mendapatkan perlindungan hukum serta hak untuk mendapatkan proses hukum yang sah; (3) kebebasan sipil, meliputi: kebebasan berpikir berpendapat dan menjalankan ibadah agama/ kepercayaan; (4) hak-hak kebutuhan dasar, terdiri atas: akses ke bahan pangan, jaminan dasar kesehatan dan terpenuhinya kebutuhan hidup minimum; (5) hak-hak ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak rekreasi serta hak jaminan sosial; dan (6) hak-hak politik, yang mencakup: hak dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Perbedaan prinsip keamanan manusia dengan keamanan negara dan keamanan umum terletak pada sumber ancaman. Ancaman terhadap keamanan manusia 6

8 hampir sebagian besar justru bersumber dari aktor keamanan negara dan keamanan umum. Dibandingkan dengan aktor keamanan umum yang notabene adalah penegak hukum, aktor keamanan negara mempunyai peluang yang lebih besar mengancam perlindungan atas hak-hak tersebut. Telah menjadi catatan sejarah bahwa kepentingan keamanan negara membuka peluang intervensi atas persoalan kehidupan sehari-hari warga masyarakat dan individu. Negara wajib menjamin kebutuhan keamanan dalam segenap aspek kehidupan dalam negara, seperti keamanan dan ketertiban umum sampai keamanan manusia (human security) yang menjadi hak setiap warga negara, tetapi tidak berarti bahwa yang dimaksud dengan keamanan negara adalah totalitas dari segenap permasalahan keamanan yang ada dalam suatu negara. Pengaturan untuk menjamin keamanan bidang lain selain keamanan negara dituangkan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang terkait, misalnya UU tentang Polri, UU tentang HAM, dan lain-lain. Di sini permasalahannya tidak hanya sekadar persoalan ruang lingkup, tetapi mengandung konsekuensi yang lebih mendalam. Karena pada gilirannya akan membuka peluang intervensi atas nama keamanan negara atas persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari warga masyarakat dan individu Memahami Konsep Keamanan Nasional Penggunaan terma nasional dalam konsep keamanan nasional mengundang perdebatan yang serius karena akan mencerminkan ruang lingkup konsep. Apakah Kamnas mencakup segenap masalah keamanan secara luas, mulai dari keamanan negara sampai keamanan publik dan privat atau keamanan manusia, atau hanya terbatas pada keamanan national. Dalam percakapan sehari-hari tema nasional memberi kesan yang berarti menyeluruh (pusat sampai daerah, semua daerah, semua lapisan masyarakat). Contoh, keluarga berencana nasional, badan pertanahan nasional, dan pendidikan nasional. Sementara itu, national dalam Bahasa Inggris berarti nasional dalam pengertian negara atau bangsa. 11 Lihat George Junus Aditjondro, Munir, Imam Prasodjo dan Bambang Widjodjanto dalam Indonesia Di Tengah Transisi, Propatria,

9 Sejalan dengan perkembangan pemahaman tentang security, pada pasca Perang Dunia II, ruang lingkup konsep keamanan nasional (national security) seperti dikutip oleh Komisi Konstitusi (2004) dari Christopher Schoemaker hanya mencakup the protection from external invasion, an attitude primarily driven by the war. Pemahaman yang senada juga ditekankan berbagai literatur, mulai dari pengertian umum dalam kamus (Peter Salim, 2002) sampai pengertian-pengertian khusus yang diberikan oleh pengamat (Edy Prasetyono, 2005; Kusnanto Anggoro, 2004). Pengertian-pengertian tersebut menekankan pada pemahaman yang khusus dalam arti obyeknya, sehingga keamanan nasional tidak mencakup seluruh aspek keamanan dalam suatu negara tetapi difokuskan pada ancaman terhadap negara dan tujuan vital nasional. Sejalan dengan uraian-uraian tersebut, sejumlah pengamat mengemukakan bahwa pengertian keamanan nasional cenderung berorientasi kepada masalah pertahanan dan masalah hubungan luar negeri. Sebagai bahan renungan Andi Widjajanto yang merujuk Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde menekankan: Ketiga pakar strategi ini memperingatkan para pembuat kebijakan untuk tidak terburu-buru mengeskalasi suatu isu menjadi isu keamanan (sekuritisasi). Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan ditangani oleh aktor militer jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan 12 Buzan, Weaver dan Williams mengatakan bahwa sekuritisasi merupakan versi ekstrim dari politisasi dimana pola pergerakan sekuritisasi membawa politik demokrasi melewati batas aturan yang telah diterapkan. 13 Sekuritisasi, dalam hal ini, 12 Prof. Dr. Farouk Muhammad, Keamanan dan Aktor Keamanan, makalah ilmiah: Jakarta, Buzan, Barry, Ole Weaver, dan Jaap de Wilde (1998) Security: A New Framework for Analysis (Boulder, CO: Lynne Rienner) seperti dikutip Paul D Williams (ed) (2008) dalam Security Studies: an Introduction. (New York: Routledge) hal 126 8

10 berada dititik persilangan antara implementasi demokrasi oleh sebuah pemerintahan atau tindakan otoriter untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. 14 Proses sekuritisasi merubah tata cara politik rutin yang biasa dijalankan pada kondisi normal, dan melimitasi diskusi dan debat yang oleh para pengambil kebijakan dipersepsikan dapat menghambat aksi yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Sekuritisasi mendefinisikan ulang pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kepada opsi-opsi yang cepat dan koersif, seringkali berbentuk pengerahan instrumen militer, dan mendelegitimasi solusi-solusi jangka panjang dan negosiasi. 15 Proses sekuritisasi kemudian dapat membawa dampak buruk terhadap komunitas sosial dimana proses tersebut terjadi. Adanya penekanan pada solusi yang reaktif dan situasional mengakibatkan minimnya pemikiran terbaik untuk menyelesaikan masalah dengan opsi yang menitikberatkan pada korban yang mungkin jatuh akibat proses tersebut. Proses sekuritisasi telah menjadi pengamatan banyak pihak, dan membawa kekhawatiran bahwa proses ini seringkali akan digunakan oleh negara dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang terjadi. SBY sendiri mengingatkan: agar kita berhati-hati dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan wilayah yang kritikal, yaitu the use of military force (Susilo B. Yudhoyono, 2004). 2.2 Amanat UUD 1945 dan Aspek Legalitas Amanat UUD 1945 Prinsip dasar tentang politik keamanan tertuang dalam Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa: (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2) tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (3) setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pada Bab XII Pasal 30 UUD Pasal 30 amandemen menyebutkan bahwa: 14 Didier Bigo. International Political Sociology dalam Paul D Williams (ed) (2008) Security Studies: an Introduction. (New York: Routledge) hal Ibid 9

11 (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. (2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syaratsyarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. Berangkat dari Pasal 30 UUD 1945 tersebut terlihat bahwa Konstitusi tidak berbicara tentang "keamanan nasional" tetapi "pertahanan dan keamanan negara" atau "keamanan negara". Pasal 30 juga tidak berbicara tentang keamanan insani, melainkan hanya menyangkut ancaman terhadap keamanan negara. Pengaturan terkait keamanan insani tertuang dalam Pasal 28. Jika gangguan terhadap keamanan insani sudah sedemikian krusial sehingga keutuhan negara/bangsa sudah terancam maka isu keamanan insani dapat menjadi porsi keamanan negara. Akan tetapi gangguan terhadap keamanan insani yang masih dalam kondisi normal/biasa cukup ditangani secara reguler oleh institusi yang bersangkutan. 10

12 Aspek Legalitas Suatu rancangan peraturan perundang-undangan keberadaannya harus memiliki landasan filosofis, landasan normatif, dan landasan sosiologis. Landasan filosofis terkait dengan ide negara (staatsidee) yang hendak diwujudkan. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mengilhami konstitusi. Landasan normatif terkait dengan sistem hukum yang berlaku secara keseluruhan. Suatu rancangan undang-undang harus disusun berdasarkan logika dan konsistensi baik vertikal maupun horisontal dari keseluruhan norma hukum yang ada. Sedangkan landasan sosiologis adalah kondisi sosial yang mendasari adanya kebutuhan pengaturan masalah tertentu. Lebih lanjut, pembuatan suatu RUU harus selalu mempertimbangkan asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memuat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai berikut: a. Kejelasan tujuan. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang - undangannya. d. Dapat dilaksanakan. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. 11

13 e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Kejelasan rumusan. Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Human Security Dengan dijadikannya demokrasi sebagai sistem politik maka sudah menjadi keharusan bagi seluruh komponen bangsa untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Pada esensinya, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM sesungguhnya telah menjadi perhatian dan perjuangan umat manusia bersamaan dengan perkembangan peradaban mencapai kemuliaan kehidupan manusia. HAM adalah anak sejarah yang dilahirkan dan diperjuangkan oleh umat manusia. Maka universalitas HAM tidak bisa dipungkiri lagi. Konsepsi dasar HAM adalah pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Semua manusia dikaruniai akal budi dan hati nurani untuk saling berhubungan dalam semangat persaudaraan. Konsepsi hak asasi manusia 12

14 membuat perbedaan status, seperti ras, gender, agama, dan status sosial menjadi tidak relevan secara politis dan hukum yang menuntut adanya perlakuan yang sama. Jika konsepsi HAM telah menjadi suatu keyakinan dan suara hati nurani, maka adalah hak asasi seseorang untuk mempertahankan, menyampaikan keyakinan tersebut. Dalam konteks itu, hak asasi manusia adalah hak yang tidak dapat dicabut, dalam arti seseorang tidak dapat berhenti menjadi manusia, tidak peduli betapa jahatnya dia bertingkah, atau betapa zalimnya ia diperlakukan. Pada dekade kini HAM tidak lagi sebatas nilai tetapi telah menjadi bagian dari norma hukum internasional yang wajib dipatuhi dan ditaati masing-masing negara. Banyak perjanjian-perjanjian internasional telah dilahirkan sehingga menuntut negara untuk menghormati dan mengimplementasikannya. Dalam konteks kenegaraan, peran negara dalam penegakkan HAM meliputi upaya pemenuhan (to fullfil), perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), promosi atau sosialisasi (to promote) nilainilai dan hukum HAM yang ada. Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia juga merupakan salah satu inti dari konsep human security (keamanan insani) dimana keamanan manusia pada dasarnya menyangkut perlindungan atas: (1) Hak-hak dasar individu, mencakup, hak hidup, kedudukan sama didepan hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin atau agama; (2) Hak-hak legal, mencakup: akses mendapatkan perlindungan hukum, serta hak untuk mendapatkan proses hukum yang sah; (3) Kebebasan sipil, meliputi: kekebasan berpikir, berpendapat dan menjalankan ibadah agama/kepercayaan; (4) Hak-hak kebutuhan dasar, terdiri atas: akses kebutuhan bahan pangan, jaminan dasar kesehatan dan terpeliharanya kebutuhan hidup minimum; (5) Hak-hak ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak untuk rekreasi serta hak jaminan sosial: dan (6) Hak-hak politik, yang mencakup: hak dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggara negara. Substansi human security yang menjadikan HAM sebagai inti nilai didalamnya sesungguhnya tertuang dengan jelas dalam Pasal 28 UUD Dalam hal yang lebih khusus adalah sangat penting untuk memahami adanya kesepakatan tentang hak-hak asasi minimal yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan atau situasi 13

15 apapun, dimana hak-hak asasi minimal itu disebut sebagai non derogable rights atau hak-hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Hak-hak minimal tersebut meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28 I UUD 1945). Terkait dengan itu maka tidak boleh dan tidak dibenarkan negara dengan atas nama keamanan nasional melanggar hak-hak asasi itu apalagi hak yang bersifat nonderogable rights. Meski pada praktiknya, isu HAM acapkali bertentangan dengan upaya pertahanan dan penegakan keamanan negara yang cenderung bersifat represif. Karena itu, perlu ada kebijakan penegakan keamanan insani. Perwujudan dari kewajiban warga negara dalam ikut membela dan menjamin keamanan negara juga harus dilakukan atas dasar kesadaran berlandaskan asas proporsional dan profesional. Dalam tata kelola keamanan menjadi penting bagi aktor-aktor keamanan untuk menjadikan nilai-nilai dan hukum HAM yang ada sebagai nilai dan rambu-rambu dasar dalam menjalankan tugas dan tindakannya Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan a.supremasi Sipil Pada dasarnya prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil mengendalikan aktor-aktor keamanan negara melalui pejabat-pejabat sipil yang dipilih oleh rakyat. Prinsip ini mensyaratkan agar militer, polisi, dan intelijen tunduk dan patuh terhadap otoritas sipil sesuai dengan tata aturan hukum yang berlaku. Pengendalian otoritas sipil terhadap aktor-aktor keamanan negara itu diarahkan pada upaya pengendalian sipil secara obyektif dengan cara memperbesar profesionalisme aktor-aktor keamanan. Lebih lanjut, dalam sistem pemerintahan Presidensial maka Presiden memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Karenanya, Presiden berwenang untuk menentukan kebijakan umum keamanan nasional, berwenang untuk melakukan pengerahan kekuatan bersenjata dan menetapkan status darurat yang dalam level tertentu perlu 14

16 mendapatkan persetujuan parlemen. Dalam konstitusi secara tegas menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara serta kepolisian. Dengan demikian, tidak dimungkinkan kewenangan-kewenangan tersebut dilakukan oleh aktor negara lainnya selain Presiden. Pada prinsipnya pengelolaan fungsi keamanan negara bersifat terpusat. Fungsi keamanan negara tidak diserahkan ke daerah yang telah diberi otonomi. Sebagai organisasi yang sifatnya terpusat keberadaan aktor-aktor keamanan berada di bawah kendali Presiden sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi. Esensi kontrol dan kendali terpusat tersebut sesungguhnya memiliki fungsi untuk membangun dan mengarahkan pembangunan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terukur, efektif, dan efisien. Sebab, jika fungsi pertahanan dan keamanan didesentralisasikan maka dapat mempersulit negara untuk membangun kesatuan sistem pertahanan dan keamanan negara yang komprehensif. Selain itu, prinsip terpusat juga mengandung makna perlu adanya pengalokasian anggaran untuk aktor-aktor keamanan yang dilakukan secara terpusat melalui APBN. Sifat sentralitas dalam pengalokasian anggaran itu ditegaskan dalam UU tentang Pertahanan Negara dan UU tentang Polri. Dengan demikian, prinsip sentralitas tidak memberi kemungkinan bagi aktor-aktor keamanan untuk mendapatkan anggaran di luar APBN (non-budgeter). Sebab, dalam praktiknya, penggunaan dana-dana di luar APBN oleh lembaga-lembaga negara mengakibatkan suburnya praktik korupsi. Di masa reformasi, dana-dana non-budgeter menjadi bagian agenda dan tuntutan yang harus dihapuskan (kecuali mobilisasi). Dalam kondisi negara yang mengalami eskalasi ancaman keamanan yang tinggi, maka pemerintah dapat menetapkan status keadaan darurat militer. Oleh karena itu, negara dapat melakukan mobilisasi terhadap rakyat untuk kepentingan pertahanan negara dan menjaga integritas wilayah Indonesia. b. Transparansi dan Akuntabilitas Prinsip transparansi dan akuntabilitas secara sederhana dapat diartikan sebagai prinsip yang menginginkan adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban negara 15

17 kepada publik ketika mengelola dan menjalankan seluruh tugas dan fungsi kenegaraannya. Keterbukaan atau transparansi dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip atau pilar negara demokrasi demi terwujudnya kontrol sosial. Transparansi dan kontrol sosial dibutuhkan untuk dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah bentuk representation in ideas yang tidak selalu inheren dalam representation in presence. Transparansi menyiratkan makna pentingnya akses informasi bagi warga negara untuk mengetahui segala tindakan yang dilakukan negara. Sebagai wujud dari konsepsi kedaulatan rakyat, rakyat harus mengetahui segala hal tentang penyelenggaraan negara yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat, atau yang disebut sebagai kepentingan publik. Sebab, jika publik tidak mengetahui segala sesuatu tentang penyelenggaraan negara, maka dengan sendirinya rakyat tidak dapat menjalankan fungsi kedaulatannya. Akibatnya, negara menjadi organ yang terpisah dan otonom dari publik. Pemerintahan berubah menjadi pemerintahan birokratik otoriter. Sedangkan prinsip akuntabilitas mengandung makna: pertama, perlu adanya pemerintahan yang bertanggungjawab, yang segala perbuatan dan tindakannya bisa diawasi dan dikendalikan oleh masing-masing lembaga negara sesuai dengan fungsinya serta bisa diawasi oleh warga negara. Ini merupakan lawan dari pemerintahan yang tiranik dan otoritarian yang bisa berbuat dan bertindak sesuka hati tanpa kendali sama sekali. Kedua, hak-hak warga negara perlu dikedepankan agar memungkinkan bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja lembaga-lembaga negara. Pada dasarnya prinsip akuntabilitas mengharuskan perlunya pertanggungjawaban publik seorang pemimpin kepada yang dipimpin atau dalam hal ini kepada warga negaranya. Dalam konteks tata kelola keamanan, seluruh aktor-aktor keamanan diberikan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan seluruh tugas, tindakan, dan anggaran yang digunakan kepada Presiden maupun kepada parlemen. Hal ini membawa 16

18 konsekuensi pentingnya fungsi pengawasan (oversight) oleh parlemen, DPD dan juga mengharuskannya (DPR, DPD, maupun Pemerintah) untuk bersikap transparan dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik, dengan memberikan akses informasi yang luas kepada publik kendati dalam hal-hal tertentu bersifat rahasia dalam jangka waktu yang ditentukan DPR, DPD, maupun Pemerintah patut untuk membukanya kepada publik Pengelolaan Keamanan Negara Pengelolaan keamanan negara yang dilakukan oleh TNI, Polri, dan intelijen selama ini tentunya didasarkan pada mandat dan kewenangan yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan regulasi bidang keamanan lain yang terkait. Harus diakui terbentuknya beberapa aturan tersebut merupakan capaian positif dari reformasi sektor keamanan, meski masih terdapat beberapa kelemahan. Di dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa tugas pokok TNI meliputi operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yang meliputi mengatasi gerakan separatisme bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan 17

19 kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu Pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Namun demikian tugas operasi militer selain perang itu baru bisa dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (3)). Berdasarkan kedua undang-undang itu maka sebenarnya ketentuan yang membedakan tugas dan fungsi TNI dan Polri sudah cukup memadai, sementara Undang-Undang tentang Intelijen masih dalam proses pembahasan oleh Pemerintah dan DPR. Dalam konteks itu, upaya pertahanan relatif tidak ada permasalahan. Upaya pembinaan keamanan umum pada umumnya juga tidak ada permasalahan. Permasalahan timbul ketika menghadapi gangguan-gangguan keamanan dari dalam negeri yang menunjukkan eskalasi yang meningkat, yang tidak dapat dihadapi melalui skema upaya pertahanan atau status darurat militer tetapi juga dipandang tidak mampu lagi dihadapi dengan skema penegakan keamanan umum. Hal inilah yang dalam beberapa kasus menimbulkan permasalahan hubungan antara TNI dan Polri dalam mengatasi kondisi dan situasi tersebut. Dalam beberapa kasus seperti di Poso, Sampit, Ambon, Sambas, dan terorisme (internasional) acapkali terjadi ketidakcocokan, ketidaksinkronan dan bahkan terjadi bentrokan antara personil TNI dan Polri dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Tidak jarang pula terjadi overlapping dan tumpang tindih kerja diantara keduanya. Alhasil, situasi itu justru menimbulkan kerumitan sendiri di lapangan dalam menjaga kondisi keamanan. Sebagai contoh dalam penanggulangan kasus terorisme, anggota Detasemen 88 (antiteror) Polda Jawa Tengah menilai bahwa menurutnya seseorang yang dicurigai terkait dengan bom di Jimbaran dan Kuta gagal ditangkap karena terlalu banyaknya satuan Intel yang turun dan tak berkomunikasi. Target sudah kabur karena ternyata di tempat itu sudah ada intel Kopassus, intel kodam, dan sebagainya. Menurutnya seperti ada rivalitas dan tidak ada komunikasi sehingga banyak hal menjadi mubazir Koran Tempo, 3 Oktober

20 Lebih dari itu, Panglima TNI yang ketika itu dijabat oleh Jenderal TNI Endriartono Sutarto menyatakan bahwa sejak awal reformasi tercatat telah terjadi bentrok antara anggota TNI dan Polri sebanyak 15 (lima belas) kali. Mulai dari Ambon, Sampit, Jambi, Aceh Barat, Bogor, dan di Yapen Waropen, hingga Papua. Dalam perjalanannya, kasus bentrok yang melibatkan anggota kedua institusi tersebut masih saja terjadi hingga sekarang. Kasus-kasus bentrokan antara personil TNI dan Polri serta terjadinya tumpang tindih kerja antara TNI dan Polri tentu saja dilatarbelakangi oleh banyak aspek. Mulai dari masalah ego sektoral dan perbedaan pemahaman tentang reformasi sejak proses pemisahan tahun Namun demikian, alasan yang lebih mendasar adalah bahwa hal itu terjadi karena sejak ditetapkannya Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 karena terdapat kecenderungan bahwa penanganan gangguan keamanan dilakukan secara sektoral. Polri merasa dirinya sebagai penanggungjawab keamanan, sementara TNI cenderung bersikap "lepas tangan" karena memandang diri hanya sebagai kekuatan pertahanan. Situasi grey area itulah yang membuat terjadinya konflik dan ketegangan antara TNI dan polri. Terkait dengan persoalan itu, Presiden SBY di atas KRI Nusa Nive tanggal (penanda tanganan MoU antara Panglima TNI dan Kapolri) menyikapi dengan menyatakan bahwa kalau ada masalah-masalah yang belum klop di antara piranti lunak itu, maka menjadi kewajiban kita ke depan nanti untuk membikin klop sehingga tidak ada perbedaan tafsir, tidak ada daerah yang vakum, juga tidak ada yang overlap. Kalau overlap itu bagian dari koordinasi, sinkronisasi dan sinergi, saya kira wajar dalam organisasi yang mengemban tugas dalam hubungan yang besar tadi. Tetapi kalau overlap dan kevakuman itu karena absennya pengaturan di dalam piranti lunak, maka kita harus isi sehingga lebih pasti, tidak memberikan persoalan di lapangan. Mari kita pedomani itu sebagai rujukan berpikir kita Op.Cit, Prof. Dr. Farouk Muhamad, Kajian konstitusional hal 3. 19

21 2.6. Perbantuan Situasi ini terjadi karena belum dirumuskannya aturan UU mengenai perbantuan kekuatan TNI dalam rangka membantu tugas Polri. DPD RI mendorong Pemerintah untuk segera menyelesaikan UU yang dimaksud Perbandingan Negara Lain Amerika Serikat Christopher Schoemaker menekankan bahwa national security di Amerika Serikat mengandung pengertian: the protection of the United States from major threats to our territorial, political, or economic well-being. AS menggunakan istilah national untuk pengertian negara federasi (USA), bukan state yang berarti negara bagian. Bahkan bagi AS national security adalah keamanan kawasan dunia yang mengancam negara AS, sementara untuk keamanan dalam negeri mereka mengembangkan homeland security.18 Pembentukan National Security Act di AS merubah drastis struktur militer dan intelijen Amerika Serikat dan secara langsung mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. 19 Ditandatangani oleh presiden Harry S Truman pada tanggal 26 Juli Undang-undang ini merubah bentuk organisasi militer di Amerika Serikat termasuk berdirinya Angkatan Udara secara terpisah dari Angkatan Darat, dan diperbolehkannya Angkatan Laut Amerika Serikat untuk mempunyai kemampuan tempur udara. Undang undang ini juga secara nyata membentuk komunitas intelijen Amerika Serikat dengan didirikannya The Central Intelligence Agency (CIA) dan sebuah jabatan khusus yang menangani intelijen pusat. Undang-undang ini membentuk National Security Council atau Dewan Keamanan Nasional yang merupakan sebuah komite yang terdiri dari sebelas kursi anggota yang diketuai oleh presiden Amerika Serikat. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan besar saat 18 Op.Cit, Prof. Dr. Farouk Muhamad (keamanan nasional dalam keamanan ), hal

22 ditandatanganinya National Security Reform Act dan Terrorism Prevention Act of Dewan Keamanan Nasional menjadi tempat utama bagi terjadinya perumusan masalah-masalah keamanan nasional Amerika Serikat. Dewan ini bertugas khusus untuk memberikan masukan kepada Presiden Amerika Serikat mengenai hal-hal apa saja yang menyangkut keamanan nasional termasuk integrasi kebijakan domestik, luar negeri, dan militer yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja militer dan instrumen negara termasuk departemen-departemen dan agensi lainnya untuk berkoordinasi dalam bidang-bidang yang termasuk keamanan nasional. Dalam hal pengaturan mengenai status darurat, Amerika Serikat memberlakukan pengaturan mengenai status darurat dalam undang-undang yang terpisah, yaitu The National Emergencies Act of Aktor keamanan yang diatur dalam National Security Act, meliputi: 21 (1) National Security Council; (2) National Security Resources Board; (3) Jajaran Departemen Pertahanan, termasuk; Angkatan Darat, Laut dan Udara. Sementara itu, komunitas intelijen mencakup: (1) The Office of the Director of National Intelligence; (2) The Central Intelligence Agency; (3) The National Security Agency; (4) The Defense Intelligence Agency; (5) The National Geospatial-Intelligence Agency; (6) The National Reconnaisance Office; (7) Kantor-kantor lainnya yang berada dibawah departemen pertahanan yang bertugas untuk mengumpulkan data intelijen melalui program-program pengintaian; (8) Elemen intelijen angkatan termasuk angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, marinir, FBI, dan departemen energi; (9) Biro Intelijen dan riset Departemen Luar Negeri Amerika Serikat;

23 (10) Kantor Intelijen dan Analisis Departemen Keuangan Amerika Serikat; (11) Elemen-elemen Departemen Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security) yang berkenaan dengan analisis intelijen, termasuk kantor intelijen lepas pantai; (12) Elemen-elemen intelijen lainnya yang ditunjuk oleh Presiden maupun Direktur Intelijen Nasional yang termasuk kedalam komunitas Intelijen. Berangkat dari penjelasan itu maka bisa dilihat bahwa pengaturan keamanan nasional di AS bersifat terbatas yakni lebih ditujukan pada pengaturan manajemen keamanan negara. Tugas Dewan Keamanan Nasional tidak sampai menentukan status keamanan nasional melainkan hanya memberikan rekomendasi dan laporan kepada Presiden tentang kondisi keamanan nasional. Penentuan penetapan kondisi keamanan nasional ditentukan oleh Presiden. Pengaturan tentang status darurat tidak diatur dalam Undang-Undang Keamanan Nasional tetapi diatur dalam undangundang yang terpisah. Tidak ada lembaga koordinasi keamanan nasional daerah/negara bagian yang diatur dalam UU Keamanan Nasional AS Turki Secara mendasar, Turki menetapkan Undang-Undang yang berhubungan dengan masalah keamanan nasionalnya kedalam 6 (enam) undang-undang terpisah, yaitu: (1) Undang-Undang No mengenai pembentukan otoritas khusus keadaan darurat 24 jam dalam penerapan undang-undang kegawat daruratan 22 (2) Undang-Undang Kegawat Daruratan No (3) Undang-Undang Mobilisasi Perang No (4) Undang-Undang No mengenai Dewan Keamanan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Keamanan Nasional sayılı Nöbetçi Memurluğu Kurulmasını ve Olağanüstü Hal Tatbikatlarında Mesainin 24 Saat Devamını Sağlayan Kanun diakses melalui alamat Sayılı Olağanüstü Hal Kanunu diakses melalui alamat Sayılı Seferberlik ve Savaş Hali Kanunu diakses melalui alamat 22

24 (5) Undang-Undang No mengenai Pertahanan Sipil 26 (6) Undang-Undang No mengenai Bencana dan Manajemen Kedaruratan: Organisasi dan Tanggung Jawab Presiden 27 Dewan Keamanan Nasional di Turki didirikan pada tahun 1961 dengan kalimat yang tertera pada Artikel 111 pada Konstitusi 1961 Turki. Dewan ini terdiri dari Presiden, Perdana Menteri, Deputi Perdana Menteri, Menteri Hukum dan Keadilan, Kepala Staf Militer Turki, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan Nasional, Menteri Luar Negeri, dan Pemimpin Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Pasukan Wajib Militer (Gendarmarie). Artikel ke-4 Undang-Undang No mengenai Dewan Keamanan Nasional Turki menyatakan bahwa Dewan Keamanan Nasional Turki berkewajiban memberikan saran pada isu-isu yang termasuk kedalam identifikasi dan implementasi dari koordinasi yang dianggap perlu untuk keamanan negara. Perdana Menteri dan jajaran menteri lalu akan membawa rekomendasi kebijakan untuk kemudian dipertimbangkan dan ditetapkan menjadi sebuah kebijakan. Artikel ke-5 Undang-Undang No mengenai Dewan Keamanan Nasional Turki menyatakan bahwa dewan ini akan mengadakan pertemuan setiap dua bulan atau apabila diperlukan oleh Perdana Menteri atas usulan Presiden. Pertemuan Dewan akan dipimpin oleh Presiden, dan apabila Presiden berhalangan akan dapat digantikan oleh perdana menteri. Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Turki dipilih oleh Perdana Menteri Turki dengan persetujuan Presiden Sayılı Milli Güvenlik Kurulu ve Milli Güvenlik Kurulu Genel Sekreterliği Kanunu diakses melalui alamat Sayılı Sivil Savunma Kanunu diakses melalui alamat Sayılı Afet ve Acil Durum Yönetimi Başkanlığının Teşkilat ve Görevleri Hakkında Kanun diakses melalui alamat 23

25 BAB III PANDANGAN UMUM 3.1. Kebutuhan Pembentukan Undang-Undang, Penamaan, dan Aspek Legalitas DPD berpandangan bahwa pembentukan RUU Keamanan Nasional patut dipertanyakan secara konstitusional. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Pasal 30 UUD 1945 tidak berbicara tentang "keamanan nasional" tetapi "pertahanan dan keamanan negara" atau "keamanan negara". Pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg/Kamneg) sebagaimana ditegaskan Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 sesungguhnya menjelaskan tentang usaha menjaga kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara dari ancaman yang datangnya dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Keamanan negara mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas dimana negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar kepentingan keamanan. Hal ini di dasarkan atas pandangan bahwa semua fenomena keamanan adalah fenomena tentang negara dan karenanya negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara. Karena itu, ancaman/gangguan terhadap keamanan negara belum tentu merupakan ancaman/gangguan terhadap keamanan manusia/kelompok/masyarakat. Berbicara tentang keamanan negara tentu tidak perlu berbicara tentang perkelahian dua orang penduduk, apalagi perkelahian suami istri. Juga tidak perlu mencakup pernyataan pendapat seseorang yang berbeda dengan pemerintah atau bahkan mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti yang kita alami di masa lalu. Tetapi keamanan negara juga tidak hanya berbicara tentang ancaman invasi militer dari luar negeri. Pemberontakan atau gerakan separatis bersenjata bahkan konflik komunal yang menimbulkan kerusuhan yang anarkis dapat mengancam keamanan negara. 24

26 DPD juga berpandangan bahwa penggunaan terma nasional dalam konsep keamanan nasional juga mengundang perdebatan yang serius karena akan mencerminkan ruang lingkup konsep. Berdasarkan gambaran pengertian yang diuraikan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep keamanan nasional tidak lalu berarti keamanan secara nasional. Keamanan nasional lebih mengandung pengertian keamanan suatu negara sebagai satu kesatuan (entitas), bukan totalitas keseluruhan masalah keamanan, yaitu keamanan negara dan keamanan kehidupan dalam suatu negara. Meski hakikat keamanan nasional sesungguhnya perwujudan dari keamanan yang menyeluruh (comprehensive security), 28 namun demikian pengertian keamanan nasional semestinya terbatas pada "keamanan negara", artinya keamanan dari ancaman terhadap negara sebagai suatu entintas, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang membahayakan eksistensi, keutuhan dan kedaulatannya serta keselamatan bangsanya. Dalam konteks itu, menjadi penting untuk pembuat kebijakan agar tidak terburu-buru mengeskalasi suatu isu menjadi isu keamanan (sekuritisasi). Hal itu dikarenakan sekuritisasi mendefinisikan ulang pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kepada opsi-opsi yang cepat dan koersif, seringkali berbentuk pengerahan instrumen militer, dan men-delegitimasi solusisolusi jangka panjang dan negosiasi. Proses sekuritisasi kemudian dapat membawa dampak-dampak buruk terhadap komunitas sosial dimana proses tersebut terjadi. Adanya penekanan pada solusi yang reaktif dan situasional mengakibatkan minimnya pemikiran terbaik untuk menyelesaikan masalah dengan opsi yang menitikberatkan pada korban yang mungkin jatuh akibat proses tersebut. Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan ditangani oleh aktor militer jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan 28 comprehensive security meyakini bahwa ancaman dapat tertuju bukan hanya kepada wilayah negara dan otoritas negara tetapi juga pada segala sesuatu yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kesejahteraan manusia (konsep multidimensional) sehingga mengharuskan negara menyiapkan beragam aktor keamanan untuk mengelolanya. 25

27 telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan. DPD mengakui dan menyambut positif langkah pemerintah yang memasukkan isu keamanan insani yang intinya adalah berbicara tentang pengakuan dan perlindungan HAM sebagai pasal yang diatur dalam RUU Keamanan Nasional. Keamanan insani yang intinya adalah pengakuan HAM memang ditegaskan dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun Namun demikian, gangguan terhadap isu keamanan insani baru bisa menjadi ancaman terhadap keamanan negara apabila gangguan terhadap keamanan insani sudah sedemikian krusial sehingga keutuhan negara/bangsa sudah terancam. Akan tetapi jika gangguan terhadap keamanan insani yang masih dalam kondisi normal/biasa cukup ditangani secara reguler oleh institusi yang bersangkutan. Itu artinya pengaturan tentang keamanan insani sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundangan lain yang sudah ada dan tidak perlu lagi diatur dalam undang-undang keamanan nasional (keamanan negara) semisal telah diatur dalam UU Kesehatan, UU HAM, dan lain-lain. RUU Keamanan Nasional cukup mencantumkan dan menegaskan bahwa nilai-nilai HAM yang terkandung dalam Konstitusi sebagai dasar mengingat dan sebagai asasasas dalam RUU itu serta pentingnya pengaturan mengenai perlindungan hak-hak korban dalam RUU Keamanan Nasional. Di lain pihak, DPD berpandangan bahwa dalam aspek legalitas penamaan RUU Keamanan Nasional tidak sejalan dengan UUD 1945 sehingga secara langsung tentunya juga tidak selaras dengan tata cara pembentukan peraturan perundangundangan yang mensyaratkan bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada UUD. Pembentukan RUU Keamanan Nasional juga belum secara utuh memenuhi asas-asas dalam pembuatan suatu peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun Hal itu terlihat dari rumusan pengaturan RUU Kamnas yang terkait dengan masalah sistematika dan pilihan kata atau terminologi dan bahasa hukumnya belum jelas dan belum mudah dimengerti, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi. Di sini secara legalitas, RUU Keamanan Nasional berada pada posisi 26

CATATAN TANGGAPAN TERHADAP RUU KAMNAS

CATATAN TANGGAPAN TERHADAP RUU KAMNAS CATATAN TANGGAPAN TERHADAP RUU KAMNAS Prof. Dr. Farouk Muhammad I. Naskah Akademik 1. Penyusunan norma (Bab II.A) didasarkan pada hakekat kepentingan nasional dan kesejahteraan nasional serta kepentingan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA RUU KEAMANAN NASIONAL. Oleh: Al Araf

PROBLEMATIKA RUU KEAMANAN NASIONAL. Oleh: Al Araf PROBLEMATIKA RUU KEAMANAN NASIONAL Oleh: Al Araf WHAT IS SECURITY? 1. Security = Securus (Latin) = terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan, terbebas dari ancaman. 2. Dua Pendekatan: a) Traditional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEAMANAN NASIONAL Jakarta, 16 Oktober 2012 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEAMANAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI

PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI PENDAHULUAN Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya

Lebih terperinci

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si ISU STRATEGIS BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN DALAM RPJMN 2015-2019 PENINGKATAN KAPASITAS DAN STABILITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Konsep keamanan nasional dalam RUU Keamanan Nasional pada. dasarnya telah menerapkan konsep keamanan non tradisional.

BAB V PENUTUP. 1. Konsep keamanan nasional dalam RUU Keamanan Nasional pada. dasarnya telah menerapkan konsep keamanan non tradisional. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsep keamanan nasional dalam RUU Keamanan Nasional pada dasarnya telah menerapkan konsep keamanan non tradisional. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek: a. Origin

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL ANATOMI KEAMANAN NASIONAL Wilayah Negara Indonesia Fungsi Negara Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap negara, apapun ideologinya, menyeleng garakan beberapa fungsi minimum yaitu: a. Fungsi penertiban

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Tgl 17 Agustus 2010 Final RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEAMANAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA Disusun Oleh: I Gusti Bagus Wirya Agung, S.Psi., MBA UPT. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA U N I V E R S I T A S U D A Y A N A B A L I 2016 JUDUL: PENDIDIKAN

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pertahanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA

KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR : 7 TAHUN 2008 TANGGAL : 26 JANUARI 2008 KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA A. UMUM. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan usaha untuk

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No.1690, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Materi Muatan HAM dalam pembentukan Peraturan Perundang-ndangan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang mempunyai peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun lembaga polisi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Bernadus Ardian Ricky M (105010100111087) KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi I. Pendahuluan Kontroversi dan pro kontra berkaitan dengan pembahasan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) memasuki babak baru. Tarik menarik dan penolakan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010 2014 A. PENDAHULUAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

RUU KEAMANAN NASIONAL (RUU KAMNAS)

RUU KEAMANAN NASIONAL (RUU KAMNAS) RUU KEAMANAN NASIONAL (RUU KAMNAS) Makassar, 6 November 2012 KONDISI SAAT INI (MENGAPA) ASPEK HISTORIS : - UU No. 6/1946 tentang Keadaan Bahaya - UU No. 74/1957 tentang Pencabutan Regelling of de Staat

Lebih terperinci

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HSL RPT TGL 5 MART 09 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 No.1459, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Prajurit TNI. Status Gugur/Tewas. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG STATUS GUGUR ATAU TEWAS BAGI PRAJURIT

Lebih terperinci

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pertahanan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-59 - - 60 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KEDUA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan

Lebih terperinci

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :) Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :) Berikut ini adalah contoh soal tematik Lomba cerdas cermat 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayoo siapa yang nanti bakalan ikut LCC 4 Pilar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Meninbang : a. bahwa Negara mengakui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

Lebih terperinci

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan dalam UUD 1945, maka segala sesuatu yang berhubungan

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun 1945 Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA NASIONAL INTERNASIONAL LOKAL / DAERAH INTERNASIONAL dalam konteks pergaulan antar bangsa (Internasional) Penghargaan dan

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh

Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh No. : Hal : Lampiran : 4 lembar Jakarta, 7 Januari 2013 Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh Dengan ini saya yang bertandatangan di bawah ini menjelaskan tentang alasan yang membuat kami yakin

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN Ignatius Mulyono

KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN Ignatius Mulyono KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN 2011 Ignatius Mulyono BALEG DAN PROLEGNAS Salah satu tugas pokok Baleg sebagai pusat pembentukan undang-undang, adalah menyusun rencana pembentukan undang-undang.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 3-2002 lihat: UU 1-1988 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 51, 1982 (HANKAM. POLITIK. ABRI. Warga negara. Wawasan Nusantara. Penjelasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2013 TENTANG PENGAMANAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN, MANTAN PRESIDEN DAN MANTAN WAKIL PRESIDEN BESERTA KELUARGANYA SERTA TAMU NEGARA SETINGKAT KEPALA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1

ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1 ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1 LANDASAN KONSTITUSIONAL Sebagaimana ditentukan dalam Alinea ke-iv Pembukaan UUD 1945, tujuan pembentukan Pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pertahanan

Lebih terperinci

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati, PANDANGAN FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR RI TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Disampaikan Oleh : Pastor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut UU No 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut UU No 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah- Nya yang wajib dihormati,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H. TRAINING OF TRAINER (TOT) PENGEMBANGAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA BAGI GADIK SATUAN PENDIDIKAN POLRI Hotel Jogjakarta Plaza, 21 24 Maret 2016 MAKALAH HAM dan Kebebasan Beragama Oleh: M. syafi ie, S.H.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2013 TENTANG PENGAMANAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN, MANTAN PRESIDEN DAN MANTAN WAKIL PRESIDEN BESERTA KELUARGANYA SERTA TAMU NEGARA SETINGKAT KEPALA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT Title? Author Riendra Primadina Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov 2010 14:10:06 GMT Author Comment Hafizhan Lutfan Ali Comments Jawaban nya...

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN 2011

KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN 2011 KEBIJAKAN PENYUSUNAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN 2011 Ignatius Mulyono A. Pendahuluan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) membawa perubahan mendasar dalam kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbitnya Undang-Undang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 88 TAHUN 2000 TENTANG KEADAAN DARURAT SIPIL DI PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PRESIDEN

Lebih terperinci

MI STRATEGI

MI STRATEGI ------...MI STRATEGI KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, buku "Strategi Pertahanan Negara" yang merupakan salah satu dari produk-produk strategis di bidang pertahanan

Lebih terperinci