DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA"

Transkripsi

1 TESIS DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA ROSITA SARI SUTANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

2 TESIS DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA ROSITA SARI SUTANTO NIM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

3 DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combine Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana ROSITA SARI SUTANTO NIM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

4 DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Kulit dan Kelamin Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar ROSITA SARI SUTANTO NIM PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2013

5 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 4 Juni 2013 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof.dr.Made Swastika A., Sp.KK(K), FINS-DV dr.ketut Tangking W., MPH NIP NIP Mengetahui, Ketua Program Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP NIP

6 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 30 Mei 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, No : 0735/UN14.4/HK/2013, Tanggal 29 Mei 2013 Ketua Sekretaris : Prof.dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINS-DV : dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH 1. Prof.Dr.dr.N. Adiputra, MOH 2. Prof.dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK 3. Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And, FAACS

7 UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-nya maka tesis yang berjudul: Derajat Penyakit Acne Vulgaris Berhubungan Positif dengan Kadar MDA dapat diselesaikan. Penulis menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : - Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD (KHOM) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. - Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree). - Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, yang telah memberikan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree).

8 - Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr I Wayan Sutarga, MPHM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. - Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan pembimbing karya akhir penulis, Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K) FINS-DV yang telah memberikan kesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. - dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH., selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya akhir ini. - Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai pada akhir pendidikan penulis. - Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH., Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK, dan Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku penguji, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan, penyelesain karya akhir ini.

9 - Laboratorium Prodia Denpasar, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menggunakan prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran penelitian ini serta segala bimbingan, petunjuk dan saran perbaikan sehingga memungkinkan karya akhir ini terwujud. - Semua kepala Divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. - Rekan-rekan sejawat PPDS I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang baik selama masa pendidikan ini berlangsung. - Seluruh tenaga paramedis dan non medis di Unit Rawat Jalan yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada ayah dr. Irwan Sutanto dan ibu dr. Winarni Abadi, yang telah dengan penuh kasih sayang dan cinta membesarkan, mendidik, mendukung dan selalu memberikan semangat kepada penulis hingga pendidikan ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula kepada suami tercinta dr. Johannes Hartono serta anakku tersayang Jessica Nathania Hartono atas segala pengertian, kesabaran, dan pengorbanannya selama ini serta semangat yang tiada hentinya selama penulis menjalani program pendidikan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang belum tercantum namanya di sini yang telah membantu menyelesaikan karya akhir ini.

10 Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini sangat jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk kearah perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan. Denpasar, Juni 2013 Rosita Sari Sutanto

11 ABSTRAK DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis, berulang dan sering menimbulkan scar wajah yang permanen dan masalah psikososial. Hingga saat ini penyebab acne masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Akhir akhir ini, beberapa ahli menyatakan bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan stres oksidatif berperan dalam perkembangan lesi acne inflamasi. Salah satu biomarker stres oksidatif dalam sel adalah peroksidasi lipid dan produk akhirnya yang dikenal sebagai malondialdehid (MDA). Berdasarkan hal ini, maka peneliti ingin mengetahui hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA. Metode penelitian ini adalah cross sectional, analitik. Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 64 orang. Terhadap semua subjek dilakukan pemeriksaan derajat penyakit acne vulgaris dan pengambilan darah vena sebagai bahan pemeriksaan kadar MDA. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi positif sedang antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA (r = 0,566, p<0,05). Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa pada acne vulgaris terdapat stres oksidatif. Semakin berat derajat acne vulgaris maka semakin tinggi kadar MDA, dimana MDA merupakan salah satu indikator dari stres oksidatif. Dari penelitian ini disimpulkan terdapat korelasi positif antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA. Hasil penelitian ini dapat dijadikan penelitian dasar bagi penelitian berikutnya yang meneliti keefektifan antioksidan dalam acne vulgaris dan sebagai landasan pertimbangan pemberian antioksidan dalam tatalaksana acne vulgaris. Kata kunci : MDA, perbedaan kadar MDA, derajat penyakit acne vulgaris, korelasi positif. ABSTRACT

12 POSITIVE CORRELATION BETWEEN ACNE VULGARIS SEVERITY AND MDA LEVEL Acne is one of the most common skin problem in the community. It is a chronic, residive skin disorder. Acne can cause permanent facial scar and psychosocial problems. Until now, the exact etiology of acne remains unknown. Recently, some experts found that reactive oxygen species (ROS) and oxidative stress play role in inflammatory skin development. One of oxidative stress biomarker in cells is lipid peroxidation and its end product, known as malondialdehyde (MDA). Based on these, we would like to know the correlation between acne vulgaris severity and oxidative stress. Oxidative stress will be measured from its marker, MDA. This was an analytic, cross sectional study. Subjects who met inclusion and exclusion criterias were 64 persons. We performed examination to find out the acne vulgaris severity and took venous blood as specimens to check the MDA level. Spearman correlation test revealed positive correlation between acne severity and MDA level (r = 0,566, p < 0,05). This study supported the theory that there are oxidative stress in acne vulgaris. The more severe the acne severity, the higher was the MDA level. MDA is an indicator of oxidative stress. The conclusion of this study was there was positive correlation between acne vulgaris severity and MDA level. The result of this study can be used as a basis for the next study to assess the anti oxidant effectivity in acne vulgaris. Keywords : MDA, MDA level difference, acne vulgaris severity, positive correlation.

13 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM. PRASYARAT GELAR LEMBAR PERSETUJUAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI UCAPAN TERIMA KASIH SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ABSTRAK.. ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v vi x xi xii xvi xvii xviii xx xxi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Manfaat teoritis

14 Manfaat praktis.. 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Acne Vulgaris Pendahuluan Definisi Epidemiologi Etiopatogenesis Hiperproliferasi epidermis folikuler Produksi sebum berlebih Bakteri Propionibacterium acnes Inflamasi Manifestasi klinis Klasifikasi acne Diagnosis Terapi Komplikasi 2.2. Reactive Oxygen Species (ROS) Definisi Macam ROS Mekanisme pembentukan ROS Produk oksidasi

15 2.3. Stres Oksidatif 2.4. Hubungan Stres Oksidatif dan Acne Vulgaris BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.3. Penentuan Sumber Data Populasi target Populasi terjangkau Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Teknik pengambilan sampel Besar sampel 4.4. Variabel Penelitian

16 Definisi operasional variabel Bahan Penelitian 4.6. Instrumen Penelitian Alat-alat Reagen 4.7. Prosedur Penelitian Protokol penelitian Pengambilan data Pengambilan spesimen Pemeriksaan kadar MDA 4.8. Analisis Data BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Karakteristik Subjek 5.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat 5.4. Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan kadar MDA BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Subjek 6.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat 6.4. Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan kadar MDA

17 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 5.2. Saran.. DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN LAMPIRAN

18 DAFTAR TABEL Halaman 2.1. Klasifikasi ASEAN Grading Lehmann Biomarker Kerusakan Oksidatif 4.1. Definisi Operasional Acne Vulgaris Karakteristik Subjek penelitian Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris Kadar MDA Kelompok Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat Perbandingan Perbedaan Rerata Kadar MDA Kelompok Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1. Konsep Protokol Penelitian Scatter plot korelasi derajat acne vulgaris dengan kadar MDA

20 DAFTAR SINGKATAN Cl - = Ion Chlor Cu + = Ion cuprum Fe ++ = Ion fero DHT = Dihidrotestosteron DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid H 2 O 2 = Hidrogen peroksida HOCl = Asam hipoklorit IgG = Imunoglobulin G IL-1 = Interleukin 1 IL-8 = Interleukin 8 IL-1β = Interleukin-1β LDL = Low Density Lipoprotein MDA = Malondialdehid NADH = Nikotinamida adenida dinukleotida

21 NADPH = Nicotinis adenine dinucleotide phospat hydrogen O 2 - = Radikal ion superoksida OOH = Radikal peroksil OH = Radikal hidroksil /O 2 = Singlet oksigen PUFA = Poly Unsaturated Fatty Acids ROS = Reactive oxygen species SOD = Superoksid dismutase TBAR = Tiobarbiturat Acid TNFα = Tumor Necrosis Factor-α XO = Xantin oksidase

22 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Informed Consent.. Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian... Status Penelitian Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik Hanifin Rajka Ethical Clearance.. Surat IjinPenelitian... Karakteristik Subjek.. Hasil SPSS Penelitian... Halaman

23 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis dan berulang. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stres. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar yang permanen pada wajah. Menurut Kligman, tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak pernah menderita acne. Di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia remaja. Sedangkan pada satu studi prevalensi acne yang dilakukan di kota Palembang, dari 5204 sampel berusia 14 sampai 21 tahun, didapatkan angka prevalensi acne vulgaris sebesar 68,2% (Suryadi, 2008). Hingga saat ini penyebab acne masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Walaupun patogenenesis acne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori berkontribusi sebagai etiologi acne. Keempat etiologi tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes, dan inflamasi. Akhir akhir ini, beberapa ahli menyatakan bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan stres oksidatif berperan dalam perkembangan lesi acne inflamasi. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,

24 diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne. Namun, hal ini masih merupakan kontroversi, karena ada penelitian yang menyatakan bahwa korelasi antara stres oksidatif dan derajat penyakit acne vulgaris tidak signifikan. Propionibacterium acnes dianggap berperan penting dalam patogenesis acne dengan memproduksi faktor kemotaktik sehingga menyebabkan akumulasi netrofil pada daerah lesi acne. Setelah terjadi fagositosis oleh netrofil, akan dilepas enzim lisosom dan ROS. Dalam rangka perlindungan terhadap serangan ROS, tubuh manusia memiliki suatu sistem antioksidan yang terorganisir, baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non-enzimatik, yang bekerja secara sinergis. Antioksidan melindungi sel tubuh terhadap kerusakan oksidatif dan dapat mencegah produksi dari produk produk oksidatif. Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, di mana produksi ROS melebihi kapasitas antioksidan, berpotensi menyebabkan kerusakan, yang disebut dengan stres oksidatif. Salah satu biomarker stres oksidatif dalam sel adalah peroksidasi lipid dan produk akhirnya yang dikenal sebagai malondialdehid (MDA). Terdapat dugaan bahwa pada keadaan stres oksidatif, yang disertai dengan produk oksidatifnya, akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti sitokin pada tingkat seluler. Hal ini diduga akan menginduksi terjadinya inflamasi. Sebuah penelitian di Jepang menyatakan bahwa penderita acne inflamasi menunjukkan peningkatan kadar hidrogen peroksida yang diproduksi oleh netrofil secara signifikan, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Akamatsu dkk.,

25 2003). Sedang pada penelitian lain yang dilakukan oleh Kurutas dkk. (2005), didapatkan bahwa terdapat penurunan aktivitas antioksidan Superoksid Dismutase (SOD) pada penderita acne. Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan oleh Surlinia (2010), didapatkan kesimpulan bahwa kadar MDA darah pada penderita acne inflamasi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu non acne vulgaris. Dari penelitian penelitian yang pernah dilakukan, diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne inflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh Arican tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai r = 0,20 dan nilai p > 0,05) antara stres oksidatif dengan derajat penyakit acne vulgaris (Arican dkk., 2005). Berdasarkan data data tersebut, maka disusunlah permasalahan apakah terdapat hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA. 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA?

26 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui korelasi positif derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA Manfaat praktis Sebagai dasar pertimbangan tatalaksana acne vulgaris.

27 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Acne Vulgaris Pendahuluan Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan bersifat kronis serta kambuh kambuhan. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stress. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar pada wajah yang permanen. Tidak kurang dari 15-30% penderita acne memerlukan perawatan medis karena keparahan dan kondisi klinisnya, 2-7% di antaranya mengalami scar post acne yang bertahan lama (Zouboulis dkk., 2005) Definisi Acne vulgaris merupakan suatu keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista dan pustul pada daerah-daerah predileksi yaitu muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk., 2008) Epidemiologi

28 Kligman mengatakan bahwa tidak ada seorangpun (artinya 100%) yang sama sekali tidak pernah menderita acne (Wasitaatmadja, 2007). Di Amerika Serikat saja, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia remaja (Baumann dan Keri, 2009). Pada suatu studi prevalensi acne yang dilakukan di kota Palembang, dari 5204 sampel berusia tahun, didapatkan bahwa usia terbanyak adalah tahun (Suryadi, 2008). Sedangkan berdasarkan sebuah penelitian retrospektif di Taiwan, didapatkan data kejadian acne sebesar 83 % pada laki-laki dan 87 % pada perempuan (Yu dkk., 2008). Acne derajat ringan seringkali dijumpai saat lahir, yang kemungkinan disebabkan karena stimulasi folikuler oleh androgen adrenal, dan dapat berlanjut hingga periode neonatal. Namun, pada mayoritas kasus, acne menjadi masalah yang signifikan sejak usia pubertas. Kasus terbanyak dijumpai pada pertengahan hingga akhir remaja. Setelah itu, insidennya menurun perlahan. Namun, pada wanita, acne dapat menetap hingga dekade ketiga bahkan lebih (Zaenglein dkk., 2008) Etiopatogenesis Etiologi acne vulgaris belum jelas sepenuhnya. Patogenesis acne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori sebagai etiopatogenesis acne. Keempat patogenesis tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes (P. acnes), dan inflamasi (Zaenglein dkk., 2008).

29 Hiperproliferasi epidermis folikuler Mekanisme yang mendasari perubahan infundibulum folikel masih belum jelas. Namun hipotesis yang menonjol adalah defisiensi asam linoleat lokal pada folikel, pengaruh IL-1, dan androgen, sebagai faktor utama yang terlibat dalam hiperkeratinisasi folikel (Jappe, 2003). Sejak tahun 1986, defisiensi asam linoleat merupakan faktor penting dalam etiologi acne (Jappe, 2003). Downing dkk. menyatakan bahwa semakin rendah konsentrasi asam linoleat, yang berkorelasi dengan tingginya sekresi sebum, menyebabkan defisiensi lokalisata asam lemak esensial pada epitel folikuler. Defisiensi ini kemudian bertanggungjawab terhadap penurunan fungsi barrier epitel dan hiperkeratosis folikuler, yang semakin memperparah acne (Bauman dan Keri, 2009). Baru-baru ini, Zouboulis menyatakan bahwa asam linoleat dapat meregulasi sekresi IL-8, dan menyebabkan terjadi reaksi inflamasi (Jappe, 2003). IL-1 juga berperan dalam terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Jika ditambahkan IL-1, keratinosit folikuler manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan mikrokomedo (Zaenglein dkk., 2008). Kelenjar sebasea adalah organ target androgen, distimulasi untuk memproduksi sebum saat pubertas. Kelenjar sebasea mewakili densitas reseptor androgen yang berbanyak pada kulit manusia. Androgen yang paling penting adalah testosteron, yang diubah menjadi dihidrotestrosteron (DHT) oleh iso-enzim 5α reduktase tipe I (Jappe, 2003). Kulit penderita acne menunjukkan peningkatan

30 densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α reduktase yang lebih tinggi. DHT adalah androgen poten yang berperan pada acne. Androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum (Zouboulis dkk., 2005). Hiperproliferasi epidermal folikuler menyebabkan terbentuknya lesi primer acne, yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas, infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan disertai peningkatan kohesi keratinosit. Peningkatan sel dan kepekatannya menyebabkan sumbatan pada ostium folikuler. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang kemudian menyebabkan dilatasi pada folikel rambut bagian atas, dan terjadi mikrokomedo (Zaenglein dkk., 2008) Produksi sebum berlebih Sebum disintesis oleh kelenjar sebasea secara kontinu dan disekresikan ke permukaan kulit melalui pori pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara hormonal. Kelenjar sebasea terletak pada seluruh permukaan tubuh, namun jumlah kelenjar yang terbanyak didapatkan pada wajah, pungung, dada, dan bahu (Baumann dan Keri, 2009). Fungsi sebum pada manusia tidak diketahui pasti. Diduga bahwa sebum dapat mengurangi kehilangan air dari permukaan kulit dan menjaga kulit tetap lembut dan halus (Nelson dan Thiboutot, 2008).

31 Kelenjar sebasea mulai terbentuk pada minggu ke-13 hingga 16 kehidupan janin. Kelenjar sebasea mensekresikan lipid melalui sekresi holokrin. Selanjutnya, kelenjar ini menjadi aktif saat pubertas karena adanya peningkatan hormon androgen, khususnya hormon testosteron, yang memicu produksi sebum (Baumann dan Keri, 2009). Hormon androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum (Nelson dan Thiboutot, 2008 ; Zouboulis dkk., 2005). Dihidrotestosteron (DHT) adalah androgen poten yang berperan dalam terbentuknya acne. Enzim 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase adalah enzim yang berperan mengubah prekursor dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) menjadi DHT (Zaenglein dkk., 2008). Ketidakseimbangan antara produksi dan kapasitas sekresi sebum akan menyebabkan pembuntuan sebum pada folikel rambut (Baumann dan Keri, 2009). Selain itu, penderita acne memproduksi sebum yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan yang tidak menderita acne. Salah satu komponen sebum yaitu trigliserida, berperan penting dalam patogenesis acne. Flora normal unit pilosebasea yaitu P. acnes akan memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan menyebabkan terjadinya lebih banyak kolonisasi P. acnes, memicu inflamasi, dan selain itu juga bersifat komedogenik (Zaenglein dkk., 2008) Bakteri Propionibacterium acnes

32 Acne bukan merupakan penyakit infeksi. Di antara spesies bakteri yang mengkolonisasi kulit normal sebagai flora normal, hanya bakteri yang mampu mengkolonisasi duktus folikuler dan bermultiplikasi lah yang dapat bersifat patogenik terhadap terjadinya acne. Hanya tiga spesies mikroorganisme yang dapat diasosiasikan dengan perkembangan lesi acne, yaitu propionibacteria, staphylococci koagulase negatif, dan jamur Malassezia. Namun, setelah terapi antifungal, penderita acne tidak menunjukkan perbaikan klinis, sehingga jamur dapat dieksklusikan. Staphylococci juga dapat dieksklusikan, mengingat terjadinya resistensi antibiotika pada kebanyakan penderita pada minggu pertama terapi, dan jumlahnya yang meningkat dengan cepat. Sehingga fokus ilmiah diarahkan ke Propionibacteria (Jappe, 2003). Propionibacteria merupakan bakteri gram positif, non motil, sel berbentuk batang yang pleomorfik, yang memfermentasi gula untuk menghasilkan asam propionat sebagai produk akhir pada proses metabolismenya. Propionibacteria acnes merupakan mikroorganisme penghuni predominan pada area kulit orang dewasa yang kaya akan kelenjar sebasea. Pada kulit manusia, Propionibacteria ditemukan sejak manusia lahir hingga meninggal. Analisis bakteriologi dan produksi sebum pada area tubuh multipel menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah P. acnes dengan produksi sebum (Jappe, 2003). Patogenisitas Propionibacteria diduga disebabkan karena adanya dua hal, yaitu :

33 1. Produksi enzim eksoseluler dan produk ekstraseluler bioaktif lainnya, seperti protease, lipase, lecithinase, hyaluronat lipase, neuramidase, phospatase, phospolipase, proteinase, dan RNase. 2. Interaksi mikroorganisme dengan sistem imun manusia. Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan. Penelitian tentang DNA P.acnes yang dilakukan oleh Miura dkk., menemukan bahwa pada penderita acne berusia tahun didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan daripada non acne. Namun pada penderita acne berusia lebih dari 15 tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan (Miura dkk., 2010). Berdsarkan observasi yang dilakukan selama ini, diduga P. acnes berperan secara tidak langsung dalam patogenesis acne dengan merangsang komedo dan menghasilkan substansi substansi yang menyebabkan terjadinya ruptur komedo, sehingga memulai respon inflamasi Inflamasi Beberapa hipotesis menyatakan peran P.acnes dalam terbentuknya acne. Kerusakan jaringan kulit dapat merupakan akibat dari enzim bakteri yang memiliki sifat degradasi, dan mempengaruhi integritas sel epidermis kulit dan fungsi barier dinding folikuler folikel sebaseus. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin pro

34 inflamasi dari keratinosit, yang akan berdifusi ke dermis dan memicu inflamasi (Bruggemann, 2005). Terdapat dua macam respon inflamasi yang terjadi, yaitu : 1. Rupturnya epitel komedo. Komedo yang mengandung korneosit, rambut, sebum, dan campuran debris seluler akan memasuki dermis, dan memicu terjadinya reaksi inflamasi. 2. Netrofil berakumulasi di sekeliling komedo yang intak yangmana dinding epitelnya bersifat spongiotik. Hal ini menyebabkan terjadinya kebocoran substansi yang dapat berdifusi dari komedo. Pada saat ini, imunoglobulin seperti IgG, dan komplemen seperti C 3, dapat dideteksi pada pembuluh darah di sekitar komedo. Adanya faktor kemotaktik dengan berat molekul yang kecil, memungkinkan terjadinya difusi dari folikel yang intak menuju ke dermis, sehingga akan menarik netrofil. Setelah terjadi fagositosis, netrofil akan melepaskan enzim lisosomal dan Reactive Oxygen Species (ROS), yang akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, yang kemudian lebih lanjut akan mengawali terjadinya inflamasi. Selain itu, diketahui pula bahwa P. acnes merupakan aktivator komplemen jalur klasik dan alternatif yang poten. Aktivasi komplemen akan menyebabkan semakin banyaknya netrofil. Keseluruhan hal ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi (Kurutas dkk., 2005) Manifestasi klinis

35 Lesi utama acne adalah mikrokomedo, atau mikrokomedone, yaitu pelebaran folikel rambut yang mengandung sebum dan P. acnes. Sedangkan lesi acne lainnya dapat berupa papul, pustul, nodul, dan kista pada daerah predileksi acne yaitu pada wajah, bahu, dada, punggung, dan lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah permukaan kulit tampak sebagai komedo white head, sedangkan komedo yang bagian ujungnya terbuka pada permukaan kulit disebut komedo black head karena secara klinis tampak berwarna hitam pada epidermis (Baumann dan Keri, 2009 ; Sukanto dkk., 2005). Scar dapat merupakan komplikasi dari acne, baik acne non-inflamasi maupun inflamasi. Ada empat tipe scar karena acne, yaitu : scar icepick, rolling, boxcar, dan hipertropik. Scar icepick adalah scar yang dalam dan sempit, dengan bagian terluasnya berada pada permukaan kulit dan semakin meruncing menuju satu titik ke dalam dermis. Scar rolling adalah scar yang dangkal, luas, dan tampak memiliki undulasi. Scar boxcar adalah scar yang luas dan berbatas tegas. Tidak seperti scar icepick, lebar permukaan dan dasar scar boxcar adalah sama. Pada beberapa kejadian yang jarang, terutama pada truncus, scar yang terbentuk dapat berupa scar hipertropik (Zaenglein dkk., 2008) Klasifikasi acne Selama ini, tidak terdapat standart internasional untuk pengelompokan dan sistem grading acne. Hal ini tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam

36 pengelompokan acne. Saat ini, terdapat lebih dari 20 metode berbeda yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan acne. Klasifikasi acne yang paling tua adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada tahun 1956, yang mengelompokkan acne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan kulit (Barratt dkk., 2009). Klasifikasi lainnya oleh Plewig dan Kligman, yang mengelompokkan acne vulgaris menjadi : 1. Acne komedonal a. Grade 1 : Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah b. Grade 2 : komedo pada tiap sisi wajah c. Grade 3 : komedo pada tiap sisi wajah d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah 2. Acne papulopustul a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah b. Grade 2 : lesi pada tiap sisi wajah c. Grade 3 : lesi pada tiap sisi wajah d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah 3. Acne konglobata Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 yang mengelompokkan acne menjadi tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat sebagai berikut: Tabel 2.1. Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 (Wasitaatmadja, 2010)

37 Derajat Komedo Papul / pustul Nodul Ringan < 20 < 15 Tidak ada Sedang < 5 Berat >100 > 50 > Diagnosis Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit, tetapi pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat kosmetik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan diagnosis acne vulgaris (Wolff dan Johnson, 2009). Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul, dan kista pada daerah daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar lemak. Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hiperandrogenism (Zaenglein dkk., 2008) Terapi Terapi acne vulgaris terdiri dari beberapa modalitas, antara lain (James dkk., 2006 ; Zaenglein dkk., 2008 ; Ascenso dan Marques, 2009). 1. Terapi topikal. a. Retinoid topikal.

38 Retinoid topikal akan menormalkan proses keratinasi epitel folikuler, sehingga dapat mengurangi komedo dan menghambat terbentuknya lesi baru. Selain itu, juga memiliki efek anti inflamasi. b. Benzoil Peroksida. Benzoil Peroksida memiliki efek anti bakterial yang poten. Selain itu, dalam penggunaannya tidak akan terjadi resistensi P.acnes. c. Antibakterial topikal. Eritromycin dan Clindamycin merupakan antibaktrial topikal yang paling sering digunakan. Penggunaan antibiotik jenis ini saja akan menyebabkan peningkatan resistensi P.acnes. Penggunaan kombinasi dengan Benzoil Peroksida dapat mengatasai masalah ini. d. Sulfur, sodium sulfacetamide, resorcin, dan asam salisilat. Walaupun kelompok obat ini merupakan obat lama, namun penggunaanya masih sering dijumpai. Produk kombinasi antara sulfur dan sulfacetamida cukup efektif dalam mengatasi acne dan rosacea. 2. Terapi sistemik. a. Antibiotika oral. Antibiotika oral digunakan untuk pengobatan acne vulgaris derajat sedang hingga berat, atau pada kegagalan serta intoleransi terhadap terapi topikal. Pada umumnya memerlukan 6-8 minggu untuk menilai efikasinya. Beberapa antibiotika yang tersedia antara lain : Tetrasiklin,

39 Doksisiklin, Minosiklin, Eritomycin, Clindamycin, dan Trimetoprim- Sulfametoxazole. b. Terapi hormonal. Tujuan terapi hormonal adalah untuk melawan efek androgen pada kelenjar sebasea. Adapun jenis jenis yang dapat digunakan adalah : kontrasepsi oral, kortikosteroid, antiandrogen, agonis Gonadotropinreleasing hormone. c. Isotretinoin. Penggunaan isotretinoin oral disetujui untuk kasus acne berat, rekalsitran, dan tipe nodular. Pada terapi ini, perlu diberikan edukasi yang baik kepada penderita karena obat ini memiliki banyak efek samping. Efek samping yang paling serius adalah efek teratogenik. 3. Modalitas lainnya. a. Kortikosteroid intralesi. Kortikosteroid intralesi paling efektif untuk mengurangi inflamasi pada acne vulgaris tipe noduler. Dosis yang direkomendasikan adalah injeksi suspensi Triamsinolon asetat 2,5-10 mg/ml sebanyak 0,05-0,25 ml per lesi. Kadang memerlukan dosis ulangan dalam interval 2 hingga 3 minggu. b. Fototerapi dan laser. Penggunaan terapi fotodinamik dan berbagai jenis laser masih dalam tahap penyelidikann. Walaupun terapi ini dapat menghancurkan

40 kelenjar sebasea dan membunuh P.acnes, namun metode ini masih dianggap kurang efektif Komplikasi Semua tipe acne berpotensi meninggalkan sekuele. Hampir semua lesi acne akan meninggalkan makula eritema yang bersifat sementara setelah lesi sembuh. Pada warna kulit yang lebih gelap, hiperpigmentasi post inflamasi dapat bertahan berbulanbulan setelah lesi acne sembuh. Acne juga dapat menyebabkan terjadinya scar pada beberapa individu. Selain itu, adanya acne juga menyebabkan dampak psikologis. Dikatakan 30 50% penderita acne mengalami gangguan psikiatrik karena adanya acne (Zaenglein dkk., 2008). 2.2 Reactive Oxygen Species (ROS) Definisi ROS adalah molekul yang mengandung oksigen, bersifat sangat reaktif, yang secara alami didapatkan dalam jumlah kecil akibat dari reaksi metabolik tubuh, dan dapat bereaksi serta merusak biomakromolekul seperti lipid, protein, atau DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Istilah ROS digunakan untuk mendeskripsikan beberapa molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen (Turrens, 2003). Radikal bebas adalah suatu spesies atau senyawa independen yang mengandung satu

41 atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital atom atau molekul nya (Gabrielli dkk., 2012) Macam ROS Macam-macam ROS adalah sebagai berikut (Kooter, 2004) : 1. Radikal ion superoksida (O 2 - ). 2. Radikal Peroksil ( OOH). 3. Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ). 4. Radikal Hidroksil ( OH). 5. Singlet Oksigen (/O 2 ) Mekanisme pembentukan ROS ROS akan terbentuk setiap saat dalam berbagai kegiatan, bahkan ketika kita sedang bernapas. Radikal bebas dapat terbentuk melalui 2 cara, yaitu secara endogen (sebagai respons normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel, misalnya rantai respirasi, fagositosis, sintesis prostaglandin, dan sistem sitokrom P450) dan secara eksogen (misalnya merokok, sinar ultraviolet, obat-obatan, pestisida, pelarut industri, polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Kumar, 2011 ; Winarsi, 2007). Pada umumnya, kadar ROS yang rendah penting untuk fungsi fisiologi normal, seperti misalnya ekspresi gen, pertumbuhan sel dan pertahanan terhadap infeksi. Aktivasi makrofag dan netrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan

42 tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Dalam hal ini enzim oksidase dan oksigenase akan membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorit (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau bakteri. Namun di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Kunwar dan Priyadarsini, 2011 ; Winarsi, 2007). Berikut pembentukan masing masing ROS : 1. Radikal ion superoksida (O 2 - ) Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme berikut : a. Reaksi samping dalam reaksi yang melibatkan Fe ++ b. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase. c. Reaksi yang dikatalisis oleh Xantin Oksidase (XO). 2. Radikal Peroksil ( OOH) Radikal peroksil terbentuk melalui reaksi : O H + OOH Radikal peroksil sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui reaksi : OOH + XH X + H 2 O 2

43 H 2 O 2 dapat tereduksi melalui reaksi Fenton, dan menghasilkan oksidan yang sangat kuat yaitu radikal hidroksil ( OH) (Urbanski dan Beresewicz, 2000). 3. Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ) H 2 O 2 terbentuk karena aktivitas enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi dalam retikuloendoplasmik (mikrosom) dan peroksisom, melalui reaksi : R H 2 + O 2 R + H 2 O 2 4. Radikal Hidroksil ( OH) Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H 2 O 2 dan O 2 -. Keberadaan H 2 O 2 dapat berbahaya bila bersamasama dengan O 2 - karena akan membentuk radikal hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss berikut : O H 2 O 2 O 2 + OH - + OH 5. Singlet Oksigen (O 2 ) Merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi dibanding oksigen bentuk ground state. Senyawa ini terbentuk melalui reaksi yang dikatalisis oleh beberapa enzim, antara lain : a. Enzim monooksigenase : 2 ROOH 2 ROH + /O 2 b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase : 2PGG 2 2PGH 2 + /O 2 c. Enzim mieloperoksidase H 2 O 2 + Cl - H 2 O + ClO - ClO - + H 2 O 2 H 2 O + Cl - + O 2 /

44 2 H 2 O 2 2 H 2 O + /O Produk oksidasi ROS bersifat toksik terhadap sel karena dapat bereaksi dengan makromolekul, seperti lipid, protein, dan DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Reaksi awal akan menghasilkan radikal kedua, yang kemudian dapat bereaksi dengan makromolekul kedua, dan menyebabkan terjadinya reaksi berantai. Senyawa radikal bebas dapat merusak komponen penyusun sel, yaitu (Winarsi, 2007) : 1. Lipid, terutama asam lemak tidak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. 2. DNA, yang merupakan perangkat genetik sel. 3. Protein, yang berperan sebagai enzim, reseptor, antibodi, dan penyusun matriks serta sitoskeleton. Di antara makromolekul tersebut, target yang paling rentan adalah asam lemak tidak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acids/PUFA). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika radikal bebas bereaksi dengan senyawa PUFA. Jembatan metilen yang dimiliki PUFA merupakan sasaran utama bagi radikal bebas, yang akan membentuk radikal alkil, peroksil, dan alkoksil. Reaksi berantai yang ditimbulkan oleh peroksidasi lipid bersifat sangat merusak, dan menyebabkan baik efek secara langsung maupun secara tidak langsung. Selama terjadi kerusakan oleh peroksidasi

45 lipid, akan dilepaskan produk-produk toksik yang dapat merusak pada area yang jauh dari area terbentuknya reaksi peroksidasi lipid, bertindak sebagai second messenger Bentuk radikal asam lemak tersebut adalah diena terkonjugasi, termasuk di dalamnya hidroperoksida, alkohol, aldehid, atupun alkana (Devasagayam, dkk., 2004 ; Winarsi, 2007). 2.3 Stres Oksidatif Dalam rangka perlindungan terhadap serangan ROS, tubuh manusia memiliki suatu mekanisme proteksi untuk mencegah pembentukan ROS atau mendetoksifikasi ROS. Mekanisme tersebut adalah sistem antioksidan yang terorganisir, baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non-enzimatik, yang bekerja secara sinergis. Molekul antioksidan pada kulit berinteraksi dengan ROS atau produknya dengan cara mengeliminasi atau meminimalisasi efeknya yang merugikan (Winarsi, 2007; Bickers dan Athar, 2006). Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu : antioksidan enzimatis (misalnya Superoksida Dismutase/SOD, katalase, dan glutation peroksidase), dan antioksidan non-enzimatis (misalnya tokoferol, karotenoid, dan asam askorbat). Secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh, yaitu (Winarsi, 2007) : 1. Sistem pertahanan preventif, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder atau disebut juga dengan antioksidan non-enzimatis. Dalam hal ini,

46 terbentuknya ROS dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya, sehingga tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. 2. Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan primer atau antioksidan enzimatis. Pada kondisi kondisi tertentu, terjadi masalah ketika produksi ROS melebihi eliminasinya, yang bisa disebabkan karena produksi berlebihan selama terjadi trauma atau karena kerusakan sistem antioksidan alami. Keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, disebut dengan stres oksidatif (DeHaven, 2007). Sebuah postulat Teori Radikal Bebas menyatakan bahwa, dengan terakumulasinya kerusakan akibat radikal bebas dan stres oksidatif, maka sejumlah proses biokimia dan proses seluler mulai berjalan secara tidak normal (DeHaven, 2007). Di samping memiliki reaktivitas yang sangat tinggi, radikal bebas juga bersifat tidak stabil dan berumur sangat singkat. Oleh karena itu, maka pengukuran stres oksidatif dilakukan berdasarkan pengukuran biomarker dari kerusakan oksidatif pada makromolekul seperti lipid, protein, dan DNA. Secara tidak langsung, stres oksidatif juga dapat diukur dengan mengestimasi kapasitas pertahanan antioksidan pada serum, plasma, atau cairan tubuh lainnya (Deverts, 2007 ; Winarsi, 2007). Berikut ini tabel yang menunjukkan biomarker daripada kerusakan oksidatif pada makromolekul : Tabel 2.2. Biomarker Kerusakan Oksidatif (Deverts, 2007)

47 Biomarker Availabilitas 1. Peroksidasi lipid Malondialdehid (MDA) Plasma, serum, saliva, urine, kondensat ekshalasi nafas 2. Oksidasi Protein Karbonil protein Plasma, serum 3. Oksidasi DNA 8-hidroksi-2-deoksiguanosin Plasma, serum, urine Oksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya. Karena itulah, reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari stres oksidatif (Winarsi, 2007). Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA adalah alat ukur yang paling banyak digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid (Fuchs dkk., 2001). Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C 3 H 4 O 2. MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan aminofosfolipid secara kovalen (Winarsi, 2007). MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Di samping itu, MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya

48 proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Winarsi, 2007). 2.4 Hubungan Stres Oksidatif dan Acne Vulgaris Propionibacterium acnes dianggap berperan penting dalam patogenesis acne. P. acnes akan melepas faktor-faktor kemotaktik dan mediator pro inflamasi ke arah lesi yang berperan dalam terjadinya respon inflamasi (Thiboutot, 2000). Aktivasi sel sel ini kemudian akan memproduksi seumlah sitokin seperti TNFα, IL-1β, dan IL-8 (Grange dkk., 2009). Makrofag dan netrofil mengandung sejumlah enzim yang disebut kompleks NADPH oksidase, yang bila diaktivasi akan menghasilkan radikal superoksida dan hidrogen peroksida (Wu dan Cederbaum, 2003). Setelah proses fagositosis, netrofil akan melepas enzim lisosom dan ROS, yang akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, yang kemudian lebih lanjut akan mengawali terjadinya inflamasi (Kurutas dkk., 2005). Beberapa antioksidan enzimatis, seperti glutathion peroksidase dan superoksida dismutase pada penderita acne dilaporkan dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan penderita non acne (Abulnaja, 2009). Peningkatan produksi ROS yang dapat disertai dengan penurunan kadar antioksidan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Beberapa penelitian mengungkapkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan acne inflamasi. Sebuah penelitian di Jepang bertujuan untuk mengetahui kadar Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ) yang dihasilkan oleh netrofil pada penderita acne inflamasi, acne

49 komedonal, yang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari penelitian ini didapatkan bahwa penderita acne inflamasi menunjukkan peningkatan kadar H 2 O 2 secara signifikan. Sebaliknya, pada penderita acne komedonal yang dibandingkan dengan dengan kelompok kontrol, tidak menunjukkan perbedaan kadar H 2 O 2 yang bermakna (Akamatsu dkk., 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Kurutas, bertujuan untuk menilai kadar antioksidan pada penderita acne. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa kadar Superoksid Dismutase (SOD) pada penderita acne lebih rendah secara signifikan (p<0,001). Aktivitas SOD yang rendah ini akan menyebabkan peningkatan kadar radikal ion superoksida pada epidermis (Kurutas dkk., 2005). Arican dkk. (2005) melakukan sebuah penelitian kasus kontrol untuk mengetahui akibat dari stres oksidatif pada penderita acne vulgaris. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar MDA pada penderita acne lebih tinggi secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol ( p < 0,001 ). Penelitian di Indonesia oleh Surlinia (2010) yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar MDA pada penderita acne inflamasi dan individu sehat, didapatkan hasil bahwa kadar MDA darah pada penderita acne inflamasi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu sehat. Dari penelitian penelitian yang pernah dilakukan selama ini, diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne inflamasi. Terdapat dugaan bahwa pada kondisi stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya produk produk oksidasi, yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein, mempengaruhi proses

50 apoptosis, dan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi, seperti sitokin pada tingkat seluler, yang berperan penting dalam induksi penyakit kulit inflamasi (Bickers dan Athar, 2006). Stres oksidatif diduga dapat menginduksi terjadinya reaksi inflamasi. Hal ini dibuktikan dalam penelitian oleh Tochio yang menyatakan bahwa akumulasi daripada peroksidasi lipid berperan dalam terjadinya acne inflamasi. Akumulasi ini akan menyebabkan upregulasi dari IL-1α, yang kemudian berperan dalam perubahan lesi komedo menjadi lesi inflamasi (Tochio dkk., 2010).

51 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sebum disintesis oleh kelenjar sebacea secara kontinu dan disekresikan ke permukaan kulit melalui pori pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara hormonal. Penderita acne memproduksi sebum lebih banyak dibandingkan dengan penderita non acne. Kadar sebum dan konsentrasi asam linoleat dalam sebum menunjukkan hubungan yang terbalik. Sehingga dengan adanya peningkatan sebum, akan menyebabkan defisiensi asam linoleat lokal pada epitel folikuler, yang akan menyebabkan penurunan fungsi barier epitel dan hiperkeratosis folikuler. Keratinosit yang menggumpal akan menyumbat pori pori dan menyebabkan terjadinya komedo. Komedo merupakan sumber nutrisi bagi bakteri, sehingga terjadi kolonisasi Propionibacterium acnes. P. acnes dapat memproduksi faktor kemotaktik, yang menyebabkan akumulasi netrofil pada daerah lesi. Setelah terjadi fagositosis, akan dilepas enzim lisosom dan terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Hal ini akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, dan mengawali terjadinya inflamasi. Peningkatan ROS dan penurunan kadar antioksidan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Keadaan stres oksidatif, disertai MDA yang merupakan produk oksidasi nya, akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti sitokin pada level seluler, yang berperan terhadap induksi inflamasi lebih lanjut, dalam hal ini adalah acne vulgaris.

52 3.2 Konsep Merokok Konsumsi alkohol Stres oksidatif Faktor Endogen Dermatitis Atopik Psoriasis Pioderma Morbus Hansen Kehamilan Penyakit inflamasi sistemik Penderita hiperandrogenisme Inflamasi Acne Vulgaris MDA Faktor Eksogen Penggunaan obat : anti inflamasi non steroid, androgen, kortikosteroid, Phenytoin, Isoniazid, Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor Penggunaan kontrasepsi hormonal Keterangan : diteliti Tidak diteliti Gambar 3.1. Konsep 3.3 Hipotesis Derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar MDA.

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda (Purdy dan DeBerker, 2007). Prevalensi yang mencapai 90 %

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kista. Tempat predileksinya antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.

BAB 1 PENDAHULUAN. kista. Tempat predileksinya antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit akibat peradangan menahun dari unit pilosebasea yang ditandai dengan gambaran lesi yang bervariasi, seperti komedo, papul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang paling mendasar manusia memerlukan oksigen, air serta sumber bahan makanan yang disediakan alam.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jerawat, atau dalam bahasa medisnya disebut akne, merupakan salah satu penyakit kulit yang banyak dijumpai secara global pada remaja dan dewasa muda (Yuindartanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. praktek dermatologi (Simonart, 2012). Akne vulgaris adalah penyakit inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. praktek dermatologi (Simonart, 2012). Akne vulgaris adalah penyakit inflamasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akne vulgaris termasuk salah satu penyakit yang paling umum ditemui di praktek dermatologi (Simonart, 2012). Akne vulgaris adalah penyakit inflamasi kronik unit pilosebaseus

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja.

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja. 1 BAB I A. Latar Belakang Penelitian Akne merupakan penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel pilosebasea yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada wajah, leher,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Akne vulgaris (AV) atau jerawat merupakan suatu penyakit. keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Akne vulgaris (AV) atau jerawat merupakan suatu penyakit. keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akne vulgaris (AV) atau jerawat merupakan suatu penyakit keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista, dan pustula.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. punggung bagian atas. Jerawat terjadi karena pori-pori kulit. terbuka dan tersumbat dengan minyak, sel-sel kulit mati, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. punggung bagian atas. Jerawat terjadi karena pori-pori kulit. terbuka dan tersumbat dengan minyak, sel-sel kulit mati, infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jerawat (Akne Vulgaris) merupakan penyakit kulit peradangan kronik folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dengan gambaran klinis berupa komedo, papul,

Lebih terperinci

ABSTRAK KADAR CRP DAN LED BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

ABSTRAK KADAR CRP DAN LED BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS ABSTRAK KADAR CRP DAN LED BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS Akne vulgaris merupakan suatu keradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah kondisi berlebihnya berat badan akibat banyaknya lemak pada tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), di sekitar organ tubuh,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Akne Vulgaris merupakan permasalahan yang sangat akrab diperbincangkan baik di kalangan dewasa muda maupun remaja. Saat ini tidak begitu banyak sumber yang memuat tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu peradangan kronik dari folikel pilosebasea yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas (Siregar, 2013). Gambaran

Lebih terperinci

The Correlation between Cosmetics Usage to Acne Vulgaris in Female Student in FKIK Muhammadiyah University of Yogyakarta

The Correlation between Cosmetics Usage to Acne Vulgaris in Female Student in FKIK Muhammadiyah University of Yogyakarta The Correlation between Cosmetics Usage to Acne Vulgaris in Female Student in FKIK Muhammadiyah University of Yogyakarta Hubungan Lamanya Paparan Kosmetik dengan Timbulnya Acne Vulgaris pada Mahasiswi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan pola hidup serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan pada persoalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA AKNE VULGARIS 2.1 Definisi Akne Vulgaris Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran

Lebih terperinci

KADAR EOSINOPHIL CATIONIC PROTEIN SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK 7,6

KADAR EOSINOPHIL CATIONIC PROTEIN SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK 7,6 TESIS KADAR EOSINOPHIL CATIONIC PROTEIN SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK 7,6 I WAYAN HENDRAWAN NIM. 0914088105 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati, katarak,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. papul, pustul, nodul dan kista di area predileksinya yang biasanya pada

BAB 1 PENDAHULUAN. papul, pustul, nodul dan kista di area predileksinya yang biasanya pada BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Acne vulgaris adalah penyakit kulit kronis yang terjadi akibat peradangan menahun pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodul dan kista di area

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama digunakan di dunia. Parasetamol merupakan obat yang efektif, sederhana dan dianggap paling aman sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Autisme adalah gangguan perkembangan yang biasanya didiagnosis awal pada masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada interaksi sosial,

Lebih terperinci

NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN

NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN TESIS NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN MELISA ANGGRAENI NIM 0914018101 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

KADAR TRIGLISERIDA BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG DAN KADAR HIGH DENSITY LIPOPROTEIN BERKORELASI NEGATIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG

KADAR TRIGLISERIDA BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG DAN KADAR HIGH DENSITY LIPOPROTEIN BERKORELASI NEGATIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG TESIS KADAR TRIGLISERIDA BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG DAN KADAR HIGH DENSITY LIPOPROTEIN BERKORELASI NEGATIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG FRANSISCA SYLVANA KUSUMAWATI NIM 0914088204 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi masih tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain mulai meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jerawat atau akne (Yuindartanto, 2009). Akne vulgaris merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. jerawat atau akne (Yuindartanto, 2009). Akne vulgaris merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kulit yang sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda adalah jerawat atau akne (Yuindartanto, 2009). Akne vulgaris merupakan suatu kelainan yang dapat sembuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Minyak goreng merupakan salah satu bahan yang termasuk dalam lemak, baik yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. polisebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. polisebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris atau jerawat adalah penyakit peradangan menahun folikel polisebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2007).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plumbum adalah salah satu logam berat yang bersifat toksik dan paling banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non essential trace element

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acne Vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit peradangan kronis dari folikel

BAB I PENDAHULUAN. Acne Vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit peradangan kronis dari folikel 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acne Vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit peradangan kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, kista, dan pustula.(tahir, 2010). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa jaringan abnormal yang berproliferasi cepat, tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap setelah hilangnya rangsang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akne vulgaris adalah peradangan kronik dari folikel polisebasea yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akne vulgaris adalah peradangan kronik dari folikel polisebasea yang 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akne Vulgaris 2.1.1 Definisi Akne vulgaris adalah peradangan kronik dari folikel polisebasea yang menyebabkan deskuamasi abnormal epitel folikel dan sumbatan folikel sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit kulit yang melibatkan unit pilosebasea ditandai. Indonesia, menurut catatan Kelompok Studi Dermatologi Kosmetika

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit kulit yang melibatkan unit pilosebasea ditandai. Indonesia, menurut catatan Kelompok Studi Dermatologi Kosmetika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akne vulgaris atau yang oleh masyarakat umum disebut jerawat merupakan penyakit kulit yang melibatkan unit pilosebasea ditandai dengan adanya komedo terbuka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh BAB 1 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh adanya hiperglikemia akibat defisiensi sekresi hormon insulin, kurangnya respon tubuh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pleomorfik, komedo, papul, pustul, dan nodul. (Zaenglein dkk, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. pleomorfik, komedo, papul, pustul, dan nodul. (Zaenglein dkk, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne atau jerawat adalah kondisi yang paling umum dilakukan oleh dokter di seluruh dunia (Ghosh dkk, 2014). Penyakit akne ini merupakan penyakit peradangan pada unit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akne vulgaris adalah suatu penyakit peradangan menahun dari folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latihan fisik secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit diabetes (Senturk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaya hidup remaja yang telah digemari oleh masyarakat yaitu mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada organ hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat latihan fisik dipahami sebagai olahraga. Olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta berdampak pada kinerja fisik. Olahraga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan yang sangat signifikan, banyak sekali aktivitas lingkungan yang menghasilkan radikal bebas sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Uta, 2003). Jerawat terjadi ketika pori-pori kulit dipenuhi oleh minyak, sel kulit

BAB I PENDAHULUAN. (Uta, 2003). Jerawat terjadi ketika pori-pori kulit dipenuhi oleh minyak, sel kulit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acne vulgaris (jerawat) merupakan suatu penyakit kulit yang paling umum terjadi pada remaja, dalam beberapa kasus jerawat dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 TESIS VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 JIMMY NIM 0914028203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik secara teratur mempunyai efek yang baik terutama mencegah obesitas, penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung koroner, dan osteoporosis (Thirumalai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Packed red cell (PRC) adalah produk darah paling penting yang dapat disimpan sekitar 35-42 hari di bank darah dan merupakan terapi terbanyak yang diberikan di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Akne vulgaris (jerawat) merupakan penyakit. peradangan kronis pada unit pilosebaseus yang sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Akne vulgaris (jerawat) merupakan penyakit. peradangan kronis pada unit pilosebaseus yang sering 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akne vulgaris (jerawat) merupakan penyakit peradangan kronis pada unit pilosebaseus yang sering dikeluhkan oleh banyak orang terutama remaja. Timbulnya akne vulgaris

Lebih terperinci

NILAI HOMEOSTATIC MODEL ASSESSMENT INSULIN RESISTANCE BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH SKIN TAG

NILAI HOMEOSTATIC MODEL ASSESSMENT INSULIN RESISTANCE BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH SKIN TAG TESIS NILAI HOMEOSTATIC MODEL ASSESSMENT INSULIN RESISTANCE BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH SKIN TAG TJOKORDA ISTRI OKA DWIPRASETIA HANDAYANI NIM 1114088102 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengandung kelenjar sebasea seperti: muka, dada dan punggung ( kelenjar/cm). 1,2 Acne

BAB 1 PENDAHULUAN. mengandung kelenjar sebasea seperti: muka, dada dan punggung ( kelenjar/cm). 1,2 Acne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu penyakit kulit yang merisaukan remaja dan dewasa adalah jerawat, karena dapat mengurangi kepercayaan diri seseorang 1. Acne vulgaris atau lebih sering

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting untuk pertumbuhan maupun untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku merokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia. Menurut laporan status global WHO (2016), perilaku merokok telah membunuh sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi 1 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih selama 35 hari berupa latihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat dengan diameter kurang dari 10 µm, sulfur dioksida (SO2), ozon troposferik, karbon monoksida (CO),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan martabat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo,

BAB I PENDAHULUAN. gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya bercak berwarna putih pada kulit seseorang sering menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden penyakit kanker di dunia mencapai 12 juta penduduk dengan PMR 13%. Diperkirakan angka kematian akibat kanker adalah sekitar 7,6 juta pada tahun 2008. Di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah digunakan per tahun dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Angka kejadian infertilitas masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Infertilitas adalah ketidakmampuan terjadinya konsepsi atau memiliki anak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kanker merupakan suatu jenis penyakit berupa pertumbuhan sel yang tidak terkendali secara normal. Penyakit ini dapat menyerang semua bagian organ tubuh dan dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di Indonesia. Jumlah perokok di seluruh dunia saat ini mencapai 1,2 milyar orang dan 800 juta diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons, 1999). Merokok memberikan implikasi terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World health organization ( WHO ) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes mellitus ( DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millenium ketiga ini, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hati adalah organ terbesar dalam tubuh. Penyakit pada hati merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius. Hepatitis adalah suatu peradangan difus jaringan hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saat ini umur harapan hidup di Indonesia sekitar 72 tahun dengan rerata perempuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saat ini umur harapan hidup di Indonesia sekitar 72 tahun dengan rerata perempuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Definisi Lansia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. Pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Sebaran usia mahasiswi yang menggunakan kosmetik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Sebaran usia mahasiswi yang menggunakan kosmetik Jumlah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Sebaran usia mahasiswi yang menggunakan kosmetik Penelitian ini melibatkan 85 responden mahasiswi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Responden tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang hubungan antara kadar asam urat serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ulcerative Colitis (UC) termasuk dalam golongan penyakit Inflammatory Bowel Disease (IBD). Keadaan ini sering berlangsung kronis sehingga dapat mengarah pada keganasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik yang dilakukan dengan teratur dapat mencegah penyakit kronis seperti kanker, hipertensi, obesitas, depresi, diabetes dan osteoporosis (Daniel et al, 2010).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kesehatan merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan jabatan, kekuasaan ataupun kekayaan. Tanpa kesehatan yang optimal, semuanya akan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan,

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan, ketahanan dan koordinasi (de

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu kehamilan atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham et al., 2005). Abortus adalah komplikasi umum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sakarin merupakan pemanis buatan yang memberikan rasa manis. Sakarin digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi, yaitu 200-700 kali

Lebih terperinci

PERBEDAAN STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL PADA PASIEN PERIODONTITIS KRONIS PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI INSTALASI PERIODONSIA RSGM FKG USU

PERBEDAAN STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL PADA PASIEN PERIODONTITIS KRONIS PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI INSTALASI PERIODONSIA RSGM FKG USU PERBEDAAN STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL PADA PASIEN PERIODONTITIS KRONIS PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI INSTALASI PERIODONSIA RSGM FKG USU SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran atau polusi merupakan perubahan yang tidak dikehendaki yang meliputi perubahan fisik, kimia, dan biologi. Pencemaran banyak mengarah kepada pembuangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris (AV) adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri (Wasitaatmaja, 2015). Akne

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang membuat hidup seseorang menjadi sejahtera dan ekonomis. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengupayakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun lalu. Sekitar satu milyar penduduk dunia merupakan perokok aktif dan hampir 80% dari total tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pemulihan (Menteri Kesehatan RI,

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pemulihan (Menteri Kesehatan RI, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akses terhadap obat merupakan salah satu hak azasi manusia. Obat merupakan salah satu unsur penting dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan,

Lebih terperinci

TEAM BASED LEARNING MODUL. Diberikan pada Mahasiswa Semester V Fakultas Kedokteran Unhas DISUSUN OLEH :

TEAM BASED LEARNING MODUL. Diberikan pada Mahasiswa Semester V Fakultas Kedokteran Unhas DISUSUN OLEH : TEAM BASED LEARNING MODUL Diberikan pada Mahasiswa Semester V Fakultas Kedokteran Unhas DISUSUN OLEH : Prof. DR. Dr. Anis Irawan, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV DR. dr. Farida Tabri, Sp.KK (K). FINSDV SISTEM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah infertilitas pria merupakan masalah yang menunjukkan peningkatan dalam dekade terakhir ini. Infertilitas yang disebabkan oleh pria sebesar 50 %, sehingga anggapan

Lebih terperinci