DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN"

Transkripsi

1 DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat) OLEH : NONOS MAFIANOS A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 RINGKASAN NONOS MAFIANOS. DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN. Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan MURDIANTO). Pada tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, sehingga sektor pariwisata menjadi sektor andalan untuk menghasilkan devisa negara. Pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, dimana keberadaan lahan di perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan atas lahan. Pengembangan wisata yang membutuhkan lahan dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria masyarakat lokal. Maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan struktur agraria masyarakat lokal, perubahan kelembagaan masyarakat lokal, dan menganalisis ada atau tidak adanya peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survai. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat dan tempat wisata yang bernama Kota Bunga yang terletak di desa yang sama. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan. Data sekunder diambil dari data Desa Sukanagalih, kantor Kota Bunga, instansi-instansi seperti Bappeda, Dinas Perhubungan dan Pariwisata, serta laporan-laporan penelitian. Teknik penentuan responden menggunakan metode Pengambilan Sampel Gugus

3 Sederhana (Simple Cluster Sampling). Pengolahan data menggunakan uji statistik Chi-Square dan Korelasi Rank Spearman dengan menggunakan program SPSS versi Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah petani pemilik lahan yang sekarang dibangun Kota Bunga. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa awalnya Kota Bunga bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Pembangunan Kota Bunga diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur. Sebelum tahun 1993, lahan-lahan yang sekarang dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal. Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan yang tergolong luas, namun setelah pembangunan fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Korelasi Rank Spearmen untuk melihat hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga dan Setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Hasil uji tersebut menyatakan bahwa pada taraf nyata 0,05 dengan rho hitung 0,897 dan rho tabel 0,364 ternyata ada kesesuaian antara luas kepemilikan lahan petani sebelum dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa faktor,

4 salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki saluran air, hingga panen. Tujuan bertani semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (subsisten). Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong. Setelah adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam bertani. Sifat kelembagaan setelah pembangunan Kota Bunga yaitu komersil, dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong. Peluang usaha di sektor wisata setelah pembangunan Kota Bunga ternyata rendah. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda dua. Peluang kerja yang ada pun rendah. Peluang kerja yang dapat dimasuki masyarakat lokal adalah sebagai buruh pencabut rumput di Kota Bunga. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga mengakibatkan perubahan kepemilikan lahan masyarakat lokal dan kelembagaan. Dalam hal peluang usaha dan peluang

5 kerja, pembangunan fasilitas pariwisata tidak memberikan perubahan mata pencaharian. Bahkan, hampir tidak ada peluang usaha bagi masyarakat lokal. Saran bagi penelitian ini adalah agar Perusahaan Kota Bunga memberikan peluang kerja bagi masyarakat lokal karena izin pembangunan Kota Bunga terkait dengan janji perusahaan melakukan pengembangan masyarakat.

6 DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat) SKRIPSI Se bagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

7 ii Judul : Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat) Nama NRP : Nonos Mafianos : A Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Murdianto, MSi. NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP Tanggal disetujui : Januari 2006 ii

8 iii PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (KASUS DI SEKITAR KAWASAN PARIWISATA KOTA BUNGA, DESA SUKANAGALIH, KECAMATAN PACET, KABUPATEN CIANJUR, PROPINSI JAWA BARAT) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Januari 2006 Nonos Mafianos A iii

9 iv RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak M. Masjkur Iljas dan Ibu Yeti Sumiati. Penulis dilahirkan di Kota Rangkasbitung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 20 April Riwayat pendidikan penulis diawali dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 1989 hingga Pada tahun 1995 hingga tahun 1998 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Rangkasbitung. Selama tiga tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Rangkasbitung yaitu pada tahun 1998 sampai dengan Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada Divisi Hubungan Masyarakat, Departemen Sosial dan Budaya, Keluarga Mahasiswa Banten pada tahun Selain itu, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh mahasiswa angkatan 38 Program Studi Komunikasi Pengembangan Masyarakat. iv

10 v KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat). Penulisan skripsi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Adapun uraian isi dari laporan penelitian ini adalah Bab I menguraikan latar belakang dari penelitian ini; Bab II Mencakup tinjauan-tinjauan pustaka yang bekaitan dengan kebijakan kepariwisataan, perubahan struktur agraria, kelembagaan, peluang usaha, pelapisan sosial, dan marginalisasi petani; Bab III menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini; Bab IV berisi gambaran lokasi penelitian; Bab V, Bab VI, Bab VII, Bab VIII merupakan analisis dan pembahasan masalah penelitian; dan Bab IX Merupakan Bab yang berisi kesimpulan dan saran yang direkomendasikan peneliti. Laporan skripsi ini penulis persembahkan dengan penuh pengharapan semoga cakrawala keilmuwan semakin memperkaya jiwa para pembaca dan semakin mendorong kita untuk selalu belajar. Penulis juga mengharapkan bahwa tulisan ini dapat menggugah kepekaan kita tentang fakta sosial menyangkut kehidupan petani dan masyarakat desa hutan. Bogor, Januari 2006 Penulis v

11 vi UCAPAN TERIMA KASIH Dalam pelaksanaan dan penulisan Penelitian ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik itu bantuan moril maupun materiil. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: Ir. Murdianto, MSi sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas dorongan dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi. Ir. Said Rusli, MA atas kesediannya menjadi Penguji Utama pada saat ujian skripsi dan Ir. Dwi Sadono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji Komisi Pendidikan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. M. Masjkur Iljas dan Yeti Sumiati orang tua penulis atas kasih sayang dan dukungannya selama ini. Selain itu juga kepada Nonih Rostini dan Agung Suryandaru yang merupakan saudari dan ipar atas bantuannya memfasilitasi kelancaran skripsi. Wydia Fermata, SP; Rizal Razak, SP; Dewi Lestari, SP; Santi Setiawati; Cecilia Evita; Dini Harmita; Retno Puji Astuti; Telly Imelda, SP yang telah membantu proses editing dan kelancaran pelaksanaan ujian skripsi. Martua Sihaloho, SP, MSi; Eko Dafid Afianto, SP; Wawuk Kristian Wijaya, SP; Wijanarko, SP; dan Ahmad Solihin, SPi untuk semua bantuan moril dan materiil, serta diskusi yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi. Masyarakat Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat atas kesediaanya menjadi responden dan informan dalam skripsi ini. vi

12 vii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...v DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR...xiii DAFTAR LAMPIRAN...xiv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Penelitian...10 BAB II PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata Pengembangan Kepariwisataan Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria Kelembagaan Masyarakat Petani Peluang Usaha di Sektor Wisata Kerangka Pemikiran...28 vii

13 viii 2.3 Hipotesa Uji Definisi Konseptual dan Operasional Definisi Konseptual Definisi Operasional...34 BAB III METODOLOGI Pendekatan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengambilan Data Teknik Penentuan Responden Teknik Pengolahan dan Analisis Data...39 BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Desa Kondisi Pertanian Desa Sukanagalih Demografi Desa Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa Sukanagalih Komposisi Penduduk Menurut Umur Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Kelembagaan Desa Sukanagalih Kepariwisataan dan Profil Kota Bunga Gambaran Umum Responden...56 viii

14 ix BAB V KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN FASILITAS PARIWISATA Kebijakan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Peraturan-Peraturan Mengenai Pembebasan Lahan Peraturan-Peraturan Mengenai Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas Pariwisata...65 BAB VI ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA Proses Alih Fungsi Lahan Perubahan Struktur Agraria Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk...78 BAB VII PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA SUKANAGALIH Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Kelembagaan dan Mata Pencaharian Masyarakat Desa Sukanagalih Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga BAB VIII PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI SEKTOR PARIWISATA Peluang Usaha di Sektor Pariwisata Peluang Kerja di Sektor Pariwisata Tingkat Pendapatan Masyarakat setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga...93 ix

15 x BAB IX PENUTUP Kesimpulan Saran...96 DAFTAR PUSTAKA...98 LAMPIRAN x

16 xi DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1 Tabel 2 Halaman Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, dan Metodologi Penelitian Tabel 3 Kegunaan dan Luas Lahan Desa Sukanagalih Tabel 4 Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Umur Tabel 5 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukanagalih Tabel 6 Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut Mata Pencaharian Tabel 7 Tingkat Gaji Karyawan Kota Bunga Tabel 8 Tingkat Pendidikan Karyawan Kota Bunga...54 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Luas Kepemilikan Lahan Responden sebelum dan setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Hubungan Antara Tingkat Keragaman Tingkat Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual Beli Lahan Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga...79 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga...81 xi

17 xii Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan Jenis pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Hubungan Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga...92 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga Hubungan Antara Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga xii

18 xiii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Gambar 1 Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat...23 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan...31 xiii

19 xiv DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran 1 Halaman Hasil Uji Statistik Korelasi Rank Spearman Lampiran 2 Hasil Uji Statistik Chi-Square Lampiran 3 Peta Desa Sukanagalih Lampiran 4 Gambaran Tempat Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Lampiran 5 Lampiran 6 Jalan Penghubung Antara Kota Bunga dan Permukiman Penduduk Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga xiv

20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, kemudian sektor pariwisata menjadi sektor yang didorong untuk menghasilkan devisa negara (Suhendar dan Winarni, 1998). Padahal sebelumnya yaitu pada tahun 1978 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang perlunya pengembangan kepariwisataan. Kebijakan tersebut berisi pernyataan bahwa kepariwisataan dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan kebudayaan. Pembinaan dan pengembangan pariwisata ini dilakukan dengan tetap memperhatikan pemeliharaan kebudayaan dan kepribadian nasional. Dalam hal memperluas kesempatan kerja, pada tahun 1973 sektor pariwisata terbukti memberikan kesempatan kerja di Inggris, Meksiko, Amerika Serikat, dan Bahama. Di Inggris, sektor pariwisata menampung 1,5 juta tenaga kerja; di Meksiko, sektor pariwisata menampung 250 ribu tenaga kerja; di Amerika Serikat, sektor pariwisata menampung 8,75 juta tenaga kerja; dan di Bahama, sekitar 70 persen tenaga kerja bekerja di sektor pariwisata (Spillane, 1987). Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Hal ini sesuai dengan

21 2 perumusan Visi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional yaitu terwujudnya kebudayaan dan pariwisata yang maju, dinamis, dan berwawasan lingkungan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan peradaban, persatuan dan persahabatan antarbangsa. Untuk mewujudkan visi tersebut, dirumuskan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional, salah satunya yaitu pengembangan produk pariwisata yang berwawasan lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Berdasarkan pasal 16 UU No. 9 Tahun 1990, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata dikelompokkan menjadi tiga kelompok 1. Penelitian ini membahas kelompok pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan tata lingkungan untuk dijadikan sasaran wisata. Salah satu contoh tempat wisata alam adalah Kebun Raya Cibodas di Kabupaten Cianjur. Sektor pariwisata memiliki manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan. Dari segi ekonomi, manfaat pariwisata yaitu meningkatkan penerimaan devisa negara (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Manfaat pariwisata dalam meningkatkan devisa negara dapat dilihat dari perolehan pendapatan dari sektor tersebut. Diperkirakan devisa yang dihasilkan sektor pariwisata dunia tahun 2010 sebesar US $ 3,4 trilyun dan membuka kesempatan kerja sebesar 10,6 persen dari angkatan kerja dunia. Satu dari sepuluh orang akan bekerja di sektor pariwisata (Yoeti, 1996a). Industri pariwisata di Indonesia pada tahun 1 Tiga Kelompok Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, yaitu : (1) Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam; (2) Pengusahaan obyek dan daya tarik budaya; dan (3) Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus.

22 menghasilkan perolehan sebesar 64,48 triliun rupiah dan 6,6 juta pekerjaan. Diperkirakan tahun 2007 meningkat menjadi 248,363 triliun rupiah hasil bruto dan 8,5 juta pekerjaan (Yoeti dalam Safri, 2003). Dari segi manfaat bagi lingkungan, pembangunan pariwisata diarahkan pada pengembangan daerah sehingga memberikan kehidupan yang tenang, bersih, jauh dari polusi, santai dan dapat mengembalikan kesehatan fisik maupun mental (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Menurut Pendit (1986), pariwisata memiliki 14 jenis pariwisata, diantaranya yaitu wisata pertanian dan wisata cagar alam. Wisata pertanian merupakan pengorganisasian perjalanan yang dilakukan ke proyek-proyek pertanian, perkebunan, atau ladang pembibitan. Di sisi lain wisata cagar alam adalah wisata yang berkaitan dengan kegemaran terhadap keindahan alam, kesegaran hawa udara di pengunungan, keajaiban hidup binatang dan satwa langka serta tumbuh-tumbuhan khas daerah. Di sisi lain, Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, maka tidak mengherankan jika masalah kebutuhan lahan bertambah. Hal ini dipertegas oleh Yudohusodo (2002) yang menyatakan bahwa masalah agraria terjadi kerena tidak terealisasinya UUPA. Padahal UUPA sebenarnya merupakan wujud implementasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bumi dan air termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu contoh kebutuhan lahan untuk pembangunan ialah pembebasan lahan untuk wilayah industri. Pada Pelita V pemerintah mengembangkan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) yang terdiri dari lima zona. Zona-zona itu ialah Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Selatan,

23 4 Pulau Jawa, Kalimantan bagian Timur, dan Sulawesi (Suhendar dan Winarni, 1998). Saat ini tuntutan atas lahan semakin kuat karena tumbuhnya industri yang membutuhkan lahan (Tjondronegoro, 1999). Salah satu industri yang membutuhkan lahan adalah industri pariwisata. Di Pulau Jawa, kasus sengketa lahan antara pemilik lahan dan pengembang pariwisata banyak terjadi di Jawa Barat. Salah satunya yaitu kasus sengketa lahan yang terjadi di Bogor. Sekitar 21 petani pemilik lahan di Pasarangin harus menyerahkan lahan seluas 15 ha ke PT. KAA untuk perluasan proyek agrowisata terpadu ( Republika dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Menurut Lipton dalam Tjondronegoro (1999), ketidakberhasilan pembangunan mengangkat kesejahteraan petani di dunia ketiga disebabkan oleh pembangunan yang bias perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang pariwisata. Pada prakteknya pembangunan industri pariwisata lebih dirasakan oleh masyarakat kota, misalnya kasus yang terjadi di Cisarua dan Rancamaya, Bogor. Di Cisarua, sebanyak 201 petani penggarap menolak pembayaran ganti rugi proyek perluasan Taman Safari (Bisnis Indonesia dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Di Rancamaya, sekitar 300 petani menolak ganti rugi atas lahan untuk proyek lapangan golf dan perumahan mewah karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan petani (Suara Karya dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Perubahan demografi dan ekologi, pengembangan produksi untuk kepentingan pasar, masifnya sistem monokultur, serta intervensi negara yang mengatur pola produksi dan konsumsi, akan menciptakan kerawanan struktural pada petani. Padahal petani menggantungkan diri pada sistem subsistensi. Mengacu pada pendapat Scott (1989), krisis subsistensi petani memicu gerakan

24 5 petani. Umumnya aksi-aksi protes petani selama periode 1980 hingga 1990-an lebih disebabkan oleh masuknya modal secara masif di wilayah perdesaan dalam bentuk pengambilalihan lahan secara paksa yang berkolaborasi dengan negara (Bahari, 2001). Salah satu kasus sengketa lahan kawasan pariwisata yang menimbulkan gerakan petani yaitu kasus yang terjadi di Pecatu, Bali (Suhendar dan Winarni, 1998). Lebih lanjut Bahari (2001) menyatakan bahwa pada umumnya petani yang terlibat dalam gerakan tersebut berasal dari kalangan pemilik lahan atau penggarap. Mereka sudah menguasai dan mengelola lahan cukup lama meskipun lahan tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhannya secara normal, tetapi setidaknya dapat mempertahankan hidup mereka dari kelaparan. Maka ketika lahan yang mereka kuasai diambil alih secara paksa oleh negara atau pemilik modal, mereka kehilangan sumber subsistensi. Tabel 1. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993 No. Kelompok Luas Penguasaan Lahan (Ha) Persentase (%) Rumahtangga Pertanian Persentase Kumulatif (%) Luas Lahan Yang Dikuasai (%) 1. Tuna Kisma dan Petani kurang 0, ,1 0, , > 1, Sumber : Sensus Pertanian Indonesia dalam Yudohusodo, 2002 Pertambahan jumlah petani miskin disebabkan semakin menyempitnya lahan usahatani yang dimiliki petani (Yudohusodo, 2002). Dari Tabel 1 terungkap bahwa 43 persen rumahtangga pertanian miskin lahan (tunakisma dan petani dengan luas penguasaan kurang dari 0,1 hektar) hanya menguasai 13 persen

25 6 dari luas lahan pertanian, sementara 16 persen rumahtangga petani kaya lahan (petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar) menguasai hampir 70 persen luas lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat fragmentasi pemilikan atau penguasaan lahan dan fragmentasi fisik hamparan lahan serta alih fungsi lahan pertanian subur ke penggunaan non pertanian (Yudohusodo, 2002). Di sisi lain, Spillane (1987) mengungkapkan pariwisata dapat mengubah motivasi unsur kebudayaan. Kesenian dan upacara yang semula dilakukan karena motivasi tradisi atau spiritual menjadi motivasi komersil. Kegiatan kebudayaan dilaksanakan bukan lagi karena tradisi tetapi karena permintaan wisatawan. Hal ini terjadi pada pelaksanaan upacara-upacara kebudayaan di Bali. Upacara-upacara yang seharusnya dilakukan waktu tertentu, kini dapat dilakukan kapan saja tergantung permintaan wisatawan dan besarnya bayaran (Metera, 1996). Pembangunan pariwisata dapat juga memunculkan kegiatan usaha seperti usaha kerajinan, rekreasi atau hiburan, toko cinderamata dan lain-lain (Atmaja dalam Metera, 1996). Salah satu contohnya yaitu usaha kerajinan yang berkembang di daerah Bali ketika daerah tersebut dijadikan kawasan pariwisata. Seperti usaha kerajinan patung batu padas, usaha kerajinan emas dan perak, usaha kerajinan ukiran kayu, dan usaha kerajinan lukisan (Suara Merdeka dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Pengembangan pariwisata memunculakan adanya produk wisata. Medlink dan Midleton menyatakan (Yoeti, 1996b) terdapat tiga unsur yang membentuk produk wisata, yaitu : 1. Atraksi pada suatu daerah pariwisata termasuk citra daerah wisata. 2. Fasilitas di daerah wisata mencakup akomodasi, jasa boga, rekreasi, dan hiburan.

26 7 3. Aksesibilitas ke daerah pariwisata. Pengembangan produk wisata dapat menjadi salah satu peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut. Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan yang mereka miliki (Metera, 1996). 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan lahan di perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan terhadap lahan. Dewasa ini, pembangunan di sektor pariwisata sedang dikembangkan oleh pemerintah, dimana pada pelaksanaannya pengembangan pariwisata membutuhkan lahan. Kebutuhan terhadap lahan yang semakin meningkat apabila bertentangan dengan kepentingan pihak lain (pemodal dan rumahtangga petani) dapat menimbulkan masalah. Seperti pada kasus-kasus sengketa lahan antara petani, pemerintah dan swasta. Pengembangan wisata melalui kebijakan yang ditetapkan pemerintah memudahkan pemilik modal untuk mengembangkan industri pariwisata. Pengembangan industri pariwisata itu sendiri, sejalan dengan konsep pembangunan di bidang ekonomi yaitu untuk meningkatkan devisa negara. Hanya saja, pengembangan wisata itu tidak hanya meningkatkan devisa negara, tetapi dapat menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalahnya yaitu kasus sengketa lahan. Sengketa lahan tersebut timbul karena harga ganti rugi lahan yang diberikan pemerintah atau pemodal tidak sesuai dengan harapan petani pemilik lahan. Maka dari itu, penelitian ini akan mengananalisis bagaimana proses alih fungsi lahan yang terjadi di desa sekitar wisata.

27 8 Masalah lain yang muncul akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah masalah kepemilikan dan penguasaan lahan. Petani-petani yang kehilangan lahan harus mencari lahan baru di daerah baru. Pada kasus sebelumnya, petani yang kehilangan lahan mampu membeli lahan baru di daerah baru, hanya saja lahan tersebut tidak subur seperti lahan semula. Harga ganti rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan petani dan harga pasaran menyebabkan petani sulit membeli lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang sama dan lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Hal ini disebabkan harga lahan-lahan subur mahal, sedangkan petani tidak mampu membeli lahan yang subur itu. Jumlah petani yang mampu membeli lahan subur dan luas rendah sehingga mengakibatkan terakumulasinya lahan oleh sebagian orang dan dapat meningkatkan jumlah tuna kisma. Maka dari itu, bagaimana nasib petani jika petani kehilangan lahan pertanian? Apakah petani akan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan berganti profesi? Lalu bagaimana tingkat pendapatan petani di daerah wisata? Pembangunan fasilitas pariwisata selain dapat mengubah struktur agraria masyarakat lokal dapat juga mengubah kelembagaan. Kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata masih berupa kelembagaan yang berhubungan dengan usahatani yang bersifat subsisten atau kelembagaankelembagaan gotong royong, tetapi setelah pembangunan fasilitas pariwisata, muncul kelembagaan-kelembagaan komersil yang berhubungan dengan usahausaha di sektor wisata. Jika kelembagaan baru yang muncul di perdesaan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, maka hal ini merupakan suatu gejala yang diharapkan, tetapi jika kelembagaan baru itu menimbulkan masalah bagi masyarakat lokal, maka gejala inilah yang tidak diharapkan. Kelembagaan yang bersifat komersil dapat menimbulkan persaingan antara masyarakat lokal

28 9 dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang usaha, masyarakat pendatang lebih mampu mengisi peluang tersebut. Masyarakat pendatang memiliki modal yang cukup dan telah diperhitungkan untuk berusaha di daerah wisata, sehingga kemungkinan rugi dapat ditekan, sedangkan masyarakat lokal jarang memperhitungkan hal tersebut. Selain itu keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat lokal merupakan salah satu kelemahan dalam memasuki peluang usaha. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan dapat menjadi peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal dan keterampilan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi mereka hanya dapat menempati usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usahausaha utama itu biasanya ditempati pendatang atau pemilik modal. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan struktur agraria rumahtangga petani karena pembangunan fasilitas pariwisata dan dampaknya terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat lokal. Tujuan ini dirinci sebagai berikut : 1. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap perubahan struktur agraria.

29 10 2. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap kelembagaan di perdesaan. 3. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal dan kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan masyarakat lokal. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perubahan struktur agraria di perdesaan sebagai akibat pembangunan fasilitas pariwisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sehingga lebih memperhatikan kepentingan masyarakat lokal. 1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini membahas dampak pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan. Fasilitas pariwisata yang dibahas berupa pembangunan real estate atau villa-villa. Pembahasan penelitian ini, fokus pada alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan perubahan struktur agraria di perdesaan. Selain masalah agraria, penelitian ini membahas perubahan sifat kelembagaan di perdesaan dan pembahasan mengenai peluang usaha dan peluang kerja yang muncul akibat pembangunan fasilitas pariwisata.

30 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Orde Baru mengundang investasi swasta (asing dan domestik) dalam kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia termasuk kegiatan industri. Upaya tersebut dilegitimasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Tujuan dikeluarkannya UU tersebut yaitu menarik investor asing dan dalam negeri (domestik) melakukan investasi di Indonesia (Suhendar dan Winarni, 1998). Undang-undang penanaman modal ini ditindaklanjuti dengan serangkaian kebijakan yang memberi kemudahan kepada investor seperti keringanan pajak, pembebasan bea masuk, penyediaan tenaga kerja yang melimpah dan murah, dan kemudahan memperoleh tanah. Adapun kemudahan memperoleh tanah untuk investor dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang industrial estate 2. Dalam perkembangan selanjutnya aturan penyediaan tanah untuk industri diperkuat melalui Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Dalam keputusan Presiden tersebut, pemberian lokasi untuk kawasan industri mengikuti petunjuk sebagai berikut : (1) sejauh mungkin harus menghindari pengurangan areal subur; (2) 2 Industrial estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha, termasuk industri pariwisata yang dilengkapi prasarana-prasarana umum yang diperlukan.

31 12 sedapat mungkin memanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; (3) sedapat mungkin menghidari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya; (4) perhatian terhadap persyaratan bebas pencemaran lingkungan (Metera, 1996). Kebijakan tentang kepariwisataan diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun Adapun kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: (1) kebudayaan dan pariwisata adalah wahana pengembangan wilayah; (2) dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata, masyarakat merupakan subyek pembangunan dan bukan hanya obyek pembangunan; (3) pelestarian dan pengembangan kebudayaan pariwisata menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara kesatuan Indonesia; dan (4) pemanfaatan unsur kesenian dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata harus dilakukan secara bertanggung jawab dan menuju pada pelestarian alam dan pengkayaan budaya, sehingga menjadi wahana persahabatan antar bangsa, sekaligus menunjung pelestarian lingkungan alam (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Selanjutnya penanganan tugas pemerintahan tentang kepariwisataan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 2003 memerlukan integrasi kelembagaan dalam penanganan tugas pemerintahan di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun Beberapa isi dari Keppres tersebut adalah Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata merumuskan kebijakan pemerintah di bidang

32 13 Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rumusan kebijakan itu diperlukan perhatian terhadap peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha kebudayaan dan pariwisata dalam memajukan kebudayaan dan pariwisata, penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang di bidang Kebudayaan dan Pariwisata, dan penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KEP-04-A/MKP/VI/2001, tujuan program pengembangan pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan kebudayaan serta sumber daya (pesona) alam lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Landasan pengembangan pariwisata juga berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XII tentang pembinaan dan pengawasan, pasal 112, ayat (1) menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi. Selain undang-undang yang telah disebutkan di atas, masih ada undang-undang lain yang terkait dengan kepariwisataan khususnya wisata alam, diantaranya yaitu (Yoeti, 2001): 1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. 2. Kepmen Parpostel No. KM.98/PW.102/MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.

33 14 3. Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No. Kep. 18/U/11/1988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata. 4. Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 5. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona pemanfaatan kawasan pelestarian alam. 6. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. 7. Sadar Wisata dan Sapta Pesona dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Pengembangan Kepariwisataan Menurut Institut of Tourisme in Britain dalam Pendit (1986), pariwisata adalah kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan tempat bekerja, sedangkan Pendit (1986) memandang pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produtivitas lainnya. Ke pariwisataan mewajibkan penyediaan produk wisata. Beberapa produk wisata diantaranya (Yoeti, 1996) yaitu: 1. Jasa-jasa agen perjalanan yang memberi informasi, advis, pengurusan dokumen perjalanan, perjalanan itu sendiri pada waktu akan berangkat. 2. Jasa-jasa perusahaan angkutan yang akan membawa wisatawan dari dan ke daerah tujuan wisata. 3. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi. 4. Jasa-jasa agen perjalanan lokal yang menyelenggarakan perjalanan ke obyek-obyek wisata setempat.

34 15 5. Jasa-jasa transport lokal (bus, taksi, coach-bus) dalam melakukan perjalanan obyek wisata setempat. 6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata. 7. Jasa-jasa pedagang cinderamata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan. 8. Jasa-jasa perusahaan pendukung seperti postcard film (photo supply), penukaran uang (bank). Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan sumberdaya, ketersediaan sumberdaya wisata di Indonesia banyak macamnya, diantaranya yaitu (Joyosuharto, 2001) : 1. Alam non hayati : wilayah pesisir di pantai, pegunungan, laut, pulau karang, taman laut, danau, dan gua. 2. Alam hayati : hutan pantai, hutan bakau, hutan dataran rendah, pegunungan dengan floranya, dan fauna. 3. Manusia dengan perilaku, budaya dan kebutuhan : Adat istiadat yang terpatri dalam kehidupanya, budaya dan kebutuhan yang menggambarkan kedekatannya dengan alam hingga keramahan, kehalusan dan ketinggian budaya. 4. Buatan : taman hutan raya, taman margasatwa, taman pantai, peninggalan sejarah, tata letak dan arsitektur rumah, tempat peribadatan, istana raja, taman hiburan, dan museum. Kesemuanya itu dapat merupakan sumberdaya wisata yang menjanjikan keindahan atau daya tarik untuk dijual, sehingga dapat dinikmati wisatawan. Walaupun demikian, hal ini tergantung pengelolaan tempat wisata saja. Hal ini dikarenakan pengelolaan wisata tidak hanya bergantung pada sumberdaya wisata saja, tetapi memerlukan keterpaduan dalam penataan, pemeliharaan,

35 16 pengawasan, pengendalian, dan pemulihan sumberdaya wisata (Joyosuharto, 2001). Selanjutnya ditambahkan oleh Lakoni (2001), yang menyatakan bahwa syarat utama dalam mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata adalah peningkatan profesionalisme yang didukung oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia, juga masalah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) dalam pembangunan pariwisata. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan memberikan beberapa peluang usaha bagi masyarakat perdesaan khususnya petani, tetapi sedikit sekali peluang usaha yang dapat dimasuki oleh petani. Hal ini dikarenakan keterbatasan keterampilan yang dimiliki petani. Kemampuan untuk memasuki lapangan kerja baru tergantung pada faktor-faktor motivasi, keberanian mengambil resiko, modal yang dimiliki petani, kemunculan pusat pertumbuhan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, dan keberadaan lembaga yang mendukung petani memasuki peluang usaha (Metera, 1996). Petani pemilik lahan luas pada peristiwa alih fungsi tanah di kawasan wisata Tanah Lot, Bali memiliki kecenderungan mengalokasikan uang ganti rugi untuk membeli tanah lagi di daerah pedalaman, sehingga dapat meneruskan kembali usahataninya. Hal yang paling menarik dari penelitian ini adalah buruh tani lebih banyak yang berubah mata pencaharian ketimbang penggarap. Hal ini disebabkan karena penggarap lebih terikat kepada tanah dibanding buruh tani. Buruh tani relatif lebih bebas (tidak terikat pada lahan garapan) ketimbang penggarap (Metera, 1996). Yoeti (2001) menyarankan bahwa dalam pengembangan wisata di perdesaan, masyarakat perlu diberi informasi, mereka harus diberi ide-ide, kemudian pembinaan. Mereka tidak sadar bahwa di sekeliling mereka terdapat peluang usaha untuk menghasilkan uang. Di sinilah perlunya bantuan Lembaga

36 17 Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memberikan pembinaan kepada petani untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, para pemula diajak ke Agrowisata Kali Klatak di Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana mereka melakukan studi banding terhadap pengusaha agrowisata yang berhasil dalam mengusahakan kopi, karet, coklat, dan cengkeh. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembangunan pariwisata tidak lagi hanya menjadi milik orang yang bermodal saja tetapi juga dimiliki oleh petani sekitar proyek yang selama ini hanya menjadi penonton di kampung halaman sendiri Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria Salah satu kebijakan agraria di Indonesia adalah Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan fungsi sosial bagi kepemilikan tanah (Pasal 33 dari UUD 1945); memberikan tanah bagi penggarapnya; dan penghapusan kepemilikan tanah berluasan lebih agar hubungan tuan tanah penggarap menjadi lebih menguntungkan penggarap. Redistribusi tanah dipandu dengan aturan penjelasan dalam undangundang tersebut mengenai luas penguasaan tanah minimum dan maksimum (Tjondronegoro, 1999). Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah dalam UUPA 1960 diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang dan

37 18 peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960). Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: (1) hak milik, (2) Hak Guna Usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hakhak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan untuk hapus dalam waktu yang singkat (Subekti dalam Sutisna, 2001). Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam usaha pengumpulan devisa negara dari sektor pariwisata, kasus-kasus sengketa tanah yang merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah pariwisata banyak dijumpai di Jawa Barat. Seperti kasus di Desa Margamulaya, Bandung. Lahan seluas 360 ha dibebaskan untuk membangun perumahan mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195 KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha milik penduduk untuk kawasan wisata (Suhendar dan Winarni, 1998). Travis dalam Pendit (1986) menyatakan dampak dari pariwisata adalah perusakan sumber peradaban, hilangnya kegunaan tanah, dan urbanisasi yang meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Metera (1996), alih fungsi tanah pertanian menjadi kawasan wisata mengakibatkan tiga hal yaitu :

38 19 1. Banyaknya petani yang membeli tanah di daerah lain, meskipun demikian masih lebih banyak petani yang mengalami penurunan luas lahan. 2. Semakin rendah status kepemilikan tanah, semakin besar kecenderungan untuk membeli tanah lagi. 3. Secara relatif semakin tinggi status pemilikan tanah semakin menurun kepemilikan atas tanah. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan kebutuhan manusia terhadap tanah meningkat sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah penduduk semakin meningkat. Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang tinggi (Afianto, 2002). Barlow dalam Afianto (2002) menyatakan bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan tanah, kandungan barang tambang, atau keutamaan lokasi. Suatu contoh di perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi (Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987). Hal ini dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan tanah. Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah merupakan alat yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan. Pemilik modal memanfaatkan tanah dengan alasan untuk membangun infrastruktur di perdesaan dimana pemerintah sebagai aparat negara memberikan alasan memperluas kesempatan kerja, memperbesar devisa negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di perdesaan (Fauzi, 1999). Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat produksi untuk surplus maksimal yang menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini

39 20 terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten petani yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang menggunakan faktor-faktor produksi menurut perhitungan rasional dan seefisien mungkin agar memperoleh keuntungan setingi-tinginya. Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi terpisah. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai alat produksi dengan mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang berdasarkan modal swasta dan negara. Kapitalisme yang berdasarkan modal swasta berkembang atas dasar kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa imbalan (Suhendar dan Winarni, 1998). Kemudian Suhendar dan Winarni (1998) juga menjelaskan bahwa perebutan sumberdaya agraria dapat menimbulkan konflik. Konflik agraria sering terjadi pada kasus-kasus pengambilalihan lahan pertanian untuk kepentingan industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola agraria berikut pola penguasaannya terancam dengan terganggunya tata produksi oleh intervensi kapital ke masyarakat. Scott (1989) menilai bahwa dorongan moral merupakan alasan utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral yang besar. Menurut Wiradi (2000), terdapat perbedaan konsep antara pemilikan dan penguasaan lahan. Konsep kepemilikan menunjuk kepada penguasaan formal. Hal ini berarti dalam penguasaan lahan terdapat undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut. Misalnya, seseorang mempunyai lahan yang

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul,

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya berdekatan dengan tempat wisata makam raja-raja Mataram. Menurut cerita

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:www.google.com, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:www.google.com, 2011. BAB I PENDAHULUAN AQUARIUM BIOTA LAUT I.1. Latar Belakang Hampir 97,5% luas permukaan bumi merupakan lautan,dan sisanya adalah perairan air tawar. Sekitar 2/3 berwujud es di kutub dan 1/3 sisanya berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

Wahana Wisata Biota Akuatik BAB I PENDAHULUAN

Wahana Wisata Biota Akuatik BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dimana sebagian besar dari seluruh luas Indonesia adalah berupa perairan. Karena itu indonesia memiliki potensi laut yang besar

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang melimpah dengan jumlah total pulau mencapai 17.508 pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang begitu kaya, indah dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang begitu kaya, indah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang begitu kaya, indah dan menakjubkan. Kondisi kondisi alamiah seperti letak dan keadaan geografis, lapisan tanah yang subur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. September Matriks Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah per Kementerian/Lembaga.

BAB I PENDAHULUAN. September Matriks Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah per Kementerian/Lembaga. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor andalan pembangunan perekonomian nasional, merupakan peran yang signifikan. Secara nasional, sektor pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tanah yang subur, yang merupakan sumber daya alam yang sangat berharga bagi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tanah yang subur, yang merupakan sumber daya alam yang sangat berharga bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan alam yang berlimpah, yakni salah satunya kekayaan dalam bidang pariwisata. Indonesia

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting, dimana dalam perekonomian suatu Negara, apabila dikembangkan secara terencana dan terpadu, peran pariwisata

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 170 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis yang telah penulis lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kawasan Sorake,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berusaha, memperluas kesempatan kerja, dan lain sebagainya (Yoeti, 2004).

I. PENDAHULUAN. berusaha, memperluas kesempatan kerja, dan lain sebagainya (Yoeti, 2004). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keragaman kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, seperti potensi alam, keindahan alam, flora dan fauna memiliki daya tarik untuk dikunjungi oleh wisatawan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) Tentang: KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk memperoleh devisa dari penghasilan non migas. Peranan pariwisata dalam pembangunan nasional,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi kepariwisataan di Indonesia sangat besar. Sebagai negara tropis dengan sumberdaya alam hayati terbesar ketiga di dunia, sangat wajar bila pemerintah Indonesia memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan wisata untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan wisata untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan wisata untuk menikmati produk-produk wisata baik itu keindahan alam maupun beraneka ragam kesenian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan Juli 1997 mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian di lndonesia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan erat dengan jarak. Hal itu berkaitan dengan pola persebaran yang

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan erat dengan jarak. Hal itu berkaitan dengan pola persebaran yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Spasial sebagai keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak dan posisinya. Lokasi yang dimaksud adalah lokasi absolut atau sudah pasti

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK (Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) Oleh: MENDEZ FARDIAZ A14202050

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor andalan perekonomian di Propinsi Lampung adalah pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011,

I. PENDAHULUAN. menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pariwisata saat ini sudah menjadi salah satu primadona dunia dan menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011, United Nations World

Lebih terperinci

RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA

RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, obyek wisata yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan dalam menghasilkan devisa suatu negara. Berbagai negara terus berupaya mengembangkan pembangunan sektor

Lebih terperinci

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR Oleh : MUKHAMAD LEO L2D 004 336 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia tidak hanya dikaruniai tanah air yang memiliki keindahan alam yang melimpah, tetapi juga keindahan alam yang mempunyai daya tarik sangat mengagumkan.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa transmigrasi merupakan bagian integral

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 3-1972 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 37, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. dengan musik. Gerakan-gerakan itu dapat dinikmati sendiri, pengucapan suatu

BAB II URAIAN TEORITIS. dengan musik. Gerakan-gerakan itu dapat dinikmati sendiri, pengucapan suatu BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Tari Seni tari merupakan seni menggerakkan tubuh secara berirama, biasanya sejalan dengan musik. Gerakan-gerakan itu dapat dinikmati sendiri, pengucapan suatu gagasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, adat istiadat maupun kebudayaan dari masing-masing daerah.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, adat istiadat maupun kebudayaan dari masing-masing daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan suku bangsa, adat istiadat maupun kebudayaan dari masing-masing daerah. Keanekaragaman budaya tersebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah, Cilacap

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah, Cilacap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah, Cilacap merupakan salah satu Daerah Tujuan Wisata dan kawasan pengembangan pariwisata Jawa Tengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan salah satu sarana yang tepat dalam meningkatkan kemajuan ekonomi masyarakat baik lokal maupun global. Pariwisata mempunyai dampak dan

Lebih terperinci

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009).

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, pasal

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 Tentang : Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 18 TAHUN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transmigrasi merupakan bagian integral dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, yang dihuni oleh bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG Oleh : THESISIANA MAHARANI A14302058 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN PRIORITAS PENYEDIAAN KOMPONEN WISATA BAGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PULAU NIAS TUGAS AKHIR. Oleh: TUHONI ZEGA L2D

KAJIAN PRIORITAS PENYEDIAAN KOMPONEN WISATA BAGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PULAU NIAS TUGAS AKHIR. Oleh: TUHONI ZEGA L2D KAJIAN PRIORITAS PENYEDIAAN KOMPONEN WISATA BAGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PULAU NIAS TUGAS AKHIR Oleh: TUHONI ZEGA L2D 301 337 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output)

ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output) ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output) OLEH DWI PANGASTUTI UJIANI H14102028 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negaranya untuk dikembangkan dan dipromosikan ke negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. negaranya untuk dikembangkan dan dipromosikan ke negara lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor penghasil devisa bagi negara yang cukup efektif untuk dikembangkan. Perkembangan sektor pariwisata ini terbilang cukup

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 17 TAHUN 2003 SERI D.14 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 08 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA UMUM TATA RUANG KOTA SUMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR Oleh : M. KUDRI L2D 304 330 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

IZIN USAHA JASA PARIWISATA

IZIN USAHA JASA PARIWISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA JASA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG KEPARIWISATAAN DI KOTA BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepariwisataan diperkirakan mengalami perkembangan dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepariwisataan diperkirakan mengalami perkembangan dan mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepariwisataan diperkirakan mengalami perkembangan dan mempunyai nilai tinggi dalam kehidupan manusia. Potensi wisata dalam perkembangan pariwisata sebuah negara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai dasar pertimbangan yang kuat untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai dasar pertimbangan yang kuat untuk memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah mempunyai dasar pertimbangan yang kuat untuk memberikan prioritas pada pembangunan sektor pertanian, karena sektor pertanian di Indonesia sampai

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG POLA INDUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BAWANG PUTIH IMPOR DI INDONESIA. Oleh: JUMINI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BAWANG PUTIH IMPOR DI INDONESIA. Oleh: JUMINI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BAWANG PUTIH IMPOR DI INDONESIA Oleh: A 14105565 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pariwisata semakin dikembangkan oleh banyak negara karena

BAB I PENDAHULUAN. Industri pariwisata semakin dikembangkan oleh banyak negara karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata semakin dikembangkan oleh banyak negara karena memberikan manfaat ekonomi, termasuk Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia berlomba mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara, dengan adanya pariwisata suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN KE KAWASAN WISATA PANTAI CARITA KABUPATEN PANDEGLANG

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN KE KAWASAN WISATA PANTAI CARITA KABUPATEN PANDEGLANG ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN KE KAWASAN WISATA PANTAI CARITA KABUPATEN PANDEGLANG Oleh: RINA MULYANI A14301039 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

L E M B A R A N D A E R A H

L E M B A R A N D A E R A H L E M B A R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 2004 NOMOR 1 SERI E NO. SERI 1 P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi bangsa Indonesia, namun migas itu sendiri sifat nya tidak dapat diperbaharui, sehingga ketergantungan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya,

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi sebuah perhatian yang besar dari para

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkebunan, kelautan dan perikanan, serta pertambangan Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. perkebunan, kelautan dan perikanan, serta pertambangan Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata secara umum merupakan salah satu prioritas unggulan penghasil devisa negara selain migas, pertanian dan agro industri, kehutanan dan perkebunan, kelautan

Lebih terperinci