BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA"

Transkripsi

1 BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM BERBAGAI UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA D. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang selama ini sudah lama diatur dalam hukum positif di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Misalnya saja rumusan kejahatan perdagangan orang yang di atur di dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya yang masih terserak-serak di luar KUHP. Apabila untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana, menurut ilmu hukum pidana harus dituangkan dalam undang-undang, sehingga kerapkali hukum pidana dikenal sebagai hukum undang-undang. Di dalam undangundang tersebut, dirumuskan perbuatan yang dilarang, ataupun merumuskan unsur-unsurnya. Tanpa rumusan perbuatan yang dilarang, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana. Pendapat Enshcede yang dikutip oleh Schaffmeister, das Sr. enthalt weder Befehle noch Normen, sonder nur Deliktsumschreibungen bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang menunjukkan fragmen-fragmen dari norma-norma yang dapat dipidana Ny. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Meteril dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 3.

2 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana perdagangan orang, diantaranya : a. Pasal 297 KUHP: "Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun". Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang yang berada dalam posisi rentan, baik perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. 36 b. Pasal 324 KUHP: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Pasal 324 KUHP mengatur Perniagaan budak belian (Slavenhandel), tetapi perbudakan di Indonesia menurut hukum berdasarkan pasal 169 Indische Staatsregeling pada tanggal 1 Januari 1860 telah dihapus dengan pertimbangan bahwa, perbudakan tidak akan terjadi pada zaman 36 International Organization for Migration (IOM), 2009, Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Hal 17.

3 modern ini. Tetapi ternyata asumsi tersebut keliru karena justru di era globalisasi ini Slavehandel marak kembali dalam wujud yang lebih canggih dan lebih berani serta dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung. Perempuan pekerja domestik seringkali diperlakukan layaknya budak, dipekerjakan tanpa mendapat upah sama sekali, tidak diberikan tempat istirahat yang layak dan dirampas kebebasan bergeraknya. Tarif yang ditetapkan oleh agen perekrut tenaga kerja kepada calon majikan, seolah memberikan kekuasaan kepada majikan atas pekerja domestik yang telah dibelinya. Sehingga untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pekerja domestik, majikan mengeksploitasi korban secara terus menerus. 37 2) Undang-Undang No. l Tahun 1979 tentang Ekstradisi Dalam lampiran UU No. 1/1979 berjudul "Daftar Kejahatan Yang Pelakunya Dapat Diekstradisi", ditemukan beberapa kejahatan yang terkait dengan kejahatan trafficking, yakni: 1. Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur; 2. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur; 3. Penculikan dan penahanan melawan hukum; 37 Ibid,.

4 4. Perbudakan". 3) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Tubuh dan organ termasuk darah merupakan anugerah Tuhan yang maha Esa, maka oleh karena itu dilarang untuk dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan atau komersil melalui jual beli. Larangan ini diperlukan untuk menjamin bahwa tubuh dan organ termasuk darah yang akan dipindahkan betul-betul dimaksudkan untuk penyembuhan atau pemulihan kesehatan. 38 a. Pasal 34 ayat (1) : "Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu". b. Pasal 34 ayat (2) : "Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan atas persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya". c. Pasal 80 ayat (3) : "Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara 38 Lihat penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

5 paling lama 15 (lima betas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,- (tiga ratusjuta rupiah)" d. Pasal 81 ayat (1) huruf a: "Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja: a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (I): b....; c.... dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp ,- (seratus empat puluh juta)." e. Ketentuan ini dapat dipergunakan untuk melindungi anak dari transfer organ secara tidak sah dan melawan hukum, serta menjerat perbuatan trafficking yang dilakukan untuk tujuan transfer organ. 4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM ini mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan, kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan anak sebagai landasan yuridis sebagai pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. a. Pasal 3 : Setiap orang dilahirkan dengan bebas, dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta setiap orang berhak atas perlindungan dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. b. Pasal 4: Bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak untuk tidak diperbudak adalah hak asasi

6 c. Pasal 20: Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, seperti perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala macam perbuatan apapun yang tujuannya serupa. Diperbudak, diperhamba atau yang dibeli atau yang boleh dibeli, atau yang diperkerjakan karena hutang, atau yang menjadi budak karena tidak mampu membayar hutang, atau yang perempuan karena permainan. d. Pasal 64 : "Setiap anak berpihak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kekerasan fisik, moral, kehidupan moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya". e. Pasal 65 : "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya". Akan tetapi, dalam UU No. 39 Tahun 1999 ini tidak memuat norma tentang ketentuan sanksi hukuman bagi pelanggar hak asasi manusia, termasuk pasal tentang perdagangan anak. 5) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

7 Negara kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; dan anak adalah amanah dan karunai Allah SWT, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, ini adalah bagian dari pembukaan UU tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober tahun a. Pasal 59: "Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada... anak tereksploitasi secara ekonomi/ seksual, anak yang diperdagangkan,... anak korban penculikan, penculikan dan perdagangan,. b. Pasal 66 ayat (I): "Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat"; c. Pasal 66 ayat (2): "Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui: 1. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; 2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan Chairul Bariah Mozasa, Op. Cit.,hlm. 38.

8 3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekeria, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. d. Pasal 68 ayat (1): "Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat". e. Pasal 68 ayat (2): "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)". f. Pasal 81 ayat (l):"setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,- (enam puluh juta rupiah). g. Pasal 81 ayat (2): "Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

9 h. Pasal 82: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan membiarkan.dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,- (enam puluh juta rupiah). i. Pasal 83: "Setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,- (enam puluh juta rupiah). j. Pasal 84: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,- (dua ratus juta rupiah). k. Pasal 85 ayat (1): "Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,- (tiga ratus juta rupiah).

10 l. Pasal 85 ayat (2): "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,- (dua ratus juta rupiah). 6) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. a. Pasal 68 : "Pengusaha dilarang mempekerjakan anak". b. Pasal 69 ayat (1): "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dikecualikan bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial". c. Pasal 69 ayat (2): "Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan: 1. izin tertulis dari orang tua atau wall; 2. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; 3. waktu maksimum 3 (tiga) jam;

11 4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; 5. keselamatan dan kesehatan kerja; 6. adanya hubungan kerja yang jelas; dan 7. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku". d. Pasal 74 ayat (1): "Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk"; e. Pasal 74 ayat (2): "Pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dimaksudkan dalam ayat (1) meliputi: 1. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; 2. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; 3. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan atau 4. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak". 7) Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan ( Trafiking) Perempuan dan Anak. Pada masa kepemimpinan T. Rizal Nurdin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah daerah melahirkan suatu Peraturan Daerah

12 Trafiking yang disahkan pada tanggal 26 Juli Dalam Perda ini bahwa perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia baik secara nasional maupun internasional. Hal-hal yang penting dalam Perda No.6 Tahun 2004 yaitu: a. Pasal 3 yaitu bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan (trafiking). b. Pasal 4 yaitu perempuan yang bekerja di luar wilayah desa/kelurahan wajib memiliki Surat Izin Bekerja Perempuan (SIBP) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah dan diadministrasikan oleh camat setempat. c. Pasal 11 yaitu perlu mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan pencegahan perlu dibentuk gugus tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN P3A). d. Pasal 17 yaitu masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluasluasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan (Trafiking) perempuan dan anak. 40 Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI menyusun Draft RUU Trafficking ysng diselenggarakan di Medan pada pertengahan Setelah itu bekerja sama dengan PKPA dan yayasan Pusaka Indonesia dalam menyelesaikan Perda No. 6 tahun 2004.

13 e. Pasal 28 yaitu sanksi pidana, setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung dan tidak langsung terjadinya perdagangan (trafiking) perempuan dan anak dengan tujuan melakukan eksploitasi baik dengan atau persetujuan untuk pelacuran, kerja atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasan dan pemanfaatan, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapat keuntungan baik material maupun non material dihukum sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Peraturan-peraturan perundangan diatas merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan orang khususnya anak dan perempuan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, yang masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan seperti belum adanya menjelaskan tentang pengertian perdagangan orang, dan belum dapat mengantisipasi dan menjerat pelaku perdagangan orang. E. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

14 Meskipun KUHP (Pasal 297) telah mengancam hukuman enam tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak di bawah umur, ini dianggap tidak efektif untuk menjerat pelaku perdagangan orang atau yang lebih populer dengan istilah trafiking terorganisir. Dengan demikian, urgensi dilahirkannya UU khusus terkait dengan ini sebagai akibat dari meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisir (dan tidak terorganisir), baik yang bersifat antar-negara, maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta penghormatan terhadap hak azasi manusia. Oleh karenanya, pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana trafficking yang didasarkan pada komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Selain itu, peraturan perundang-undangan terkait dengan trafiking belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana trafiking. Setelah melalui proses panjang, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) akhirnya disahkan. Berdasarkan undang-undang ini, maka definisi perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang

15 memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar-agama, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 41 Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, setiap pelanggaran perdagangan orang diberikan sanksi pidana penjara dan pidana denda. Sehingga mampu menjerat dan menghukum yang sepadan para pelaku kejahatan perdagangan orang, agar pelaku baik perorangan maupun korporasi dapat jera untuk melangkah melakukannya. Adapun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini terdiri dari 9 Bab yang meliputi 67 Pasal, yang pada intinya mencakup Pencegahan, Pemberantasan dan Penanganan, yang terdiri dari 2 aspek, yaitu: a. Aspek Non Pro Justisia, yaitu; a. Aspek Perlindungan Saksi dan Korban b. Aspek Pencegahan dan Penanganan c. Aspek Kerja sama dan Peran serta Masyarakat b. Apek Pro Justisia, yaitu; Merupakan Aspek Pemindanaan atau Hukum Materil dan Aspek Hukum Acara Pidana. Adapun secara menyeluruh undang-undang ini berisi dan menceritakan tentang beberapa aspek yang terdapat di dalam beberapa pasal berikut ini ; &Itemid=6 (terakhir dikunjungi tanggal 17 Januari 2010 Jam 15.50). 42 Lihat beberapa Pasal dalam UU Nomor 21 Tahun 2007, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

16 1. Aspek Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara garis besar aspek ini memuat tentang berbagai macam dan cara serta jenis-jenis dari Tindak Pidana Perdagangan orang yang dimulai dari perekrutan, pengangkutan hingga nantmya diperkerjakan, baik itu yang ditujukan ke dalam atau ke luar negeri, yang mana baik itu dilakukan dengan unsure penipuan, pembujukan, pemanfaatan ataupun kekerasan bahkan yang dilakukan secara korporasi, yang mana kesemuanya itu terdapat didalam Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini. Pada Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, pada dasarya berisikan mengenai ketentuan-ketentuan pidanan yang dijatuhkan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang, baik Pidana Penjara, Kurungan ataupun Denda. Bagi pelaku Human Trafficking yang melakukan tindak pidana baik yang mengakibatkan seseorang mengalami eksploitasi ataupun yang melakukan kegiatan perdagangan orang yang dimulai dari percobaan, pemanfaatan, pengiriman bahkan korporasi terhadap tindak pidana perdagangan orang akan dijatuhkan pidana denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama seumur hidup. 2. Aspek Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Aspek ini bercerita mengenai berbagai tindak pidana kejahatan yang bersifat menghalangi pemeriksaan terhadap kejahatan perdagangan orang yang terjadi, atau dengan kata lain berusaha mencegah, merintangi dan bahkan

17 menggagalkan suatu penyelidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, dan juga aspek ini berisikan berbagai tindak pidana lain yang terjadi dan mendukung terhadap terjadinya tindak pidana kejahatan perdagangan orang, yang mana aspek ini dimulai dari pasal 19 hingga 27 Undang-Undang Nomor 21 tahun Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa berbagai tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang dan bahkan bersifat menghalangi akan dipidana dengan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun. 3. Aspek Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Aspek ini berisikan mengenai penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, termasuk didalamnya pemeriksaan alat bukti, saksi dan korban. Aspek ini dimulai dari pasal 28 hingga pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 tahun Aspek Perlindungan Saksi dan Korban. Didalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, seorang korban dan saksi perlu mendapat perlindungan sebagaimana tercantum, antara lain : 1. Ruang Pelayanan Khusus (Pasal 45) 2. Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 46) 3. Mekanisme Pembayaran Restitusi (Pasal 48-50) 4. Rehabilitasi untuk pemulihan Korban (pasal 51) 5. Rumah Perlindungan sosial/pusat trauma (Pasal 52)

18 Di sinilah sangat penting peran masyarakat untuk membantu memberikan perlindungan kepada saksi korban. Adapun aspek ini meliputi Pasal 43 hingga pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun Aspek Pencegahan dan Penanganan. Aspek ini meliputi 2 hal yaitu: a. Program Pencegahan (Pasal 57) b. Pembentukan Gugus Tugas (Pasal 58) 6. Aspek Kerjasama Internasional Dan Peran Serta Masyarakat 43 Dalam Aspek ini berisikan tentang berbagai upaya dari Pemerintah dengan mengadakaa Kerjasama Intemasional dalam menyelenggatakan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Aspek ini juga bercerita mengenai peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban tindak Pidana perdagangan Orang. Aspek ini terdapat dalam Pasal 59 hingga 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun Aspek lain yang meliputi: a. Ketentuan Umum (Pasal 1) b. Ketentuan Peralihan (Pasal 64) c. Ketentuan Penutup (Pasal 65-67) 43 Perdagangan Orang merupakan kejahatan tidak saja dalam wilayah republik indonesia, tetapi juga merupakan kejahatan transnasional, melewati lintas batas negara antar negara. Dan masyarakat dapat berperan serta dalam upaya pencegahan, penanganan korban dan melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum.

19 Berikut ini adalah beberapa ketentuan baru yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang : 44 a. Penjelasan Umum Penyalahgunaan Posisi Rentan Merupakan salah satu bentuk praktek eksploitasi, keadaan yang di dalamnya terdapat ketidakseimbangan status/kedudukan antara 2 pihak. Pihak yang lebih tinggi memiliki kekuasaan dibanding pihak yang lebih rendah atau berada dalam posisi rentan ( Contoh : majikan dan buruh). Pihak yang memiliki kekuasaan, menyalahgunakan kekuasaannya untuk memegang kendali atas kerentanan orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. Perbudakan Adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Perbudakan diatur pula dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ham pasal 9c. Yang dimaksud dengan perbudakan dalam ketentuan ini termasuk perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Praktik Serupa Perbudakan Adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara 44 International Organization for Migration ( IOM), Op. Cit., hal

20 melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak mengkehendakinya. b. Ketentuan Umum Perekrutan Adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya (pasal 1 angka 9). Perekrutan juga banyak digunakan dalam Undang-Undang no.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Namun demikian, perlu dipahami bahwa pengertian perekrutan disebut dalam UU PTPPO adalah tujuan eksploitasi, sedangkan dalam UU No.39, perekrutan dimaksudkan sebagai tindakan untuk menempatkan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Meski pada kenyataannya, banyak diketemukan praktek perdagangan orang berkedok pengiriman Tenaga Kerja Indonesia keluar negeri dengan cara-cara sebagaimana dilakukan dalam TPPO. Dalam kasus perdagangan orang, jika seseorang melakukan perekrutan, pengiriman, dan penampungan korban dengan cara memberi janji-janji akan dipekerjakan keluar negeri, kemudian diserahkan kepada orang lain dengan maksud atau tujuan mengeksploitasi korban, sudah dianggap sebagai pelaku TPPO dan bisa dikenai tindakan hukum. Meskipun mungkin saja eskploitasi belum terjadi, tetapi karena tujuan/maksud sudah jelas, maka pelaku sudah memenuhi delik formil dalam TPPO. Sementara bila karena perbuatannya pelaku telah terbukti mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku sudah

21 memenuhi delik materil yang menghukum pelaku dengan pidana yang sama beratnya (lihat Pasal 2 ayat (1) dan (2)). Penjeratan Utang Adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orangorang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang (pasal 1 angka 15). Penjeratan utang 45 ini seringkali terjadi dalam praktek pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Agen maupun majikan tidak membayar gaji selama 5-8 bulan pertama sebagai penggantian biaya penempatan termasuk keberangkatan, dokumen perjalanan maupun pelatihan sebelum keberangkatan. Namun, korban tidak mendapatkan gaji sama sekali, karena dianggap masih memiliki utang yang tidak pernah habis. Ini yang digunakan pelaku untuk mengekploitasi korban. Selama ini modus ini dianggap sebagai kasus penipuan biasa. c. Tindak Pidana Perdagangan Orang Reviktimisasi Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana (pasal 18). 45 Penjeratan hutang adalah salah satu modus yang paling sering dilakukan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang. Keluarga korban karena tidak mampu membayar hutang, harus menyerahkan anak gadisnya sebagai ganti pembayaran hutang tersebut.

22 Penjelasan dari pasal tersebut adalah: Yang dimaksud dengan dipaksa dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan dimana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri. Jadi bila seorang korban tertangkap sebagai pelaku karena melakukan tindak pidana yang berlawanan dengan kehendak sendiri atau karena dipaksa, maka dia tidak dapat dijatuhkan pidana. Misalnya seorang perempuan yang menjadi korban TPPO dan disekap dalam suatu rumah bordil, dipaksa pelaku mengedarkan 10 bungkus narkoba atau menjual pil ekstasi. Perempuan/korban tersebut mengetahui bahwa mengedarkan narkotika dilarang dan bertentangan dengan kehendaknya, tetapi dalam keadaan terpaksa ia melakukannya juga karena takut dan tidak mampu mengelak. Bilamana perempuan/korban itu ditangkap petugas, dan korban dapat membuktikan adanya unsur paksaan oleh pelaku TPPO, maka perempuan/korban itu tidak dapat dihukum. Bahkan perempuan tersebut telah menjadi korban. Namun bila kemudian dapat dibuktikan bahwa perempuan/korban tersebut menjadi sebuah kebiasaan, dan diketahui juga bahwa korban banyak mendapatkan keuntungan dari perbuatannya, maka dalam kasus kedua ini perempuan/korban tersebut dapat dijatuhi hukuman, karena unsur paksaan tidak ada lagi. Menggerakan Orang Lain

23 Dalam KUHP, orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana, tetapi tindak pidana itu tidak terjadi (mislukte uit lokking), maka orang itu tidak dijatuhi pidana. Lain halnya UU PTPPO pasal 9 yang menyatakan: setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah). Jadi, walaupun tindak pidana tidak terjadi, namun jika terbukti ada upaya menggerakkan orang lain untuk tujuan melakukan tindak pidana perdagangan orang, maka pelaku dapat dipidana. Persetujuan Korban Persetujuan korban perdagangan orang, tidak menghilangkan penuntutan TPPO (pasal 26). Karenanya, berdasarkan UU PTPPO ini dengan persetujuan atau tanpa yang persetujuan dari pihak korban, apabila salah satu cara yang telah disebutkan dalam ketentuan umum pasal 1 UU PTPPO dan mengakibatkan korban dieksploitasi atau tereksploitasi. Misalnya seorang perempuan menyetujui bahwa dirinya akan dijadikan pembantu rumah tangga di Malaysia dengan gaji 450 ringgit. Apabila dikemudian hari perempuan tersebut tidak mendapatkan gaji seperti yang

24 dijanjikan, atau juga mendapatkan siksaan fisik maupun seksual, maka persetujuan korban untuk menjadi pembantu rumah tangga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan penuntutan terhadap TPPO. Hal ini disebabkan pelaku menggunakan cara penipuan antara lain dengan maksud mengeksploitasi korban. Artinya pelaku bisa dituntut sesuai dengan hukuman yang diatur dalam UU TPPO. Perlu diingat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang mau dirinya dieksploitasi. 2. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi. Protokol Palermo adalah suatu perjanjian yang berisi sebuah perangkat hukum mengikat yang menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya untuk mencegah, menekan dan menghukum trafficking pada manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak Penandatanganan protokol untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak oleh pemerintah republik indonesia merupakan pencerminan keikutsertaan bangsa indonesia dalam pemberantasan perdagangan orang. Konvensi Palermo memuat tiga protokol, yaitu anti perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, antipenyelundupan imigran, serta

25 antiproduksi dan penyelundupan senjata api gelap. Sedangkan dalam perdagangan orang, tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan dan untuk melindungi korbankorban perdagangan orang, termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional. F. Ketentuan Internasional Terhadap Larangan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Larangan Human Trafficking secara internasional telah banyak instrument yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah "human trafficking". Instrumen-instrumen itu antara lain adalah : 1. Universal Declaration of Human Rights; 2. Convention on the Rights of the Child (CRC); 3. Optional Protocol to the CRC on the sale of children,, child prostitution, and child phonography; 4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW); 5. The Hague Convention 28 on the Civil Aspects of International Child Abduction; 6. International Covenant on Civil and Political Rights;

26 7. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; 8. ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the the Worst Elimination of the Worst Forms of Child Labour No. C 182; 9. United Nations Protocol to Suppress, Prevent and Punish Trafficking in Persons especially Women and Children supplementing the Convention against Transnational Organized Crime (The Palermo Convention); 10. SAARC Convention on Combating Trafficking in Women and Children for Prostitution Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Dalam Article 4 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disebutkan bahwa "no shall be held in slavery or servitude: slave trade shall beprohibited in all their forms". Ketentuan dalam Article 4 secara jelas melarang perbudakan dan perdagangan budak. Larangan perbudakan juga terdapat dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dengan kalimat yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama dengan ketentuan sebagaimana terdapat dalam Article 4 (UDHR), Article 8 (ICCPR) secara jelas menyatakan bahwa "no one shall be held in Slavery: Slavery and the slave-trade in all their forms shall be prohibited". Dengan demikian jelas bahwa perbudakan merupakan suatu larangan. 46 Harkristuti Harkrisnowo, Op. Cit., hal

27 Dalam UDHR dan ICCPR, tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan "slavery". Pengertian "slavery", menurut Convention of Slavery (1926) adalah "the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the rights of ownership are exercised". Dalam pengertian ini termasuk pula membeli. menjual, dan mengadakan transportasi terhadap orangorang dengan maksud untuk melakukan eksploitasi, guna memperoleh keuntungan. Hukum Humaniter Internasional, menentang dan melarang segala bentuk "slaver). Bahkan, masalah yang berkaitan dengan "slavery'" dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional, selain kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Oleh karena itulah, masalah ini menjadi masalah yang penting bagi setiap negara untuk melakukan pelarangan dalam hukum nasionalnya, sekalipun dalam keadaan perang ataupun keadaan darurat. 47 Perkembangan secara Internasional, telah membawa masalah "slavery ini ke dalam permasalahan international. "Slavery telah berkembang sebagai jus cogens. 48 International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) telah memutuskan bahwa "enslavement termasuk dalam pengertian "crimes against humanity. Demikian pula dalam International Criminal Court (ICC) Statute, "enslavement dan "sexual slavery" dikatakan sebagai 47 Ibid, hal Jus cogens diartikan sebagai: a norm accepted and recognized by the International community as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be

28 kejahatan. Menurut ICC, "enslavement" diartikan sebagai "the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person" 49. Termasuk dalam hal ini adalah "the exercise of such power in the course of trafficking in parsons, in particular women and children. 50 Dalam kaitannya dengan "sexual slavery, ICC memberikan batasan sebagai berikut: 1. The perprelator exercised any or all of the powers attaching to the right of ownership over one or more persons, such as by purchasing, selling, landing, or bartering such a person or persons or by imposing on them a similar deprivation of liberty. 2. The perpretator caused such person or persons to engage in one or more acts of sexual nature. 51 Selain masalah yang berkaitan dengan perbudakan, terdapat beberapa instrumen Internasional yang memberikan perlindungan bagi wanita dan anakanak. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), merupakan konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi wanita dari segala bentuk kekerasan, yang mungkin dapat terjadi karena dia adaiah seorang wanita. Dalam Article 6, secarajelas menyatakan bahwa "States modified only by a subsequent norm of general international law having the same character". Article 53 Vienna Convention. 49 Article 7 (2) International Criminal Court. 50 Consideration Of The Issue of Trafficking, Background Paper November 2002, New Delhi, India. 51 Ibid,.

29 Parlies shall take all appropriate measures, including legislation, to suppress all forms of traffic in women and exploitation of prostitution of women". Ketentuan daiam Article 6 ini merupakan himbauan agar negara-negara lebih memperhatikan masalah yang berkaitan dengan "human trafficking", khususnya yang berkaitan dengan wanita. Ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 CEDAW menunjukkan bahwa masalah "traffic in woman" dan "prostitution of woman" sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan sangat berbahaya bagi individu yang bersangkutan serta keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itulah, negara peserta harus memberikan sanksi pidana kepada setiap orang yang : Perfama, mencari, memindahkan, ataupun mengajak orang lain, dengan tujuan untuk aktivitas prostitusi, meskipun orang yang bersangkutan menyetujui. Kedua, mengeksploitasi orang lain : sebagai prostitusi, meskipun orang tersebut menyetujui. Selain masalah tersebut, CEDAW juga telah memberikan batasanbatasan dalam memperlakukan wanita dalam melakukan pekerjaan. Dalam Article 11, dinyatakan sebagai berikut: 1. States Parties shall fake appropriate measures to eliminate discrimination against women in the field of imployment in order to ensure, on a basis of equality of men and women, the same rights, in particular : a. The right to work as an inalienable right of all human beings b. The right to the same employment opportunities, including the application of the same criteria for selection in matters of employment;

30 c. The right to free choice of profession and employment, the right to promotion, job security and all benefits and conditions of service and the right to receive vocational training and retraining, including apprenticeship, advanced vocational training and recurrent training; d. The right to equal remuneration, including benefits, and to equal treatment in respect of work of equal value, as well as equality of treatment in the evaluation of the quality of work; e. The right to social security, particularly in cases of retirement, unemployment, sickness, invalidity and old age and other incapacity to work, as well as the right to paid leave: f. The right to protection of health and to. safety in working conditions, including the safeguarding of the function of reproduction. 52 Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No.7 Tahun Pasal 6 konvensi tersebut, mewajibkan semua negara untuk menekan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan. 53 Konvensi ILO No. 29 tahun 1930 mencantumkan pengertian "force or compulsory labour" sebagai "all work or service which is exacted from any person under the manace of any penalty, and for which the said person has not offered himself voluntarily". Lebih dari 25 tahun kemudian, ILO menyetujui 52 Harkristuti Harskrisnowo, Op. Cit., hal International Organization for Migration ( IOM), Op. Cit., hal. 13.

31 instrument tambahan, yang kemudian disebut sebagai Abolition of Forced Labour Convention No. 105 (1957). Dalam konvensi tersebut, yang dimaksud dengan "suppression of forced labour " adaiah "political coercion, labour discipline, or rasial, national or religious discrimination; as a method of mobilizing and using labour for purposes of economic development; an as punishment for having participated in strikes". 54 Permasalahan yang berkaitan dengan anak, tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isue-isue yang berkaitan dengan tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah-masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Pendek kata, segala bentuk eksploitasi anak haruslah mendapatkan perhatian dari semua negara. Convention on the Rights of the Child (CRC), merupakan salah satu konvensi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Pasal 32 Konvensi Hak Anak (KHA) menegaskan bahwa setiap negara wajib mengedepankan perlindungan anak dari segala macam bentuk eksploitasi atau pekerjaan yang mengakibatkan atau kerusakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang mengancam kesehatan fisik, mental, spiritual anak, maupun perkembangan sosial lainnya. Hal ini juga ditegaskan dalam konvensi ILO No.182, tentang larangan dan pemberantasan segala macam pekerajaan terburuk bagi anak. 54 Force Labour, Child Labour and Human Trafficking In Europe: At: ILO Perspective, Technical Paper for the EU/IOM STOP "European Conference on Preventing and Combating Trafficking In Human Beings", September 2002, Brussels, Belgium.

32 Ditambahkan pula dalam pasal 35 KHA, bahwa pemerintah berkewajiban membuat langkah-langkah multilateral untuk mencegah penculikan dan perdagangan anak untuk tujuan apapun, serta memberikan pula pelayanan program sosial, menyediakan dukungan yang sesuai dengan anak. Pembahasan langkah-langkah ini tetap harus juga memikirkan pemulihan fisik, sosial dan reintegrasi anak yang membutuhkan. Tindak lanjut penanganan kasus ini harus sampai ke tahap pengadilan. 55 Melihat ketentuan yang terdapat dalam CRC nampak bahwa CRC belum mengatur secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan anak. Anak, seharusnya dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomis, eksploitasi seksual, maupun dari segala bentuk "sexual abuse. 56 Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam CRC kemudian dilengkapi dengan Optional Protocol to the Convention on the Rights of The Child. Protocol ini memperluas pengertian yang berkaitan dengan "sale of child", "child prostitution", dan "child pornography. 57 Larangan "trafficking" dan eksploitasi anak, mendapat perhatian pula di dalam ILO Convention on the Worst Form of Child Labour. Berkaitan dengan pekerja anak-anak, ILO menyetujui instrumen yang berkaitan dengan Minimum Age Convention No Seiring dengan perkembangan pekerja anak-anak, kemudian dibentuklah Worst Forms of Child Labour Convention No. 182, 55 International Organization for Migration ( IOM), loc. cit. Cit., hal Force Labour, Child Labour and Human Trafficking In Europe: At: ILO Perspective, Op. 57 Ibid

33 tahun Worst Forms of child Labour diartikan sebagai "all forms of slavery or practices similar to slavery, such as the sale and trafficking in children, debt bondage and selfdom and forced or compulsory labour, including forced or compulsory recruitment of children for armed conflict. 58 Hukum internasional, juga memberikan perlindungan kepada individuindividu, sebagai migrant atau pekerja migrant, instrumen internasional yang berkaitan dengan hal tersebut adafah Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. Dalam konvensi ini dinyatakan bahvva "The right to life of migrant workers and members of their families shall be protected by law". Perlindungan hukum tidak hanya dari negara penerima saja tetapi juga dari negara di mana pekerja tersebut berasal. Perlindungan terhadap migrant workers, merupakan perluasan dari hak-hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Yang menjadi masalah adalah illegal migrant worker, sebagaimana dikemukakan oleh Leonard M. Hammer, bahwa "the situation of illegal migrant workers is especially problematic, "exemplify [ing] the jurisdiclional between state sovereignty and its control over immigration versus obligation on the State to uphold the human rights of all individuals found within a Slate 's territory Ibid, hal Leonard M. Hammer, 1999, Migrant Workers in Israel: Towards proposing a Framework of Enforceable Customary International Human Rights, Netherlands Quaterlv of Human Rights, hal. 5.

34 Hak-hak tersebut secara jelas tercantum dalam Article 8, yang menyatakan sebagai berikut : Migrant workers and members of their families shall be free to leave any State, including their State of origin. Rhis right shall not be subject to any restrictions except those that are provided by law, are necessary to protect national security, public order, public health or morals or the rights and freedoms of others and are consistent with the other rights recognized in the present part of the Convention. 60. Selain memiliki hak untuk dilindungi secara hukum, "migrant worker" pun memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan guna mendapatkan perlindungan. Hal-hal apa yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut : 1. No migrant worker or member of his or her family shall be held in slavery or servitude. 2. No migrant worker or member of his or her family shall be required to perform forced or compulsory labour. 61 Konvensi tersebut dimaksudkan agar migrant workers terbebas dari segala bentuk perbudakan, serta tekanan-tekanan. Negara harus memberi sanksi kepada setiap orang/kelompok orang yang melakukan kekerasan kepada migrant workers, between state sovereignty and its control over immigration versus obligation on the State uphold the human rights of all individuals found within a State 's territory Harkristuti Harkrisnowo, Op, Cit., hal Ibid,. 62 Leonard M. Hammer, 1999, Migrant Workers in Israer Leonards proposing a Frainwork of Enforceable Customary International Human Rights, Nederland aterly of Human Rights. Hal. 5.

35 Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, nyatalah bahwa "human trafficking sangat penting untuk diperhatikan dan ditangani bersama. Untuk itu, lembaga-lembaga internasional telah pula mengatur masalah tersebut dalam instrumen Internasional. Dalam Article 3 Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, "trafficking" diartikan sebagai berikut: "Trafficking in persons shall mean the recruitment, transportation, transfer,harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. 63 Pengertian "trafficking in persons memiliki perbedaan dengan apa yang disebut sebagai "smuggling", yang diartikan sebagai berikut: "Smuggling of migrants " shall mean the procurement, in order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material benefit, of the illegal entry of a person into a Stale Parly of which the person is not a national or permanent resident. Dengan demikian, berdasarkan paparan pengertian tersebut di atas, terdapat perbedaan yang cukup tajam antara "trafficking in persons dengan ''smuggling. "Smuggling" lebih menekankan pada pengiriman secara illegal orang-orang dari suatu negara ke negara lain, yang menghasilkan keuntungan bagi "smuggler". Dalam pengertian "smuggling" tidak terkandung adanya

36 eksploitasi terhadap orang-orang. Mungkin akan terjadi bahwa akan terdapat korban dalam pengiriman itu, tetapi itu bukanlah merupakan hal yang mendasar. Inti dari pengertian "smuggling" adalah adanya pengiriman (transport) orang-orang secara illegal dari suatu negara ke Negara lain. Sedangkan "trafficking" memiliki target khusus, yaitu orang-orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Dengan demikian, sejak awal telah terdapat keinginan untuk mengekploitasi orang-orang. Adanya unsur "deception dan "coercion merupakan unsur yang esensiil dalam "trafficking in persons. 64 Bahwa kemudian, ada satu instrumen lagi yang perlu mendapatkan perhatian adalah South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Convention on Preventing and Combating Traffiking in Women ard Children for Prostitution. 65 SAARC dimaksudkan untuk mencegah dan membasmi perdagangan wanita dan anak, dengan tujuan untuk prostitusi. Sangat disadari bahwa di wilayah Asia Selatan telah banyak terjadi perdagangan wanita dan anak, dengan tujuan untuk prostitusi, yang dilakukan oieh kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam SAARC, diharuskan untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan 63 Ibid,. 64 Frank Laczko, Amanda Klekowski von Koppenfels dan Jana Barthel, September 2002, Trafficking in Women from Central and Eastern Europe: A Review of Statistical Data, European Conference On Preventing And Combating Trafficking In Human Beings: Global Challenge For 21st Century, Brussels, Belgium, hal SAARC diadopsi pada Bulan Januari 2002, dengan negara anggota: Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.

37 terhadap akti vitas ini, dengan cara menetapkan aktivitas ini sebagai kejahatan yang dapat dipidana. Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia ini mengatur lebih rinci tentang larangan memperlakukan seseorang menjadi sasaran penyiksaan, dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, seperti yang disebutkan dalam pasal 5 deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan pasal 7 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. 66 Pasal 2 Konvensi ini menekankan setiap negara untuk mengambil langkah administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif untuk mencegah penyiksaan di dalam wilayah kekuasaan negaranya. Selain beberapa instrumen hukum internasional yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya masih banyak instrumen hukum internasional lainnya yang mengkriminalisasi kejahatan perdagangan orang. 66 International Organization for Migration ( IOM), Op. Cit., hal. 14.

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN 1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harkat dan martabat manusia merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban negara untuk menghormati, menjunjung tinggi dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN

Lebih terperinci

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya dengan menggunakan sarana hukum atau berlandaskan pada hukum dan aturan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia 1. Undang-Undang 2.1 Undang-Undang nomor 20 tahun 1999 Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM. Makassar, 3-6 Agustus 2010 MAKALAH HAK ANAK. Oleh: Mohammad Farid

TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM. Makassar, 3-6 Agustus 2010 MAKALAH HAK ANAK. Oleh: Mohammad Farid TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM Makassar, 3-6 Agustus 2010 MAKALAH HAK ANAK Oleh: Mohammad Farid HAK ANAK Mohammad Farid Hak Anak dlm Hukum Internasional 1. Hukum Perburuhan 2. Hukum

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Sebelum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Aspek lain dari perlindungan

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TAHUN 2016-2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI ANAK

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI ANAK PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amirudin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

DAFTAR PUSTAKA. Amirudin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Amirudin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Chazawi, Adami, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA

SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA Oleh I.G.A Parwata Tri Bwana R.A Retno Murni Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT: Child trafficking is a form of crime

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 11 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIANJUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) DAN EKSPLOITASI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2011-2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II ATURAN HUKUM TERKAIT LARANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. E. Perkembangan Aturan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB II ATURAN HUKUM TERKAIT LARANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. E. Perkembangan Aturan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB II ATURAN HUKUM TERKAIT LARANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG E. Perkembangan Aturan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang Sejalan dengan perkembangan zaman aturan hukum mengenai Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa praktik

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH Mengenal Konvensi-konvensi Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. TRAINING

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan anak-anak merupakan cerminan kehidupan bangsa dan negara, oleh karena itu kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI Oleh : Kadek Dwika Agata Krisyana Pembimbing : I Ketut Sudiarta Program Kekhususan : Hukum Pidana, Universitas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN TAHUN 2016-2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 7 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh : ANI PURWANTI 1 I Pendahuluan Kejadian yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak perempuan yang dikenal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG -1- PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG,

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONFLIK SOSIAL TAHUN 2016-2018 DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL 1 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh I. Gst. Ayu Stefani Ratna Maharani I.B. Putra Atmadja Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR ( KONVENSI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 03 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017 Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017 Tujuan Pembelajaran Mengenal ILO dan ILS Memahami prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA TENTANG EKSPLOITASI SEKS KOMERSIL DAN PERDAGANGAN ANAK

LEMBAR FAKTA TENTANG EKSPLOITASI SEKS KOMERSIL DAN PERDAGANGAN ANAK LEMBAR FAKTA TENTANG EKSPLOITASI SEKS KOMERSIL DAN PERDAGANGAN ANAK Fakta Angka global : Ada sekitar 1.2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya Kebanyakan (anak-anak laki-laki dan perempuan) diperdagangkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa perdagangan orang merupakan

Lebih terperinci

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA. Oleh: Maria Silvya E. Wangga'

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA. Oleh: Maria Silvya E. Wangga' PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA Oleh: Maria Silvya E. Wangga' Abtrak Perdagangan manusia terutama perdagangan perempuan dan anak merupakan suatu bentuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

PEKERJA ANAK. Dibahas dalam UU NO 13 Tahun 2003 Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejaterahan Bagian 1 Paragraf 2.

PEKERJA ANAK. Dibahas dalam UU NO 13 Tahun 2003 Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejaterahan Bagian 1 Paragraf 2. PEKERJA ANAK Dibahas dalam UU NO 13 Tahun 2003 Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejaterahan Bagian 1 Paragraf 2. PASAL 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak Pasal 69 1. Ketentuan sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN, PELAYANAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo Sentra HAM UI

Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo Sentra HAM UI Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo Sentra HAM UI draf tanggal 28. Februari 2003 1 Daftar isi Pengantar Daftar isi Bab I Pendahuluan Latar Belakang Perumusan Masalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

WALI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR... TAHUN... T E N T A N G

WALI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR... TAHUN... T E N T A N G PEMBAHASAN TANGGAL 16 OKTOBER 2015 WALI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR... TAHUN... T E N T A N G ZONA BEBAS PEKERJA ANAK DI KOTA SAMARINDA DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa perdagangan orang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Jalan Diponegoro No. 22 Telepon : (022) Faks. (022) Bandung

Jalan Diponegoro No. 22 Telepon : (022) Faks. (022) Bandung PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 04 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK

Lebih terperinci