BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKEMBANGAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKEMBANGAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL"

Transkripsi

1 34 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKEMBANGAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL 2.1. Dasar Pemikiran Teori Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). 1 Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian 1 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 24.

2 35 memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 2 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. 3 Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 4 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). hal Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), 3 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal Barda Nawawi Arief II, loc.cit.

3 36 Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi Sifat Melawan Hukum Pemahaman Mengenai Sifat Melawan Hukum Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk (weder = bertentangan dengan, melawan; recht = hukum). Dalam menentukan perbuatan dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukan dalam rumusan delik, yaitu dalam delik cupla. 5 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hal

4 37 Pompe mengatakan bahwa pembentuk undang-undang mempunyai alasan untuk tidak mencantumkan dengan tegas istilah itu justru karena sebagai perbuatan yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana atau delik itu bersifat melawan hukum. Pompe, mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara Tindak pidana yang dtuduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan. 2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusannya; Dikatakan Selanjutnya bahwa jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur itu juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Syarat bahwa unsur melawan hukum itu selalu harus dibuktikan di dalam acara peradilan akan merupakan beban yang berat sekali dan mempersulit proses itu sendiri. Karena pada umumnya membuktikan sifat melawan hukum itu sulit. Justru dicantumkan sebagai unsur delik itu berakibat jaksa harus menyebutkan di dalam surat dakwaan dan harus di buktikan, ini pekerjakan yang cukup sulit. Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh undangundang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. 6 Teguh, Prasetyo, Hukum Pidana, 2011, Pt Raja Grapindo Persada, Jakarta, Hal

5 38 Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehimgga tidak terjadi eignticthing seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan pelaku kejahatan. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remedium atau sebagai alat terkhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Namun, tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang implisit ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan eksplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak diasingkan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuturan dan pembuktian di pengadilan.

6 39 Penilitian ini bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut tentang perkembangan ajaran sifat melawan hukum ini secara terus-menerus mengalami perubahan sikap baik dari pembuat undang-undang maupun hakim yang terwujud dalam yurisprudensi. Apalagi dikaitkan dengan adanya rancngan atau konsep baru kitab undang-undang Hukum Pidana yang juga mendapat porsi dalam pasal tersendiri. Pada umumnya para sarjana hukum menanyakan bahwa melawan merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan hukum ini terulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: 1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dunyatakan secara eksplisit. 2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa seseorang melanggar atau melanggar atau bertentanngan dengan kaidah material yang berlaku bginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan. Dalam pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana, yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf, sifat melawan hukum merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari

7 40 suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formal (formale wederrechtelijkhedi) dan maupun sifat melawan hukum yang material (materiele wederrechtelijkheid). Pembicaraan mengenai sifat melawan hukum terutama dalam bidang hukum perdata lebih dahulu dilakukan, terutama dengan adanya HR 30 Januari 1919 yang selalu menjadi acuan dalam pembicaraan asas-asas hukum perdata, sedangkan dalam lapangan hukum pidana baru dimulai tahun 1933 dengan adanya arrest HR 20 Februari 1993, Veearts arrst. Bagi hukum pidana mengikat luasnya sifat melawan hukum dalam bidang hukum perdata, terjadi suatu keadaan yang tidak menguntungkan terutama terhadap perbuatanperbuatan yang menurut pergaulan masyarakat tidak tertulis sebagai perbuatan yang patut. Padahal dengan adanya asas legalitas arti sifat melawan hukum dalam hukum pidana menjadi dipersempit Paham-Paham Sifat Melawan Hukum Berdasarkan paham-paham sifat melawan hukum, doktrin membedakan perbautan melawan hukum atas: 1. Perbuatan melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, sandarannya adalah hukum tertlis.

8 41 2. Perbuatan melawan hukum material, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan hukum walaupun belum diatur dalam undangundang. Sandarannya adalah asas umum yang terdapat di lapangan hukum. Membahas mengenai perbuatan melawan hukum seyogyanya membahas mengenai asas legalitas, dimana asas ini mengandung perlindungan yang secara histotris merupakan reaksi terhadap kewesewenang -wenangan penguasa di zaman Ancient Regime, serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan dalam suatu negara liberal pada waktu itu. Roeslan Saleh menyatakan dengan tegas nyata bahwa penolakan atas asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan dengan makna hukum pidana itu sendiri. 7 Keberadaan sifat melawan hukum formil tidak menjadi persoalan karena ini secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga di belanda untuk menentukan apakah seseorang itu melawan hukum atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang material di Indonesia ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumya Mahkamah 7 Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta, Hal 23.

9 42 Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang material (materiele wederrechtelijheid) sebagai alasan pembenar. Kaidah hukum ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut: Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asasasas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya tiga faktor: 8 1. Negara tidak dirugikan 2. Kepentingan umum dilayani; dan 3. Terdakwa tidak mendapat untuk menuntut. Dengan perluasan perumusan asas legalitas dalam konsep KUHP tahun 2013, maka batas-batas tindak pidana juga diperluas, tidak hanya yang secara tegas dirumuskan dalam undang-undang, tetapi juga meliputi perbuatan-perbautan yang menunrut hukum yang hidup dipandang sebagai suatu delik. Jadi tidak hanya kreteria formaal menurut hukum yang hidup. Ajaran sifat melawan hukum menjadi lebih dilegalisasi dan masa mendatang tidak hanya terdapat dalam yurisprudensi, tetapi juga sudah diakui dalam 8 R. Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua, 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hal 34.

10 43 suatu perundang-undangan tertulis yang merupakan induk dari perundangundangan yang lain. Langkah yang nyata sebenarnya telah dirumuskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti telah disebut di atas, sedangkan dalam berbagai Konsep KUHP yang ada hal ini sudah diakomodasi Sifat Melawan Hukum Material dalam UU Tindak Pidana Korupsi Rumusan tindak pidana adalah definisi tentang kejahatan, sehingga perumusannya harus sedefinitif mungkin. Sekalipun demikian, pembentuk undang-undang tidak selalu dapat mendefinisikan semua tindak pidana, seperti tidak dapat didefinisikannya penganiayaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 351 KUHP. Definisi suatu tindak pidana disusun sedemikian rupa sehingga hal itu dapat dikenali, dibedakan satu dengan yang lainnya ataupun diuraikan dalam bagian perbuatan-perbuatan yang menyusunnya. Dengan memahami kenmerk (ciri), elemen (unsur) dan bestanddeel (bagian inti), 9 suatu tindak pidana maka pada dasarnya sasaran norma yang dimaksud pembentuk undang-undang dengan melarang dan mengancam dengan pidana sutau perbuatan menjadi terang benderang. 9 Ketiga istilah ini digunakan untuk menggambarkan substansi perbuatan yang dengan itu ternyata definisi suatu tindak pidana. Bahkan khusus berkenaan dengan elemen (unsur) dan bestanddeel (bagian inti) digunakan secara terbolak-balik oleh para ahli. Seorang ahli hukum pidana menyebut sesuatu sebagai elemen, tetapi hal yang sama menurut ahli yang lain sebagai bestanddeel. Begitu sebaliknya. Sekalipun demikian, istilah elemen atau elementen, yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan unsur atau unsur-unsur, adalah istilah yang paling popular.

11 44 Definisi suatu tindak pidana harus tercermin adanya perbuatan melawan hukum. Rumusan tindak pidana harus disusun dalam kata-kata yang menggambarkan perbuatan berkonotasi negatif, sehingga dengannya saja sifat melawan hukum dari perbuatan itu menjadi nyata. Dalam hal pembentuk undang-undang tidak menemukan istilah yang dari arti leksikonnya saja sudah mencerminkan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, maka rumusan delik itu harus ditambahkan dengan kata-kata melawan hukum. Hal ini menjadi konsekuensi dari keyakinan bahwa melawan hukum selalu menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana, seperti pada umumnya selalu dianut para ahli hukum pidana. Namun demikian, dalam konteks hukum pidana formil, melawan hukum baru harus dibuktikan apabila menjadi bagian inti dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan kata lain, baru dibuktikan melawan hukum jika perkataan tersebut disebutkan dalam rumusan tindak pidana. Apabila tidak disebutkan maka, dipandang melawan hukum sepanjang dapat dibuktikan unsur-unsur lain dari suatu tindak pidana, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa atau penasihat hukumnya. Tindak pidana korupsi dalam prumusan melawan hukum hanya menjadi bagian inti yang harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang No. 31 Tahun Dengan kata lain, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sifat melawan hukum perbuatan itu direpresentasikan dengan kata-kata secara melawan hukum itu sendiri, sedangan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang lain lagi. Misalnya

12 45 dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sifat melawan hukumnya termaktub dari istilah menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Demikian pula misalnya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan hukumnya direpresentasikan dengan perkataan dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Mengingat melawan hukum menjadi sifat umum dari suatu delik, maka tidak terpenuhinya unsur melawan hukum dalam suatu perbuatan menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Apabila suatu perbuatan bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun perbuatan itu tidak akan menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, jika majelis hakim dalam suatu putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan itu pasti bukan tindak pidana apapun, termasuk bukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi ataupun ketentuan pidana lainnya. Begitu penting sebenarnya posisi pertimbangan tentang terpenuhi atau tidak terpenuhinya

13 46 unsur melawan hukum ini dalam suatu tindak pidana, yang boleh jadi tanpa disadari mempengaruhi penerapan ketentuan pidana lainnya dalam kasus itu. Sementara itu, pada saat sekarang ini perlu didiskusikan secara lebih mendalam, apakah tindak pidana adalah species dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum, atau justru sebaliknya, melawan hukum itu hanya menjadi ciri, unsur atau bagian inti utama dalam setiap tindak pidana. Kecenderungan praktek peradilan telah menempatkan bahwa suatu tindak pidana adalah salah satu jenis dari sekelompok perbuatan yang melawan hukum. Konstruksi ini menyebabkan tidak ada lagi pengertian khusus melawan hukum dalam hukum pidana, melainkan sama dan sebangun dengan melawan hukum pada umumnya, termasuk pemaknaan yang diberikan dalam bidang hukum perdata ataupun hukum administrasi. Dengan kata lain, memandang pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, seperti misalnya dipersamakan dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata, menyebabkan tindak pidana dipandang sebagai species dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum. Hal ini berakibat tindakan penegakan hukum yang diambil atas suatu peristiwa, boleh jadi merupakan keputusan politik semata. Artinya, kalaupun digunakan instrumen hukum pidana dalam menyelesaikan suatu peristiwa konkrit, maka hal itu bukan karena perbuatan yang dipersoalkan

14 47 bersifat melawan hukum dalam hukum pidana (wedderechtelijk heid), tetapi hal itu semata-mata sebagai plilihan tindakan yang mungkin dilakukan pemerintah. Apakah pilihan menggunakan hukum pidana adalah pilihan pertama (primum remedium) ataukah sebagai alat pertahanan paling akhir(ultimum remedium), menjadi tidak lagi penting. Pilihan bebas demikian menyebabkan penegakan hukum selalu berada dibawah bayang-bayang keputusan politik, tidak benar-benar sebagai pelaksanaan tujuan bernegara berlandaskan hukum. Konsekuensi di atas sepertinya tidak selalu disadari oleh para akademisi hukum yang mendukung pemikiran pengertian melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang hukum lain, maupun oleh para praktisi hukum (advokat, penyidik, penuntut umum dan hakim). Mehilangkan pengertian khusus melawan hukum dalam hukum pidana menyebabkan hukum digadaikan pada kepentingan di luar hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan menjadi ciri tindakan demikian, yaitu memaksakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana karena telah memiliki sifat melawan hukum yang umum itu. Dalam lintasan sejarah memang dapat disaksikan fase pemikiran tersebut benar-benar dipraktekkan. Hal ini tergambar dari praktek peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang unsur dengan melawan hukum. Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel (bertentangan dengan

15 48 perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah material, yaitu juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pergeseran selanjutnya, melawan hukum material diartikan pada pengertian dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan dengan perundang-undangan (melawan hukum formiel), tetapi sepanjang perbuatan Terdakwa adalah tindakan-tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan, sudah dapat dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Mengartikan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif sama artinya memaknai hal itu sama dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata.berbeda dengan para praktisi (praktek peradilan), kalangan akademisi justru umumnya menolak penerapan melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif. Roeslan Saleh menyatakan sebagai berikut: Pandangan mengenai melawan hukum material hanya mempunyai arti memperkecualikan perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya diangap sebagai perbuatan pidana. Jadi suatu perbuatan perbuatan yang dilarang undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi perbuatan pidana. Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan

16 49 hukum material. Fungsinya yang positif, yaitu walapun tidak dilarang undangundang tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin dilakukan menurut sistem hukum kita mengingat bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP. 10 Sementara itu, sekalipun Komariah E. Sapardjaja mengakui adanya pergesaran paradigma melawan hukum, dari melawan hukum formil kepada melawan hukum material (kasus Machrus Efendi), dan melawan hukum material dari fungsinya yang negatif menjadi melawan hukum material dalam fungsinya yang positif (kasus Sonson Natalegawa), tetapi beliau tetap memandang sebaiknya melawan hukum hanya diterapkan dalam fungsinya yang negatif. Hal ini didasarkan pada pernyataan beliau: Khusus bagi Indonesia, walaupun penafsiran itu dimungkinkan bahkan karena mengingat keadaan perundang-undangan pidana Indonesia sekarang kadang-kadang diperlukan untuk mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan baru, tetapi penafsiran ekstensif ini perlu dibatasi. Hendaknya untuk membatasi penafsiran ekstensif tentang arti sifat melawan hukum, setidak-tidaknya untuk menetapkan hilangnya sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar. 11 Dengan ini, berarti Komariah E. Sapardjaja, juga berpendapat bahwa praktek peradilan yang menerapkan pengertian melawan hukum material 10 Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta hal Komarian E Sapardjaja, 2002, Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam hukum Pidana Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni,, Bandung, hal,

17 50 dalam fungsinya yang positif, harus dibatasi. Bahkan dengan menerima hal itu sebagai alasan pembenar, maka hal ini berarti keinginan beliau mengembalikannya kepada penerapan ajaran melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif. Sebenarnya tidak satupun ahli-ahli hukum pidana (akademisi) dapat membenarkan penerapan pengertian melawan hukum material dalam fungsinya yang positif. Bahkan Indriyanto Seno Adji menyatakan hal-hal sebagai berikut: Bagi pandangan materiel, ditemukan suatu kesamaan pendapat bahwa sifat melawan hukum materiel hanyalah digunakan melalui fungsi negatifnya saja, sehingga penerapannya hanya diperlukan untuk meniadakan suatu tidak pidana dengan mempergunakan alasan-alasannya di luar undang-undang. 12 Mengenai praktek hukum yang menerapkan pengertian melawan hukum material dalam fungsinya yang positif, memang mulanya memiliki dasar dalam undang-undang yaitu penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun Namun demikian, perlu diingat dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa hukum tidak selalu identik dengan undang-undang. suatu aturan undang-undang dapat kehilangan kekuatan mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai aturan hukum, misalnya jika hal itu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan 12 Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Oemar Seno Adji, Jakarta, hal, 306.

18 51 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila suatu aturan undang-undang yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Berkenan dengan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar diterapkanya pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif, telah ditertibkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, yang menyatakan bahwa hal itu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, berpangkal tolak pada kekebasan hakim, Mahkamah Agung tetap memakai pengertian materiel dalam fungsinya positif, seperti yang diperlihatkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 103 J/Pid/2007 tanggal 28 Pebruari 2007, yang tidak jarang membuat pengadilan dibawahnya dan berikutnya menjadi contoh atau yurisprudnesi yang nantinya diggunakan kembali penafsiran demikian. Salah satu keberatan mendasar dari pengertian melawan hukum material dalam fungsi positif, termasuk yang digunakan dalam memaknai unsur dengan melawan hukum dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya kecenderungan untuk menerapkan setiap perbuatan yang tidak hukum (unlawfully) sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dalam tindak pidana korupsi.

19 52 Sebenarnya Oemar Seno Adji telah mengingtakan ekses dari penerapan unsur melawan hukum tersebut sebagai berikut: Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada suat bahwa ada suatu kecenderungan pada para penegak, hanteerder kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan, apabila tidak terapat hambatan, pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak eksessif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe overspanningen dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu. Timbullah suatu kesan, seolah-olah peraturan pidana yang luas/umum tersebut merupakan suatu all purposes act, suatu perundang-undangan Pidana yang sifatnya adalah all embracing dan yang menggiring lain perbuatan pidana ke dalam lingkungan peraturan pidana yang umum/luas dan terbuka, walaupun bukanlah maksud semula untuk memperlakukan tindak pidana lain sebagai tindak pidana yang luas itu. 13 Kiranya tidak berlebihan bila dikemukakan juga pendapat PAF. Lamintang terhadap hubungan antara sifat melawan hukum dalam hukum perdata dengan sifat melawan hukum dalam hukum pidana yang menurut 13 Oemar, Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta: 1985, hal, 247.

20 53 beliau belum tepat untuk menyamakan kedua hal tersebut di Indonesia. "Apabila di dalam bidang hukum Perdata orang berpendapat bahiwa setiap"onrechtmatige daad " atau setiap perilaku yang bersifat melawan hukum itu dapat menjadi dasar untuk menuntut ganti rugi seperti yang dimaksud Pasal 1365 BW, maka saya kira tidak akan seorang pun akan mengajukan keberatannya, akan tetapi masalahnya menjadi lain apabila setiap perilaku yang di dalam bidang hukum perdata itu dapat dikualifikasikan sebagai onrechtmatige daad itu secara material harus dianggap sebagai bersifat "wederrechtelijk" hingga pelakunya dapat dihukum, walaupun tindakanya itu tidak diatur di dalam sesuatu ketentuan pidana menurut undang-undang, oleh karena hal tersebut sudah jelas akan bertentangan dengan usaha manusia yang telah berjalan berabad-abad lamanya untuk mendapatkan suatu kepastian hukum bagi setiap manusia, dan bagi kita di Indonesia hal tersebut sudah jelas bertentangan dengan bunyinya Pasal 1 ayat (1) KUHP". Dewasa ini dalam praktek peradilan yang menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan perbuatan melawan hukum perdata, bukan saja sebagai suatu bentuk perbuatan yang menurut ukuran-ukuran umum sebagai tidak hukum, karena bertentangan dengan kepatutan atau moral umum dalam suatu masyarakat, tetapi pelanggaranpelanggaran hubungan kontraktual juga dipandang sebagai suatu perbuatan

21 54 melawan hukum dalam hukum pidana. Disini cidera janji/wanprestasi, yang dalam ranah keperdataan saja dipadang secara berbeda dengan perbuatan melawan hukum justru dalam lingkup hukum pidana juga dipandang sebagai perbuatan melawan hukum (wedderchtelijk heid). Apabila pada bagian awal dari tulisan ini telah penulis kemukakan bahwa adanya kecenderungan untuk menjadikan seluruh tidak pidana sebagai bagian dari kumpulan perbuatan yang melawan hukum, maka lebih parah lagi disini, dilanggarnya suatu kewajiban (prestasi) dalam suatu perjanjian juga dipandang sebagai melawan hukum. Tidak lagi bisa dibedakan antara melawan hukum dalam lingkup hukum perdata(onrechtmatige daad), melawan hukum dalam lingkup hukum pidana (wedderechtelijk heid), maupun peristiwa cidera janji/wanprestasi. Kontrak yang tadinya hanya dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat layaknya undang-undang bagi yang membuatnya (pacta sunc servanda), kini dipandang kontrak sebagai identik dengan undang-undang. Sama kekuatannya antara undangundang, yang tidak lain merupakan pengejawatahan kehendak rakyat melalui parlemen, dengan kontrak yang menjadi kehendak pribadi dari individuidividu yang melaksanakan kontrak. Pelanggaran kontrak semata seharusnya tidak akan menjadi suatu perbuatan melawan hukum, baik dalam lingkup hukum perdata maupun dalam lingkup hukum pidana. Kalaupun terjadi perbuatan melawan hukum terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan suatu kontrak, maka peristiwa itu

22 55 bukan pelanggaran kontraknya, tetapi aturan hukum yang menjadi dasar diadakannya hubungan-hubungan kontraktual tersebut. Perbuatan melawan hukumnya terjadi karena adanya pelanggaran dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan objek yang diperjanjikan dalam kontrak tersebut. Product Sharing Contract (PSC) adalah bentuk kontrak yang dapat diadakan berkenaan kegiatan hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun Dengan demikian, pelanggaran suatu PSC semata tidak dapat dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum, baik dalam lingkup hukum perdata maupun dalam lingkup hukum pidana Pelanggaran PSC tidak dpat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif. Kalaupun terdapat kemungkinan adanya perbuatan yang melawan hukum dalam pembuatan dan pelaksanaan PSC, maka pelanggaran yang terjadi terletak pada tidak diturutinya perintah maupun prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 berserta peraturan pelaksanaannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA. Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA. Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hukum pidana, ditandai oleh perubahan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh dinamika doktrin dan ajaran-ajaran

Lebih terperinci

Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK

Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK Abdul Latif 116 PENDAHULUAN Unsur melawan hukum dalam perkara korupsi merupakan hal yang penting dan menentukan untuk adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Risva Fauzi Batubara 1, Barda Nawawi Arief 2, Eko Soponyono 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENJELASAN HUKUM (RESTATEMENT) UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Tim Pidana Peneliti Senior : Dr. Shinta Agustina, SH, MH. Peneliti Yunior : Roni Saputra, SH; Ariehta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA. A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana

BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA. A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana Hukum pidana di dalam prespektif sistem hukum di Indonesia berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 I. PEMOHON/KUASA Ir Dawud Djatmiko II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

KORUPSI KARENA PENYALAHGUNAAN WEWENANG. Oleh. Yudhi Widyo Armono, SE, SH, MH

KORUPSI KARENA PENYALAHGUNAAN WEWENANG. Oleh. Yudhi Widyo Armono, SE, SH, MH KORUPSI KARENA PENYALAHGUNAAN WEWENANG Oleh Yudhi Widyo Armono, SE, SH, MH A. PENDAHULUAN Untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang harus dilihat dari segi sumber wewenang berasal. Hukum administrasi di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 1998. Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang diharapkan mampu memberikan kedamaian pada masyarakat saat kekuasaan negara seperti eksekutif dan kekuasaan legislatif hanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Respon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi)

SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Respon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi) ISSN : NO. 0854-2031 TERAKREDITASI BERDASARKAN SK.DIRJEN DIKTI NO.55a/DIKTI/KEP/2006 SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Respon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi) Sudharmawatiningsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan. Setiap sistem perekonomian, baik kapitalis maupun sosialis, pemerintah memegang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN 1. Tindak Pidana Jasa Konstruksi Tindak Pidana Jasa konstruksi merupakan salah satu problematika

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP Jakarta, 31 Desember 1980 No : M/A/Pemb/1182/80 Lampiran : 1 (satu) ex. Kepada Yth. Perihal : Pasal 284 (1) 1a KUHP 1. Saudara

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan peninggalan yang tidak ternilai harga dari para pejuang terdahulu. Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya jika kita mengisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang PERINTAH JABATAN DAN PERINTAH JABATAN TANPA WEWENANG DALAM PASAL 51 KUH PIDANA 1 Oleh : Heindra A. Sondakh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perintah jabatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga

I. PENDAHULUAN. tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci