BAB II PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA. A. Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA. A. Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia"

Transkripsi

1 BAB II PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA A. Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaruan dan perbaikan untuk mengurangi berlakunya pidana perampasan kemerdekaan, namun merupakan suatu kenyataan bahwa pada pidana perampasan kemerdekaan akan melekat kerugian-kerugian yang kadang kala sulit untuk dihindari dan diatasi, bilamana ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai. Ditinjau dari segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan, yang antara lain adalah sebagai berikut: Bahwa tujuan penjara yang pertama adalah menjamin pengamanan narapidana, dan tujuan yang kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi; 2. Bahwa fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, yaitu berupa ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam pergaulan masyarakat. Oleh sebab itu, sekalipun penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai 40 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm

2 30 lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan, pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan dengan begitu saja. Di samping kerugian yang bersumber pada hakikat pengertian tersebut, maka kerugian yang cukup memprihatinankan terlihat dari apa yang dikemukakan oleh seorang sosiolog bernama Clemer sebagaimana telah dikutip oleh Muladi : berdasarkan pengamatannya di penjara-penjara dengan sistem keamanan maksimum di Amerika Serikat, maka dapat disimpulkan bahwa kita harus melihat kehidupan penjara lebih daripada sekedar hanya merupakan dinding-dinding dan ruji-ruji, sel-sel dan kunci-kunci. 41 Penjara harus berlaku di suatu masyarakat, di mana penjara sebagai suatu sistem sosial informal yang disebut sebagai subkultur narapidana. Subkultur narapidana ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual dari masing-masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut ke dalam masyarakat narapidana yang oleh Clemmer disebut sebagai Prisonisasi. Dikatakan bahwa di dalam proses prisonisasi ini narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Ia juga harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai dari masyarakat narapidana tersebut. 42 Di samping faktor-faktor universal, terdapat pula faktor-faktor lain yang menentukan, sehingga orang menjadi terpenjara. Hal ini meliputi lamanya pidana yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan yang terus- 41 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan dalam Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm Niniek Suparni, op.cit., hlm 44.

3 31 menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam kelompokkelompok kerja, sel dan lain sebagainya. Makin lama pidana penjara tersebut dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara menjadi semakin besar pula. Yang kemudian seseorang yang menjadi terpenjara secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara. 43 Pidana penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari sebab di tempat inilah penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personel yang paling baik pun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara tersebut. Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkannya pidana perampasan kemerdekaan adalah, bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan terpidana akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Untuk pelaksanaan pembinaan tersebut diperlukan waktu yang cukup. Selain itu program pembinaan dan metode pembinaan akan tergantung pada waktu yang tersedia, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil akhir dari pembinaan. 44 Waktu yang singkat dalam hal pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek akan menghambat usaha pencapaian tujuan tersebut. Pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek tidak mendukung kemungkinan untuk diadakannya 43 Ibid. 44 Ibid., hlm. 45.

4 32 rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan lain pihak bahkan dapat menimbulkan apa yang disebut Stigma atau Cap Jahat 45. Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Karena suatu kejahatan maka seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan pekerjaannya dan selanjutnya akan menempatkannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmasisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar/baik-baik. Stigmasasi ini mungkin merupakan hasil daripada pembinaan atas kejahatan, sehingga stigma tersebut juga merupakan hasil daripada reaksi-reaksi. Stigma tersebut juga merupakan hasil dari pada reaksi-reaksi. Stigma ini terjadi melalui pihak ketiga dan dalam hal ini media massa berperananan besar di dalam stigmatitasi dengan menyebutkan nama seseorang atau bahkan hanya dengan menyebutkan nama depan/ inisialnya saja di dalam surat kabar. Secara psikologis, stigmatisasi ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan demikian publik akan mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya. Hal lainnya yang dapat lebih memperburuk keadaan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek adalah panjang dan lamanya waktu dari mulai tahap penyidikan untuk sampai kepada putusan hakim. Seringkali antara masa tahanan yang telah dijalani terpidana dengan lamanya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim 45 Ibid.

5 33 tidak terpaut lama, bahkan tidak jarang pula begitu putusan dijatuhkan terpidana sudah harus dikeluarkan dari lembaga atau tempat yang bersangkutan di tahan. Masalah terkait pembinaan dapat diatasi dengan memulai pembinaan sejak awal masa penahanan, akan tetapi hambatan di dalam masa pembinaan tersebut ialah belum adanya kepastian tentang kesalahan terdakwa, sehingga program pembinaan tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Satu-satunya keuntungan dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek ialah, bahwa dengan jangka waktu yang pendek berarti penderitaan agak berkurang, baik terhadap terpidana sendiri maupun terhadap keluarganya. Akan tetapi apabila ditinjau dari segi masyarakat akan terasa menguntungkan, karena biaya yang diperlukan lebih sedikit apabila dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan yang berjangka waktu panjang. 46 Dengan demikian sampai saat ini keberadaan pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada atau sulit dihindari, meskipun kerugian-kerugian yang melekat padanya pada masa mendatang keberadaan pidana perampasan kemerdekan tetap merupakan pendukung sistem peradilan pidana. Yang penting adalah seberapa jauh penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi, sehingga terdapat keserasian, keselarasan dan keseimbangan penggunaannya dengan pidana non kemerdekaan. Penjatuhan pidana denda sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana 46 Ibid., hlm. 46

6 34 pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia. 47 Pidana denda adalah termasuk jenis pidana yang tertua di dunia, di samping pidana mati. Dalam hukum Adat dikenal pidana berupa pembayaran baik kepada penguasa (Kerajaan) maupun sebagai pengganti kerugian kepada korban. Bentuk pembayaran ini mulai dari bentuk uang sampai bentuk in natura, seperti ternak, hasil kebun, dan lain sebagainya. Perkembangan pidana denda dipandang lebih ringan daripada pidana penjara, apalagi jika dibandingkan dengan pidana mati. Pasal 13 KUHP sendiri telah mengatakan demikian. Ada kecenderungan bahwa di banyak negara sekarang ini dan untuk masa yang akan datang, terjadi perkembangan daripada pidana denda. Pidana denda sudah tidak lagi merupakan pidana kelas dua setelah pidana kebebasan atau pidana hilang kemerdekaan. Y.E. Lokollo dengan mengacu pada beberapa kepustakaan mengatakan bahwa perkembangan pidana denda tidak saja mengenai banyaknya penggunaan pidana dalam penjatuhan pidana, akan tetapi juga mengenai besarnya minimum dan maksimum denda. Dikemukakannya pula lebih lanjut bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara tajam tingkat kesejahteraan masyarakat di bidang materiil, kemampuan fnansial pada semua golongan masyarakat. Sebagai akibat membaiknya tingkat 47 Ibid.

7 35 kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak (karakter) dari kriminalitas. 48 Penggeseran di dalam pemidanaan yang menampilkan pidana denda mengganti posisi pidana kebebasan, berorientasi pada pertimbangan meningkatnya kesejahteraan dan kemampuan financial pada semua golongan masyarakat tersebut. 49 Kebenaran alasan ini memang dapat diterima, namun bagaimanakah gambaran di negara kira, negara Indonesia? Apakah keadaan di Indonesia sejauh ini dapat digambarkan dalam pendapat di atas? Bukankah pencurian atau perampokan maupun penipuan yang terjadi lebih disebabkan oleh keadaan dan kebutuhan ekonomi yang mendesk bagi sementara masyarakat (dalam arti tingkat kesejahteraan dan kemampuan financial masyarakat yang masih rendah). Bahkan banyak terjadi akhir-akhir dasawarsa ini tindak pidana pencurian, perampokan didahului dengan pembunuhan. Bukankah keadaan seperti ini karena desakan kebutuhan finansial untuk menghidupi keluarga atau dirinya sendiri. Kurangnya lapangan kerja yang berdampak kurangnya pendapat seseorang cenderung meningkatkan kriminalitas. Bahkan tidak mungkin bagi seorang pekerja karena kurangnya pemenuhan hidupnya yang paling minim sekalipun, akan berbuat hal-hal yang dianggap terecela dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan menghangatnya permasalahaan di kalangan pegawai negeri yang korupsi kecil-kecilan atau menerima suap yang tak lain adalah untuk mencukupi biaya 48 Ibid., hlm Ibid, hal. 48

8 36 hidup yang tidak tercukupkan dari gaji yang diterimanya. Begitulah gambaran yang terjadi atau mungkin terjadi di sekitar kita. Tentunya di samping gambaran di atas, ada pula tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang tingkat kemampuan finansial dan kesejahteraannya sudah melebihi dari cukup yang melakukannya hanya karena nafsu keserakahan seperti yang terjadi dalam kasus Bank Duta, kasus- kasus lain yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah ataupun kasus-kasus manipulasi lainnya. Pidana mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada jiwa orang, pidana penjara penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan pidana denda tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu. Diantara jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam KUHP (WvS) jenis pidana denda merupakan pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua pidana mati. 50 Sebelum menjadi sanksi yang mendukung semua pemidanaan (KUHP), pidana denda telah dikenal secara luas hampir setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun dengan bentuknya yang primitif, dan tradisional Indonesia. Pada zaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda biasanya dikenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan binatang pemeliharaan yang menjadi kesenangan raja. Apabila denda tidak dibayar, maka orang yang bersalah harus menjadi hamba atau budak dengan menjalankan apa yang diperintahkan tuannya. Bila utang benda dapat dilunasi maka setiap saat ia dapat berhenti menjadi hamba. Dan 50 Ibid.

9 37 tidak berhak menetapkan berapa lama orang yang bersalah itu menghamba untuk melunasi utang bendanya adalah raja yang berkuasa. B. Faktor-Faktor yang Mendorong Perluasan Pidana Denda Apabila kita perhatikan perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama hukum pidana khusus maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam berbagai perundang-undangan lainnya, terdapat suatu kecenderungan memperluas penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Caranya baik dengan meningkatkan jumlah pidana denda maksimum yang diancamkan, kemungkinan kumulasi pidana penjara atau kurungan denda (yang dimungkinkan dalam KUHP), maupun dengan mengancamkan pidana denda secara mandiri sebagaimana tercantum misalnya dalam UU Darurat RI No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang masih berlaku sampai saat ini. 51 Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentu saja didorong oleh berbagai faktor dan situasi yang memerlukan penelitian yang lebih luas dalam kerangka mempelajari permasalahan pidana pokok ini. Namun berbagi literatur dan hasil penelitian tim pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda, dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong meningkatkan dan berkembangnya pidana denda. Y.E. Lokollo mengemukakan bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara tajam tingkat kemampuan finansial dan kesejahteraan masyarakat di bidang materi. Sebagai 51 Abdul, Pidana Denda, diakses tanggal 5 Agustus 2015, jam WIB.

10 38 akibat membaik nya tingkat kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak (karakter) dari kriminalitas. 52 Selanjutnya perkembangan pidana denda ini didorong pula oleh perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat di bidang perekonomian yang erat pula kaitannya dengan apa yang disebut sebagai white collar crime dan professional crime, yang dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam jumlah yang besar. Apabila si pelaku hanya dikenakan pidana penjara, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. Dalam hal inilah pidana dapat didayagunakan untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak pidana yang dilakukan terpidana. Tentu saja untuk maksud ini harus didukung oleh sarana-sarana untuk melaksanakan keputusan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim. Faktor ini erat kaitannya dengan perkembangan dalam pidana yang menyangkut subyek hukum dalam hukum pidana. Dimana dalam KUHP sekarang pada dasarnya hanya orang yang dapat menjadi subyek hukum pidana. Dalam Memory van Toelichting Pasal 51 Nederlandache W.v.S (pasal 59 KUHP) dikatakan: suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak dapat dihindarkan lagi kemungkinan badan hukum (korporasi) melakukan tindak pidana dan tanggung jawab tidak terlepas dari pertanggungjawaban pihak pengurusnya Ibid. 53 Ibid.

11 39 Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah semakin tidak disukainya pidana penjara atau kurungan, karena dinilai seringkali tidak efektif terutama bagi tindak pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi maupun narkotika. Kurang disukainya pidana penjara ini juga bertolak dari susut pandang Cost and Benefit yang berkaitan dengan masalah efisiensi. Semakin banyak penghuni penjara berarti semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara, sedang uang negara berarti uang rakyat juga. Jumlah biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang diperoleh dari pidana perampasan kemerdekaan itu. C. Pengaturan Pidana Denda di Indonesia 1. Pengaturan Pidana Denda Dalam KUHP Di dalam Pasal 10 KUHP, pidana pokok terbagi atas : 1) Pidana Mati 2) Pidana Penjara 3) Pidana Kurungan 4) Pidana Denda 5) Pidana Tutupan Pidana Denda merupakan suatu bentuk pidana tertua yang lebih tua daripada pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati. 54 Pembuat undang-undang tidak menentukan suatu batas maksimum yang umum, namun setiap pasal dalam KUHP ditentukan batas maksimum pidana denda yang dapat dijatuhkan oleh Hakim. Berbeda halnya dengan batas maksimum umum pidana denda yang dapat 1993), hal Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita,

12 40 dijatuhkan oleh Hakim. Berbeda halnya dengan batas maksimum umum pidana denda, maka dalam KUHP ada ditentukan satu batas minimum yang umum pidana denda yang tertulis dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu : Banyaknya denda sekurangkurangnya dua puluh lima sen. 55 Oleh karena, ancaman-ancaman hukum terhadap tindak pidana menyebabkan orang mati karena kesalahan, menyebabkan orang luka brat karena kesalahan dan menyebabkan karena kesalahannya, kebakaran, peletusan atau banjir, dalam Pasal 359, 360 dan 188 KUHP terlalu ringan sehingga perlu diperberat. Kemudian diundangkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 yang dalam pasal 1 ditentukan bahwa : Ancaman hukuman dalam pasal-pasal 359, 360 dan 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinaikkan sehingga pasal-pasal tersebut seluruhnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 359 : Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Pasal 360 : (1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah. 55 R. Soesilo, op.cit., hal 51.

13 41 Pasal 188 : Barangsiapa menyebabkan karena kesalahannya kebakaran, peletusan atau banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau hukuman denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, jika terjadi bahaya umum untuk barang karena hal itu, jika terjadi bahaya kepada maut orang lain, atau jika hal itu berakibat matinya seseorang. Kemudian, dikarenakan jumlah-jumlah pidana denda dalam Perundangundangan pidana, baik dalam KUHP yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah terdapat ancaman-ancaman hukuman denda yang tidak seimbang lagi dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman-ancaman hukuman denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada masa kini, sehingga jumlah ancaman hukuman denda itu perlu dinaikkan. Sebagai ukuran diambil pertimbangan bahwa semua harga barang sejak tanggal 17 Agustus 1945 rata-rata telah meningkat sampai 15 kali harga pada waktu itu. Oleh karena itu, maksimum jumlah hukuman denda itu dilipatgandakan dengan 15 kali dalam mata uang rupiah. Sehingga, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 18 Tahun 1960, yang dalam pasal 1 ditentukan bahwa : (1) Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam KUHP, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1) maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali.

14 42 Jadi, mengingat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 18 Tahun 1960 ini maka batas minimum yang umum denda itu sekarang menjadi 15 x 25 sen = Rp. 3,75 Ayat (2) : Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi. Jadi, diantara peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 ada beberapa aturan yang telah diperberat ancaman dendanya, yaitu tindak pidana yang telah digolongkan tindak pidana ekonomi sehingga tidak perlu lagi dinaikkan jumlah dendanya. Pidana denda mempunyai sifat perdata mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaannya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada negara atau masyarakat dalam perkara perdata kepada orang pribadi atau badan hukum. Pidana denda dalam perkara pidana juga dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar. Selain itu, denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban. Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan putusan Hakim, minimum umum satu hari dan maksimum enam bulan (Pasal 30 ayat 3 KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi delapan

15 43 bulan dalam hal gabungan (concursus), residivis dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat 5 KUHP). Berdasarkan ketentuan pasal 30 KUHP tersebut, pidana denda dalam KUHP adalah hanya berbentuk uang dan tidak boleh berbentuk barang, hanya saja apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terpidana baik karena ketidakmampuan atau ketidakmaunya, maka pidana denda itu dapat diganti ke dalam bentuk pidana kurungan yang disebut dengan hukuman kurungan subsider atau pengganti. 2. Perumusan Pidana Denda dalam Rancangan KUHP Perumusan pidana denda dalam KUHP yang berlaku sekarang dapat digambarkan dengan anggapan pidana denda digolongkan dalam kelompok pidana ringan dalam delik pelanggaran dan disamping itu ada juga anggapan bahwa pidana denda kurang efektif jika dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana yang berat. Oleh karena itu, perumusan pidana denda dalam rancangan KUHP pada hakikatnya merupakan untuk mencari jalan keluar untuk menyeimbangkan dengan bentuk-bentuk pidana lainnya. Di dalam konsep Rancangan KUHP Nasional tahun 2012 susunan kelompok pidana pokok berdasarkan berat ringannya adalah sebagai berikut: 1) Pidana Penjara; 2) Pidana Tutupan; 3) Pidana Pengawasan; 4) Pidana Denda; 5) Pidana Kerja Sosial.

16 44 Perumusan pidana denda dalam konsep Rancangan KUHP Nasional tahun 2012 terdapat dalam Buku I mengenai ketentuan Umum. Pasal 80 (1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. (2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus ribu rupiah). (3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. Kategori I Rp ,00 (enam juta rupiah); b. Kategori II Rp ,00 (tiga puluh juta rupiah); c. Kategori III Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. Kategori IV Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah); e. Kategori V Rp ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. Kategori VI Rp ,00 (dua belas miliar rupiah). (4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya. (5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan: a. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; b. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI. (6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV. (7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pidana denda sebagai salah satu sarana dalam politik criminal tidak kalah efektif dengan jenis pidana lainnya, oleh karena itu dalam KUHP ini jenis pidana denda ayat 2 dipergunakan jumlah besarnya upah maksimum harian. Dalam ketentuan ayat 3, pidana denda dirumuskan secara kategoris. Perumusan secara kategoris ini dimaksudkan agar : a. Diperoleh apa yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana.

17 45 b. Lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi dan moneter. Mengingat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanya pidana denda, maka wajar apabila ancaman maksimum pidana denda yang dijatuhkan pada korporasi lebih berat daripda ancaman maksimum pidana denda yang dijatuhkan pada orang perseorangan. Untuk itu telah dipilih cara menentukan maksimum pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana yaitu kategori lebih tinggi berikutnya. Dalam hal rumusan tindak pidana dalam suatu Perundang-undangan tidak mencantumkan ancaman pidana denda terhadap korporasi, maka perlu ketentuan ayat (5) ini, dengan minimum pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat (6). Dalam Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa penjatuhan pidana denda itu harus mempertimbangkan kemampuan terpidana. Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa dalam penilaian kemampuan terpidana wajib memperhatikan apa yang dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya. Pasal 82 ayat (1) menyatakan Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam jangka waktu sesuai dengan putusan hakim. Sedangkan dalam ayat (2) nya menyatakan apabila pidana denda tidak dibayar penuh dengan jangka waktu yang ditetapkan maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Menurut pasal 83 ayat (1) jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak memungkinkan maka pidana denda

18 46 yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda Kategori I. Lamanya pidana pengganti diterapkan di dalam Pasal 83 ayat (2) yaitu : a. Untuk pidana kerja sosial pengganti, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4); b. Untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun; c. Untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134. Perhitungan lamanya pidana pengganti berdasarkan ayat (3) didasarkan pada ukuran untuk setiap pidana denda Rp ,00 (lima belas ribu rupiah) atau kurang, disepadankan dengan: a. Satu jam pidana kerja sosial pengganti; b. Satu hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti Berdasarkan Pasal 83 ayat (4), jika setelah menjalani pidana pengganti, sebagian pidana denda dibayar maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan sesuai dengan ketentuan ayat (3). Sesuai dengan Pasal 84 ayat (1) yang mengatakan jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat dilakukan maka untuk pidana denda di atas

19 47 kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi sesuai dengan Pasal 85 dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Jadi, jelaslah bahwa pengaturan masalah denda dalam KUHP berbeda dengan pengaturan pidana denda dalam Rancangan KUHP tersebut dapat dikatakan cukup mendetail. Hanya saja permasalahan pidana denda dalam Rancangan KUHP ini pada dasarnya merupakan permasalahan untuk mencari jalan keluar atas kelemahan-kelemahan dalam pengaturan pidana denda menurut KUHP. Sehingga pola pidana denda ini secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Pidana denda mempergunakan sistem kategori karena apabila menyebutkan jumlah uangnya selalu akan terjadi perubahan nilai uang. 2) Pidana denda akan diberikan gengsi yang lebih tinggi. 3) Suatu delik yang diancam penjara dimungkinkan untuk diancam pidana denda. 4) Minimum pidana denda adalah tiga juta rupiah, sedangkan maksimumnya adalah denda kategori 6 (untuk korporasi). 5) Disepakati padanan pidana penjara dan pidana denda sebagai berikut :

20 48 Bobot Tindak Pidana Pidana Denda 1. Sangat Ringan 2. Ringan 3. Sedang 4. Berat 5. Sangat Serius Kategori 1 : Rp ,- Kategori 2 : Rp ,- Kategori 3 : Rp ,- Kategori 4 : Rp ,- Korporasi : Kategori 5 : ,- Kategori 6 : ,- Berdasarkan konsep Rancangan KUHP itu Hakim dapat menetapkan dalam putusannya berapa lama terpidana harus membayar dendanya dengan cara mengangsur (mencicil). 3. Pengaturan Pidana Denda di luar KUHP Di dalam pasal 30 KUHP, kedudukan pidana denda terlihat sangat ringan dimana dirumuskan bahwa minimum dari pidana denda adalah 25 sen dan maksimum pidana pengganti denda hanya 6 bulan kurungan. Sedangkan, dalam hal pemberatan hukuman (samenloop/recidivis) paling lama hanya 8 bulan pidana kurungan. Kedudukan dari pidana denda yang seperti ini mungkin yang menyebabkan tidak populernya jenis pidana denda dibandingkan dengan jenis tindak pidana yang lain. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan adanya pidana denda, dalam

21 49 perkembangan pidana selanjutnya pidana di luar KUHP terdapat kecenderungan untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda. Hal ini terlihat misalnya: 1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 56 Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang ini tertera dalam Pasal 5 yaitu: Pasal 5 (1) Dipidana dengan penjara singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp ,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau b. Memberi sesuatu kepada kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima pembe rian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Undang-undang ini memuat sanksi denda yang cukup berat. Hal ini memperlihatkan kesungguhan untuk mncegah/ memberantas tindak pidana korupsi dengan kesadaran bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan 56 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2010, hlm. 306.

22 50 yang sangat tercela walaupun jumlah yang dikorup tidak seberapa misalnya kurang dari Rp ,- (lima juta rupiah) maka sanksi pidana penjaranya paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (lima puluh juta rupiah). 57 Selain itu, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan (pasal 18 ayat (1) huruf (b), sesuai dengan rumusan pasal 18 ayat (3) maka jika tidak dibayar atau terpidana tidak mempunyai harta benda, diganti dengan pidana penjara. Dalam hal ini, jika Penuntut Umum membuat pidana tambahan berupa uang pengganti harus memuat permintaan bahwa jika uang pengganti tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara yang lamanya dimuat dalam putusan pengadilan. 58 Mengenai sanksi, meskipun ditentukan bahwa korporasi dimuat sebagai subjek dalam tindak pidana korupsi tentang pengenaan sanksi hanya dapat dijatuhkan sanksi denda. 2. Undang- undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pencucian uang adalah Setiap Perbuatan yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan 57 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta : Djambatan, 2004)., hal Ibid.

23 51 atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Didalam Pasal 3 menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah). 59 Pasal 4 menyatakan setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan dalam Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara 59 Undang- Undang Nomor. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

24 52 paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Menurut Pasal 7 penjatuhan pidana pokok terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak yaitu Rp ,00 (seratus miliar rupiah). 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pada Pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa pidana denda yang diberikan kepada setiap orang yang dengan sengaja mengakibatkan baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup paling sedikit Rp ,- (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,- (sepuluh miliar rupiah). 60 Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka ataupun bahaya kesehatan manusia, maka menurut 60 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

25 53 Pasal 98 ayat (2) akan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp ,- (empat miliar rupiah dan paling banyak Rp ,- (dua belas miliar rupiah). Akan tetapi apabila perbuatan tersebut malah mengakibatkan orang luka berat atau mati, maka sesuai ayat (3) dikenakan pidana denda paling sedikit Rp ,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,- (lima belas miliar rupiah). Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan hidup maka akan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp ,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,- (tiga miliar rupiah). Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia maka pada ayat (2) mengatakan bahwa pidana denda yang dikenakan paling sedikit Rp ,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,- (enam miliar rupiah). Pada ayat (3) dikatakan jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat atau` kematian maka dikenakan pidana denda paling sedikit Rp (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 mengatakan setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 101 mengatakan bahwa setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-

26 54 undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Berbeda dengan Pasal 102 yang mengatakan setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Pada Pasal 103, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Di dalam Pasal 104 mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Menurut Pasal 105 bahwa Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua belas miliar rupiah). Sedangkan Pasal 106 mengatur tentang orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima belas miliar rupiah).

27 55 4. Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Dalam pasal 3 Undang-undang ini dijelaskan bahwa tujuan daripada pengaturan di bidang psikotropika ini adalah : 61 a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. c. Memberantas peredaran gelap psikotropika. Pasal- pasal yang memuat ketentuan pidana denda dalam undang-undang ini adalah a. Pasal 59 yang mengatakan bahwa: (1) Barangsiapa : a) Menggunakan psikotropika golongan I b) Memproduksi dan/ atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I c) Mengedarkan psikotropika golongan I d) Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau e) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 61 Tim Mahardika, Kumpulan Undang-Undang Tentang Narkotikadan Psikotropika, Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011, hlm. 114.

28 ,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda sebesar Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp ,00 (lima milyar rupiah). b. Pasal 62 mengatakan bahwa barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). c. Pasal 65 memberikan hukuman pidana denda paling banyak Rp ,- (dua puluh juta rupiah) bagi barangsiapa yang tidak melaporkan penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah. 5. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Peraturan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terdiri dari beberapa pasal, yaitu: 62 a. Pasal 111 yang pada ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,- ( delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- ( delapan miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak 62 Ibid., hlm. 131

29 57 atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. b. Pasal 112 pada ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,- ( delapan miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. c. Pasal 113 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. d. Pasal 114 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. e. Pasal 115 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. f. Pasal 116 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp

30 ,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain.. g. Pasal 117 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. h. Pasal 118 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. i. Pasal 119 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. j. Pasal 120 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

31 59 melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. k. Pasal 121 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain. l. Pasal 122 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. m. Pasal 123 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. n. Pasal 124 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III.

32 60 o. Pasal 125 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. p. Pasal 126 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. q. Pasal 128 ayat (1) memberikan pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu juta rupiah) untuk Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor. r. Pasal 129 memberikan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: 1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; 2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; 3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

33 61 4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. 6. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Beberapa pasal yang memuat ketentuan pidana denda dalam Hak Cipta adalah: 63 a. Pasal 112 memberikan pidana denda paling banyak Rp ,- (tiga ratus juta) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) 64 dan/atau Pasal untuk 63 Tim Mahardika, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Yogyakarta: 2015, hlm Pasal 7 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2015 Tentang Narkotika berbunyi: Informasi manajemen Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan informasi eleronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud Pada ayat (2) yang dimiliki Pencipta dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak. 65 Pasal 52 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta berbunyi: Setiap orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan sebagai pelindung Ciptaan atau produk Hak terkait serta pengaman Hak Cipta atau Hak terkait, kecuali untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau diperjanjikan lain.

34 62 Penggunaan Secara Komersial. b. Pasal 113 pada ayat (1) memberikan denda paling banyak Rp ,- (seratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial. Sedangkan ayat (2) mengenakan pidana denda paling banyak Rp ,- (lima ratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial. Menurut Pasal 113 ayat (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara dikenakan pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Ayat (4) menyatakan bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana pidana denda paling banyak Rp ,00 (empat miliar rupiah). c. Pasal 114 mengancam memberikan pidana denda paling banyak Rp ,- (seratus juta rupiah) untuk setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA UU 22/1997, NARKOTIKA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 MUHAMMAD AFIED HAMBALI Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta PROCEDDING A. Latar Belakang. Penyalahgunaan narkoba

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Lampiran 1 KATA PENGANTAR Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Sekarang saya sedang menyusun sebuah Skripsi dengan judul Survei Mengenai Self Efficacy pada Warga Binaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

Tabel Periode Pengaturan Pendanaan Terorisme

Tabel Periode Pengaturan Pendanaan Terorisme Lampiran I Tabel Periode Pengaturan Pendanaan Terorisme Rumpunan Periode Sebelum UU no. 9 tahun 2013 - Undang-Undang Nomor 15 Pengaturan Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 43 BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA A. Sejarah Undang-undang Narkotika Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia

Lebih terperinci

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/1997, NARKOTIKA *9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP 2012 A. Pengertian Zina Lajang Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul yang sekarang

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari semakin memprihatinkan terlebih di Indonesia. Narkotika seakan sudah menjadi barang yang sangat mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, dari sudut medik psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psiko sosial (ekonomi politik, sosial budaya, kriminalitas

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil

Lebih terperinci